Kel 7-NOVEL Pecahan Mimpi

March 3, 2024 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Kel 7-NOVEL Pecahan Mimpi...

Description

1

PECAHAN MIMPI Penulis: 1. 2. 3. 4.

Ghezag Raun Ibadurrahman (9) Jennifer Gita Freya (12) Marsya Adlia Nidhom (16) Muhammad Andy Firdaus Alfarisi (17)

Penata Letak: M. Andy Firdaus Alfarisi Marsya Adlia Nidhom Pendesain Sampul: Jennifer Gita Freya Ghezag Raun Ibadurrahman Penyunting: M. Andy Firdaus Alfarisi Jennifer Gita Freya Penyelaras Akhir: Ghezag Raun Ibaduhrrahman Marsya Adlia Nidhom

2

Kata Pengantar Puji dan Syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan karunia-Nya kam mampu menyelesaikan novelet dengan judul ‘Pecahan Mimpi Mimpi’. Novelet ini berkisah tentang 4 sahabat dengan kepriadian yang berbeda yang berusaha meraih mimpi mimpi nya bersama. Di dalam menulis novelet ini, kami sadar bahwa kami tidak akan bisa menyelesaikannya tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Mereka telah menyumbangkan energi dan pikirannya di dalam penyusunan novelet sehingga memiliki alur seperti sekarang ini. Sebagai menusia kami sadar bahwa novelet yang kami buat masih belum pantas jika disebut sebagai sebuah karya yang sempurna. Kami sadar tulisan kami masih banyak memiliki kesalahan, baik dari tata bahasa maupun teknik penulisan itu sendiri. Maka kami meminta adanya masukan yang membangun agar kami semakin termovitasi untuk menjadi lebih baik dan lebih memperbaiki kualitas novel kami selanjutnya. Terimakasih dan selamat membaca.  With love, Tim Penulis

3

Profil Karakter Ardan Kasada Wisnu Ulang Tahun: 7 April Kesukaan: Kopi, Buku Deskripsi: Si Dingin yang tak terlihat perhatian dan minim bicara, tapi sangat perhatian dengan sekitarnya. Kusna Anita Diandra Ulang Tahun: 18 Januari Kesukaan: Kacamata, Kamus Deskripsi: Si Cerdas yang keras dan tahu hampir segalanya, ia lebih mirip ensiklopedia. Daus Putra Raditya Ulang Tahun: 5 Oktober Kesukaan: Gulat, Permainan Interaktif Deskripsi: Si Keras Kepala yang tak kenal kalah, setidaknya waktu bermain. Sangat benci belajar. Kirana Santya Cantika Ulang Tahun: 29 Februari Kesukaan: Barang-barang cantik, Cermin. Deskripsi: Si Cantik yang sangat pemberani. Protektif pada sahabatnya. Part I

4

Anak laki-laki itu duduk diam di ayunan, termenung sendiri. anak-anak lain tidak mendekatinya, dan malah mengolok-oloknya.  "Ardan aneh, gak usah diajak main aja, Us." terdengar ucapan mereka dari jauh.  Anak tinggi besar yang tadi mulai mendekati, dan menyodorkan tangannya pada Ardan.  "Aku Daus! Kamu Ardan, ya? Ayo temenan!" Ujarnya tibatiba.  Ardan menatap tangan itu lama sebelum menggelengkan kepalanya.  "Kamu bakal dimusuhin, tahu. Jauh sana." Ia menyuruh Daus, tapi ia tak bergerak. Ia bersikeras ingin berteman dengan Ardan.  Sore itu sedang mendung. Awan kelabu menggantung di langit, hendak mengucurkan hujan deras dan mengguyur kota yang kering kerontang itu. Ardan hanya duduk diam di teras, menyaksikan rintik hujan pertama turun sembari meneguk teh

5

manisnya. Ia mendengus kesal karena teman-temannya hendak berkumpul bersama, tapi rencana itu batal seketika. "Arsad, mereka mungkin sudah di tempat biasa. Gimana kalau kita coba kesana?" Ardan bicara pelan, tetapi ia sendirian.  Hanya ia yang mampu melihat Arsad, entah itu hanya imajinasinya atau makhluk gaib. Arsad hanya menggelengkan kepalanya, menolak usulan itu seketika.  "Badai. Aku sangat menolak ide itu." Ardan kembali bersungutsungut, lalu dengan gontai masuk ke rumah. Kirana dan Daus sedang berlindung dari hujan deras yang menerpa di salah satu payung alun-alun, saling mengolok-olok dan bersenda gurau satu sama lain. Suasana hujan yang deras dan hawa yang dingin menyelimuti suasana senda gurau mereka. Air hujan membilas rambut mereka yang acak-acakan. Sontak ditengah gurauan mereka, Kirana tiba-tiba terpeleset jatuh dan Daus tertawa sontak.  "Heh, kamu! Enak aja kamu tertawa begitu!" Ia berteriak dan berlari ke arah Daus, menjatuhkannya ke lantai yang basah segera.  6

Mereka berguling di genangan air kotor dan tertawa bersamasama.  "Eh, bukannya kita harus menunggu seseorang ya?" Daus tiba tiba-tiba teringat tentang kenapa mereka ada di alun-alun kota.  Kirana mengangguk pelan, lelah dengan apa yang terjadi barusan. Seketika Kusna yang berencana menjadi pengajar mereka seketika merasa khawatir, Kusna menatap dengan wajah masam saat hujan turun. Kusna sudah tahu pasti sifat dari kedua bocah ingusan ini. Ia tahu pasti bahwa dua temannya yang bodoh pasti menunggu di alun-alun, dan tahu mereka suka bermain-main, yang membuatnya makin khawatir. Kusna mendesah pelan, bingung tentang apa yang harus dia lakukan berikutnya. Karena Kusna sangat khawatir dan tidak kuat menahan kekhawatirannya, dengan segera ia meraih telepon genggam miliknya dan segera menelepon.  "Hei, kalian dimana?! Jangan main-main disana!" tetapi balasan yang ia terima hanya teriakan bahagia dan suara air berkecipakan.  7

Amarahnya meledak seketika itu juga, dan Kusna mulai berlari menghampiri dua anak yang membuatnya kesal.  

Part II Kusna berlari menerjang hujan yang masih berlangsung. Wajahnya yang sebelumnya berseri kini  basah tersiram hujan, pakaiannya yang bermula bersih kini berubah kotor terkena cipratan lumpur dan derasnya hujan, tapi ia tak perdulikan soal 8

itu. Sebuah nomor menelepon ditengah kegentingan yang Kusna hadapi dan ia segera mengangkatnya.  "Apa?!" sentak Kusna mengira sang penelepon adalah Kirana.  "Tenang, tenang! Ini aku, Ardan! Jangan marah-marah!" ujarnya panik, takut Kusna ceramah panjang lebar padanya.  Kusna mendengus kesal, lalu menanyakan apa yang Ardan mau. Ia berniat mengejar duo idiot yang sedang bermain-main, dan Kusna dengan terbuka menerima usulan itu, mengatakan ia bakal menunggu di alun-alun. Saat ia menutup telepon itu, suasana hatinya sedikit membaik.   Hujan sudah reda, namun kondisi dua bocah ingusan ini masih terselimuti oleh baju yang masih basah kuyup, lantas mereka menggigil kedinginan akibat ulah idiot yang mereka lakukan barusan. Kirana menyapu pandangannya ke alun-alun yang masih tergenang air, takut akan wajah Kusna yang merah padam melihat mereka. Daus juga melihat pemandangan itu langsung bergidik ngeri seolah-olah ada harimau yang siap menerkam dia dan Daus sudah bersiap melarikan diri. Sayangnya, Ardan sudah 9

ada di belakang mereka dan tersenyum kecil, tetapi matanya tidak ikut tersenyum.  "Aduh... oke, oke, kami menyerah. Kalian boleh marahi kami." Kirana pasrah dan duduk diam, dan Daus hanya terdiam, memohon ampun. Ardan menyodorkan handuk pada Kirana dan melemparkan satunya pada Daus.  "Keringkan dulu badan kalian, rumahku jadi kotor karena kalian begini, Kusna bakal ambil baju ganti buat kalian." Mereka mengangguk, lalu membiarkan Ardan masuk rumah.  Kusna menggerutu kesal saat menyiapkan pakaian, dan Kirana mulai merasa bersalah.  "Maaf, Kus. Aku cuma bosan, jadi aku bermain-main dengan Daus tadi..." gumamnya pelan.  Kusna hatinya langsung luluh mendengarnya bicara.  "Iya, pokok jangan main-main lagi. Ini bajunya, cepat ganti soalnya Ardan menyiapkan minum buat kita." timpal Kusna.

10

Part III Teh manis dan pisang goreng terhidang di meja makan dan siap untuk disantap. Kirana dan Daus duduk di seberang Kusna dan Ardan yang suasana hatinya sedang buruk. Mereka berkumpul di alun-alun untuk membahas pelajaran sekolah, satu-satunya hal yang Kirana dan Daus benci. Nilai mereka yang selalu hancur lebur dipelajaran itu membuat mereka harus bertemu dengan pelajaran tambahan. Karena melihat kondisi mereka yang bodoh serta mengenaskan ini, Arsad mengusulkan agar 11

mereka berkumpul untuk belajar bersama, atau lebih jelasnya, Arsad sendiri yang bakal mengajar mereka. Kali ini mereka tidak punya alasan untuk membela diri, dan Ardan bukan orang yang biasa marah, kondisi itu makin membungkam si terdakwa. Tidak ada kekehan tawa untuk menutupi kesalahan. Tumpukan buku membumbung tinggi hingga ke atap. Kusna menatap puas dengan koleksi buku yang Ardan miliki, sementara Daus terlihat ketakutan melihat tumpukan buku itu seolah-olah buku itu adalah sesosok hantu bagi dia. Kirana hendak menyelinap keluar, mencoba melarikan diri, tapi dihadang oleh Ardan, yang tampangnya seketika berubah menyeramkan.   "Mau kemana? Kamu pikir kamu bisa lari, ha?" ia mengatakannya dengan senyuman yang tampak tulus, tapi aura mencekam yang Ardan munculkan tidak bisa membohongi siapapun.   Kirana dengan terpaksa duduk dengan kondisi hati yang gusar dan rasa ingin kabur yang tinggi bersiap menghadapi celotehan panjang Kusna. 12

"...jadi begitulah caranya menyelesaikan limit dalam matematika. Eh? Kok kalian tidur?!" Kusna mendengus kesal, dan Ardan membanting penggaris plastik yang ia pegang dengan keras, membangunkan mereka berdua.  "Kalian gak ada kapoknya ternyata. Apa mau di pukul-" Ia hendak menamparkan tangannya pada punggung Daus yang lebar sebelum di hadang oleh Kusna, menggelengkan kepala untuk menghentikannya.  "Aku paham! Aku paham, tolong ampuni aku, aku udah capek banget!", itulah jawaban kesal sekaligus memohon yang keluar dari mulut Daus, yang dengan cepat di setujui oleh Kirana. Mereka memutuskan untuk berhenti dan istirahat untuk hari itu.

13

Part IV Ardan dan Daus sedang mempersiapkan selimut dan kasur lipat untuk mereka tidur bersama. Sementara Kusna dan Kirana mempersiapkan kue-kue kecil untuk mereka berempat. Hujan deras kembali mengguyur kota, dan petir sekali-kali menyambar membuat suasana malam yang dingin menjadi semakin mencekam. Berita banjir yang terus-menerus disiarkan melalui televisi di pojok ruangan pun tak terelakkan, memaksa mereka untuk menginap di rumah Ardan. Mereka setuju untuk menonton film horror, dan seketika itu pula Daus sontak menolak. Meskipun berbadan besar, Ia takut dengan hantu dan semacamnya, membuat semua orang ingin menjahilinya. Arsad

14

sesekali mendorong jatuh gelas plastik, membuat Daus memekik ketakutan.  "Aku ngantuk, ku tinggal tidur ya. Jangan kelamaan." Kusna yang berusaha untuk tetap bangun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tidur.   "Selamat tidur.", bisik Ardan yang sudah mengantuk dan bersiap untuk tidur.   Keesokan harinya pukul empat pagi. Hawa dan sumilir angin dingin yang masuk dari ventilasi sontak membangunkan Kirana dari tidurnya. Kusna dan Daus masih tertidur pulas, sementara Ardan tidak terlihat. Terdengar gumaman pelan dari dapur, dan ia dengan penasaran mengintip. Ardan sedang berbicara pada seorang sosok. Mereka terlihat senang, sesekali tertawa. Kirana memutuskan untuk menyapa Ardan dan temannya itu.  "Lho, Ardan kamu... ngapain?" Ia bertanya pada Ardan, dengan tampang kaget setengah ketakutan. Arsad melambaikan tangannya, menyapa ramah. 

15

"Tenang, aku gak jahat kok. Halo, Aku Arsad. senang ketemu dengan kamu, Kirana." Kirana yang berawal dengan setengah sadar kini diam membatu melihat sikap Ardan yang aneh dan tidak biasanya. Kusna hanya menatapnya cemas, dan Daus tidak mau melihat Ardan. Ardan hanya menggelengkan kepala dan tersenyum sebelum ia menghidangkan cokelat panas dan roti. Arsad yang ada di sampingnya pun hanya tertawa kecil.  "Ternyata kalian masih lumayan pengecut. Lain kali, kalian harus melawanku." ujarnya bercanda. Kirana bergidik, dan Kusna langsung ceramah.  "Gak boleh gitu. Kamu habisnya yang asal-usulnya paling gak jelas diantara kita semua dan-" sebelum Arsad memotongnya dan mereka mulai berdebat. Ardan hanya tersenyum pasrah dan mulai menyesap minumannya.

16

Part V "Oke. Jadi kamu dan Kusna sudah tau soal Arsad, dan kalian gak bilang ke kita?" Tanya Daus, masih ketakutan.  Ardan hanya mengangguk, begitu pula Kusna. Kirana menatap kosong Arsad, yang melambaikan tangannya, mengharapkan respon. Ia mengguncangkan badan Kirana yang seperti tidak sadar. Arsad menyerah setelahnya, dan menghilang dari pandangan. Daus, dengan suara bergetar, mulai bicara.  "T-tapi, kenapa harus menunggu lama baru b-bilang ke kita? Kita kan udah temenan lama banget, Dan."  Ardan menatap mereka lamat-lamat sebelum menggeleng, dan berkata bahwa waktunya tidak memadai. Kusna mengangguk setuju dan mulai bicara. "Kepala kalian itu lebih kaya pajangan, 17

habisnya. Kalau kita cerita, mungkin bakal meledak otak kalian." canda Kusna. Atmosfer yang berat membuat mereka menjadi tidak responsif, tidak seperti biasanya. Nasi goreng dengan omelet telur yang di masak Ardan yang biasanya langsung habis, masih tidak tersentuh. Arsad menggebrak meja, mengejutkan semua orang. "Hei, aku memang gak bisa makan, tapi bukannya kalian harus makan, ya?" tanyanya polos. Kirana menggeleng kesal. "Gak selera. Gara-gara kamu soalnya!" Ujar Kirana marah. Arsad kembali menggelengkan kepalanya, lalu menghilang dari pandangan seperti asap. Daus menyendok nasi pelan, tidak bersemangat. Berbeda dari gelagat biasanya yang penuh energi, ia lebih seperti guling yang habis dipukuli. Kusna menatap mereka sedih, lalu dengan buru-buru menghabiskan sarapannya. Ardan mendorong segelas air padanya, yang kemudian ia teguk dengan cepat sebelum ia berdiri dan berlari ke kamar tamu. Ardan kebingungan karena ia tak tahu apa yang Kusna rencanakan. Kamar tamu yang tadinya bersih dan rapi berubah berantakan hanya dalam sekejap. Kusna mengeluarkan seluruh isi lemari, mencari sesuatu. Kirana mengintip dari balik pintu yang 18

setengah tertutup, penasaran dengan apa yang ia rencanakan. Kepala Daus yang muncul tiba-tiba diatasnya membuat Kirana kaget. Ia reflek memukul dagu Daus an membuatnya meringis kesakitan. "Kenapa sih?! Sakit tau!" bentaknya sambil memegangi dagunya yang merah. Kirana meletakkan jarinya di bibir, menyuruh Daus diam dan kembali mengintip. Kusna tibatiba terlihat terkejut dan senang, sembari mengangkat benda yang ia cari tinggi-tinggi. PlayStation yang mereka dulu mainkan sedari kecil terlihat jelas, dan Kirana tersenyum lebar sebelum mundur ke meja makan.

19

Part VI Ulang Tahun Ardan yang sudah dekat muncul dipikiran Kusna saat ia berada di meja makan. Dia tersenyum lebar saat menyadari bahwa kenangan masa kecil mereka masih tersimpan, dan Kusna berniat untuk menyiapkan perjalanan nostalgia untuk mereka semua. Kirana bertepuk tangan lalu masuk ke ruangan yang seperti kapal karam itu.  "Kamu ternyata ingat, ya. Padahal kamu yang paling gila soal belajar dan marah-marah waktu kami main." gurau Kirana yang disahut oleh tawa Daus.  Kusna menghela napasnya, ikut tertawa walau terpaksa.  "Memangnya mau diapakan? Bukannya sudah gak bisa di pakai ya?" Tanya Daus yang tiba-tiba masuk ke ruangan sebelum Kusna mengisyaratkan untuk mereka diam.  Kirana dan Daus saling tatap, lalu melihat ke kalender dan sesaat kemudian, lampu bohlam di kepala mereka menyala. 20

Kusna mengangguk senang saat akhirnya mereka paham maksudnya. "Aku mau jadi tentara!" Teriak Daus tiba-tiba, mengejutkan semua orang.  Kirana tertawa mengolok Daus. Kusna buru-buru menimpali sebelum mereka mulai bertengkar. "Aku mau jadi guru, kalau begitu! Kalau kamu, Kir?" tanyanya pada Kirana untuk menghangatkan suasana.  "Aku mau jadi penari! Keren, kan?" ucapnya sambil membusungkan dada.  Ardan tersenyum tipis, masih tak banyak bicara. Mereka bertiga menatap berharap agar Ardan mau bercerita soal cita-citanya. "Aku... aku mau jadi-" Clang! Suara sendok yang terjatuh mengejutkan Ardan yang sedang mencuci piring. Ia menatap lama sebelum

21

menggelengkan kepalanya, mengutuk dirinya sendiri karena tidak fokus. Arsad muncul disampingnya, terlihat khawatir.  "Kamu gak apa-apa kan? Dan, kamu harus istirahat. Akhir-akhir ini kamu terlalu fokus menyiapkan materi untuk mereka." Ujar Arsad, sebelum Ardan menggelengkan kepalanya sekali lagi.  "Aku gak apa-apa. Cuma teringat kejadian dulu. Sudah waktunya kita bicara soal kamu, Sad. Kita harus jelaskan semuanya." Ucap Ardan serius.  Arsad tersenyum tipis, menepuk lembut kepala Ardan dan kembali menghilang. Buru-buru Ardan membersihkan piring kotor karena tertahan Arsad. Terdengar diskusi serius dari kamar tamu saat Ardan masuk, tetapi semua langsung berubah sunyi saat ia terlihat. Kusna mulai membereskan pakaian yang berceceran, Kirana mengambil ornamen-ornamen pakaian yang terlepas, dan Daus melompat-lompat, berusaha mengambil pakaian yang ada di lampu gantung. Ardan menghela napas panjang, bingung apa ia harus merasa marah, kecewa atau bangga pada mereka bertiga.  22

"Kalian ngapain..." Ujar Ardan, lelah dengan tingkah mereka yang tidak konsisten sedari pagi. Kirana hanya cengar-cengir merespon Ardan.

Part VII 23

Ardan meninggalkan ruangan untuk bicara dengan Arsad, sementara mereka bertiga kembali membereskan kamar tadi. Kusna menghela napas lega karena mereka tidak ketahuan, sementara Kirana dan Daus bertepuk tangan.  "Kita gak boleh sampai ketahuan, ngerti kalian?" bisik Kusna.  Daus mengangguk antusias, dan Kirana kembali nyengir. Mereka berencana untuk mengumpulkan kenangan masa kecil Ardan yang tak seberapa itu. Ardan yang meskipun fotogenik tapi tak suka difoto membuat kenang-kenangan yang sedikit itu jadi makin kering. Salah satu foto yang Ardan punya adalah olimpiade yang ia menangi, tetapi ia sama sekali tidak tersenyum. Pencarian ini baru saja dimulai. Beberapa kali Ardan mendengar suara barang jatuh dan tawa Kirana atau Daus yang terdengar setelahnya. Arsad menggelengkan kepalanya beberapa kali sembari memertanyakan keahlian dan ketelitian mereka. Ardan menyesap kopi hitam, musik Jazz mengalun tenang di ruangruang rumah itu.

24

"Kamu yakin mereka gak apa-apa? Bukannya bahaya ya?" Arsad tiba-tiba bicara, memecahkan kesunyian.  "Gak apa-apa, lagian Kusna disana. Aku juga udah tau rencana mereka, jadi sengaja aku biarin." ujar Ardan tenang sambil melambaikan tangan tak tertarik.  Ia kembali meminum kopi pahit di cangkir, tak lagi mau mendengar soal mereka untuk sekarang. Banyak benda yang terkumpul di ranjang, mulai dari berbagai bingkai foto, beberapa piala, beberapa perangkat bermain, dan kerajinan buatan Ardan. Kusna menatap puas dan Kirana berseru senang, masih berbisik. Daus mencoba-coba kalung dan gelang yang Ardan buat, dan berpikir bagaimana semua itu muat untuknya. Tapi masih ada lagi, hal yang Ardan sembunyikan di tempat yang belum mereka ketahui. Kusna kemudian merogoh bagian bawah lemari, berharap menemukan sesuatu. Ia menyentuh buku berdebu, sebelum Kusna menariknya keluar. Tulisan Album terpampang besar di sampul buku. Matanya membelalak kaget, lalu Daus buru-buru membungkam Kusna sebelum ia berteriak keras.

25

Part VIII Suara teriakan yang teredam terdengar dari kamar tempat mereka bertiga berada. Ardan tertawa kecil dan Arsad mulai terlihat khawatir. Rasa penasaran makhluk satu itu memang tak 26

tertandingi, membuatnya diam-diam melewati tembok dan mengintip. Terlihat banyak sekali foto yang diletakkan di ranjang yang sekarang terlihat kacau. Ia terlihat lega saat tau mereka tidak berbuat aneh-aneh. Kusna menangkap sosok Arsad dan mengisyaratkan agar ia untuk bersembunyi.  "Kus, kamu kenapa? Kamu gak sakit, kan?" Ucap Daus, melihat Kusna sedikit pucat karena terkejut barusan.  "Aku gak apa-apa kok. Mending kita lanjut aja. Kir, nanti kita cari kado buat Ardan, yuk!" Ujar Kusna tiba-tiba, yang lalu disetujui oleh Kirana. Cuacanya hari ini cerah, dengan matahari bersinar terang, tak terhalang awan mendung. Genangan air masih tersisa dari hujan deras tadi malam, dan suara knalpot motor mengisi jalan yang masih sepi itu. Kusna sedang berpegangan pada Kirana, berdoa untuk keselamatan mereka sementara Kirana melesat cepat, 80 kilometer per jam. Tanjakan tidak melambatkannya, ia malah menambah kecepatan. 

27

"Waaaaaaah?! Ya Tuhan, selamatkan kami!! Aaaaaaahhhh!!" Teriak Kusna terkejut.  Kirana hanya merespon dengan tawa, berusaha mencairkan suasana sekalipun gagal total.  "Ki-ra-na! Kalau kita sudah di rumah Ardan nanti, kamu bakal ku kasih latihan soal kemarin!" ujar Kusna mengancam. Tawanya terhenti dan digantikan oleh wajah ketakutan. Daus sedang menyembunyikan semua hal yang mereka kumpulkan di ranjang, sebagai hadiah kedua. kotak besar yang sudah dihias dengan kertas kado dan pita. Usulan Kusna, karena Ardan sudah banyak membantu Daus dari dulu. Ia mulai mengingat-ingat kembali, saat Ardan membantunya mengerjakan PR matematika, atau saat baju olahraga miliknya sobek, dan Ardan menjahitnya sendiri. Semakin Daus mengingat, semakin ia sadar bahwa ingatan Ardan tentangnya pasti tidak menyenangkan sama sekali. Ia menghela napas, berpikir. 

28

"Kenapa dia masih mau berteman denganku ya?" ujarnya bingung.  Arsad menyaksikan dari kejauhan, tersenyum sepat. Ia tak boleh membantu Daus untuk sekarang, sampai semuanya terbuka.

Part IX Mereka berkutat di toko, bingung harus membeli apa. Sudah sejam saat mereka berada di toko hadiah itu, tapi mereka masih belum setuju soal apa yang harus diberikan pada Ardan. Boneka, Ardan tak suka sesuatu semacam itu. Alat tulis, ia punya banyak stok untuk mereka berempat. Kusna mengusulkan buku catatan kecil, tapi ditolak oleh Kirana, dengan alasan bahwa ingatan Ardan sangat bagus. Mereka mendesah pelan, tak menemukan 29

hadiah yang bagus. Perut Kirana bergemuruh, meminta agar  di isi.  "Kus... aku lapar. Apa kita makan dulu aja ya?" ujarnya. Kusna mengangguk, langsung menarik Kirana ke toko kue kecil, membeli roti.  Bohlam yang ada di kepala Kusna menyala, dan ia tiba-tiba berseru,  "Kue! Kita bisa coba membeli kue untuk Ardan!" dan Kirana langsung mengangguk setuju. Telepon genggam Daus berdering saat ia mencari tempat untuk menyembunyikan kotak kado yang berukuran besar itu. Ia buruburu mengangkatnya.  "Kus? Iya, ini Daus. Kue, ya. Boleh! Tapi tolong Carikan kado lain juga, kalau boleh kalung, nanti kubayari! Oke, dah!" lalu ia kembali melihat-lihat. 

30

"Aku ingat, kalo Ardan dulu ngasih aku gelang. Aku gak pernah ngasih apa-apa ke dia, jadi ini biar kita bisa gantian!" ujarnya bersemangat.  Arsad akhirnya tak bisa menahan diri dan muncul disamping Daus, mengejutkannya. Ia melambaikan tangannya pada Daus yang membeku sesaat, sebelum ia berteriak. "Keluaaarrr!!" Kali ini, Kirana dan Kusna ada di toko antik yang mereka kenal baik. Si penjaga toko adalah kakek tua yang dikenalkan Ardan, dan ia terlihat senang bertemu mereka lagi.  "Ah, kalian datang, ternyata. Mau memberi kado untuk Ardan, ya kan?" ujar si kakek ramah. Kusna mengangguk sebelum menambahkan, "Kalung, kek. Kalau kakek punya, apa boleh kami lihat?" ucapnya ramah.  Si kakek mengangguk dan mengarahkan mereka ke salah satu kabinet. berbagai macam kalung terpampang di sana, mulai dari yang simpel sampai yang sangat detail. Mata mereka tiba-tiba tertuju pada kalung dengan liontin jam bulat yang terlihat kuno, 31

tapi bersih dan terawat. Mereka mengangguk setuju pada satu sama lain, dan si kakek hanya tersenyum, tak menanyakan apapun.

Part X Kotak kecil dengan hiasan minim yang mereka bawa kembali membawa harapan mereka, supaya Ardan suka. perjalanan yang tak lama itu lebih di isi kesunyian, dan masing-masing dari mereka hanya mengingat masa lalu. Kusna yang kesal karena Ardan selalu menyalahkan satu atau dua pertanyaan supaya Kusna bisa peringkat satu, dan Kirana yang selalu dibuatkan ornamen, mulai dari bros dan ikat rambut untuk ya supaya terlihat cantik. Buku-buku yang Ardan berikan untuk Kusna 32

agar ia bisa belajar lebih baik, atau toko pita yang mereka lihat saat pulang bersama, sambil menggumam kalau salah satu pita cocok until Kirana. Anak pendiam yang mereka dekati dulu sangat perhatian pada mereka semua, dan mereka baru menyadarinya sekarang. Saat mereka sampai di rumah Ardan, Daus buru-buru mengangkat paksa Kusna dan Kirana setelah turun dari sepeda motor. Mereka berusaha berontak, tapi tubuh Daus yang tinggi besar, serta genggamannya yang kuat membuat mereka menyerah. Ia baru meletakkan mereka turun saat sudah sampai di kamar tamu. Kirana refleks memukulnya.  "Hei, jangan seenaknya! Aku kaget!" serunya. Kusna mengangguk, tapi terlihat tidak peduli soal apa yang sudah terjadi.  Kotak aksesoris kecil itu masih aman dan tak rusak sedikitpun, membuatnya bernapas lega. Kotak itu disodorkan pada Daus oleh Kusna. 

33

"Kalung, kamu yang harus berikan pada Ardan." ujar Kusna malu-malu.  Daus tertawa, lalu mengambil kotak kecil yang dibungkus cantik itu.  "Pasti kok, tenang aja." Mereka menunggu dengan kesal pesanan kue yang tak kunjung datang. Sementara Kusna berhasil membuat Ardan keluar dari rumah supaya Daus dan Kirana bisa menyiapkan pesta, tanpa kue, apa bisa disebut ulang tahun? Suara bel berbunyi riang, dan Kirana berlari ke pintu, buru-buru membuka. Si pengirim menyodorkan kotak dan tanda terima sebelum meninggalkan Kirana yang kegirangan. Ia meletakkan kotak itu di meja makan, membukanya hati-hati dan segera menghiasnya dengan lilin. Daus menawarkan bantuan walau ditolak seketika oleh Kirana yang sangat fokus pada kue yang terlihat enak itu.  "Selesai! Ayo sembunyi, Us! Kita tunggu mereka pulang!" teriaknya senang. Daus juga terlihat lebih tenang, dan mulai mematikan lampu. 34

Part XI Kusna menunggu dengan cemas pesan dari Daus atau Kirana untuk pesta kejutan. Ardan baru keluar dari supermarket dan menyodorkan minuman dingin padanya. Ia masih tak terbiasa ada di dekat Ardan sendirian, setelah sadar tentang perasaannya sendiri.  "Kamu gak apa-apa, Kus? Mukamu merah. Kamu demam, ya?" ucap Ardan sembari meletakkan tangannya di dahi Kusna saat ia buru-buru menghindar. 

35

"Aku gak apa-apa! Ah, ada pesan dari Daus, dia bingung soal materinya! Ayo, kita pulang, kita pulang!" sebelum ia dengan terburu-buru berlari supaya Ardan tak melihat wajahnya yang merah tomat.  Ardan hanya menghela pasrah, bingung ia salah apa padanya akhir akhir ini. Saat mereka masuk ke rumah, ruangan yang gelap gulita langsung terlihat. Ardan terlihat kebingungan, sementara Kusna berpura-pura ketakukan, memanggil-manggil penghuni rumah sebelumnya.  "Daus! Kirana! Kalian dimana?! Ini gak lucu!" serunya purapura marah. Ardan tertawa mendengar suara Kusna. Lampu tiba-tiba menyala dan Daus berteriak,  "Selamat ulang tahun! Ardan, Ardan, kamu kaget kan? Kaget kan?" sambil melompat-lompat di dekatnya.  Kirana juga terlihat di dekat meja makan, sambil memotong kue melakukan peace. Kusna menyenggol lengan Daus, 36

menyuruhnya memberikan hadiahnya pada Ardan. Ia mengangguk dengan cepat. Ardan hanya memakan potongan kue bagiannya, sama sekali tak terkejut soal rencana mereka. Daus dengan tegang mendekati Ardan, menyembunyikan kotak di belakang tubuhnya yang besar. Ardan masih terus mengunyah kue, sementara Kusna dan Kirana sedang berdebat soal potongan kue siapa yang lebih besar.  "Ini, dari aku. Kamu selalu bantu aku dari dulu, tapi aku gak pernah kasih apa-apa habisnya." ujar Daus pelan, takut Ardan tak suka dengan hadiahnya.  Ardan membuka kotak itu, menyaksikan jarum jam pada liontin berdetak damai, dan dengan segera menggunakannya.  "Kamu salah, Us. Kamu udah kasih aku sesuatu, yang mungkin gak akan bisa kubalas sampai sekarang. Kamu mau jadi teman anak aneh seperti aku, aku udah bersyukur kok." Timpal Ardan.  Ia menyodorkan potongan kue yang masih utuh tak tersentuh, tersenyum. Kirana menepuk tangannya.  37

"Oke, karena sudah selesai, waktunya membahas Arsad!" serunya bersemangat. "Aku mau jadi terapis. Banyak orang yang gak sakit fisiknya, tapi mentalnya. Aku mau membantu mereka." Ujar Ardan pelan.  Kusna menundukkan kepala, sedang berpikir keras, sedang Kirana dan Daus dengan penasaran menelengkan kepala mereka. Kusna kemudian mengangkat kepalanya dengan mata berbinar, memuji Ardan karena ia akhirnya mau bicara, dan bukan karena cita-citanya. Kirana masih bingung soal yang dimaksud Ardan, dan Daus sudah melemparkan Ardan ke udara, membuatnya pusing.  "Oke! Kita harus janji, kalau kita bakal terus bersama-sama, sampai cita-cita kita semua terwujud!" Seru Kirana. Kusna mengangguk, lalu menambahkan,  "Kita harus saling bantu juga, ya. Gak boleh malas-malasan!" yang di setujui oleh semuanya.  38

Pagi yang cerah, disambut dengan hembusan angin lembut yang menjadi saksi mereka. Nilai ujian tengah semester yang terpampang di dinding kelas sudah terlihat di depan mata. Kusna peringkat satu, Ardan peringkat dua. Peringkat Kirana dan Daus sementara itu terlihat mengkhawatirkan. Kusna menghela napas panjang. Lagi-lagi, mereka harus mengajar Kirana dan Daus.  "Kalian ini... kenapa masih jelek nilainya?! Langsung ke rumah Ardan, gak boleh main!" ujarnya marah.  Daus yang hendak bermain dengan anak-anak lain langsung urung, takut Ardan ikut marah. Kusna masih membaca materi untuk mereka pelajari, dan Ardan sedang mengawasi duo idiot, agar mereka tak melarikan diri. Kirana sedang menatap buku matematikanya, pusing karena tak paham sama sekali. Sementara itu, Daus sudah tertidur, pasrah. Ardan menghela pelan, tak tahu apa-apa lagi. Ujian akhir membuat Kirana dan Daus yang tak benar-benar peduli soal belajar jadi sangat fokus. Tak ada riuh 39

tawa mereka yang biasanya menggema di rumah yang sunyi itu. Sesekali suara penghapus terdengar, atau suara pensil terjatuh. Ardan duduk diam, menyesap teh manis yang masih panas itu. Kusna dengan buru-buru menyelesaikan buku latihan Ujian Nasional. Kirana dan Daus menghela napas bersama saat mereka selesai dengan materi ujian, dan Kusna dengan cepat mengoreksi hasilnya. Ardan datang dengan biskuit coklat untuk memulihkan energi. Kusna tiba-tiba bertepuk tangan.  "Bagus! Nilai kalian bagus! kalau kalian bisa begini terus, ujian kalian pasti bagus! hebat!" ujarnya senang.  Ardan ikut bertepuk tangan, bangga. Senyuman dan tawa mengisi rumah yang tadinya dingin itu.

40

41

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF