Kekurangan Energi dan Protein
October 29, 2018 | Author: Meityn | Category: N/A
Short Description
Download Kekurangan Energi dan Protein...
Description
Kekurangan Energi dan Protein (KEP) A. Abstrak Penyakit KEP atau Protein Energy Malnutrition merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita).Pa (balita).Pada da penyakit penyakit KEP ditemukan ditemukan berbagai berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang macam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai berat. Pada keadaan riangan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya terdapat pertumbuhan yang kurang. Pada keadaan yang berat ditemuakan 2 tipe yaitu tipe kwarsiorkor dan tipe marasmus. F. Teori 1. Prevalensi KEP Penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi terutama pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan dinegara yang sedang berkembang. Bentuk KEP berat memberikan gambaran klinis yang khas, misalnya bentuk kwarsiorkor, marasmus atau bentuk campuran kwarsiorkor marasmik. Pada kenyataanya gejala penyakit KEP ringan ini tidak jelas hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika dibandingkan dengan anak sehat seumurnya. Berdasarkan hasil penelitian di 254 desa diseluruh Indonesia, Tarwotjo dkk (1978) ditemukan 30% atau 9 juta anak –anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta anak-anak balita menderita gizi buruk. 2. Faktor-faktor Penyebab KEP Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa factor yang menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain: faktro diet, factor social, kepadatan penduduk, infeksi dan kemiskinan. a. Peranan Diet Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein menyebabkan anak menderita kwarsiorkor, sedngkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizinya asansial seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasya (1971) terlihat bahwa diet yang kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwarsiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka membuat k esimpulan bahwa diet bukan merupakan factor yang penting, tetapi masih ada factor lain yang harus dicari. b. Peranan Faktor Sosial Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat mempengruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada pada keagamaan, tetapi ada pula merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu berdasarkan pada keagamaan, maka akan sulit untuk diubah. Tetapi jika pantangan tersebut karena kebiasaan maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terusmenerus hal tersebut masih bisa diatasi. c. Peranan kepadatan Penduduk
Dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutnya. McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat pada suatu daerah yang terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk. d. Peranan Infeksi Infeksi akan memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. e. Peranan Kemiskinan Dengan penghasilan yang rendah, ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal akan lebih mempercepat timbulnya KEP.
3. Gejala Klinis KEP (marasmus dan kwarsiorkor) a) Gejala klinis Kwarsiorkor Penampilan Penampilannya seperti anak gemuk bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di bagian tubuh lainnya seperti pada pantat akan terlihat atrofi. Gangguan pertumbuhan Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari buku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, juga pada pertumbuhan tinggi badannya jika KEP sudah berlangsung lama. Perubahan mental Pada stadium lanjut akan terjadi apatis. Edema Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pda sebagian besar penderita kwarsiorkor. Atrofi otot Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-menerus. Sistem Gastro-intestinal Pada anoreksia yang berat penderita akan menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde
Perubahan rambut Rambut mudah dicabut, terlihat kusam, kering, halus, jarang dan adanya perubahan warna Perubahan kulit Ditemukannya bintik-bintik merah, berpadu menjadi bercak yang kemudianmenghitam.
Pembesaran hati Hati membesar, kadang-kadang batas hati terdapat setinggi pusar. Hati membesar mudah diraba dan terasa kenyal dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Anemia Anemia ringan sering dijumpai. Dan bilamana kwarsiorkor disertai dengan penyakit lain, terutama ankylostomiasis dapat dijumpai anemia berat. b) Gejala klinis marasmuk Penampilan Wajah menyerupai orang tua, anak terlihat sangat kurus karena hilangnya sebagian lemak dan otot-ototnya. Perubahan mental Anak menangis, juga setelah mendapat makanan oleh sebab masih merasa lapar. Keadaran menurun (apati) terdapat pada pendeerita marasmus yang berat. Kelainan pada kulit tubuh Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit dan otot-ototnya. Kelainan pada rambut kepala Rambut tampak kering, tipis dan mudah rontok. Lemak dibawah kulit Lemak sukutan mengurang hingga turgor kulit mengurang. Otot-otot Otot-otot atrofi, sehingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. Saluran pencernaan Sering menderita diare atau konstipasi. Jantung Jarang terdapat bradikardi. Tekanan darah
Pada umumnya tekanan dartah penderita lebih redah jika dibandingkan dengan anak sehat seumur. Saluran nafas Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang. Sistem darah Pada umunya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah.
4. Dampak KEP Mortalitas KEP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara mereka meninggal pada perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya. Mortalitas yang tinggi didapati pila pada penderita K EP pada negara-negara lain. Pada umunya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat juga sering ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatitis angularis.
5. Pencegahan KEP Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu factor dasar penyebab KEP (Austin, 1981), yaitu: a) Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat. b) Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan energi untuk anakanak yang disapih. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas.
c) Memperbaiki infra struktur pemasaran. Infrastuktur pemasaran yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan. d) Subsidi bahan makanan. e) Pemberian makanan suplementer. f) Pendidikan gizi. g) Pendidikan pada pemeliharaan kesehatan.
G. Referensi
1. Silihin pudjiadi, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, edisi keempat,FKUI, Jakarta, 2003 2. Irianton Aritonang, Pemantaun Pertumbuhan Balita Petujuk Praktis Menilai Status Gizi & Kesehatan, Kanisius, Yogyakarta, 1996. 3. Konseling Bagi Ibu (Manajemen Terpadu Balita Sakit), Departemen Kesehatan RI, 1999. 4. http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK “MARASMIKKWASHIORKOR” By; Ferdynandus Felix TL., S.Kep., Ners. Pendahuluan Defisiensi gizi dapat terjadi pada anak yang kurang mendapatkan masukan makanan dalam waktu lama. Istilah dan klasifikasi gangguan kekurangan gizi amat bervariasi dan masih merupakan masalah yang pelik. Walaupun demikian, secara klinis digunakan istilah malnutrisi energi dan protein (MEP) sebagai nama umum. Penentuan jenis MEP yang tepat harus dilakukan dengan pengukuran antropometri yang lengkap (tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit), dibantu dengan pemeriksaan laboratorium (Ngastiyah, 1997). Klasifikasi Untuk kepentingan praktis di klinik maupun di lapangan klasifikasi MEP ditetapkan dengan patokan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai berikut: 1) Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan) 2) Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat) 3) Berat badan 90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita, sudah termasuk obesitas sentral (untuk orang Asia). Pada wanita bisa terjadi kelainan haid, keputihan, kemandulan serta penyakit kulit di lipatan paha dan payudara. Obesitas juga sering dihubungkan dengan gangguan pernapasan, rematik, varises, hernia dan penyakit batu empedu. Para peneliti mendapatkan risiko untuk menderita DM baik pada pria maupun wanita menjadi naik beberapa kali berhubungan dengan kenaikan IMT. Terdapat hubungan yang kuat antara IMT dengan hipertensi. Wanita yang obese memiliki risiko hipertensi 3 - 6 kali dibanding wanita dengan berat badan normal. Kelebihan berat badan juga berhubungan dengan kematian (20-30&) karena penyakit kardiovaskuler. Pria dan wanita yang overweight atau obese mempunyai risiko 2-3 kali terkena penyakit kardiovaskuler. Pada remaja berisiko lebih dari 2 kali lipat meninggal karena penyakit jantung koroner pada masa dewasa. Obesitas juga mengurangi kualitas hidup, seperti stroke, artritis (radang sendi), batu empedu, kesulitan bernafas, masalah kulit, infer- tilitas, masalah psikologis, mangkir kerja dan pemanfaatan sarana kesehatan. C. ANGKA PREVALENSI DIABETES MELLITUS PADA O BESITAS Berdasarkan studi populasi penderita diabetes melitus di berbagai negara, Indonesia menempati posisi keempat dengan jumlah penderita sekitar 8,4 juta pada tahun 2000. Studi populasi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun itu menyebutkan, Indonesia berada di posisi keempat di bawah India (31,7 juta orang), Cina (20,8 juta), dan AS (17,7 juta orang). Diperkirakan, prevalensi diabetes akan terus meningkat bersamaan dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan. Pada tahun 2030 di India diprediksi terdapat penderita DM 79,4 juta orang, Cina 42,3 juta, AS 30,3 juta, dan Indonesia 21,3 juta orang. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) dalam buku Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus edisi ketiga tahun 2002 menyebutkan, pada tahun 1980 prevalensi diabetes di Indonesia sekitar 1,5-2,3 persen pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Pada umumnya prevalensi di daerah pedesaan (rural) lebih rendah ketimbang kawasan urban, contoh di daerah urban Makassar pada 1981 prevalensi DM sekitar 1,5 persen lalu melonjak menjadi 2,9 persen pada 1998 atau mengalami lonjakan hampir dua kali lipat. Demikian pula di kota Metropolitan Jakarta yang pada tahun 1982 tercatat 1,7 persen, namun melonjak tiga kali lipat menjadi 5,7 persen pada tahun 1993. Diperkirakan, prevalensi diabetes di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Prevalensi diabetes pada kelompok populasi lanjut usia di negaranegara maju juga makin meningkat dengan bertambah panjangnya usia penduduk,
sehingga konsekuensinya meningkatnya masalah-masalah kesehatan akibat komplikasi diabetes. Bertambahnya prevalensi tersebut berkaitan dengan meningkatnya status sosial yang diikuti perubahan pola hidup menjadi kurang sehat, antara lain kurang kegiatan fisik, makan berlebihan, dengan akibat terjadinya kegemukan (obesitas) yang menyebabkan resistensi insulin dan berlanjut menjadi diabetes. Prevalensi diabetes yang paling banyak dijumpai adalah diabetes tipe-2 yang seringkali tidak dapat dirasakan gejalanya pada stadium awal dan tetap tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun sampai terjadi macam-macam komplikasi dari penyakit ini. D. CARA PENENGGULANGAN DIABETES MELLITUS PADA OBESITAS Obesitas merupakan hasil dari proses yang berjalan menahun, sehingga penanganannya tidak akan efektif bila hanya dalam waktu singkat. Penurunan berat badan sampai 1 kg per minggu sudah cukup sebagai parameter keberhasilan penurunan berat badan. Kita harus mewaspadai adanya sindroma Yoyo, yaitu penurunan berat badan yang berlebihan akan menyebabkan defisit energi mendadak dan akan berisiko naiknya kembali berat badan. Penurunan berat badan bersifat individual, tergantung pada umur, berat badan awal dan adanya usaha penurunan berat badan sebelumnya serta ada tidaknya penyakit penyerta. Sasaran penurunan berat badan yang realistik adalah 5-10% dari berat badan awal dalam kurun waktu 6-12 bulan Garis besar penanganan obesitas terdiri dari intervensi diet, aktivitas fisik, perubahan perilaku, Farmakoterapi dan Intervensi bedah. Intervensi Diet. Pengaturan makan merupakan tiang utama penanganan obesitas, oleh sebab itu perlu ditekankan pada penderita bahwa kosistensi pengaturan makan jangka panjang sangat menentukan keberhasilan pengobatan. Keberhasilan pengobatan dievaluasi minimal dalam jangka waktu 6 bulan. Dua macam nutrisi medik yang efektif untuk menurunkan berat badan, yaitu Low Calorie balance Diets (LCD),Very Low Calorie Diets (VLCD), Low Calorie balance Diets (LCD). Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi asupan lemak dan karbohidrat. Dapat diberikan 1200-1600 kkal/hari dengan protein 1 g/kg BB, lemak 20-25% dari kalori total dan sisanya karbohidrat. Beberapa rekomendasi praktis dapat dilakukan untuk mencapai sasaran diet : makan setidaknya 5-7 porsi buah dan sayuran perhari. Makan 25-30 gram serat perhari (dari buah/sayur, roti gandum, sereal, pasta dan kacang-kacangan. Untuk sumber karbohidrat hasil proses, pilihlah roti gandum.Minum sedikitnya 8 gelas sehari. Makan sedikitnya 2 porsi perhari hasil olahan susu rendah lemak. Pilih protein rendah lemak seperti ayam tanpa kulit, kalkun dan produk kedelai. Sebaiknya makan daging lebih sedikit. Makan ikan setidaknya 2 kali seminggu. Asupan garam maksimum 2.400 mg perhari. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik aktif berupa aktivitas yang rutin, merupakan bagian penting dari program
penurunan berat badan. Olahraga juga dapat mengurangi rata-rata angka kesakitan dan kematian beberapa penyakit kronik. Dokter dapat menekan-kan urgensinya aktivitas fisik pada penderita, dan menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik paling sedikit 150 menit perminggu. Latihan fisik saja sudah dapat menurunkan berat badan rata-rata 2-3 kg. Perubahan perilaku merupakan usaha maksimal untuk menerapkan aspek non -parmakologis dalam pengelolaan penyakit. Perencanaan makan dan kegiatan jasmani merupakan aspek penting dalam terapi non-farmakologis. Penderita agar menyadari untuk mengubah perilaku, karena keberhasilan penurunan berat badan ini sangat dipengaruhi oleh faktor dirinya sendiri, kedisiplinan mengikuti program diet serta kesinambungan pengobatan. Motivasi penderita sangat menentukan keberhasilan upaya penurunan berat badan. Farmakoterapi. Tiga mekanisme dapat digunakan untuk mengklasifikasi obat-obatan untuk terapi obesitas adalah terapi yang mengurangi asupan makanan, yang mengganggu metabolisme dengan cara mempengaruhi proses pra atau pascaabsorbsi. Terapi yang meningkatkan pengeluaran energi atau termogenesis. Obat yang tersedia saat ini Orlistat : yang menghambat lipase pankreas (enzim yang dihasilkan kelenjar ludah perut) dan akan menyebabkan penurunan penyerapan lemak sampai 30%. Efedrin dan kafein : meningkatkan pengeluaran energi, akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% selama beberapa jam. Pada uji klinis efedrin dan kafein mengha sil kan penurunan berat badan lebih besar dibanding kelompok plasebo. Diperkirakan 2540% penurunan berat badan oleh karena termogenesis dan 60-75% karena pengurangan asupan makanan. Efek samping utama adalah peningkatan nadi dan perasaan berdebardebar yang terjadi pada sejumlah penderita. Sibutramin, menurunkan energy intake dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan. Pada penelitian ternyata terbukti sibutramin menurunkan asupan makanan dengan cara mempercepat timbulnya rasa kenyang dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan. Intervensi Bedah. Intervensi bedah untuk mengatasi masalah obesitas sebenarnya telah diterapkan sejak th.1960 dengan bedah pintas lambung. Hanya karena teknologi bedah saat itu masih terbatas, membuat operasi ini hampir selalu berujung pada kematian pasien. Ada beberapa pilihan pembedahan seperti Laparoscopic Adjustable Gastric Binding, Vertical Banded Gastroplasty, Roux-en-Y gastric bypass. Laparoscopic Adjustable Gastric Binding, merupakan tindakan bedah generasi mutakhir untuk menangani penderita dengan obesitas yang berat, dimana hanya dengan membuat lubang/irisan kecil diperut (diameter 0,5-1,0 cm). Dengan pita/plaster silikon yang dilekatkan seputar lambung bagian atas, sehingga terbentuk satu kantong kecil. Apabila penderita makan, kantong kecil tadi akan cepat
penuh dan ini akan memberikan sensasi kenyang. Pengosongan makanan dari kantong kecil tersebut akan secara pelan-pelan melalui ikatan yang dibuat dan penderita tidak akan merasa lapar sampai beberapa jam. Dengan intervensi bedah ini, diharapkan dapat menurunkan berat badan dari 20 kg sampai lebih dari 100kg. (11) Menyadari penyebab terjadinya masalah gizi karena adanya perubahan pola pangan dan gaya hidup maka disusun pedoman perilaku makan untuk bangsa Indonesia yang dikenal dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Disamping itu PUGS merupakan tindak lanjut dari Konferensi Gizi Internasional di Roma-Itali pada bu lan Desember 1992. Hampir semua negara yang mengikuti konferensi tersebut menilai perlunya disusun Nutritional Guidelines atau Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang berguna untuk mencegah berbagai permasalahan gizi. Kelahiran PUGS pada dasarnya merupakan suatu proses dinamisasi dan penjabaran secara operasional dari slogan empat sehat lima sempurna. Faktor-faktor yang diperhatikan sebagai dasar penyusunan PUGS adalah : a) Masalah gizi yang dihadapi, b) Keadaan sosial budaya, c) Penemuan-penemuan mutakhir dibidang gizi dan d) Slogan empat sehat lima sempurna (Rai, 1997). PUGS memuat 13 pesan dasar tentang perilaku makan yang diharapkan akan dapat mencegah permasalahan gizi dan menghindari terjadinya penyakit lain yang menyertainya. Ke 13 pesan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Makanlah anekaragam makanan Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi Gunakan garam beryodium Makanlah makanan sumber zat besi Berikan ASI saja pada bayi sampai umur 4 bulan Biasakan makan pagi Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur Hindari minum minuman beralkohol Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan Bacalah label pada makanan yang dikemas (Depkes, 1995). Cukup banyaknya penelitian mengenai penyakit ini yang membuktikan bahwa kasuskasus diabates yang tidak terdiagnosis, memiliki risiko lebih tinggi akan mengalami stroke, jantung koroner, dan penyempitan pembuluh darah perifer, dibandingkan dengan orang-orang non-diabetes. Kegemukan merupakan penumpukan jaringan lemak yang abnormal. Cara sederhana menentukan kegemukan adalah dengan menentukan indeks masa tubuh (IMT). IMT didapat dengan menghitung berat badan dalam kilogram kemudian dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. IMT = berat badan (Kg)/tinggi badan (M)2 IMT Klasifikasi < 18,5 Kurus18,5 - 24,9 Normal25-29,9 Pre obese30-34,9 Obese I35-39,9 Obese IIò40 Obese III Sebagai contoh, bila berat badan Anda 90 kg dengan tinggi 160 cm (1,6m),
maka berdasarkan perhitungan diatas akan didapatkan IMT sebesar 35,16. Maka Anda akan digolongkan sebagai obese II. Secara umum, IMT berkorelasi baik dengan kegemukan, meskipun pada keadaan tertentu dapat memberikan gambaran yang salah mengenai total lemak tubuh. Hal ini dapat dijumpai pada seorang atlet. Seorang atlet yang memiliki IMT tinggi bukanlah disebabkan oleh penumpukan lemah, tetapi oleh peningkatan masa jaringan otot. Hal ini dijumpai pada binaragawan, atlet angkat besi, dan pesumo Jepang. Pada pesumo, latihan fisik yang keras diimbangi dengan konsumsi makanan yang berkalori tinggi dalam jumlah banyak. Hal ini menyebabkan lemak dibuang dan otot dibentuk dengan takaran yang berlebihan sehingga yang terbentuk otot yang empuk merata ke seluruh tubuh, berbadan dengan binaragawan. Faktor PengaruhKegemukan terjadi antara lain karena pengaruh faktor sosial budaya, emosi, serta genetik. Tetapi sebab yang sering ditemukan adalah perilaku makan yang tidak sehat, dimana konsumsi kalori lebih banyak daripada yang dibutuhkan tubuh. Kondisi begini biasanya dibarengi gaya hidup banyak duduk dan kurang bergerak. Pada orang-orang tertentu, ketidakmampuan dan ketidakpuasan terhadap sesuatu dilampiaskan dengan makan berlebihan sehingga terjadi obesitas. Penyakit tertentu juga dapat menyebabkan obesitas, misalnya sindrom cushing -- diakibatkan oleh aktivitas kelenjar adrenalin yang berlebihan. Kematian yang tinggi pada kegemukan terutama disebabkan penyakit yang menyerang jantung dan pembuluh darah (kardiovascular). Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko penyakit jantung koroner. Kadar lemak yang tinggi dalam darah akan memudahkan terjadinya gumpalan-gumpalan lemak (thrombus) dalam pembuluh darah. Thrombus ini akan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah di berbagai tempat. Selain membentuk gumpalan, akan terjadi juga perubahan pada pembuluh darah. Pembuluh darah jadi tebal dan kaku sehingga mudah tersumbat. Bila sumbatannya mengenai pembuluh darah jantung, akan terjadi penyakit jantung koroner. Sedangkan apabila sumbatannya mengenai pembuluh darah otak, akan menimbulkan stroke. Pada orang gemuk, kebutuhan darah untuk mensuplai jaringan lemak juga meningkat sehingga kerja jantung akan meningkat pula. Volume darah meningkat karena berada dalam jaringan lemak yang banyak. Kedua hal tersebut akan menyebabkan naiknya tekanan darah. Berdasarkan penelitian, didapatkan kejadian tekanan darah tinggi (hipertensi) sepuluh kali lebih banyak pada orang gemuk dibandingkan dengan orang normal. Orang gemuk juga mudah terkena penyakit kencing manis. Tingginya kadar lemak (asam lemak bebas) dalam darah orang gemuk akan menghambat pengambilan gula (glukosa) oleh jaringan otot sehingga kadar gula dalam darah akan tinggi. Lamakelamaan tubuh tidak bisa lagi mengatasi, maka akan timbullah kencing manis. Kematian akibat kencing manis hampir empat kali lebih tinggi pada orang gemuk dibanding orang normal. Masalah KejiwaanSelain sejumlah penyakit yang telah disebutkan tadi, ada penyakit lain sering dijumpai pada orang gemuk. Batu empedu, misalnya banyak terjadi pada orang-
orang gemuk. Hal ini mungkin berhubungan dengan kadar kolesterol yang tinggi. Kegemukan juga sering menimbulkan permasalahan selama kehamilan. Pada orang yang gemuk, akan timbul banyak lipatan-lipatan kulit dengan kelembaban tinggi sehingga mudah timbul jamur. Hampir semua organ tubuh akan terpengaruh kegemukan. Selain menimbulkan penyakit, kegemukan juga menimbulkan masalah kejiwaan. Orang yang gemuk akan merasa minder dalam pergaulan sehari-hari. Apabila kegemukan terjadi pada masa anak-anak, besar kemungkinan akan tetap hingga dewasa. Kegemukan pada anak-anak, disamping menyebabkan pertambahan sel lemak juga menyebabkan pembesaran sel lemak. Sedangkan pada orang dewasa, yang terjadi hanya pembesaran sel lemak saja. Salah satu faktor penyebab terjadinya obesitas pada anak-anak adalah penggunaan susu formula sebagai pengganti ASI. Melihat besarnya permasalahan yang ditimbulkan oleh kegemukan, perlu usaha-usaha untuk mencegah dan menanggulangi kegemukan. Usaha untuk membatasi kalori yang masuk ke dalam tubuh merupakan usaha yang penting dalam menurunkan berat badan sekaligus menurunkan risiko kegemukan. Mengurangi makan bagi orang yang sudah terbiasa makan banyak bukanlah hal yang mudah. Karena itu dalam diet sebaiknya dipilih makanan yang volumenya besar tapi kalorinya sedikit seperti sayur dan buah-buahan yang mengandung air. Upaya diet perlu ditunjang dengan latihan atau olahraga yang teratur. Juga dapat dengan menggunakan obat-obat untuk mengurangi nafsu makan. Mengingat besarnya efek samping obat-obat penurun nafsu makan, hendaknya penggunaan obat-obat tersebut harus dengan persetujuan dokter. Pada kasus kegemukan tertentu diperlukan tindakan operasi untuk mengatasi misalnya dengan memotong usus atau lambung. Tetapi tindakan ini jarang dilakukan karena risikonya amat besar.
tentang diabetes Artikelnya:.sumber: http://www.gatra.com/artikel.php?id=51798 Quote: Originally Posted by hamas kgk tau udah ada postingan semacam ini ato ngga tp ada 1 artikel yg bole kalian diskusi dan berhati2 mengenai diabetes dan khususnya buat kalian yg suka banget dgn gula. Artikelnya:Berdasarkan studi populasi penderita diabetes melitus di berbagai negara, Indonesia menempati posisi keempat dengan jumlah penderita sekitar 8,4 juta pada tahun 2000.Guru besar endokrinologi Fakultas Kedokteran Undip Semarang, Prof Dr dr Darmono SpPD KEMD, Senin mengemukakan, studi populasi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun itu menyebutkan, Indonesia berada di posisi keempat di bawah India (31,7 juta orang), Cina (20,8 juta), dan AS (17,7 juta orang).Diperkirakan, prevalensi diabetes akan terus meningkat bersamaan dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan. Pada tahun 2030 di India diprediksi terdapat penderita DM 79,4 juta orang, Cina 42,3 juta, AS 30,3 juta, dan Indonesia 21,3 juta orang.Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) dalam buku Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus edisi ketiga tahubn 2002 menyebutkan, pada tahun 1980 prevalensi diabetes di Indonesia sekitar 1,5-2,3 persen pada penduduk usia 15 tahun ke atas.Pada umumnya prevalensi di
daerah pedesaan (rural) lebih rendah ketimbang kawasan urban. Diperkirakan, prevalensi diabetes di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun.Darmono, yang akhir pekan lalu menyampaikan pidato pengukuhan guru besar mengenai diabetes melitus di Undip Semarang, memaparkan contoh, di daerah urban Makassar pada 1981 prevalensi DM sekitar 1,5 persen lalu melonjak menjadi 2,9 persen pada 1998 atau mengalami lonjakan hampir dua kali lipat.Demikian pula di kota Metropolitan Jakarta yang pada tahun 1982 tercatat 1,7 persen, namun melonjak tiga kali lipat menjadi 5,7 persen pada tahun 1993.Prevalensi diabetes pada kelompok populasi lanjut usia di negara-negara maju juga makin meningkat dengan bertambah panjangnya usia penduduk, sehingga konsekuensinya meningkatnya masalah-masalah kesehatan akibat komplikasi diabetes."Bertambahnya prevalensi tersebut berkaitan dengan meningkatnya status sosial yang diikuti perubahan pola hidup menjadi kurang sehat, antara lain kurang kegiatan fisik, makan berlebihan, dengan akibat terjadinya kegemukan (obesitas) yang menyebabkan resistensi insulin dan berlanjut menjadi diabetes," katanya.Menurut Darmono, prevalensi diabete yang paling banyak dijumpai adalah diabetes tipe-2 yang seringkali tidak dapat dirasakan gejalanya pada stadium awal dan tetap tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun sampai terjadi macam-macam komplikasi dari penyakit ini."Cukup banyaknya penelitian mengenai penyakit ini yang membuktikan bahwa kasuskasus diabates yang tidak terdiagnosis, memiliki risiko lebih tinggi akan mengalami stroke, jantung koroner, dan penyempitan pembuluh darah perifer, dibandingkan dengan orang-orang non-diabetes," sumber: http://www.gatra.com/artikel.php?id=51798
Penyandang Diabetes Mellitus Tidak Perlu Kuatir Berlebihan, Walau Tidak Dapat Disembuhkan Namun Dapat Dikendalikan
Langkah-langkah terbaik yang perlu dilakukan adalah mengenali lebih dekat tentang Diabetes Mellitus (Kencing Manis) sehingga kita dapat mengetahui cara penanganan yang tepat agar dapat hidup seperti biasa. Penderita Diabetes Mellitus setiap tahun selalu bertambah. Diabetes Mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan komplikasi ke seluruh organ tubuh antara lain dapat mengakibatkan penyakit Jantung koroner, penyempitan pembuluh darah serebro-vaskuler (stroke), Gagal Ginjal (Renal Failure), Gangguan penglihatan, Gangguan Saraf (Neuropati) dan lainnya. Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang
ditandai dengan keadaan hyperglycemia (kadar glukosa darah tinggi). Ada dua type Diabetes Mellitus yaitu : 1). Diabetes Mellitus type I merupakan Diabetes Mellitus yang bergantung pada obat Insulin. Sering terjadi pada seseorang berusia kurang dari 30 tahun; 2). Diabetes Mellitus type II merupakan Diabetes Mellitus yang tidak selalu bergantung pada obat Insulin, dapat diobati dengan oral anti diabetic (OAD). Tiga gejala utama Diabetes Mellitus yaitu : Polifagi, Polidipsi dan Poliuri. Polifagi yaitu banyak makan. Penderita Diabetes Mellitus biasanya selalu merasa lapar, yang mengakibatkan mereka selalu makan secara berlebihan. Namun makanan tersebut tidak dapat masuk ke dalam sel tubuh dan menumpuk dalam darah (kadar gula darah meningkat / hyperglycemia), badan terasa lemas dan kurang bertenaga karena sel kekurangan zat gula ("lapar sel"). Polidipsi yaitu banyak minum. Penderita Diabetes Mellitus akan selalu merasa haus, yang disebabkan karena konsumsi gula tidak dapat masuk ke dalam sel tubuh. Poliuri yaitu banyak/sering kencing, terutama pada malam h ari, yang disebabkan karena kadar gula darah yang tinggi. Disamping gejala utama diatas terdapat pula gejala-jala lainnya seperti : 1). Gangguan pada mata dimana kadar gula darah yang tinggi (hyperglycemia) dapat menyebabkan perubahan pada lensa mata sehingga penglihatan menjadi kabur; 2). Gampang terjadi infeksi jamur pada kemaluan sehingga terasa gatal terutama pada wanita; 3). Badan terasa cepat lelah dan mengantuk; 4). Bila terjadi luka akan sulit sembuh karena terjadi penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi; 5). Bila infeksi terjadi pada daerah kaki akan terjadi luka gangren dan berisiko untuk menjalani amputasi; 6). Kadar gula darah yang tinggi pada ibu hamil akan menyebabkan janin tumbuh menjadi besar ( berat badan bayi waktu lahir dapat mencapai lebih dari 4 kg).
Glukosa Urin Posted by Riswanto on Tuesday, March 9, 2010 Labels: Tes Urine Darah disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil penyaringan (filtrat) berisi produk-produk limbah (mis. urea), elektrolit (mis. natrium, kalium, klorida), asam amino, dan glukosa. Filtrat kemudian dialirkan ke tubulus ginjal untuk direabsorbsi dan diekskresikan; zat-zat yang diperlukan (termasuk glukosa) diserap kembali dan zat-zat yang tidak diperlukan kembali diekskresikan ke dalam urin. Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh glomerulus terdapat dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui (kadar glukosa darah melebihi 160-180 mg/dl atau 8,9-10 mmol/l), atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun.
Prosedur
Uji glukosa urin konvensional menggunakan pereaksi Benedict atas dasar sifat glukosa sebagai zat pereduksi. Cara ini tidak spesifik karena beberapa pereduksi lain dapat mengacaukan hasil uji. Beberapa gula lain bisa menyebabkan hasil uji reduksi positif misalnya fruktosa, sukrosa, galaktosa, pentose, laktosa, dsb. Beberapa zat bukan gula yang dapat mengadakan reduksi seperti asam homogentisat, alkapton, formalin, glukoronat. Pengaruh obat : streptomisin, salisilat kadar tinggi, vitamin C, dsb. Metode carik celup (dipstick ) dinilai lebih bagus karena lebih spesifik untuk glukosa dan waktu pengujian yang amat singkat. Reagen strip untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa oksidase (GOD) dan peroksidase (POD), serta zat warna (kromogen) seperti orto-toluidin yang akan berubah warna biru jika teroksidasi. Zat warna lain yang digunakan adalah iodide yang akan berubah warna coklat jika teroksidasi. Prosedur uji yang akan dijelaskan di sini adalah uji dipstick. Kumpulkan spesimen acak (random)/urin sewaktu. Celupkan strip reagen (dipstick) ke dalam urin. Tunggu selama 60 detik, amati perubahan warna yang terjadi dan cocokkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji dipstick adalah : •
•
Hasil uji positif palsu dapat disebabkan oleh : bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida, hipoklorit, atau klorin) dalam wadah sampel urin, atau urine yang sangat asam (pH di bawah 4) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh : pengaruh obat (vitamin C, asam hogentisat, salisilat dalam jumlah besar, asam hidroksiindolasetat), berat jenis urine > 1,020 dan terutama bila disertai dengan pH urine yang tinggi, adanya badan keton dapat mengurangi sensitivitas pemeriksaan, infeksi bakteri.
Nilai
Uji
Rujukan
glukosa
urin
normal
=
negatif
(kurang
dari
50mg/dl)
Masalah Klinis
Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah; oleh karena itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes mellitus. Jika nilai ambang ginjal begitu rendah bahkan kadar glukosa darah normal menghasilkan kondisi glukosuria, keadaan ini disebut sebagai glycosuria ginjal .
Gangguan Metabolisme Karbohidrat Perlu diketahui, gangguan yang berhubungan dengan karbohidrat, di antaranya disebabkan adanya ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan energi, ada pula yang terjadi karena gangguan pada metabolisme. Penyakit-penyakit yang terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan energi adalah Kurang Energi Protein (KEP) dan penyakit kegemukan atau Obesitas, sedangkan yang termasuk gangguan metabolisme karbohidrat di antaranya adalah penyakit gula atau kencing manis atau Diabetes Mellitus dan Lactose Intolerance. A. Penyakit Kegemukan (Obesitas) Penyakit kegemukan atau obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan energi. Asupan energi yang berlebih disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Pada keadaan normal, jaringan lemak ditimbun di dalam jaringan subkutan dan tirai usus (omentum). Pada wanita ada tempat-tempat penimbunan jaringan lemak khusus yang memberi bentuk feminin seperti pada pantat, bahu serta dada. Jaringan lemak subkutan di daerah dinding perut bagian depan mudah dilihat pada seseorang yang menderita obesitas. Seorang laki-laki dikatakan menderita obesitas bila berat badan melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari berat badan ideal.
B. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus adalah penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme karbohidrat jenis glukosa. Penyakit ini disebabkan kekurangan hormon insulin. Hormon insulin dihasilkan oleh sel beta di dalam pulau Langerhans pada kelenjar pankreas yang mengatur metabolisme glukosa. Kekurangan hormon insulin terjadi karena sintesa yang kurang. Bisa juga sintesa cukup, tetapi sensitivitas sel target terhadap hormon menurun. Insulin bekerja mengubah glukosa menjadi glikogen di dalam sel-sel hati maupun otot, ini terjadi jika glukosa di dalam darah meningkat. Sebaliknya jika glukosa darah menurun, glikogen hati dimobilisasikan sehingga menaikkan kembali glukosa di dalam darah. Seseorang yang kekurangan insulin, glukosa yang ada tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga glukosa di luar sel dan di dalam cairan darah meningkat.
Namun, timbunan glukosa tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. Glukosa yang bertumpuk tersebut kemudian dibuang melalui ginjal ke dalam urin sehingga urin mengandung glukosa (glukosuria), itulah sebabnya mengapa penyakit diabetes mellitus sering disebut penyakit kencing manis oleh orang awam.
Kebutuhan kalori pada lanjut usia (lansia) tergantung dari usia, tinggi badan, berat badan, aktivitas, dan ada tidaknya penyakit yang menyertainya. Sejalan dengan bertambahnya usia, metabolisme tubuh dan kemampuan organ cerna akan menurun sehingga asupan makanan dan minuman yang berlebihan bisa menjadi beban kerja bagi organ-organ tubuh yang juga telah lansia.Asupan makan pada lansia dipengaruhi oleh berbagai hal seperti faktor sosial ekonomi, fisiologi, patologi dan lain- lain.Umumnya perubahan komposisi tubuh yang terjadi adalah komposisi lemak yang meningkat, komposisi cairan tubuh yang berkurang, komposisi otot yang menurun disertai penurunan massa tulang.Contohnya massa otot yang beratnya sekitar 40% dari berat badan memberikan sumbangan 20, 25% terhadap laju metabolisme. Selain itu organ-organ yang memiliki aktivitas metabolisme tinggi seperti hati, otak, jantung dan ginjal memberikan kontribusi sebesar 60 - 65% terhadap laju metabolisme. "Pada lansia terjadi penurunan dari aktivitas organ-organ yang saya sebutkan tadi.Hal ini sebutnya, pe rlu diperhatikan agar pemberian nutrisi pada lansia disesuaikan dengan kebutuhannya, agar kualitas kesehatannya tetap terjaga dengan baik. Penurunan berat badan (BB) pada lansia merupakan faktor yang harus diwaspadai, karena mempengaruhi angka kematiannya. Penelitian yang dilakukan di sebuah Panti Werdha menunjukkan lansia yang mengalami penurunan BB lebih dari 10% dalam waktu 6 - 36 bulan, didapatkan angka kematiannya sebesar 62% dalam jangka waktu 3 tahun, sedangkan pada lansia yang tidak mengalami kehilangan BB angka kematiannya hanya sebesar 42% dalam kurun waktu yang sama. Oleh karenanya dukungan nutrisi yang adekuat pada lansia merupakan hal yang sangat penting untuk tetap mempertahankan kualitas hidup dan kesehatan yang optimal. Nutrisi yang diberikan, kata Inayah harus disesuaikan dengan nafsu makannya, suasana makan, jenis makanan, dan cara pemberian makanannya. Pada beberapa lansia ada yang mempunyai nafsu makan yang berlebih, hal ini memberikan dampak yang kurang baik karena sejalan dengan bertambahnya usia, metabolisme tubuh yang telah menurun, kemampuan organ cernapun menurun. "Asupan makanan dan minuman yang berlebihan merupakan beban kerja bagi organ-organ tubuh yang juga telah lansia," Lebih lanjut tentang: Tetap Fit di Usia Tua
View more...
Comments