Keluarga Hukum (Legal Family)
October 15, 2017 | Author: SahatMarulituaAmbarita | Category: N/A
Short Description
Download Keluarga Hukum (Legal Family)...
Description
Keluarga Hukum KELUARGA HUKUM
A. Hubungan antara ilmu sejarah hukum (legal history) dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam buku An Introduction to Comparative Law yang ditulis Konrad Zweigert dan Hein Kötz Istilah ilmu sejarah hukum (legal history) biasanya diasosiasikan dengan satu paham pemikiran hukum yaitu mazhab sejarah dengan salah satu eskponennya yang paling terkenal adalah Carl von Savigny disamping Burke, Puchta dan Hugo. Mazhab sejarah menggambarkan sejarah sebagai tradisi, kepercayaan dan bangsa; yang merupakan esensi pembentukan hukum secara rasional. Sedangkan paham pemikiran mazhab historisme filosofis, mengembangkan filsafat hukum tertentu dari evolusi sejarah melalui pakar-pakarnya: Vico, Montesquieu, Hegel, Kohler, Spengler dengan pengembangannya masing-masing secara berlain-lainan. Hegel melihat dalam sejarah terjadi penyingkapan ide secara bertahap, dari satu tahap ketidaksadaran masyarakat primitif ke pencerminan diri yang merealisasikan kebebasan. Tiap bangsa menyumbangkan sesuatu untuk pembuatan jalan menuju ke tujuan tersebut. Disinilah gagasan tentang “volkgeist” digunakan. Konsepsi Hegel mengandung unsur-unsur filsafat hukum komparatif dan sejarah hukum, yang memastikan hukum dalam hubungannya dengan jiwa yang khas dari fungsi bangsa tertentu. Montesquieu tidak hanya mengumpulkan bahan-bahan perbandingan mengenai undangundang dan konstitusi-konstitusi dari negara-negara yang berbeda, namun ia pun memanfaatkan ketergantungan hukum dari banyak faktor alam dan sosial ke dalam apa yang dinamakannya esprit de la nation. Studi sejarah hukum memiliki ketergantungan terhadap pengetahuan-pengetahuan lain di segala bidang, dan pada akhirnya akan berlanjut menuju kepada ilmu hukum perbandingan (comparative law). Post mengadakan penelitian perbandingan yang komprehensif tentang lembaga-lembaga hukum dari banyak negara dalam periode yang berbeda-beda, sehingga akhirnya ia sampai kepada suatu kesimpulan bahwa terjadi ketegangan pada umumnya antara dua kekuatan
yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan-kekuatan egoistis yang membuat individu tersebut menuntut hak-hak dan kekuatan-kekuatan moral yang membuatnya merasa sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban. Contoh lain, sejarah hukum dengan comparative law mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Jika kita melakukan studi hanya secara sepintas, maka kita akan cenderung tergiring untuk mengatakan bahwa studi sistem comparative law tumbuh dalam suatu ruang/wilayah, sedangkan studi sistem sejarah hukum dilakukan berdasarkan urut-urutan waktu. Namun jika dielaborasi lebih jauh, ternyata hubungannya lebih dari hanya sekedar itu: pertama, seluruh studi tentang sejarah hukum pasti menggunakan metode perbandingan. Sehingga seorang sejarawan hukum tidak dapat melakukan penelitian terhadap suatu sistem hukum, hanya kepada stu sistem yang dipilihnya saja atau hanya membuat perbandingan-perbandingan secara parsial saja. Kedua, comparative law secara luas ternyata akan meliputi pula sejarah hukum komparatif, hal ini terbukti ketika sarjana-sarjana hukum romawi melakukan penelitian hukum terhadap seluruh bidang hukum: hukum publik, hukum privat, ius gentium, ius civile, hukum yunani, hukum negara-negara timur tengah, hukum masyarakat kuno lembah mediterania, dll. Mitteis mengatakan bahwa tanpa memiliki perasaan sejarah, para komparatis modern sekalipun tidak akan dapat memahami solusi-solusi bahwa sejarah hukum sebenarnya akan terus mengaktualisasikan masa lalu melalui setiap jengkal waktu, sehingga pada akhirnya perbedaan-perbedaan antara sejarah hukum dengan comparative law nyaris hilang, bahwa perbedaan antara sejarah hukum dan comparative law sebenarnya telah teredusir (reduced) dan hanya melalui penelitian betul-betul cermat, perbedaan tajam antara sejarah hukum komparatif sebagai vertical comparative law dengan penganut sistem modern sebagai horizontal comparative law tersebut bisa tampak. Sejarawan hukum di masa kini melihat hukum dan sejarah sebagai fully interfused, mencoba menjelaskan konteks di luar hukum dan hal-hal tersembunyi dari upaya-upaya pengembangan hukum. Genzmer, sejarah hukum banyak memberikan kontribusi melalui kritik dan evaluasi terhadap kebijakan pengembangan hukum tersebut, dan inilah tujuan yang sangat prinsip dari comparative law.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa ilmu sejarah hukum mau tidak mau memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan lain, karena keberadaan ilmu sejarah hukum tidak bisa dilepaskan dari dari perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Seluruhnya berasal dari induk ilmu pengetahuan yang sama, yaitu filsafat ilmu.
B. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pandangan antara kelompokkelompok universalis dan partikularis (relativisme budaya) dalam memandang penerapan hukum kolonial di Indonesia.
Pembicaraan mengenai pandangan antara kelompok universalis dan partikularis dalam memandang penerapan hukum kolonial di Indonesia tidak terlepas dari berbagai alternatif upaya pembangunan hukum nasional. Masalah pembangunan hukum nasional hingga kini tetap menjadi topik menarik di kalangan pengamat hukum. Hal ini logis karena pembangunan hukum melalui program legislasi nasional boleh dikatakan belum memiliki kemajuan yang berarti. Sudah lebih dari setengah abad negara hukum ini berdiri, namun produk hukum peninggalan kolonial masih mendominasi tata hukum nasional. Berbagai persoalan pembangunan hukum Indonesia saat ini, di satu pihak oleh kelompok universalis diupayakan diselesaikan melalui upaya sadar dan nyata untuk mengganti hukum kolonial dengan hukum nasional. Sementara itu dilain pihak oleh kelompok partikularis/relativisme budaya, kegiatan pembinaan hukum nasional dimaksudkan sebagai upaya menyelaraskan hukum dengan perkembangan masyarakat, oleh karena adresat dari hukum adalah masyarakat yang perkembangannya sangat dinamis maka hukum yang ada mengalami penyelarasan dengan tingkat perkembangan yang ada. Tak lama setelah negara Indonesia diproklamasikan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perangkat-perangkat hukum yang bersumber dari konsepsi hukum kolonial yang
sebenarnya tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih tetap diberlakukan atau dipertahankan. Hal ini dilakukan demi mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau untuk menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta kelangsungan hidup masyarakat. Secara normatif situasi tata hukum sebagaimana dimaksud, telah diantisipasi oleh the founding fathers Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Aspek legal yang terkandung dalam Aturan Peralihan adalah bahwa langsung diberlakukannya lembaga dan atau ketentuan hukum yang ada saat diproklamasikannya negara Indonesia, adalah sejauh tidak bertentangan dengan cita-cita perjuangan kemerdekaan serta pandangan hidup bangsa Indonesia. Walaupun Aturan Peralihan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan kelangsungan hidup masyarakat dengan cara mencegah adanya kekosongan hukum, namun pemberlakuannya ternyata menimbulkan beberapa akibat,pertama berlakunya bermacammacam hukum yang bersumber dari berbagai konsepsi hukum yang berbeda, misalnya: hukum eropa kontinental (liberal), hukum adat (komunal), hukum feodal (patrimonial), hukum islam (religius) dan dalam perkembangan terakhir masuk pula hukum anglo saxon/anglo amerika (common law, case law); Kedua, terciptanya suatu keadaan dimana tidak didapatkan sinkronisasi dalam pelaksanaan penegakan hukum dan penerapan hukum di pemerintahan dan di pengadilan; ketiga, tumbuh dan berkembangnya lapisan-lapisan atau golongan di dalam masyarakat yang lebih merasa terbiasa/familiar dengan sistem atau macam hukum yang satu dan tidak terbiasa dengan macam yang lain walaupun secara resmi berlaku. Keadaan inilah antara lain yang menyebabkan timbulnya kecenderungan kurang bak dalam hal kepatuhan hukum masyarakat, oleh karena hukum yang berlaku dirasakan sebagai sesuatu yang asing. Upaya yang dilakuan oleh kelompok universalis untuk mengganti hukum eks-kolonial dengan hukum nasional bukanlah pekerjaan kecil dan mudah. Jika tolok ukur yang kita gunakan untuk pembangunan hukum adalah sejak dibentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang BPHN) pada tahun 1958, dan itu berarti sudah 46 tahun, maka hasil yang dicapai dapat dikatakan belum begitu menggembirakan. Dapat dicatat hanya beberapa ketentuan hukum pokok saja (basic law) yang berhasil dibuat. Sejak awal orde baru hingga saat ini, pemerintah melalui program legislasi nasional telah menetapkan
bidang-bidang hukum yang akan diprioritaskan penanganannya. Menurut inventarisasi yang dilakukan BPHN, sedikitnya terdapat 400 ketentuan hukum peninggalan kolonial yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia. Dari jumlah itu baru 90 peraturan yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Banyaknya peraturan atau hukum warisan kolonial yang berlaku di Indonesia mengakibatkan hingga saat ini negara hukum Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional. Sedangkan kelompok partikularis dalam keseluruhan upayanya melakukan penataan hukum nasional dilaksanakan melalui beberapa tahapan/operasi/ kegiatan yakni: 1) pemeliharaan hukum-hukum eks-kolonial, 2) pembaruan sejumlah bidang hukum dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi dan 3) penciptaan hukum nasional dengan sejauh mungkin memperhatikan aspek budaya dan adat istiadat yang berlaku. Dimensi pemeliharaan mengandung arti bahwa hukum-hukum eks-kolonial tetap dipelihara sepanjang aturan hukum tersebut masih selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia. Adalah tugas pemerintah untuk menentukan mana hukum eks-kolonial yang perlu dicabut atau perlu dievaluasi. Hingga saat ini kita memang berhasil memelihara hukum warisan kolonial untuk mengatasi kekosongan hukum. Berkaitan dengan dimensi pembaruan, sejauh ini telah dilakukan upaya kodifikasi dan unifikasi untuk sejumlah bidang hukum. Yang dikehendaki nampaknya adalah kodifikasi yang fleksibel dan terbuka. Ini berkaitan dengan kemampuan hukum menampung perkembangan-perkembangan baru secara cepat dan tepat. Perkembangan dan atau perubahan masyarakat dewasa ini sedemikian drastisnya, sehingga membutuhkan perangkat hukum yang mampu menahan derasnya laju perubahan tersebut. Ketentuan dalam KUHP misalnya, dirasakan mulai tertinggal sebagai akibat timbulnya jenis kejahatan baru atau kejahatan berdimensi baru seperti kejahatan korporasi, perkosaan dalam keluarga (marital rape), santet, bankfraud, fraudulent-misrepresentation, dan lainlain. Kodifikasi yang dilakukan terhadap ketentuan hukum pidana, baik yang tertera dalam KUHP maupun di luar KUHP, sangat mendesak dilakukan karena pertimbangan asas legalitas yang menekan lex certa. Kekosongan hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus pidana, selain mengakibatkan kurangnya kepastian hukum juga menyebabkan hakim akan menggunakan penafsiran misalnya analogi, suatu hal yang seharusnya dilarang, tetapi karena kebutuhan mulai diterima untuk dipraktikkan.
Tersebarnya peraturan pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana dewasa ini dari segi penegakan hukum memang tidak menjadi masalah karena aparat penegak hukum sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Kebutuhan masyarakat saat ini adalah adanya suatu hukum pidana yang memuat seluruh aturan hukum pidana secara lengkap. Kegiatan tambal-sulam aturan hukum untuk mengatasi kekosongan hukum selain karena kebutuhan, juga menyiratkan bahwa pola pembangunan hukum kita hanya berwawasan kekinian, kurang memperhatikan dimensi yang akan datang. Bila disadari bahwa perubahan akan datang lebih cepat dari perkembangan hukum, maka tidak bisa tidak, pola pembangunan hukum harus berwawasan jauh ke depan, antisipatif dan proaktif. Era globalisasi dan perdagangan bebas, misalnya, akan membutuhkan perangkat hukum yang pasti (terutama di bidang hukum ekonomi dan bisnis). Para pelaku ekonomi tentu saja membutuhkan perangkat hukum yang memadai. Dimensi penciptaan hukum dalam penataan hukum memperlihatkan kreativitas alat kelengkapan legislatif nasional untuk membuat aturan hukum yang benar-benar buatan Indonesia, baik dari segi bahan-bahan hukumnya maupun dari segi nilai-nilai aturan hukum tersebut. Persamaan pandangan kaum universalis dan kaum partikularis: Pada prinsipnya kedua kelompok tersebut memiliki kesamaan dalam hal menilai penerapan hukum kolonial di Indonesia dengan penekanan pada aspek sejarah hukum, yaitu keberadaan hukum di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Perbedaan pandangan kaum universalis dan kaum partikularis: Perbedaan pandangan kedua kelompok dalam menilai penerapan hukum kolonial di Indonesia adalah, menurut kelompok universalis bahwa penerapan hukum kolonial tersebut dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan menurut kelompok partikularis bahwa penerapan hukum kolonial di seluruh wilayah Indonesia, harus memperhatikan aspek budaya dan adat istiadat yang berlaku. C. Komprehensif tentang model-model dari keluarga hukum (The Style of Legal Families) yang eksis di dunia.
Penyusunan model-model dari keluarga-keluarga hukum ke dalam kelompok-kelompok bertujuan melakukan pengklasifikasian (taxonomic purposes), agar dapat diatur pengelompokan sistem hukum secara menyeluruh, sebagaimana yang digambarkan oleh para pakar hukum di bawah ini : Esmein adalah pakar hukum yang mengawali melakukan pembagian atau pengklasifikasian sistem hukum dunia dari negara-negara yang berbeda-beda, yang mana masing-masing merupakan sebuah sistem hukum asli mereka kedalam sejumlah kecil keluarga-keluarga hukum: romanistic, germanic, anglo saxon, slav dan islam. Pengelompokan oleh Esmein dipandang sangat sempurna pada masanya, oleh karena ia pun membuat rumusan mengenai prinsip-prinsip pengelompokan ke dalam keluarga-keluarga hukum tersebut, berdasarkan: hukum yang diundangkan (enacted) atau yang berasal dari kebiasaan (customary). Kemudian Esmein pun berpendapat bahwa jika studi tentang comparative law menjadi wacana ilmiah, maka kita harus memulai studi dengan sebuah penelitian mengenai sumber-sumber sejarah, struktur umum, dan karakteristik-karakteristik khusus dari tiaptiap sistem hukum tersebut. Levy-Ullmann mengklasifikasikan sistem hukum dunia kedalam keluarga hukum kontinental, keluarga hukum negara-negara berbahasa Inggris, dan keluarga hukum Islam. Pembedaan (distinction) tersebut dibuat dengan sangat jelas, yakni pembedaan kedalam sumber-sumber hukum yang saat ini dikenal sebagai sistem hukum eropa kontinental dan anglo amerika (anglo saxon). Sauser-Hall (1913) menggunakan ras sebagai faktor yang mendasari pembagiannya, dengan alasan bahwa hanya di dalam sebuah ras kita bisa melihat terjadinya evolusi perkembangan hukum. Dalam hal ini ia membedakan hukum ke dalam keluarga-keluarga hukum: indo european, semitic dan mongolian, serta membagi keluarga indo european ke dalam sub kelompok hindu, iranian, celtic, greco-roman, germanic, anglo saxon dan lithuania-slav. Martinez-Paz (1934) mengadopsi metoda pengklasifikasian berdasarkan keturunan (genetic method). Menurutnya, sebegitu jauhnya perkembangan dari setiap sistem hukum, tetap saja dipengaruhi oleh ius gentium, hukum romawi, hukum pidana (canon law) atau dipengaruhi pula oleh beberapa pemikiran-pemikiran demokrasi mutakhir. Berdasarkan hal ini ia berhasil mempersatukan kelompok: romano, canonico, democratico, serta ia membagi pula ke dalam sistem hukum amerika latin, switzerland dan russia.
Rene David, membuat kriteria pembedaan (distinction) kedalam dua kriteria : kriteria ideologi (hasil dari agama, filsafat, atau politik, ekonomi atau struktur sosial) dan kriteria teknik hukum. Prinsip dasar dari pembedaan atau kriteria tersebut adalah basis filsafat atau konsepsi keadilan, sedangkan perbedaan-perbedaan teknik hukum menjadi hal penting kedua. Berdasarkan prinsip itu, ia membeda-bedakan 5 keluarga hukum: sistem hukum barat, sistem hukum sosialis, sistem hukum islam, sistem hukum hindu, dan sistem hukum cina. Namun kemudian, ia mengubah pendapatnya dengan hanya mengemukakan 3 keluarga hukum: hukum romawi-jerman, hukum kebiasaan (common law) dan hukum sosialis. Lebih lanjut ia membedakan kembali, bersamaan dengan bersatunya kembali kelompok „sistem lain‟ yang hilang, ke dalam : hukum yahudi, hukum hindu, dan hukum timur jauh bersama-sama dengan kelompok baru hukum afrika dan hukum malagasi. Malmstrom mengemukakan teori keluarga-keluarga hukum. Secara prinsip ia berkeberatan terhadap hal-hal yang dikemukakan oleh Arminjon/Nolde/Wolf, yaitu bahwa sistem hukum eropa asli memiliki banyak keistimewaan (features) dan dengan telah secara ekslusif mengklasifikasikan kedalam sebuah kelompok barat (eropa-amerika). Sedangkan Malmstrom menambahkan lagi ke dalam kelompok tersebut sistem hukum romawi, sistem hukum jerman, sistem hukum amerika latin, sistem hukum nordic, dan common law system. Sedangkan sistem hukum sosialis, sistem hukum asia non-komunis, dan sistem hukum afrika akan masuk kedalam kelompok lain. Eörsi adalah pakar hukum yang pertama kali menawarkan teori umum comparative law yang berpijak dari teori hukum Marx melalui pengklasifikasian yang sangat berbeda. Dalam pandangannya, sistem hukum di beberapa negara ditentukan oleh hubungan-hubungan produksi, terutama kepemilikan dari alat produksi dan konsekuensi pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Ia berkesimpulan, bahwa dunia saat ini dikuasai dua tipe hukum yang berbeda: tipe hukum kapitalis yang dimiliki sistem-sistem hukum dari negara-negara dimana alat-alat produksi dimiliki secara perorangan, dan tipe hukum kapitalis yaitu sistem hukum dari negara-negara dimana alat produksi telah tersosialisasikan dan mengakui kepemilikan kelas pekerja. Dari banyak upaya dalam melakukan pengelompokan-pengelompokan seperti itu, Armijon/Nolde/Wolff dianggap yang paling berhasil. Arminjon/ Nolde/ Wolf berpendapat bahwa sistem hukum modern akan mengelompok berdasarkan substansinya, dengan
mengindahkan keaslian, asal-usul, dan unsur-unsur yang umum, dan tanpa mengacu kepada faktor yang disebabkan oleh keadaan luar, seperti geografi atau ras. Sehingga dihasilkan suatu pembagian ke dalam tujuh keluarga-keluarga hukum: perancis, jerman, skandinavia, inggris, russia, islam dan hindu. Pembagian sistem hukum yang dilakukan oleh Arminjon/Nolde/Wolf ke dalam tujuh keluarga hukum, sejauh ini adalah yang paling meyakinkan, terutama penolakannya terhadap kriteria-kriteria internal. Pengklasifikasian sistem hukum modern, harus didasarkan pada studi mengenai substansinya. Sama halnya dengan bahasa dalam ilmu linguistik perbandingan (comparative linguistic), maka sistem hukum pun terbentuk menjadi keluarga-keluarga hukum berlandaskan hubungan dan persamaan-persamaan, namun tidak akan pernah sama persis seperti itu, oleh karena keadaan common quality tetap merupakan sesuatu yang juga harus diperhitungkan.
D. Jelaskan secara komprehensif tentang hal-hal sebagai berikut : The Romanistic Legal Family; The Germanic Legal Family dan The Anglo American Legal Family. 1. The Romanistic Legal Family Orang-orang Romawi kuno adalah perancang hukum yang sangat hebat. Tradisi mereka di Eropa tidak pernah hilang walaupun orang-orang barbar menguasai warisan Kekaisaran Romawi. Pada abad pertengahan, hukum Romawi dalam bentuk klasiknya digali kembali dan bangkit lagi, bahkan saat ini hampir seluruh kitab undang-undang di Eropa mencerminkan pengaruh hukum Romawi dan kebangkitan abad pertengahannya. Eropa Barat (Perancis, Jerman, Itali, Spanyol, Portugal, Belanda, Luxemburg dan Belgia) antara lain jelas negara penganut The Romanistic Legal Family (Civil Law). Melalui Spanyol dan Portugal, Civil Law menuju ke Amerika Latin. Perancis membawa Civil Law-nya ke negara jajahannya di Afrika. Di Kanada Civil Law menguasai Propinsi Quebec yang berbahasa Perancis. Civil Law secara kuat mewarnai pula sistem hukum dari 2 lokasi jauh yang sulit diduga yaitu Skotlandia dan Louisiana (Amerika Serikat). Civil law akhir-akhir ini juga memainkan peranan utama di negara seperti Jepang dan Turki yang bukan anggota sistem hukum manapun, tetapi telah meminjam bagian-bagian Civil Law dengan harapan agar cepat menjadi modern.
Civil Law system umumnya adalah sistem hukum yang dikodifikasi: hukum dasar dituangkan dalam kitab undang-undang (codes). Kitab undang-undang ini adalah undang-undang (statutes) atau lebih merupakan undangundang tertinggi (superstatutes) yang disahkan oleh parlemen nasional yang menyusun seluruh bidang hukum secara berurutan, logis dan komprehensif. Secara historis, kitab undang-undang yang paling menonjol adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Civil Code) Perancis yang disebut Kitab Undang-undang Napoleon (Napoleon Code) yang lahir pada tahun 1804. Kitab undang-undang ini sangat berpengaruh terhadap bentuk dan substansi kitab undang-undang negara-negara lain yang disusun kemudian, antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman yang disusun pada akhir abad ke 19. Civil law Perancis Tahun 1804 merupakan suatu prototipe dari keseluruhan keluargakeluarga hukum romawi (The Romanistic Legal Family). Civil Law lahir dalam suasana Revolusi Perancis, sebuah revolusi dengan tradisi liberal yang memperjuangkan penghapusan hak-hak feodal, pelarangan sistem perbudakaan, dan pembebanan pajak yang sama bagi semua kelas sosial. Revolusi ini terkenal dengan jargonnya yang mendengungdengungkan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (liberté, égalité dan fraternité). Civil Law 1804 telah mengakomodasikan semangat hukum alam dalam pengaturan penjaminan kebebasan pribadi untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, kebebasan pribadi dalam kepemilikan harta benda, hubungan keluarga, warisan dan kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak sangat mendominasi Civil Law 1804 ini. Selanjutnya ia menyerap pula secara hati-hati aturan-aturan tradisional masyarakat selatan perancis (droit écrit) yang dipengaruhi aturan tradisional masyarakat romawi dan aturanaturan tradisional masyarakat utara perancis (droit coutimier) yang dipengaruhi hukum adat Jerman-Frankish. Civil Law 1804 antara lain mengatur bahwa jika seseorang telah melakukan suatu kesalahan, sekalipun hal tersebut disebabkan bukan karena suatu kesengajaan, tetapi karena kelalaian, maka orang tersebut tetap diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Ini berarti telah diakomodasikan kebebasan pada seseorang untuk melakukan aktivitasaktivitas keperdataan dan kebebasan keinginan seseorang untuk meminta pertanggungjawaban kepada orang lain sebagai akibat dari terganggunya hak-hak keperdataan yang dimilikinya. 2. The Germanic Legal Family
Resepsi hukum Romawi pada negara-negara The Germanic Legal Family telah menyingkirkan hampir seluruh tatanan hukum Jerman lama, yang telah dianggap sudah semakin tidak jelas sehubungan dengan banyaknya perubahan-perubahan kondisi modern. The Germanic Legal Family yang pengaruhnya berlaku juga di Austria dan Swiss, antara lain mengacu kepada prinsip-prinsip terkenal dari para ahli hukum Romawi, yaitu: honeste vivere, neminem laedere, suum cuique tribuere yang merupakan nilai-nilai dasar tertentu misalnya perasaan mendasar dari kedilan. Nilai-nilai moral tertentu yang lain maupun situasi dan kondisi sosial yang berubah mempengaruhi prinsip-prinsip dasar dari keadilan. Martabat pribadi menambah keadilan, dengan tuntutan untuk menghormati nilai yang otonom dari kepribadian. Nilai-nilai kelembagaan diberikan oleh negara sebagai pelindung dari nilai-nilai kemanfaatan, universitas-universitas sebagai eksponen-eksponen dari kebenaran dan penyelidikan bebas, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga hukum mempunyai nilai-nilai tertentu yang tetap. Kontrak didasarkan atas prinsip timbal-balik, perkawinan mengandung suatu ketetapan minimum dan kebersamaan antara kedua mempelai. Ketidaktetapan nilai-nilai boleh menuntut penghormatan untuk kepribadian manusia, karena itu mensyaratkan bahwa perkawinan adalah lembaga sosial yang tetap dan perlu. Tapi apakah keabadian perkawinan mengandung arti tidak dapat dibubarkan dan pembubaran hanya dalam kasus-kasus kesalahan besar seperti zinah, atau apakah, di pihak lain otonomi individu menuntut pembubaran perkawinan yang telah menjadi kacau dan berantakan adalah suatu persoalan bahwa tatanan hukum yang kongkrit hanya dapat diputuskan sesuai dengan keseimbangan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan, seperti yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan pada waktu tertentu? Namun dalam pekembangannya ternyata kesadaran nasional Jerman baru, telah menumbuhkan kembali pengaruh-pengaruh Jerman asli dalam hukum, hal ini terlihat pada saat Beseler, Eichhorn dan Gierke menentang jika seluruh hukum perdata Jerman hanya berisi hukum Romawi. Akhirnya karena Beseler, Eichhorn dan Gierke lah sampai saat ini konsep hukum perdata Jerman pada akhirnya merupakan campuran antara pengaruh Jerman dan Romawi. 3. The Anglo American Legal Family Selama abad pencerahan (renaissance), ilmu pengetahuan hukum di Eropa terpesona oleh kekuatan dan keindahan hukum Romawi yang digali kembali, dan hukum Romawi sangat
mempengaruhi perkembangan gaya dan muatan hukum di berbagai negara. Namun, ada satu yang bertahan—sebuah negara yang berupaya tidak mau “menerima” hukum romawi. Bangsa Inggris tidak tergoda oleh keagungan Roma; mereka memegang erat tradisi aslinya. Memang dalam kenyataannya, banyak pemikiran dan istilah dari hukum Romawi dan Eropa Kontinental masuk ke sistem hukum Inggris, namun inti sistem hukumnya tetap kokoh. Sistem yang lokal yang kuat ini disebut sistem hukum anglo amerika (common law). Sistem hukum anglo amerika (common law), tumbuh pertama kali dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di Inggris pada abad ke 19, ketika semangat romantisme historis, utilitarianisme, positivisme ilmiah dan materialisme ekonomi yang mempunyai pendekatan empiris, induktif dan individualistis dalam melakukan upaya pemecahan masalah-masalah hukum ketika itu. Common law berbeda dan terus berbeda dalam banyak hal dengan tatanan hukum di negara-negara Eropa lainnya. Satu hal yang penting, sistem hukum anglo amerika (common law) menolak kodifikasi. Tidak pernah ada semacam Undang-undang Napoleon di Inggris. Prinsip dasar hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat di parlemen, dan hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematis, rinci yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan melalui ketetapan. Prinsipnya terdapat pada hukum perkara (case law), yaitu dalam perangkat pendapat yang ditulis oleh hakim, dan dikembangkan oleh hakim dalam memutuskan perkara tertentu. Doktrin preseden (precendent—hakim terikat oleh apa yang telah diputuskan) adalah doktrin common law yang kuat. Common law juga memiliki ciri yang khas dalam hal substansi, struktur dan budaya—karena ada yang menonjol dan mendasar, ada yang kurang menonjol dan kurang mendasar. Misalnya, dewan juri adalah lembaga common law, begitu juga perwalian (trust), yaitu seseorang atau bank sebagai wali (trustee) yang menerima uang atau harta kekayaan untuk diinvestasikan dan dikelola untuk kepentingan ahli waris tertentu. Common law tidak lagi terkungkung di satu negara kecil. Bangsa Inggris membawanya ke koloninya dan dalam kebanyakan, common law berakar dan berkembang pesat. Semua negara yang menganut common law—dan karenanya merupakan The Anglo American Legal Family—pernah menjadi koloni Britania Raya (Kerajaan Inggris). Dengan kata lain, common law merajalela di negara mana saja yang berbahasa Inggris, antara lain : Amerika Serikat
(kecuali Lousiana), Kanada (kecuali Quebec), Australia, Selandia Baru, Jamaika, Trinidad, Barbados dan Singapura.
View more...
Comments