Ketidakefektifan Birokrasi di Jepang dalam Ekonomi Pasar, Studi Kasus : Privatisasi Japan Postal Service Agency

April 19, 2018 | Author: Swastaji Agung Rahmadi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Esai ini mengulas mengenai bagaimana transformasi birokrasi Jepang pasca Perang Dunia II. Birokrasi adalah satu-satunya ...

Description

JEPANG DAN TATA EKONOMI INTERNASIONAL 2013

Kelompok 14. Mutiara Kurniasari Swastaji Agung Rahmadi Mirza Amilia Hasan Indriana Asnawi

ESAI KELOMPOK

10/299063/SP/24046 10/297024/SP/23914 10/297024/SP/23914 11/311653/SP/24412 11/311653/SP/24412 11/317861/SP/24747

POSTAL SERVI SERVICE CE AGENCY PADA MASA PEMERINTAHAN PRIVATISASI J APAN POS PM JUNICHIRO KOIZUMI SEBAGAI UPAYA REFORMASI SISTEM BIROKRASI DI JEPANG Sekilas Pandang Birokrasi Jepang Pasca Perang Dunia II.

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia pada tahun 1945 adalah titik awal transformasi negara tersebut dalam bidang politik hingga pola pembangunan ekonomi. Dalam sektor politik, Jepang mengalami perubahan mulai dari konstitusi dasar, partisipasi politik  masyarakat, struktur pemerintahan, hingga peta kekuatan politik. Esai ini akan menganalisis mengapa birokrasi di Jepang tidak efektif dalam tatanan ekonomi domestik kotemporer ?. Dalam rangka menjelaskan lebih spesifik mengenai alasan ketidakfektifan birokrasi jepang, tulisan ini akan menggunakan studi kasus privatisasi  Japan Postal Service pada masa administrasi Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Sebelumnya, kita perlu mengenal lebih dalam apa itu kelompok birokrasi di Jepang. Birokrasi di Jepang merupakan lembaga yang memiliki reputasi sebagai pekerja keras dengan tanggung jawab yang besar. 1 Birokrat Jepang bekerja dalam pola bottom-up, yakni pola yang inisiatif kebijakannya dimulai dari tingkat bawah (birokrasi) dan dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi (eksekutif). Pola birokrasi di Jepang ini berbeda dengan negara industri maju di  benua Eropa dan Amerika Utara, mengingat pola kerja birokrat negara barat berfungsi sebagai implementator kebijakan dari tingkatan atas ke bawah (top-down). Fungsi utama  birokrasi Jepang terletak pada pembuatan kebijakan, dan mereka memainkan peran yang sangat kuat, bahkan politisi hingga Perdana Menteri kerap disebut sebagai lip service dari kebijakan yang telah dibuat oleh birokrasi. Hal ini membuktikan bahwa posisi birokrasi cukup dominan dalam sistem politik J epang.2 Apabila ditinjau dari pendapat Chalmers Johnson, keberhasilan ekonomi Jepang ditentukan oleh peran negara yang besar, terutama kelompok elit, dan birokrasi. Pasca

1

Atsuo Miyaichi, Bringing Accountability to Ja pan’s Bureaucracy , NIRA Review Spring 1999, diakses pada 18 Maret 2013, http://www.nira.or.jp/past/publ/review/99spring/miyachi.html http://www.nira.or.jp/past/publ/review/99spring/miyachi.html,, 2 Jeffrey Hays, Bureaucracy in Japan: History, Daily Life, and Powerful Ministeries, Facts and Details, 2009, diakses pada 18 Maret 2013, http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=800&catid=22&subcatid=146

JEPANG DAN TATA EKONOMI INTERNASIONAL 2013

ESAI KELOMPOK

 berakhirnya pendudukan sekutu di Jepang, birokrasi mempunyai andil besar dalam  pembuatan kebijakan ekonomi strategis Kementrian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (MITI), serta mengisi jabatan Badan Perencanaan Ekonomi (EPA). Hal-hal yang dilakukan oleh birokrasi Jepang pada masa pertumbuhan ekonomi antara lain, a.

Eksistensi mereka sebagai pembuat keputusan, memberikan draf legislasi, mengontrol anggaran belanja nasional, dan sebagai sumber segala inovasi di dalam sistem politik,

 b.

Pembuatan kebijakan industri untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara cepat, serta membuat peraturan tersebut menjadi bagian dari tujuan masyarakat Jepang melalui konsensus umum. 3 Terlepas dari peran birokrasi yang signifikan pada periode “ Japanese economic

miracle” , posisi mereka mulai tergeser oleh kekuatan partai politik, terutama

“Liberal

Democratic Party” sejak tahun 1970-an. LDP mulai mengambil posisi yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pada sektor-sektor non-industri, seperti pendidikan, kebijakan  pertahanan, dan subsidi pertanian. Di lain pihak, kelompok birokrasi masih mengurusi sektor  industri yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. 4 Kelemahan Birokrasi dalam Pembangunan Ekonomi Jepang.

Peran partai politik yang semakin kuat membentuk skema segitiga peta kekuatan  politik Jepang antara partai politik, birokrasi, dan golongan korporasi (keiretsu) di Jepang. Model kekuasaan segitiga ini juga tidak terbebas dari KKN. Lobi-lobi untuk mendapatkan kontrak proyek dilakukan oleh korporasi dengan memberikan “uang lebih ” ke  para birokrat, dan politisi partai sebagai pihak inisiator kebijakan. Uang tersebut digunakan untuk  membantu partai memenangkan pemilu dan keuntungan para birokrat. Dengan persetujuan  partai politik, birokrat membuat kebijakan yang menguntungkan pebisnis dan nantinya diberi stempel 'hanko' oleh 'hanko'  oleh kabinet dan diteruskan ke kementerian terkait dalam implementasinya. 5 Praktik nepotisme juga ada dalam model segitiga ini, ketika perusahaan yang diloloskan

3

C. J. Johnson, MITI and the J apanese Miracle: the Growth og Industrial Policy, Standord University Press, Stanford CA, 1982, dalam Maurice Wright, ‘Who Governs Japan? Politicians and Bureaucrats in the PolicyMaking Processes’, Political Studies, 1999, XLVII, hlm 941-942. 4 C. J. Johnson, L. D’A Tyson and J. Zysman (eds), Politics and Productivity: How Japan’s Development Strategy  Work , Ballinger, New York, 1989 dalam Maurice Wright, ‘Who Governs Japan? Politicians and Bureaucrats in the Policy-Making Processes’, Political Studies, 1999, XLVII, hlm 942. 5 ‘Tackling Japan's bureaucracy: Floundering in the foggy fortress’, The Economist , 25 Februari 2010, diakses pada 18 Maret 2013, http://www.economist.com/node/15579893 http://www.economist.com/node/15579893..

JEPANG DAN TATA EKONOMI INTERNASIONAL 2013

ESAI KELOMPOK

 proyeknya oleh partai politik dan birokrat mengkaryakan pensiunan birokrat dan politisi  partai.6 Selain terjadi pada lingkungan segitiga kekuasaan tersebut, korupsi dalam bentuk   pemberian hadiah (bribery) juga terjadi di dalam birokrasi. Pembuatan kebijakan di dalam  birokrasi membutuhkan dokumen “ringi” sebagai dokumen yang membutuhkan persetujuan manajerial. “ Ringi”  Ringi” harus disetujui oleh semua seksi dalam tubuh birokrasi yang terlibat baik  secara langsung maupun tidak langsung. Ketika 'ringi' ini telah disetujui, dokumen ini akan dipenuhi oleh stempel 'hanko'. Tradisi ini memberi celah bagi birokrat tertentu untuk  melakukan sabotase dengan menyatakan bahwa ia belum dilibatkan dalam pembuatan keputusan karena ia belum memberikan “hanko” tersebut. Untuk menghindari hal ini,  pemberian hadiah oleh korporasi ke birokrat menjadi hal yang wajar. Terlebih lagi dengan adanya sistem 'renza-sei', ketika skandal korupsi muncul ke publik, seluruh orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung pada kasus tersebut harus dihukum. Pada awalnya sistem ini bertujuan untuk meningkatkan tanggung jawab dan kontrol individu namun karena semakin banyaknya birokrat yang terlibat, tanggung jawab individu menjadi semu.7 Hal ini membuat akuntabilitas birokrasi terhadap rakyat menjadi dipertanyakan. Sistem bottom-up yang telah berakar sejak lama ini kerap menjadi hambatan pembangunan ekonomi, sehingga reformasi pola birokrasi menjadi sistem top-down mulai dijalankan. Salah satu kebijakan yang mencerminkan sistem top-down adalah reformasi perusahaan pos negara yang dicanangkan oleh PM Junichiro Koizumi. 8 Reformasi ini diharapkan mampu mengurangi ketidakefektifan segitiga kekuasaan yang terjalin antara partai politik, birokrasi, dan perusahaan jasa pos di Jepang. 9

Postal S Se ervic rvice e Ag Age ency. Reformasi Birokrasi dalam Kasus Privatisasi J apan Pos Pemerintah Jepang berencana untuk melakukan privatisasi salah satu perusahaan negara terbesar, yaitu  Japan Post  dengan menjual duapertiga aset yang dimiliki negara kepada publik. Japan publik. Japan Post merupakan Post  merupakan perusahaan jasa penyimpanan, jasa pos, keuangan, dan asuransi terbesar di Jepang.  Japan Post  memiliki aset mencapai 11 triliun yen.10 Bahkan, 6

Jeffrey Hays, Bureaucracy in Japan: History, Daily Life, and Powerful Ministeries, Facts and Details, 2009, diakses pada 18 Maret 2013, http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=800&catid=22&subcatid=146 http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=800&catid=22&subcatid=146.. 7 Atsuo Miyaichi, Bringing Accountability to Japan’s Bureaucracy , NIRA Review Spring 1999, diakses pada 18 Maret 2013, http://www.nira.or.jp/past/publ/review/99spring/miyachi.html http://www.nira.or.jp/past/publ/review/99spring/miyachi.html.. 8 Patricia L. Maclachlan, ‘Two Steps Forward, One Step Back: Japanese Postal Privatization as a Window on Political and Policymaking Change’, 2007, hlm. 6. 9 Patricia L. Maclachlan, ‘Two Steps Forward, One Step Back: Japanese Postal Privatization as a Window on Political and Policymaking Change’, 2007, hlm. 17. 10 ‘Japan plans $87 billion postal privatization : Nikkei’, 25 October 2012, mobile.reuters.com/article//idUSBRE8901R420121026?irpc=932v, diakses 18 Maret 2013.

JEPANG DAN TATA EKONOMI INTERNASIONAL 2013

ESAI KELOMPOK

Bank Pos memiliki saham tersebar di 4 bank swasta terbesar di Jepang. Asuransi Jiwa Pos memiliki aset juga memiliki saham tersebar 4 perusahaan swasta asuransi terbesar di Jepang. Diet kemudian merestrukturisasi  Japan Post  menjadi 4 perusahaan baru. Sebagai hasilnya, kantor pos, transportasi, keuangan dan asuransi akan dioperasikan mengadopsi manajemen dari sektor privat, sehingga mampu bersaing di pasar global. Adanya privatisasi diharapkan menjadikan  Japan Post  akan lebih efisien dan memiliki keuntungan yang lebih. Privatisasi akan membawa Jepang ke era baru ketika segitiga kekuasaan politik hilang, dan diganti dengan sistem yang baru. Di dalam sistem baru, pemerintah memformulasi kebijakan dan  birokrasi secara langsung akan mengaplikasikannya.11 Reformasi  Japan Post  dapat dilihat sebagai batu loncatan untuk menjalankan seperangkat reformasi yang dicanangkan Koizumi untuk merombak politik di Jepang. Yang dilakukan Koizumi adalah mempromosikan sistem lama yang berpusat pada sistem partai. Dalam sistem lama, tanpa adanya persetujuan partai, legislatif tidak dapat maju untuk  memformulasi kebijakan. Birokrat memainkan peran yang besar dalam memformulasikan kebijakan karena kabinet tidak fokus terhadap perkembangan kebijakan. Hal ini membuat anggota Diet lebih sering berdiskusi dengan birokrasi dalam kementerian dibanding dengan kabinet. Koizumi ingin merombak sistem ini dengan sistem yang lebih efektif dan efisien untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang yang sedang mengalami masa resesi  panjang. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa upaya pemerintahan Junichiro Koizumi untuk melakukan privatisasi Japan privatisasi  Japan Postal Service Agency adalah titik awal reformasi sistem  birokrasi Jepang yang dinilai saat ini kurang efisien dalam pembangunan ekonomi nasional. Maksud politik dari privatisasi tersebut adalah bahwa pemerintah ingin memutuskan rantai kekuasaan segitiga politik (antara partai, korporasi, dan birokrasi), karena banyaknya kasus KKN yang berseberangan dengan prinsip  good governance dan demokrasi yang telah lama dianut Jepang. Maksud ekonomi dari privatisasi ini adalah bahwa pemerintah ingin mendorong perusahaan negara Jepang semakin kompetitif di tengah kapitalisasi pasar, serta ingin mengurangi high cost effect  yang sering dikeluhkan oleh korporasi nasional maupun internasional karena suap model hanko yang memperlambat proses operasional usaha bisnis.

11

Policy Challenges and the Privatization of Japan Post’,

http://www.econstrat.org/index.php?option=com_content&task=view&id=284,, diakses 18 Maret 2013 http://www.econstrat.org/index.php?option=com_content&task=view&id=284

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF