Keracunan Opiat

January 15, 2019 | Author: Rini Resmina Pangaribuan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

keracunan opiat...

Description

Keracunan Opiat Filed under: Forensik ,med papers —  papers —  ningrum  ningrum @ 9:42 am PENDAHULUAN

Seratus tahun yang lalu belum ada obat –  obat  –  obat  obat antibiotik, obat hormonal, atau antipsikotik. Sesungguhnya belum ada obat –  obat  –  obat  obat yang betul bermanfaat, namun beberapa jenis morfin secara efektif telah menghilangkan nyeri yang hebat. Obat –  Obat  –  obat  obat ini juga dapat mengontrol diare, batuk, ansietas, dan insomnia,. Dengan alasan ini Sir William Osler menamakan morfin sebagai ―obat dewa‖ (God’s own medicine). Istilah ―narkotik‖, sering digunakan dalam hubungannya dengan golongan obat ini, dan istilah ini merupakan istilah is tilah yang tepat, karena ―narcosis‖ berarti juga sebagai suatu keadaan stupor atau keadaan penurunan kesadaran (somnolent). (1) Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua  pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morphine, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur mengatur tentang zat- zat ini i ni sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika. Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa ‗melayang‘, ‗mela yang‘, tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena overdosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintet is, semi sintetis, devirat dan garamnya. Sering disalahgunakan untuk memperoleh e fek yang tidak ada pada medikasi medis, morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna. Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obatobatobatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala- gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. (2,3) SEJARAH

Sumber opium, zat –  zat –  zat  zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver opium Papaver somniferum. somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan  penggunaanya terdapat dalam dokumen dokumen –   –  dokumen  dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatiaan akan kecenderungan adiksi opium.

Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertüner, seorang ahli farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini  peristiwa penting dimana telah dimungkinkan dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertüner mengajukan ‖morfin‖ untuk senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang  berarti mimpi dari Dewa (God of dreams). (1,4) DEFINISI

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. (4) RESEPTOR OPIOID

Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baikn ya dengan yang ada disepanjang jaringan periper. Reseptor –  Reseptor –  reseptor  reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) d ynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen –  dokumen  –  dokumen  dokumen yunani nama –  nama  –  nama  nama dari reseptor opioid (4)  berdasarkan atas bentuk dasar agonistnya (tabel 1). 







Mu (µ) (agonis morphine) reseptor –  reseptor –  reseptor  reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak, dan thalamus medial. Reseptor –  Reseptor –  reseptor  reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termas uk bgiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan penenang, Mu2  berhubungan dengan dengan depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).  reseptor Kappa dijumpai didaerah Kappa (κ) (agonis ketocyklazocine) reseptor –  reseptor limbik, area diensephalon, batang otak, dan spinal cord, dan bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau ata u KOR (kappa opioid receptors). receptors). delta -alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor –  reseptor –  reseptor  reseptor Delta Delta (δ) (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) lokasinya luas di otak dan efek –  efek  –  efeknya  efeknya belum deketahui dengan baik. Mungkin  bertanggung jawab pada psykomimetik psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors). Sigma (σ) (agonis (agonis N-allylnormetazocine) reseptor –  reseptor –  reseptor  reseptor Sigma bertanggung  jawab pada efek –  efek –  efek  efek psykomimetik, dysphoria, dan stres-hingga depresi. (4)

Tabel 1 : efek analgesia pada reseptor –  reseptor  –  reseptor  reseptor opioid.(3)

Gambar 1 : struktur reseptor opioid. (3)

KLASIFIKASI OPIOID Yang termasuk golongan opioid ialah :   

obat yang berasal dari opium-morfin senyawa semisintetik morfin senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. (2)

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan  bukannya pada potensinya. potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperi n, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi : 1.Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan , dan mungkin  pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada reseptor papaveretum, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. 2.Antagonis opioid Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson. 3.Agonis-antagonis (campuran) opioid Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada  beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh  pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.(4) Berikut ini merupakan turunan opioit yang sering disalahgunakan :

(5)

1. Candu

Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai ―Lates‖. Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal aspa l lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual  belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap. Gambar 2 : sediaan candu

2. Morfin

Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. Gambar 3 : sediaan morfin

3. Heroin (putaw)

Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir –  akhir  –  akhir  akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan  perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. Gambar 4 : sediaan heroin

4. Kodein

Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam  bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. disuntikkan. Gambar 5 : sediaan kodein

5. Demerol

 Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. Gambar 6 : sediaan Demerol

FARMAKOKINETIK  A. Absorpsi : Kebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan saluran cerna. Selain itu, absorpsi transdermal fentanil menjadi cara  pemberian yang penting. Akan Akan tetapi, walaupun absorpsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari beberapa senyawa sen yawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin  berkurang karena metabolisme first-pass metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi daripada dosis yang diperlukan bila digunakan cara pemberian parenteral. Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons pada reaksi ini sangat bervarias i pada individu –  individu –  individu  individu yang  berlainan, maka dosis oral yang efektif dari suatu senyawa mungkin mungkin sulit ditentukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral : parenteral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada gugusan hidroksil aromatik. B. Distribusi : ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein –  protein  –  protein  protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa –  senyawa  –  senyawa  senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan –  jaringan  –  jaringan  jaringan yang perfusinya tinggi

seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama  pada pemakaian dosis tinggi opioid yang yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti  pada fentanil. Kadar opioid –  opioid –  opioid  opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan –  diorgan –  organ  organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa –  senyawa  –  senyawa  senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa –  senyawa  –  senyawa  senyawa amfoter (misalnya obat –  obat –  obat  obat yang mempunyai sifat –  sifat –  sifat  sifat asam dan basa) seperti morfin. sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi  pernapasan pada bayi baru lahir. C. Metabolisme : sebagian besar opioid –  opioid  –  opioid  opioid dikonversi menjadi metaboit –  metaboit  –  metabolit  metabolit  polar, sehingga mudah disekresi oleh ginjal. Senyawa Senyawa yang mempunyai gugusan gugusan hidroksil  bebas seperti morfin dan levorfanol dengan mudah mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. glukoronat. Senyawa –  Senyawa –  senyawa  senyawa bentuk ester (seperti meperidin meper idin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh esterase yang umum terdapat dalam jaringan. Heroin (diaset ilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya jadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronat. Metabolit yang dikonjugasi dengan glukoronat ini bersifat polar diperkirakan tidak aktif, tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat –  sifat –  sifat  sifat analgesik yang yang mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien –  pasien  –  pasien  pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP tebatas. Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Akumulasi metabolit meperidin, normeperidin, dapat ditemukan pada pasien –  pasien  –  pasien  pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang menerima obat dalam dosis yang jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak. D. Ekskresi :  Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi. (1,4) MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, l imbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid (keterangan tentang reseptor opioit telah dijelaskan sebelumnya). Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor, karena itu efeknya pada  berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan Perbedaan yang ada menyangkut menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan. (4) Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antaralain:

A. Efek sentral 

   

 

  

Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efekanalgesi). Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative). Menghilangkan konflik dan kecemasan (efek transqualizer). Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia). Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif) Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik) Menyebabkan miosis (efek miotik) Memicu pelepasan hormon anti deuretik (efek anti deuretik) Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang  berkepanjangan.(2)

B. Efek Perifer      

Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi piloru. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik). Kontraksi sfingter saluran empedu. Menaikkan tonus otot kandung kencing. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasme pada pasien asma. (2)

MORFIN Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, teta pi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife sel ektif, yakni tidak  begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.(2,6)

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme : (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. (2) Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan sti mulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.

Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). (4) Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah  pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul timbul setelah pemberian  parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui mempengaharui  janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam dalam tinja dan keringat.

Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. (4) Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :      

Infark miokard  Neoplasma Kolik renal atau kolik empedu Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan  Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.(7)

Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, table t, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam  bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk n yeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk: 1. Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, a dakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban. 2. Cairan berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik. 3. Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil de ngan ukuran dan warna yang  berbeda-beda. 4. Tablet Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih. (5) Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu  pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasin ya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.

Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat,  jumlah yang dipakai, dan kepribadian kepribadian sipemakai serta harapannya. (7) Gejala kelebihan dosis : Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejala – gejala gejala lepas obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatas i, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik. (4,7) Gambar 7: Struktur dari Morphin

DIAGNOSA KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik  psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis

opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT). Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaita nnya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang  berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. ketergantungan. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat  penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya. Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut ―sakau‖ dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Mis alnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan. Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan  pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan er at dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan  pembunuhan. Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan  –  dorongan  dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk me lancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani. (2,4) Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :     

tanda- tanda pemakai obat keadaan lepas obat kelebihan dosis akut komplikasi medik ( penyulit kedoktearn ) komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb). (2)

GAMBARAN FORENSIK 

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan  pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan  pembagian kasus keracunan sebagai berikut: Anamnesa dan Pemeriksaan fisik 

Gejala klinis : 1.  pada umumnya sama dengan gejala gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis. 2.  pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh. 3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium. 4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin. (1) Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari :    

Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat. Halusinasi. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang. Dapat menjadi maniak.(2)

Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari :    

Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur. Wajah sianosis, pupil amat mengecil. Pulse dan respirasi normal. (2)

Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :   

 

Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi. Proses sekresi. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir. Respirasi cheyne stokes. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal. (2)

Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti : 1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.

2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup. 4. Barang bukti lainnya. (8) Metode yang digunakan : 1. Dengan Thin Layer Chromatography atau Chromatography  atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti. 2.  Nalorfine Test . Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul  bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak. (2,8) Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama dala m satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan –   pertanyaan yang sering muncul sehubungan sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah  pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian? Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban? Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu : 1. TKP (Tempat Kejadian Perkara). 2. Riwayat korban. 3. Otopsi. 4. Pemeriksaan Toksikologi Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti - bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi

riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977). Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasan ya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak  bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan  bekas penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada  pemeriksaan paru, biasanay didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang jar ang didapatkan bahan –  bahan  –  bahan  bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari  bukti adanya usaha –  usaha –  usaha  usaha penyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977). (8) Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daer ah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan,  benda- benda asing, dan tingkat tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai  berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik. Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling len gkap dan berbagai macam barang  bukti untuk dilakukan pemeriksaan. pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan t oksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin (Knight, 1996). (8) Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid (morfin atau heroin) A. Pemeriksaan luarTanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa  petunjuk yang dapat dipakai dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian. 1.  Needle marks Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar  papilla mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut ―intravenous mainline tracks‖. Kadang Kad ang  –  kadang  kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan

menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam  pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus ingus (‗nasalswab‘). 2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan ‗Drain phenomenon‘. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik. 3. gelembung-gelembung pada kulitSering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate. 4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda p erdarahan (bintik-bintik  perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi. B. Pemeriksaan Dalam Paru-paru 1. Perubahan akut : Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun  perubahan awal yang terjadi adalah : a) Dari 0 sampai 3 jam : hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian  posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.  b) Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag,  perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate. c) Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak  pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula. granula. 1. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter fil ter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus. HATI

Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat  pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis fibrosis  jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan : 1. Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa. 2. Hepatitis persisten kronika : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal 3.Hepatitis reaktif kronika. 4.Perlemakan hati. GETAH BENING Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan duktus kholedocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya. Makroskopis : tampak pembesaran Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit. C. Pemeriksaan toksikologi 1. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan. 2.Darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup 4. Barang bukti lainnya. (2,8) PROGRAM PENGOBATAN ATAU TERAPI (ANTI DOTUM)

 Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika atau disebut opiat antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau heroin adalah nalorphine, levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan cepat kalau diberikan dalam bentuk suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl (Narcan, Nokoba) yang dimulai dengan dosis 0,4 m g/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh dara h balik atau intravena. Setelah disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum membaik, setelah diobservasi dalam 3 – 5 menit dapat diulangi lagi ditambah satu ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil. Program terapi penyalahgunaan narkotika terdiri atas 2 fase, yaitu:  Terapi detoksifikasi



 Terapi rumatan (pemeliharaan)



Kedua terapi di atas harus berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi saja bukan merupakan penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalui program terapi di atas. Para pecandu narkotika  jumlahnya semakin tahun semakin meningkat. meningkat. Penyembuhan secara medis untuk para  pecandu narkotika sering menimbulkan kondisi kondisi relaps, kambuh lagi. Pasien ketergantungan ketergantungan narkotika dimungkinkan menjalani detoksifiksi di rumahnya selama 5 hari berturut-turut. Selain itu, untuk penyembuhan membutuhkan terapi rumatan (pemeliharaan). Khusus untuk ketergantungan opioida, diperlukan suatu program terapi khusus. Selai n diberikan terapi obat,  perlu dilakukan terapi sosial, terapi okupasional, atau terapi religius. Pendekatan holistik holistik melibatkan tim profesional seperti dokter/psikiater, perawat, psikolog, tokoh agama, dan  pekerja sosial akan memberikan hasil yang memuaskan.(9) Dsm iv

Diagnostic Criteria for Substance Dependence/Ketergantung Dependence/Ketergantungan an Zat Suatu pola pengguanaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau  penderitaan yng bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih hal-hal  berikut yang terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan: toleransi yang didefinisikan sbb:  peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat z at untuk mendapatkan efek yang didamba atau mencapai intoksikasi. Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah yang sama dari zat. drawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari: sindroma withdrwal khas untuk zat penyebab ( criteria A dan B dari gejala withdrawal zat). Zat yanga sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau menghindari gejala-gejala withdrawal. zat yng dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau lewat dari batas waktu pemakaiannya. adanya hasrat menetap atau ketidakberhasilan mengurangi atau mengendalikan  pemakaian zat. adanya aktifitas yang menyita waktu untuk kebutuhan mendapatkan zat (mis.mendatangi berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh), untuk menggunakan zat (merokok tiada sela) atau untuk pulih dari efek2nya. kegiatan-kegiatan soial yang penting,pekerjaan atau rekreasi dilalaikan atau dikurangi karena penggunaan zat.  penggunaan zat z at tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problem2 fisik dan fisiologis menetap atau berulang disebabkan oleh penggunaan zat (mis.sementara menggunakan kokain meskipun mengetahui itu menginduksi depresi atau tetap meneguk-alkohol- meskipun mengetahui hal itu memperburuk ulcus gaster) .

Tentukan jika: Dengan ketergantungan fisiologis: terbukti adanya toleransi atau withdrawal. Tanpa ketergantungan fisiologis: tidak terbukti adanya adanya toleransi atau withdrawal. withdrawal.



Tentukan perlangsunganya: Remisi dini penuh

    

Pemisi dini parsial Remisi penuh menetap Remisi parsial menetap Dalam terapi agonis Dalam lingkungan yang diatur

DSM-IV-TR: DSM-IV-TR: Diagnostic Criteria Criteria for Substance Abuse Abuse Penyalahgunaan Penyalahgunaan Zat . Suatu pola pengguanaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau  penderitaan yng bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 1 (satu) atau lebih halhal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:  penggunaan berulang berulang zat menyebabkan kegagalan memenuhi tugas utama utama ditempat kerja,sekolah atau dirumah (mis. berulangkali bolos hasil kerja yang  buruk karena penggunaan penggunaan zat, bolos,diganjar atu dikeluarkan dari sekolah karena  penggunaan zat,mengabaikan anak atau anggota keluarga).  berulangkali menggunakn zat dalm situasi yang membahayakan fisik (mis.mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan mesin saat terganggu oleh  pemakaiannya).  berulangkali berurusan dengan dengan hukum karena penggunaan penggunaan zat (ditangkap karena ulah berkaitan dengan penggunaannya). meneruskan penggunaan zat meskipun tetap atau berulang memiliki problem sosial atau interpersonal disebabkan atau kambuhnya efek2 dari zat (mis.berdebat dengan pasangan tentang akibat intoksikasi,berkaelahi). . Gejala-gejalanya tidak memenuhi kriteria Ketergantungan zat yang digunakan.

DSM-IV-TR Diagnostic Diagnostic Criteria Criteria for Substance Intoxication Intoxication Intoksikasi Zat . Terjadinya sindroma reversible zat spesifik karena barusan menelannya atau terpapar olehnya.cat. zat yang berbeda dapat memberi sindroma yang mirip atau sama. . Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perobahan  psikologis karena efek dari zat terhadap sitim saraf pusat (mis. keadaan siap tempur,labilitas mood,gangguan kognitif, penilaian,sosial dan fungsi pekerjaan) yang terjadi segera setelah penggunaan zat. . Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

DSM-IV-TR Diagnostic Diagnostic Criteria Criteria for Substance withdrawal withdrawal Putus Zat . Terjadinya sindroma zat spesifik karena penghentian mendadak (atau  pengurangan) penggunaan penggunaan zat yang lama dan berat. . Sindroma diatas menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam hal sosial,pekerjaan atau area fungsi-fungsi penting lainnya . Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

DSM-IV-TR Opioid Related Disorder Opioid use disorder Opiod dependence Opiod abuse Opioid induce disorder Opioid intoxication Specify if : with perceptual disturbance Opioid withdrawal Opioid intoxication delirium Opioid-induce psycotic disorder, with hallusination Specify if : with onset during intoxication Opioid induce-mood disorder Specify if : with onset during intoxication Opioid induce sexual dysfunction Specify if : with onset during intoxication Opioid induce sleep disorder Specify if : with onset during intoxication With onset during withdrawal Opioid related disorder not otherwise specified

DSM-IV-TRDSM-IV-TR- Diagnostic Criteria for Opioid Intoxification Intoxification Intoksikasi Zat

. Barusan menggunakan Opioid. . Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis (mis. mulanya euforia disusul apatis,disforia,agitasi atau retardasi psikomotor,gangguan  penilaian atau fungsi sosial atau pekerjaan) yang terjadi selama atau segera setelah  pemakaian opioid. . Kostriksi pupil (atau dilatasi ok anoxia akibat overdosis) disertai satu atau lebih tanda2  berikut yang terjadi selama atau segera setelah pemakaian opioid. yang terjadi selama atau segera setelah pemakaian opioid. drowsiness atau coma.  bicara spt orang mabuk gangguan perhatian dan memori. . Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya. Tentukan jika disertai gangguan persepsi.

.

DSM-IV-TR Kriteria diagnosis pada Putus Zat Opioid . Salah satu dari berikut ini:  penghentian mendadak (atau reduksi) penggunaan yang berat dan lama (beberapa minggu atau lebih)  pemberian antagonis opioid setelah suatu periode penggunaan penggunaan opioid. . Tiga atau lebih hal-hal berikut terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa hari setelah kriteria A: mood disforik. nausea atau vomitus nyeri otot. lakrimasi atau rhinorrhea. midriasis,piloerction atau persipirasi. diare. sering menguap. febris. insomnia. . Gejala-gejala kriteria B diatas menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam hal sosial,pekerjaan atau area fungsi-f ungsi penting lainnya . Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

Tanda dan gejala pada syndrom penghentian benzodiazepin Terdapat beberapa tanda yang timbul pada keadaan penghentian penggunaan  benzodiazepin: mereka menunjukkan gejala kecemasan yang sebenarnya (rekuren),  pemburukan gejala kecemasan yag sebenarnya (rebound) atau kedaruratan gejala baru (true withdrawal) : Perubahan mood dan kognisi Cemas, khawatir , disforia, pesimis, iritabilitas, obsessif terhadap masa lalu, dan  paranoid Perubahan jam tidur Insomnia, perubahan jam tidur dan megantuk pada siang hari. Tanda dan gejala fisik Takikardia dan peningkatan tekanan darah, hiperefleksi, ketegangan otot, gelisah, tremor, mioklonik, nyeri otot dan persendian, mual, coryza, diaforesis, ataxia, tinitus dan kejang grand mall. Perubahan persepsi Hiperakusis, depersonalisasi,penglihatan yang kabur, ilusi dan halusinasi.

DSM-IV-TR Diagnostik Criteria for Amphetamine Intoxication

A. Barusan menggunakan amfetamin atau zat sejenis (mis. meth ylphenidate).

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

B. Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis (mis. euforia atau afek tumpul,perubahan kemampuan sosial,sensitifitas interpersonal,hiperwaspada, anxietas, ketegangan atau gusar ,perilaku sterotipik,  psikomotor,gangguan penilaian atau fungsi sosial atau pekerjaan) yang terjadi selama atau segera setelah pemakaian amfetamin dan sejenisnya. C. Adanya dua atau lebih tanda-tanda berikut ) yang terjadi selama atau segera setelah  pemakaian amfetamin dan sejenisnya: Taki- atau bradikardi. midriasis. tekanan darah meningkat atau turun.  persipirasi atau menggigil. nausea atau vomitus.  penurunan berat badan. agitasi atau retardasi psikomotor. kelemahan otot,depresi respirasi,nyeri dada atau aritmia. kebingungan,kejang,diskinesia kebingungan,kejang,diskinesia atau koma. D. Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF