Kel 2 Pencernaan Kolesistitis

August 2, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Kel 2 Pencernaan Kolesistitis...

Description

 

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: KOLESISTITIS dan KOLELITIASIS

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan Program Studi S1 Keperawatan

Oleh Astri Nur Raharjo Hernita Ariani Joni Siahaan Lenny Marlina A Mathilda Oni Tju Yohana Ayu Ambarwati

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS BANDUNG 2012

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan:  Kolesistitis dan Kolelitiasi. Pembuatan makalah ini, dimaksudkan untuk membantu para mahasiswa dalam mencapai tujuan mata ajar Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan sehingga para mahasiswa mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuannya.   Penulisan isi makalah ini masih jauh dari sempurna serta masih perlu dikembangkan lebih lanjut lagi sebagaimana mestinya, mungkin hal ini dikarenakan faktor kemampuan dan lain sebagainya yang menghambat proses pembuatannya, namun untuk memenuhi tugas dengan dosen Ns. Yuanita Ani, S.Kep ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak, guna untuk perbaikan dan kesempurnaan isi dari makalah ini. Semoga makalah ini mampu memberikan konstribusi positif dan bermakna dalam proses pembelajaran. Akhir kata kami sebagai penulis mengucapkan terimakasih bagi semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Bandung, April 2012

Penyusun

 

BAB I PENDAHULUAN A.  Latar Belakang

Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi. Sekitar 90% kasus berkaitan dengan batu empedu; sedangkan 10% sisanya tidak. Kasus minoritas yang disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkaitan dengan pascabedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat), puasa berkepanjangan. Individu yang berisiko terkena kolesistitis antara lain adalah jenis kelamin wanita, umur tua, obesitas, obat-obatan, kehamilan, dan suku bangsa tertentu. Untuk memudahkan mengingat faktor-faktor risiko terkena kolesistitis, digunakan akronim 4F dalam bahasa Inggris ( female,  female, forty, fat, and fertile). Selain itu, kelompok penderita batu empedu tentu saja lebih berisiko mengalami kolesistitis daripada yang tidak memiliki batu empedu. Bagaimanakah batu empedu dapat menimbulkan kolesistitis? Batu empedu yang menyumbat saluran empedu akan membuat kandung empedu meregang, sehingga aliran darah dan getah bening akan berubah; terjadilah kekurangan oksigen dan kematian jaringan empedu. Sedangkan pada kasus tanpa batu empedu, kolesistitis lebih disebabkan oleh faktor keracunan empedu (endotoksin) yang membuat garam empedu tidak dapat dikeluarkan dari kandung empedu.

 

B.  Tujuan Penulisan 

Adapun tujuan penulisan makalah tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan Kolesistitis dan Kolelitiasi sebagai berikut : Tujuan umum : Mahasiswa dapat memahami mengenai Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan: Kolesistitis dan Kolelitiasi. Tujuan khusus : 1.  Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai Konsep Dasar Medis Kolesistitis dan Kolelitiasi 2.  Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai Konsep Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Pencernaan: Kolesistitis dan Kolelitiasi.

C.  Metode Penulisan Metode penulisan yang kamu gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah pola

deskripsi yakni memaparkan serta menjelaskan kembali apa yang telah kami dapat dan pelajari sebelumnya dari berbagai sumber yang telah kami temukan. Adapun metode penulisan untuk bahan sumber yang kami dapatkan yaitu buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan, konsultasi dengan dosen pembimbing, dan bahan dari internet.

D.  Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan diawali dengan penulisan bab I yang terdiri dari pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tinjauan teori mengenai Konsep Penyakit dan Konsep Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Kolesistitis dan Kolelitiasi. Bab III, yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka.

 

BAB II TINJAUAN TEORI

I. 

Kolesistitis

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Pengertian

Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker, 2001). Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa. Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis adalah proses inflamasi atau peradangan akut pada kandung empedu yang umumnya terjadi akibat penyumbatan pada saluran empedu.

 

2.  Etiologi

Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu. Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan. Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung timbul setelah terjadinya: 1.  cedera, 2.  pembedahan 3.  luka bakar 4.  sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh) 5.  penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat infus dalam jangka waktu yang lama). Sebelum secara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu. Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun. Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.

3.  Patofisiologi

Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada saat katup Oddi tertutup. Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan dengan mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi zat-zat padat. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Perubahan metabolisme yang yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu, dapat menyebabkan infeksi kandung empedu.

4.  Patoflow

 

5.  Manifestasi Klinis

Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejala bisa berupa: 1.  Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan bagian atas. 2.  Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke bahu kanan. 3.  Biasanya terdapat mual dan muntah. 4.  Nyeri tekan perut 5.  Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku. 6.  Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi 7.  Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu. 8.  Gangguan pencernaan menahun 9.  Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar) 10. Sendawa. 6.  Komplikasi

Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung empedu. Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu empedu atau oleh peradangan. Jika pemeriksaan darah  menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

7.  Tes Diagnosis

1.  CT scan perut 2.  Kolesistogram oral 3.  USG perut. 4.  blood tests (looking for elevated white blood cells)

 

8.  Penatalaksanaan

1.  Pengobatan yang biasa dilakukan adalah pembedahan. 2.  Kolesistektomi

bisa

dilakukan

melalui

pembedahan

perut

maupun

melalui

laparoskopi. 3.  Penderita yang memiliki resiko pembedahan tinggi karena keadaan medis lainnya, dianjurkan untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan. 4.  Bisa diberikan antasid dan obat-obat antikolinergik.

 

II. 

Colelitiasis

1.  Pengertian

Kolelitiasis

(kalkuli/kalkulus,batu

empedu)

merupakan

suatu

keadaan

dimana

terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan :

 

1. Batu kolesterol Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%kolesterol. 2.  Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsiumbilirubinat sebagai komponen utama. 3.  Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

 

2.

Etiologi

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : a.  Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. b.  Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. c.  Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk  terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu. d.  Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. e.  Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.

 

f.  Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi. g.  Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik. h.  Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk  berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

3. Patofisiologi

`Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu, yang terdiri dari: kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, fosfolipid (lesitin) dan elektrolit. Batu empedu memiliki komposisi yang terutama terbagi atas 3 jenis: a.  batu pigmen b.  batu kolesterol c.  batu campuran (kolesterol dan pigmen) d.  Batu pigmen Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

 

Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin muntah dan pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat. Mekanisme mual dan muntah. Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung. Akibat adanya obstuksi saluran empedu menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fospat serum, eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.

 

4.  Patoflow 5.  Manifestasi Klinis 6.  Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis: a.  Asimtomatik   b.  Obstruksi duktus sistikus  c.  Kolik bilier  d.  Kolesistitis akut  e.  Kolesistitis kronis  1)  Hidrop kandung empedu  2)  Empiema kandung empedu  3)  Fistel kolesistoenterik   4)  Ileus batu empedu (gallstone ileus)  Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/  menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat  juga membentuk membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. kolesistoduodenal. Penyumbatan Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus

 

obstruksi.

7.  Tes Diagnosis

a.  Rontgen abdomen/ pemeriksaan sinar X/ Foto polos abdomen Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi pemeriksaannya hanya 1520 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.  b.  Kolangiogram/ kolangiografi transhepatik perkutan Yaitu melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok  septik.   c.  ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi) Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat. ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.  d.  Pemeriksaan laboratorium  Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. e.  Pemeriksaan radiologi  f.  Ultrasonografi (USG) 

 

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk  mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. 

8.  Penatalaksanaan

a.  Non Bedah, yaitu:  1)  Therapi Konservatif   2)  Pendukung diit : Cairan rendah lemak   3)  Cairan Infus  4)  Pengisapan Nasogastrik   5)  Analgetik  

6)  Antibiotik   7)  Istirahat   8)  Farmako TherapiPemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol. Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk  karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garamgaram empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu: 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun, dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.  b. Pembedahan Cholesistektomy Cholesistekt omy

 

Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh dengan tindakan konservatif . Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy 1)  Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi   2)  Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis   3)  Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang akan dilakukan pada post operasi.   Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy  1)  Posisi semi Fowler  2)  Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya  3)  Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri:  

  Teknik Relaksasi 



 



Distraksi  

c. Terapi 1)  Ranitidin Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi. Indikasi: ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus kolelitiasis ranitidine dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik). Perhatian: pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil. 2)  Buscopan (analgetik /anti nyeri) Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita. Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat. 3)  Buscopan Plus Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg. Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.

 

4)  NaCl NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.

d. Penatalaksanaan Diet Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak  yang dimakan karena sel  – sel sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk  tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak,

 

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pencernaan: Kolesistitis dan Kolelitiasi

1.  Pengkajian 

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh Pengkajian pasien meliputi:  a.  Sirkulasi   Gejala: riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus). b.  Integritas ego  Gejala: perasaan cemas, takut, marah, apatis; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup. Tanda: tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang; stimulasi simpatis. c.  Makanan / cairan  Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis); malnutrisi (termasuk obesitas); membrane mukosa

yang kering (pembatasan

pemasukkan / periode puasa pra operasi d.  Pernapasan  Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok. e.  Keamanan Gejala : alergi/sensitive alergi/sensitiv e terhadap obat, makanan, plester, dan larutan; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan);   Munculnya kanker / terapi kanker terbaru; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obatobatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse. Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.

 

2.  Diagnosa Keperawatan  Diagnosa keperawatan yang muncul:   a.  Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.   b.  Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan obat-obat

farmasi,

hipoksia;

lingkungan

terapeutik

yang

terbatas

misalnya

stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.   c.  Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan pemasukkan

cairan

tubuh

secara

oral,

hilangnya

cairan

tubuh

secara

tidak 

normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.  d.  Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang.  

3. Intervensi Dan Implementasi

a.  Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.  Tujuan : menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia lainnya. Kriteria hasil : tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan.

Intervensi

Rasional

1.  Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang, aliran udara faringeal oral 2.  Auskultasi suara napas. ada/tidaknya suara napas

1. mencegah obstruksi jalan napas

Dengarkan

kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun pengisapan 3.  Observasi frekuensi dan kedalaman dilakukan untuk memastikan efektivitas sehingga upaya pernapasan, pemakaian otot-otot bantu pernapasan pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung,

memperbaikinya dapat segerra dilakukan

 

warna kulit, dan aliran udara. 4.  Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan dan jenis pembedahan

elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma 5.  Lakukan latihan gerak sesegera mungkin ventilasi dalam yang aktif membuka pada pasien yang reaktif dan lanjutkan alveolus, mengeluarkan sekresi, pada periode pascaoperasi meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anastesi ; batuk membantu mengeluarkan sekresi dari sistem pernapasan. 6.  Lakukan pengisapan lendir jika obstruksi jalan napas dapat terjadi karena diperlukan adanya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakhea. 7.  Kolaborasi, pemberian oksigen sesuai dilakukan untuk meningkatkan atau kebutuhan memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anastesi dan mendorong pengeluaran gas terssebut melalui zat-zat inhalasi

b. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan obatobat

farmasi,

hipoksia;

lingkungan

terapeutik

yang

terbatas

misalnya

stimulus sensori yang berlebihan; stress fisiologis. Tujuan : meningkatkan tingkat kesadaran. Kriteria hasil : pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber bantuan sesuai kebutuhan.

Intervensi

Rasional

1.  Orientasikan kembali pasien secara terus menerus setelah keluar dari pengaruh anastesi ; nyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan 2.  Bicara pada pasien dengan suara yang

karena pasien telah meningkat kesadarannya, maka dukungan dan jaminan akan membantu menghilangkan ansietas. tidak dapat ditentukan kapan pasien akan

 jelaas dan normal tanpa membentak, sadar sadar penuh akan apa yang diucapkan

penuh,

namun

sensori

 

pendengaran merupakan kemampuan yang pertama kali akan pulih. 3.  Evaluasi sensasi/pergerakkan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai.

pengembalian fungsi setelah dilakukan blok  saraf spinal atau lokal yang bergantung pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dilakukan.

dan

lamanya

prosedur

4.  Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, berikan keamanan bagi pasien selama tahap lakukan pengikatan jika diperlukan. darurat, mencegah terjadinya cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama masa disorientasi. 5.  Periksa aliran infus, selang endotrakeal, pada pasien yang mengalami disorientasi, kateter, bila dipasang dan pastikan mungkin akan terjadi bendungan kepatenannya. pada aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk  6.  Pertahankan lingkungan yang tenang dan stimulus eksternal mungkin menyebabkan nyaman abrasi psikis ketika terjadi disosiasi obat-obatan anastesi yang telah diberikan.

c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan pemasukkan

cairan

tubuh

secara

oral,

hilangnya

cairan

tubuh

secara

tidak 

normal, pengeluaran integritas pembuluh darah Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat. Kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).

Intervensi

rasional

1.  Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran.

dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihanpilihan yang mempengaruhi intervensi.

Tinjau ulang catatan intra operasi

 

2.  Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk  mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelaha prosedur pada tipe prosedur operasi yang dilakukan sistem genitourinarius dan atau struktur yang berdekatan mengindikasikan malfungsi ataupun obstruksi sistem urinarius. 3.  Pantau tanda-tanda vital. 4.  Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung

pada

kekuatan

pernapasan

dan jenis pembedahan.

5.  Periksa pembalut, alat drain pada interval reguler.

Kaji

luka

untuk

terjadinya

hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan. elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi

pembengkakan 6.  Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.

kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk  penggantian cairan tambahan

 

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Kolesistitis dinding

kandung

adalah

radang

empedu

kandung

disertai

nyeri

empedu perut

yang

kanan

merupakan

atas,

nyeri

inflamasi

tekan

dan

akut panas

badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker, 2001). Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa. Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Sinonimnya

adalah

batu

empedu,

gallstones,

biliary

calculus.

Istilah

kolelitiasis

dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk  di dalam kandung empedu. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart.2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan Edisi 6. Jakarta.EGC

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF