Kasus Chf Hipoalbuminemia - Dr. Nupri

April 30, 2019 | Author: dyasiwi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Jantung...

Description

LAPORAN KASUS CONGESTIVE HEART FAILURE

Pendamping : dr. Nupriyanto Sp.JP (FIHA)

Disusun Oleh : dr. Dyanasti Prasanti Siwi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA ANGKATAN PERTAMA PERIODE FEBRUARI 2017 RS BHAYANGKARA MOESTADJAB NGANJUK

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................ i Daftar Isi ......................................................................................... ii Daftar Tabel .................................................................................... iii Daftar Gambar ................................................................................ iv BAB I. KASUS I.

Identitas .......................... ............. .......................... .......................... .......................... ...................... ......... 1

II.

Anamnesis .......................... ............. .......................... ........................... .......................... ................. ..... 1

III.

Pemeriksaan fisik .......................... ............. .......................... ........................... .................... ...... 3

IV.

Pemeriksaan Penunjang .......................... ............. .......................... ...................... ......... 4

V.

Follow Up........................ Up........... .......................... .......................... .......................... ...................... ......... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA I.

Anatomi dan Fisiologi Jantung........................................ Jantung........................................ 11

II.

Gagal Jantung ......................... ............ .......................... .......................... .......................... ............. 15 II.1 Epidemiologi ............................................................. 15 II. 2 Definisi ..................................................................... 16 II. 3 EtiologI ......................... ............ .......................... ........................... .......................... ................. ..... 18 II. 4 Patofisiologi ............................................................. 19 II. 5 Diagnosis .......................... ............. .......................... .......................... .......................... ............. 21 II. 6 Tatalaksana Non-Farmakologi Non -Farmakologi dan Farmakologi ..... 29

BAB III. PEMBAHASAN .................................................................. 33 DAFTAR PUSTAKA .......................... ............. .......................... .......................... .......................... .................... ....... 39

2

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Estimasi Penderita Penyakit Gagal Jantung pada Umur ≥ 15 tahun menurut Provinsi tahun 2013 ............... 2013 ..................... ...... 15 Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung .......................... ............. ........................ ........... 16 Tabel 3. Manifestasi Klinis Gagal Jantung ......................... ............ .......................... ............. 17 Tabel 4. Klasifikasi Gagal Jantung ................................................. 18 Tabel 5.Abnormalitas EKG pada pada Gagal Jantung ......................... ............ ............... .. 23 Tabel 6. Abnormalitas Foto Thorak pada Gagal Jantung ............... ......... ...... 24 Tabel 7. Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium pada Gagal Jantung ....................................................................... 25 Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering sering dijumpai Pada gagal jantung ......................... ............ .......................... .......................... .......................... ...................... ......... 28 Tabel 9. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik ....................... ............ ........... 31 Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Gagal Jantung ......................... ............ .......................... .......................... ...................... ......... 31

3

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Letak dan anatomi Jantung bagian dalam .................... .............. ...... 12 Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai Gagal Jantung ................................................................................ 22 Gambar 3. Strategi Pengobatan pada Pasien Gagal Jantung Kronik Simptomatik ................................................ 32

4

BAB I KASUS

I. IDENTITAS Nama

: Tn. ABW

Usia

: 43 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

 Alamat

: RT 01/01 Sonobekel, Tanjunganom, Nganjuk

Suku Bangsa/Agama

: Jawa / Islam

Pekerjaan

: Pedagang

No. Rekam Medis

: 09.16.58

Tanggal Masuk

: 06 Juli 2017

Jam Masuk

: 09.15 WIB

II. ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 6 Juli 2017 di Instalasi

Gawat

Darurat

RS

Bhayangkara

Moestadjab

Nganjuk

dan

alloanamnesis kepada istri pasien pada tanggal 11 Juli 2017 di Ruangan Flamboyan RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk. a. Keluhan Utama : Sesak napas

b. Riwayat Penyakit Sekarang : HMRS: Pasien masuk ke IGD RS Bhayangkara Nganjuk dengan keluhan sesak napas. Pasien mengeluhkan sesak napas terutama saat beraktifitas berat. Sesak napas menghilang saat beristirahat. Pasien merasa kedua kaki bengkak terutama saat berdiri dan sedikit berkurang jika diposisikan lebih tinggi dibandingkan dada saat tidur. Nyeri dada dan dada berdebar disangkal. 1 Hari SMRS: Pasien mengaku pergi ke salah satu rumah sakit swasta di Nganjuk akan tetapi disarankan untuk ke poli Jantung RS Bhayangkara. Di

5

Poli Jantung, pasien disarankan untuk rawat inap oleh dr. Nupri, Sp.JP dengan diagnosa CHF dan hipertensi grade II. 3 minggu SMRS: Pasien sering terbangun saat tengah malam karena sesak napas. Pasien mengaku lebih nyaman menggunakan 2 bantal atau lebih untuk tidur. Pasien mulai mengeluhkan bengkak pada kedua kaki. Keluhan ini muncul terutama jika pasien beraktifitas berat dan sudah berlangsung kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit jantung koroner (+)

Asma bronchial (-)

Hiperkolesterolemia (+)

PPOK (?)

Hiperuricemia (+)

Diabetes (-)

Hipertensi (+)

Hipertiroid (-)

Hepatitis (-)

Stroke (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes (+), ibu dan kakak perempuan yang pertama Hipertensi (+), ibu

e. Pola Hidup Pasien mengaku 1 tahun yang lalu berhenti merokok. Sudah sejak lama pasien menjadi perokok aktif (>5 tahun) tetapi akhirnya berhenti karena penyakit jantung koroner yang dialaminya. Kebiasaan minum minuman beralkhohol disangkal. Kebiasaan berolah raga disangkal. Pola makan, pasien mengaku cenderung menyukai makanan yang berlemak dan gurih. Tetapi semenjak penyakit yang dialami, nafsu makan pasien berkurang.

6

III.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD RS Bhayangkara (6 Juli 2017) 1. Status generalis Keadaan umum : cukup GCS

: E4 V5 M6 (compos mentis)

Vital Sign

:

Tensi

: 160/90 mmHg

Nadi

: 100x/min

Respirasi

: 26x /min

Suhu

: 36,40C

2. Status lokalis Mata

:Ikterik (-), conjunctiva anemis -/-, reflex pupil +N/+N

Hidung

:discharge (-)

Telinga

:otorea (-), benjolan (-), serumen (-)

Mulut

:mukosa bibir kering (-), lesi (-), stomatitis (-)

Leher

:JVP normal

Thorax

:

Inspeksi

:iktus cordis tidak terlihat, otot bantu napas (-), simetris, barrel chest (-)

Palpasi

:Iktus cordis tidak teraba

Perkusi

:batas jantung kanan di linea para sternalis dextra, kiri di linea axila anterior, perkusi dada sonor

 Auskultasi

:suara jantung S1-S2 tunggal reguler, murmur (-) gallop (-) vesikuler (+/+) ronkhi basah (-/-) wheezing (-/-)

 Abdomen Inspeksi

: :datar, penonjolan massa (-), dilatasi vena (-), asites (-), bekas operasi (-)

 Auskultasi

:bising usus (+) peristaltic usus (12x/menit)

Perkusi

:timpani

Palpasi

:supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-) hati limpa tidak teraba, nyeri ketok ginjal (-)

Extremitas

: akral hangat, nadi adekuat, edema extremitas bawah (+)

KGB

: tidak ada pembesaran 7

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DILAKUKAN di IGD RS Bhayangkara (6 Juli 2017) 1.

Pemeriksaan darah lengkap

2.

Pemeriksaan fungsi ginjal

3.

Gula darah sewaktu

4. 

Elektrolit

5.

Pemeriksaan imajing (foto rontgen)

6.

Pemeriksaan EKG

PEMERIKSAAN PENUNJANG TAMBAHAN (DI LUAR RS Bhayangkara) 1.

Pemeriksaan fungsi hati (albumin)

Hasil pemeriksaan 6 Juli 2017 Tes

Hasil

Nilai rujukan

Hemoglobin

14,1 gr/dl

12-18

Hematokrit

41,9 %

37-52

MCV

92,3 fL

79-99

MCH

31,1 pg

27-31

MCHC

33,7 g/dL

33-37

Eritrosit

4,54 juta/mm3

4,2-5,1

Trombosit

328 ribu/mm3

150-400

Leukosit

8,8 rb/mm3

4,8-10,8

Neut

70 %

50-70

Lymph

23 %

25-40

Mxd

7%

25-30

1,5 mg / dL

0.9-1.5

151 mg / dL

45 - 50%) c. Terdapat bukti

disfungsi diastolik

(relaksasi ventrikel kiri

abnormal / kekakuan diastolik) 7. Ekokardiografi transesofagus Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup,

pasien

endokardits,

penyakit

jantung

bawaan

atau

untuk

mengeksklusi trombus di left atrial appendagepada pasien fibrilasi atrial. 32

8. Ekokardiografi beban Ekokardiografi beban (dobutamin

atau

latihan)

digunakan

untuk

mendeteksi disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat. Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal  jantung

33

(Sumber : PERKI, 2015)

II.6.Tatalaksana Non-Farmakologi dan Farmakalogi Tata laksana Non-Farmakologi dapat berupa : 1. Manajemen Perawatan Diri Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan

yang

bertujuan

untuk

menjaga stabilitas

fisik,

menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. 2. Ketaatan Pasien Berobat Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi. 3. Pemantauan Berat Badan Mandiri Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter.

4. Asupan Cairan 34

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis. 5. Pengurangan Berat Badan Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal  jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. 6. Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati. 7. Latihan Fisik Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah. 8. Aktivitas Seksual Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat. Tujuan melakukan terapi pada pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit  jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (PERKI, 2015).

35

Tabel 9. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik

(Sumber : PERKI, 2015)

Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Gagal jantung

(Sumber : PERKI, 2015)

36

Gambar 3. Strategi Pengobatan pada Pasien Gagal Jantung Kronik Simptomatik

37

BAB III PEMBAHASAN

Kasus yang diambil pada laporan kasus kali ini adalah gagal jantung kongestif atau congestive heart failure  dengan diagnosa sekunder yaitu hipoalbuminemia. Kasus ini cukup kompleks mengingat terdapat faktor komorbid lain yang mengikutinya yaitu hipertensi. Berdasarkan pada anamnesis awal, pasien datang ke IGD dengan keluhan utama sesak napas. Keluhan utama berupa sesak napas mempunyai diagnosis banding yang cukup banyak. Sesak napas dapat diakibatkan oleh kegagalan beberapa sistem organ, beberapa yang paling banyak ditemui adalah berasal dari  jantung dan pulmonal. Sesak napas akibat gangguan fungsi jantung dapat berupa gagal jantung kongestif, aritmia jantung, penyakit jantung koroner, gangguan perikardial sedangkan sesak napas akibat gangguan pulmonal dapat berupa PPOK, asma, efusi pleura, keganasan atau bahkan bronkiektasis. Oleh karena diagnosis banding yang masih begitu luas, diperlukan anamnesis lebih lanjut baik dalam hal riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit terdahulu, keluarga, ataupun pola hidup sehari-hari. Pada kasus ini, sesak napas bertambah terutama saat beraktifitas fisik (dyspnoe de Effort ), bertambah saat berbaring dan berkurang saat duduk atau berdiri (ortopneu), terkadang serangan sesak timbul pada malam hari (dyspneu nocturnal paroxsismal ) dan pasien mengeluhkan pembengkakan pada kedua kaki sejak 3 minggu SMRS. Di samping itu, riwayat penyakit pasien sebelumnya yang berupa penyakit jantung koroner, hiperkolesterolemia, asam urat, dan hipertensi membawa arah diagnosa ke penyakit jantung. Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan adanya peningkatan tekanan darah yaitu 160/90 mmHg, takipnea yaitu 26x/menit, dan edema perifer (kedua kaki), sedangkan pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Sesuai dasar teori, ketiga manifestasi klinik yang didapatkan dari pemeriksaan di atas masih belum tipikal mengarah ke diagnosa gagal jantung. Hipertensi merupakan salah satu penyebab terjadi gagal jantung. Adanya hipertensi meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner lebih dari dua kali lipat dan meningkatkan resiko gagal  jantung kongestif lebih dari tiga kali lipat. Penderita hipertensi sering memiliki struktur dan fungsi jantung yang abnormal meliputi hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, dan akhirnya gagal jantung. Ada dua mekanisme 38

mengenai hubungan hipertensi dengan peningkatan resiko terjadinya gagal  jantung. Pertama, hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya infark miokard akut yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung. Kedua, hipertensi menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang dihubungkan dengan terjadinya disfungsi diastolik dan meningkatkan resiko gagal jantung. Edema perifer yang terdapat pada hasil pemeriksaan fisik merupakan pitting edema yang menandakan adanya tanda dari penyakit seperti insufisiensi vena, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, hipoalbuminemia, dan gangguan fungsi hati. Maka dari itu diperlukan teknik diagnostic lain untuk menegakkan diagnosa, beberapa diantaranya yang sudah dilakukan adalah pemeriksaan Laboratorium darah, EKG, pemeriksaan X-ray thorax, dan ekokardiografi. Pada pemeriksaan Laboratorium darah, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, gula darah sewaktu, elektrolit, dan kadar albumin. Pada dasarnya, hasil Laboratorium darah yang sudah dilakukan bukan bertujuan untuk mendiagnosa gagal jantung dikarenakan pada laboratorium RS Bhayangkara tidak mempunyai pemeriksaan peptide natriuretik sebagai pendukung penegakan diagnosis tetapi lebih mengarah pada penemuan faktor resiko komorbid gagal jantung. Pada kasus ini, hasil Laboratorium pasien menunjukkan bahwa kadar albumin rendah. Kadar albumin rendah dapat disebabkan oleh beberapa macam keadaan patologis antara lain sindrom nefrotik, sirosis hepatis, gagal jantung, dan malnutrisi. Pada kasus ini hasil lab fungsi ginjal dan hepar dalam keadaan yang baik. Maka dari itu, keadaan hipoalbumin yang terjadi pada pasien dikarenakan oleh penyakit gagal jantung yang mendasarinya. Adanya hipoalbuminemia ini meningkatkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung (Ancion, dkk., 2017) progresivitas penyakit gagal jantung, dan peningkatan tata laksana kegawatan transplantasi jantung. Rendahnya kadar albumin berhubungan dengan perburukan gejala gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung sistolik dan hipoalbuminemia mempunyai angka mortalitas 2x lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar albumin normal. Berdasarkan pemeriksaan EKG didapatkan adanya keabnormalitasan berupa takikardia, aksis jantung ke kiri dan LBBB yang mengarahkan diagnose ke gagal jantung. Tetapi berdasarkan dasar teori, pemeriksaan EKG memiliki nilai prediktif yang kecil maka dari itu pada kasus ini dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu foto X-ray thorax. Pada foto X-ray thorax adanya kardiomegali sebagai tanda spesifik pada foto rontgen kasus ini sulit dinilai oleh karena adanya efusi pleura dan 39

kongesti vena paru. Tetapi kedua tanda ini, menjadi pendukung adanya gagal  jantung kiri dengan disfungsi sistolik. Pemeriksaan selanjutnya untuk memastikan penegakan diagnosis gagal jantung adalah dengan pemeriksaan ekokardiografi. Pada

hasil

ekokardiografi,

kesimpulan

yang

didapatkan

adalah

adanya

penyumbatan pada arteri koroner. Berdasarkan dasar teori yang didapatkan, penyakit jantung koroner menjadi penyebab utama timbulnya gagal jantung kongestif disamping hipertensi yang menyertainya. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan kerusakan miosit, yang nantinya akan terjadi gangguan kontraktilitas  jantung, isi sekuncup berkurang, dan timbullah gejala penurunan curah jantung. Kompetensi untuk penatalaksaan gagal jantung untuk dokter umum termasuk dalam kompetensi 3 dimana seorang dokter umum harus mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang gawat darurat ataupun yang bukan gawat darurat. Selanjutnya, seorang dokter harus mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Pada kasus ini akan dibahas mengenai tata laksana awal dan lanjutan untuk kasus gagal jantung terkhusus gagal jantung kongestif. Tata laksana awal pada kasus ini diberikan di IGD sedangkan tata laksana lanjutan diberikan di ruangan dengan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis jantung. Tata laksana awal diberikan pasang O 2  3-4 Lpm, infus cairan PZ dengan batasan 500cc/24 jam, infus albumin 20% 100 cc, injeksi furosemide bolus 2 ampul dilanjutkan injeksi furosemide pump 10 mg/jam IV dan injeksi gastridin 1 ampul sedangkan untuk terapi oral diberikan canderin 8 mg, nevodio 5 mg, coten 100 mg dan diet rendah garam. Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktifitas sesuai dengan beratnya keluhan. Pada gagal jantung berat harus dirawat di rumah sakit untuk menjalani tirah baring. Pengobatan awal dari gagal jantung adalah pengurangan beban awal ( preload ) dengan membatasi cairan, pemberian diuretika, dan vasodilator. Pada kasus ini restriksi cairan 1,5  –  2 Liter/hari akan membantu mengurangi  preload tetapi tidak memberikan keuntungan klinis. Infus albumin 20% digunakan pada kondisi hipoalbumin. Albumin merupakan derivate plasma manusia. Pemberian albumin 25% dapat menarik cairan dari ruang interstitial ke dapam pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan volume plasma 4-5 kali dari volume albumin yang diinfuskan. Pemberian tambahan terapi infus

albumin

pada

pasien

dengan

terapi

furosemide

secara

signifikan 40

meningkatkan oksigenisasi, keseimbangan cairan, dan stabilitas hemodinamik dibandingkan pada pasien yang hanya diberikan terapi furosemide (Stephanie dkk., 2011). Beberapa injeksi diberikan pada tatalaksana awal salah satu adanya furosemide dan pemberian oral spirola yang mengandung spironolakton 25 mg. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Cara pemberian diuretik pada gagal jantung, pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit, dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong, Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten (PERKI, 2015). Obat kedua yaitu spirola yang mengandung spironolakton 25 mg sebagai antagonis aldosteron. Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangakan pada semua pasien dengan FE ≤35% dan gagal jantung simptomatik berat. Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron adalah konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, dan kombinasi ACEI dan ARB. Terapi injeksi lain yang diberikan adalah gastridin 1 ampul yang mengandung ranitidine, obat golongan antagonis reseptor histamine H2 sebagai protector untuk lambung dan duodenum. Terapi oral lain yang diberikan pada pasien adalah obat golongan ARB yaitu canderin yang berisi candesartan 8 mg, nevodio yang berisi nebivolol 5 mg, serta coten 100 mg yang berfungsi sebagai antioksidan. Dua obat pertama yaitu canderin dan nevodio merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana awal gagal jantung.  ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejek ventrikel kiri ≤40%. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,  ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Kontra indikasi pemberian ARB adalah stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, 41

serum kreatinin >2,5 mg/dL, stenosis aorta berat, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, dan monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI. Selanjutnya adalah terapi oral yang kedua yaitu nevodio yang berisi nebivolol 5 mg. nebivolol merupakan golongan β blocker. Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan ggal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian penyekat β adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), ACEI/ARB sudah diberikan, pasien stabil secara klinis. Kontraindikasi pemberian penyekat β adalah asma, blok  AV derajat 2 dan 3, sinus bradikardia. Coten mengandung Ubidecarenone sebagai antioksidan yang berdasarkan fungsinya dapat mencegah penyakit jantung koroner. Pada perjalanan penyakit gagal jantung, stress oksidatif yang dihasilkan oleh sel-sel jantung yang mati berhubungan dengan progresivitas dan perkembangan dari gagal jantung, maka dari itu antioksidan diperlukan untuk mengurangi resiko tersebut. Terapi lanjutan juga diberikan pada pasien ini antara lain fargoxin, starxone, sanmol dan xypras 0,5 mg. Perkembangan keadaan dari pasien dalam kasus ini cukup fluktuatif. Pada hari kedua (8/07/2017) pasien mengalami disorientasi dan dikonsulkan kepada dokter penanggung jawab (DPJP). Saran dari DPJP dilakukan pemeriksaan elektrolit dan hasilnya normal. Pasien diberikan fargoxin yang mengandung digoxin 0,25 mg. Digoxin pada tatalaksana gagal jantung digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat bera) lebih diutamakan. Kontraindikasi pemberian digoxin adalah blok AV derajat 2 dan 3, dan riwayat intoleransi digoksin. Pemberian obat tambahan lain adalah starxone dan sanmol. Starxone mengandung ceftriaxone 1 gram dan sanmol mengandung parasetamol. Pada kasus ini, kedua obat diberikan pada saat kondisi pasien dalam keadaan demam sehingga mengindikasikan obat ini untuk diberikan. Kasus gagal jantung diikuti penyakit komorbid lainnya selayaknya diberikan pengawasan khusus. Edukasi kepada pasien dan keluarga sangatlah penting mengingat perkembangan penyakit ini dapat dikontrol dengan baik. Peran dokter

42

umum disini adalah mengawasi dan melakukan tata laksana awal agar perkembangan penyakit tidak semakin memburuk.

DAFTAR PUSTAKA  Ancion A, Allepaerts S, Oury C, Gori AS, Piérard LA, Lancellotti P. Serum albumin level and hospital mortality in acute non-ischemic heart failure. ESC Heart Fail - May 1, 2017; 4 (2); 138-145.

43

Gray, Huon; Keith D. Dawkins, John M.Morgan; dkk. 2003. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta : Erlangga. Guyton, A. C., dan Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC Hanafiah, A., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH.  ABC of Heart Failure: Heart Failure in General Practice. BMJ 2000; 320: 626-9. Horwich TB, and Fonarow GC.Glucose, Obesity, Metabolic Syndrome, and Diabetes: Relevance to Incidence Heart Failure. J. Am. Coll. Cardiol. 2010; 55; 283293. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH.  ABC

of

Heart Failure:

Pathophysiology. BMJ  2000; 320: 167-70. Kabo P, Sjukri K. 1996. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum: Gagal jantung Kongestif . Jakarta: Balai Penerbit FK UI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang Epidemiologi Jantung. Updated 2013. Available from http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin jantung.pdf  PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana pada Gagal Jantung, edisi pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 2 . Jakarta: EGC. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V . Jakarta: Interna Publishing. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Wilson, Sylvia A. Price, dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC. Stephane Arques, Md,1 And Pierre Ambrosi, Md, Phd. Human Serum Albumin in the Clinical Syndrome of Heart Failure. Journal of Cardiac Failure Vol. 17 No. 6 2011

44

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF