Kehamilan Ektopik

July 20, 2016 | Author: Dian Riani | Category: Types, Presentations
Share Embed Donate


Short Description

ni data opo aye sok dii dunlut...

Description

I. PENDAHULUAN Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan. Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat. Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang ditemukan. Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir.

Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik

adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis.

II. PATOFISIOLOGI ENDOKRIN Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida.

Membran

glikoprotein yang tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii. Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba, seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba.

Salpingitis dapat memperburuk mekanisme

transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba. Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat menyebabkan aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba fallopii, mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi.

Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba terhadap

hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik pada struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia. Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan bahwa hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4 diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum tertahan di

ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus.

Pengaruh P4 menjadi

berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis

ditingkatkan melalui

menuju ke dalam kavum uteri,

dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi. Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan proses E2-dependent

yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan

menggunakan transmisi mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa siliogenesis mengambil tempat selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur hanya tampak pada pertengahan siklus.

Bersama-sama Desiliasi dan atrofi,

peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20% dari sel-sel mengalami kehilangan

silianya.

Selama

memperlihatkan regenerasi silial.

fase

folikuler

berikutnya,

sel-sel

ini

Verhage dkk. menyimpulkan bahwa

siliogenesis adalah satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah. Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi selama keseluruhan stadium siklus menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel silia. Selama fase luteal, meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase penyembuhan (recovery) memerlukan P4 withdrawal. Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama fase luteal. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan isthmus dan tergantung pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi. Perubahan dari lingkungan hormonal yang didominasi E2 ke lingkungan yang di dominasi

P4

secara

temporer

membawa

kepada

perubahan-perubahan

ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi denyut silia dalam hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama terhadap efek antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi silia. Tidaklah mengherankan, bahwa perubahan utama dari kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin eksogen dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba falopii terhadap

implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi tubal anionik, yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya dengan kualitas implantation-resisting lainnya., tidak ditemukan dari tuba. Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih belum jelas.

Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan.

Kemungkinan, kadar yang meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena itu melemahkan transpor ovum. Laufer dkk., meskipun, telah menyimpulkan konsentrasi lokal yang tinggi dari P4 merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi. Peneliti ini mempelajari produksi steroid oleh sel-sel korona kumulus, yang masih melekat pada oosit yang dibuahi selama 2 sampai 3 hari setelah ovulasi selama perjalanannya di tuba. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui pergantian dalam motilitas tuba. Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang cukup untuk mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi P4, dua akibat mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada menstruasi dan peningkatan kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan embrio ke ujung fimbria.

Apakah kehamilan ektopik akan tetap in situ,

meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa kepada keadaan localized myosalpingeal quiescence.

Pertumbuhan lebih lanjut dari kehamilan akan

menyebabkan ruptur tuba. III. DIAGNOSIS A. Diagnosis Klinik Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi

bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada.

Pada

usia

kehamilan

12

minggu,

kehamilan

ektopik

telah

memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik. Frekuensi dari kehamilan ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang.

Cara

yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri.

Cara yang terbaik untuk

mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan ultrasonografi.

Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan

intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik. Karena perbedaan ini, logikanya untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur pembedahan pada wanita yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel. B. Petanda Trofoblastik Berdasarkan totipotensial alami dari trofoblas, tidaklah mengherankan bahwa jaringan ini mensekresikan sejumlah subtansi yang bervariasi, termasuk beberapa protein yang kelihatannya unik bagi kehamilan.

Tiga macam

protein telah diteliti secara luas sebagai petanda yang potensial dari kehamilan yang viabel. Ketiga macam protein ini dapat digunakan dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik.

1. Human Chorionik Gonadotropin Human Chorionik Gonadotropin (hCG) memiliki berat molekul 36.000 sampai

46.000, adalah satu glikoprotein yang secara biologi dan

imunologi mirip dengan luteinizing hormone (LH). Waktu paruh hCG kelihatannya lebih besar daripada LH (5 - 40 jam dibandingkan 1- 2 jam).

Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa penting

untuk membedakan struktur molekul yang ada antara kedua substansi ini dengan aksi biologis yang serupa. Sebagai contoh, Kadar asam sialat dari hCG adalah lebih besar daripada LH. Lebih jauh, 28- 30 asam amino terminal pada ujung karboksi dari subunit β glikoprotein mewakili deretan yang unik yang membedakan molekul ini dari LH.

Semua

hormon glikoprotein, hCG, LH, FSH, TSH, membagi dengan dekat subunit α identik, yang secara esensial dapat dipertukarkan. subunit α ini dapat direkombinasikan dengan setiap empat subunit β yang berbeda untuk membentuk satu produk yang memiliki ciri aktivitas biologik komponen subunit β.

hCG diproduksi oleh sinsitiotrofoblas selama

kehamilan, juga dibuat oleh jaringan trofoblastik jenis lain, termasuk yang berasal dari chorioadenoma destruens, choriocarcinoma, dan mola hidatidosa. Produksi ektopik dari hCG telah dicatat dengan baik dan telah diidentifikasi dalam plasma orang dewasa normal yang tidak hamil. HCG tampaknya berfungsi sebagai satu hormon luteotrofik selama kehamilan.

Hormon ini mempertahankan korpus luteum, karena itu

menghasilkan produksi P4 yang berkelanjutan yang diperlukan untuk pertumbuhan endometrium sampai plasenta mengambil alih perannya. Sebagai tambahan, data yang didapat Jaffe mengatakan bahwa hCG dapat maengatur produksi steroid dalam fetus, termasuk produksi dehidroepiandrosteron sulfat (DHA-S) oleh kelenjar adrenal fetus dan produksi testosteron oleh testis. HCG dapat dideteksi dalam kehamilan spontan setelah hari ke-9 LH surge. Deteksi awal dalam darah ibu telah ditemukan memiliki korelasi dengan implantasi blastokis dan secara spesifik dengan saat lakuna menerima aliran darah ibu.

Pada kehamilan awal, hCG kelihatannya disekresikan dalam bentuk episodik dan pulsatil, yang paralel dengan sekresi progesteron. Fluktuasi ini telah diperlihatkan pada penentuan dari kedua kadar serum hCG secara imunoaktif dan bioaktif.

Dengan demikian pola sekresi

menyarankan adanya stimulasi yang intermiten terhadap corpus luteum oleh hCG dan adalah dalam kesepakatan dengan efek stimuilasi yang telah diketahui dari pelepasan gonadotropin secara pulsatil atas sekresi steroid ovarium.

Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah

diasumsikan konstan dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan yang telah dilaporkan bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh, Lenton dkk. Telah menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari berhubungan dengan dobling time yang diketahui dari massa sel trofoblastik. Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai variabilitas.

Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari

peningkatan konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama minggu-minggu pertama postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada kenyataannya, dobling time dari deteksi awal hCG sampai kira-kira hari ke-35 setelah onset periode menstruasi terakhir yang diobservasi adalah 1,4 – 1,6 hari. 2. Human placental lactogen (hPL) Human placental lactogen (hPL) merupakan polopeptid rantai tunggal dari asam amino 190 dengan dua jembatan disulfid. Protein ini 96% homolog dengan hormon pertumbuhan.

HPL juga dikenal sebagai

human chorionic somatotropin (hCS). Selain bermakna secara struktural homologi , hPL memiliki aktivitas somatotrofik hormon pertumbuhan kurang dari 3%. Pada penelitian terhadap binatang, telah ditemukan untuk menampilkan 50% dari aktivitas laktogenik dari prolaktin (PRL). HPL disintesis oleh lapisan sinsitiotrofoblas dari plasenta. Tidak hanya dapat dideteksi dalam urin dan serum pada kehamilan normal atau mola, tetapi juga telah dapat ditemukan pada urin pasien dengan tumor trofoblastik dan pada laki-laki dengan choriocarcinoma pada testis. HPL

memiliki waktu paruh 14 – 29 menit. Kadar protein ini dalam sirkulasi telah dihubungkan dengan berat janin dan berat plasenta, kadar yang beredar dalam darah meningkat 10 kali atau lebih besar dari trimester pertama ke trimeser ketiga. Tidak ada variasi circadian. Selam 4 minggu terakhir kehamilan, kadar hPL mendatar. HPL dengan cepat menjadi tidak terdeteksi dalam serum dan urin setelah lahirnya plasenta atau evakuasi uterus. Kaplan dkk. Telah mempelajari hPL secara luas dan mengajukan bahwa efek metabolik yang utama selama kehamilan adalah menambah kebutuhan nutrisi janin. selama

keadaan

Sebagaimana menurunnya suplai glukose

kelaparan,

menstimulasi proses lipolisis.

kadar

hPL

meningkat,

yang

akan

Satu alternatif dari sumber energi ini

disiapkan untuk ibu dengan cara meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah.

Konsekuensinya, glukose dan asam amino dapat

diantarkan bagi janin.

Selama keadaan kenyang dan dalam respon

terhadap peningkatan kadar glukose, sekresi insulin meningkat dan sekresi hPL menurun, membawa kepada penggunaan glukose dan proses lipogenesis. Karena peningkataan kebutuhan substrat dari janin sebagai suatu perkembangan kehamilan, peran fungsional hPL diperkirakan lebih bermakna dalam trimester kedua dan ketiga Baik radioimunoassay (RIA) dan tes inhibisi hemaglutinasi telah berkembang untuk mengukur jumlah hPL. 3. Glikoprotein β1 kehamilan spesifik Hormon ini memiliki waktu paruh 21 – 60 jam, mewakili protein khusus lainnya yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas. Protein ini memiliki berat molekul 90.000 dan memiliki kandungan karbohidrat sebesar 29,3%.

Segera setelah implantasi blastokis, hormon PSBG muncul

dalam sirkulasi maternal dan memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan kadar hCG dan hPL sepanjang trimester kedua dan ketiga (gbr. 25-2). Selama trimester kedua dan ketiga pola hPL dan sekresi PSBG berlanjut secara paralel sesuai dengan pertumbuhan massa trofoblastik.

Secara fungsional PSBG telah dapat diuraikan.

Tes inhibisi

hemaglutinasi dan RIA dapat digunakan untuk mengukur protein ini. Dengan jelas ketiga protein yang digambarkan sebelumnya memenuhi syarat sebagai petanda trofoblastik dan karena itu dapat digunakan sebagai tambahan dalam mendiagnosis kehamilan.

Pada

kenyataannya, pemeriksaan hCG secara kualitatif dan kuantitatif menjadi dasar pemeriksaan kehamilan yang diakui saat ini. Penegakan diagnosis kehamilan merupakan hal yang penting dalam membedakan antara satu kehamilan ektopik dengan penyebab lain dari nyeri akut abdomen bawah. Penundaan yang didasarkan atas gejala klinik saja merupakan hal yang umumnya terjadi, dan morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan dengan keterlambatan waktu antara munculnya gejala dan penegakan diagnosis.

Perkembangan sistem RIA yang sensitif dan cepat secara

klinis berguna dalam penatalaksanaan terhadap masalah ancaman kehidupan yang potensial.

Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa

lebih dari 90% wanita dengan kehamilan ektopik akan menghasilkan hCG dalam darah mereka ketika diukur dengan RIA β-subunit. Dua kelompok peneliti mengukur PSBG dengan RIA pada populasi penderita yang sama dan menemukan akurasi dalam tingkat yang sama. Braunstein dan Asch membandingkan nilai prediksi serum hCG, PSBG dan hPL

yang diukur dengan menggunakan RIA dalam

mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Para peneliti memperlihatkan bahwa secara kuantitatif konsentrasi serum β-hCG maternal yang rendah lebih sensitif dalam deteksi keehamilan ektopik dibandingkan dengan konsentrasi PSBG yang rendah (gbr 25.3).

Sebagai tambahan,

pengukuran PSBG tidak membuktikan lebih berguna atau lebih benilai efektif dariapada pemeriksaan β-hCG.

Satu penelitian awal telah

memperlihatkan bahwa sensitivitas pada pemeriksaan hPL tidak cukup untuk mendeteksi jumlah hormon ini dalam serum ibu sebelum periode missed pertama.

Tidaklah mengejutkan, Braunstein dan Asch

menemukan bahwa pengukuran hPL tidak berguna dalam mendiagnosis

banding suatu kehamilan ektopik, sejak konsentrasi yang tidak dapat dideteksi memberikan sedikit informasi selama awal kehamilan. Secara ringkas, pengukuran β-hCG serum atau urin dengan RIA memberikan konfirmasi yang sensitif dan spesifik dalam mengeluarkan suatu diagnosis kehamilan ektopik. III. Pemeriksaan gonadotropin dalam mendiagnosis kehamilan ektopik Penggunaan pemeriksaan hormon dalam kehamilan dimulai lebih dari 50 tahun yang lalu dengan melakukan pendeteksian terhadap hCG urin wanita hamil. Jadi, pemeriksaan ini menjadi memungkinkan untuk menentukan viabilitas dari ancaman terhadap kehamilan melalui kadar gonadotropin yang rendah atau adanya penurunan kadar secara serial jauh sebelum fungsi plasenta berhenti dan sebelum terjadi perdarahan uterus. kehamilan

Perkembangan berikutnya dalam tes

telah difokuskan pada perbaikan dalam sensitivitas, spesifisitas,

kecepatan, dan simplisitas pemeriksaan, dan juga dalam hal pengurangan biaya pemeriksaan.

Sejak kehamilan ektopik bertanggungjawab terhadap 11%

kematian maternal di Amerika Serikat, tes diagnostik yang akurat dan cepat akan memberikan keuntungan yang bermakna bagi para dokter dan pasien. Sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan daripada kehamilan normal karena jaringan trofoblastik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Sebagai tambahan, karena kesamaan struktural antara LH dan hCG, sistem pemeriksaan dengan spesifisitas maksimum menjadi sangat penting dalam keadaan yang secara potensial mengancam kehidupan ini. Teknik Tes kehamilan yang telah berkembang dapat dibagi atas 5 kategori: 1.

bioassay, yang menggunakan hewan intak, 2. metoda imunologi, yang

menggunakan hemaglutinasi atau latex aglutinasi, 3. RIA, yang memerlukan radiolabeled hormone dan antiserum, 4. radioreceptor assay (RRA), yang memerlukan petanda hormon dengan aktivitas biologi dan reseptor spesifik, dan 5. enzyme linked immunoabsorbant assay (ELISA), yang menggunakan petanda hormon dan antiserum. Perbaikan dalam deteklsi hCG telah memungkinkan dengan melakukan purifikasi hormon ibu dan penguraian dari subunit αnonspesifik dan hormon subunit β spesifik. Hormon glikoprotein manusia (LH,

FSH, TSH, hCG) disusun dari dua subunit yang berbeda dan rantai yang nonkovalen. Subunit α disusun diantara hormon-hormon ini, tetapi komposisi asam amino subunit β berbeda secara bermakna. Informasi ini dibawa oleh subunit-β

yang

menunjukkan

aktivitas

hormonal

yang

spesifik

yang

diekspresikan dalam hubungan dengan Subunit- α. A. Bioassay pada binatang intak Generasi pertama dari tes kehamilan diuraikan pada tahun 1927 oleh Ascheim dan Zondek pada tikus, diikuti oleh Friedman pada kelinci dan kemudian oleh Frank dan Berman, dan oleh Kupperman dkk pada tikus. Bioassay ini dilakukan dengan cara menyuntikkan urin atau serum ke dalam tubuh binatang intak. Titik akhir dari pemeriksaaan ini adalah hipertrofi ovarium, hiperemis, dan perdarahan. Sistem ini memerlukan binatang dalam jumlah yang banyak, purifikasi parsial dari sampel, dan waktu penampilan dari beberapa hari sebelum hasil yang didapat memuaskan.

Sebagai

tambahan, penyakit yang tidak diketahui atau infeksi pada binatang tersebut dapat mempengaruhi akurasi dari tes-tes tersebut.

Galli-Mainini

mempersingkat dari waktu pemeriksaan dengan mengembangkan suatu bioassay yang menggunakan katak jantan. Penyuntikan serum atau urin yang mengandung hCG menyebabkan keluarnya sperma pada kloaka binatang dalam 1 sampai 5 jam.

Biaya yang diperlukan dalam mempertahankan

suplai bintang yang diperlukan membuat metode ini menjadi tidak praktis. Secara umum, pemeriksaan bioassay in vivo ini relatif tidak tidak spesifik, tidak sensitif, memerlukan banyak biaya, dan waktu.

Konsekuensinya,

sistem ini tidak digunakan dalam seri penentuan dari viabilitas trofoblastik. B. Metode imunologi Karena hCG merupakan hormon protein, maka hormon ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan respon antibodi spesifik ketika disuntikkan kedalam tubuh binatang. Proses purifikasi yang cukup terhadap molekul hCG telah dicapai pada tahun 1060 sehingga satu serum anti hCG yang poten dapat dapat saja meningkat pada kelinci. Pada awal tahun 1970-an generasi kedua dari tes kehamilan dipersiapkan oleh penelitian yang dilakukan Wide dan Gemzel dan Brody dan Carlstrom. Para penulis ini, bekerja secara

independen, mengembangkan tes hemaglutinasi dan aglutinasi lateks berdasarkan adanya pengikatan hCG ke sel-sel darah merah dan partikelpartikel lateks.

Sensitivitas dari sistem-sistem ini berhubungan dengan

bioassay dan menghasilkan keuntungan dengan performans yang sama, satu derajat reprodusibilitas yang tinggi, dan biaya yang rendah dan waktu yang singkat. Pemeriksaan imunologi were hindered, meskipun melaui adanya kesamaan struktur antara LH dan hCG. Sebagai konsekuensinya, sensitivitas tes ini menjadi rendah untuk menghindari positif palsu dalam identifikasi LH.

Baik tes-tes kehamilan biologi dan imuniologi menghasilkan

sensitivitas yang mencapai 500 – 1000 mIU/mL, dan kehamilan dapat dideteksi dengan akurasi sampai 95% pada 6 minggu setelah periode menstruasi terakhir (gbr 25-4). Sayangnya, sejumlah besar dari kehamilan normal awal (kurang dari 6 minggu), ancaman keguguran dan missed abortion, tumor-tumor trofoblastik, dan paling sedikit 50% dari kehamilan ektopik, kadar hCG-nya kurang dari 500 mIU/mL, tidak akan dapat dideteksi. C. Radioimmunoassay Dengan berkembangnya teknik RIA pada tahun 1968 dan kemampuan pemurnian yang tinggi dengan menggunakan radioisotop, pemeriksan yang lebih sensitif dapat dilakukan (ambang batas: 10 – 20 mIU/ml hCG). Peningkatan kadar hCG kira-kira dapat diukur sejak 12 hari setelah ovulasi dan mencapai puncaknya antara hari ke-45 dan ke-70. Sekali lagi, RIA menghasilkan nilai yang menjadi gambaran dari LH dan hCG sebagai akibat dari reaksi silang antara kedua glikoprotein ini. Generasi ketiga dari tes kehamilan diperkenalkan oleh Vaitukaitis dkk pada tahun 1972. Mereka melaporkan satu subunit β-hCG RIA yang memungkinkan pengukuran terpisah dari hCG dalam keberadaan LH. Hasil positif palsu encountered pada awal sistem pemeriksaan karena kesamaan struktur antara LH dan hCG dapat dihindarkan melalui pemanfaatan subunit β-hCG RIA.

Perlu

diperhatikan bahwa meskipun sebagian besar antibodi yang meningkat untuk melawan subunit β-hCG tetap dapat dideteksi hormon yang utuh, yang biasanya merupakan bentuk imunoreaktif utama yang mengalir dalam darah.

Sensitivitas dari sistem ini cukup baik untuk membedakan hCG dari kadar LH pada fase folikuler dan fase luteal (ambang batas; < 5 mIU/mL hCG). Kehamilan ektopik atau kehamilan intrauteri dapat dideteksi pada sekitar usia kehamilan 8 – 10 minggu. Bagaimanapun

juga, untuk waktu

pemeriksaan yang cepat dan uintuk pemeriksaan serial, teknik ini tidak begitu praktis, sejak diperlukannya waktu inkubasi selama 36 jam. Untuk mengatasi masalah waktu inkubasi yang lama, sejumlah modifikasi diajukan. Pada awalnya, usaha untuk mengurangi waktu sering disertai dengan pengurangan sensitivitas, spesifisitas, dan reprodusibilitas. Beberapa sistem β-hCG RIA yang baru-baru ini dapat digunakan, menggabungkan derajat sensitivitas yang tinggi dengan performans yang cepat. Tes kualitatif RIA pada urin atau serum dapat membantu para dokter dengan hasil pemeriksaan yang didapat dalam 30 menit, dengan insidens negatif palsu kurang dari 2% (ambang batas: 20 – 50 mIU/mL). Sistem kuatitatif memerlukan waktu yang lebih banyak karena masa inkubasi memanjang tetapi dapat dicapai sensitivitas hingga 100% (ambang batas:
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF