KEKOSONGAN HUKUM

March 25, 2019 | Author: Mustofa Anwar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download KEKOSONGAN HUKUM...

Description

1

A.

PENDAHULUAN 1. Kekosongan Kekosongan Hukum Hukum Pene Penega gaka kan n

dan dan

pene penera rapa pan n

huku hukum m khus khusus usny nya a

di Indo Indone nesi sia a

seri sering ngka kali li

menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah telah terjadi terjadi mengga menggamba mbarkan rkan sulitnya sulitnya penega penegak k hukum hukum atau atau aparat aparat hukum hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada. Namun perkemb perkembang angan an masyarak masyarakat at lebih lebih cepat cepat dari perkemb perkembang angan an aturan aturan perunda perundangngundangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari dari kebera keberada daan an suatu suatu perat peratura uran. n. Dalam Dalam kehid kehidup upan an berm bermasy asyara arakat kat mema memang ng diperluk diperlukan an suatu suatu sistem sistem hukum hukum untuk untuk mencipt menciptaka akan n kehidup kehidupan an masyarak masyarakat at yang harmonis harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undanga perundang-undangan n yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan suatu kepastia kepastian n hukum hukum dihadap dihadapkan kan oleh oleh realita realita bahwa bahwa rasa keadila keadilan n masyara masyarakat kat tidak tidak dapat dapat dipenu dipenuhi hi oleh asas ini karena karena masyarak masyarakat at yang yang terus terus berkemb berkembang ang seiring kemaju kemajuan an tekno teknolog logi. i. Perub Perubah ahan an cepat cepat yang yang terjad terjadii terse tersebu butt menja menjadi di masal masalah ah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundangunda undang ngan an,, karen karena a tidak tidak mung mungkin kin suatu suatu perat peratura uran n perun perunda dang ng-un -unda dang ngan an dapa dapatt mengatu mengaturr segala segala kehidup kehidupan an manusia manusia secara secara tuntas tuntas sehingg sehingga a adakala adakalanya nya suatu suatu peraturan perundang-unda perundang-undangan ngan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.

2

B. PEMBAHASAN 1. Definisi Kekosongan Hukum Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hukum (rechtsvacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut : Hukum atau recht (Bld) Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)”  menyatakan bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan” . Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”  mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejalagejala lainnya” . Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum”  memberikan pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturanhidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau  tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat” . Dengan peraturan-peraturan hidup disinidimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan perundangundangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan). Kekosongan atau vacuum (Bld)Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989, “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan” , yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang diterjemakan atau diartikan sama dengan

“kosong atau 

lowong” .Dari penjelasan diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikanSebagai

suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-

undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat” , sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundan g-undangan”.

3 2. Terjadinya Kekosongan Hukum Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan  pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu    peraturanperundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat” . Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundangundangan tersebut, suatu contoh dalam mengisi kekosongan hukum yaitu:

PASCA PEMBATALAN UU BHP : MENGISI KEKOSONGAN HUKUM

Setelah MK dalam salah satu amar putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUUVII/ 2009 menyatakan bahwa UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan karenanya UU aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi, perjuangan mematikan jiwa liberalisasi pendidikan di Indonesia belum selesai. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengisi kekosongan hukumnya.

4 Terdapat 7 (tujuh) PTN yang sebelum berstatus BHP adalah sebagai BHMN. Salah satu contoh PTN yang berada di persimpangan status adalah UGM dengan PP  Nomor 153 Tahun 2000 tentang Penetapan UGM sebagai BHMN. Penolakan kuat atas penggantian status UGM dari PTN menjadi BHMN dikarenakan dampaknya di kemudian hari akan melunturkan, bahkan meniadakan roh UGM sebagai Kampus Kerakyatan. Terkait dengan PP BHMN, terdapat 5 ketentuan Mengingat yang dicantumkan, yaitu pasal 5 ayat (2) dan pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, KUH Perdata (Staatsblad 1847 : 23), UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (digantikan dengan UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 123, PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan PTN sebagai Badan Hukum.

Dengan batalnya pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sekaligus mematikan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, lalu ditambah dengan lahirnya PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Maka jelaslah bahwa PP terkait penetapan PTN sebagai BHMN, misalnya UGM dengan PP 153/ 2000, otomatis tidak berlaku lagi dan yang berlaku saat ini adalah PP 17/ 2010.

Terkait dengan PP 17/ 2010, seperti dilansir dari Antaranews.com, bahwa Mendiknas sendiri menyatakan PP tersebut merupakan PP terkait UU BHP yang ‘hidup’. Padahal, UU BHP sendiri sudah mati tertanggal 31 Maret 2010 lalu. Walaupun konsideran PP a quo adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bukan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum

5 Pendidikan. Jangan sampai PP baru yang akan dibentuk Mendiknas adalah PP yang masih terselip jiwa liberalisasi pendidikan didalamnya. Walaupun disampaikan secara jelas oleh Wakil Mendiknas dalam acara Jendela Konstitusi, bahwa dalam PP yang baru nanti akan ada klausa tidak akan ada komersialisasi pendidikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh mahasiswa adalah menekan Pemerintah untuk  mempercepat pembentukan PP baru yang mengatur tentang kekosongan status hukum PTN pasca pembatalan UU BHP oleh MK. Tetapi tentunya, PP yang baru harus bersih dari liberalisasi pendidikan.

Kedua, mahasiswa dapat mengajukan draft UU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru dan lebih baik dari sebelumnya untuk diajukan kepada Presiden dan DPR. Karena sesuai dengan yang diatur dalam Konstitusi, yaitu pasal 5 ayat (1) dan 20 ayat (1) dan (2), bahwa pembentukan UU melibatkan Presiden dan DPR. Tentunya, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru pun haruslah mengakomodir segala akibat hukum yang tidak kecil nilainya yang telah ditimbulkan oleh UU tentang sistem pendidikan nasional dan segala peraturan  perundang-undangan yang terkait dengannya lainnya yang lama bercokol di Indonesia.

Harapannya, mahasiswa dapat bergerak cepat mengusulkan kepada Presiden dan DPR dalam bentuk draft UU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru tersebut. Menurut Daftar RUU Program Legislasi Nasional Tahun 2010 -2014, salah satu RUU yang akan diajukan adalah RUU tentang Perubahan atas UU  Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

6 Menurut kesimpulan disertasi Mahfud MD, “jika kita ingin membangun hukum  yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik.” Hukum adalah produk politik. Maka jalan tercepatnya adalah dengan menekan para penguasa untuk mau merealisasikan political will mereka, yaitu dengan mau membuat produk hukum tentang sistem pendidikan nasional yang akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mahasiswa pernah menang menekan penguasa. Saat 12 Mei 1998 kemarin.

3. Akibat Yang Ditimbulkan Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid ) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum ( rechtsverwarring ), dalama arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh . Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi. 4. Solusi apabila terjadi kekosongan hukum Sebagaimana

telah

diungkapkan

sebelumnya

bahwa

perkembangan

masyarakatselalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang

7 berjalan ditempat pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang yang tertinggal  jauh oleh perkembangan masyarakat yang acapkali menimbulkan kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan) terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya belum diatur atau jika sudah diatur  namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terjadinya kekosongan hukum adalah sebagai berikut :

a. Penemuan hukum (rechtsvinding ) oleh hakim. Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman ( out of date). Berdasarkan Pasal 22 A.B. ( Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok kekuasaan kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding ). Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lainpenemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturanperaturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.

8  b. Apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas. Maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum. Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundangundangan walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangundangan,namun

kedudukan

hakim

bukanlah

sebagai

pemegang

kekuasaan legislatif ataupun eksekutif (sebagai badan pembentuk perundangundangan) sebagaimana DPR dan Pemerintah (Presiden). Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. ( Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23 ) yang menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku  sebagai peraturan umum” . Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917 KUH Perdata (B.W.) bahwa “kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal  yang diputuskan dalam keputusan itu” . Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundangundangan, yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”  dan “setiap rancangan undangundang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Pasal 5 UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”  dan “Presiden menetapkan peraturan  pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” . Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan ( political will ) dari DPR dan Pemerintah (Presiden) memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu

9 undang-undang (lebih luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan perundangundangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan perkembangan di masyarakat. Lebih

lanjut

dalam

upaya

mengatasi

kekosongan

hukum

maka

dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan  perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik    penyusunan,

perumusan,

pembahasan,

pengesahan,pengundangan,

dan

 penyebarluasan” . Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas)” . Prolegnas itu sendiri menurut Pasal 1 angka 9 adalah “instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis” . Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi. Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-rencana legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme program legislasi yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

10

C. PENUTUP Dalam

kehidupan

bermasyarakat

memang diperlukan

suatu

sistem hukum

untukmenciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Namun perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat. Kekosongan hukum dapat diatasi dengan jalan yaitu jika kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim dapat melakukan penemuan hukum ( rechtsvinding ), atau dengan cara prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah (Presiden). Dengan adanya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan salah satu dari mekanisme program legislasi dan juga sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kekosongan hukum.

11 DAFTAR PUSTAKA

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ; Kamus Hukum (Edisi Lengkap); Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka Jakarta, 1989; Surojo Wignjodipuro, S.H., Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah), Alumni Bandung, 1971; Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia , Balai Pustaka Jakarta,1989; Andi Maulana Mustamin, S.H.,M.H., Urgensi Penemuan Hukum di Indonesia , http://fiaji.blogspot.com ; Mohammad Aldyan, S.H., Penemuan Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com ; H. Ahmad Ubbe, S.H., MH, APU, Instrumen Prolegnas dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Terencana dan Terpadu;

Yurista Yoharsari*) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2007

12

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF