Kekerasan Terhadap Perempuan

October 15, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Kekerasan Terhadap Perempuan...

Description

 

MAKALAH KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

 p

DISUSUN OLEH :

NAMA : MEKHTILDIS SURYATI NIM : 20180306031

UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2018

11

 

KATA PENGANTAR 

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas  berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan  baik dan tepat pada waktunya. Makalah yang diberi judul “Kekerasan Terhadap Perempuan” ini akan dibahas mengenai salah satu masalah di Indonesia hingga saat ini, mengkaji bagaimana masalah ini berkembang di masyarakat dan peran kita sebagai unsur masyarakat . Penulis mengucapkan Penulis mengucapkan banyak terima-kasih kepada semua pihak yang telah membantu membantu menyelesaika menyelesaikan n makalah makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Pendid Pen didika ikan n Pancasi Pancasila la yang yang tel telah ah member memberika ikan n tugas tugas ini sebaga sebagaii tugas tugas akhir, akhir, semoga tugas ini mampu menambah wawasan mahasiswa dan digunakan dalam  proses penilaian sebagaimana mestinya Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dalam makalah ini, dan menerimaa setiap menerim setiap kritik kritik dan saran saran yang yang bersifa bersifatt memban membangun gun sehing sehingga ga dapat dapat disempurnakan di kemudian hari Demiki Demi kian an kata kata peng pengan anta tarr dari dari penu penuli lis, s, ku kura rang ng le lebi bihn hnya ya moho mohon n dimaafkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi setiap pembacanya . Sekian dan terima kasih

 

Penulis

Mekhtildis Suryati

11

 

ABSTRAK 

Seti Setiap ap tahu tahun n selal selalu u terja terjadi di pe peni ning ngka kata tan n ka kasu suss ke keke kera rasan san te terh rhad adap ap  perempuan, hal ini dipengaruhi oleh berbagai alasan, yaitu terbatasnya peran lembaga lemba ga litigasi litigasi dalam menangani menangani kasus-k kasus-kasus asus kekerasan kekerasan terhadap terhadap perempuan perempuan  berdasarkan sifat lembaga yang kurang responsif terhadap perubahan di masy ma syar arak akat at.. Kont Kontek ekss di mana mana be berb rbag agai ai masal masalah ah hu huku kum m te terj rjad adi. i. Pe Perta rtama ma,, keterbatasan ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa masih ada bias gender dalam hukum yang menganggap perempuan sebagai pihak yang tidak pantas melanggar  hukum. Oleh karena itu, atribut budaya seperti ibu rumah tangga menjadi aspek  yang memberatkan jika seorang wanita melakukan kejahatan. Sebaliknya, atribut  budaya laki-laki sebagai kepala rumah tangga dianggap sebagai aspek mitigasi. Sela Selain in itu, itu, prin prinsip sip ba bahw hwaa hu huku kum m itu itu ne netr tral al pe perlu rlu di diti tinj njau au ke kemb mbal alii da dala lam m  pelanggaran kesopanan karena kekhasannya. Pelanggaran tersebut adalah kekeras kek erasan an berbasi berbasiss gender gender yang yang secara secara eksklu eksklusif sif menemp menempatk atkan an peremp perempuan uan di  posisi korban. Dalam konteks ini, aspek sosio-psikologis dan biologis harus dipertimbangkan. Kata kunci : Kekerasan, Perempuan, Perempuan, Bias Gender, Mitigasi

Every year there is always an increase in cases of violence against women, th this is is in infl flue uenc nced ed by va vario rious us re reaso asons ns,, na name mely ly th thee limit limited ed ro role le of liti litiga gati tion on institutions in handling cases of violence against women based on the nature of  institutions that are less responsive to changes in the community context where various legal problems occur. First, this limitation can be seen in the fact that there is still a gender bias in the law that assumes women as inappropriate parties violat vio latee the law. law. Theref Therefore ore,, cultur cultural al att attrib ribute utess such as housewi housewives ves become become a  burdensome aspect if a woman commits a crime. Conversely, the cultural attributes of men as head of the household are considered as a mitigating aspect. In addition, the principle that the law is neutral needs to be revisited in decency offens off enses es becaus becausee of its peculi peculiari arities ties.. The The offens offenses es are gender gender based based violen violence ce which exclusively places women in the position of victims. In this context, socio psychological and biological aspects must be considered.

11

 

Keywords : Violence, Women, Gender Bias, Mitigating

DAFTAR ISI

Cover............................. Cover....... ............................................ ............................................ ............................................ .........................................i ...................i Kata Pengantar...................... Pengantar............................................ ............................................ ........................................ .............................. ............ii ii Daftar Isi dan Daftar Tabel.................................. Tabel........................................................ .......................................... ....................iii iii Bab I Pendahuluan......................... Pendahuluan............................................... ............................................ ............................................1 ......................1 Bab II Identifikasi Masalah.......................................... Masalah.............................................................. .................................. ..............3 3 Bab III Pembahasan...................... Pembahasan............................................ .................................................................. ............................................ 5 Bab IV Penutup......................... Penutup................................................ ............................................. ...............................................11 .........................11 Daftar Pustaka.......................... Pustaka................................................ ............................................ ............................................ ...........................12 .....12

DAFTAR TABEL

Tabel 1..................................... 1........................................................... ............................................ ....................................................7 ..............................7

11

 

BAB I PENDAHULUAN

Padaa lapora Pad laporan n tahun tahunann annya, ya, Komnas Komnas Peremp Perempuan uan mencata mencatatt ada 348.44 348.446 6 kasus kas us kekera kekerasan san terhad terhadap ap peremp perempuan uan yang yang ditang ditangani ani selama selama 2017. 2017. Sebaga Sebagaii  perbandingan, pada 2016, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan. Namun, menurut Komisioner Komi sioner Komnas Perempuan, Perempuan, Mariana Mariana Amiruddin Amiruddin,, data ini tidak bisa semata dili diliha hatt sebag sebagai ai ad adan anya ya pe peni ning ngka katan tan ju juml mlah ah ke keke keras rasan an,, mela melain inka kan n se seba baga gaii  peningkatan dalam hal pelaporan dan semakin banyaknya korban yang berani melapor atas berbagai kekerasan yang terjadi. Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang lebih tinggi dibanding 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus (sedangkan tahun 2016, yaitu 1.799 kasus), dan dari kasus kekerasan itu, ada 1.200 kasus incest  (seks  (seks dengan orang tua atau keluarga kandung) yang dilaporkan. Sement Sem entara ara itu, itu, sepanj sepanjang ang 2017, 2017, ada lebih lebih dari dari 5.000 5.000 kasus kasus kekeras kekerasan an terhad ter hadap ap ist istri ri yang yang dilapo dilaporka rkan n ke lembag lembagaa pemeri pemerinta ntah h sepert sepertii polisi polisi atau atau ke lembaga penyedia layanan seperti rumah sakit. Selain itu, ada lebih dari 2.000 kasus kas us kekeras kekerasan an dalam dalam pacaran pacaran yang yang dilapo dilaporka rkan. n. Sepanj Sepanjang ang 20 2017, 17, Komnas Komnas Perempuan Peremp uan juga juga mencat mencatat at adanya adanya 65 kasus kasus kekera kekerasan san terhad terhadap ap peremp perempuan uan di dunia maya. Pelakunya mulai dari pacar, mantan pacar, dan suami, selain juga kolega, sopir transportasi online dan pelaku anonim, bahkan sampai warga negara asin asing, g,

sehi sehin ngg ggaa

mere mereka ka

meny enyeb ebu utn tny ya

"k "kej ejah ahat atan an

tran transn snas asio iona nall

ya yan ng

membutuhkan perhatian khusus pemerintah". Secara khusus Komnas Perempuan juga mencatat bahwa "kejahatan cyber  dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadi dij adikan kan objek objek pornog pornografi rafi". ". "Salah "Salah satu bentuk bentuk kejaha kejahatan tan cyber yan yang g paling paling sering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial dan

11

 

atau ata u website website po porno rnogra grafi. fi. Kasus Kasus ini biasan biasanya ya menghe mengheboh bohkan kan publik publik sehing sehingga ga mena me namb mbah ah be beba ban n ps psik ikis is ba bagi gi ko korb rban an," ," ka kata ta Maria Mariana na Amir Amirud uddi din. n. Bent Bentuk  uk  kejahatan cyber lain yang juga sering dilaporkan adalah munculnya ancaman pada korban bahwa foto atau video pribadinya akan disebar, dan ini biasanya dilakukan agar korban tidak melapor atau meninggalkan pelaku dalam hubugan berpacaran. Selain Sel ain itu, itu, kejaha kejahatan tan ini juga juga melipu meliputi ti pengir pengirima iman n teks teks yang yang berisi berisi kata-k kata-kata ata sampai sam pai foto foto alat alat kelami kelamin n pelaku pelaku yang yang bertuj bertujuan uan untuk untuk menyak menyakiti iti,, menaku menakuti, ti, mengancam, dan mengganggu korban. Bukti-bukti konkrit ini menunjukkan betapa pentingnya masalah ini untuk  dika dikaji ji da dan n dibe diberan ranta tas, s, pe penu nuli liss be berp rpen enda dapa patt ba bahw hwaa ka kasu suss ke keke kera rasan san pa pada da  perempuan ini butuh kesadaran peran dari semua pihak. Untuk itu penulis memilih untuk membahas masalah “Kekerasan Terhadap Perempuan”

11

 

BAB II IDENTIFIKASII MASALAH IDENTIFIKAS

Kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi dalam bentuk yang cukup variatif. variatif. Kekerasan Kekerasan terhadap terhadap perempuan perempuan ini tidak lagi memandang memandang korban darii satu dimens dar dimensii saja. saja. Namun, Namun, banyak banyak dimena dimenasi. si. Seperti Seperti usia, usia, jenis jenis kelami kelamin, n, statu sta tuss sosi sosial, al, da dan n se seba baga gain inya ya.. Tapi Tapi,, tind tindak ak ke keke keras rasan an masi masih h mene menemp mpat atka kan n  perempuan sebagai objek korban. Kekerasan terhadap kaum hawa ini dapat dikatagorikan ke dalam beberapa hal antara lain penyelundupan, kekerasan rumah tangga, penyekapan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan, pembunuhan, dan trafiking atau perdagangan perempuan dan anak-anak  Masalah kekerasan terhadap perempuan tentunya dilatar belakangi oleh  berbagai macam sebab. Terdapat 3 alasan terus meningkatnya kekerasan terhadap  perempuan yaitu : 1. Fakt Fakto or Bu Buday daya Konstruksi sosial berpikir masyarakat yang masih menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki ini menjadi akar persoalan kekerasan terhadap  perempuan. Indonesia selalu mengesampingkan perempuan dalam hampir  seluruh aspek penting. Perempuan cenderung dianggap sosok yang lemah, ke kesem sempa pata tan n un untu tuk k mend mendud uduk ukii suat suatu u jaba jabatan tan,, pe peng ngam ambi bila lan n ke kepu putu tusan san cenderung dibatasi terhadap perempuan. Perempuan dianggap di masyarakat untuk melahirkan, mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. 2. Fa Fakt ktor or lin lingk gkun unga gan n Peran keluarga keluarga memberikan memberikan pendidika pendidikan, n, peran tokoh-tokoh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat selain pendidikan yang diberikan di institusi pendidikan akan membentuk stigma masyarakat terhadap perempuan. Kehidupan sosial selalu dinila din ilaii sebagai sebagai the other   sex yang sangat menentukan menentukan mode representasi representasi

11

 

sosial yang tampak dari pengaturan status dan peran perempuan. Subordinasi, disk diskri rimi mina nasi, si, atau atau marg margin inali alisa sasi si pe pere remp mpua uan n

ya yang ng munc muncul ul ke kemu mudi dian an

menunjukka menun jukkan n bahwa perempuan perempuan menjadi menjadi the second sex seperti sex seperti juga sering dise disebu butt seba sebaga gaii “war “warga ga ke kelas las du dua” a” ya yang ng ke kebe bera rada daan anny nyaa tida tidak k be begi gitu tu diperh dip erhitu itung ngkan kan.. Dikoto Dikotomi mi nature nature   da dan culture culture,, mis misaln alnya ya tel telah ah diguna digunakan kan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin ini (Abd (A bdul ulla lah, h, 19 1997 97:: 1) 1),, ya yang ng meny menyeb ebab abka kan n pe perem rempu puan an menj menjad adii ob obje jek. k. Pemisahan itu telah menyebabkan pengingkaran-pengingkaran terhadap hak   perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Pengingkaran ini pun kemudian telah menjadi ciri dasar dalam konstruksi laki-laki dan perempuan dalam berbagai bentuk. 3. Peme Pemeri rint ntah ah menj menjad adii ag agen en pe peru ruba baha han n da dala lam m pe penc nceg egah ahan an ke keke kera rasan san pa pada da  perempuan Peme Pemeri rint ntah ah da dan n ap apar arat at pe pene nega gak k hu huku kum m memi memilik likii pe pera ran n pe pent ntin ing g da dala lam m  pengurangan tindak kekerasan terhadap perempuan. Proses penanganan kasus Kekeras Kek erasan an terhad terhadap ap Peremp Perempuan uan (KTP) (KTP) melalu melaluii jal jalur ur hukum hukum atau secara secara liti litiga gati tiff ini ini dala dalam m bany banyak ak kasu kasuss belu belum m meme memenu nuhi hi as aspi pira rasi si ko korb rban an (perempuan), selain disebabkan oleh putusan hukum yang dikenakan terhadap  pelaku dinilai terlalu rendah dan tidak sesuai dengan penderitaan yang dialam dia lamii peremp perempuan uan,, juga juga diseba disebabka bkan n oleh oleh po posisi sisi peremp perempuan uan yang yang lemah lemah dalam dal am proses proses litiga litigasi. si. Peremp Perempuan uan tidak tidak ditemp ditempatk atkan an sebagai sebagai subjek subjek yang yang memiliki hak atas keadilan. Proses litigasi menjadi proses yang panjang dan memiliki  berbelit-belit sehingga mengurangi motivasi korban untuk mencari keadilan melalu mel aluii jal jalur ur hukum. hukum. Tulisa Tulisan n ini menunj menunjukk ukkan an bahwa bahwa rendah rendahnya nya kinerj kinerjaa lembaga lemba ga hukum hukum dalam penanganan penanganan kasus KTP lebih disebabkan disebabkan oleh masih adanya bias gender dalam perspektif aparat dan struktur lembaga penegak  hukum. Sebagaimana lembaga-lembaga lainnya, lembaga penanganan litigatif  dari kepolisian sampai pengadilan masih merefleksikan suatu tatanan yang  patriarkhis

yang

belum

memosisikan

diri

secara

emansipatif

mengembalikan harkat dan martabat perempuan sebagai subjek hukum.

11

untuk 

 

BAB III PEMBAHASAN

Kekerasan terhadap perempuan merupakan refleksi dari kekuasaan lakilaki laki atau atau pe perw rwuj ujud udan an ke kere rent ntan anan an pe perem rempu puan an di ha hada dapa pan n la laki ki-la -laki ki,, ba bahk hkan an merupakan gambaran dari ketidakadilan terhadap perempuan (Suharman, 1997: 38). Baswardono (1995: 58) mengatakan bahwa kekuasaan telah merajalela di segala bidang, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun hubungan sosial lainnya. Perempuan dapat mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, dan kekerasan  bisa terjadi di mana saja: di rumah, di tempat kerja, bahkan di tempat umum. Dalam Dal am media media massa, massa, misaln misalnya, ya, baik baik audio audio maupu maupun n visual visual,, peremp perempuan uan selalu selalu ditemp dit empatk atkan an sebaga sebagaii objek. objek. Wajah Wajah peremp perempuan uan yang yang ditamp ditampilk ilkan an dalam dalam film film menu me nunj njuk ukka kan n do domi mina nann nnya ya su sudu dutt pa pand ndan ang g laki-l laki-lak aki. i. Hal Hal in inii menu menunj njuk ukka kan n dominasi laki-laki masih terjadi di segala sektor kehidupan. Cara pandang lakilaki dalam menokohkan perempuan dalam film telah membantu mempertahankan susunan masyarakat yang berpihak kepada salah satu gender (Arkeman, 1998: 7677 77). ). Pers Perspe pekt ktif if laki laki-la -laki ki tela telah h mera merasu suki ki be berb rbag agai ai aspek aspek ke kehi hidu dupa pan n ya yang ng memperlihatkan bias-bias dalam pola organisasi sosial (Firestone, 1972). Dalam Dal am kasuskasus-kas kasus us kekera kekerasan san terhad terhadap ap peremp perempuan uan (KTP) (KTP) peremp perempuan uan masi ma sih h dipo diposi sisik sikan an sebag sebagai ai con terjadinya kasus-kasus kasus-kasus condis disio io sine sine quanon quanon   bagi terjadinya  pidana, dalam arti bahwa perempuanlah yang menstimulasi terjadinya tindak   pidana tersebut. Von Buri (dalam Hamzah, 1991: 146) mengatakan bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat weggedacht   (d (dih ihil ilan angk gkan an)) da dari ri rangk rangkai aian an fa fakt ktor or-fa -fakt ktor or ya yang ng  bersangkutan harus dianggap causa causa   (sebab) akibat itu. Posisi “stimulatif” yang dilekatkan pada perempuan dapat ditelusuri dalam proses penanganan litigatif. Dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan atau lazim disebut kasus-kasus kesusilaan, perempuan sebagai korban akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan

11

 

yang menjurus pada suatu anggapan bahwa perempuan turut andil dalam kasus tersebut. Pertanyaan stereotipe seperti “pakaian kamu seperti apa?, mini ya?”, “mungkin senyummu atau jalanmu menggoda pelaku?”, dan pertanyaan sejenis menunjukkan bias yang mengakar dalam kehidupan sosial. Akibat sistem sosial yang mengikat perempuan di ranah privat dan domestik, perempuan menjadi tidak  memiliki wajah yang jelas dalam dunia pengadilan. Kaum perempuan bersifat invisible dalam invisible  dalam praktik hukum akibat teori-teori hukum dan peradilan yang tidak  mendefinisikan keberadaan perempuan. Jalur hukum secara ideal merupakan jalan yang memungkinkan hamba hukum memperoleh keadilan dalam suatu konflik sosial. Namun, berbagai fakta empiri emp iriss menunj menunjukk ukkan an kegaga kegagalan lan lembag lembagaa hukum hukum dalam dalam menang menangani ani berbag berbagai ai kasus yang menimpa kelompok perempuan dalam kasus-kasuskekerasan terhadap  perempuan (KTP) yang semakin meningkat intensitasnya dari waktu ke waktu. Mengapa penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) secara litigatif  dinila din ilaii tid tidak ak berhas berhasil? il? Bagaim Bagaimana ana ketida ketidakbe kberha rhasila silan n ini dapat dapat dipaha dipahami mi dan  bentuk-bentuk kebijakan apa yang mungkin dirumuskan untuk meningkatkan kinerja lembaga litigasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan adanya  permasalahan krusial yang dihadapi dalam penanganan kasus KTP di Indonesia. Secara kuantitatif, jumlah kasus yang ditangani yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan sangat terbatas,* gambaran ini mengindikasikan rendahnya tingkat tingk at kepercayaan kepercayaan masyarakat masyarakat terhadap terhadap lembaga lembaga hukum. hukum. Kecenderung Kecenderungan an ini  bertolak belakang dengan fakta empiris yang memperlihatkan cakupan kekerasan yang luas yang terjadi dalam berbagai bentuknya (Yuarsi, 2001). Secara kualitatif   penanganan kasus KTP dirasakan kurang memadai karena keputusan hukum cender cen derung ung tidak tidak sesuai sesuai dengan dengan tuntut tuntutan an pihak pihak korban korban.. Usaha Usaha korban korban untuk  untuk  mendap men dapat at keadil keadilan an seringk seringkali ali kandas kandas di tengah tengah jal jalan an karena karena korban korban terpak terpaksa sa menarik pengaduan atau akhirnya gagal mendapatkan keadilan akibat putusan hukuman yang dianggap terlalu ringan. Memperhatikan bias gender dalam tiga aspek litigatif dalam penanganan kasus KTP. Pertama, bias dalam teks hukum dalam menempatkan perempuan sebagai korban, laki-laki sebagai pelaku suatu tindakan yang merugikan pihak 

11

 

 perempuan. Kedua, bias dalam prosedur hukum yang ditempuh dan keseluruhan  proses litigatif yang terjadi dalam berbagai kasus. Hal ini menunjukkan  bagaimana aspek prosedural masih sarat dengan nilai-nilai patriarkis yang menyubordinasi perempuan. Ketiga, pada sikap para pelaku hukum yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan sebagai korban dan sebagai pihak yang tersubordinasi secara kultural. Mereka masih terperangkap dalam keyakinan lama dan tradisi tempat mereka menjadi bagian. Lembaga penanganan litigasi dalam hal ini belum belum berfun berfungsi gsi secara secara maksim maksimal al dalam dalam menyia menyiapka pkan n aparatn aparatnya ya untuk  untuk  menjad men jadii pelaku pelaku hukum hukum yang yang memenu memenuhi hi syarat syarat  fit   da dan  proper   untuk menjadi menjadi  pengayom masyarakat. Tabel 1 Frekuensi Tindak Kekerasan yang Dialami Perempuan

Lokasi Jenis Kekerasan

Desa 1 -2

3-4

>5

Kota N

1-2

3-4

>5

N

Seksual •

Ditatap penuh nafsu



Disenyumi nakal



Disiuli



Diajak berbicara cabul



Ditelepon seks

39,4   11,4   49,2 132   43,9

 

26   12,4   61,6 177  

Dicolek, dicubit



Diraba bagian tubuh



Dipaksa memegang  bagian  

53,1   21,9

25

100

• Diintip dengan maksud seksual   •

49,7   10,6   39,7 151   46,4   11,4   42,2

 

65,9  

9,8   24,4

 

76,9   15,4

8,8   30,4 102

60

24

16

25

41   85,1

6

9

67

8   34,4 125   67,6

57,6

9,4   46,8 139

27   12,9   60,1 233

64   60,8 2

166

9,5   22,9 179

7,7

26   80,6

6   13,4

67

57,1   14,3   28,6

7   88,2

0,0   11,8

17

tubuh pelaku

11

 



Dicuri cium/peluk 

64,7

8,8   26,5

34   82,4

Dipertontonkan alat kelamin  



92,9

7,1

0,0

14   76,6   12,4   10,9 137

Dipertontonkan foto/benda  porno  

72,7   18,2

9,1

22   76,1   11,9   11,9



Diserang untuk diperkosa

92,9

7,1

0,0

14 100



Diperkosa

100

0,0

0,0



 

 

7,8

9,8

51

67

0,0

0,0

9

0,0

100

1

44,9   19,9   35,2 196   59,7   11,2   29,1

196

1

0 ,0

 NonSeksual



Diremehkan, dicemooh, disindir,   dibentak 



Ditipu

 

71,6

8,6   19,8 116   79,1   14,2

6,8 148



Difitnah/dicemarkan nama baik

84,1

5,3   10,6 113   88,1

8,5 118



Diancam/dirampas





 

Dieksploitasi dalam    pekerjaan

Diabaikan hak/diskriminasi di

 

6,7

15   88,9

18,8   12,5   68,8

16   45,5

35,7   14,3

50

93,3

3,4

11,1

18

4,5

50

22

14   68,8

6,3

25

16

28

tempat kerja



Diabaikan haknya sebagai

72

8

20

25   64,3

7,1   28,6

0,0

0,0

0,0

0,0 100

0,0

0,0

1

Dianiaya secara fisik

100

0,0

0,0

2 100

0,0

0,0

5

Dipaksa menyerahkan menyerahkan  barang,  bara ng,

97,1

2,9

0,0

68 100

0,0

0,0

87

anggota masyarakat •

Diperdagangkan untuk  pekerjaan seks





ditodong, dirampok, dijambret,

11

 

dicopet Sumber: Yuarsi et al. (2001: 70).  N = Total responden yang mengalami mengalami kekerasan

11

 

Persoalan gender menjadi sangat signifikan dalam delik-delik kejahatan seksual dan sering sering menimb menimbulk ulkan an perdeb perdebatan atan di kalang kalangan an pemerh pemerhati ati masalah masalah-mas -masala alah h  perempuan. Sejalan dengan makin meningkatnya kesadaran di kalangan  perempuan terhadap hak-haknya, penetapan sanksi kejahatan kesusilaan dipandang belum memenuhi rasa keadilan kaum perempuan. Menurut Prasetyo da dan n Marzu Marzuki ki (199 (1997: 7: xii) xii),, de deli lik k ke kesu susil silaa aan n yang yang di diat atur ur da dala lam m KUHP KUHP masih masih mengesampingkan perlindungan hukum terhadap perempuan karena dalam kasus  penyerangan kehormatan/kesusilaan/kesopanan dapat diberi sanksi apabila dilakukan secara terbuka (di muka umum). Demikian halnya pasal-pasal yang  berkenaan dengan kejahatan seksual seperti pasal 285 sampai dengan pasal 288 dan pasal 296 dan 297 KUHP yang cenderung menyempitkan objektifikasi sosok   perempuan dan dilokalisasi sebatas se batas pada alat genitalnya. Kecenderungan ini dapat dilihat pada isi pasal pas al 285 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wani wa nita ta bers berset etub ubuh uh deng dengan an dia dia di luar luar pe perk rkaw awin inan an di dian anca cam m ka kare rena na melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Status hukum perempuan menjadi lebih sulit dengan adanya persyaratan keberadaan unsur-unsur hukum yang bersifat komulatif, ya yait itu: u: (1) (1) pe pela laku ku,, lela lelaki ki ya yang ng da dapa patt mela melaku kuka kan n pe perse rsetu tubu buha han; n; (2 (2)) ko korb rban an,,  perempuan yang bukan istrinya; (3) adanya kekerasan atau ancaman kekerasan; (4 (4)) terj terjad adii pers perset etub ubuh uhan an (S (Sur urya yani ni W. dan dan Wurd Wurdan ani, i, 19 1997 97:: 18 188) 8).. Ti Tida dak  k  terpenuhinya unsur-unsur hukum ini seringkali menyebabkan tidak maksimalnya hukuman yang dikenakan terhadap pelaku. Dalam kasus perkosaan, misalnya, titik   berat penanganan kasus perkosaan pada unsur keempat keempat (terjadi persetubuhan) juga dipandang dipan dang memberatka memberatkan n korban korban dan, sebaliknya, sebaliknya, memperingan memperingan pelaku. pelaku. Secara forensik medis, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu kejadian, dalam kejadian itu terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi (Suryani W. dan Wurdani, 1997: 189).

11

 

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Setiap Set iap tahunn tahunnya ya selalu selalu terjadi terjadi pening peningkat katan an kasus kasus kekeras kekerasan an terhada terhadap p  perempuan, hal ini dipengaruhi berbagai alasan alas an yaitu keterbatasan peran lembaga litigasi litig asi dalam penanganan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan bersumber bersumber pada sifatt lembag sifa lembagaa yang yang kurang kurang respon responsif sif terhada terhadap p perub perubaha ahan n ko konte nteks ks masyarak masyarakat at tempat berbagai masalah hukum terjadi. Pertama, keterbatasan itu tampak pada masih ada bias gender dalam undang-undang yang mengasumsikan perempuan sebagai pihak yang tidak pantas melanggar hukum. Oleh sebab itu, atribut kultural sepert sep ertii ib ibu u ruma rumah h tang tangga ga menj menjad adii aspek aspek ya yang ng memb member eratk atkan an bi bila la se seor oran ang g  perempuan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, atribut kultural laki-laki sebagai kepala kep ala rumah rumah tangga tangga diangg dianggap ap sebagai sebagai aspek aspek yang yang mering meringank ankan. an. Selain Selain itu, itu,  prinsip bahwa hukum adalah netral perlu ditinjau kembali pada delik-delik  ke kesu susi silaa laan n ka kare rena na ke kekh khasa asann nnya ya.. Deli Delik-d k-del elik ik terseb tersebut ut be bersi rsifat fat  gender based  violence   yang violence yang secara secara eksklu eksklusif sif menemp menempatk atkan an peremp perempuan uan pada pada po posisi sisi korban korban.. Dalam konteks ini, aspek sosio-psikologis dan biologis harus dipertimbangkan.

SARAN -

Agar Agar setiap setiap maha mahasisw siswaa menjad menjadii agen agen peruba perubahan han menu menuju ju Negar Negaraa yang yang

-

makmur, membela kaum perempuan dan mengaplikasikannya Agar Agar setiap setiap pene penegak gak hukum hukum berti bertinda ndak k adil adil dan dan berke berkeman manusi usiaan aan

-

Agar Agar setia setiap p pe pere remp mpua uan n meny menyad adari ari keber keberad adaa aany nyaa sebag sebagai ai manusia manusia yang yang  berhak menerima keadilan

11

 

DAFTAR PUSTAKA

BIAS GENDER GENDER DALAM  DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SECARA LITIGATIF, Irwan LITIGATIF, Irwan Abdullah, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dan Dyah Pitaloka*, 2017  3 Faktor Penyebab Angka Kekerasan pada Perempuan Terus Meningkat, 07 Maret 2018, IDN Time Hari Pe Hari Pere remp mpua uan n In Inte tern rnas asio iona nall 2018 2018:: Inse Inses, s, ke keke kera rasa san n du duni niaa maya maya,, da dan n  pembunuhan perempuan, perempuan, 8 Maret 2018, News Indonesia

11

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF