Keracunan Narkotika

September 30, 2017 | Author: Preston Mitchell | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Tugas Makalah forensik, keracunan narkotika, keracunan opium, pemeriksaan toksikologi narkotika, gambaran forensik morfi...

Description

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI............................................................................................................i DAFTAR TABEL..................................................................................................ii BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................1 BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................2 BAB 3 SIMPULAN..........................................................................................................22 Wawancara medis, pemeriksaan tempat ditemukannya korban dan tes toksikologi merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi jenis keracunan yang mengenai korban . Aplikasi pemeriksaan toksikologi penting untuk mebedakan agen penyebab keracunan yang jelas dan tanda dan gejala pada saat pasien keracunan juga merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis keracunan.............................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

DAFTAR TABEL Halaman DAFTAR ISI............................................................................................................i DAFTAR TABEL..................................................................................................ii BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................1 BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................2 2.1 Keracunan.................................................................................................2 2.2 Narkotika...................................................................................................3 2.3 Opium........................................................................................................4 2.3.1 Definisi 5 2.3.2 Reseptor Opioid 5 2.3.3 Klasifikasi Opioid 6 2.4 Pemeriksaan Toksikologi Narkotika..........................................................8 2.4.1 Pemeriksaan Fisik 8 2.4.2 Sindrom Toksik 10 Tabel 2. 1 Gambaran Klinik dari Berbagai Golongan Obat....................10

2.5 Morfin (Gambaran Forensik)...................................................................13 2.5.1 Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin 13 2.5.2 Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin 15 2.5.3 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian Opioid (Morfin Atau Heroin) 17 2.6 Heroin......................................................................................................20

BAB 3 SIMPULAN..........................................................................................................22 3.1 Simpulan ................................................................................................22 Wawancara medis, pemeriksaan tempat ditemukannya korban dan tes toksikologi merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi jenis keracunan yang mengenai korban . Aplikasi pemeriksaan toksikologi penting untuk mebedakan agen penyebab keracunan yang jelas dan tanda dan gejala pada saat pasien keracunan juga merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis keracunan.............................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

BAB 1 PENDAHULUAN 1 Kematian yang disebabkan oleh keracunan menyumbang 20, 8 % dari seluruh kematian akibat cedera yang terjadi di Amerika Serikat, melebihi kematian yang disebabkan oleh senjata api dan kecelakaan lalu lintas. Hal ini juga disebabkan oleh adanya peran toksikologi (keracunan) pada kecelakaan lalu lintas, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan. Narkotika, menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009), adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang. Kasus keracunan baik fatal maupun non fatal hampir selalu dijumpai setiap tahun. Walaupun bukan penyebab utama dari kasus forensik, namun kasus keracunan perlu mendapat cukup perhatian. Secara definisi, racun merupakan suatu zat yang apabila kontak atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu (dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia ataupun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau kematian.

BAB 2 PEMBAHASAN 2 2.1

Keracunan

Pada keracunan, yang pertama kali penting untuk diperhatikan adalah identifikasi keracunan dan pengobatan atau pertolongan pertama. pada peristiwa keracunan atau kecelakaan yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun atau bahan-bahan racun/toksis lainnya, yang mula-mula harus dilakukan ialah mengenali (mengidentifikasi) bahan-bahan yang diduga menjadi penyebab keracunan. Bahan-bahan racun dapat mengakibatkan berbagai efek pada tubuh. Pengaruh bahan bahan beracun pada tubuh dapat mengakibatkan gangguan antara lain: 1. Mempengaruhi sistem sirkulasi darah a. Jaringan darah (pembuluh darah), menimbulkan shock disebabkan berkurangnya aliran darah (vasogenic shock) dan berkurangnya volume, darah pada jaringan sel-sel otak disebabkan adanya penyempitan pembuluh-. pembuluh darah. b. Jantung merendahkan tekanan/denyut jantung (hypotentie cardiac) terlalu banyak darah mengalir ke jantung atau terlalu banyak darah dalam jantung (kongesti jantung). c. Irama detak jantung tidak teratur (cardiac arrhytrnias). d. Jantung mendadak berhenti (cardiac arrest). 2. Mempengaruhi sistem saraf pusat: a. Rasa sakit b. Rangsangan sarap sentral yang berlebihan (hyperexitability), banyak bicara/mengaco (dellirium), timbulnya kejang-kejang (konvulsi) dan berkurangnya zat pembakaran (oksigen) dalam darah.

2

c. Depresi (penekanan) terhadap sarap pusat ditandai dengan timbulnya kelumpuhan reflek umum, terhentinya alat pernapasan (asphyxia) dan gangguan metabolisme dalam sel-sel otak. d. Gangguan atau kelainan psikis (kejiwaan). 3. Pengaruh terhadap alat pencernaan seperti rongga mulut (gastro intestinal tracts), seperti rasa mual (nausea), muntah, rasa sakit daerah lambung (abdominal pain) dan mencret (diare). 4. Pengaruh terhadap alat perkencingan, seperti gangguan pengeluaran air kencing/ kencing sedikit-sedikit (urinary retention) gejala kerusakan ginjal. 5. Kerusakan pada hati (hepar), pingsan disebabkan gangguan pada hati (hepatic coma). 6. Pengaruh terhadap keseimbangan air dalam elektrolit dalam tubuh (dehydrasi), yaitu keseimbangan garam (NaCl), keseimbangan asam dan basa (acidosis dan alkalosis), gangguan keseimbangan postasium dan kalsium dalam darah. 7. Luka bakar kimia pada kulit, selaput lendir pada mulut/tenggorok (moucus membrance) dan selaput lendir mata. 2.2

Narkotika

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika pasal 6 ayat 1, penggolongan narkotika terdiri dari 3 golongan, yaitu: 1. Golongan I a. Hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan b. Tidak digunakan dalam terapi c. Potensi ketergantungan sangat tinggi Contoh: tanaman Papaver somniferum L, Opium, tanaman koka (daun koka, kokain merah) heroin, morfin dan ganja.

2. Golongan II a. Untuk pengobatan pilihan terakhir b. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan c. Potensi ketergantungan tinggi Contoh: Alfasetilmetadol, Benzetidin, Betametadol 3. Golongan III a. Digunakan dalam terapi b. Potensi ketergantungan ringan Contoh: Opium obat, codein, petidin, fenobarbital Dalam bidang kedokteran beberapa jenis narkotika biasa digunakan misalnya: 1. Kokain digunakan sebagai penekan rasa sakit dikulit, digunakan untuk anestesi (bius) khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan. 2. Kodein merupakan analgesic lemah. Kodein tidak digunakan sebagai analgesic tetapi sebagai anti batuk yang kuat. 3. Morfin adalah hasil olahan dari opium atau candu mentah. Morfin mempunyai rasa pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau cairan berwarna putih. Morfin terutama digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat yang tidak dapat diobati dengan analgetik non narkotika. Apabila rasa nyeri makin hebat maka dosis yang digunakan juga makin tinggi. Morfin juga digunakan untuk mengurangi rasa tegang pada penderita yang akan dioperasi. 4. Heroin digunakan sebagai obat penghilang sakit (pain killer). Heroin merupakan abat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan karena efeknya sangat kuat. Heroin disebut juga putaw. 2.3

Opium

Sumber opium, zat-zat dari opium yang belum diolah dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000

tahun dan penggunaanya terdapat dalam dokumen-dokumen kuno Mesir, Yunani dan Romawi. Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertüner, seorang ahli farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertüner mengajukan ”morfin” untuk senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa (God of dreams). 2.3.1 Definisi Secara definisi, opiod adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. 2.3.2 Reseptor Opioid Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang ada disepanjang jaringan perifer. Reseptor-reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins dan dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen-dokumen yunani nama-nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar agonistnya: 1. Mu (µ) (agonis morphine) reseptor-reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak dan thalamus medial. Reseptor-reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bagiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors). 2. Kappa (κ) (agonis ketocyklazocine) reseptor – reseptor Kappa dijumpai didaerah limbik, area diensephalon, batang otak dan spinal cord dan bertanggung jawab

pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau KOR (kappa opioid receptors). 3. Delta (δ) (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor – reseptor Delta lokasinya luas di otak dan efek – efeknya belum deketahui dengan baik. Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors). 4. Sigma (σ) (agonis N-allylnormetazocine) reseptor – reseptor Sigma bertanggung jawab pada efek – efek psykomimetik, dysphoria dan stres-hingga depresi. 2.3.3 Klasifikasi Opioid Yang termasuk golongan opioid ialah: •

Obat yang berasal dari opium-morfin



Senyawa semisintetik morfin



Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat

(morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Berikut ini merupakan turunan opioid yang sering disalahgunakan: 1. Candu Getah

tanaman

Papaver

Somniferum

didapat

dengan

menyadap

(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai “Lates”. Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar.

Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap. Pemakaiannya dengan cara dihisap. 2. Morfin Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. 3. Heroin (putaw) Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir – akhir ini. Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. 4. Kodein Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. 5. Demerol Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.

2.4

Pemeriksaan Toksikologi Narkotika

2.4.1 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, termasuk tanda vital, mata dan mutut, kulit, abdomen dan sistem saraf. 1. Tanda-tanda vital Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obat amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin dan antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan gambaran karakteristik dari narkotika, kionidin, sedatif-hipnotik dan beta bloker. Takikardia dan hipotensi sering terjadi dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin dan teofihin. Pernapasan yang cepat adalah khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon monoksida dan toksin lain yang menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan karena obatobat simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-obat yang menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia dapat disebabkan oleh obat narkotik, fenotiazin dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan pemaparan pada lingkungan yang dingin atau infus intravena pada suhu kamar. 2. Mata Konstriksi pupil (miosis) adalah khas untuk keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida organofosfat dan penghambat kolinesterase lainnya, serta kornea yang dalatasi akibat obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada amfetamin, kokain, LSD, atropin dan obat antirnuskarinik lain. Nistagmus horizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol, barbiturat dan obat seclatit lain. Adanya nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat keracunan fensiklidin. Ptosis dan oftalmoplegia merupakan gambaran karakteristik dari botulinum. 3. Mulut

Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar akibat zat-zat korosif atau jelaga dan inhalasi asap. Bau yang khas dan alkohol, pelarut hidrokarbon, Paraldehid, atau amonia mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan sianida dapat dikenali oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti bitter almonds. Arsen dan organofosfat telah dilaporkan menghasilkan bau seperti bau bawang putih. 4. Kulit Kulit sering tampak merah, panas dan kering pada keracunan dengan atropin dan antim, muskarinik lain. Keringat yang herlebihan ditemukan pada keracunan dengan organofosfat, nikotin dan obat-obat simpatomimetik. Sianosis dapat disehabkan oleh hipoksemia atau methemoglohinemia. Ikterus dapat memberi kesan adanya nekrosis hati akilat keracunan asetaminofen atau jamur A manila phailoides. 5. Abdomen Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus, yang khas pada keracunan dengan antimuskarinik, narkotik dan obat sedatif. Bunyi usus yang hiperaktif, kram perut dan diare adalah umum terjadi pada keracunan dengan organofosfat, besi, arsen, teofihin dan A. phalloides. 6. Sistem saraf Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kejang fokal atau defisit motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus, disartria dan ataksia adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat dan keracunan sedatif lainnya. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon, haloperidol, fensiklidin (PCP) dan obat-obat simpatomimetik. Kejang sering disebabkan oleh antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena obat narkotika dan sedatif-hipnotik dan mungkin menyerupai kematian otak.

2.4.2 Sindrom Toksik Berdasarkan pemeriksaan Fisik awal, diagnosis tentatif jenis keracunan dapat dimungkinkan. Dicantumkan dalam tabel daftar karakteristik dari beberapa sindrom keracunan yang penting. Tabel 2. 1 Gambaran Klinik dari Berbagai Golongan Obat

2.5

Morfin (Gambaran Forensik)

2.5.1 Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun-racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba-raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut: Anamnesa dan Pemeriksaan fisik Gejala klinis: 1. Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis. 2. Pada keracunan akut: miosis, koma dan respirasi lumpuh. 3. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium. 4. Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin. Pada keracunan akibat morfin, terdapat 3 tahap yang menandai terjadinya gejala klinis yang berbeda yaitu: 1. Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari: •

Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.



Halusinasi.



Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.



Dapat menjadi maniak.

2. Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari: •

Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.



Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.



Wajah sianosis, pupil amat mengecil.



Pulse dan respirasi normal.

3. Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari: •

Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.



Proses sekresi.



Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa dan ini merupakan tanda akhir.



Respirasi cheyne stokes.



Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.

Pemeriksaan Toksikologi sebagai Barang Bukti 1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan. 2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.

4. Barang bukti lainnya. Metode yang digunakan: 1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti. 2. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test: Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0, 1-0, 5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak. 2.5.2 Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan, jenis obat apakah yang digunakan, melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut, adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian, apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat, adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut, apakah jenis narkoba yang digunakan

memprovokasi penyakit-penyakit yang mungkin sudah ada pada korban, apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban. Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu: 1. TKP (Tempat Kejadian Perkara). 2. Riwayat korban. 3. Otopsi. 4. Pemeriksaan Toksikologi Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti-bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi-saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba. Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatansayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda-tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha penyelundupan narkoba.

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerahdaerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda-benda asing dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik. Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah dan cairan empedu. . Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus-kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang-kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan

toksikologi lain.

Usapan mukosa

hidung kadang-kadang dapat

menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin. 2.5.3 Pemeriksaan pada Kematian Akibat Pemakaian Opioid (Morfin Atau Heroin) Pemeriksaan Luar Tanda-tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian. 1. Lokasi needle marks: fossa ante cubiti, lengan atas dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal dan pada perempuan disekitar papilla mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tandatanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik-titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda-tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya

denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasalswab’). 2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler. Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik. 3. Gelembung-gelembung pada kulit. Sering terdapat pada telapak tangan/kaki dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate. 4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi. Pemeriksaan Dalam Paru-paru 1. Perubahan akut: Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah: a. Dari 0 sampai 3 jam: hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA: Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.

b. Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang dan emfisma), kongesti dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate. c. Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak selsel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula. 2. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus. Hati Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan: 1. Hepatitis agresif kronika: tandanya ada pembentukan septa. 2. Hepatitis persisten kronika: adanya infiltrasi sel radang didaerah portal

3. Hepatitis reaktif kronika. 4. Perlemakan hati. Getah Bening 1. Lokasi: terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan duktus kholedocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya. 2. Makroskopis: tampak pembesaran 3. Mikroskopis: tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit. Pemeriksaan Toksikologi 1. Urin, cairan empedu dan jaringan temapt suntikan. 2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup 4. Barang bukti lainnya. 2.6

Heroin

Heroin adalah semi sintetik opioid yang disintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Karakteristik dari heroin dapat berupa bubuk putih, bubuk coklat dan blacktar. Cara pemakaian heroin dapat di Injeksi, dihirup atau dihisap. Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin: Short term Gelisah Depresi pernafasan Fungsi mental berkabut Mual dan muntah Menekan nyeri Abortus spontan

Long term Addiksi HIV, hepatitis Kolaps vena Infeksi bakteri Penyakit paru (pneumonia, TBC) Infeksi jantung dan katupmnya

Penyebab kematian heroin pada heroin dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme yaitu:



Depresi pusat pernafasan



Edema Paru: terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intracranial serta berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2



Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh berbagai hal lain seperti: pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi, misalnya: pneumonia, endokarditis, hepatitis, tetanus, AIDS. Bila cara penyuntikan tidak benar, atau jarum lepas dari semprit saat yang bersangkutan telah dalam keadaan fly, dapat terjadi masuknya udara sehingga menimbulkan emboli udara. Pemeriksaan forensik:



Bekas-bekas suntikan



Rajah yang bertujuan menutupi bekas-bekas suntikan, atau mungkin ditemukan adanya abces, granuloma atau ulkus.



Perlu diambil hapus selaput lendir hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan toksikologik



Pembesaran kelenjar getah bening setempat



Lepuh kulit (skin-blister)



Kelainan paru



Kelainan hati

BAB 3 SIMPULAN 3 3.1

Simpulan

Wawancara medis, pemeriksaan tempat ditemukannya korban dan tes toksikologi merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi jenis keracunan yang mengenai korban . Aplikasi pemeriksaan toksikologi penting untuk mebedakan agen penyebab keracunan yang jelas dan tanda dan gejala pada saat pasien keracunan juga merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis keracunan.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, G. G. (2012). Forensic Toxicology – Drugs and Chemicals. Tersedia dalam: http://emedicine. medscape. com/article/1680257-overview#showall (Diakses pada 14 Januari 2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tersedia

dalam:

http://www.

depkes.

go.

id/downloads/uu_No.

_35_Th_2009_ttg_Narkotika. pdf (Diakses pada 14 Januari 2014). Universitas Sumatera Utara (2012). Klasifikasi Seorang Penyalahguna Narkotika Dapat Dikatakan

sebagai

Seorang

Pecandu

Narkotika.

Tersedia

dalam:

http://repository. usu. ac. id/bitstream/123456789/34400/3/Chapter%20II. pdf (Diakses pada 14 Januari 2014). Universitas Gadjah Mada (2012). Penatalaksanaan Umum Keracunan. Tersedia dalam: http://elisa.

ugm.

id/user/archive/download/40898/0ef442cd7a2656489416eddb02b45054 (Diakses pada 14 Januari 2014).

ac.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF