Keterkaitan Ilmu Dan Filsafat

October 4, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Keterkaitan Ilmu Dan Filsafat...

Description

 

hubungan ilmu & filsafat

1.  Hubungan Ilmu dan Filsafat Awal Kelahiran : • Ilmu pertama kali adalah “filsafat”, sering disebut sebagai “induk” atau “ibu” dari ilmu  pengetahuan atau mater scientiarum • Ilmu-ilmu Ilmu-ilmu khusus (psikologi, biologi, astronomi, dsb) menjadi anak asuh atau bagian dari “filsafat”. “filsafat”. Perkembangan Berikutnya : • Obyek material filsafat sangat umum, yaitu seluruh kenyataan ken yataan • Ilmu-ilmu Ilmu-ilmu berkembang membutuhkan obyek khusus • Ilmu-ilmu Ilmu-ilmu mulai berpisah dengan filsafat • Kekhususan ilmu member iikan kan batasan-batasan yang tegas antar ilmu (psikologi berbeda dengan sosiologi, dsb) Masalah yang Muncul : • Ilmu-ilmu Ilmu-ilmu berkembang pesat dan hubungan antar ilmu menjadi semakin jauh, tidak ada lagi penghubung antar ilmu-ilmu, muncul arogansi atau kesombongan antar ilmu • Filsafat terpanggil untuk untuk menyatupadukan menyatupadukan ilmu-ilmu dan fil filsafat-01 safat-01 2.  Ciri-Ciri Persoalan Filsafat Filsafat Awal Kemunculan : • Filsafat muncul karena manusia merasa kagum dan heran pada gejala alam (banjir,  petir, hujan, dsb) • Keheranan menunjukkan menunjukkan ketidaktahuan, berarti ada persoalan

 

 • Persoalan ini menantang para filsuf untuk memecahkannnya atau mendapatkan  jawabannya • Bagaimana mendapatkan jawabannya ? Melalui refleksi, yaitu berfikir tentang  pikirannya sendiri Ilmu dan filsafat-03 3.  Ciri-Ciri Persoalan Filsafat 1.  Bersifat Sangat Umum/Mendasar : • Filsafat berkaitan dengan ideide-ide besar (misal: apa “keadilan” itu ? Apa “manusia seutuhnya” itu ?  2.  Bersifat Spekulatif : • Mempertanyakan “makna” atau “arti” atau “maksud” dibalik Nampak dibalik  Nampak • Misal : apa makna stupa dari Borobudur ? 3.  Bersangkutan dengan Nilai-nilai (values) : • Nilai adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal (misal : nilai   moral, agama, estetika, social 4.  Bersifat Kritis : • Mempertanyakan secara kritis fenomena, konsep-konsep, konsep-konsep, atau hal-hal yang telah dianggap biasa oleh ilmu atau teknologi • Misal : Mengapa teknologi itu ada ? Bagaimana nilai manusia ditengah-tengah ditengah -tengah  perkembangan teknologi informasi ? Apa yang sebenarnya terjadi dengan fenomena “kencan” lewat telepon atau internet ?  ?  5.  Bersifat Sinoptik : • Menyangkut perihal secara keseluruhan  keseluruhan  • Filsafat adalah ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan  keseluruhan  

 

 • Misal : perubahan suatu rumah BTN Tipe 21 menjadi Tipe 60 tidak dilihat sebagai suatu kenyataan tunggal (berubahnya rumah), melainkan sebagai kenyataan keseluruhan dari hal-hal yang ada dibalik perubahan tersebut (kebutuhan, selera, estetika, kebanggaan, dsb) 04 6.  Berpikir Secara Kefilsafatan

1.  Berpikir Secara Radikal : • Radikal berasal dari kata Yunani Radix = akar • Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar -akarnya -akarnya • Berpikir sampai ke hakekat, esensi, substansi yang dipikirkan dipikirkan   • Misal : Apa itu arsitektur itu arsitektur pasca-modern ? Apakah merupakan suatu aliran atau sekedar reaksi ketidakpuasan terhadap arsitektur modern ? Mengapa dia ada? Bagimanakah latar belakang pemikirannya ? Apakah inti ajarannya ? Bagaimanakah implikasinya pada dunia pendidikan dan profesi ? 2.  Berpikir Secara Universal : • Bersangkutan dengan pengalaman universal (umum) dari umat manusia  manusia  • Berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan kesimpulan-kesimpulan universal (umum) • Misal : Mengapa pertumbuhan kota-kota kota -kota di negara berkembang selalu diiringi dengan

munculnya

permukiman-permukiman

kumuh

?

Apa

yang

menyebabkannya ? Mengapa masyarakat miskin kota cenderung bertahan di kawasan-kawasan pusat kota ? Ilmu dan filsafat-05 3.  Berpikir Secara Konseptual : • Berpikir melampaui (melewati) hal-hal hal-hal yang tertangkap oleh indera manusia

 

 • Misal : Tidak mungkin rel kereta api itu berimpit diujung sana! Konsep “kesejajaran” telah mengalahkan tipuan pandangan mata manusia4) Berpikir Secara Koheren dan Konsisten : • Berpikir secara runtut, tidak meloncatmeloncat -loncat, tidak saling kontradiksi • Berpikir secara logis (koheren) dan berkait (konsisten)5) Berpikir Secara Bebas : • Berpikir tidak dibawah tekanan, tidak dibawah prasangka sosial atau politik politik • Memegang teguh otonomi keilmuan  keilmuan  • Socrates memilih minum racun untuk mempertahankan keyakinannya dan kebebasannya berpikir, tidak mau pikiran-pikirannya ditekan Ilmu dan filsafat06 7.  Dimensi Ilmu Pengetahuan A. Dimensi Fenomenal Ilmu menampakkan diri sebagai : 1. Masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam kesehariannya perduli dan terlibat  pada

kaidah-kaidah

universalisme,

dis-interesedness,

dan

meragukan

atau

mempertanyakan segala sesuatu secara terarah dan teratur

2. Proses, tercermin dalam kegiatan masyarakat elit melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, tanpa mengenal titik henti dalam mencari kebenaran ilmiah 3. Produk, yaitu hasil hasil aktifitas keilmuan yang berupa dalil- dalil, teori-teori, paradigma paradigma beserta penerapannya, baik yang berupa fisik maupun non-fisik B. Dimensi Struktural Ilmu Ilmu tersusun atas komponen-komponen sbb: 1. Obyek sasaran yang ingin diketahui

 

2. Adanya pertanyaan-pertanyaan tanpa mengenal titik henti terhadap obyek sasaran 3. Adanya alasan-alasan, sarana, dan metode tertentu 4. Temuan-temuan disusun dalam suatu sistem Ilmu Ilmu dan filsafat-07 filsafat-07 8.  Definisi Ilmu • Ilmu adalah kumpulan pengetahuan (tidak boleh dibalik : kumpulan pengetahuan adalah ilmu • Kumpulan pengetahuan dapat dapat disebut ilmu apabila memenuhi syarat obyek material dan obyek forma • Obyek Material ( subject matter ) atau Pokok Persoalan Persoalan :  

mencakup hal-hal yang konkrit (manusia, tumbuhan, binatang, bangunan, dsb)

 

mencakup hal-hal yang abstrak (ide, ni;ai-nilai, kerohanian, kebudayaan,  pandangan hidup, dsb)

• Obyek Formal :  :   

cara atau sudut pandang terhadap obyek material

 

obyek formal ilmu akan membedakannya dengan ilmu- ilmu lain

   

obyek formal ilmu memberikan syarat-syarat dan metode kerja yang spesifik misal: “manusia” dapat ditinjau dari berbagai macam obyek formal (kedokteran, sosiologi, anthropologi, psikologi, dsb)

 

setiap bidang ilmu memiliki cara kerja dan metode tertentu = otoritas/otonomi keilmuan (wewenang untuk mengembangkan ilmu tanpa campur tangan pihak lain) Ilmu dan filsafat-09

 

 

Hubungan Filsafat dan Ilmu

Hubungan Ilmu dengan Filsafat pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Dan filsafat merupakan induk dari segala ilmu karena berbicara tentang abstraksi/sebuah yang ideal. 

Filsafat tidak terbatas, sedangkan ilmu terbatas sehingga ilmu menarik bagian filsafat agar bisa dimengerti oleh manusia. 

Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang terstu padukan, komprehensip (tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar bidang filsafat) dan konsisten uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontardiksi). 

Pada hakikatnya filsafat dan ilmu saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksi, ingin tahu, dan dilandasi kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mampu mempertanyakan asumsi, kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri. 

 

Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat dan membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Filsafat dapat memperlancar

integrasi an antara tara ilmu ilmu-ilmu -ilmu yang dibutuh dibutuhkan. kan. Filsafat

adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain.

 

Ilmu merupakan konkritisasi dari filsafat. Filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (kesemestaan).  Sebagai fenomena ilmu filsafat dapat dilihat dari tema besarnya, yaitu, ontologi (Definisi, pengertian, konsep, mengkaji keberadaan sesuatu, membahas tentang ada, yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual, transendental, atau pun metafisis), epistemologi (Substansi, membahas pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu membutuhkannya), membutuhkannya), dan aksio aksiologi logi (manfaat, membahas kaidah n norma orma dan nilai yang ada pada manusia). 

A.

Dasar-Dasar

Ilmu 

Filsafat

Menurut Suriasumantri (1996), paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan kajian tentang dasar-dasar filsafat ilmu, antara lain: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran.

1.

Berikut

ini

akan

dijelaskan

keempat

hal

tersebut

Penalaran 

 

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu  pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas p amungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju

keunggulan

hidup

(civilization).

Diantara Dia ntara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu  benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit.

1987;

Sztompka,

P.

1993).

Para ahli filsafat ilmu berpandangan, bahwa diantara faktor kunci manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan adalah ditentukan oleh dua faktor kunci, yaitu: (1) manusia mempunyai kemampuan dalam mengembangkan bahasa, dan dengan bahasa tersebut manusia mampu mengkomunikasikan secara efektif jalan pikiran atau kerangka pikir serta segala  penemuan dari produk pikirannya kepada orang lain; dan (2) manusia manu sia mampu mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional, logis, dan sistematis. Kemampuan berpikir berdasarkan kaidah-kaidah kaidahkaidah tertentu (misalnya rasional, logis dan sistematis) itulah sering disebut ‘penalaran’ (Tim Dosen Filsafat. 2002).Menurut Suriasumantri (1996), penalaran adalah: (a) merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran; dan (b)  proses penemuan kebenaran tersebut antara individu satu dengan yang lain berbeda-beda tergantung pendekatan berpikirnya, atau tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing. Berdasarkan pengertian tersebut maka hakikat penalaran mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat

 

disebut logika. Atau kegiatan penalaran merupakan suatu ‘proses berpikir   logis’. Berpikir logis adalah kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu (misalnya: logika deduktif atau logika induktif); (2) sifat penalaran adalah analitik dari proses berpikirnya, artinya,  penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian

juga

penalaran

lainnya

yang

mempergunakan

logikanya

tersendiri

pula.

Menurut para ahli filsafat ilmu pengetahuan, bahwa sejatinya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan: (a) perasaan, emosi yang sering disebut ‘intuisi’. Kegiatan berpikir secara intuisi sering disebut berpikir secara nonanalitik; dan (b) ‘wahyu’, atau firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari. Jadi,  berdasarkan ‘hakikat proses usaha’ manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka  pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a)  pengetahuan sebagai seba gai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia; dan (b) pengetahuan sebagai pemberian ‘wahyu’ dari Tuhan. Hal ini sering disebut ‘pengetahuan agama’ (Suriasumantri,

1.

1998;

Hanafi,

H.,

2004).

Logika 

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga dan keempat, bahwa pengertian logika adalah ‘cabang filsafat ilmu yang melakukan kajian tentang cara berpikir sahih (valid), runtut, dan benar berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum-hukum hukum- hukum tertentu’ (Copi, I.M. 1978; The Liang Gie, dkk. 1979; Soekadijo, R.G. 1983). Secara umum ada dua macam logika, yaitu: (1) logika formal atau logika deduktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip prinsip -prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan diturunkan dari pangkal pikiran’. Atau ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas asas -asas atau hukumhukum dalam berpikir, hukum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006); dan (2) logika material atau logika induktif, logika  induktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip prinsip -prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi’. Atau logika induktif atau logika material juga sering disebut ‘metode‘metode -metode Ilmiah’  Ilmiah’  (Bakry, N. 1995; Salam, B. 1997).

 

  Logika dedukif, merupakan kegiatan berpikir dengan kerangka pikir dari pernyataan yang  bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih leb ih bersifat khusus, atau penarikan kesimpulan dari dalil atau hukum menuju contoh-contoh. Penarikan kesimpulan dari logika formal biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme secara umum disusun dari dua  buah hal, yaitu: (a) term atau pernyataan, berupa pernyataan pertama yang menjadi subjek (S) dan pernyataan kedua menjadi predikat (P); dan (b) sebuah kesimpulan (K). Contoh: (a)  –  Semua  Semua  binatang karnifora adalah pemakan daging (premis mayor) (S);  –   Harimau adalah binatang karnifora (premis minor) (P); –  (P);  –  Jadi,   Jadi, Harimau binatang pemakan daging (kesimpulan) (K); (b)  –   Semua manusia adalah makhluk yang mengenal kematian (premis mayor) (S);  –   Sementara makhluk rasional adalah manusia (premis minor) (P); Jadi, sementara makhluk rasional adalah makhluk yang mengenal mati (kesimpulan) (K). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menyusun silogisme itu harus memuat tiga hal, yaitu: term atau pernyataan pertama sebagai subjek (S); pernyataan (term) kedua sebagai predikat (P) dan ketiga adalah kesimpulan (K). Pada hakikatnya kedua pandangan tersebut adalah sama, baik yang mengatakan silogisme itu terdiri dari dua atau tiga unsur. Uraian tentang silogisme dan beragam macamnya telah dijelaskan pada  bab

III

di

atas

(mohon

diperiksa

kembali).

Logika induktif, merupakan cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari kasus khusus atau contoh menuju kasus umum atau dalil atau hukum atau kesimpulan umum. Orientasi filosofis dari logika induktif adalah lebih mengarah me ngarah ke aliran empirisme, sedangkan orientasi filosofis dari logika deduktif adalah lebih ke arah aliran rasionalisme atau positivisme. Contoh logika induktif antara lain:  –   Kucing adalah binatang pemakan daging (karnifora);  –   Hiramau adalah binatang  pemakan daging (karnifora); (k arnifora); Serigala adalah binatang pemakan daging (karnifora); Jadi, Kucing, Harimau

1.

dan

Bahasa

Serigala

sebagai

adalah

sarana

binatang

berpikir

karnifora.

ilmiah 

Diantara salah satu predikat manusia yang penting adalah sebagai homo symbolicum (makhluk simbolik). Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang paling multiaspek, multidimensi dalam menggunakan simbol-simbol dalam bentuk beragam bahasa, dan bahkan bahasa menjadi

 

aspek yang paling sentral dalam proses-proses sosial di masyarakat. Bahasa dapat dicirikan sebagai: (a) serangkaian bunyi (bahasa verbal); dan (b) bahasa merupakan lambang dimana rangkaian

bunyi

itu

membentuk

suatu

arti

tertentu.

Berikut ini beberapa konsep penting tentang keberadaan bahasa dalam proses kehidupan manusia, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari antara lain:

1. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Simbol bahasa yang  bersifat abstrak tersebut memungkinkan manusia ma nusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut dari generasi

ke

generasi.

2. Setiap bahasa yang dijadikan sebagai media komunikasi mengandung dua aspek, yaitu: aspek informatif (informasi tentang segala sesuatu), dan aspek imotif (mengandung perasaan dari para individu yang berinteraksi). Oleh karena itu sejatinya bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi mengadung tiga unsur, yaitu: buah pikiran individu; cerminan perasaan individu; dan sikap atau tindakan individu yang berinteraksi. Jadi, dengan bahasa manusia tidak hanya bisa  berpikir, tetapi dapat juga untuk mengkomunikasikan me ngkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan, dia rasakan kepada

orang

lain.

3. Bahasa membuat manusia mampu hidup dalam proses pengalaman demi pengalaman empirik, kemudian merekamnya dengan sistematis, logis, dan mampu berada pada dunia pengalaman simbolik yang dinyatakan dalam bahasa. Dengan bahasa manusia mampu memberi arti atau makna pada kehidupannya, arti atau makna yang terpatri dalam dunia simbolik yang diwujudkan melalui

kata-kata

yang

diucapkan

dalam

proses

interaksi

dan

komunikasi.

4. Dengan bahasa manusia mampu menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam pikiran dan alam nyata sehari-hari dalam berbagai teori, seperti elektronik, termodinamik, relativitas dan quantum. Pada hakikatnya tidak ada aspek atau sendi kehidupan manusia yang tidak  berhubungan dengan bahasa, karena manusia berpikir melalui bahasa, dan melakukan aktivitas sosial juga menggunakan sarana bahasa, serta berkomunikasi dengan sesamanya dan Tuhannya  juga

dengan

bahasa.

5. Para filosof mengatakan, ‘bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia  berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan seakan- akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini’.

 

Manusia tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Bahasa sebagai alat atau sarana utama dalam membangun peradaban (civilization) hidup. Dengan bahasa manusia akan mampu menemukan jati dirinya, dan dengan bahasa manusia juga mampu mengembangkan

penelitian

ilmiah

(scientific

research)

secara

berkelanjutan.

6. Bahasa merupakan abstraksi dari suatu budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Apabila manusia ingin mengkaji atau meneliti suatu karya budaya masyarakat atau bangsa tertentu, dipastikan dia tidak akan bisa apabila tidak memahami bahasa yang dimiliki oleh masyarakat atau bangsa yang ditelitinya. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu dalam

hidup

ini

menjadi

jelas

untuk

dipahami

manusia.

7. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui kegiatan atau komunikasi ilmiah. Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus bebas dari unsur-unsur imotif, ideologis dan kepentingan subjektivistik. Jadi, komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif yang bersifat objektif (Suriasumantri, J.S.,1996; Sumaryono, 1999). Meskipun dalam studi ilmu sosial, psikhologi atau kebudayaan sebagian ahli mengatakan sulit dicapai derajat objektivis, peneliti sosial-budaya tetap dituntut untuk secara  jujur mengkomunikasikan atau menjelaskan dengan bahasa yang jelas, logis tentang proses analisis

data

dalam

penelitian

ilmiahnya.

Uraian tersebut di atas menyimpulkan, bahwa: (a) manusia tidak akan mampu bertahan dalam hidup tanpa bahasa, karena seluruh proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masyarakat sejatinya tidak lepas dari peran dan fungsi bahasa; (b) manusia bisa berpikir dengan baik karena  bahasa; manusia berbicara dengan orang lain tentang segala sesuatu d dalam alam hidup dengan bahasa; dan manusia mengerti tentang sesuatu kemudian menginterpretasi serta mengambil kesimpulan tentang sesuatu juga dengan bahasa; (c) manusia mewariskan dan melestarikan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya juga dengan bahasa; dan (d) manusia mengembangkan segala ilmu  pengetahuan-teknologi

1.

Logika,

dalam

hidup

matematika

juga

dengan

dan

bahasa.

statistik  

Suatu penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Menurut Wittgenstein dalam Suriasumantri (1996), bahwa matematika pada dasarnya merupakan

 

hasil dari metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam  perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika. Jadi, matematika adalah ‘masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika’. Oleh karena itu hubungan hubunga n logika dan matematika adalah sangat erat, keduanya sulit dipisahkan, bagaikan dua sisi dalam satu

Metematika

keping

sebagai

bahasa,

mata

mengandung

arti

matematika

uang.

adalah:

(a)

bahasa

yang

melambangkan makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan, Lambang-lambang matematika bersifat ‘artifisial’, yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna atau pengertian diberikan kepadanya; dan (b) bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan

emosional

dari

bahasa

verbal.

Sifat kuantitatif dari matematika mempunyai makna bahwa: (a) matematika mengembangkan  bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif; (b) sifat kuantitatif dari matematika akan meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu  pengetahuan. Oleh karena itu pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu  pengetahuan alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu humaniora adalah membutuhkan matematika, hanya saja tingkatan peran matematika dalam ilmu-ilmu alam berbeda dengan ilmu-ilmu sosial atau ilmu humaniora; dan (c) matematika merupakan sarana berpikir deduktif (formal), dan semua ilmu pengetahuan memerlukan kerangka

berpikir

deduktif.

Pada hakikatnya matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif, tetapi tidak semua ahli filsafat sepakat dengan pandangan tersebut, misalnya Immanuel Kant berpendapat, ‘bahwa matematika merupakan pengetahuan ‘sintetik a priori’ dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman manusia’ (Suriasumantri J.S., 1996). Terlepas dari pendapat pro kan kontra tersebut, yang jelas matematika mempunyai manfaat yang sangat besar bagi proses kehidupan manusia karena: (a) hampir semua persoalan kehidupan memerlukan pemecahan masalah dengan angka karena hampir semua aspek kehidupan tidak lepas dari jaringan angkaangka; (b) hampir semua persoalan kehidupan membutuhkan penyelesaian secara objektif atau

 

kuantitatif; dan (c) dengan kehidupan yang ditandai oleh kemajuan Iptek dewasa ini, tidak ada  proses pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak bersentuhan sama sekali sek ali dengan matematika.

Sedangkan mengenai statistik, Suriasumantri (1996) berpendapat, ‘bahwa secara hakiki statistik mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan seperti matematika dalam  penarikan kesimpulan secara deduktif. Jadi matematika itu berpikir secara dedukti, sedangkan statistik berpikir secara induktif. Baik matematika maupun statistik merupakan sarana analisis secara kuantitatif. Statistik juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang  benar-benar

terkait

dalam

suatu

hubungan

yang

bersifat

empiris.

Karakteristik berpikir induktif (statistik) antara lain: (a) dasar teori statistik adalah teori peluang, oleh karena itu statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menarik kesimpulan secara induktif. Jadi, statistik adalah salah satu cara menarik kesimpulan induktif secara valid (sahih); (b) statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menghitung tingkat peluang secara eksak (objektif). Sedangkan menurut bidang pengkajiannya, statistik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, statistik teoritis dan statistik terapan; dan (c)  penarikan kesimpulan secara induktif (statistik) menghadapkan manusia kepada sebuah  permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu kesimpulan (dalil atau teori). Jadi, hubungan antara logika, matematika dan statistik adalah sangat erat. Ada dua macam logika, yaitu logika formal (deduktf) dan logika meterial (induktif), matematika merupakan cara berpikir dengan kaidah logika deduktif (logika formal), sedangkan statistik adalah

dengan

kaidah

logika

induktif

(logika

material).

Menurut para ahli ada perbedaan pengertian penge rtian antara istilah ‘statistik’ dengan ‘statistika’. Statistik  banyak diartikan dia rtikan lebih sebagai alat pengolah data angka, dalam hal ini berarti statistik berfungsi sebagai alat bantu dalam proses analisis data dalam penelitian ilmiah. Sedangkan statistika adalah cabang ilmu yang mengamati dan atau mengembangkan cara-cara mengolah data angka. Jadi, statistik adalah produk dari kerja statistika, atau statistika adalah penghasil statistik (Nurgiyantoro, dkk., 2002). Diantara fungsi atau kegunaan statistik sebagai alat bantu dalam melakukan analisis data penelitian ilmiah antara lain dapat: (a) memperoleh gambaran secara

 

khusus atau umum tentang sesuatu gejala, keadaan dan peristiwa tertentu; (b) melakukan  pengujian, apakah gejala yang satu berbeda dengan gejala yang lain atau tidak berbeda. Jika ada  perbedaan apakah perbedaan itu meyakinkan atau hanya karena kebetulan; (c) mengetahui hubungan antar gejala dan menyusun laporan berupa data kuantitatif secara teratur, ringkas dan  jelas serta sahih (valid); dan (d) menarik kesimpulan secara logis, tepat dan benar, serta dapat meramalkan atau memprediksi fenomena (gejala) yang mungkin akan terjadi di masa depan.

1.

pengetahuan 

Sumber

Uraian tentang sumber pengetahuan telah disinggung secara sekilas pada pembahasan di muka. Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci tentang sumber pengetahuan. Perlu dipahami bahwa, manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia dewasa ini adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena tidak ada aspek atau  bagian dalam kehidupan manusia di d i dunia ini yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih di era modern atau post medern dewasa ini. Suatu masyarakat atau bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi akan mampu menguasai berbagai aspek kehidupan dan mampu mempengaruhi bangsa lain yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan  perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan p engetahuan manusia merasa tidak  puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau  pembaharuan kehidupan (Sztompka, P., 1993), dan sejatinya inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan

perubahan

demi

perubahan

dalam

berbagai

aspek

kehidupan.

 

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah (analitik) maupun melalui perasaan intuisi (nonanalitik); dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber  bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan  penalaran induktif. Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan

positivisme atau

rasionalisme, sedangkan penalaran induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori atau dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil.

Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber  pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam memegang sesuatu yang dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh leluhur bahwa sesuatu itu benar, dan generasi berikutnya menerima apa adanya tanpa membangun sikap kritis terhadap tradisi tersebut; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa memperoleh pengetahuan  baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki otoritas atau kekuasaan di masyarakat, misalnya, tokoh masyarakat atau pemerintahan, tokoh agama, ilmuwan, tokoh  budaya, guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik b aik secara individu atau kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan induktif. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara atau metode ilmu  pengetahuan atau dikenal dengan deng an metode ilmiah atau melalui penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002; Sukardi,

2004).

Prosedur kerja pada cara logika deduktif dan logika induktif, dan prosedur kerja metode ilmiah tersebut sangat berbeda dengan empat cara sebelumnya (cara: tenacity, otoritas, trial and error). Cara atau metode ilmiah (penelitian ilmiah) apabila dibandingkan dengan metode-metode lainnya adalah lebih bisa dipertanggung jawabkan. Metode ilmiah sangat penting bukan saja

 

dalam proses penemuan pengetahuan ilmiah tetapi juga dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan melalui penelitian ilmiah. Menurut Horton and Hunt (1984), ada delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan dalam proses penelitian ilmiah (scientific research) untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan, yaitu: (a) merumuskan  permasalahan (define the problem); (b) meninjau kepustakaan (review the literature) atau kajian teori; (c) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses); (d) merencanakan desain riset (plan the research design); (e) mengumpulkan data (collect the data); (f) menganalisis data (analyze the data); (g) menarik kesimpulan (draw conclusions); dan (h) mengulangi penelaahan (replicate the

study).

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam usahanya untuk mencari atau memperoleh sumber pengetahuan hakikatnya adalah merupakan perpaduan dari prosedur empiris (faham empirisme) dan prosedur rasional (faham rasionalisme). Kerangka dasar atau prosedur ilmiah dalam mencari ilmu pengetahuan paling tidak melalui enam langkah, yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan; (3) penyusunan dan klasifikasi data; (4) perumusan hipotesis; (5) deduksi dan hipotesis; (6) tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis (Suriasumantri, J.S., 1996). Enam langkah tersebut lebih berorientasi pada prosedur mencari ilmu pengetahuan menurut pandangan  positivisme

atau

paradigma

objektivisme

dengan

desain

research

quantitative.

Dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi fenomenanya, dalam hal ini ilmu pengetahuan menampakkan pada realita sebagai berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsen pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimental, komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran ilmiah; dan (3) produk, yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma beserta hasil penerapannya baik  berupa fenomena sosial atau alam. Suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2)

 

 pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap komponen tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S,

1996).

Kedua, dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponenkomponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002).

1.

kebenaran 

Kriteria

Pada bab IV telah disinggung tentang pengertian benar dan pengertian salah. Penjelasan benar dan salah dalam bab IV lebih menekankan pada ‘benar dan salah dalam perspektif logika’, artinya lebih menekankan pada struktur logik, atau struktur penalaran yang logis, atau struktur  bahasa yang digunakan dalam penalaran logis. Sedangkan pada bab V ini, makna kebenaran lebih menekankan pada aspek filosofis atau pandangan (isme) atau sudut pandang teoritik. Jadi, makna kebenaran pada bab IV adalah kebenaran dalam perspektif logika, sedangkan pada bab ini makna

kebenaran

dalam

perspektif

filsafat

ilmu

(teoritik).

Dalam studi filsafat ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’, atau sesuatu itu dikatakan ‘benar’ atau ‘salah’ sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan  pijakannya. Perbincangan Perbincangan tentang beragam ukuran ‘hakikat kebenaran’ sudah dimulai sejak  jaman Plato sampai sekarang. Menurut para ahli, ada tujuh ‘Teori Kebenaran’ yang paralel dengan

teori

pengetahuan

yang

dibangunnya,

antara

lain:

1. Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang  paling awal (tua) yang yan g berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap mengang gap bawa ‘suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya’, atau kebenaran adalah ‘A  belief is called true t rue if it agrees with a fact’. Jadi, J adi, sesuatu itu dianggap benar apabila sesuatu itu

 

sesuai dengan realitas atau praktik-praktik kehidupan sehari-hari atau fakta-fakta yang terjadi di lapangan, demikian juga sebaliknya, sesuatu itu dianggap tidak benar jika tidak ada bukti atau fakta-fakta

yang

mendukung

keberadaan

sesuatu

itu.

2. Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu  pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar’. Jadi, kebenaran dari  pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis, atau suatu ‘prinsip baru’ tentang fenomena tertentu dianggap benar jika ‘prinsip  baru’

tersebut

sesuai

dengan

teori,

dalil,

proposisi

sebelumnya.  sebelumnya. 

Kedua teori tersebut (koherensi dan korespondensi), keduanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi, sedangkan proses pembuktian secara empiris (pengalaman nyata sehari-hari) dalam  bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran

korespondensi.

1. Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu  pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri’, maka menurut teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat dikoreksi oleh pengamalan-pengalaman baru berikutnya. Kebenaran pragmatis sangat tergantung oleh kondisi tempat dan waktunya (space and time), oleh karena itu menurut teori kebenaran  pragmatis adalah ‘hakikat kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi’. Jadi, Kebenaran pragmatis, pragmatis, yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (berguna) bagi kehidupan praktis atau kehidupan sehari-hari dalam suatu kehidupan kelompok. 2. Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, seperti Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’ atau ‘suatu proposisi apabila tidak mengikuti syarat dari hal yang disyaratkan dalam d alam menyusun proposisi yang benar maka proposisi

 

itu

tidak

mempunyai

arti

atau

dianggap

tidak

benar’.   benar’. 

3. Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik (semantis), suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya  pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, 4. Teori

juga

memiliki

arti

Kebenaran Non-Deskripsi. Teori

ini

yang

bersifat

definitif.

dikembangkan oleh penganut

filsafat

fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai  benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat  praktis

dalam

kehidupan

sehari-hari).

5. Teori Kebenaran Logik, yang berlebihan (Logical superfluity Theory of truth). Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena  pada dasarnya apa —   pernyataan — yang yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya (Suriasumantri, J.S., 1996; Team Dosen Filsafat

UGM,

2002).

Uraian di atas menunjukkan tentang ‘makna kebenaran’ menurut sudut pandang ‘teori-teori ‘teori -teori kebenaran’. Jadi, suatu pernyataan atau proposisi itu dianggap benar, antara teori satu dengan teori lain mempunyai kriteria yang tidak sama. Demikian juga makna ‘hakikat kebenaran’ dari segala sesuatu dalam hidup ini menurut ‘aliran’aliran filsafat’ mempunyai makna yang beragam. Misalnya: (a) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran positivisme akan  berbeda sekali apabila dibandingkan dengan menurut aliran idealisme; dan (b) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran materialisme akan berbeda sekali jika dibandingkan dengan menurut aliran teologisme, dan sebagainya (lihat kembali pembahasan di  bab

B.

pertama).

Hakikat

Ilmu

Pengetahuan 

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan

 

masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S, 1994). Dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu,

2002;

Kerlinger,

2002).

Semua ilmu pengetahuan (science) itu pada dasarnya memiliki tiga landasan utama atau landasan filosofis, yaitu: Ontologi (membahas tentang hakikat objek yang dikaji); Epistemologi (membahas secara mendalam proses atau metode dan prosedur dalam memperoleh ilmu  pengetahuan); Aksiologi (membahas tentang manfaat yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan satu dengan ilmu  pengetahuan yang lain dapat dilihat dari: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. (Suriasumantri, 1996). Secara khusus ketiga landasan ilmu tersebut akan dibahas dalam uraian berikutnya.

Menurut para ahli, tujuan ilmu pengetahuan (science) meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektif, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman,  prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah.

Sedangkan mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurut Driyarkara, dalam Sudiarja, dkk (2006) dijelaskan, bahwa pembagian ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain:

1. Menurut tujuannya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua yaitu: pure science (ilmu murni); dan apllied science (ilmu terapan). Pure science, adalah hanya ingin mengerti keberadaan yang sebenarnya saja, dan pertama-tama tidak diusahakan untuk dipergunakan dalam kehidupan

 

sehari-hari. Sedangkan apllied science, adalah ilmu yang diterapkan, dipergunakan, dan langsung ditunjukkan kepada pemakaian pengetahuan itu. Jadi, apllied science menentukan bagaimana orang harus berbuat sesuatu, bagaimana cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pure science dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) monotetis, yaitu menetapkan hukum-hukum yang universal, mempelajari objeknya dalam keabstrakannya, dan mencoba menemukan unsur-unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataannya yang kongkret, kapan dan dimana saja. Contoh, ilmu murni monotetis adalah: ilmu alam, sosiologi, kimia, ilmu hayat; (b) ideografis (melukis), yaitu mempelajari objeknya dalam kongkretnya, menurut tempat dan waktu tertentu dengan sifat-sifatnya yang menyendiri. Contoh, ilmu murni ideografis adalah: sejarah, etnografi, sosiografi.

Apllied science, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) normatif, yaitu ilmu yang menjelaskan  bagaimana manusia harus berbuat, atau ilmu yang membebankan beragam kewajiban dan larangan dalam proses kehidupan, baik secara individu atau kelompok. Contoh ilmu normatif adalah pelajaran etika atau moral atau kesusilaan; (b) positif, yaitu ilmu yang menjelaskan  bagaimana manusia harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang  berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Contohnya, pertanian, teknik atau  pertukangan,

kedokteran,

akuntasi.

1. Menurut objeknya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) universal (umum); dan (b) khusus. Ilmu pengetahuan umum (universal) adalah ilmu yang objek kajiannya menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, misalnya: Teologi, Agama dan Filsafat. Objek kajian teologi (agama) dan filsafat adalah menyangkut hakikat segala sesuatu dalam hidup. Sedangkan ilmu pengetahuan khusus, yaitu ilmu yang objek kajiannya hanya menyangkut bidang kajian tertentu (objeknya terbatas), inilah yang biasanya disebut ‘ilmu pengetahuan’, yang meliputi: (a) ilmu-ilmu alam (natural sciences), misalnya: ilmu alam, fisika, kimia, biologi; (b) ilmu pasti (mathematics), misalnya ilmu pasti, ukur, hitung, aljabar; (c) ilmu-ilmu psikologi, sosial dan budaya, misalnya: ilmu jiwa, sejarah, sosiologi, antropologi, komunikasi, politik, hukum pendidikan, ekonomi, ilmu bahasa dan sebagainya. Masing-masing disiplin ilmu  pengetahuan tersebut mempunyai fokus kajian atau objek kajian yang tidak sama.

 

  Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa konsep penting yang dapat diambil kesimpulan tentang hakikat

ilmu

pengetahuan

(science)

antara

lain:

1. Science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai

dari

kepastian

absolut

seperti

dalam

ajaran

agama.

2. Science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat gaib, melainkan berkaitan dengan data-data

empirik

atau

nyata.

3. Penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam yang bersifat empirik atau fenomena empirik. 4. Kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil  penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983),  bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap

positif.

Pada

tahap

positif

inilah

berkembangnya

ilmu

pengetahuan.

5. Kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn,

T.,

1970),

melalui

penelitian

terbaru

yang

menghasilkan

teori

baru.

6. Kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya (Keraf.S dan Dua, M.,2001). Oleh karena itu proses research yang berorientasi filosofis positivisme akan cenderung menghasilkan kesimpuan yang berbeda dengan research yang berorientasi filosofis idealisme.

C.

Hakikat

Ontologi

Ilmu  

Hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh ole h suatu ilmu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk -bentuk -bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek   – objek objek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya (Suriasumantri, J.S.,1996). Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang;

 

keterbatasan

science;

dan

keterpaduan

science-religious

suatu

keniscayaan.

Metafisika 

1.

Menurut Aristoteles, metafisika merupakan cabang ilmu filsafat teoritis yang membahas tentang ‘masalah hakikat segala sesuatu’, sehingga metafisika oleh para ahli dianggap sebagai ‘inti dari ‘inti  dari filsafat’. Persoalan metafisika merupakan sesuatu yang paling mendasar (fundamental) dalam  proses kehidupan manusia (Langeved, 1961; Drijarkoro, 1977). Cabang-cabang metafisika sebagai inti dari ilmu filsafat menurut Kattsoff (1996) adalah: (a) Ontologi (membicarakan tentang: ‘ada’, ‘eksistensi’, ‘substansi’, ‘realita’, atau hakikat ada); dan (b) Kosmologi (membicarakan

tentang:

‘ruang’,

‘waktu’,

‘gerakan’).   ‘gerakan’). 

Metafisika adalah ‘landasan dan pijakan’ berpikir setiap pemikiran filsafat. Dunia yang kelih atan nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang ‘hakikat apa atau hakikat kenyataan’. Apakah hakikat kenyataan ini sebenarnya?. Dari pertanyaan tersebut muncullah  beberapa tafsiran metafisika untuk menjawab hakikat hak ikat apa atau hakikat kenyataan kehidupan ini.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kenyataan alam ini?, terdapat dua jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kenyataan alam, antara lain: (1) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh ‘kekuatan  ‘kekuatan  gaib’. Alam tidak mempunyai kekuatan apa-apa, apa-apa, yang  punya kekuatan adalah kekuatan gaib (supra natural). Dari sini muncul keyakinan animisme, dinamisme, politheisme, monotheisme. Paham seperti ini termasuk pandangan dari aliran teologisme; (2) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh kekuatan yang terdapat ‘dalam alam itu sendiri, tidak ditentukan oleh faktor eksternal’, bukan oleh kekuatan gaib. Paham ini disebut paham naturalisme, yang memunculkan prinsip materialisme dan eksistensialisme.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kehidupan manusia itu?, terdapat dua  jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kehidupan manusia, antara lain: (1) paham mekanistik, mengatakan semua fenomena kehidupan (termasuk manusia dan binatang tumbuhtumbuhan) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata; (2) paham vitalistik, mengatakan hakikat kehidupan adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses kimia-

 

fisika. Dari kajian tentang hakikat manusia, maka muncul pertanyaan apakah kebenarannya hakikat pikiran manusia? Dari pernyataan ini muncul dua aliran, yaitu: (1) aliran monistik, yang  berpandangan bahwa: ‘tidak ada beda antara pikiran dan zat (benda); ide dan benda punya substansi yang sama; proses berpikir dianggap aktivitas aktivitas dari zat atau benda’; (2) aliran dualistik, aliran ini kebalikan dari aliran monistik. Aliran dualistik membedakan antara zat atau benda dengan kesadaran, jiwa (pikiran). Wujud jiwa atau pikiran merupakan mentalitas (tidak tampak), sedangkan

zat

adalah

benda

(sangat

nampak).

Jadi, paham atau aliran tersebut itulah yang dijadikan dasar dalam menjawab hakikat apa, hakikat kenyataan atau hakikat objek ilmu. Contoh. (1) pertanyaan tentang apa hakikat kenyataan kehidupan ini?. Dari pertanyaan ini muncullah paham: (a) teologi, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah ciptaan Tuhan dan manusia harus taat kepada Tuhan. Kekuatan spiritual merupakan infra struktur (pondasi hidup), sedangkan semua selain spiritual adalah supra struktur (perwujudan atau penjelmaan pondasi hidup); (b) materialisme, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah materi atau atau pemenuhan kebutuhan materi. Sesuatu yang bukan materi adalah kosong. Materi adalah infra struktur, sedangkan jiwa adalah supra struktur (jelmaan dari materi); (2) pertanyaan tentang apa hakikat objek suatu ilmu?. Dari  pertanyaan tersebut muncullah beragam paham, misalnya: (a) paham monistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan ide yang tunggal; (b) paham dualistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan benda yang menampilkan eksistensi yang berbeda.

Asumsi 

2.

Asumsi dalam perspektif filsafati, mengandung makna ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini. Apakah kehidupan ini bersifat deterministik?, atau apakah hakikat kehidupan ini  bersifat liberalistik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat probabilistik (kemungkinan determistik

atau

liberalistik)?.

Ketiga masalah makna anggapan dasar tentang hakikat hidup tersebut, akan dijawab oleh tiga asumsi hidup yang bersifat deterministik, atau liberalistik dan atau probabilistik, dengan  penjelasan sebagai berikut: (a) paham deterministik dikembangkan oleh William Hamilton dari

 

doktrin Thomas Hobbes. Konsep pokok dari paham ini menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Paham ini menilai bahwa manusia ditentukan, dipengaruhi (terdeterminasi) oleh faktor eksternal, dan faktor eksternal itu adalah ilmu pengetahuan. Jadi paham determinisme tentang hakikat ilmu adalah ‘ilmu sebagai kekuatan dalam mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia’; (b) paham liberalistik (pilihan bebas), adalah pandangan yang menempatkan manusia mempunyai kemampuan untuk bebas memilih jalan atau langkah hidup, bebas berkehendak. Pandangan ini memunculkan paham eksistensialisme. Menurut paham ini (liberalis) adalah ‘sangatlah tidak  benar meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual itu di bawah kekuatan (tirani) pengetahuan yang bersifat umum’ (seperti (seperti pandangan deterministik). Dengan kemampuan berpikir dan menyimpan beragam pengalaman hidup serta kemampuan dalam memprediksi gejala, manusia bebas melakukan aktivitas hidup; (c) paham probabilistik, inti  pokok dari paham ini dalam memaknai ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini adalah ‘bahwa hakikat hidup manusia kemungkinan bisa deterministik dan kemungkinan bisa liberalistik’, peluang manusia untuk menjadi salah satu (determinis atau liberalis) adalah sama  besarnya.

Menurut para ahli, selain ketiga pandangan tersebut ada satu prinsip dalam memaknai ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini yang berkaitan dengan ilmu, yang harus diperhatikan yaitu ‘hakikatnya ilmu itu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan  pengetahuan  penget ahuan yang bersifat mutlak atau kebenaran absolut’, karena hakikat kebenaran ilmu  pengetahuan itu adalah bersifat relatif dan masih memberikan peluang untuk salah dalam memberikan angggapan dasar tentang hakikat kehidupan, atau asumsi ilmu pengetahuan masih  berpeluang

salah.

Dalam mengembangkan asumsi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (a) asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian ilmu. Asumsi harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; dan (b) asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan semagaimana adanya’ (merupakan telaah ilmiah), bukan dari ‘bagaimana keadaan itu seharusnya (telaah moral). Jadi, rumusan asumsi terhadap suatu fenomena harus berdasarkan pada landasan teori tertentu, dan sesuai dengan realitas (fakta) serta tidak didasarkan oleh pertimbangan emosi

 

atau

pertimbangan-pertimbangan

subjetivistik.

Peluang 

3.

Makna ‘peluang’ dalam perspektif kehidupan manusia sehari-hari sehari -hari sejatinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, makna ‘peluang’ yang melekat dengan ‘perjuangan atau ikhtiar’ hidup manusia. Dalam perspektif ini segala kehidupan manusia di dunia ini hakikatnya adalah ‘serba mungkin’, tergantung tingkat kualitas perjuangan dan ikhtiar manusia itu sendiri. Hakikat keberadaan manusia dalam hidup banyak faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor kualitas  pemberdayaan potensi internal (kondisi fisik dan psikisnya, apakah bermutu atau tidak), faktor eksternal (kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya, apakah menunjang atau menghambat) dan faktor supranatural (kekuatan di luar diri manusia dan lingkungan alam). Segala pola aktivitas manusia dalam hidup sama-sama punya peluang kearah: (a) lebih dominan pada kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup; atau (b) lebih dominan  pada keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup. Jadi, setiap manusia punya peluang sama untuk bisa berhasil atau gagal, dan faktor penyebab keberhasilan

atau

kegagalan

seseorang

itu

bersifat

multi

aspek.

Ketika manusia dalam menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya dengan didasarkan pada kualitas sikap mental: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif-negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui  pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah keberhasilan, kebahagiaan,

kesuksesan,

kemakmuran,

dan

peradaban

(civilization)

hidup.

Demikian sebaliknya ketika manusia dalam menjalani aktivitas kehidupan dibidang apa saja tanpa didasarkan oleh kualitas dalam hal: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah kegagalan,

penderitaan,

kesengsaraan,

dan

kehancuran

(destruktif)

hidup.

 

  Kedua, makna ‘peluang’ yang melekat pada ‘esensi keterbatasan manusia dan adanya kekuatan diluar diri manusia (supranatural). Dalam perspektif ini hakikat segala sesuatu dalam kehidupan di dunia ini adalah ‘serba mungkin’. Manusia tidak bisa memastikan segala sesuatu secara mutlak. Setiap rancangan dan tindakan apapun yang dilaksanakan manusia meskipun sudah sangat baik berdasarkan kriteria ilmiah, tetap saja memberikan peluang sekian persen untuk gagal atau tidak memenuhi target secara seratus persen. Contoh: (a) secara empirik berdasarkan  perhitungan ilmu astronomi secara eksak tanda-tanda akan turun hujan telah lengkap, hal ini tetap memberikan peluang 0,5 % atau lebih untuk bisa terjadi tidak turun hujan; (b) secara medis (analisis ilmu kedokteran) penderita gagal ginjal kronis yang divonis akan meninggal satu tahun lagi, tetap memberikan peluang untuk hidup lebih dari satu tahun lagi. Oleh karena itu setiap analisis statistik dalam penelitian ilmiah tetap memberikan statdar eror 1 % atau lebih dalam hal keakuratan

proses

analisis

datanya.

Jadi, berdasarkan uraian di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) bertindak berdasarkan  prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah diikuti tindakan dan mentalitas positif (kualitas mentalitas individu) akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah keberhasilan, demikian juga sebaliknya, ketika setiap perbuatan manusia tidak berdasarkan prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah dan tidak diikuti sikap mental positif akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah kegagalan hidup; dan (b) meskipun segala tindakan atau anggapan atau penilaian seseorang tentang sesuatu sudah berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dengan sikap mental positif tetap saja ‘ada peluang’ eror atau tidak sesuai  sesuai   dengan apa yang ‘dirancang, dinilai, dianggap’ sebelumnya. Hal ini terjadi karena hakikat keberadaan manusia adalah makhluk yang punya kelebihan

dan

4.

kekurangan.

science 

Keterbatasan

Ilmu pengetahuan (science) yang dibangun diatas kerangka berpikir ilmiah, dihasilkan melalui  proses penelitian ilmiah, dan terus dilakukan revisi melalui penelitian lanjutan, tetap memiliki  beberapa keterbatasan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka beberapa prinsip yang dapat dipahami

berkaitan

dengan

keterbatasan

sciences

antara

lain:

 

  1. Hakikat batas-batas penjelajahan ilmu (science) adalah pada pengalaman manusia dan akan  berhenti di batas pengalaman manusia itu sendiri. Di luar pengalaman dan jangkauan nalar manusia bukan medan penjelajahan ilmu pengetahuan. Misalnya apa yang terjadi setelah kematian manusia, surga dan neraka, dan sebab musabab kejadian manusia bukan medan kajian ilmu

pengetahuan.

2. Alasan mengapa medan kajian ilmu pengetahuan hanya pada aspek pengalaman manusia, karena fungsi ilmu pengetahuan sendiri hanya sebagai alat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang nyata di dunia, dan metode pembuktian ilmu pengetahuan sendiri yang menuntut adanya kebenaran empiris, sementara ada sesuatu dalam kehidupan ini yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, sesuatu yang berada dijangkauan science, misalnya ruh manusia, cara kerja

milyaran

syaraf

dalam

tubuh

manusia.

3. Apabila manusia merenungkan tentang hakikat kehidupan manusia secara makro, berarti  batas-batas penjelajahan ilmu pengetahuan itu sangat san gat sempit, karena dunia du nia dengan segala isinya isin ya ini hakikatnya sangat sedikit yang bisa dibuktikan secara nyata, rasional dan empiris. Misalnya, tentang fenomena jagat raya dengan jutaan planet dan segala isinya, jangkauan ilmu pengetahuan untuk

menjelajahnya

sangat

terbatas.

4. Dari ruang lingkup yang sempit itu, kemudian ilmu pengetahuan dikapling menjadi bagian bagian yang lebih kecil, yaitu: filsafat ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural philosophy sciences), dan filsafat ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social philosophy sciences). Pembagian tersebut juga masih belum mampu menjelaskan segala fenomena osial dan fenomena alam yang  begitu

sangat

luas,

kompleks

dan

dinamik.

5. Dari pembagian tersebut kemudian ada pengelompokan ilmu-ilmu murni dan ilmu-ilmu terapan, serta masing-masing terdapat pembagian yang lebih khusus pada cabang-cabang ilmu  pengetahuan baik dalam ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial. Hakikat keberadaan beragam ilmu pengetahuan tersebut sejatinya adalah saling melengkapi dan saling memberi

5.

arti

atau

Keterpaduan

makna

bagi

science-religious

kehidupan

suatu

ummat

manusia.

keniscayaan 

Beberapa konsep penting yang menunjukkan hubungan antara ilmu atau ontologi ilmu dan

 

agama

merupakan

suatu

keniscayaan,

antara

lain:

1. Filsafat ilmu tidak mempersoalkan hubungan pandangan terhadap aktivitas ilmiah dengan halhal gaib, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu agama mendorong manusia agar termotivasi untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan nilai-nilai moral keagamaan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Sang Khalik. Karena hakikatnya tidak semua fenomena alam di jagat raya dan fenomena psikologis manusia bisa didekati secara empiris, oleh karena itu dalam rangka memperoleh pemaknaan hidup secara komprehensif tentang ‘hakikat segala sesuatu’ maka pengembangan ilmu harus dibantu dengan nilai-nilai agama. Jadi, sejatinya keterbatasan science dalam mencermati hakikat fenomena hidup, justru semakin mendorong setiap ilmuwan untuk mengkaitkan science dengan agama demi meraih tingkat keunggulan manusia dalam hidup dan demi mendekatkan diri kepada Tuhan. 2. Hakikat objek dan tujuan fungsional setiap ilmu pengetahuan (baik ilmu sosial atau alam) adalah relatif sama dengan objek dan tujuan agama, yaitu sama-sama memberdayakan segala unsur yang ada dalam kehidupan ini untuk kemajuan, kualitas dan kemakmuran hidup ummat manusia. Demikian juga hakikat orientasi filosofis antara ilmu dan agama adalah relatif sama, yaitu mewujudkan ‘kebahagiaan dan kedamaian hidup hakiki bagi manusia’. Oleh karena itu, dalam memaknai hakikat objek kehidupan ini diperlukan pendekatan keterpaduan science, filsafat dan agama. Memadukan pendekatan science dan religious dalam pengembangan  pengetahuan ilmiah, tidak berarti mendogmakan ilmu, karena dalam ajaran agama banyak halhal yang bersifat tidak absolut, atau hal-hal yang bersentuhan dengan realitas kehidupan seharihari (empirik), baik menyangkut kehidupan alam maupun kehidupan sosial budaya, atau banyak sekali prinsip ajaran dalam agama yang bersifat praktis dan rasional (Rasjidi, 1965). 3. Pada hakikatnya, objektivitas dalam ilmu pengetahuan bukanlah bersifat objektivistik. Objektivitas dalam ilmu pengetahuan masih tetap terjamah oleh kepentingan, motivasi, tujuan yang bersifat subjektif dan aspiratif seorang ilmuwan, karena hakikatnya tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu tanpa campur tangan kepentingan psikologis manusia yang sangat kompleks, fleksibel, dinamik, unik dan situasional. Seorang ilmuwan natural science dalam memilih masalah yang akan dibidik untuk diteliti dan dalam menetapkan rancangan research akan tetap melibatkan kapasitas dan pergolakan jiwa dan pikirannya yang subjektif dan unik,

 

itulah sebabnya antara ilmuwan natural science satu dengan yang lain akan tetap menampilkan keberagam selera dalam mencermati fenomena alam, sehingga muncul beragam spesialisasispesialisasi ilmu. Jadi, hakikat pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan pernah bebas dari nilai (value free), disini membuktikan adanya hubungan antara science dengan value. 4. Pandangan ilmiah yang disimpulkan dari pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia mempunyai padanan atau hampir sejalan dengan paham teologi dalam masalah takdir dan ikhtiar. Paham kausalitas sejalan dengan keyakinan free will (qadariyah). Pandangan bahwa gejala alam dan kehidupan tidak beraturan (stokastik atau accidental) sejalan dengan paham  jabariyah. Paham teologi ilmuwan hampir tidak ada yang sepenuhnya fatalistis (Jabariyah) dan d an sepenuhnya free will (daqariyah). Pada umumnya mereka berpaham bahwa manusia diperintahkan berusaha memaksimalkan segala potensi yang dimiliki dalam kehidupan dan bila kemudian tidak berhasil, barulah mengembalikannya kepada ketentuan Tuhan (Mutahhari, 1997; Drijarkara,

D.

N.,1978;

Hakikat

Agus,

Epistemologi

B.,

1999).

Ilmu 

Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu  pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data diatas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing’. masing- masing’. Dan perlu perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).

Dalam rangka memahami hakikat epistemologi, maka berikut ini akan diuraikan tentang: Pengetahuan; Metode ilmiah; Struktur ilmu pengetahuan, dan Beberapa konsep tentang  penelitian

ilmiah.

 

Pengetahuan 

1.

Penjelasan tentang ‘pengetahuan’ telah dijelaskan pada sub bab hakikat ilmu pengetahuan di atas, yaitu meliputi komponen ilmu pengetahuan, tujuan ilmu pengetahuan, klasifikasi ilmu  pengetahuan, dan hakikat ilmu pengetahuan, oleh karena itu pada bagian ini tidak akan dijelaskan ulang tentang konsep-konsep tersebut (periksa kembali uraian di atas). Pengetahuan hakikatnya merupakan ‘segenap ‘segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, seni dan agama (Suriasumantri, J.S. 1996; Agus, B.1999; Sumarna, C., 2006;

Tafsir,

A.

2007).

Setiap jenis pengetahuan hakikatnya mempunyai ciri-ciri dalam membangun ilmu pengetahuan yang bersifat spesifik berkaitan dengan ‘apa’ (ontologi), ‘bagaimana proses’ (epistemologi) dan ‘untuk apa’ (aksiologi) pengetahuan itu. Ketiga landasan tersebut saling kait mengkait, bagaikan sebuah ‘sistem’, disamping itu ketiga landasan landasan tersebut yang membedakan antara disiplin ilmu  pengetahuan

satu

dengan

yang

lainnya.

Ilmu, seni dan agama mempunyai medan kajian yang berbeda. Ilmu mencoba untuk mencarikan  penjelasan mengenai fenomena sosial-budaya dan alam untuk menjadi suatu kesimpulan yang  bersifat umum dan impersonal. Sedangkan seni dan agama lebih bersifat individual, subjektif dan  personil, artinya kerangka pengembangan seni dan agama lebih banyak diwarnai oleh aspek individual,

1.

subjektif

dan

Metode

personil.

ilmiah 

Pada pembahasan di bab IV telah disinggung tentang pengertian metode dan beberapa fungsi metode dalam kerangka logika formal maupun logika material (mohon diperiksa kembali). Berikut ini dijelaskan beberapa prinsip yang perlu dipahami tentang metode ilmiah, antara lain:

1. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu  pengetahuan. Sedangkan metodologi ilmiah, merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah, atau ‘ilmu tentang cara-cara cara -cara memperoleh pengetahuan

 

ilmiah’ (Kerlinger, F.N. 1980). Metodologi ilmiah inilah secara filsafati disebut epistemologi ilmu. 2. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk mencari kebenaran ilmiah. Dalam filsafat ilmu, kebenaran ilmiah seharusnya merupakan perpaduan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Hakikatnya kebenaran ilmiah yang hanya mendasarkan pada kerangka berpikir deduktif atau logika formal (kriteria kebenaran koherensi) tidak akan pernah sanggup melakukan kesimpulan dari kajian ilmiah secara komprehensif dan final, oleh karena itu diperlukan perpaduan dengan kerangka berpikir secara induktif atau logika material (kriteria kebenaran korespondensi). Hal ini disebabkan hakikat realitas kehidupan selalu tampil dalam wujud pluralistis atau multidimensional. Bahkan selain kerangka berpikir secara deduktif dan induktif masih belum cukup, masih diperlukan sentuhan pola pikir yang  berorientasi pada nilai-nilai moral (etik) religious agar keberadaan ilmu tersebut memperoleh nilai ontologis atau pragmatis yang unggul bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. 3. Metode berpikir seseorang mengalami perkembangan dari pola yang sangat sederhana ke arah kompleks. Van Peursen (1976), membagi perkembangan pola budaya berpikir manusia dalam  proses kehidupan di masyarakat menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tahap tah ap mistis, yaitu setiap manusia man usia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup selalu dicari solusi secara mistis atau gaib. Pada tahap ini seluruh aktifitas manusia selalu dikaitkan atau menyatu dengan supranatural. Pada tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat primitif atau tradisional; (2) tahap ontologis, yaitu setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup sudah mulai mencoba untuk mencari akar atau dasar-dasar rasional tetapi masih tidak bisa lepas sama sekali dengan dimensi mistik atau gaib. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan kekuatan dunia mistik, dan mulai menggunakan akal sehat atau rasionalnya. Umumnya hal ini terjadi pada masyarakat  peralihan; dan (3) tahap fungsional, yaitu manusia dalam memecahkan beragam tugas dan  persoalan hidupnya selalu mendasarkan pada rasionalitas, mengandalkan kemajuan ilmu  pengetahuan, menggunakan men ggunakan metode ilmiah dalam memecahkan beragam problem atau persoalan kehidupan. Pada tahap ini manusia tidak lagi terikat oleh kekuatan dunia mistik atau gaib. Tahap ini

umumnya

terjadi

pada

masyarakat

modern.

4. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan, namun lebihlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan. Menurut J. Bronowski, dalam Suriasumatri (1996), hakikat metode ilmiah adalah bersifat sistematis dan

 

eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif pada kalangan masyarakat

ilmuwan.

5. Kerangka metode berpikir ilmiah yang berintikan proses logico hypothetico verifikatif pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut, yaitu: perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. 1.

Struktur

ilmu

pengetahuan

Ditinjau dari ‘dimensi ilmu’, maka suatu ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) fenomena ilmu pengetahuan; dan (b) struktur ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek yang merupakan bagian kajian fenomena ilmu pengetahuan, yaitu: masyarakat ilmuwan; proses  pencarian ilmu; dan produk atau hasil dari ilmu pengetahuan berupa teori-teori atau dalil-dalil atau proposisi-proposisi. Sedangkan struktur ilmu pengetahuan sebenarnya membicarakan tentang objek ilmu pengetahuan, prosedur kajian ilmu pengetahuan atau metode kajian ilmiah dan

fungsi

ilmu

pengetahaun.

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah sejatinya merupakan pengetahuan yang telah memenuhi syarat-syarat keilmuan, dengan demikian disebut pengetahuan ilmiah (science). Suatu  pengetahuan

ilmiah

akan

mempunyai

tiga

fungsi,

yaitu:

1. Menjelaskan, secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan ilmiah, yaitu: penjelasan deduktif dan induktif; penjelasan probabilistik; penjelasan fungsional dan teologis; dan  penjelasan

genetik.

2. Meramalkan, maksudnya adalah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum atau dalil. Hukum  pada hakikatnya merupakan persyaratan yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel dalam suatu kaitan sebab akibat. Dari teori dan hukum inilah dapat diramalkan kejadian, gejala atau fenomena yang akan terjadi (meskipun tidak mutlak, karena memang kebenaran ilmu  pengetahuan

bukan

kebenaran

mutlak

atau

absolut).

3. Mengontrol, artinya pengetahuan ilmiah akan memberikan penjelasan penje lasan tentang ‘mengapa’ suatu gejala itu terjadi, sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang ‘apa yang mungkin terjadi’. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan ‘alat’ yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol me ngontrol gejala atau fenomena

 

alam

4.

(Suriasumantri,

Beberapa

konsep

J.S.

tentang

1996).

penelitian

ilmiah  

Setiap peneliti apabila ingin melakukan kegiatan penelitian ilmiah, terlebih dahulu dia betul betul harus memahami apa hakikat penelitian ilmiah (scientific research) itu?. Berikut ini  beberapa

a.

konsep

penting

yang

Pengertian

perlu

dipahami

berkaitan

penelitian

dengan

penelitian

ilmiah.

ilmiah 

Dikalangan orang awam istilah penelitian ilmiah, sering dipahami sebagai kegiatan orang yang  berpendidikan tinggi, setiap hari kerja keras dan bergelut di laboratorium untuk meneliti beragam zat dan gejala alam dengan penuh keseriusan untuk dikaji dan dilaporkan dengan baik. Sebenarnya setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari kegiatan untuk meneliti, dan kegiatan penelitian tidak selalu harus di laboratorium, Contoh: (a) seorang guru atau dosen dapat melakukan penelitian di kelas pada saat dia mengajar (penelitian tindakan kelas); (b) seorang mahasiswa dapat melakukan penelitian di laboratorium dan di lingkungan tempat tinggalnya. Demikian juga seorang pedagang, seorang petani dan sebagainya, dapat melakukan kegiatan penelitian yang berkisar masalah-masalah dalam kehidupan sehari-harinya.

Banyak definisi tentang penelitian ilmiah yang telah dikemukakan oleh para ahli, munculnya  beragam definisi tersebut karena adanya: (a) perbedaan orientasi filosofis dan teori yang dianut oleh peneliti, (b) perbedaan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki dan perbedaan kehidupan sosial-budayanya; dan (c) perbedaan fokus persoalan yang dipilih untuk dikaji. Secara umum  pengertian penelitian ilmiah adalah suatu proses pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan metode ilmiah, yaitu sistematis, logis dengan menggunakan  pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Menurut Kerlinger, F. (2002), pengertian penelitian p enelitian ilmiah adalah ‘penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena -fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara

fenomena-fenomena fenomena-fenomena

itu’.  itu’. 

 

Berdasarkan beberapa definisi tentang penelitian ilmiah dapat disimpulkan, bahwa penelitian ilmiah adalah ‘proses penyelidikan atau penelaahan yang dilakukan individu, berkaitan dengan fenomena kehidupan dengan memperhatikan metodologi research secara ketat, misalnya: orientasi teoritis, observasi ilmiah, sistematis, rasional, empiris, dan melalui beberapa tahapan tertentu

sampai

pada

kesimpulan

penelitian’   penelitian’ 

Kemudian faktor-faktor apakah yang mendorong seseorang melakukan penelitian?. Paling tidak ada enam sebab atau latar belakang manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan  penelitian

ilmiah,

antara

lain:

1) Pengetahuan manusia sangat terbatas untuk memahami begitu kompleksnya fenomena kehidupan di jagat raya ini, sehingga manusia perlu terus menerus melakukan research secara ilmiah.

2) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk berpikir secara logis, objektif, sistematis dan analitis terhadap gejala sosial dan gejala alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga manusia selalu ingin melakukan penelitian untuk mengetahui tentang fenomena kehidupan tertentu dalam rangka proses pemenuhan beragam kebutuhan hidup, baik secara

pribadi

atau

kelompok

(Suriasumantri,

J.S.,

1996).

3) Manusia selama proses aktivitas hidupnya selalu dihadapkan pada beragam problema atau  permasalahan hidup. Beragam problema hidup tersebut menuntut pemecahan secara baik, oleh karena itu perlu adanya research ilmiah agar beragam persoalan hidup tersebut bisa diatasi dengan

baik

4) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan bahasa yang baik, terhadap hasil pengamatan dan kajian ilmiah terhadap gejala sosial dan gejala alam tersebut kepada sesamanya, untuk mencapai kualitas kehidupan. Jadi, kegiatan meneliti merupakan

suatu

bagian

penting

dalam

kehidupan

manusia.

5) Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk tidak puas, selalu ingin

 

membaharui (inovasi) terhadap karya budaya yang telah dimiliki. Hal ini menyebabkan manusia selalu ingin melakukan penelitian ilmiah menyangkut berbagai aspek kehidupan, semua dilakukan dalam rangka meraih kemajuan diberbagai bidang kehidupan (Lauer, 1978; Sztompka, P.,

1993).

6) Manusia adalah makhluk yang cenderung pengetahuan dan ketrampilannya terus bertambah atau berakumulasi dan terus melakukan kegiatan research ilmiah dalam rangka melakukan revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang hidup yang kompleks (Khun, T., 1970). Jadi, kegiatan penelitian ilmiah sejatinya adalah adalah ‘suatu tuntutan secara tidak langsung dari hasil  penelitian ilmiah sebelumnya, karena setiap hasil penelitian ilmiah memerlukan penyempurnaan pen yempurnaan dan

refleksi

penelitian

berikutnya’.   berikutnya’. 

Dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmiah, ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai wawasan yang cukup tentang orientasi filosofis dan teoritis dalam memahami fenomena hidup, oleh karena itu setiap peneliti harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan; (2)  peneliti harus memiliki sikap objektif dan peneliti selalu memulai pembicaraannya berdasarkan fakta dan data; (3) peneliti harus memiliki sikap terbuka terhadap berbagai saran, kritik dan  perbaikan dari berbagai pihak terhadap hasil penelitiannya; (4) peneliti harus memiliki sikap ingin tahu terhadap objek yang diteliti, dan selalu haus akan pengetahuan baru (peka terhadap informasi dan data); dan (5) peneliti harus memiliki daya cipta, kreatif dan senang terhadap kegiatan inovasi di berbagai bidang kehidupan (Bungin, B., 2001; Salim, A., 2001). Selain sikap tersebut, ada beberapa kemampuan ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai kemampuan daya kritik,  berpikir sistematik dan berwawasan luas; (2) peneliti harus mempunyai kemampuan mencipta atau mengemukakan sesuatu yang baru, karena aktivitas penelitian harus selalu menemukan sesuatu yang baru; (3) peneliti harus mampu melihat sesuatu masalah dalam konteks (ruang lingkup) yang luas atau dalam; (4) peneliti harus mampu melihat gejala sosial budaya yang layak untuk diteliti, dan mampu merumuskan masalah dengan baik serta menganalisisnya secara benar; dan (5) peneliti harus mampu melakukan penelitian lanjutan atau mengulangi penelaahan

 

(replicate the study) dalam rangka lebih memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Semua kemampuan tersebut tidak secara langung dimiliki oleh peneliti, tetapi melalui suatu proses  pembelajaran atau praktik research terus menerus, oleh karena itu bagi peneliti pemula tidak  boleh berpandangan pesimis, kelima kemampuan tersebut akan dimiliki dengan sendirinya apabila

peneliti

b.

terus

menerus

melakukan

Tujuan

penelitian

ilmiah.

ilmiah 

penelitian

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh berkembangnya kegiatan penelitian ilmiah. Antara penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang. Hal ini disebabkan, penelitian akan berkurang maknanya kecuali bila digunakan untuk kebutuhan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan akan menjadi mandul (tidak  berkembang)

bila

tanpa

penelitian

ilmiah.

Berikut ini termasuk beberapa tujuan proses penelitian ilmiah antara lain: (1) untuk memperoleh informasi baru tentang pengetahuan tertentu, misalnya: pengetahuan sejarah, sosiologi,  psikhologi, komunikasi, politik, hubungan internasional, ekonomi, pendidikan, biologi, fisika dan sebagainya; (2) untuk menjelaskan dan mengembangkan suatu pengetahuan tertentu. Peneliti yang dalam proses penelitiannya telah bekerja secara baik sesuai dengan prosedur ilmiah akan mampu menjelaskan fakta-fakta penting dan menolak atau mendukung atau mengembangkan teori yang ada; (3) untuk menerangkan, memprediksi dan mengontrol suatu fenomena sosial dan alam yang ditelitinya. Dengan rancangan penelitian dan prosedur penelitian ilmiah yang ketat, maka peneliti akan dapat menerangkan secara jelas tentang hubungan antar variabel yang diteliti atau akan mampu mendeskripsikan secara sistematis, logis tentang objek penelitiannya, dan akhirnya mampu memprediksi dan mengkontrol apa yang terjadi diantara variabel yang dikajinya (Sukardi, 2004); dan (4) untuk memberikan rekomendasi teoritis dan rekomendasi  praktis. Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan pengemban gan ilmu pengetahuan, memberi wacana atau masukan pemikiran baru bagi suatu lembaga tertentu serta mendorong terjadinya penelitian lanjutan. Disamping itu hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan nilai fungsional bagi aktivitas kehidupan kelompok atau masyarakat atau  bangsa

dalam

proses

pembangunan

di

berbagai

bidang

kehidupan.

 

  c.

Langkah-langkah

dalam

melakukan

penelitian

ilmiah  

Pada penjelasan di muka telah dikemukan pendapat Horton and Hunt (1984) tentang delapan tahap yang harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian ilmiah. Senada dengan pandangan tersebut, menurut Jujun S. Suriasumantri (1996) lebih rinci menjelaskan tentang beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti dalam melakukan proses penelitian ilmiah dan  penulisan ilmiah, yaitu: Pertama, langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan rumusan masalah. Secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah pengajuan masalah, yaitu: (a) merumuskan latar belakang masalah; (b) melakukan identifikasi masalah; (c) melakukan pembatasan masalah; (d) merumuskan masalah; (e) merumuskan tujuan penelitian; (f) merumuskan kegunaan penelitian, dan (g) merumuskan keterbatasan

hasil

penelitian.

Kedua, setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti harus menyusun kerangka teoritis dan  pengajuan hipotesis. Secara ringkas langkah-langkah dalam penyusunan kerangka teoritis dan  pengajuan hipotesis adalah: (a) pengkajian mengenai teori-teori yang akan dipergunakan dalam analisis; (b) pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan; (c) penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam poin a dan b dengan menyatakan secara eksplisit (tersurat) postulat, asumsi dan  prinsip

yang

dipergunakan;

dan

(d)

perumusan

hipotesis.

Ketiga, setelah menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis, peneliti melakukan  penyusunan metode penelitian. Sedangkan langkah-langkah penyusunan metode penelitian adalah: (a) tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti; (b) tempat dan waktu penelitian atau setting penelitian, yang menjelaskan bagaimana kondisi lokasi  penelitiannya; (c) metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan; (d) teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan  penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian; (e) teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran,

 

instrumen dan teknik mendapatkan data; dan (f) teknik analisis data mencakup langkah-langkah dan

teknik

analisis

yang

dipergunakan

ditetapkan

berdasarkan

pengajuan

hipotesis.

Keempat, mengemukakan hasil penelitian, sedangkan kegiatan dalam menyusun hasil penelitian antara lain: (a) menyatakan variabel-variabel yang diteliti; (b) menyatakan teknik analisis data; (c) mendeskripsikan hasil analisis data; (d) memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data; (e) menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima; dan (f) melakukan  pembahasan dari hasil uji hipotesis, dengan mengkaitkan teori yang menjadi orientasi  penelitiannya.

Kelima, menyusun ringkasan dan kesimpulan, sedangkan langkah-langkahnya adalah: (a) mendeskripsikan secara singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi dan  penemuan penelitian; (b) kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut di atas; (c) pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan  perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan; (d) mengkaji implikasi penelitian, yang meliputi implikasi teoritis dan implikasi praktis; dan (e) mengajukan saran-saran.

Keenam, mencantumkan daftar pustaka secara benar, kemudian diikuti dengan penyusunan  beberapa lampiran yang berkaitan dengan proses penelitian, misalnya: surat ijin penelitian, angket atau alat perekaman atau pengumpulan data penelitian, beberapa data penunjang yang diperlukan d.

dalam

proses

Karakteristik

penelitian dan

sampai

daftar

beragam

jenis

riwayat

hidup

penelitian

peneliti. ilmiah  

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, paling tidak ada tiga belas karakteristik penelitian ilmiah,

antara

lain:

1) Mempunyai rumusan masalah dan tujuan penelitian yang jelas. Diantara fungsi rumusan masalah dan tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah, ruang lingkup dan target apa yang hendak

dicapai

dalam

proses

penelitian

ilmiah.

 

  2) Menentukan jenis pendekatan dan strategi penelitian tertentu, misalnya: bisa menggunakan  pendekatan kuantitatif, atau pendekatan kualitatif k ualitatif atau pendekatan gabungan kuantitatif-kualitatif (mixing

methods).

3) Mempunyai metode pengumpulan data, misalnya metode: observasi, angket, dokumen, wawancara,

dan

tes.

4) Mempunyai desain atau rancangan penelitian yang sudah disusun sejak awal sebelum  penelitian dilakukan. Rancangan penelitian ini biasanya dituangkan dalam proposal penelitian.

5)

Mempunyai

sasaran

objek

yang

dikaji

atau

populasi

dan

sampel

penelitian.

6) Mempunyai orientasi filosofis atau teoritik dalam proses penelitian. Setiap kegiatan penelitian ilmiah seharusnya ada orientasi filosofis atau teoritik yang akan menjadi arahan (orientasi) dalam  proses

analisis

data.

7) Melakukan proses perekaman, dan pencatatan data secara akurat dengan menggunakan instrumen

penelitian

tertentu

yang

dipakai.

8) Melakukan validasi dan reliabelitas instrumen (untuk strategi penelitian kuantitatif) atau keabsahan

data

(untuk

strategi

penelitian

kualitatif).

9) Melakukan kontrol, khususnya dalam penelitian eksperimen. Hal ini penting agar variabel lain yang

tidak

diperlukan

tidak

berintervensi

pada

variabel

yang

ditelitinya.

10) Menggunakan strategi analisis data yang tepat, logis, misalnya: analisis statistik, atau analisis deskriptif

kualitatif,

atau

analisis

gabungan

(kuantitatif-kualitatif).

11) Melakukan interpretasi data atau melakukan pembahasan hasil analisis data, apakah menolak teori, mendukung teori, mengembangkan atau menemukan teori (proposisi penelitian).

 

  12) Mempunyai keberanian untuk mengungkapkan fenomena sosial dan alam secara objektif, meminimalisir

aspek

subjektivitas

pribadi

atau

kelompok.

13) Hasil penelitian mempunyai nilai fungsional (aksiologi) bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat

(Sugiyono,

2007).

Sedangkan mengenai jenis atau bentuk penelitian ilmiah adalah sangat beragam. Menurut para ahli

ada

beberapa

jenis

atau

bentuk

penelitian

ilmiah

antara

lain:

1. Penggolongan penelitian menurut fungsinya, yaitu dibedakan menjadi empat jenis: (1)  penelitian dasar (basic research), yaitu penelitian yang berfungsi untuk perluasan atau  pengembangan ilmu pengetahuan tanpa memikirkan nilai fungsional bagi masyarakat sekarang. Umumnya penelitian dasar ini dilakukan pada kelompok natural science (Astronomi, Fisika, Kedokteran; (2) penelitian terapan (applied research), yaitu penelitian yang berfungsi atau  bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. ma syarakat. Jadi, penelitian terapan ini mempunyai nilai fungsional atau nilai pragmatis bagi kehidupan masyarakat. Diantara contoh  penelitian terapan adalah: survei produksi dan konsumsi; action research; penelitian pertanian;  penelitian arsitektur, akuntansi, implementasi kurikulum, dan sebagainya; (3) penelitian  pengembangan (research and development), yaitu.penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk u ntuk menemukan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk. Jenis penelitian ini merupakan ‘jembatan’ antara penelitian dasar dan penelitian terapan (Sugiyono, 2007); dan (4) penelitian pen elitian evaluatif (evaluation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk menilai manfaat, sumbangan atau kelayakan dari suatu kegiatan atau unit tertentu. Penelitian ini membutuhkan data kuantitatif dan kualitatif, dan lebih bersifat aplikatif. Ada dua jenis penelitian evaluatif, yaitu penelitian tindakan (action research) dan penelitian kebijakan (policy research) (Nurgiyantoro,

dkk,.

2002).

 b. Penggolongan penelitian menurut bidang ilmu atau garapan, dapat dibedakan menjadi:  penelitian Sosiologi; penelitian Pendidikan dan non pendidikan; penelitian Hukum; penelitian Ekonomi; penelitian Bahasa, penelitian Antropologi, penelitian Biologi; penelitian Sejarah dan

 

sebagainya.).

1. Penggolongan penelitian menurut tingkat kealamiahan, dapat dibedakan menjadi: (a)  penelitian eksperimen. Penelitian ini sangat tidak alamiah karena tempat penelitiannya di laboratorium dalam kondisi yang terkontrol sehingga tidak terdapat pengaruh dari luar. Tetapi sebenarnya penelitian eksperimen bidang ilmu-ilmu sosial tidak harus di dalam laboratorium, tetapi bisa di lapangan atau di tengah kehidupan masyarakat; (b) penelitian survei, jenis  penelitian ini sering disebut penelitian normatif atau penelitian status. Pada umumnya pada  penelitian ini menggunakan variabel dan populasi yang luas sesuai dengan tujuan penelitiannya. penelitiann ya. Penelitian eksperimen dan survei di atas adalah termasuk penelitian yang menggunakan metode kuantitatif atau analisis datanya menggunakan statistik; (c) penelitian naturalistik, yaitu jenis  penelitian yang sering disebut penelitian kualitatif (Sugiyono, 2007) dengan analisis datanya secara

naratif

deskriptif

kualitatif.

d. Penggolongan penelitian menurut tempat penelitian. Dapat dibedakan menjadi: Penelitian Perpustakaan (Kajian buku-buku ilmiah di perpustakaan); Penelitian Laboratorium (melakukan uji

coba

atau

eksperimen

di

laboratorium).

e. Penggolongan penelitian menurut aspek metode dan pendekatan, dapat dibedakan menjadi  beberapa jenis, yaitu: (1) penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang berusaha untuk menggambarkan, menjelaskan secara detail, sistematis, logis tentang objek tertentu. Penelitian ini umumnya dilakukan pada bidang ilmu sosial dan budaya; (2) penelitian sejarah (historical research atau historiografi), jenis penelitian ini hampir sama dengan penelitian deskriptif, tetapi ada perbedaan khusus, yaitu lebih menekankan pada metode wawancara tak terstruktur dengan  pelaku sejarah dan dalam melakukan analisis data dokumen melakukan kritik intern dan kritik ekstern; (3) Penelitian kuantitatif (quantitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada  paham positivisme, dan bertujuan untuk mencari hubungan dan menjelaskan sebab-sebab  perubahan dalam fakta sosial yang terukur, analisis datanya menggunakan statistik; (4) penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham konstruktivisme atau interpretif, yang bertujuan untuk menjelaskan realitas kehidupan sehari-hari secara alamiah, analisis datanya berupa kalimat rinci dan sistematis, logis (Sugiyono, 2007). Secara khusus

 

dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan tentang perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif; (5) penelitian longitudinal, yaitu penelitian yang ingin mengetahui perkembangan suatu gejala yang cukup lama, misalnya peneliti ingin mengetahui perkembangan kemampuan  berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, maka peneliti melakukan pencatatan perkembangan kemampuan berpikir anak dari kelas I sampai kelas VI pada objek yang sama (jadi butuh waktu 6 tahun); (6) penelitian cross-sectional, yaitu penelitian yang tidak menggunakan sasaran  penelitian yang sama, misalnya ingin mengetahui perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai VI, maka dalam waktu bersamaan merekam perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, jadi kebalikan dari longitudinal, tidak perlu waktu lama; (7) penelitian evaluasi atau hampir sama dengan penelitian assesment. Secara umum penelitian evaluasi adalah bertujuan untuk menjawab apakah suatu proyek tertentu telah berjalan sesuatu dengan program yang telah ditetapkan

(Bungin,

B.,

2001;

Idrus,

2007).

1. Penggolongan penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu dibedakan menjadi: (1) penelitian deskriptif (descriptive research), jenis penelitian ini bisa juga dilihat dari segi metode atau  pendekatan seperti yang disinggung di atas; (2) penelitian prediktif (predictive research), yaitu  penelitian yang bertujuan b ertujuan untuk memperkirakan apa yang akan ak an terjadi berdasarkan b erdasarkan analisis data saat dilakukannya penelitian. Umumnya penelitian ini bersifat studi korelasional (correlational studies) dan studi kecenderungan (trend studies); (3) penelitian improvetif (improvetive research),

yaitu

penelitian

yang

bertujuan

untuk

memperbaiki,

meningkatkan

atau

menyempurnakan suatu keadaan atau pelaksanaan suatu program tertentu. Termasuk dalam jenis  penelitian ini misalnya penelitian tindakan (action research), penelitian dan pengembangan (research and development), penelitian eksperimental; dan (4) penelitian eksplanatif (explanation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena

5.

atau

Orientasi

variabel

filosofis

yang

dan

diteliti

ciri

(Sugiyono,

pendekatan

2007).

penelitian 

Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian ilmiah ini akan menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kuantitatif; orientasi filosofis dan ciri  pendekatan penelitian kualitatif; dan orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian gabungan

 

(kuantitatif

a.

Orientasi

dan

filosofis

dan

kualitatif).

ciri

penelitian

kuantitatif  

Pada masyarakat ilmuwan telah lama terjadi perdebatan panjang dan tetap berlangsung sampai sekarang tentang cara terbaik dalam memahami fenomena sosial-alam melalui kegiatan  penelitian ilmiah. Perdebatan tersebut karena adanya: perbedaan orientasi filosofis, perbedaan orientasi teori dalam penelitian, dan perbedaan metode atau pendekatan penelitiannya (Poloma, M.M. 1979; Cambell, T. 1981). Ada dua orientasi filosofis yang selalu menjadi acuan dalam menemukan atau mengembangkan teori dan dalam kegiatan penelitian ilmiah, yaitu:

Pertama, orientasi filosofis positivisme atau rasionalisme atau objektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya adalah kuantitatif; (b) analisis datanya menggunakan statistik; (c) hakikat realitas hidup adalah tunggal; (d) proses research adalah menguji teori atau menguji hipotesis; (e) menggunakan logika deduktif dan melakukan generalisasi statistik; dan (f) kriteria kualitas penelitian adalah: objektivitas,

reliabilitas

dan

validitas.

Kedua, orientasi filosofis empirisme, atau idealisme, atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan  penelitiannya kualitatif; (b) analisis datanya berupa deskriptif abstraktif (non statistik) secara sistematis dan alamiah; (c) hakikat realitas hidup adalah jamak, holistik; (d) menggunakan logika induktif, tidak menguji teori atau tidak melakukan uji hipotesis; dan (e) kriteria kualitas  penelitiannya adalah: otentisitas dan relevansi dengan fenomena alami, Jadi, sepanjang para  peneliti berpegang pada orientasi filosofis yang berbeda, maka selaman selamanya ya akan terjadi perbedaan  pendekatan, sudut pandang pand ang dalam memaknai kebenaran hasil penelitian. p enelitian. Hal ini harus dipahami oleh setiap peneliti dalam setiap memahami atau memaknai fenomena hidup selama proses  penelitian

ilmiah.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kuantitatif sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada

 

 paham positivisme, rasionalisme, atau objektivisme Sedangkan orientasi teoritisnya adalah  berorientasi pada teori-teori yang berparadigma fakta sosial (Ritzer, G. 2002). 2002 ). Diantara ciri teoriteori yang berparadigma fakta sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor eksternal; (b) kerangka berpikirnya bersifat deduktif verifikatif; (c) menuntut adanya  pembuktian teori atau pengujian pen gujian hipotesis secara statistik; dan (d) mengandalkan pada k kebenaran ebenaran objektivitas, validitas dan reliabilitas. Sejarah awal perkembangan penelitian kuantitatif adalah  berkembang

di

kalangan

ilmuwan

eksakta

atau

disiplin

ilmu

kealaman.

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat terinci, luas, dan banyak menggunakan literatur yang terkait dengan tema penelitian; (b) memiliki prosedur research yang rinci, terukur; (c) sejak usulan penelitian (proposal) penelitian kuantitatif sudah memiliki landasan teoritis yang kuat dan jelas; dan (d) proses penelitian terikat kuat dengan desain research yang telah diajukan (tidak berubah), dan isi desain penelitiannya secara ketat akan dipatuhi untuk dilaksanakan dalam proses penelitiannya, misalnya rumusan masalah penelitian tidak

boleh

berubah

selama

proses

penelitian

(Gay,

L.R.

1983;

Hadi,

S.

2004).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kuantitatif tidak pernah berubah (sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan penelitian); (b) ekspresif, jelas,  padat dan menunjukkan secara jelas permasalahan yang akan diteliti; dan (c) menggambarkan variabel independen atau bebas dan variabel dependen atau tergantung yang akan digali datanya untuk

dianalisis

(Gay,

L.R.

1983;

Bungin.B.,

2001).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah harus jelas sehingga dapat diketahui variabel atau hubungan variabel yang diteliti; (b) dirumuskan dalam  bentuk kalimat bertanya, misalnya: Apakah?, Bagaimanakah?; Seberapa besar atau tinggi?; Adakah hubungan atau adakah perbedaan?; (c) rumusan masalah tidak berubah selama proses  penelitian,

karena

menjadi

acuan

penelitian

(Sudijono,

A.

1992).

Kelima, dilihat dari segi penetapan variabel penelitian. Variabel adalah atribut seseorang atau objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain, atau variabel adalah suatu kuantitas (jumlah) atau sifat karakteristik yang mempunyai nilai numerik atau kategori atau sifat yang

 

akan diteliti (Kartono, K.,1996; Kerlinger, F. 2002). Ciri penelitian kuantitatif dari segi  penetapan variabel adalah: penetapan variabel penelitian (variabel independen, dependen, moderator, intervening) harus ditetapkan dulu sebelum memulai penelitian (rancangan  penelitian)

dan

tidak

akan

berubah

selama

penelitian

berlangsung.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, antara lain: (a) karena penelitian kuantitatif adalah menguji teori maka deskripsi teori harus diuraikan secara sistematis, tidak hanya sekedar pendapat para ahli tetapi penting mengungkap hasil-hasil research terdahulu yang mengkaji fenomena yang sama; (b) deskripsi teori harus menjelaskan secara rinci tentang variabel-variabel yang diteliti dari berbagai referensi ilmiah (Sugiyono, 2007). Langkah praktis yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan teori dalam penelitian kuantitatif adalah: (a) tetapkan nama variabelnya dan berapa jumlah sub variabel yang akan diteliti; (b) cari sumbersumber ilmiah (Buku ilmiah, Laporan penelitian; Skripsi; Tesis; Disertasi; Jurnal ilmiah) yang membahas variabel yang akan diteliti atau yang berkaitan dengan sub variabel penelitian; (c) cari definisi konsep, baca seluruh uraian dalam sumber ilmiah tersebut yang mengkaji tentang variabel yang akan diteliti; dan (d) deskripsikan secara sistematis dengan bahasa yang benar dengan

tetap

mencantumkan

catatan

kaki

atau

buku

yang

menjadi

rujukannya.

Ketujuh, dilihat dari segi rumusan hipotesis penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif wajib atau harus dirumuskan hipotesis penelitian atau hipotesis statistik, karena ciri penelitian kuantitatif adalah menguji teori; (b) bersifat deterministik terkait dengan variabel-variabel yang akan ditelitinya. Hipotesis yang diajukan sebagai upaya penguat bahwa ada keterkaitan antar variabel satu dengan variabel lainnya; dan (c) rumusan hipotesis bisa dalam bentuk hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nihil (Ho); (c) perumusan hipotesis harus berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir (Bungin, B. 2001). Hipotesis penelitian adalah hipotesis untuk penelitian  pada seluruh populasi, sedangkan hipotesis statistik adalah hipotesis penelitian yang bekerja dengan

sampel.

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) menggunakan sampel yang banyak memiliki tingkat representasi tinggi terhadap populasi yang hendak digeneralisasi; (b) semakin  banyak jumlah sampel semakin baik hasil penelitian, karena akan semakin banyak data yang

 

diperoleh yang berdistribusi normal; (c) teknik sampling biasanya menggunakan probability sampling meliputi: simple random; proportionate stratified random; disproportionate stratified random; dan area (cluster) random (Sugiyono, 2007); (d) bersifat reduksi, yaitu melakukan  penyederhanaan (simplikasi) terhadap kenyataan yang kemudian dilakukan generalisasi.

Kesembilan, dilihat dari metode pengumpulan data penelitian, adalah: (a) proses pengumpulan data menggunakan angket, tes, dokumen, wawancara terstruktur yang terlebih dahulu dilakukan uji instrumen untuk mencari validitas dan reliabilitas instrumen; (b) melakukan intervensi terhadap realitas yang diteliti dengan cara memberikan perlakuan (treatment) baik berupa  pemberian angket, kuesioner, skala maupun pengkondisian pen gkondisian perilaku; (c) hubungan antara peneliti dengan subjek yang diteliti saat pengumpulan data adalah jauh, tidak akrab (tanpa kontak) sehingga

tetap

dijamin

objektivitas

data

(Hadi,

S.,

2004).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) dilakukan pada akhir proses setelah seluruh pengumpulan data dilakukan; (b) bersifat deduktif serta menggunakan analisis statistik dalam menganalisis gejala yang diteliti; (c) tujuan analisis adalah untuk menguji atau membuktikan hipotesis statistik yang diajukan; dan (d) jenis analisis statistik yang bisa dipakai adalah: statistik deskriptif, statistik inferensial, statistik parametris, dan statistik nonparametris. Penggunaan jenis analisis statistik tersebut adalah tergantung pada jenis data penelitiannya, yaitu: data nominal (nominal data); data ordinal (ordinal data); data interval (interval data); dan data

rasio

(ratio

data)

(Nurgiyantoro,

B.

Dkk.

2002).

Kesebelas, dilihat dari segi rekomendasi hasil penelitian, adalah: (a) rekomendasi teoritis adalah hasil penelitian didasarkan atas kriteria objektivitas, reliabilitas dan validitas instrumen; (b) logika research berdasarkan hipotesa deduktif verifikatif, karena sifatnya adalah menguji teori; dan (c) rekomendasi praktisnya adalah memberikan data empirik yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan karena kebenarannya bersifat etik, segala ukuran kebenaran telah sesuai dengan

b.

teori

Orientasi

filosofis

yang

dan

ciri

dipakainya.

penelitian

kualitatif  

 

Sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di muka, bahwa orientasi filosofis dari pendekatan  penelitian kualitatif adalah orientasi empirisme, atau idealisme atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah penelitian kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber pada ‘pengamatan kualitatif’ yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif mendasarkan pada  penghitungan angka, serta statistik, sedangkan pengamatan kualitatif tidak mendasarkan pada  penghitungan angka an gka tetapi mendeskripsikan realita alamiah dengan kalimat atau narasi. Menurut Bogdan and Biklen, dalam Moleong (2006), ada beberapa istilah lain untuk menamakan  penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu: Inkuiri naturalistik; Ethnografi; Interaksionis simbolik; Ethnometodologi; Studi kasus; Fenomenologi; Penelitian deskriptif naratif, penelitian tindakan

(action

research).

Beragam pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang penelitian kualitatif, yaitu: (a) Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya; (b) Menurut David Williams, penelitian kualitatif adalah  pengumpulan data pada pad a satu latar alamiah, dengan deng an menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh peneliti yang tertarik secara alamiah; (c) menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan tujuan menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada; dan (d) Menurut Moleong, dia melakukan sintesis tentang definisi penelitian kualitatif dari pendapat para ahli, yaitu  penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, pandangan, motivasi, tindakan sehari-hari, secara holistik dan dengan metode deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa (naratif) pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

(Miles

and

Huberman,

1992;

Moleong,

L.J.,

2006).

Landasan teori (orientasi paradigmatik) penelitian kualitatif adalah teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002), yaitu: Pertama, teori fenomenologi. Beberapa konsep penting teori fenomenologi dalam memahami fenomena individu dan masyarakat antara lain:

 

1) Teori ini memandang dimensi subjektif atau pengalaman kesadaran sehari-hari individu adalah

paling

penting

sebagai

sumber

pengetahuan.

2) Teori ini menekankan pada studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang tentang

fenomena

masyarakat.

3) Teori ini memandang bahwa pengalaman subjektif dan interpretasi subjek atau individu adalah menentukan pandangan tentang masyarakatnya. Jadi, internal individu (jiwa atau pikiran) menentukan

eksternal

(masyarakat

dan

dunianya).

4) Teori ini menolak pandangan positivisme atau objektitivisme yang memandang dunia serba kuantitatif

(eksternal

mewarnai

atau

menentukan

internal).

5) Teori ini berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk oleh sesutau hal lainnya (bukan eksternal menentukan internal atau bukan struktur sosial menentukan individu) melainkan dirinya sendiri. Jadi, kapasitas jiwa dan pikiran individu yang mewarnai atau menentukan lingkungan

hidupnya.

6) Peneliti dalam pandangan teori ini berusaha untuk memahami arti peristiwa sehari-hari dan kaitannya

terhadap

individu-individu

yang

berada

dalam

situasi

tertentu.

7) Penelitian yang menggunakan teori ini lebih menekankan pada pendekatan verstehen, yaitu  pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia, jadi lebih menekankan pada aspek subjektif

dari

perilaku

orang.

Jadi, penelitian kualitatif yang menggunakan teori fenomenologi adalah berusaha untuk masuk ke dalam alam konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh individu (subjek) itu tentang kehidupan atau peristiwa sehari-hari (Moleong, L.J. 2006). Sebagian para ahli mengatakan bahwa teori fenomenologi ini merupakan teori utama yang sering dijadikan sebagai theoritical orientation dalam qualitative research, sedangkan teori interaksionis simbolik, teori

 

 budaya, ethnometodologi sering diposisikan sebagai penunjang. Namun perlu diperhatikan  bahwa memposisikan suatu teori tertentu sebagai theoritical orientation utama ditentukan oleh karakteristik

dari

fenomena

sosial

budaya

yang

ditelitinya.

Kedua, teori Interaksionis simbolik. Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat,

antara

lain:

1) Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung

tentang

fenomena

kehidupan

yang

dihadapi.

2) Kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam proses-proses kehidupan

kelompok.

3) Dalam interaksi sosial orang belajar tentang makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas

mereka sebagai

manusia, yakni

kemampuan berpikir.

4) Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi dalam  proses-proses

sosial

di

masyarakat.

5) Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi sosial berdasarkan interpretasi atau penafsiran mereka atas situasi tertentu atau fenomena hidup yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

6) Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena potensi jiwa dan pikirannya dan kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih

salah

satunya

untuk

dilakukan.

7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2001; Poloma, 1997). Jadi, aspek ‘diri’, ‘jiwa’ dan ‘pikiran’ individu sangat menentukan

 

 proses interaksi sosial dan memaknai segala tindakan manusia disetiap aktifitasnya di masyarakat.

Perlu dipahami bahwa pada satu sisi ‘Interaksionis simbolik’ merupakan salah satu dari strategi  penelitian kualitatif yang berparadigma pospositivis (Muhadjir, N. 1990; Bakri, eds., 2002), sedangkan pada sisi lain interaksionis simbolik merupakan salah satu teori sosial yang  berparadigma definisi sosial (Ritzer and Goodman, 2004). Baik interaksionis simbolik sebagai salah satu strategi penelitian kualitatif maupun sebagai salah satu teori ilmu sosial, kedua-duanya sama-sama menghendaki pentingnya memahami dimensi subjektif, personal atau alam pikiran dan jiwa serta pandangan individu untuk memahami fenomena sosial di masyarakat.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi  pada paham konstruktivisme, interpretif, dan subjektivisme. Sedangkan orientasi teoritisnya adalah berorientasi pada teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-teori yang berparadigma definisi sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal individu, yaitu pikiran, jiwa, motivasi, pandangan hidupnya; (b) kerangka berpikirnya bersifat induktif abstraktif; (c) realitas sosial budaya adalah suatu kondisi yang cair dan mudah berubah tergantung pikiran dan jiwa manusia yang berinteraksi dalam memaknainya. Fenomena sosial bersifat multimakna; (d) tidak perlu adanya pengujian teori, tetapi justru menemukan teori atau proposisi; (e) tindakan manusialah yang menentukan struktur sosial-budaya, bukan struktur sosial-budaya yang menentukan tindakan manusia; (f) mengandalkan pada kebenaran otentisitas, keabsahan data. Realitas dianggap nyata sejauh para individu bersepakat bahwa hal itu memang nyata (Alvesson, M. and Skoldberg. 2000; Mulyana, D.

2002).

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat longgar, umum, fleksibel,  berkembang dan muncul dalam proses penelitian; dan (b) usulan penelitian p enelitian (proposal) penelitian kualitatif sifatnya sementara; proses penyusunan desain penelitian akan mudah berubah disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, hal ini karena: Realitas sosial bersifat jamak; Fenomena sosial bisa berubah-ubah ketika terjadi interaksi antara peneliti dengan subjeknya;

 

Sistem nilai dan norma yang berkembang bersifat kompleks dan sulit diramalkan sebelumnya (Stainback,

S.

And

William

Stainback.

1988;

Moleong,

L.J.

2006).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kualitatif bisa  berubah-ubah, tergantung fenomena yang terjadi di lapangan, artinya rumusan judul penelitian  pada awal pengumpulan data bisa saja berubah ketika peneliti telah terlibat lama dalam proses  pengumpulan dan analisis data di lapangan; (b) dirumuskan dengan bahasa yang baik, jelas dan d an menunjukkan fokus penelitiannya; dan (c) jelas persoalan dan objek kajiannya; kapan dan dimana

situs

penelitiannya

(Muhadjir,

N.

1990;

Silverman,

D.

1993).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah penelitian kualitatif bisa berubah-ubah dengan memperhatikan realitas objek kajian di lapangan; (b) rumusan masalah bisa dalam bentuk pernyataan suatu fenomena dan pertanyaan, misalnya  bagaimana dan mengapa?; (c) fungsi rumusan masalah hanya sekedar sebagai arahan,  pembimbing atau acuan pada proses p roses penelitian untuk menemukan teori; (d) perumusan masalah  penelitian memperhatikan prinsip keterkaitan k eterkaitan dengan kriteria inklusi-eksklusi; ink lusi-eksklusi; berkaitan dengan fokus penelitian; berkaitan dengan hasil penelaahan kepustakaan; dan dirumuskan dengan bahasa yang

bagus

(Stainback,

S.

And

William

Stainback.

1988).

Kelima, dilihat dari segi metode pengumpulan data, adalah lebih menggunakan strategi multi metode, artinya data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif dari berbagai cara, yaitu melalui metode wawancara takterstruktur; metode observasi partisipatif (pasif, moderat, aktif dan lengkap); dan studi dokumenter (Seidman, E. 1991). Disamping itu proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak cukup sekali, tetapi terus berlangsung sepanjang proses  penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan kombinasi metode-metode metode -metode tersebut sebagai strategi  pengumpulan data, dan lebih menekankan pada metode observasi partisipasi. Oleh karena itu  peneliti kualitatif harus memahami betul teknik-teknik observasi secara baik. Menurut Spradley (1980) ada tiga tahapan observasi yang harus dilakukan yaitu: (a) observasi deskriptif; (b) observasi terfokus; dan (c) observasi terseleksi. Oleh karena itu peneliti kualitatif dalam proses  pengumpulan data harus melalui proses perencanaan yang matang, memulai pengumpulan data dengan multi metode, pengumpulan data dasar, pengumpulan data penutup, dan melengkapi

 

data.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, yaitu: (a) kajian teori atau kajian literatur yang digunakan sifatnya sementara, tidak dijadikan sebagai pegangan utama, karena dalam penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mengungkap latar alamiah dari suatu objek  penelitian; dan (b) Kajian teori hanya sekedar sebagai pedoman awal agar tidak terlalu gelap (buta) dalam mengawali kajian fenomena sosial-budaya tertentu. Oleh karena itu kajian teori dalam penelitian kualitatif bukan untuk merumuskan hipotesis penelitian. Jadi, menurut para ahli, dalam penelitian kualitatif ‘tidak dirumuskan hipotesis, karena justru akan menemukan hipotesis’

(Bungin,

B.

2003;

Sugiyono,

2007).

Ketujuh, dilihat dari segi peranan peneliti dalam proses penelitian adalah: (a) peneliti sebagai  pengamat penuh, peneliti menyatu dengan objek yang diteliti dalam waktu yang relatif lama,  peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian; (b) peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan individu atau kelompok yang diamati sesuai dengan fokus kajiannya; (c) peneliti juga melakukan wawancara mendalam (takterstruktur) berkaitan dengan beragam kegiatan individu atau kelompok yang sesuai dengan fokus kajian; (d) hubungan antara peneliti dengan objek penelitian adalah empati, akrab, berkedudukan sama, dan menyatu dalam pola kehidupan sehari-hari (Spradley,1980;

Muhadjir,

N.

1990;

Moleong,

L.J.,

2006).

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi atau fenomena sosial budaya tertentu (Sugiyono, 2007); (b) tidak menggunakan sampel  besar, melainkan sampel kecil karena tidak untuk menggeneralisasi suatu populasi; (b) sampel  penelitiannya tidak representatif (apabila penelitian kuantitatif harus representatif); (c) teknik sampling biasanya menggunakan non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Non probability sampling yang sering dipakai adalah: purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan atau tujuan tertentu) dan snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (bagaikan bola salju). Antara purposive

 

sampling dengan snowball sampling yang paling sering dipakai adalah snowball sampling, (d)  penentuan sampel dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian  berlangsung

(emergent

sampling

design)

(Spradley,1980).

Kesembilan, dilihat dari hubungan antar variabel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif, hubungan antar variabel bersifat sebab dan akibat (hubungan kausal), sehingga dalam  penelitian kuantitatif ada variabel independen (bebas) dan dependen (terikat), kemudian dicari hubungan atau pengaruh antar variabel tersebut dengan menggunakan analisis statistik (Wibisono, Y. 2005; Sudijono, A. 2006), hal ini tidak berlaku dalam penelitian kualitatif; (b) dalam penelitian kualitatif, melihat hubungan antar variabel tidak bersifat kausal (sebab akibat) melainkan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi, sehingga tidak diketahui mana variabel independen (bebas) dan variabel dependennya (terikat) (Muhadjir, N., 1990; Moleong, L.J., 2006). Jadi, dalam peneliian kualitatif tidak ada variabel independen (bebas) dan variabel dependen

(terikat).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) jenis datanya berupa uraian kalimat (deskriptif), dokumen pribadi, catatan lapangan hasil observasi, catatan ucapan dari hasil wawancara mendalam, dan beragam tindakan responden atau objek penelitian, serta dokumendokumen lainnya; (b) analisis data penelitian bersifat interaktif, siklus dan induktif; (c) proses analisis data berlangsung secara terus menerus, dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Dan kapan analisis data dianggap selesai, yaitu setelah proses pengumpulan data dan analisis data sudah tidak ada yang dianggap baru (mengalami titik jenuh); dan (d) hasil analisis data adalah mencari pola atau menemukan model, proposisi atau teori (Strauss, A.C.J. 1990. Silverman, D. 1993). Berbeda dengan hasil analisis data pada penelitian kuantitatif, yaitu menguji teori atau menguji

hipotesis

penelitian.

Menurut Aminuddin dalam Bakri (ed) (2002), bahwa pendekatan penelitian kualitatif apabila ditinjau dari paradigma yang digunakan dan dari segi tujuan yang hendak dicapai dapat dibedakan menjadi sembilan macam strategi penelitian kualitatif yang masing-masing terbagi kedalam

tiga

paradigma,

antara

lain:

 

1) Orientasi paradigma pospositivis. Menurut pandangan pospositivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) bersifat ganda; (b) dapat di sistematisasikan; (c) mengemban ciri, konsepsi, dan hubungan secara asosiatif; (d) dipahami secara alamiah, kontekstual, holistik; dan (e) tujuan penelitiannya bersifat: eksploratif, eksplanatif, menghasilkan formasi teori secara substantif dan bersifat praktis (punya fungsi terapan). Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma pospositivis antara lain: (a) penelitian studi kasus; (b) penelitian etnografi; (c) penelitian interaksionis simbolik; (d) penelitian naturalistic-inquiry; dan (e)  penelitian

grounded

theory.

2) Orientasi paradigma konstruktivis. Menurut pandangan konstruktivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) gejala yang sifatnya tidak tetap dan ada hubungan erat dengan kondisi masa lalu-kini dan akan datang; (b) realitas sosial hanya bisa dipahami berdasarkan konstruksi kesadaran dan dunia pengalaman peneliti dalam hubungannya dengan kehidupan kemanusiaan sehari-hari; (c) pemahaman atas suatu realitas sosial bersifat relatif dan dinamik; (d) tanggapan dalam dunia pengalaman seseorang tidak bersifat tertutup melainkan diarahkan oleh kesadaran atas realitas luar, bersifat terbuka dan akumulatif; (e) tanggapan tersebut bermakna semata-mata apabila peneliti telah memiliki skemata atau stock of knowledge, daya asimilasi, daya akomodasi, dan kemampuan merekonstruksi pemahaman secara logis; dan (f) tujuan  penelitiannya bukan untuk memecahkan masalah atau membentuk teori tetapi membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Jadi, kajian tentang sesuatu bukan hanya ada dalam proses induksi-analitik atau realisme-analitik melainkan dalam proses refleksihermeneutis. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma konstruktivis antara lain: (a) penelitian etnometodologi; (b) penelitian etnografi-teks; dan (c) penelitian tindakan

(action

research).

3) Orientasi paradigma posmodernis. Menurut posmodernis adalah: (a) pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: teks atau realitas → konstruksi atau dekonstruksi →  pemahaman. Sedangkan pandangan pospositivis dan konstruktivis, pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: realitas → pengalaman → penggarapan → pemaknaan →  pemahaman; (b) pemahaman ada dalam kondisi dekonstruksi. Pemahaman terhadap realitas didudukkan sebagai jembatan menuju empowerment; dan (c) tujuan penelitian bukan hanya

 

untuk pemahaman itu sendiri melainkan untuk pemberdayaan dan kebermaknaan kehidupan kemanusiaan sehari-hari. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam paradigma  posmodernis adalah penelitian pluralisme inferensial, yaitu penelitian yang digunakan untuk menemukan pemahaman detil fakta secara intertekstual dan hubungannya dengan empowerment. Sedangkan sumber data penelitian pluralisme inferensial adalah pengalaman-pengalaman simbolik dan wacana keseharian.

Kemudian kapan atau fenomena sosial yang bagaimana sebaiknya penelitian kualitatif itu dilakukan?. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan para ahli, paling tidak terdapat sembilan aspek atau kondisi fenomena sosial budaya yang cocok untuk dilakukan penelitian kualitatif antara

lain:

1) Apabila tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah ingin mengkaji pandangan, motivasi, dan makna yang terkandung dibalik praktik-praktik sosial budaya yang dilakukan oleh individu atau anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kuantitatif relatif sulit apabila ingin menyelami pandangan atau makna yang tersembunyi dibalik realitas atau aktivitas

sehari-hari

seseorang

di

mayarakat.

2) Apabila pokok permasalahan yang akan dikaji masih belum jelas atau masih bersifat umum, dan apabila peneliti ingin melakukan penjelajahan dengan grant tour question terhadap fenomena sosial budaya yang akan dikaji. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pokok permasalahan  penelitian

sudah

sangat

jelas

dan

rinci.

3) Apabila penelitian itu berusaha untuk memahami makna di balik data yang tampak. Fenomena sosial budaya sering sulit dipahami secara mendalam apabila hanya berdasarkan angket dalam  proses penggalian data sebab apa yang dipilih dalam angket belum tentu hati atau pikirannya sama, karena sering tindakan dan ucapan orang itu mempunyai makna ganda. Realitas tersebut membuktikan pentingnya pendekatan kualitatif dalam memahami makna dibalik data yang tampak.

4) Apabila penelitian itu berusaha untuk menjelaskan suatu fenomena atau gejala sosia budaya

 

secara lebih spesifik tetapi mendalam atau integratif, menyeluruh dan lebih detil. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada penjelasan yang bersifat makro, deduktif

dan

tidak

fokus

pada

persoalan

yang

lebih

spesifik.

5) Apabila penelitian itu untuk memahami pola dan proses interaksi sosial-budaya. Pola dan  proses Interaksi sosial-budaya yang kompleks dan dinamik akan lebih baik dan lengkap untuk dijelaskan kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara melakukan observasi partisipatif dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data. Jadi, penelitian kuantitatif sangat sulit untuk menyelami pola-pola interaksi sosial-budaya antar individu atau kelompok

yang

berlangsung

sangat

dinamik

dan

kompleks.

6) Apabila proses analisis penelitiannya berpola siklus, berulang-ulang dan berlangsung relatif lama untuk lebih memahami realitas sosial-budaya secara holistik dan mendalam. Disamping itu hubungan antara peneliti dengan objek penelitian bersifat akrab, menyatu dan saling mengisi.

7) Apabila penelitian itu untuk menemukan teori atau mengembangkan teori. Metode kualitatif  paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data lapangan. Teori yang demikian dibangun melalui grounded research. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif

yaitu

menguji

teori

atau

membuktikan

hipotesis.

8) Apabila penelitian itu untuk memastikan kebenaran data. Dengan metode kualitatif, melalui teknik pengumpulan data secara triangulasi atau gabungan multi data dan berlangsung secara  berulang-ulang sampai mencapai titik jenuh, maka kualitas kebenaran data akan lebih dijamin daripada

hanya

mendasarkan

pada

angket

seperti

dalam

penelitian

kuantitatif.

9) Apabila penelitian itu akan mengkaji sejarah perkembangan suatu objek penelitian. Dengan karakteristik proses pengumpulan sumber data dalam penelitian sejarah melalui kritik intern dan kritik ekstern maka terasa sangat sulit penelitian sejarah dilakukan dengan menggunakan  pendekatan

kuantitatif.

Jadi, uraian tersebut di atas tentang karakteristik penelitian kualitatif memberikan pemahaman

 

 bahwa pemilihan pendekatan kualitatif dalam proses penelitian ilmiah akan cocok diterapkan dalam studi atau kajian ilmu-ilmu pengetahuan sosial budaya atau humaniora, yang ingin lebih  jauh memahami beragam fenomena psikhologi, p sikhologi, sosial dan k kebudayaan ebudayaan yang dinamik, kompleks dan holistik. Sedangkan untuk studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) akan lebih cocok

menggunakan

c.

Orientasi

pendekatan

filosofis

dan

penelitian ciri

kuantitatif.

penelitian

gabungan 

Mengkaji fenomena sosial-budaya pada hakikatnya dapat dicermati dari dimensi objektivis dan dimensi subjektivis. Dimensi objektivis berorientasi pada aliran positivisme atau aliran rasionalisme (pendekatan penelitian kuantitatif), sedangkan dimensi subjektivis berorientasi pada aliran Idealisme, konstruktivisme, atau interpretif (pendekatan penelitian kualitatif) (Burrell and Morgen, 1994; Praja, J.S., 2003). Sedangkan perbedaan pandangan pendekatan objektivisme (pendekatan kuantitatif) dan subjektivisme (pendekatan kualitatif) dalam memahami fenomena sosial-budaya

telah

diuraikan

di

atas.

Berdasarkan uraian tentang karakteristik pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan keserasian dengan ciri atau karakteristik orientasi teorinya dan pendekatan researchnya; (b) pada dasarnya antara paradigma satu dengan paradigma yang lain (paradigma objektivis dan paradigma subjektivis) tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain’, kedua paradigma objektivis dan subjektivis akan tetap atau ‘proporsional’ dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosial-budayanya memang selaras dengan karakteristik  paradigma tersebut. Jadi, pemilihan perspektif positivisme (objektivis) maupun idealisme (subjektivis) dalam proses penelitian, akan membawa konsekwensi pendekatan dan strategi  penelitian

yang

berbeda.

Pendekatan objektivis (paradigma positivis atau konvensional) sering disebut dengan perspektif etik (dari luar) dan pendekatan penelitian yang dipakai tentunya adalah Quantitative research dengan

menggunakan

logico

deductive

verifikatif.

Sedangkan

pendekatan

subjektivis

 

(konstruktivis) sering disebut dengan perspektif emik (dari dalam) dan pendekatan penelitiannya adalah Qualitative research dengan menggunakan logico inductive abstractif yang bertujuan untuk meneliti makna sosial kultural dari ‘dalam’ dan analisisnya cenderung bersifat ideografik (Chadwick,

1984;

Giddens,

1987).

Dalam perspektif teoritis, banyak teoritikus sosial yang menganjurkan pentingnya para peneliti sosial budaya untuk menggunakan teori integratif dalam melakukan analisis fenomena sosial budaya. Beberapa pandangan para teoritikus sosial yang mendorong perlunya melakukan analisis an alisis sosial dengan menggunakan teori integrasi mikro-makro antara lain: (a) Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosial berskala mikro (induktif) dan teori berskala makro (deduktif); (b) Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’, dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara mikromikro -makro’; dan (c) Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya Macro Sosiological Theory: Perspectives on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa ‘Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu’ dan  perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro (Alexander, 1987) dalam proses analisis

sosial.

Beberapa pandangan para teoritisi tersebut dapat dikatakan sebagai embrio tentang pandangan  pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro atau pendekatan subjektivis dengan teori-teori makro atau pendekatan objektivis dalam melakukan analisis realitas sosial budaya. Gerakan atau  perkembangan perlunya analisis sosial budaya dengan pola integrasi mikro-makro atau integrasi agen-struktur begitu sangat popular di tahun 1980-an dan 1990-an dan terus berkembang sampai sekarang

(Ritzer

dan

Godman,

2003).

Pandangan para teoritikus sosial modern juga telah menyinggung perlunya pendekatan integratif dalam melakukan analisis sosial budaya, diantaranya adalah: Pertama, Emille Durkheim, bahwa  pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang b arang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif dalam

 

 pandangan Ritzer. Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Oleh para ahli konsep Durkheim tentang  pendekatan terpadu itu belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik

(Ritzer,

2002).

Kedua, Karl Marx, bahwa pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam  proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial budaya tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikromakro Marx masih memberatkan pada struktur makro yang bersifat materi menentukan struktur mikro

yang

bersifat

non

materi

(Johnson,

D.P.,

1986).

Ketiga, Max Weber, bahwa perhatian Weber terhadap faktor makro-objektif ditunjukkan pada struktur birokrasi. Sedangkan faktor makro-subjektif adalah perhatiannya pada rasionalisasi nilai-norma. Weber memperhatikan pada realitas sosial budaya tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya  perhatian yang sangat besar pada tingkat mikro (contoh, pandangannya bahwa “manusia memiliki pikiran dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Menurut Weber, semua tindakan individu ditentukan oleh faktor internal (subjektif) yaitu jiwa dan pikiran rasional manusia itu sendiri bukan ditentukan eksternal/ lingkungan (objektif). Ada empat macam tindakan individu menurut Weber, yaitu: Tindakan rasional instrumental; Tindakan irasioal instrumental; Tindakan afektif; dan Tindakan tradisional. Dari keempat macam tindakan tersebut tindakan rasional instrumental adalah paling kunci. Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikro-makro, tetapi menurut para ahli, Weber lebih menekankan aspek mikro (pikiran rasional subjek/ individu) yang menentukan aspek makro,

bukan

aspek

makro

menentukan

mikro

(Wrong,

D.

(ed),

2003).

Keempat, Talcott Parsons, bahwa Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia

 

 juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial. Sistem tindakan kultural Parsens adalah paralel dengan konsep makro subjektif-makro objektif, dan sebagian konsep kepribadian Parsens juga paralel dengan tingkat mikro subjektif (Ritzer, 2002). Meskipun Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu, namun titik berat argumentasinya masih terletak pada sisi struktur makro, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian (aspek mikro). Individu terdeterminasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Menurut Parsons, kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali

Kelima,

atau

hampir

Ritzer

dalam

tidak

ada,

bukunya

yang

terjadi

‘Sociology:

A

adalah

sebaliknya

Multiple

Paradigm

(Ritzer,

2002).

Science’

(1980),

mengemukakan betapa pentingnya peneliti sosial budaya menggunakan pendekatan integrasi teori atau paradigma secara terpadu dalam melakukan analisis sosial. Sedangkan pokok-pokok  pikiran Ritzer antara lain: (1) paradigma terpadu bukan dimaksudkan sebagai pengganti  paradigma objektivis atau subjektivis yang sudah ada. Paradigma yang ada akan tetap bermakna  bagi analisis sosial budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial budaya secara komprehensif; (2) bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat realitas sosial, yaitu: (a) makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran antar individu; (d) mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, motivasi,  pandangan, perasaan individu dan konstruksi sosial realitas oleh individu. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara integratif, artinya setiap persoalan khusus yang dikaji harus diselidiki dari empat tingkatan sosial tersebut secara terpadu’; (3) realitas sosial dalam kenyataan yang sebenarnya sedemikian kompleks, terus menerus berubah, sehingga diperlukan analisis terpadu dari berbagai aspek tersebut; (4) paradigma terpadu harus diperbandingkan berdasarkan perjalanan waktu atau antara  berbagai

masyarakat.

 

Sifat saling melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan data dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan sebagainya) dalam penelitian ilmiah; dan (5) paradigma terpadu harus mengambil manfaat dari logika dialektik atau saling berhubungan. Diantara ciri logika dialektik adalah: (a) memandang manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya membatasi dan memaksa si-aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c) tidak menitik beratkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat interaktif), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya, selama -lamanya, dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektifobjektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis fenomena sosial budaya adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya;   (2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space); (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agenstruktur yang terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi  meliputi  hubungan dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam

 

 pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan

agen-struktur.

Permasalahan yang muncul adalah, apakah metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat digabungkan dalam proses penelitian?. Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya melakukan penelitian sosial dengan menggunakan pendekatan integratif (kuantitatif-kualitatif),

antara

lain:

1) Pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif

dalam

penelitian

sosial-budaya

(Giddens,

1995;

Ritzer,

2002).

2) Setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya  pendekatan memadukan kuantitatif-kualitatif dalam proses penelitian sosial-budaya (Brannen (ed),

2002)

3) Kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian, misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif (Sugiyono, 2007), atau sebaliknya, yaitu penelitian kuantitatif untuk menguji teori, kemudian hasil pengujian teori tersebut didalami lebih jauh dan integral dengan  pendekatan

kualitatif.

4) Penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan datanya, yaitu dalam  penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan angket,

 

kemudian dari beberapa item pada angket tersebut didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur (ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan

triangulasi

dalam

pengumpulan

data.

5) Menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian kuantitatif dapat dicek pada  penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu sebagai sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c) penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian  peneliti, sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak. Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e) penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan, sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar peubah tersebut, hal ini akan dibantu dengan  penelitian kualitatif; (f) penggabungan akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro (kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena

sosial.

6) Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial budaya (fenomena sosial budaya) yang banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan tetapi ada juga  permasalahan sosial budaya (fenomena sosial budaya) lain yang sulit dijelaskan dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan metode  penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000;

Creswell,

2005).

7) Pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan kuantitatif) seringkali belum

 

mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik dan makna terdalam (menukik kedalam  pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan  perpaduan kuantitatif-kualitatif.

Meskipun ada sebagian ahli menolak adanya metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dalam  proses penelitian, misalnya Cicourel, tetapi banyak pula teoritikus yang mendukung perlunya  pendekatan integrasi dalam proses analisis penelitian sosial, antara lain: (1) Denzin dengan istilah ‘Triangulati Methods’; (2) Burgess dengan istilah ‘Strategi Penelitian Ganda’; (3) Brannen dengan istilah ‘Mixing Methods’; (4) John W. Creswell dengan istilah ‘Combined Qualitative Qualitat ive and Quantitative Designs’; (5) Giddens dengan istilah ‘Dualitas Structur atau Strukturati’; dan (6) Ritzer dengan istilah ‘Micro‘Micro -Macro Integration’ (Brannen (ed), 2002; Ritzer and

Goodman,

2003).

Menurut John Creswell dalam bukunya Research Design Qualitative & Quantitative Approache (1994), ada tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) model pertama, disebut  pendekatan rancangan dua fase (the two-phase design approarche); (b) model kedua, disebut rancangan dominan-kurang dominan (the dominant-less dominant design); dan (c) model ketiga, disebut rancangan metodologi campuran (the mixed-methodology design). Sedangkan J. Brannen dalam bukunya ‘Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research’ (2002), membagi tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) rancangan penelitian yang menempatkan metode kuantitatif lebih dominan atas metode kualitatif; (b) rancangan penelitian yang menempatkan metode kualitatif lebih dominan atas metode kuantitatif; dan (c) rancangan  penelitian yang menempatkan aspek kuantitatif dan kualitatif diberi bobot yang seimbang.

E.

Hakikat

Aksiologi

Ilmu  

Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral

 

dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu

1.

pengetahuan

Fungsi

bagi

ilmu

kehidupan

pengetahuan

masyarakat.

(science) 

Pada pembahasan di atas telah diuraikan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan bagaimana caracara memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan ummat manusia menurut para ahli antara lain: (1) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, dan memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan dalam kehidupan masyarakat; dan (2) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu  pengetahuan dengan den gan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan individu atau masyarakat

(Kerlinger,

F.,

2002).

Pandangan lain mengatakan bahwa ada tiga fungsi atau kegunaan ilmu pengetahuan, yaitu: Pertama, sebagai alat eksplanasi, yaitu ilmu pengetahuan (science) merupakan media yang paling  baik dalam menerangkan atau menjelaskan (mengeksplanasikan) segala fenomena kehidupan yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi di era sekarang. Segala kejadian dalam kehidupan di masa lampau, baik menyangkut perubahan fenomena alam, perubahan dan dinamika ekonomi, politik, hukum, dan sosial-kebudayaan semuanya mampu dijelaskan dengan  baik oleh ilmu pengetahuan. Contoh, penjelasan segala peristiwa di masa lampau dapat dijelaskan oleh sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah pendidikan, sejarah hukum, sejarah kesusastraan, sejarah agama dan sebagainya. Penjelasan tentang segala fenomena di masa lampau yang objektif adalah diperoleh dari penjelasan (eksplanasi) ilmu pengetahuan.

Kedua, sebagai alat untuk meramalkan suatu fenomena tertentu. Melalui proses penelitian ilmiah tentang suatu fenomena tertentu, seorang ilmuwan akan memperoleh data yang valid dan mampu mengambil kesimpulan tentang sesuatu hal, misalnya fenomena X, melalui penelitian ilmiah seorang peneliti akan memperoleh: (a) latar belakang terjadinya fenomena X; (b) sebab-sebab terjadinya fenomena X; (c) faktor-faktor pendorong dan penghambat terjadinya fenomena X; (d)

 

strategi meningkatkan kualitas fenomena X; (e) memberikan rekomendasi teoritik dan praktis tentang fenomena X, dan seterusnya tentang sesuatu yang bisa diungkap tentang fenomena X. Ketika dilakukan penelitan ulang tentang femonema X yang relatif sama dengan kondisi situs  penelitian yang relatif sama di daerah lain, maka hasil penelitian ilmiah pertama akan menjadi referensi penting bagi penelitian lanjutan, dan hasil penelitian lanjutan tersebut akan mampu memberikan rekomendasi teoritik atau prediksi tentang perkembangan fenomena X tersebut di masa akan datang yang lebih lengkap. Jadi, fungsi ilmu pengetahuan dalam teori harus bisa memberikan fungsi prediksi ke depan tentang suatu fenomena kehidupan dengan baik. Meskipun sifat kebenaran prediksi tersebut tidak mutlak, namun kehadiran prediksi science mempunyai nilai

fungsional

yang

penting

bagi

kehidupan

sekarang

dan

yang

akan

datang.

Ketiga, sebagai alat kontrol. Perbedaan antara prediksi (ramalan) dengan kontrol (pengendalian) adalah, apabila prediksi sifatnya ‘relatif statis’, karena hanya memberikan beberapa alternatif kemungkinan akan terjadinya sesuatu, berdasarkan data-data empirik hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan kontrol lebih mempunyai ‘sifat dinamik’ atau aktif terhadap suatu keadaan tertentu. Kontrol dilakukan juga tidak lepas dari hasil penelitian ilmiah. Suatu kontrol dapat dilakukan dengan baik, apabila telah dilakukan proses penelitian ilmiah terhadap sesuatu fenomena

2.

tertentu

Tanggung

(Agus,

B.1999;

jawab

Keraf,

ilmu

S.

dan

Dua,

pengetahuan

M.,

2001;

terhadap

Tafsir,

2007).

kehidupan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa setiap ilmu pengetahuan dibangun atas dasar tiga landasan filosofis ilmu, yaitu: ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Khususnya tentang aksiologi, punya makna bahwa hakikat ilmu pengetahuan akan punya arti atau makna apabila ilmu pengetahuan itu mempunyai nilai pragmatis atau mempunyai makna fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat secara lebih berkualitas dalam segala aspeknya.

Atas dasar prinsip tersebut di atas maka prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan

dalam

memahami

makna

aksiologi

ilmu

pengetahuan

antara

lain:

1. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial dan moral yang terpikul di pundaknya.

 

Seorang ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggunjawab agar produk keilmuan atau hasil-hasil penelitian ilmiah mampu memberi manfaat

bagi

kehidupan

masyarakat

secara

kuantitatif

atau

kualitatif.

2. Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan pada setiap proses penelitian yang dia lakukan. 3. Seorang ilmuwan harus: mampu memberikan penjelasan (eksplanasi) tentang fenomena hidup; mampu memberikan kesimpulan tentang fenomena hidup; dan mampu memprediksi tentang fenomena hidup secara objektif dan komprehensif, serta selalu membangun komitmen untuk ikut membentuk atau mewarnai pola perilaku manusia paripurna (manusia yang berkualitas dalam hubungan dengan sesamanya, dengan alam dan dengan Tuhannya) (Drijarkara, N.,1978; Suriasumantri

J.S.,

1996;

Mutahhari,

1997).

4. Agar seorang ilmuwan mampu memberikan kontribusi pencerahan pemikiran kepada setiap manusia dalam memaknai segala fenomena kehidupan, maka setiap ilmuwan harus mampu membangun kualitas diri (internal) secara padu dan seimbang antara kualitas potensi intelektual, emosional dan spiritualnya (IESQ). Kemampuan diri dalam membangun IESQ akan mendorong setiap karya yang dihasilkan individu mempunyai makna pencerahan bagi kehidupan, sehingga apapun informasi dari hasil penelitian ilmiah diberbagai bidang kehidupan akan mempunyai nilai aksiologi (pragmatis) yang tinggi bagi kehidupan ummat manusia (Agustian, Ary G. 2005; Mutahhari,

2007).

Jadi, pada hakikatnya setiap ilmuwan mempunyai tanggungjawab ganda dalam upaya  pembangunan kualitas hidup manusia, yaitu: (a) tanggungjawab membangun kualitas daya analisis ilmiah (prinsip-prinsip berpikir ilmiah), demi meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan; (b) tanggungjawab membangun kualitas sikap mental (potensi rasa dan karsa); demi meraih kehidupan yang damai dan sejahtera secara individu atau kelompok; dan (c) tanggungjawab membangun kualitas spiritual, demi meraih kerukunan antar ummat beragama dan demi meraih makna kebahagiaan hidup hakiki. Ketiga tanggungjawab tersebut merupakan satu kesatuan sistem, yang harus menjadi obsesi setiap ilmuwan

dalam

pengembangan

setiap

disiplin

ilmu

pengetahuan.

 

F.

Hubungan

Antara

Filsafat,

Ilmu,

Agama

dan

Kehidupan  

Sebagaimana yang telah disinggung atau diuraikan di atas, bahwa ‘dalam rangka membangun kualitas proses pemenuhan segala kebutuhan manusia dalam hidupnya, manusia harus  berorientasi  pada ‘nilai-nilai ‘nilai-nilai filosofis, nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai nilai-nilai spiritual’. Antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan adalah suatu sistem. Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang: (a) hubungan antara filsafat dengan ilmu; (b) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama; (c) hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai, norma (budaya); dan (d)

hubungan

antara

filsafat,

ilmu

pengetahuan,

agama

dan

kehidupan.

Pada dasarnya pembahasan tentang hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial budaya adalah merupakan penjelasan lebih lanjut tentang ‘hakikat aksiologi ilmu’. Oleh karena itu penjelasan berikut ini akan lebih memperkuat asumsi ‘bahwa antara filsafat, ilmu, agama dan makna kehidupan adalah sangat erat’. Filsafat  Filsafat   dan ilmu pengetahuan harus mempunyai makna  pragmatis

1.

atau

mempunyai

Hubungan

nilai

antara

fungsional

filsafat

bagi

dengan

kehidupan

ilmu

masyarakat.

pengetahuan  

Dalam perspektif apapun, tidak ada ilmuwan yang menolak asumsi bahwa ‘filsafat dan ilmu  p  pengetahuan engetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat’, keduanya bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang. Jadi, antara filsafat dengan ilmu pengetahuan merupakan satu sistem, keduanya sulit dipisahkan, keduanya saling mengisi dalam memahami segala fenomena kehidupan, baik fenomena sosial-budaya maupun fenomena alam. Ada beberapa argumentasi tentang

eratnya

hubungan

antara

filsafat

dengan

ilmu

pengetahuan,

antara

lain:

a. Ilmu pengetahuan sebagai asas moral, artinya pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh setiap ilmuwan harus menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan mempunyai dimensi pengabdian secara universal (holistik) untuk nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Paling tidak ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan, yaitu: nilai kritis; nilai rasional; nilai logis; nilai objektif; nilai keterbukaan; nilai kebenaran; dan nilai pengabdian untuk kemaslahan hidup (kebaikan) secara universal. Diantara ketujuh nilai tersebut pada hakikatnya merupakan

 

 bagian dari ciri-ciri studi filsafat (Ghulsyani,M. 1986; Ankersmit. 1987; Hanafi, H., 2004). Jadi,  baik filsafat maupun ilmu pengetahuan mempunyai misi yang sama dalam menjelaskan fenomena hidup di atas prinsip-prinsip: kejujuran, kebenaran, keterbukaan, kritis, logis dan kemaslahatan

hidup.

 b. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara dalam menemukan hakikat kebenaran secara rasional, empirik, dan objektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan jangan sampai mengarah pada sikap scientisisme atau rasionalistis, diperlukan bantuan atau orientasi nilai-nilai filosofis untuk menyelami dunia hakikat atau makna sejati dibalik realitas empirik. Jadi, agar  proses penemuan hakikat kebenaran ilmu pengetahuan mendekati kebenaran terdalam dan universal, maka pengembangan ilmu pengetahuan harus dan pasti mendasarkan kepada orientasi filsafat tertentu, artinya ketika pengembangan ilmu pengetahuan itu berorientasi pada nilai filosofis,

makna

aksiologi

ilmunya

akan

lebih

nampak.

c. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan. Hal ini terutama untuk mengontrol khususnya pada landasan epistemologi (metodologi) dan aksiologi (nilai fungsional) keilmuan. Jadi, proses kerja epistemologi ilmu dan proses aksiologi ilmu yang bermakna, mau tidak mau harus berorientasi  pada

nilai-nilai

filosofis.

d. Filsafat merupakan ratu atau induknya ilmu pengetahuan, hal ini karena: (1) sikap dasar ‘selalu bertanya tentang sesuatu’ adalah hakikat filsafat, dan lahirnya atau berkembangnya ilmu  pengetahuan adalah dari ‘suatu pertanyaan’ atau sikap selalu kritis (bertanya) tentang segala fenomena kehidupan. Jadi sikap dasar bertanya inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan; dan (2) ada perbedaan dasar antara sikap bertanya dalam filsafat dan sikap bertanya dalam ilmu  pengetahuan. Dalam filsafat mempertanyakan

apa saja, universal atau holistik, dan

multidimensional serta menyangkut hakikat inti dan paling mendalam. Sedangkan dalam ilmu terbatas hanya pada objek atau bidang kajiannya saja (Johnstone,H.W. 1968; Keraf dan Dua, 2001).

Berdasarkan uraian tersebut membuktikan bahwa antara filsafat dengan ilmu pengetahuan

 

mempunyai hubungan sangat erat, bahkan sulit dipisahkan. Oleh karena itu ada salah satu bagian atau cabang dari filsafat adalah ‘filsafat ilmu pengetahuan’. Filsafat ilmu pengetahuan itu terutama berkaitan dengan upaya-upaya mengkaji hakikat segala sesuatu yang berkaitan dengan segala pengetahuan manusia, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan sumber-sumber  pengetahuan manusia. Contoh, pertanyaan filsafat pengetahuan adalah: bagaimana manusia bisa tahu?; apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti?; apakah pengetahuan sama

dengan

keyakinan?.

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang dari filsafat yang menjelaskan hubungan antar  berbagai hal yang ada dalam alam ini secara sistematis dan rasional. Hal-hal yang tidak masuk akal (unreasunable) bukan medan kajian filsafat ilmu pengetahuan. Meskipun antara filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, keduanya tetap mempunyai  perbedaan ciri-ciri ciri-ciri khusus (karakteristik) dalam ‘cara kerja’ untuk memahami suatu fenomena hidup. Sedangkan perbedaan cara kerja antara filsafat dengan filsafat ilmu pengetahuan antara lain:

1. Karakteristik cara kerja filsafat antara lain: (1) filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental tentang segala sesuatu; (2) kebenaran itu dicari dengan cara: argumentatif (pemaparan pendapat yang rasional disertai dasar-dasar penalarannya); dan non empirik (tidak  berdasarkan pemahaman inderawi); (3) penalaran filosofis selalu mengandung ciri-ciri: kebermaknaan; skeptis (meragukan); menyeluruh (holistik); mendasar (radikal); kritis; dan analitis. 2. Karakteristik cara kerja filsafat ilmu antara lain: (1) berkaitan dengan pengkajian konsepkonsep, dan metode ilmiah. Berkaitan erat dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya; (2) menyelidiki dan membenarkan ciri-ciri penalaran pengetahuan ilmiah apapun (logika deduktif dan logika induktif), baik dalam proses pembentukannya maupun sebagai suatu hasil; (3) mengkaji bagaimana cara berbagai ilmu yang berbeda satu dari yang lain itu saling berhubungan, dan memperlihatkan kesamaan antara disiplin ilmu pengetahuan satu dengan yang lain, tanpa mengabaikan derajat paradigma metode ilmiah masing-masing disiplin ilmu tersebut; (4) menyelidiki berbagai dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal sebagai berikut: (a) persepsi manusia akan kenyataan; (b) pemahaman berbagai dinamika alam; (c) saling

 

keterkaitan antara logika dan matematika, serta kenyataan; (d) berbagai keadaan dan keberadaan teori; (e) berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya; dan (f) hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya dalam hidup (nilai pragmatis) (Semiawan, C.,

dkk.

2005).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain: (a) baik ilmu pengetahuan (scence) maupun filsafat sama-sama menggunakan ‘metode pemikiran reflektif’ dalam usaha untuk menghadapi mengh adapi dunia atau beragam fenomena kehidupan; (b) keduanya sama-sama meletakkan kerangka berpikir logis, kritis, objektif dan terbuka untuk mencari dan mengetahui hakikat kebenaran; (c) keduanya punya tujuan yang sama yaitu ingin memperoleh pengetahuan yang terbaru dan teratur; dan (d) filsafat memberikan landasan filosofis dalam proses penelitian ilmiah, sedangkan hasil research ilmiah  berupa ilmu pengetahuan (science) melakukan pengecekan, pengujian terhadap filsafat yang menjadi orientasi filosofis dalam research (Praja, J.S., 2005). Sedangkan perbedaan pokok antara ‘filsafat’ dengan ‘ilmu pengetahuan’ adalah, kerangka berpikir filsafat adalah tentang hakikat segala sesuatu secara mendalam, menyeluruh dan ‘tidak bersifat empirik’, sedangkan ilmu  pengetahuan  pengetahua n ‘bersifat empirik’ dan tidak membicarakan hakikat segala sesuatu secara mendalam.  mendalam.  

1.

Hubungan

antara

filsafat

dengan

agama 

Sebelum menjelaskan tentang konsep hubungan antara filsafat dengan agama, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang apa pengertian agama?, dan apa pengertian filsafat?. Berdasarkan sumber-sumber literatur ilmiah tentang studi agama, telah dijumpai  berbagai macam definisi tentang agama, dari beragam definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (a) definisi agama yang menekankan segi ‘rasa iman atau kepercayaan’; (b) definisi agama yang menekankan aspek ‘agama sebagai sistem peraturan tentang cara hidup yang  berkualitas’; dan (c) definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup   yang berkualitas. Perlu dipahami bahwa definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas adalah dianggap paling proporsional. Jadi, definisi agama adalah ‘agama merupakan sistem kepercayaan dan praktik kehidupan sehar i-hari i-hari yang  berdasarkan sistem kepercayaan tersebut manusia ingin meraih derajat kualitas hidup secara lahir

 

dan

batin,

baik

untuk

kehidupan

pribadi

atau

kelompok’.   kelompok’. 

Demikian juga definisi tentang filsafat, di banyak literatur tentang filsafat akan dijumpai  beragam definisi filsafat yang telah disampaikan oleh para filosof. Keberagaman definisi ini disebabkan oleh: (a) kondisi dan tantangan lingkungan alam yang dialami oleh para filosof  berbeda-beda; (b) titik tekan orientasi pandangan pand angan hidup masing-masing filosof berbeda; dan (c) adanya perkembangan dari ilmu filsafat itu sendiri dari jaman ke jaman selalu mengalami akumulasi atau penyempurnaan. Berdasarkan beragam definisi tentang filsafat, maka pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat adalah ‘suatu ‘suatu pengetahuan yang melakukan  penyeledikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan), universal, holistik untuk memperoleh hakikat kebenaran atau kebijaksanaan yang terdalam’.   terdalam’.

Metode kerja atau cara penyelidikan dan tingkatan kebenaran antara ilmu, filsafat dan agama memang berbeda, ketiganya tidak boleh dicampur atau dipertukarkan, namun hakikatnya ketiganya mempunyai hubungan yang erat apabila dikaitkan dengan fungsi ilmu, filsafat dan agama tersebut bagi kehidupan manusia. Menurut para filosof sejatinya antara filsafat dengan agama atau sistem kepercayaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hubungan antara filsafat dengan agama banyak dijelaskan dalam filsafat agama atau teologi. Sedangkan beberapa argumentasi yang memperkokoh pandangan tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan agama

(kepercayaan)

antara

lain:

1. Sebagaimana yang telah diuraikan di depan bahwa filsafat mempunyai peran untuk menjelaskan hakikat segala sesuatu sampai terdalam, holistik, universal, tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat dibalik segala fenomena hidup ini secara mutlak’. Filsafat mengajarkan manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kemerdekaan dalam menjelajah aneka fenomena hidup, tetapi f ilsafat ilsafat ilmu tetap ‘tidak mampu untuk memahami hakikat makna dibalik kemerdekaan manusia’. Ternyata dibalik makna kemerdekaan manusia sejatinya adalah keterbatasan, keterbelengguan oleh sesuatu. Realitas tersebut membuktikan  perlu adanya pemahaman pemaham an dan p perenungan erenungan terhadap nilai-nilai religious (nilai-nilai agama) dalam menutup keterbatasan manusia untuk memahami segala sesuatu dibalik realitas kemerdekaan

 

manusia dalam hidupnya. Jadi, filsafat mendidik, melatih manusia untuk terus membangun kualitas daya kritis dan renungannya, dan agama berfungsi membimbing logika kritis dan arah  perenungan diri untuk tetap memahami ‘hakikat diri’ dalam bingkai mikroskopik dan makroskopik. 2. Filsafat mengajarkan manusia berpikir logik, sistematis, objektif dalam memahami aneka fenomena hidup untuk meraih kebenaran yang sahih (valid), tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat kekuatan dibalik kemampuan manusia berpikir logik, sistematis dan objektif’. Filsafat mengajarkan manusia untuk membangun kerangka berpikir   deduktif maupun induktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan demi kehidupan, tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat kekuasaan dibalik munculnya realias rasional dan empiris yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu’. Untuk memperoleh pemahaman pe mahaman tentang hakikat kekuasaan dibalik kemampuan rasional (deduktif) dan empiris (indukif) manusia tersebut, adalah manusia harus menyelami dunia religious atau spiritual (nilai-nilai agama). Ilmuwan manapun tidak ada yang meyakini bahwa hakikat pengger ak ak ‘benda’ adalah ‘benda’, hakikat penggerak ‘rasional’ adalah ‘rasional’. Penggerak ‘benda’ adalah ‘sesuatu diluar benda’, penggerak ‘rasional’ adalah ‘sesuatu diluar rasional’ dan itulah Tuhan, Sang Maha Penggerak segala fenomena kehidupan ini. Jadi, hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat, terutama dalam

memberikan

makna,

arti,

dan

essensi

dari

segala

sesuatu.

3. Dalam memahami hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup, studi filsafat melahirkan  beragam perspektif (pandangan atau aliran), yang masing-masing perspektif melekat kuat sisi kelebihan dan kelemahannya. Setiap perspektif filosofis ‘tidak pernah sanggup menjelaskan hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup secara komprehensif, holistik, dan universal’. Hakikat kebenaran dan tujuan hidup adalah sebatas sudut pandang aliran filosofis tertentu. Sedangkan agama selalu hadir dengan sistem aturan dan kepercayaannya untuk menyuguhkan  pemahaman hakikat kebenaran dan tujuan hidup manusia secara integral, komprehensif dan universal menuju manusia paripurna. Disinilah letak eratnya hubungan antara filsafat dengan agama, karena hakikatnya filsafat yang selalu membicarakan tentang ‘hakikat segala sesuatu’ tidak akan pernah berhasil untuk menemukan ‘hakikat segala sesuatu’ apabila tidak didampingi   dengan

nilai-nilai

spiritual.

4. Berbicara tentang hakikat sumber pengetahuan, mayoritas ilmuwan berpendapat sama, bahwa ada salah satu sumber pengetahuan yaitu ‘wahyu’. Filsafat adalah induknya ilmu pengetahuan,

 

maka secara tidak langsung filsafat berhubungan berhub ungan erat dengan ‘wahyu’ atau agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Memang memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah bersifat ‘otonom’, tetapi apabila filsafat akan dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup manusia untuk menggapai kebahagiaan lahir-batin, maka filsafat harus memasuki wilayah agama (studi filsafat agama atau teologi). Hal ini menunjukkan hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat (Rasjidi, 1965; Nasution.H. 1975; Ghulsyani,M. 1986; Mutahhari, M. 1997; Praja, J.S., 2005; Sudiarja,

dkk.

2006).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan agama, antara lain: (a) baik agama maupun filsafat mempunyai kesamaan tujuan, yaitu ingin memahami dan mencapai ‘hakikat kebenaran dari segala sesuatu’. Memang cara memahami dan mencapai hakikat kebenaran antara keduanya berbeda, agama mendasarkan pada ‘keyakinan, kepercayaan dan ketaatan mutlak’, sedangkan filsafat melalui perenungan dan penyelidikan mendalam; dan (b) keduanya mempunyai objek kajian dan makna pragmatis yang relatif sama. Objeknya adalah segala sesuatu dalam hidup ini, baik yang material atau imaterial (transendental), sedangkan makna pragmatisnya adalah ’menjadikan kehidupan manusia  bijaksana dan bermakna baik lahir atau bat b atin, in, baik secara individu atau kelompok’. Konsep yang  perlu dipahami adalah, ‘meskipun ada titik temu antara agama dan filsafat, keduanya tetap  berbeda, filsafat tetap filsafat dan agama tetap agama’, namun keduanya punya hubungan erat dalam

membangun

1.

Hubungan

kualitas

antara

kehidupan

ilmu

ummat

manusia

pengetahuan

yang

lebih

dengan

bermakna.

agama  

Menurut para ahli yang berorientasi pada paham positivisme ortodok (kaum positivistis), bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada hubungan atau keterkaitan sama sekali dengan agama. Bagi kaum rasionalistis atau positivistis, eksistensi agama bagi kehidupan manusia adalah kosong, bahkan agama menurut kaum rasionalistis atau positivistis adalah racun atau sumber terjadinya beragam  problem masyarakat. Bagi kaum rasionalis bahwa Tuhan itu semata-mata hanyalah suatu rekaan imajinasi manusia (a fragment of human imagination) (Poedjawiyatna, 1980; Mutahhari, M. 1986).

 

Menurut para ahli, pada hakikatnya pandangan kaum positivistis tentang hubungan antara ilmu dan

agama

tersebut

banyak

sisi

kelemahannya,

antara

lain:

1. Kerangka berpikir kaum positivistis atau kaum rasionalistis yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, (misalnya Feuebach, Bertrand Russel; dan Karl Mark), adalah banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan hidup sosial ekonomi dan politik yang dialami  para tokoh tersebut sehari-harinya, yang mencerminkan suasana disintegrasi dan ketidak mampuan elite agama di Eropa dalam menampilkan peran agama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada jamannya. Jadi, pandangan tersebut sebenarnya sangat subjektf (situasional, parsial), dan tidak integral dalam mencermati hakikat fenomena kehidupan. Dimata  para ilmuwan tersebut para elite agama yang hidup di jamannya banyak dianggap menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan kualitas hidup di berbagai aspek, disamping itu para ilmuwan sekuler tersebut memandang hakikat agama hanya dari realitas historis bukan dari essensi ajaran atau

syariat

agama

(Abraham,

F.M.

1982;

Ghulsyani,M.

1986).

2. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa hakikat kebenaran ilmu pengetahuan (science) adalah bersifat relatif, dan dari waktu ke waktu akan tetap diuji kebenarannya dengan analisis research sesudahnya. Oleh karena itu sangatlah tidak layak menilai hakikat kebenaran dalam agama hanya mendasarkan pada kebenaran ilmu pengetahuan yang sangat relatif, yang masih perlu adanya penelitian ilmiah berikutnya. Jadi, apa yang dianggap benar dalam perspektif science hakikatnya adalah ‘kebenaran sementara atau relatif’, masih diper lukan lukan revisi bahkan revolusi (Kuhn, T., 1970; Agus, B., 1999), sehingga sangat tidak signifikan ketika menilai kebenaran agama yang ‘absolut’ dengan kebenaran ilmu yang ‘sementara atau relatif’.   3. Pada hakikatnya semua manusia mempunyai banyak keterbatasan kemampuan dan  pengalaman dalam hidupnya, sehingga dia tidak mampu mengakses semua yang ada diluar kemampuan akal (rasional) dan indranya (empiris), sementara setiap pikiran manusia yang normal (kualitas merenung) selalu mengakui adanya ‘sesuatu’ di luar  jangkauan kemampuan manusia, yang menentukan kehidupan manusia (kekuatan supranatural). Jadi, ketika produk  pemikiran manusia meyakini ‘sesuatu diluar nalar adalah kosong’, sejatinya sejatin ya hal itu adalah sikap ‘pengkerdilan potensi rasional (deduktif) dan empirik (induktif) manusia’ dalam memahami essensi

kehidupannya

(Nasution,

1975;

Hanafi,

2004)

4. Setiap manusia selalu mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam hidupnya, karena beragam

 

 persoalan yang muncul diluar rancangan dan jangkauan nalar manusia, dan agama adalah obat yang paling baik dalam menghilangkan kegelisahan hidup, bukan ilmu pengetahuan. Sering terbukti para ilmuwan atheis, akhir perjalanan hidupnya adalah tragis dengan cara bunuh diri, tidak mampu menampilkan sosok ilmuwan ideal dalam mengakhiri jalan hidupnya, hal ini disebabkan dia terus mengikuti ‘godaan pikiran (nalar)untuk bertanya dan terus bertanya tentang sesuatu tanpa tersentuh oleh nilai-nilai nilai-nilai essensi dibalik pertanyaan’, akhirnya frustasi (dispsikhis) dan pasti dia merasakan kehampaan hidup, kondisi psikis seperti ini sangat membutuhkan nilainilai

agama.

5. Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai idea-idea (teori Plato). Idea itulah memberi arti tentang makna essensi ‘sesuatu’, idea itu ada di alam idea. Seluruh indra manusia yang nampak dan apa saja yang nampak di dunia ini hakikatnya tidak ada arti, dia hanya bayangan dari idea. Jadi, idea inilah yang menentukan segala kebaikan (absolut good atau Yang Mutlak Baik), dan Yang Mutlak Baik itulah Tuhan; dan setiap manusia mengakui adanya peran nilai, norma dalam kehidupan, disamping itu setiap manusia hakikatnya mengakui adanya Zat Maha Besar dan Maha Sempurna. Salah satu sumber nilai dan norma kehidupan tersebut adalah agama atau kepercayaan (Tafsir, A. 2003; Agustian, Ary G. 2005; Sudiarja, dkk. 2006).

f. Ketika mencermati latarbelakang sejarah kehidupan para ilmuwan atheis (anti agama) tersebut, mayoritas mereka mengalami kegagalan yang telah dibentuk oleh lingkungannya dalam proses  pembelajaran budaya, khususnya aspek sosialisasi nilai-nilai kehidupan, internalisasi nilai-nilai kehidupan, dan enkulturasi nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu pandangan mereka tentang tidak adanya hubungan agama dengan ilmu pengetahuan adalah parsial atau tidak integral (Syariati, 1982; Mutahhari, M. 1986).

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas membuktikan bahwa: (a) agama dan llmu  pengetahuan mempunyai mempu nyai hubungan hub ungan yang sangat erat, khususnya ditinjau dari aksiologi ilmu; (b) argumentasi rasional yang menihilkan peran agama dalam kontek kehidupan hakikatnya tidak mendasar, bahkan pandangan tersebut sejatinya mengkerdilkan potensi akal pikiran manusia yang sangat kompleks dan dinamik; dan (c) antara agama dan ilmu pengetahuan memang mempunyai metode kerja yang berbeda dalam memahami ‘makna kebenaran’, namun keduanya tetap mampu memberikan kontribusi dalam memaknai arti hidup. Agama tanpa ilmu

 

 pengetahuan akan kehilangan ‘pencerahan hidup’, demikian juga sebaliknya ilmu pengetahuan tanpa agama akan membawa ‘bencana dan kesesatan hidup’

1.

Hubungan

antara

ilmu

pengetahuan

dengan

(Ghulsyani ,M.

nilai-norma

1986).

(budaya)

Sejak dulu sampai sekarang, dikalangan ilmuwan tetap terjadi silang pendapat tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma sosial budaya. Beragam pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan (science) dengan

nilai-norma

kehidupan

sosial-budaya,

antara

lain:

1. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat positivisme, yang umumnya terwakili oleh kelompok ilmu pengetahuan alam (natural sciences) atau matematika cenderung berpandangan  bahwa: (1) perkembangan ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak ada hubungannya dengan nilai dan norma (culture) yang berkembang di masyarakat; dan (2) paradigma  pengembangan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam atau pengetahuan ilmiah bersifat logis, pasti dan objektif-rasional. Sedangkan paradigma nilai, norma atau kebudayaan (culture) adalah dibangun atas dasar relativitas atau kenisbian budaya (Ravertz, J.R. 1982). Oleh karena itu menurut Karl Pearson, dalam Agus, B. (1999), bahwa sikap ilmiah yang ideal dalam  pengembangan science adalah ‘tidak memihak’ (disinterestedness) dan ‘bebas dari prasangka dan kecenderungan pribadi’ (unbiased by personal feeling). Jadi, pengetahuan pengetahuan ilmiah  pengembangannya

harus

‘bebas

nilai’

(value

free).  free). 

2. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat idealisme atau konstruktivisme. Pandangan ini mengkritik habis-habisan pandangan pertama yang menilai pengembangan ilmu pengetahuan harus

bebas

nilai

(value

free).

Diantara alasan kelompok yang menolak ilmu pengetahuan (science) bebas nilai adalah: (1)  bahwa pilihan terhadap asumsi dan rumusan hipotesis yang dikembangkan para ilmuwan pada hakikatnya adalah ‘pernyataan yang timbul dari penilaian‘  penilaian‘   (evaluative assertions), sedangkan menilai terhadap sesuatu sudah pasti berdasarkan pada standar nilai dan norma tertentu. Jadi,  pandangan bahwa science harus bebas nilai adalah mendustai realitas pengembangan ilmu  pengetahuan itu sendiri; (2) teori yang disusun di atas asumsi yang merupakan penilaian terhadap

 

suatu fenomena pada hakikatnya juga tidak terlepas dari pandangan dan nilai tertentu yang diyakini atau atas dasar motivasi subjek untuk memilih. Jadi, unsur subjektiv sedikit banyak ikut mewarnainya; (3) setiap peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak bisa membebaskan dirinya dari: (a) hasil karya penelitian ilmiah sebelumnya; (b) pengaruh lingkungan fisik dan sosial, lingkungan budaya, politik dan kondisi ekonominya; dan (c) tidak  bisa lepas dari pengaruh kecenderungan pribadi, khususnya dalam memilih atau membatasi ruang lingkup objek penelitiannya (variabel dan indikator yang diteliti). Jadi, argumentasi tersebut di atas mementahkan pandangan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus bebas nilai (value free). (Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981; Myrdal, G. 1982; Poespoprodjo, 1987).

Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyimak argumentasi yang mendukung bahwa ilmu  pengetahuan ilmiah baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah tidak bebas nilai (unvalue free) yang berlaku dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma kehidupan sosial budaya adalah

sangat

erat.

2. Ditinjau dari filsafat ilmu, maka hakikat pengembangan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu  pengetahuan sosial harus mengandung aspek aksiologi ilmu (nilai fungsional atau pragmatis), misalnya, hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi kemaslahatan kehidupan dan mampu memprediksi fenomena yang akan terjadi dihari-hari yang akan

datang

(Myrdal,

G.

1982;

Brannen,

J.

2003).

3. Perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan kebudayaan atau mampu membangun peradaban hidup. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat, 4.

baik

Hubungan

untuk

kurun

antara

waktu filsafat

sekarang dan

maupun

waktu

kehidupan

yang

akan

sosial

datang. budaya.

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Sebagaimana uraian di atas, tentang manfaat mempelajari filsafat, maka satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan

 

kualitas hidup melalui pemahaman tentang filsafat hidup dan ilmu pengetahuan. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak  bisa lepas dari d ari kontribusi k ontribusi perkembangan p erkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dan hakikat filsafat dan ilmu

pengetahuan

merupakan

‘wujud

ide’

dari

kebudayaan

atau

‘sistem

(Koentjaraningrat,

budaya’ 1982).

Hakikat kehidupan sosial adalah ‘merupakan suatu sistem’. Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur -unsur -unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau kait mengkait dalam proses kehidupan, dan penggerak atau penyatu antar sub unsur dari sistem sosial tersebut sejatinya adalah nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang disebut

filsafat

hidup

(way

of

life).

Kehidupan sosial (kolektif) dimanapun pada hakikatnya merupakan suatu sistem, sedangkan karakteristik

suatu

sistem

sosial

antara

lain:

1. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu  bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem masyarakat atau sistem negara) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi, sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan anak. Perlu dipahami, bahwa orientasi pengembangan kehidupan kelompok yang berskala mikro atau makro tersebut secara berkualitas harus mendasarkan pada nilai-nilai filosofis atau  pandangan

hidup

(way

of

life).

2. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya. Agar proses dan dampak perubahan tersebut menghasilkan

 

kualitas dan stabilitas hidup, maka proses perubahan harus tetap diwarnai oleh nilai-nilai  pandangan

hidup

(filsafat)

yang

disepakati

oleh

warga

masyarakat.

3. Antara su b sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat deterministik (saling mempengaruhi) (Berry, D., (1981). Jadi, pada hakikatnya masing-masing unsur dalam sistem tersebut pemberdayaannya adalah berorientasi pada sistem filsafat yang dianut, Contoh, sistem pendidikan nasonal adalah berorientasi pada filsafat Pancasila. Demikian juga sistem kehidupan keluarga akan mendasarkan pada nilai-nilai filosofi hidup tertentu, yang diyakini oleh anggota

keluarga.

Jadi, suatu kehidupan sosial dianggap diangg ap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur -unsur -unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial, sedangkan penggerak sistem adalah nilai filosofis’. Unsur -unsur -unsur sistem sosial tersebut antara lain: (1) pengetahuan atau keyakinan; (2) sentimen atau perasaan (tindakan afektif); (3) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (4) nilai dan norma sosial; (5) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (6) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (7) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (8) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (9) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (10) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M., 1998). Kesupuluh unsur sub sistem tersebut hakikatnya operasionalisasinya dikendalikan oleh sistem filosofis tertentu yang menjadi orientasi hidup (way of life) pada setiap kehidupan kelompok sosial dari yang bersifat makro (bangsa) maupun yang mikro (keluarga). Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa hubungan filsafat dengan kehidupan sosial adalah sangat erat

Sedangkan mengenai kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat (1982), bahwa pada dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam  bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan. Wujud ini sering disebut sebagai ‘sistem budaya’; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks   kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan sehari-hari. sehari-hari. Wujud ini sering disebut sebagai ‘sistem sosial’; dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi). Demikian juga suatu kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang disebut sebagai budaya universal, yang meliputi tujuh

 

unsur,

yaitu:

1) Sistem religi atau sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini  pasti mengenal sistem religi dan upacara keagamaan atau sistem ke keyakinan yakinan pada kekuatan ’supra natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara personal tetap natural’. mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural), hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen,

Katholik,

Hindhu,

Budha

dan

sebagainya.

2) Sistem organisasi kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola pola organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk berben tuk pola-pola pola -pola aktivitas sosial dalam kelompokkelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Misalnya, organisasi atas dasar ikatan kekerabatan, organisasi atas dasar ikatan profesi, organisasi ata dasar ikatan politik dan

3)

sebagainya.

Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat

dimanapun pasti

mengembangkan sistem

 pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan pen getahuan alam, sosial atau pengetahuan humaniora. Misalnya, mengembangkan penelitian atau kajian ilmiah, mengembangkan institusi pendidikan sebagai transformasi ilmu pengetahuan dan budaya, dan sejenisnya. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat

semakin

kompleks

sistem

ilmu

pengetahuan

yang

dikembangkan.

4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial, baik bahasa simbolik maupun non-simbolik. Misalnya, mengembangkan bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa pergaulan internasional, dan

sejenisnya.

5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang dihadapi sehari-hari pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun, dan sebagainya) sesuai dengan kondisi alam lingkungan agraris, dan sebagainya.

 

6) Sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencaharian hidup, misalnya mata pencaharian pertanian, nelayan, pertukangan, industri,  profesi tertentu, dan sebagainya. Pola pengembangan sistem mata pencaharian hidup tersebut antar

masyarakat

tentu

sangat

beragam

bentuk

dan

tingkat

kuantitas-kualitasnya.

7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam melakukan aktivitas tertentu di masyarakat. Misalnya: sarana tempat tinggal, sarana persenjataan, sarana transportasi

dan

sebagainya..

Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut mempunyai tiga wujud  budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud sistem teknologi). Dalam kajian antropologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak cukup hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus dilakukan secara integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat kebudayaan itu adalah mencakup seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma dalam wujud sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi secara integratif (Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo, 1999). Jadi, setiap unsur kebudayaan tersebut mempunyai wujud sistem budaya, wujud sistem sosial dan wujudu sistem teknologi, yang menyatu terintegrasi sebagi sistem, dan semua unsur  budaya

tersebut

berorientasi

1.

G.

Hubungan

1.

pada

suatu

filsafat

Teori

Pengertian

tertentu

dengan

(wujud

budaya

Penelitian

idea).

Ilmiah

teori  

Dalam pandangan filsafat ilmu dan teori-teori ilmu sosial, bahwa suatu perspektif (sudut  pandang) untuk menilai ‘kebenaran’ terhadap suatu fenomena sosial-budaya sosial -budaya tidak bisa dianggap sebagai salah satu perspektif yang ‘paling benar’, sedangkan perspektif yang lainnya dianggap   salah. Hal ini disebabkan setiap perspektif itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, pandangan filsafat yang berbeda; Kedua, beragam orientasi teori (theoritical orientation) yang dipakai; Ketiga, metode yang digunakan dalam memahami realitas sosialnya  juga berbeda; dan Keempat, fokus permasalahan yang dikaji tidak sama (Ritzer G, 2002).

 

  Dalam studi ilmu sosial, akan ditemukan beragam definisi tentang teori, antara lain: Pertama, menurut M.Francis Abraham (1982), Teori adalah ‘suatu skema ske ma abstrak atau konstruksi simbol, sebagai hasil perangkuman terhadap kenyataan empiris yang dapat diamati menjadi suatu abstraksi tingkat tinggi’ (Abraham, 1982); Kedua, menurut Kerlinger, teori adalah ‘seperangkat konstruk (konsep), batasan (definisi), dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu’ (Kerlinger, 1986); Ketiga, menurut Gibbs (1972), Teori adalah ‘suatu kumpulan  kumpulan  statemen yang mempunyai kaitan logis, merupakan cermin dari kenyataan yang ada tentang sifat-sifat atau ciri-ciri ciri-ciri khusus, peristiwa atau benda’; Keempat, menurut Hage (1972), bahwa ‘suatu teori itu tidak hanya mengandung konsep dan statemen, tetapi juga definisi (baik definisi teoritis maupun operasional) dan hubungan logis (teoritis dan operasional) antar konsep’ (Zamroni, 1992). Kelima, menurut Johnson, teori merupakan ‘seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan menggambarka n  pada satu tingkatan generalitas yang tinggi dan menjelaskan seperangkat gejala-gejala gejala- gejala empiris’ (Johnson, 1981). Suatu teori dapat juga dikatakan sebagai suatu konstruksi yang padu dari  beberapa elemen dasar atau penting yang menyangkut tentang: konsep, variabel, statemen dan format

(Turner,

1982).

Timashell menyimpulkan, bahwa suatu teori adalah seperangkat proposisi, yang menunjukkan hubungan secara baik, yang menunjukkan bahwa: (a) proposisi itu dapat terdefinisikan dalam  bentuk konsep; (b) hubungan antar proposisi itu harus konsisten satu dengan yang lain; (c)  proposisi-proposisi tersebut dapat mendeduksikan sebuah generalisasi; dan (d) proposisi itu harus dapat dipercaya, artinya menunjukkan hasil observasi dan dapat dibuktikan lebih lanjut, dan generalisasinya itu mampu memperluas ruang lingkup pengetahuan (Timashell, 1967).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan tentang pengertian teori, yaitu suatu teori harus: (a) mengandung konsep, definisi dan proposisi; (b) ada hubungan logis diantara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi; (c) hubungan tersebut menunjukkan atau merupakan cermin fenomena sosial; dan (d) dengan demikian teori dapat digunakan untuk eksplanasi dan prediksi, terhadap realitas empirik yang dapat diamati dan

 

dipertanggungjawakan

objektivitasnya.

Proposisi adalah ‘suatu pernyataan yang mengandung dua atau lebih konsep atau variabel’ (Zamroni, 1992). Dalam terminologi scientific researh (penelitian ilmiah), menurut jumlah konsep atau variabel yang terdapat di dalamnya, proposisi dibedakan menjadi tiga, yaitu: Univariat; Bivariat; dan Multivariat. Jadi, suatu proposisi dianggap ‘benar’, apabila proposisi itu cocok dengan fakta-fakta, atau kalau sesuai dengan apa yang digambarkan oleh proposisi tersebut

2.

(Lloyd

Kriteria

C,

atau

ed,

komponen

1983).

teori

sosial  

Diantara salah satu tujuan dari penelitian kuantitatif adalah menguji teori, sedangkan salah satu tujuan dalam penelitian kualitatif adalah menghasilkan atau mengembangkan teori. Suatu teori harus memenuhi beberapa kriteria, menurut para ahli, suatu teori dapat diterima apabila memenuhi

dua

kriteria,

yaitu:

1. Kriteria ideal, yaitu apabila teori itu memenuhi syarat-syarat: (1) sekumpulan ide yang dikemukakan mempunyai hubungan logis dan konsisten; (2) sekumpulan ide yang dikemukakan harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi; (3) kumpulan ide tersebut mengandung proposisi-proposisi dimana ide yang satu dengan yang lain tidak tumpang tindih; dan (4) kumpulan ide-ide tersebut dapat diuji atau dites secara empiris. 2. Kriteria pragmatis, yaitu bahwa ide-ide itu dikatakan sebagai teori apabila memiliki: (1) asumsi dan paradigma; (2) frame reference, yakni kerangka berpikir yang mengidentifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris; (3) konsep-konsep, yakni abstraksi atau simbol sebagai wujud sesuatu ide; (4) variabel, yakni penjabaran konsep yang mengandung dimensi; (5) proposisi, yakni hubungan antar konsep; dan (6) hubungan yang sistematis dan  bersifat kausal diantara konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut (Zamroni, 1992).

Menurut Johnson, ada lima komponen atau unsur penting dalam suatu ‘teori’, yaitu:  yaitu:  

1. Konsep dan variabel. Konsep merupakan ramuan dasar dan fundamental dalam setiap teori.

 

Konsep adalah suatu kata (pernyataan simbol) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok gejala. Sedangkan variabel adalah sebagai gejala yang bervariasi (misalnya jenis kelamin). Variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel kuantitatif (contoh, luas kota, umur, jumlah  pendapatan) dan kualitatif (Contoh, kepandaian, kedamaian, kasih sayang). Variabel kuantitatif dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) variabel diskrit (variabel nominal atau kategorik); dan (b) variabel kontinum (dibagi lagi menjadi tiga: Variabel ordinal; variabel interval dan variabel ratio). 2. Sistem klasifikasi, artinya dengan menggunakan konsep dan variabel-variabel, akan dikategorisasikan dan diklasifikasikan hal-hal berkaitan dengan konsep dan yang tidak untuk membangun

teori.

3. Proposisi dan tipe proposisi. Proposisi yaitu satu pernyataan mengenai suatu hubungan antara dua

atau

lebih

konsep.

4. Masalah dan penjelasan kausal, suatu teori yang baik harus terdiri dari proposisi-proposisi yang

menyatakan

hubungan

secara

kausal.

5. Variabel independen (variabel utama) versus Variabel dependen (variabel tergantung). Apabila sifat hubungan variabel saling tergantung, maka keputusan mengenai variabel mana yang

independen

dan

yang

dependen

sulit

ditetapkan

(Johnson,

1981).

Sedangkan menurut Tom Cambell (1994), bahwa sebuah teori sosial, harus memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Kejelasan. Kejelasan adalah syarat pertama sebuah teori. Kejelasan ‘sering’ tidak dijumpai dalam teori-teori sosial. Apa yang tidak jelas tidak bisa menjadi calon penaksiran rasional.

2) Konsistensi. Konsistensi dari awal hingga akhir. Adanya Adan ya koherensi internal. Sebuah teori tidak  boleh

bertentangan

dengan

dirinya.

3) Kecukupan empiris. Bagi seorang positivis, tes kunci atas sebuah teori adalah sejauh mana teori itu Corroborated (dikorobarasikan) atau barangkali, tidak difalsifikasi dengan observasiobservasi yang dapat diulangi. Kekeliruan yang umum terjadi dalam teori sosial adalah ‘generalisasi yang terlalu tergesatergesa-gesa dari bukti empiris’.  empiris’.  Penilaian atas unsur empiris dalam

 

teori-teori sosial ini memang agak sulit, karena: (a) banyak tergantung pada fakta-fakta historis yang tidak lagi tersedia secara cukup untuk proses analisis; (b) berhubungan dengan fenomena  perilaku sosial yang sangat kompleks dan dinamik; (c) tidak bisa langsung diobservasi secara singkat, tapi membutuhkan partisipasi aktif dan waktu yang lama; dan (d) sulit memimpin  pengalaman sosial untuk menguji hipotesis empiris, khususnya menyangkut fenomena perubahan sosial yang kompleks, dinamik dan ganda.

4) Kecukupan eksplanatoris. Teori-teori jangan hanya mencocokkan fakta-fakta kehidupan sosial, melainkan juga harus menjelaskan fakta-fakta sosial secara sistematis, logis.

5) Rasional normatif. Bahwa nilai-nilai, dan implikasi-implikasinya dapat dijelaskan dan diidentifikasi secara jelas dan konsistensinya tetap dijaga (Cambell, 1994). Kelima syarat teori yang dikemukakan Cambell tersebut lebih bernuansa pada perspektif positivistik (makro atau deduktif), meskipun demikian sebaiknya setiap teori dalam ilmu sosial sebaiknya memenuhi kelima

syarat

3.

tersebut,

termasuk

Paradigma

teori-teori

sosial

mikro

teori

(perspektif

ilmu

konstruktivis).

sosial 

Dalam studi tentang teori ilmu-ilmu sosial, dikenal ada tiga macam orientasi atau paradigma, yaitu: (a) paradigma fakta sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang masuk kelompok paradigma fakta sosial adalah pada filsafat positivisme (perspektif positivistik); (b) paradigma definisi sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang termasuk kelompok paradigma definisi sosial adalah  pada filsafat idealisme ide alisme (perspektif konstruktivis); (c) paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme dengan idealisme yang ‘mengejawantah’ dalam proses  penelitian ilmiah. Pandangan kelompok penelitian ilmiah yang menghendaki perpaduan antara dimensi makro (kuantitatf) dan mikro (kualitatif) ini adalah  berorientasi pada pandangan filosof Immanuel Khan. Berikut dijelaskan secara singkat ketiga  paradigma

tersebut

sebagai

berikut

Pertama, teori-teori ilmu sosial yang termasuk dalam kelompok teori naturalis atau positivis (paradigma fakta sosial), antara lain: Teori fungsional struktural; Teori sistem; Teori konflik; dan

 

Teori sosiologi makro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada kelompok teori  berparadigma ‘fakta sosial’ (Ritzer, 2002). Teori-teori Teori-teori sosial yang berorientasi positivisme, dan seringkali juga disebut dengan berbagai label lain, seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme dan saintisme (Bungin, 2003), oleh sebagian ahli dikelompokkan pada studi sosial makro, sedangkan teori yang berorientasi Humanistik atau Interpretif, dan sering disebut kelompok idealisme, oleh para ahli dikelompokkan pada studi sosial mikro. Kelompok teori yang  berorientasi  berorie ntasi positivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Perancis dan Inggris atau Aristotelian’, sedangkan kelompok teori yang berorientasi idealisme atau humanisme, konstruktivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Jerman atau Platonik’ (Sande rson, 1991).

Pokok-pokok

pandangan

teori

sosial

naturalis

atau

positivis

antara

lain:

1. Memandang ilmu sosial sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam (Fisika, Biologi). Dalam melakukan analisis sosial, ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah seperti yang diterapkan pada studi ilmu fisika dan ilmu biologi dan sejenisnya. 2. Memandang bahwa fenomena sosial itu memiliki pola-pola dan hukum-hukum deterministik, sebagaimana hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Proses analisis data dalam penelitiannya harus

menekankan

pada

pendekatan

kuantitatif

(perspektif

etik).

3. Memandang pentingnya kesatuan ilmu, artinya harus ada suatu teori tunggal tentang masyarakat atau teori-teori sosial yang ada harus digabungkan kedalam suatu kesatuan teori ilmiah, dan prinsip-prinsipnya harus berlaku secara umum (universal) setiap penelitian ilmiah untuk

disiplin

ilmu

pengetahuan

apapun.

4. Asumsi teori ini tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) bahwa individu merupakan makhluk yang merupakan produk dari aturan-aturan sosial, bukan makhluk yang mampu bebas membentuk dunia sosialnya sehari-hari; (2) manusia mempunyai rasionalitas yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi sarana dan tujuan itu sudah ada (inherent) dalam aturan-aturan sosial; dan (3) lingkungan masyarakat dan struktur sosial menentukan atau membentuk pribadi individu (eksternal men-determinasi internal) (Coleman, J.S., 1994). 5. Kaum positivis mengangap bahwa pengetahuan kausal (sebab-akibat) itu memberi kejelasan dan kegunaan dalam mengungkap atau memahami semua fenomena kehidupan. Korelasikorelasi kausal antar variabel dalam beragam fakta sosial harus dapat diuji secara empirik (Rossides,

1978;

Cambell,

1981;

Craib,

1984;

Poloma,

2000).

 

  Kedua, teori-teori yang termasuk kelompok teori humanis atau interpretatif (paradigma definisi sosial) adalah: Teori aksi oleh Weber; Teori interaksionisme simbolik; Fenomenologi; Fenomen ologi; dan Teoriteori ilmu sosial mikro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada teori yang berparadigma ‘definisi sosial’ (Ritzer, 2002). Sedangkan beberapa pokok pikiran teori-teori teori -teori ilmu sosial humanis atau interpretatif antara lain:

1. Pandangan ilmu sosial humanis menerima pandangan common sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas pandangan tersebut. Manusia dipandang memiliki kebebasan berkreatif dan berinovatif. Manusia tidak lagi tertekan (terdeterminasi) oleh faktor eksternal (lingkungan hidupnya) atau struktur sosial, faktor yang menentukan diri manusia adalah kualitas pikiran dan jiwanya sendiri (internal) (Coser and Rosenberg,

1969).

2. Pembangunan teori dalam ilmu sosial bermula dari hal-hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, proses analisis data dalam penelitian ilmiah harus lebih menekankan pada fenomena sosial

mikro,

dengan

pendekatan

kualitatif

(perspektif

emik).

3. Ilmu sosial positivis sangat menekankan pada asumsi bahwa ilmu sosial harus merupakan suatu ilmu yang senada dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial humanis sebaliknya, yaitu menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku manusia yang membuat mereka unik, dinamik dan kompleks dalam praktik-praktik sosial-budayanya seharihari. 4. Asumsi ilmu sosial humanis tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) manusia bebas dan lebih kreatif dalam menentukan proses hidup dan makna hidupnya; (2) kebebasan dan kreativitas individu tersebut dapat menyebabkan individu mampu membentuk kehidupan dunia sosialnya; dan (3) masyarakat terbangun dari kebermaknaan subjektif (kualitas pikir dan jiwa seseorang) dan proses interaksi-interaksi individu dalam kehidupan sehari-harinya. (Cambell, 1981; Poloma, 2002). 5. Menurut E. Kant dan Hegel, jiwa manusia terutama adalah sebagai produser ide-ide, dan karenanya, sejarah manusia juga merupakan manifestasi dari sejarah ide-ide yang diciptakan manusia itu sendiri disepanjang sejarah hidupnya, manusia adalah makhluk sadar dan bertujuan (purposive creators). Oleh karena itu memahami manusia dan kehidupan masyarakatnya haruslah

 

menukik ketingkat dunia ide dan dunia makna yang terbenam dalam diri manusia itu sendiri. Dunia ide atau dunia makna itulah yang kemudian disebut fakta fenomenologis, yang untuk memahaminya sangat diperlukan suatu proses penyelaman, penghayatan, suatu proses interpreventive understanding, yang oleh Weber disebut dengan pendekatan verstehen (Bungin, 2003). Oleh karena itu metode pengumpulan data pada penelitian yang menggunakan pendekatan verstehen adalah wawancara takterstruktur dan observasi partisipatif.

Ketiga, paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara  pandangan positivisme (teori-teori fakta sosial) dengan idealisme (teori-teori (teori-teori definisi sosial) yang ‘mengejawantah’ dalam proses penelitian ilmiah. Bagaimana gambaran tentang ten tang pandangan  pentingnya melakukan pendekatan integratif dalam penelitian ilmiah, telah dijelaskan pada uraian diatas (periksa kembali). Pada prinsipnya pandangan paradigma atau teori sosial integratif adalah:

1. Dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya, menuntut adanya keterpaduan orientasi teori-teori makro (positivis atau deduktif) dan teori-teori mikro (idealis atau induktif). 2. Hakikat realitas fenomena sosial budaya adalah majemuk, kompleks, dan dinamik. Oleh karena itu orientasi paradigmatik dalam proses penelitian ilmiah terhadap fenomena sosial  budaya yang dinamik dan kompleks tersebut akan lebih pas apabila menggunakan perpaduan (integrasi)

antar

teori-teori

fakta

sosial

dan

teori-teori

definisi

sosial.

1. Ketika proses penelitian ilmiah dalam memahami fenomena sosial budaya tersebut dengan menggunakan pendekatan teori integratif secara baik, maka hasil analisis datanya akan lebih  bersifat komprehensif dan holistik, h olistik, tidak bersifat dangkal dan parsial (satu aspek atau satu sudut  pandang)

4.

Fungsi

dan

peranan

teori

sosial

dalam

penelitian

ilmiah  

Beberapa kajian ilmiah telah menjelaskan bahwa fungsi teori sangat sentral dalam proses  penelitian ilmiah. Oleh karena itu setiap penelitan ilmiah harus mempunyai orientasi teoritik yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan proses penelitian ilmiah. Menurut para ahli, fungsi atau

peranan

teori

dalam

penelitian

ilmiah

sangat

sentral,

antara

lain:

 

  Pertama, menurut Zamroni (1992), fungsi teori ilmu sosial secara umum adalah (a) untuk sistematisasi pengetahuan sosial (typologies); (b) untuk eksplanasi, prediksi dan kontrol sosial. Eksplanasi berhubungan dengan peristiwa yang telah terjadi; Prediksi berhubungan dengan  peristiwa yang akan terjadi; dan (c) sebagai kontrol sosial berhubungan dengan usaha untuk menguasai atau mempengaruhi peristiwa yang akan terjadi tersebut .

Kedua, menurut Francis Abraham (1982), paling tidak ada delapan fungsi teori ilmu sosial dalam  proses analisis sosial –   –   budaya antara an tara lain: (a) mengarahkan pada problem-problem potensial d dan an menghasilkan kajian investigasi baru; (b) meramalkan fakta-fakta sosial. Suatu sistem teoritik sering memberikan prediksi dasar yang aman berdasarkan pengetahuan intuitif, analisis historis, dan observasi keberagaman sosial; (c) mensistematiskan kajian dan hubungan dalam skema konseptual yang baik; (d) membuat gambaran yang baik tentang hubungan antara temuan empirik yang spesifik dan orientasi sosial secara umum, sehingga mempertinggi makna  penelitian tentang fenomena sosial; (e) membuktikan kebenaran dengan memberikan makna yang jelas; (f) membimbing dan mempersempit rentangan (ruang lingkup) fakta sosial yang diteliti; (g) membantu sebagai alat analisis untuk proses penelitian; dan (h) menunjukkan elemen-elemen pengetahuan dan mengisinya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan yang mengesankan

atau

generalisasi

secara

luas.

Ketiga, menurut Robert K. Merton, peranan teori dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmu sosial

antara

lain:

1. Teori membantu menjelaskan sejumlah kesalahpahaman terhadap konsep kehidupan sosial. Teori memberikan orientasi umum dalam proses penelitian. Teori membantu dalam hal seleksi kasus, fakta dan data (hal ini merupakan pandangan kaum positivis). Menurut Homans, peneliti seharusnya merasa bebas untuk tidak menerima tuntunan teoritis ‘secara absolut atau mutlak’, tetapi Homans tetap mengakui ada hubungan antara teori dan penelitian ilmiah (ini gambaran  pandangan

kaum

interpretif).

2. Teori membantu dalam membangun konsep ilmu sosial. Konsep merupakan bagian penting dari teori; mereka menentukan bentuk dan isi variabel. Teori memberikan definisi konsep yang

 

interpretif,

sementara

empirisme

memberikan

definisi

operasional

dari

konsep.

3. Teori menyediakan interpretasi ilmu sosial post factum. Pertama kali data dikumpulkan dan kemudian dijadikan subjek dalam analisis interpretif. Proses ini lebih cenderung menjelaskan  penemuan (deskriptif), dibandingkan dengan menguji hipotesis yang sudah dirancang sebelumnya. 4. Menyusun generalisasi empiris. Fungsi utama dari teori sosial dalam penelitian empiris (kuantitatif) adalah meringkas keseragaman yang diobservasi dari hubungan antar variabel dan mensintesakannya dengan referensi untuk membuat skema konseptual (penelitian menguji teori). Hal ini berbeda fungsi teori untuk penelitian kualitatif (penelitian untuk mengembangkan teori), yaitu teori sekedar sebagai pedoman awal dalam memahami fenomena sosial, berikutnya teori dikembangkan selama proses penelitian di lapangan, atau bahkan dalam penelitian kualitatif akan ditemukan

teori

baru.

5. Teori dapat mendorong lebih lanjut munculnya teori ilmu sosial berikutnya. Penelitian demi  penelitian akan dapat merevisi, memodifikasi, menambah khasanah teori baru sampai merubah teori-teori

sosial

yang

telah

ada

sebelumnya.

6. Teori memberikan sebuah sumber fertilisasi silang dari bidang-bidang yang berkaitan pada objek

penelitian.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang hubungan antara teori dengan penelitian, akhirnya Francis Abraham (1982) menyimpulkan tentang kondisi saling mempengaruhi antara teori

sosial

dengan

proses

penelitian

sosial

sebagai

berikut:

1. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang baru, relevan untuk  pengujian

teori

atau

pengembangan

teori.

2. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci, membatasi ruang lingkup

penelitian

dengan

menunjuk

fakta-fakta

signifikan

dengan

tepat.

3. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori sebelumnya, karena telah

ditemukan

bukti-bukti

baru.

4. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi teori yang sudah

ada.

 

5. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep ilmu sosial, bagian bangunan yang

sangat

penting

dari

teori

ilmu

sosial.

6. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan empiris. Teori membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-studi yang terpisah dan meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta akan

berarti

jika

dijelaskan,

diatur

dalam

kerangka

sebuah

teori.

7. Kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dan penelitian sosial adalah masalah menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua aspek kehidupan

yang

perlu

diseimbangkan

dalam

pengkajian.

8. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi, ketepatan, validitas dan veriabilitas dari teori-teori ilmu sosial. Dengan penemuan dan perbaikan melalui penelitian dimungkinkan untuk mengembangkan masalah yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya.

Kedelapan hal di atas lebih menunjukkan keterkaitan yang begitu kuat antara teori dengan proses  penelitian, khususnya penelitian kuantitatif (perspektif etik atau orientasi positivis) dalam studi ilmu sosial. Sedangkan dalam perspektif emik (penelitian kualitatif), kedudukan dan peran teori sebagai orientasi (theoritical orientation) dalam memahami fenomena sosial budaya yang kompleks, dinamik dan serba ganda tetap dianggap penting, hanya posisinya tidak ‘sama persis’ seperti kedudukan dan fungsi teori dalam pendekatan kuantitatif. Kenapa kedudukan dan fungsi teori dalam penelitian kualitatif ‘tidak begitu sangat setral’ (abolut) (ab olut) ?, hal ini disebabkan oleh  beberapa

faktor

antara

lain:

1. Sifat realitas sosial-budaya adalah: diasumsikan ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksi, holistik

dan

kebenaran

realitas

bersifat

relatif.

 b. Realitas sosial budaya sangat ditentukan oleh peran manusia man usia yang mempunyai me mpunyai karakter: aktif kreatif, punya kemauan bebas, perilaku ditentukan oleh kondisi jiwa dan pikirannya yang terus  berkembang.

c. Sifat hubungan realitas sosial-budaya adalah: semua entitas secara simultan saling mempengaruhi,

sehingga

tidak

menekankan

hubungan

sebab

akibat.

 

  d. Analisa terhadap fenomena sosial-budaya adalah: induktif, berkesinambungan dari awal hingga

akhir,

deskriptif

kualitatif;

e. Kriteria kualitas hasil penelitian adalah: bukan obyektivitas melainkan otentisitas dan relevansi dengan

situasi

alami.

f. Posibilitas generalisasinya adalah bukan nomotheic statements dengan generalisasi statistik, tetapi

ideographic

statements

dengan

generalisasi

analitis,

dan

g. Paradigma yang dianut bukan paradigma positivis, melainkan paradigma interpretif (interpretatif), yang memahami fenomena sosial-budaya secara nominalis, normatif dan voluntaristik

(Moleong,

1990;

Burrel-Morgan,

1979;

Mulyana,

2002).

Menurut para ahli, (Francis Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy Mulyana (2002); Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987) dan sebagainya, apabila kita mengkaji tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical orientasitions dalam proses penelitian ilmiah, hal-hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti antara

lain:

1. Tidak ada teori ilmu sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya masih ada unsur

‘relativitasnya’.  ‘relativitasnya’. 

2. Setiap teori ilmu sosial semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa asumsi mengenai bagaimana keadaan

dunia

yang

sebenarnya).

3. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan baru mengalami modifikasi setiap waktu. Oleh karena itu setiap teori yang muncul memungkinkan untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya, sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan.

4. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral, menyeluruh, karena

teori

sering

berkembang

atas

dasar

salah

satu

aliran

filosofis

tertentu.

 

5. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi (fenomena sosial). Peneliti sosial harus memilih teori mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena sosial yang akan dikaji, tetapi peneliti sosial harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori dalam studi

ilmu

sosial.

6. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema potensial yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta menjadi petunjuk untuk  penelitian

sosial

budaya

berikutnya.

7. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting adalah setiap teori ilmu  pengetahuan harus mampu mam pu menjelaskan fenomena fenomen a alam atau sosial seobjektif mungkin dan bisa dipertanggungjawabkan

secara

rasional

(akal

sehat).

8. Posisi teori-teori teori-teori ilmu sosial sebagai ‘theoritical orientation’, pada penelitian yang ber  p  perspektif erspektif etik, ‘tidak sama persis’ dengan penelitian yang ber -perspektif -perspektif emik. Hal ini disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan paradigma dan filsafat yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam melihat hakikat fenomena sosial-budaya. 9. Setiap teori ilmu sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan perubahan terus menerus

diberbagai

aspek

kehidupan.

Berdasarkan uraian tersebut memberikan kepahaman bagi para peneliti ilmu sosial antara lain:

1. Dalam studi ilmu sosial akan dijumpai beragam paradigma, yang masing-masing paradigma mempunyai

varian

teori

yang

beragam

pula.

2. Dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan kesesuaiannya dengan ciri atau karakter

orientasi

teoritisnya. Misalnya, kondisi

kehidupan masyarakat, dengan

menampilkan realitas sosial penuh konflik, tentu akan lebih proporsional apabila masyarakat tersebut dianalisis dengan teori konflik atau teori varian konflik, dan kurang proporsional apabila menggunakan teori fungsional struktural (hal ini bukan berarti orientasi teori fungsional tidak  bisa sama sekali digunakan untuk menganalisis realitas sosial konflik, namun lebih serasi apabila menggunakan

teori

konflik

atau

varian

konflik).

 

3. Antara paradigma satu dengan yang lain tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain’, beragam paradigma tersebut akan tepat atau ‘proporsional’ dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosialnya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut. 4. Dalam memahami dan mengkaji teori sosial, kita harus menyakini bahwa teori lama tidak  berada  bera da dalam ‘posisi mencapai kebenaran absolut’. Penemuan teori baru bisa berfungsi menyempurnakan teori lama (akumulatif), tetapi bisa juga membongkar, merevolusi teori lama (Ritzer,

H.

1980).

Kesimpulan

Uraian tentang hakikat filafat ilmu tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,  bahwa dasar-dasar filsafat ilmu paling tidak menyangkut tentang: penalaran, logika, sumber  pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Hakikatnya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan  berpikir manusia berdasarkan b erdasarkan ‘intuisi’ dan ‘wahyu’. Secara umum ada dua macam logika, yaitu: logika formal atau logika deduktif atau logika minor, dan logika material atau logika induktif atau logika mayor. Sumber pengetahuan dapat berasal dari lima cara yaitu: cara tradisi (tenacity), cara otoritas atau kewenangan, cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok; cara logika deduktif dan induktif; dan cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah. Sedangkan kriteria kebenaran dalam filsafat ilmu antara lain menurut: Teori kebenaran korespondensi; Teori kebenaran koherensi; Teori kebenaran pragmatis; Teori kebenaran sintaksis; Teori kebenaran semanti; Teori kebenaran non-deskripsi; dan Teori kebenaran

logik.

Kedua. hakikat ilmu pengetahuan adalah: (a) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama; (b) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (c) penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang  beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (d) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya; (e) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi

 

siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada; dan (f) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam

pengembangan

teori-teori

science

dan

metode

penelitiannya.

Ketiga. hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, il mu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk -bentuk -bentuk pertanyaan ontologis ilmu  pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek  – objek objek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya. Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan science;

dan

keterpaduan

science-religious

suatu

keniscayaan.

Keempat, hakikat epistemologi ilmu adalah membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui  proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data di atas segalagalanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing’. masingmasing’. Dan perlu dipahami hak ikatnya ikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu  pihak sebagai metafisika, sedangkan sedan gkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common

sense).

Kelima, hakikat aksiologi ilmu adalah membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat. Maka aspek yang dikaji dalam aksiologi ilmu antara lain: fungsi ilmu pengetahuan (science); dan tanggung  jawab

ilmu

terhadap

kehidupan.

 

Keenam, hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-budaya adalah bagaikan suatu sistem, yang satu dengan yang lain saling mengisi, dan saling memberikan arti atau makna tentang hakikat kehidupan manusia menuju keunggulan hidup di berbagai bidang. Jadi, Ilmu, filsafat, agama dan kehidupan tidak bisa dipisahkan. Namun perlu diingat antara ilmu, filsafat dan agama tetap mempunyai perbedaan mendasar, karena metode kerja ketiganya mempunyai karakteristik

yang

berbeda.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF