Keputusan Menteri Kesehatan No 483 Tahun 2007 Tentang Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP)
November 13, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Keputusan Menteri Kesehatan No 483 Tahun 2007 Tentang Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP)...
Description
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 483/MENKES/SK/IV/2007 TENTANG PEDOMAN SURVEILANS ACUTE FLACCID PARALYSIS (AFP) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa dalam rangka memasuki tahap sertifikasi eradikasi polio di regional Asia Tenggara (South East Asia Region), khususnya untuk Indonesia perlu ditingkatkan sensitifitas dan kinerja surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP);
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana pada huruf a di atas, maka diperlukan suatu Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP) yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
4.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560 Tahun 1989 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporannya dan Cara Penanggulangannya;
5.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 636/Menkes/SK/VII/ 1997 tentang Pelaksanaan Surveilans Acute Flaccid Paralysis Menuju Indonesia Bebas Polio Tahun 2000;
1
6.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/SK/XI/ 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
Kesatu
:
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN SURVEILANS ACUTE FLACCID PARALYSIS (AFP).
Kedua
:
Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
Ketiga
:
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua merupakan acuan bagi petugas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dalam melaksanakan surveilans AFP.
Keempat
:
Pembinaan terhadap penyelenggaraan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan bersama Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota .
Kelima
:
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(AFP)
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 April 2007 MENTERI KESEHATAN,
Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP(K)
2
Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 483/Menkes/SK/IV/2007 Tanggal : 12 April 2007
PEDOMAN SURVEILANS ACUTE FLACCID PARALYSIS (AFP)
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada pertemuan tahunannya pada bulan Mei 1988, the World Health Assembly (WHA), suatu badan tertinggi di organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO), telah mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini. Polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dibasmi. Strategi untuk membasmi polio didasarkan atas pemikiran bahwa virus polio akan mati bila ia disingkirkan dari tubuh manusia dengan cara pemberian imunisasi. Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi penyakit cacar (smallpox) pada tahun 1977. Cacar adalah satusatunya penyakit yang telah berhasil dibasmi. Program eradikasi polio merupakan suatu upaya kerjasama global. WHO, UNICEF (United Nations Children’s Fund) , Rotary Internasional, the US Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan sejumlah organisasi pemerintah maupun non pemerintah telah memberikan komitmennya yang kuat kepada program ini. Dengan upaya keras yang telah dilakukan, polio telah berhasil dibasmi di 3 wilayah dari 6 wilayah dunia: benua Amerika (1998), Pasifik Barat (2000) dan Eropa (2002) . Di wilayah selebihnya: Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Afrika, polio telah sangat terfokus dan hanya terjadi di beberapa negara yang menjangkiti beberapa propinsi saja. Saat ini hanya ada 4 negara yang digolongkan sebagai negara endemis polio: India, Pakistan, Afganistan dan Nigeria. Eradikasi polio secara global akan memberi keuntungan secara finansial. Biaya jangka pendek yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan eradikasi tidak akan seberapa dibanding dengan keuntungan yang akan didapat dalam jangka panjang. Tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi cacat karena polio. Biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi penderita polio dan biaya untuk imunisasi polio akan dapat dihemat.
3
Selain itu ada keuntungan lain yang bisa didapat. Jaringan kerja laboratorium polio global yang telah terjalin baik dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan penyakit lain yang berhubungan dengan kepentingan kesehatan masyarakat. Petugas yang terlatih serta infrastruktur yang telah terbangun dapat digunakan untuk merevitalisasi sistem surveilans nasional. Sejalan dengan upaya global tersebut, untuk membebaskan Indonesia dari penyakit polio, pemerintah melaksanakan program Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari pemberian imunisasi polio secara rutin, pemberian imunisasi tambahan (PIN, Sub PIN, Mopping-up) pada anak balita, surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis), dan pengamanan virus polio di laboratorium (Laboratory Containtment). Setelah dilaksanakan PIN 3 tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan 1997, virus polio liar asli Indonesia tidak ditemukan lagi sejak tahun 1996. Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio pertama di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ditemukannya virus polio liar tersebut menunjukkan salah satu peran Surveilans AFP. Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB, dimana pada kurun waktu 2005 sampai awal 2006 kasus polio telah berjumlah 305 orang yang tersebar di 10 propinsi dan 47 kabupaten/kota. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2005. Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI), 2 kali mop-up, 5 kali PIN dan 2 kali SubPIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya, dimana kasus VPL terakhir mengalami kelumpuhan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam. Namun pada tanggal 13 April 2006 ditemukan VPL dari pemeriksaan spesimen kontak kasus tersebut. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar kasus poliomielitis bersifat non-paralitik atau tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Sebagian kecil ( 1 %) saja dari kasus poliomielitis yang menimbulkan kelumpuhan (Poliomielitis paralitik). Dalam surveilans AFP, pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis yang mudah diidentifikasikan, yaitu poliomielitis paralitik. Ditemukannya kasus poliomielitis paralitik di suatu wilayah menunjukkan adanya penyebaran virus-polio liar di wilayah tersebut. Untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis. Penyakit-penyakit ini—yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis—disebut kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP (SAFP). Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit polio. Sejak tahun 2004 untuk lebih memanfaatkan jaringan kerja surveilans AFP yang sudah berfungsi baik, dan sesuai dengan anjuran WHO, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) diintegrasikan kedalam sistem surveilans AFP. Selanjutnya dapat dilihat pedoman tentang surveilans integrasi AFP dan PD3I yang disusun terpisah dari buku pedoman ini.
B. Analisis Situasi 4
Sejak surveilans AFP dilaksanakan secara intensif tahun 1997 melalui peningkatan komitmen Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi di seluruh Indonesia, penemuan kasus AFP menunjukan peningkatan yang bermakna, namun berfluktuasi dimana penemuan terendah pada tahun 2000. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi transisi sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi terutama adanya perubahan struktur organisasi di setiap tingkat pemerintahan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2002, Ditjen PPM & PLP menetapkan adanya Petugas Surveilans Khusus AFP di tingkat propinsi sebagai koordinator teknis pelaksanaan surveilans AFP yang bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Dengan adanya sistem ini terjadi peningkatan penemuan kasus AFP diatas batas minimal Non polio Rate 1/100.000 anak usia kurang 15 tahun. Penemuan kasus tersebut belum maksimal, karena masih ditemukan adanya kasus AFP yang lolos di beberapa RS.
Dalam tahun 2005 terjadi KLB polio yang berdampak pada meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap semua kelumpuhan yang terjadi, sehingga penemuan kasus AFP non polio meningkat lebih 2/100.000 meskipun spesimen adekuat kurang 80 %. Penemuan kasus ini menunjukkan perkiraan minimal kasus AFP Non polio di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut sejak tahun 2006 ditetapkan non polio AFP rate 2/100.000 anak usia kurang 15 tahun.
C. Pengertian 1. Kasus AFP adalah: Semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.
5
Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah: perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 – 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal. Yang dimaksud kelumpuhan flaccid: Kelumpuhan bersifat lunglai, lemas atau layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot. Dalam hal ada keraguan dalam menentukan sifat kelumpuhan apakah akut dan flaccid, atau ada hubungannya dengan ruda paksa/kecelakaan, laporkanlah kasus tersebut sebagai kasus AFP. Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tatalaksana seperti kasus AFP. 2. Kasus polio pasti (confirmed polio case): Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya di laboratorium ditemukan virus polio liar, cVDPV, atau hot case dengan salah satu spesimen kontak positif VPL. 3.
Kasus Polio Kompatibel :
Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain: Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya kelumpuhan.
Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan ulang 60 hari.
Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh Kelompok Kerja Ahli Surveilans AFP Nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemiologis maupun kunjungan lapangan. Polio kompatibel menunjukkan bahwa sistem surveilans AFP masih lemah, karena spesimen tidak adekuat yang disebabkan oleh keterlambatan penemuan kasus, keterlambatan pengambilan spesimen, dan atau pengamanan spesimen yang tidak baik.
Skema klasifikasi-virologis AFP Virus-polio liar positif: Kasus Hot case kontak positif
AFP
Kasus Polio ● Paralisis residual (+), atau ● Tak dapat di-follow up karena meninggal, alamat tidak jelas, dsb
Spesimen tidak adekuat
Virus-polio liar negatif
Polio Kompatibel
Pokja Ahli SAFP
Paralisis residual (-)
6
Spesimen adekuat
II.
Bukan Kasus Polio
TUJUAN SURVEILANS AFP
A. Tujuan Umum 1.
Mengidentifikasi daerah risiko tinggi, untuk mendapatkan informasi tentang adanya transmisi VPL, VDPV, dan daerah dengan kinerja surveilans AFP yang tidak memenuhi standar/indikator.
2.
Memantau kemajuan program eradikasi polio. Surveilans AFP memberikan informasi dan rekomendasi kepada para pengambil keputusan dalam rangka keberhasilan program ERAPO.
3.
Membuktikan Indonesia bebas polio. Untuk menyatakan bahwa Indonesia bebas polio, harus dapat dibuktikan bahwa:
Tidak ada lagi penyebaran virus-polio liar maupun Vaccine Derived Polio Virus (cVDPV) di Indonesia.
Sistem surveilans terhadap polio mampu mendeteksi setiap kasus polio paralitik yang mungkin terjadi.
B. Tujuan Khusus
III.
1.
Menemukan semua kasus AFP yang ada di suatu wilayah.
2.
Melacak semua kasus AFP yang ditemukan di suatu wilayah.
3.
Mengumpulkan dua spesimen semua kasus AFP sesegera mungkin setelah kelumpuhan.
4.
Memeriksa spesimen tinja semua kasus AFP yang ditemukan di Laboratorium Polio Nasional.
5.
Memeriksa spesimen kontak terhadap Hot Case untuk mengetahui adanya sirkulasi VPL.
KONSEP DAN KEBIJAKAN
A. Konsep Upaya pemberantasaan polio dilakukan melalui 4 strategi yaitu: imunisasi rutin, imunisasi tambahan, surveilans AFP, dan pengamanan VPL di laboratorium. Dengan intensifnya program imunisasi polio, maka kasus polio makin jarang ditemukan. Berdasarkan rekomendasi WHO tahun 1995 dilakukan kegiatan surveilans AFP yaitu menjaring semua
7
kasus dengan gejala mirip polio yaitu lumpuh layuh mendadak (Acute Flaccid Paralysis/AFP), untuk membuktikan masih terdapat kasus polio atau tidak di populasi. Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus kelumpuhan yang sifatnya layuh (flaccid) seperti kelumpuhan pada poliomielitis dan terjadi pada anak berusia 15 tahun
Vaksinasi
Total
Vaksinasi
10 - 14 tahun
Vaksinasi
Vaksinasi
Total
5 - 9 tahun
Total
1 - 4 tahun
Total
< 1 tahun
Vaksinasi
Puskesmas/ Rumah Sakit
Kasus AFP
Kasus Campak (Laporan Rutin)**
Tidak Imunisasi
Kabupaten/kota Bulan Tanggal Rekam data
Format 34b
Laporan Surveilans Integrasi AFP dan PD3I Kabupaten* Kabupaten/kota : Bulan : Tanggal Rekam data :
Tahun :
Total
Vaksinasi
Total Meninggal
Total
> 15 tahun Vaksinasi
Vaksinasi
Total
Vaksinasi
10 - 14 tahun Vaksinasi
5 - 9 tahun
Total
1 - 4 tahun
Total
< 1 tahun
Total
Puskesmas /Rumah Sakit
Vaksinasi
Kasus Difteri
Total
* Data kasus tiap bulan dan bukan data kumulatif ** Sumber data dari laporan KLB difteri dan FP-PD
Mengetahui, (………………………………….) Hal 2.
Tim Penyusun Subdit Surveilans Epidemiologi: Dr. Sholah Imari, MSc Rizal Kosim, SKM Dr. Nani Rizkyati Dr. Darmawali Handoko Indra Jaya, SKM WHO EPI: Dr. Rusipah, M.Kes Niprida Mardin, SKM, M.Kes Dr. Sidik Utoro, MPH Dr. Siane Nursianti, MKM Fetty Wijayanti, SKM, M.Kes
View more...
Comments