Kejang Non Epilepsi

April 15, 2019 | Author: Rosid | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Kejang Non Epilepsi...

Description

Kejang Non Epilepsi : Penyebab, Diagnosa banding dan Penatalaksanaan KEJANG NON EPILEPSI

I. Pendahuluan Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua bangkitan merupakan suatu tanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat juga dihasilkan dari kadar gula darah yang rendah, infeksi, demam, cedera kepala berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan merupakan epilepsi. Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan tersebut dapat juga disebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi (Davis, 2004). Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non epilepsi tidak disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).

Gambar patofisiologi patofisiologi kejang yang disebabkan oleh epilepsi dimana ada perbedaan dengan kejang yang disebabkan non epilepsi. Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak sedangkan Non epilepsi kejangnya Tidak disebabkan perubahan pada aktivitas otak 

Terminologi bangkitan atau seizure adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba, dan dalam waktu yang pendek dimana terjadi perubahan pada seorang yang dalam keadaan sadar dimanapun, dan dalam keadaan apapun berupa perilaku maupun perasaannya. Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskan kejadian epilepsi dan pada epilepsi didapatkan beberapa perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).

II. Penyebab bangkitan Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan kadar gula darah (hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada seseorang yang mengalami infark miokard akut. Pada seseorang mungkin juga didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejang epilepsi dan juga kejang non epilepsi (Henry, 2000). Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan berhentinya secara singkat dari mekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan aktivitas listrik di dalam sel-sel neuron. Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan epilepsi tergantung di mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari kejadian tersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun tingkah laku (Reuber et al., 2007). Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang memproduksi secara tiba-tiba lonjakan energi listrik yang menyebabkan terjadinya kerusakan fungsional sel-sel neuron. Bangkitan nerologik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel neuron. Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi (Engelborghs et al., 2000). III. Pembagian kejang non epilepsi Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu:  Bangkitan fisiologik



Bangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan fisiologik adalah adanya perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan darah atau terjadinya hipoglikemia.



Bangkitan psikogenik



Bangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian atau kematian orang yang dicintai. IV. Penyebab kejang non epilepsi

Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang berhubungan dengan tubuh), misalnya adalah pingsan yang sering disebut juga sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejang non epilepsi yang disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya pada serangan panik. Jika kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosisnya berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkin didiagnosis oleh karena adanya masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanya digunakan untuk menjelaskan kejadian bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik. Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan mengapa terjadi dan kapan mulainya kejadian kejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi mengatakan bahwa kejadiannya sangat cepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik, tetapi penderita lain melaporkan

bahwa kejadian kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga sangat sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun kecemasan. Tabel I menjelaskan penyebab yang paling sering didapatkan dari kejang non epilepsi yaitu:

Tabel I. Penyebab kejang non epilepsi 1. 2. 3. 4.

Penghentian konsumsi alkohol Penghentian konsumsi Benzodiazepine Massive sleep deprivation Penggunaan kokain

5. 6. 7. 8.

Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi, malingering) Cedera kepala akut (dalam satu minggu) Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma Uremia

9.

Eklampsia

10. 11. 12. 13.

Demam tinggi Hipoksemia Hiperglikemia atau hipoglikemia Gangguan elektrolit

 Apa yang terjadi pada seseorang selama kej adian kejang non epilepsi sangat bervariasi. Apa yang terjadi selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi pada kejadian kejang non epilepsi. Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami inkontinensia. Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda peringatan sebelumnya (Daoud, 2004). Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor psikologik (Reuber, 2005).  Serangan panik



Serangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik terhadap serangan tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar. Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan dapat terjadi lagi walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.



Cut off atau serangan menghindar 



Jenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun penderita tidak berada dalam situasi tertekan.

 

Respon terlambat terhadap stres berat

Serangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit

atau teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya. V. Diagnosis kejang non epilepsi Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang dokter membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya adalah riwayat penyakit neurologi yang mungkin dideritanya, perkembangan psikologik, dan juga situasi terbaru sehubungan dengan keluhan dari penderita. Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara kejang epilepsi dan kejang non epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip. Mencari keterangan tentang seperti apa bentuk bangkitannya, dan sudah berapa lama penderita mengalami serangan bangkitan, maka hal tersebut akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan tipe kejang yang terjadi. Tabel 2. Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada orang dewasa

Diagnosis banding

No

1

Sinkop Refleks sinkop (sinkop ortostatik, sinkom miksturasi) Sinkop kardiogenik (takhikardia, bradikardi, sindroma pemanjangan gelombang QT, abnormalitas struktur jantung, stenosis aorta, kardiomiopati, arterio-venous shunt) Gangguan perfusi (hipovolemik, gangguan otonom)

2

Kejang non epilepsi psikogenik  Kejang non epilepsi psikogenik  Serangan panik  Serangan hiperventilasi

3

Transient Ischemic Attack 

4

Migrain

5

 Narkolepsi / katapleksi

6

Parasomnia

7

Vertigo paroksismal

8

Hipoglikemia

Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan untuk dapat menegakkan bangkitan kejang non epeilepsi adalah:  Observasi



Penderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak ingat beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa minta penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada waktu penderita mendapatkan serangan bangkitan.



Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):



Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?



Seperti apakah serangan itu terjadi?



Berapa lama serangan itu berhenti?



Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan hingga di bawa ke rumah

sakit?



Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan setelah serangan

bangkitan?



Pemeriksaan darah



Pemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).



Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)



Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak. Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan EEG dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya. Sedangkan pada kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan EEG tidak memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias listrik di otak. Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah bangkitan yang terjadi merupakan kejang epilepsi atau bukan.



Telemetri Video



Pemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG, dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi bangkitan tersebut.



Pemeriksaan CT Scan kepala



Pemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan fisik di otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan. Walaupun demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama untuk mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan pencitraan lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala adalah pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). VI. Penatalaksanaan Kejang non Epilepsi Penanganan umum  Penatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas faktor  psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris.



Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan oleh faktor  psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu penyembuhannya.



Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.



Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.



Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris. Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsi  Konsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama adalah sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi. Prinsipnya adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka yang paling penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat kejangnya. Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan, atau cegah terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya maka yang terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga kejang berhenti.

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN EPILEPSI A. Definisi Epilepsi adalah gejala-gejala yang kompleks dari beberapa gangguan fungsi otak yang cirinya adalah serangan berulang. Bangkitan kejang merupakan satu menifestasi dari p ada muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Gangguan ini dapat di sebabkan faktor fisiologis, biokimia, anatomis atau gabungan ketiganya. B. Patofisiologi Gejala-gejala serangan epilepsi sebagian timbul sesudah otak mengalami gangguan, sedangkan beratnya serangan tergantung dari lokasi dan keadaan patologi. Bangkitan epilepsi yang terjadi karena adanya lepas muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neoron di susunan saraf pusat yang yang dapat tetap terlokalisir pada kelo mpok neuron tersebut atau meluas ke seluruh hemisfer dan batang otak. Lepas muatan listrik yang abnormal ini terjadi karena adanay gangguan keseimbangan antara proses eksistasi dan inhibisi pada interaksi neuron. Hal ini dapat di sebaban oleh ganggaun pada sel neuronnya sendiri maupun transmisi sinaptik. C. Etiologi Di tinjau dari penyebabnya epilepsi dapat di bagi menjadi 2: 1. Primer atau idiopatik ( hingga kini penyebnya belum di ketahui ) 2. Sekunder atau simtomatik berarti atau gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari adanay kelainan pada jaringan otak yang di sebab kan olah penyakit lain, misalnya: infeksi otak trauma kelahiran cacat konginetal tumor otak trauma kepala Faktor pencetus: 1. kurang tidur. 2. sterss emotinal 3. infeksi 4. alkolisme 5. perubahan hormonal 6. sters fisik 7. fotosintesis 8. minum obat tidak teratr tau di hentikan secara mendadak Fase dari aktivitas kejang: 1. Fase abnormal : meliputi perubahan alami perasaan atau tingkah laku yang akan mengawali kejang ( beberapa jam, hari ) 2. fase aura : awal dari munculnya aktivitas kejang berupa ganguan penglihatan, pendengaran tau rasa raba. 3. fase ikal : merupakan fase dari kativitas kejang, biasanaya disertai gangguan muskulo skeletal. 4. Fase posiktal : periode waktu dari kekacauan mental, somnolen, peka rangsangan sesudah kejang. D. Klasifikasi serangan epilepsi 1. Serangan parsial ( lebih dari 60 % adalah serangan parsial.

1.1 serangan parsial sederhana/ epilepsi jacksonian di sebut juga fokal, gejalanya: - gejalanya tergantung pada daerah yang terkena, bisa motorik, sensorik autonom atau kombinasi ketiganya. - kesaran tetap baik bila unilteral - kesaran terganggu bila bilateral. 1.2 Seranagn parsial kompleks Di sebut juga psikomotor epilapsi atau epilepsi lobulus temporalis, gejalanya: di dahului oleh aura, yang terdiri dari gejala-gejala kognitif, afektif , psikosensori, psikomotro tau bentuk kombinasi. 2. Serangan umum 2.1 Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anakanak, mungkin menghilang waktu remaja atau di ga nti dengan serangan tonik-klonik. 2.2 Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi oto t yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ad a kehilangan kesadaran selama serangan. 2.3 tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanay kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun. 2.4 Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa berfariasi l amanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain. 2.5 Tonik. Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. 2.6 Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. 3. Serangan unilateral 4. serangan epilepsi yang tidak dapat di gilongkan, kerana datanya tidak lengkap Status epileptikus  jika serangan terjadi begitu sering sehingga Px belum keluar dari serangan telah mendapat seranagn lain maka Px berada da lam status epileptikus, penderita dalam kondisi tidak sadar. Status epileptikus: serangan kejang-kejang yang berulang diantara serangan kejang penderita tetap sadar. E. Gambaran Klinis

 Kejang parsial dapat berkaitan dengan a. raut atau gerak wajah. b. Gerak menyentak yang di mulai d i slah satu bagaian tubuh yang kemudian dapat meluas.

c. Pengalmn sensorik berupa penglihtan, endengaran atau bau. d. Perasaan geli. e. Perubahan tingkat sedaran.

 Kejang generalisata dapt berkaitan dengan f. ketidak sadaran yang di sertai jatuhnya tubuh. g. Gerakan menyantak pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol. h. Periode apnu yang singkat. i. Pengeluaran air liur dn mulut berbusa.

 Pada semua jenis kejang, dapat timbul pr odorma. Prodorma adalah perasaan atau gejala tertentu yang mungkin mendahului kejang selama beberapa hari atau jam.

 Pada semua jenis kjang dapat timbul aura. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang. F. Macam-macam epilepsi pada anak. a. Granmal Adalah sejenis epilepsi ayang paling sering di jumpai pada anak. Menurut klasifikasi internasional grandmal primer di sebut sebagai generalized seizures, bilateral symmetriacal seizures witwouth local onset, type tonic clonic seizures. Pada jenis grandmal primer, Px tidak ingat atau tidak atahu adanaya seranagan sejak semula. Sejak permulaan dengan Px telah kehilangan kesadaran. Pada kea daan yang khas, seranagan mulai dari kejang tonik yang kemudian di susul oleh kejang klonik. Pada fase kejang tonik badan Px menjadi kaku dalam sikap opistonus. Bila ia sedang berdiri pada serangan ia akan terjatuh seperti benda mati. Lengan dalam k eadaan sikap fliksi atau ekstensi, biasanaya dalam sikap fleksi. Tungkai dalam sikap ekstensi. Bila kejang tonik ini kuat udara di keluarkan dengan kuat dari paru melalui pita sura sehingga terdengar bunyi ynag di sebut jerit e pilepsi. Fase tonik ini biasanya berlangsung 20-60 detik kemudian di susul fase klonik. Selama fase kloni k Px mengalami sianosis karena pernapasan terhenti dan terdapat juga kongesti vena. Pada vase klonik terjadi kejang umum yang melibatkan semua anggota gerak dan otot pernapasan serta otot rahang. Terjadilah gerak pernapasan stertorus dan k eluar busa dari mulu. Lidah dapat tergigit saat kejang ini. Epilepsi jenis grandmal dapat berup primer dan sekunder. Sekender berarti sebelumnya Px menderita jenis epilepsi lain. Bentuk grandmal merupakan serangan yang berat. b. Petit mal Petit mal disebut juga sebagai kejang murni. Bangkitan berlangsung singkat hanya beberapa detik. Pada serangan epilepsi jenis petit mal yang terlihat sebagai berikut: 1. Px tiba-tba berhenti melakukan apa yang sedang ia kerjakan 2. Ia memandang kosong, melongo. Pada saat ini tidak bereaksi bila dia ajak bicara. Setelah beberapa detik ia sadar dan meneruskan kembali apa yang ia lakukan sebelum terjadi serangan.

Home » Penyakit & Kondisi » Gejala & Penyebab Penyakit Epilepsi

Gejala & Penyebab Penyakit Epilepsi Posted By Ristin SetiyaniFiled Under Penyakit & Kondisi

Penyakit Epilepsi adalah Penyakit Saraf Menahun Penyakit epilepsi berasal dari bahasa Yunani disebut sebagai Epilepsia yang berarti „serangan‟ merupakan penyakit saraf menahun dan bisa mengakibatkan seseorang yang menderita penyakit epilepsi ini terserang secara mendadak dan ditandai dengan kejang-kejang dua kali atau lebih tanpa ada alasan yang menyertainya. Dalam bahasa Indonesia, penyakit epilepsi disebut juga sebagai penyakit ayan Soal penyebab penyakit epilepsi memang belum diketahui secara jelas .Penyakit epilepsi / ayan memang bisa terjadi karena faktor genetika namun bukanlah penyakit keturunan. Selain itu, kerusakan otak ketika proses kelahiran, stroke, luka kepala, tumor otak dan pengaruh alkohol merupakan penyebab penyakit epilepsi. Otak memiliki jutaan sel syaraf yang disebut sebagai neuron yang berfungsi sebagai koordinator  di dalam tubuh agar kita bisa beraktivitas yang mencakup melihat, berpikir, bergerak dan bahkan perasaan kita. Namun, pada penderita penyakit epilepsi, karena beberapa penyebab epilepsi yang telah disebutkan tadi – syaraf-syaraf tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Penyebab Epilepsi Berikut rangkuman beberapa faktor penyebab epilepsi yang mendasari seseorang menderita penyakit ini: 

Adanya perubahan zat kimia dalam otak kita.



Faktor genetika namun bukan faktor keturunan.



Pernah mengalami cedera atau luka di bagian kepala sehingga menyebabkan trauma otak.



Pernah mengalami gangguan fisik atau mental.



Pada proses kelahiran, terjadi luka pada kehamilan.



Bisa juga karena faktor lingkungan.

Tanda-tand a & Gejala Epilepsi  Berikut beberapa akibat yang terjadi jika seseorang menderita epilepsi yang ditandai dengan gejala berikut ini: 1.

Risiko yang paling umum terjadi adalah terjatuh ketika berdiri karena kejang. Hal ini bisa menyebabkan risiko yang lebih parah lagi akibat luka di kepala dan patah tulang.

2.

Ketika mengendarai kendaraan, seseorang yang menderita epilepsi bisa tiba-tiba kejang dan mengakibatkan kecelakaan.

3.

Tenggelam pada saat berenang karena kejang ketika berenang atau menyelam.

4.

Terjadi komplikasi pada saat kehamilan dan melahirkan. Pada saat kehamilan atau kelahiran, bisa saja sang ibu mengalami kejang dan ini berbahaya bagi bayi. Sementara perlu diakui pemberian obat bagi penderita epilepsi bisa meningkatkan resiko cacat janin.

Diagnosis & Pengobatan Penyakit Epilepsi

Untuk melakukan diagonosis terhadap penderita penyakit epilepsi bisa menggunakan alat medis berikut: 1.

MRI atau Magnetic resonance imaging digunakan untuk mendapatkan gambaran dalam tubuh atau otak tanpa menggunakan sinar-X melainka kekuatan magnet yang sangat kuat.

2.

EEG atau electroencephalography yang digunakan untuk memeriksa gelombang otak dengan mendeteksi apakah ada perubahan muatan dari sel neuron secara tiba-tiba.

Sementara untuk pengobatan penyakit epilepsi terdapat 4 jenis pengobatan yakni: yang paling umum adalah pemberian obat anti-epilepsi, kemudian operasi (eksisi fokus epileptikus), terapi untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab penyakit epilepsi dan regulasi aktivitas fisik dan mental dengan tidak stres dan terlalu lelah. Untuk obat-obatan anti-epilepsi sejauh ini memang bisa mengendalikan kadar terjadinya kejang pada penderita penyakit epilepsi. Namun penggunaan obat anti-epilepsi tersebut haruslah sesuai saran dokter. Maka dari itu, mereka yang terserang epilepsi harus berkonsultasi dengan dokter. Sebagai catatan, ketika memang sudah disarankan untuk mengonsumsi obat anti-epilepsi maka tidak boleh sembarangan menghentikannya karena malah dapat menyebabkan peningkatan penyakit epilepsi.

I. PENGERTIAN a). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. b). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252) II. ETIOLOGI Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu : 1. Obat – obatan racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan 2. Ketidak seimbangan kimiawi hiperkalemia. Hipoglikemia dan asidosis 3. Demam paling sering terjadi pada anak balita 4. Patologis otak akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik 5. Eklampsia hipertensi prenatal, toksemia gravidarum 6. Idiopatik penyebab tidak diketahui III. PATOFISIOLOGI IV. MANIFESTASI KLINIK  Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu : 1. Kejang demam sementara · Umur antara 6 bulan – 4 tahun · Lama kejang 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.

 EEG (electroencephalogram) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

 Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

 Neuroimaging Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

F. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obatobatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. G. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Konsep Keperawatan A. Pengkajian Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kej ang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan : - Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan. - Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau l ena. - Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. - Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. - Apakah pasien menggigit lidah. - Apakah mulut berbuih. - Apakah ada inkontinen urin. - Apakah bibir atau muka berubah warna. - Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. - Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. 2. Sesudah serangan - Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara - Apakah ada perubahan dalam gerakan. - Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. - Apakah terjadi perubahan tin gkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. - Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang. 3. Riwayat sebelum serangan - Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi. - Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar. - Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual. 4. Riwayat Penyakit - Sejak kapan serangan terjadi. - Pada usia berapa serangan pertama. - Frekuensi serangan. - Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. - Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. - Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak - Apakah makan obat-obat tertentu - Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

B. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. 2. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas tidak efektif. 3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan in terpretasi informasi. 4. Gangguan harga diri berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol

Idiopatik (bahasa Yunani: ἴδιος, idios, sendiri)+(bahasa Yunani: πάθος, pathos, derita) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi medis yang belum dapat terungkap jelas penyebabnya.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF