KHI vs CLD KHI
March 21, 2018 | Author: Hilman Abdul Karim | Category: N/A
Short Description
Download KHI vs CLD KHI...
Description
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan fitrah makhluk hidup yang ada di muka bumi. Manusia, hewan bahkan tumbuhan melakukan perkawinan untuk meneruskan generasinya. Bagi manusia perkawinan sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah. Hal itu dimaksudkan untuk membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Di dalam al-quran sendiri, ayat-ayat yang membicarakan masalah perkawinan disebutkan secara terperinci. Ayat-ayat tentang talak, ruju, poligami, dan lainnya, di rinci dalam al-quran yang mengisyaratkan bahwa perkawinan merupakan hal yang rumit sehingga butuh perincian langsung dari sang khaliq. Para ulama fikih menuangkan hasil ijtihad mereka tentang masalah perkawinan di dalam kitab-kitab fikih. Hal itu untuk lebih memperjelas kembali perkawinan yang sudah diatur di dalam al-quran dan sunnah. Di Indonesia, perkawinan di dasarkan pada UU No. 1 tahun 1974. UU ini merupakan bentuk keinginan muslim berhukum dengan hukum islam. UU ini terdiri dari 67 pasal yang semuanya sesuai dan sejalan dengan syariat islam. UU No.1 tahun 1974 memang sudah sesuai dengan syariat islam, namun masih belum detail. Maka berdasarkan inpres Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. KHI berfungsi melengkapi UU No. 1 tahun 1974. Kompilasi Hukum Islam dibuat berdasarkan UU, kitab-kitab fikih juga hukum adat. Hal ini karena majemuk nya masyarakat di Indonesia sehingga perlu ada penggabungan antara UU positif yang sudah ada, pemahaman-pemahaman para ulama mazhab mengenai hukum keluarga dan adat yang sudah berlaku di kalangan masyarakat. Di dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan diatur dalam Buku I yang terdiri dari 19 bab 170 pasal. Tidak ada perbedaan antara KHI dengan UU dan fikih mazhab karena KHI bersifat melengkapi UU yang sudah ada dan gabungan pemahaman mazhab fikih meskipun lebih cenderung pada mazhab Syafi’i. Namun dalam perkembangannya, sekarang KHI bagi sebagain kalangan pemikir islam di Indonesis harus direvisi. KHI sudah tidak sesuai lagi dengan budaya di Indonesia.
1
BAB II PEMBAHASAN Menurut UU perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang bahagia dan kekal tersebut di dalam KHI adalah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah sesuai dengan Q.S. Ar Rum: 21. Prinsip-prinsip perkawinan dalam KHI antara lain sebagai berikut : 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah. 2. Perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut agama kepercayaan masingmasing dan dicatat menurut UU yang berlaku. 3. Menganut asas monogami. 4. Calon mempelai harus memiliki kematangan. 5. Perceraian dipersulit. 6. Hak dan kedudukan suami istri seimbang. Salah satu perbedaan mendasar antara KHI dengan fikih mazhab adalah pencatatan nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga sebagaimana di dalam pasal 6 KHI bahwa pernikahan dianggap sah kalau dilangsungkan di hadapan dan dalam pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian yang harus ada untuk sah nya suatu pernikahan di Indonesia adalah dua orang calon mempelai, wali, dua orang saksi, ijab Kabul dan pegawai pencatat nikah, sehingga rukun nikah bertambah satu. Namun di dalam KHI sendiri di dalam bab IV tentang rukun dan syarat pernikahan pasal 14 rukun nikah tidak disebutkan karena PPN di sebutkan di dalam pasal 6 KHI. Adanya pencatatan nikah adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Pencatatan nikah lebih menjamin terjaganya hak-hak individu manusia sebagai warga Negara. Adapun kemaslahatan umum tidak bertentangan dengan tujuan syariat. Di Indonesia, bukti adanya pernikahan adalah adanya akta nikah yang di buat oleh pencatat nikah. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 KHI. Pasangan
2
suami istri yang sah akan diberi kutipan akta nikah sebagai bukti bahwa pernikahannya sah dan sesuai dengan hukum agama dan hukum Negara. Di dalam pasal 14 KHI disebutkan rukun nikah. Rukun nikah tersebut yakni calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab Kabul. Berdasarkan asas perkawinan di Indonesia, kedua calon mempelai haruslah orang yang benar-benar matang untuk melakukan pernikahan dan perkawinan. Di dalam pasal 20 KHI disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang islam, berakal dan baligh. Hal ini sesuai dengan fikih-fikih imam mazhab. Menurut jumhur ulama sepakat bahwa yang berhak menjadi wali adalah laki-laki. Wanita tidak berhak menjadi wali. Namun, menurut mazhab Hanafi, wanita yang sudah baligh boleh menjadi wali bagi dirinya sendiri, bagi anak perempuannya yang masih kecil dan menjadi wakil untuk mengawinkan orang lain. Menurut Siti Musdah Mulia, perwalian dalam KHI merupakan bentuk konservatif terhadap perempuan. Menurut dia, mengapa seorang perempuan yang suaminya sudah tidak ada, tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuannya padahal ibu yang mengasuh dan membesarkannya sejak kecil. Malah justru perwalian diberikan kepada anak laki-lakinya. Di dalam pasal 25 KHI disebutkan mengenai syarat saksi. Saksi ialah dua orang laki-laki yang beragama islam, adil, baligh, berakal, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuli. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah kata “lakilaki.” Pasal 25 KHI ini sesuai dengan pendapat imam Syafi’i yang mengharuskan saksi adalah dua orang laki-laki. Berbeda dengan Imam Hanbali yang berpendapat boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. Abdul Moqsith Gazali beranggapan lain. Menurut dia, perempuan tidak boleh menjadi wali dan saksi karena memang pada zaman dahulu islam, bahkan arab sekarang, perempuan hanya bergerak di bidang domestik. Namun hal itu perlu dipertimbangkan karena di Indonesia wanita sudah terjun di bidang politik, pabrik dan lain-lain.
3
Pasal 30-38 KHI menjelaskan tentang mahar. Pada intinya mahar harus dibayar oleh suami kepada isteri. Mahar boleh dihutang jika berdasarkan kesepakatan antara suami dan isteri. Jika suami mentalak isterinya sebelum bersenggama, maka ia harus membayar setengah maskawinnya. Masih menurut Abdul Moqsith Ghazali, adanya mahar dalam akad pernikahan menunjukkan bahwa pernikahan dalam islam sama dengan perdagangan. Ada pihak pembeli yakni calon suami dan pihak penjual yakni wali perempuan. Hal ini menyebabkan pernikahan dalam islam cenderung bersifat material, jauh dari sifat filosofis dan romantis. Menurutnya, masalah mas kawin cukup dicatat oleh petugas pencatat nikah tak perlu disebutkan dalam kalimat akad nikah. Selain itu mahar juga tidak boleh diniati untuk membeli tubuh wanita. Sebagai perbandingan antara pemahaman fikih KHI dengan fikih liberal akan kita analisa mengenai Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. CLD KHI merupakan draft tandingan KHI yang bernuansakan gender. Para penggiat gender menginginkan kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam berbagai hal, termasuk masalah perkawinan. Menurut Marzuki Wahid, di dalam CLD KHI ada beberapa hal yang mereka tawarkan yakni sebagai berikut: 1. Perkawinan bukan ibadah, tetapi akad sosial kemanusiaan (mu’’amallah) 2. Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun perkawinan 3. Perempuan bisa menikahkan sendiri dan menjadi wali nikah 4. Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri 5. Poligami dilarang 6. Perkawinan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan 7. Perkawinan antaragama dibolehkan 8. Istri memiliki hak talak dan rujuk 9. Hak dan kewajiban suami dan istri setara Di dalam syariat islam, wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri. Jumhur ulama sepakat mengenai hal ini kecuali imam Abu Hanifah. Di dalam CLD KHI pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri. Padahal menurut di dalam banyak literatur hadits dikatakan bahwa tidak sah nikah nya seorang tanpa adanya wali. Wanita yang
4
menikahkan dirinya sendiri dianggap berzina. Lalu pasal 9 ayat 1 bahwa ijab Kabul dapat dilakukan oleh calon suami maupun calon isteri. Pendapat Siti Musdah Mulia mengenai saksi dari pihak perempuan dituangkan dalam CLD KHI pasal 11 ayat 1 dan 2. Ayat 1 mengatakan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam persaksian adalah sama. Lalu disambung dengan ayat 2 yang mengatakan bahwa perkawinan sekurang-kurangnya disaksikan oleh dua orang perempuan atau dua orang laki-laki. Sebagai perbandingan menurut Imam Syafi’i, saksi haruslah dua orang laki-laki. Di dalam masalah mahar, pasal 30 KHI mengatakan bahwa calon mempelai pria wajib memberikan mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan CLD KHI membahas mahar di dalam pasal 16 yang mengatakan bahwa calon suami dan isteri wajib memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Artinya, mahar tidak hanya dari pihak pria, namun juga dari pihak wanita. Pasal 79 KHI menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Tandingannya pasal 50 ayat 2 CLD KHI menyebutkan bahwa suami dan isteri secara bersama-sama berhak memilih peran dalam kehidupan berkeluarga. Suami sebagai kepala keluarga dianggap sebagai budaya arab dari dahulu hingga sekarang sehingga menurut para aktivis gender hal ini tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia. Menurut Siti Musdah Mulia, KHI tidak sesuai dengan realitas Indonesia sekarang. Biro Pusat Statistik pun mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Pendapat ini tidak sesuai dengan teks al-quran Q.S. Al-Nisa : 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Pasal 153 KHI mengatakan bahwa bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah. Hal ini sesuai dengan teks alquran surat al-baqarah 228 yang mengatakan bahwa isteri yang dicerai hidup masa iddahnya tiga kali quru (suci atau haid). Tandingannya pasal 88 ayat 1 CLD KHI mengatakan bahwa bagi suami atau isteri yang perkawinannya dinyatakan putus oleh pengadilan Agama berlaku masa transisi atau iddah.
5
Seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang berbeda agama. Begitu juga wanita, tidak boleh mengawini pria yang berbeda agama pula. Hal ini sesuai dengan pasal 40 dan 44 KHI. Menurut Abdul Moqsith Ghazali para ulama ada tiga pendapat mengenai nikah beda agama. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak yakni didasarkan pada Q.S. al-baqarah:221, Q.S. Mumtahanah: 10. Kedua, membolehkan laki-laki menikahi wanita kafir sesuai dengan Q.S. almaidah: 5 yang mereka anggap manasakh isi dua ayat yang disebutkan sebelumnya. Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Mereka menganggap bahwa tidak ada larangan secara eksplisit mengenai nikah beda agama. Dia cenderung pada pandangan ulama yang ketiga. Menurutnya, memilih pasangan hidup makin tidak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit bahkan agama. Pernikahan beda agama merupakan realitas yang tak dapat dihindarkan. Pasal 55-59 KHI yang membahas mengenai poligami pun dianggap sebagai sebuah inkonsistensi KHI. Menurut Siti Musdah Mulia, jika asasnya adalah monogami, maka tidak boleh ada celah bagi poligami agar tak terjadi keresahan sosial. Kawin hamil merupakan bentuk ijtihad ulama Indonesia. Kawin hamil merupakan bentuk gabungan antara fikih mazhab dengan adat Indonesia. Adanya kawin hamil dalam KHI dalam pasal 53 dan 54 dimaksudkan untuk kemaslahatan meninjau realita masyarakat di Indonesia. Bagi para aktivis Jaringan Islam Liberal, KHI tidak lebih dari budaya arab yang disesuaikan dengan Indonesia sehingga masih dianggap belum sesuai dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. KHI boleh dirubah bahkan dihapus jika sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat.
6
BAB III PENUTUP Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. KHI, produk fikih Indonesia 2. Bagi sebagian pemikir, KHI masih harus direvisi karena belum dapat memenuhi prinsip-prinsip dasar di dalam al-quran yakni persamaan, persaudaraan, keadilan,penegakkan HAM, pluralisme dan kesetaraan gender. 3. Adapun hal yang dipermasalahkan para pemikir tersebut diantaranya adalah masalah perwalian, saksi, ijab kabul iddah, talat dan kedudukan suami isteri.
7
DAFTA PUSTAKA __, 2001. “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.” __ Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama,. http://islamlib.com/ Salam, Abd. 2010. “Terjemah Ibanat al-Ahkam.” Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication Syarifuddin, Amir. 2009. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan.” Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset.
8
View more...
Comments