Kinetika Reaksi Antara Peroksidisulfat Dan Iodida
October 22, 2017 | Author: gunhashin | Category: N/A
Short Description
Download Kinetika Reaksi Antara Peroksidisulfat Dan Iodida...
Description
KINETIKA REAKSI ANTARA PEROKSIDISULFAT DAN IODIDA
a. b. c. d. e.
Kinetika kimia adalah bagian dari kimia fisika yang mempelajari tentang kecepatan reaksireaksi kimia dan mekanisme dari reaksi-reaksi tersebut. Reaksi kimia ada yang berjalan sangat lambat, lambat, dan sangat cepat. Hal ini dipengaruhioleh(Sastrohamidjojo, 2001): Luas permukaan Tekanan Temperature Konsentrasi Katalisator Tujuan utama kinetika kimia adalah mengetahui bagaimana laju bergantung pada konsentrasi reaktan. Mekanisme reaksi juga dapat diketahui melalui pengetahuan tentanglaju reaksi yang diperoleh dari eksperiman. Kinetika kimia: ketika senyawa yang berbeda hadir dalam keadaan yng sesuai reaksi akan terjadi. Batu kunci dari dari mekanisme reaksi adalah hukum laju. Ini menggambarkan hubungan antara kecepatan reaksi dengan konsentrasi reaktan (Oxtoby, dkk, 2001; Abdallah, 2010). Laju reaksi adalah laju perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam satuan waktu. Konsentrasi dinyatakan dalam mol per liter, namun untuk reaksi fase gas satuannya adalah atmosfer, mmHg, atau Pascal(Atkins, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, yaitu(Keenan, 1984): 1). Luas permukaan Semakin halus ukuran kepingan zat padat makin luas permukaannya sehingga reaksi semakin cepat. 2). Konsentrasi Semakin besar konsentrasi, reaksi semakin cepat berlangsung. Hal ini dikarenakan semakin banyak molekul yang bereaksi berarti semakin tinggi kemungkinan terjadinya tumbukan antar molekul, sehingga laju reaksipun semakin meningkat. 3). Tekanan Penambahan tekanan dengan memperkecil volum akan memperbesar konsentrasi, dengan demikian dapat memperbesar laju reaksi. Hal ini berlaku pada reaksi yang melibatkan pereaksi dalam wujud gas. 4). Suhu Bila terjadi kenaikan suhu maka molekul-molekul yang bereaksi akan bergerak lebih cepat sehingga energi kinetiknya tinggi. Oleh karena energi kinetiknya tinggi, maka energi yang dihasilkan pada tumbukan antar molekul besar dan cukup untuk melangsungkan reaksi. Semakin tinggi suhu akan terjadi tumbukan yang menghasilkan energi semakin banyak. 5). Katalisator Reaksi kimia yang berlangsung lambat dapat dipercepat dengan menambahkan katalisator ke dalamnya, tetapi setelah reaksi selesai katalisator tidak berubah.
Laju atau kecepatan reaksi didefinisikan sebagai banyaknya mol/liter suatu zat yang dapat berubah menjadi zat lain dalam setiap satuan waktu (Keenan, 1986). Dalam reaksi kimia, perubahan yang dimaksud adalah perubahan konsentrasi pereaksi atau produk. Seiring dengan bertambahnya waktu reaksi, maka jumlah zat pereaksi akan makin sedikit, sedangkan produk makin banyak. Laju reaksi dinyatakan sebagai laju berkurangnya pereaksi atau laju bertambahnya produk. Satuan konsentrasi yang digunakan adalah molaritas (M) atau mol per liter (mol. L-1). Satuan waktu yang digunakan biasanya detik (dt). Sehingga laju reaksi mempunyai satuan mol per liter per detik (mol. L-1. dt-1 atau M.dt-1). (Azizah, 2004). Dari definisi diatas laju reaksi dapat dituliskan dengan metode deferensial, yaitu: Ada beberapa factor yang mempengaruhi laju reaksi, yaitu: (1) Sifat alami suatu reaksi. Beberapa reaksi memang secara alami lambat atau lebih cepat dibandingkan yang lain. (2) Konsentrasi reaktan, semakin tinggi konsentrasi maka semakin banyak molekul reaktan yang tersedia dengan demikian kemungkinan bertumbukan akan semakin banyak juga sehingga kecepatan reaksi meningkat. (3) Tekanan, reaksi yang melibatkan gas, kecepatan reaksinya berbanding lurus dengan kenaikan tekanan dimana factor tekanan ini ekuivalen dengan konsentrasi gas. (4) Orde reaksi, menentukan seberapa besar konsentrasi reaktan berpengaruh pada kecepatan reaksi. (5) Temperatur, kenaikan suhu umumnya menyediakan energi yang cukup bagi molekul reaktan untuk meningkatkan tumbukan antar molekul. Akan tetapi tidak semua reaksi dipengaruhi oleh temperature, terdapat reaksi yang independent terhadap temperature yaitu reaksi akan berjalan melambat saat temperature di naikkan seperti reaksi yang melibatkan radikal bebas. (6) Katalis, adanya katalis dalam suatu sitem reaksi akan meningkatkan kecepatan reaksi disebabkan katalis menurunkan energi aktifasi. Dengan penurunan energi aktifasi ini maka energi minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya tumbukkan semakin berkurang sehingga mempercepat terjadinya reaksi. (7) Pengadukan, proses pengadukan mempengaruhi kecepatan reaksi yang melibatkan sistem heterogen. Seperti reaksi yang melibatkan dua fasa yaitu fasa padatan dan fasa cair seperti melarutkan serbuk besi dalam larutan HCl, dengan pengadukan maka reaksi akan cepat berjalan (Atkins, 1999). Pada percobaan ini dipelajari mengenai pengaruh konsentrasi pereaksi dalam hal ini peroksidisulfat dengan ion yod terhadap laju reaksinya. Percobaan dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi salah satu pereaksi dengan cara pengenceran oleh aquades dan konsentrasi pereaksi lainnya dibuat konstan. Terdapat dua sistem pada percobaan ini. Untuk sistem pertama lima buah tabung reaksi yang berisi larutan S2O82- 0,04 M dengan volume yang berbeda yaitu 6-10 ml (larutan A) kemudian dicampurkan ion I- 0,1 M dengan volume 1 ml (larutan B). Untuk sistem dua larutan S2O82- 0,04 M volumenya tetap yaitu 10 ml (larutan C), kemudian dicampurkan dengan ion I- 0,1 M dengan volume berbeda yaitu 6-10 ml (larutan B). Kemudian komponen tiap sistem dicampurkan (A dan B) dan (C dan D). Reaksi yang terjadi adalah: 2 I- + S2O82- 2 SO42- + I2 Dalam prakteknya sejumlah ion tiosulfat (S2O32-) ditambahkan ke dalam sistem agar bereaksi dengan ion yod yang terbentuk sebagai hasil reaksi, sehingga konsentrasi ion iod (I ) selalu tetap. Iod akan terbentuk pada saat S2O32- habis bereaksi dengan I2 yang dideteksi dengan terjadinya perubahan warna oleh kanji dalam sistem. Seperti dalam reaksi berikut: Laju reaksi berbanding terbalik dengan waktu dan berbanding lurus dengan konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi reaktan maka semakin banyak molekul reaktan yang tersedia
dengan demikian kemungkinan bertumbukan akan semakin banyak juga sehingga kecepatan reaksi meningkat. Dan ternyata hal ini sesuai dengan metode deferensial. Pada sistem I dimana konsentrasi dikurangi dan konsentrasi I- dibuat tetap kecepatan reaksinya cenderung semakin menurun seiring berkurangnya konsentrasi dan begitupun yang terjadi di sistem II. Reaksi cenderung semakin lambat, dapat dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk membentuk warna biru yang semakin lama. Sesuai dengan persamaan hukum laju, laju reaksi selalu berbanding lurus dengan k atau tetapan laju reaksi. Tetapan laju reaksi merupakan besaran spesifik yang menggambarkan besarnya laju dari suatu reaksi. Pada percobaan ini nilai k dapat dihitung dengan memplotkan antara konsentrasi dengan 1/t pada grafik. Dari data yang diperoleh dari perbandingan konsentrasi dan 1/t ternyata sesuai dengan persamaan garis y = ax + b nilai k dapat dihitung dari k= 1/a sehingga didapatlah nilai k untuk masing-masing sistem (Jayanti dan Setyaningsih, 2008) Nilai k untuk sistem I = dan nilai k untuk sistem II = . Jadi, pemvariasian konsentrasi menghasilkan laju reaksi yang lebih besar dibandingkan dengan pemvariasian konsentrasi I-. Laju reaksi terukur sering kali sebanding dengan konsentrasi reaktan suatu pangkat. Contohnya mungkin saja laju itu sebanding dengan konsentrasi dua reaktan A dan B sehingga v = k [A] [B]. koefisien k disebut konstanta laju, yang tidak bergantung pada konsentrasi (tetapi bergantung pada tempratur). Persamaan sejenis ini yang ditentukan secara eksperimen, disebut hukum laju reaksi. Secara formal hukum laju adalah persamaan yang menyatakan laju reaksi v sebagai fungsi dari konsentrasi semua spesies yang ada, termasuk produknya. Hukum laju mempunyai dua penerapan utama. Penerapan praktisnya, setelah kita mengatahui hukum laju, kita dapat meramalkan laju reaksi dari komposisi campuran. Penerapan teoritis hukum laju ini adalah hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi. Setiap mekanisme yang diajukan harus konsisten dengan hukum laju yang diamati (Atkins, 1999:335). Kecepatan reaksi adalah perubahan konsentrasi pereaksi ataupun produk dalam satuan waktu. Laju suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai laju berkurangnya konsentrasi suatu pereaksi atau laju bertambahnya konsentrasi suatu prodak. Untuk mengukur laju reaksi kimia perlulah menganalisis secara langsung maupun tak langsung banyaknya produk yang terbentuk atau banyaknya pereaksi yang tersisa setelah penggal-penggal waktu yang sesuai. Analisis konsentrasi pereaksi dan produk umumnya akan paling sederhana bila reaksi dipelajari dalam larutan (Keenan, 1986). Laju atau kecepatan reaksi didefinisikan sebagai banyaknya mol/liter suatu zat yang dapat berubah menjadi zat lain dalam setiap satuan waktu. Dalam reaksi kimia, perubahan yang dimaksud adalah perubahan konsentrasi pereaksi atau produk. Seiring dengan bertambahnya waktu reaksi, maka jumlah zat pereaksi akan makin sedikit, sedangkan produk makin banyak. Laju reaksi dinyatakan sebagai laju berkurangnya pereaksi atau laju bertambahnya produk. Satuan konsentrasi yang digunakan adalah molaritas (M) atau mol per liter (mol. L-1). Satuan waktu yang digunakan biasanya detik (dt). Sehingga laju reaksi mempunyai satuan mol per liter per detik (mol. L-1. dt-1 atau M.dt-1). (Azizah, 2004). Pada percobaan kali ini bertujuan untuk mempelajari kecepatan reaksi antara S2O82- dengan I- yang didasarkan atas konsentrasi. Terdapat dua sistem pada percobaan ini. Untuk sistem pertama lima buah tabung reaksi yang berisi larutan S2O82- 0,04 M dengan volume berbeda yaitu 6-10 ml (larutan A) kemudian dicampurkan ion I- 0,1 M dengan volume 1 ml (larutan B). Untuk sistem dua larutan S2O82- 0,04 M volumenya tetap yaitu 10 ml (larutan C), kemudian dicampurkan dengan ion I- 0,1 M dengan volume berbeda yaitu 6-10 ml (larutan
B). Kemudian komponen tiap sistem dicampurkan (A dan B) dan (C dan D). Reaksi yang terjadi adalah: 2 I- + S2O82- 2 SO42- + I2 Ion tiosulfat S2O82-, terlebih dahulu ditambahkan dengan aquades kemudian direaksikan dengan ion I ditambahkan dengan ion S2O32- dan larutan kanji. Ion S2O32- berfungsi untuk memperlambat terjadinya perubahan warna sehingga laju reaksinya dapat dihitung. Sedangkan kanji sebagai indicator. Semakin cepat laju reaksi yang terjadi semakin sedikit waktu yang diperlukan. Sejumlah ion S2O32- ditambahkan ke dalam sistem untuk konsentrasi I tetap sedangkan untuk konsentrasi Ion S2O32- tidak sama, untuk system I. Hal - berbeda sedangkan untuk larutan I- adalah sama. Sebaliknya untuk sistem II volume larutan S2O82- sama sedangkan untuk larutan I- a untuk konsentrasi Ion S2O32- sama. Ion S2O32- bereaksi dengan yod (I2) yang terbentuk reaksi: Waktu yang diperlukan untuk tiap sistem bereaksi di mana akhir reaksi ditandai dengan perubahan warna menjadi biru tergantung pada konsentrasi larutan, dimana semakin kecil konsentrasi (encer) suatu larutan maka waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi semakin lama. Sebaliknya, semakin tinggi konsentrasi (pekat) larutan maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi. Hal ini disebabkan larutan dengan konsentrasi tinggi mengandung partikel yang lebih rapat sehingga sering terjadi tumbukan antara partikel-partikel dari suatu zat yang menyebabkan makin besar pula laju reaksinya. Namun pada percobaan kali ini tidak terjadi perubahan warna biru pada larutan yang telah dicampurkan, hal ini terjadi kemungkinan pada saat menghomogenkan larutan tidak sepenuhnya homogen sehingga mempengaruhi kecepatan reaksi yang terjadi. Semakin kecil konsentrasi suatu lautan maka semakin lama laju reaksinya, begitu pula waktu yang diperlukan semakin lama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, semakin rendah konsentrasi S2O82Hal ini ditandai dengan waktu terbentuknya warna biru yang semakin lama seiring dengan penurunan konsentrasi pereaksi S2O82-. Untuk sistem I ini, dibuat grafik hubungan antara konsentrasi ion S2O8 2- dengan 1/t, dimana dari tersebut diketahui tetapan laju k untuk S2O8 2- = L/mol s. Prinsip untuk sistem II pada dasarnya sama dengan sistem I. Hanya saja pada sistem II, konsentrasi ion S2O82- dibuat - melalui mekanisme yang sama dengan percobaan pada
Atkins, P.W., 1999, Kimia Fisika Edisi kedua, Erlangga, Jakarta. Aziyah, Utiya, Dra., M.Pd, 2004, Laju Reaksi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Jayanti dan Setyaningsih, Kukuh, 2008, “Pengaruh Konsentrasi NaCl Terhadap Laju Pengendapan CaSO4”, Universitas Diponegoro, Semarang. Keenan., 1986, Kimia Untuk Universitas, Erlangga, Jakarta. Suradi, Kusmajadi, 2008, “Aplikasi Model Arrhenius Untuk Pendugaan Penurunan Masa Simpan Daging Sapi Pada Penyimpanan Suhu Ruang Dan Refrigerasi Berdasarkan Tvb Dan Ph”, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. semakin lama waktu reaksi, konversi yang diperoleh meningkat. Kondisi ini terjadi karena lamanya kontak antara molekulmolekul yang saling bertumbukan. reaksi meningkat setiap kenaikan
konsentrasi katalis demikian pula dengan konstanta kecepatan reaksi. Kecepatan reaksi dapat meningkat dengan penambahan katalis sehingga energy aktivasi berkurang dan jumlah molekul yang teraktifkan bertambah . Hal ini berpengaruh pula terhadap konstanta kecepatan reaksi.
Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Katalis Pada Proses Esterifikasi Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMs) Menjadi Biodiesel Rismawati Rasyid PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar dapat berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E menotasikan energi dan a yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan tambahan energi untuk dapat berlangsung. Mudah bagi kita untuk mengamati mengapa reaksi reaksi endoterm membutuhkan energi untuk bereaksi. Dalam reaksi endoterm, energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari luar sistem. Pada reaksi eksoterm, yang membebaskan energi, ternyata juga membutuhkan suplai energi dari luarbuntuk mengaktifkan reaksi tersebut. Dalam kinetika, suatu reaksi berlangsung melalui beberapa tahap. Diawali dengan tumbukan antar partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan, maka akan terjadi penyusunan ulang ikatan dalam senyawa reaktan menjadi susunan ikatan yang berbeda ( membentuk senyawa produk ). Dalam penyusunan ini, akan ada pemutusan ikatan dan pembentukan ikatan yang baru, yang membutuhkan sejumlah energi. Ketika beberapa ikatan reaktan putus dan beberapa ikatan baru terbentuk, tercapailah suatu keadaan dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan produk. Keadaan ini kita sebut sebagai transisi kompleks. Dalam keadaan transisi kompleks, memiliki campuran antara produk dan reaktan yang cenderung kurang stabil, karena produk yang terbentuk dapat membentuk reaktan kembali. Keadaan ini memiliki energi yang cukup tinggi, karena sistem tidak stabil. Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi yang disuplai dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi. Pada reaksi endoterm ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang positif, karena keadaan transisi kompleks memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dari reaktan. Beberapa faktor yang mempengaruhi energi aktivasi adalah sebagai berikut : 1. Suhu Fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat dengan peningkatan suhu sebesar 10oC . hal ini menyebabkan laju reaksi berlipat ganda. 2. Faktor frekuensi
Dalam persamaan ini kurang lebih konstan untuk perubahan suhu yang kecil. Perlu dilihat bagaimana perubahan energi dari fraksi molekul sama atau lebih dari energi aktivasi 3. Katalis Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Energi aktivasi dapat ditentukan dengan mengolah data dari grafik hubungan 1/T dan ln k berdasar persamaan Arrhenius yang didapat dar dasar teori. Maka praktikan dapat melakukan percobaan berulang dengan mengukur ln k reaksi dari temperatur yang bervariasi untuk memperoleh data yang akan diolah dalam persamaan tersebut. Reaksi yang diukur adalah reaksi hidrogen peroksida dengan ion iodida. Dalam hal ini, hidrogen peroksida dicampurkan bersamaan dengan iodide, ion tiosulfat dan amilum. Ion iodide dan hidrogen peroksida akan bereaksi membentuk gas I2, gas tersebut akan bereaksi kembali dengan ion tiosulfat membentuk kembali ion iodide. Namun, dalam reaksi ini, tidak akan ada yodium yang dibebaskan sampai semua ion tiosulfat habis bereaksi. Dengan tambahan amilum, ion iodide yang terbentuk kembali akan bereaksi dengan amilum dan menghasilkan warna biru pada larutan. Amilum yang digunakan haruslah amilum yang baru dibuat, karena amilum yang telah lama dibuat memiliki kemungkinan perubahan struktur karena pengaruh luar. Perubahan warna yang terjadi akan semakin cepat apabila reaksi berlangsung pada temperatur yang lebih tinggi. Pada temperatur yang lebih tinggi, ion-ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar. Berdasarkan teori tumbukan, energi kinetik yang lebih besar akan membuat tumbukan antar partikel akan menjadi lebih sering, sehingga reaksi akan lebih cepat berlangsung. Disini terlihat adanya penambahan energi kinetik partikel yang dilakukan dengan menaikkan temperatur reaksi, inilah energi yang diberikan dari luar sistem untuk mencapai kondisi transisi seperti yang dijelaskan teori. Energi tersebut akan diukur besarnya ( energi aktivasi ). Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa grafik yang menunjukkan hubungan konstanta laju reaksi dan suhu tidak berbentuk garis lurus atau linear, melainkan terjadi penyimpangan pada suhu lebih dari 40oC. Hal ini dimungkinkan karena jika suhunya lebih dari 40oC maka amilum yang ada pada larutan akan rusak atau rusak sebagian , sehingga ion iodide yang terbentuk dari perubahan yodium tidak dapat terdeteksi dengan baik. Dari enam percobaan diatas dengan variasi waktu, dapat diketahui bahwa temperatur berbanding terbalik dengan waktu. Semakin tinggi suhu, kecepatan gerak partikel-partikel pereaksi dan energi kinetik partikel ikut meningkat. Hal ini
menyebabkan tumbukan akan lebih sering terjadi dan reaksi akan lebih cepat berlangsung. Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju K. Jika suhu dinaikan maka harga K akan meningkat dan begitu sebaliknya. Dari data hasil percobaan dapat dibuat grafik ln K vs 1/T, dan diperoleh grafik berbentuk linier dengan persamaan y = -8325x + 22,26. Dari grafik ln k dan 1/T diperoleh Ea = 69,21405 kj/mol dan ln A = 22,26. Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Semakin kecil harga ln K maka harga 1/T ratarata semakin besar. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi berbanding terbalik dengan laju reaksi. Larutan amilum dalam percobaan ini digunakan sebagai indikator adanya I 2. H2O2 berfungsi sebagai oksidator, yaitu mengubah I- menjadi I2. Kemudian I2 akan berikatan dengan Na2S2O3 yang berfungsi sebagai reduktor. Setelah ion tiosulfat habis bereaksi kemudian I2 dan I- akan membentuk I3- yang akan berikatan dengan amilum menghasilkan warna biru pada larutan. Perubahan warna yang terjadi akan semakin cepat apabila reaksi berlangsung pada temperatur yang lebih tinggi. Pada temperatur yang lebih tinggi, ion-ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar. Ketika larutan memiliki suhu yang sama, maka keduanya dicampur dengan segera. Hal ini bertujuan agar suhu kedua larutan yang sama, tidak berubah jauh sehingga dapat menghindari galat. Kemudian larutan diaduk hingga larutan berubah menjadi berwarna biru. Warna biru ini timbul karena iod membentuk ikatan kompleks dengan amilum. Proses pengikatannya, iod dari larutan kalium iodide dioksidasi oleh kalium peroksodisulfat sehingga iod-iodnya terlepas dan diikat oleh natrium tiosulfat yang kemudian akan bersama-sama bereaksi positif dengan larutan indicator amilum, lalu membentuk kompleks. Pengadukan berfungsi untuk mempercepat reaksi, karena dengan pengadukan maka akan banyak molekul-molekul yang saling bertumbukan. Sehingga meningkatkan energi kinetik dan reaksipun berjalan lebih cepat.reaksi antara kalium peroksodisulfat dan kalium iodide adalah: S2O8- + 2I- → 2SO42- + I2 Indikator amilum yang sebelumnya digunakan, diganti dengan aquades. Aquades selain sebagai pelarut, juga merupakan indicator. Warna yang dihasilkan dari indikator ini adalah kuning. Penggunaan dua indikator ini bertujuan untuk membandingkan keduanya berdasarkan warna, laju reaksi, konstanta laju, dan energi aktivasi yang dihasilkan masingmasing. semakin besar nilai volume K2S2O8 maka semakin rendah nilai energi aktifasinya. Dengan
begitu, maka laju reaksi menjadi semakin meningkat. Karena energy aktifasi berbanding terabalik dengan nilai laju reaksi.
Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa grafik yang menunjukkan hubungan konstanta laju reaksi dan suhu tidak berbentuk garis lurus atau linear, melainkan terjadi penyimpangan pada suhu lebih dari 40 ˚C. Hal ini dimungkinkan karena jika suhunya lebih dari 40˚C maka amilum yang ada pada larutan akan rusak atau rusak sebagian , sehingga ion iodide yang terbentuk dari perubahan yodium tidak dapat terdeteksi dengan baik. Faktor yang mempengaruhi energi aktivasi (Ea) yaitu suhu, faktor frekuensi (A), katalis. Semakin kecil harga Ln k maka harga 1/T rata-rata semakin besar. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi berbanding terbalik dengan laju reaksi. Alasan yang mungkin menyebabkan terjadinya penyimpangan apabila suhu diatas 40˚C karena jika suhunya lebih dari 40˚C maka amilum yang ada pada larutan akan rusak atau rusak sebagian , sehingga ion iodide yang terbentuk dari perubahan yodium tidak dapat terdeteksi dengan baik.
Pada percobaan molekul dapat bereaksi jika energi minimal yang dibutuhkan untuk bereaksi cukup/tercapai (Ea). Laju reaksi akan bertambah bila suhu dinaikkan karena energi kinetik dan frekuensi tumbukan molekul bereaksi makin besar. Dalam percobaan ini digunakan 2 tabung yang komposisinya berbeda yaitu tabung pertama berisi Na2S2O8 5
ml
dan aquades 5 ml, sedangkan pada tabung 2 berisi Na2S2O3 1 ml, KI 10 ml dan kanji 1 ml, dimana awalnya kedua tabung ini kita atur suhunya dengan merendamnya kedalam gelas kimia berukuran 600 ml yang diisi dengan batu es. Larutan tersebut diatur pada berbagai variasi suhu yakni 100c, 150c, 200c dan 250c.
Tabung I dan tabung II diatur suhunya hingga sama, kemudian dengan cepat tabung tersebut dicampurkan kedalam gelas kimia dan kita hitung waktu yang dibutuhkan untuk membentuk komplek biru setelah itu baru kita tentukan suhu akhir dari larutan. Setelah larutan pada kedua tabung dicampurkan terbentuk warna biru akibat adanya adsorpsi iodin pada permukaan amylosa yang berasal dari larutan kanji sedangkan iodin dihasilkan dari
reaksi antara ion Iodida ( I- ) dengan ion tiosulfat. Fungsi kanji disini adalah sebagai larutan indikator yang menunjukkan apakah I2 sudah terbentuk atau belum.
Dari data yang kita dapatkan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka waktu reaksi juga makin cepat. Hal ini disebabkan suhu yang tinggi akan memnyebabkan gerakan partikel reaksi juga makin cepat sehingga tumbukan antar partikel semakin banyak. Fakta lain yang kita dapatkan adalah laju reaksi berbanding lurus dengan persatuan waktu.
Percobaan ini dilakukan dengan mereaksikan antara larutan H2O2 yang diencerkan dengan aquades pada tabung 1 dan campuran KI, Na2S2O3 dan larutan amilum 1% pada tabung 2. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi dan menghitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arrhenius. Sistem yang terdiri dari tabung 1 dan tabung 2 pertama kali harus disamakan suhunya. Suhu pengamatan dalam percobaan ini yaitu suhu 40˚C , 35˚C, 30˚C, 25˚C dan 20˚C.
Larutan amilum dalam percobaan ini digunakan sebagai indikator adanya I 2. I2 akan bereaksi dengan amilum setelah Na2S2O3 pada campuran habis bereaksi dan hal ini dijadikan sebagai waktu akhir reaksi, waktu dimana muncul warna biru pertama kali (waktu awal reaksi saat kedua tabung dicampur). Larutan amilum yang digunakan dibuat sesaat sebelum percobaan karena larutan ini mudah rusak. H2O2 berfungsi sebagai oksidator yang akan menjadi H2O sedangkan KI sebagai penghasil I2 jika direaksikan dengan H2O2. Reaksi yang diukur adalah reaksi hidrogen peroksida dengan ion iodida. Dalam hal ini, hidrogen peroksida dicampurkan bersamaan dengan iodida, ion tiosulfat dan amilum. Ion iodida dan hidrogen peroksida akan bereaksi membentuk gas I2, gas tersebut akan bereaksi kembali dengan ion tiosulfat membentuk kembali ion iodida. Namun, dalam reaksi ini, tidak akan ada yodium yang dibebaskan sampai semua ion tiosulfat habis bereaksi. Dengan tambahan amilum, ion iodida yang terbentuk kembali akan bereaksi dengan amilum dan menghasilkan warna biru pada larutan. Dari percobaan tersebut, variabel bebasnya adalah suhu sedangkan variabel terikatnya adalah waktu. Dan diperoleh semakin tinggi suhunya maka waktu reaksinya akan semakin cepat. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu maka energi kinetik suatu partikel akan meningkat. Sehingga pergerakan partikel untuk menimbulkan tumbukan efektif semakin besar juga. Dan sebaliknya, jika reaksi dilakukan pada suhu rendah, reaksi akan semakin lambat. Suhu maksimum yang digunakan dalam percobaan ini adalah 40oC sebab pada suhu lebih dari 40oC, larutan amilum yang ada akan rusak, sehingga ion iodida yang terbentuk dari perubahan iodium tidak dapat terdeteksi dengan baik. Dari percobaan diperoleh untuk suhu 40°C, waktu yang diperlukan yaitu 5 sekon, suhu 35°C = 8 sekon, 30°C = 13 sekon, suhu 25°C = 20 sekon, dan suhu 20°C = 53 sekon. Dari lima sistem dapat disimpulkan bahwa temperatur berbanding terbalik dengan waktu sesuai dengan teori karena reaksi berlangsung lebih cepat jika suhu tinggi akibat tumbukan semakin banyak karena gerakan yang semakin cepat dan komposisi H2O2 yang berubah menyebabkan waktu yang diperlukan lebih sedikit. Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju k. Jika suhu dinaikan maka harga k akan meningkat dan sebaliknya. Dari harga k tersebut maka akan dapat dihitung energi aktivasi. Melalui proses perhitungan (analisis data pada lampiran) didapat data dalam grafik berikut. Dari grafik Ln k dan 1/T tersebut diperoleh Ea = 94,023026 kJ/mol. Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar.
Faktor yang mempengaruhi energi aktivasi (Ea) yaitu suhu, faktor frekuensi (A), katalis. Semakin kecil harga Ln k maka harga 1/T rata-rata semakin besar. Ini
membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akansemakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi berbanding terbalik dengan laju reaksi. Reaksi yang terjadi dalam percobaan ini yaitu : 2H2O2 2H2O + O2 I2 + 2S2O32- 2I- + S4O622H2O2 + 2I- + S4O62- I2 + 2H2S2O3 + 2O2
Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi dan menghitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arrhenius. Sistem yang terdiri dari tabung 1 dan tabung 2 pertama kali harus disamakan suhunya. Hal ini dilakukan karena kita akan mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi. Jadi, kita harus memastikan suhu kedua larutan sama sehingga kita reaksi itu berlangsung pada suhu itu. Setelah dicampurkan, larutan yang terbentuk akan berubah warna menjadi biru setelah beberapa saat. Waktu yang diperlukan dari ketika larutan dicampurkan sampai mulai berwarna biru dinyatakan sebagai waktu reaksi.. Pada suhu tinggi, warna biru lebih cepat terlihat daripada suhu rendah. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhunya reaksi akan berjalan lebih cepat. Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. “Ed ke-2 Kartahadiprodjo Irma I, penerjemah ; Indarto Purnomo Wahyu, editor. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Physichal Chemistry. Castellan GW. 1982. Physichal Chemistry. Third Edition. New York : General Graphic Services.
Alberty, Robert A dan Famington Daniels. 1981. Kimia Fisika. Jakarta : Erlangga Bird, Tony. 1987. Kimia Fisika. Jakarta : Gramedia Irmamon, dan Hardeli. 1999. Kimia Fisika II. Padang : UNP Tim Kimia Fisika. 2011. Penuntun Pratikum Kimia Fisika 2. Padang : UNP lamanya waktu reaksi memberikan kesempatan yang besar bagi molekul-molekul reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi. semakin tinggi konsentrasi katalis, konversi reaksi semakin besar. Hal ini disebabkan karena dengan naiknya kosentrasi katalis akan semakin menurunkan energi aktivasi, sehingga meningkatkan jumlah molekul yang teraktifkan yang mengakibatkan kecepatan reaksi menjadi naik.
Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas Isalmi Aziz
View more...
Comments