kasus 2 myeloradi-makalah
May 14, 2019 | Author: Santa Maria Pangaribuan | Category: N/A
Short Description
Download kasus 2 myeloradi-makalah...
Description
Kasus
Constant back pain causes a 27 years old woman eith multiple myeloma to seek medical attention. Diagnostic study reveal the presence of compression fractures that may be due to her malignancy to osteoporosis and or to her current corticosteroid regimen. Therapeutic alternatives for analgesia analgesia include opioid agonist, NSAID’s, acetaminophen or combination product calcitonin, corticosteroids and biphosphonat. May also have roles in this particular patient’s treatment. After invitation of an individualizedregimen, the patient should be assessed carefully for adequancy of pain relief and the presence of adverse effects. The patien need further intervention after she develops constipation, nausea, and increased renal function tests four weeks after starting an analgesic regimen. Anatomi dan Fisiologi Sumsum Tulang Belakang (Medula Spinalis)
Medulla
Spinalis
dan
batang
otak
membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf s araf perifer, seperti sepert i kulit dan otot. Panjangnya rata-rata 40-45 cm, lebar 14 mm dan menipis pada jari-jari. Medulla spinalis ini memanjang
dari
foramen
magnum
di
dasar
tengkorak sampai bagian atas lumbar kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus medullaris. medullaris. Seterusnya di bawah ruang lumbar kedua adalah akar saraf, yang memanjang melebihi konus, dan disebut kauda equine, equine, akar saraf ini menyerupai ekor kuda. Fungsi Korda Spinalis pada dasarnya ada
dua.
Pertama,
bertindak
sebagai
pusat
saraf,
mengintegrasi sinyal sensori yang datang dan mengkatifkan keluaran motorik secara langsung, tanpa campur tangan otak. Fungsi ini terlihat pada kerja reflek spinal, yang penting untuk melindungi tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan tubuh. Kedua, bertindak sebagai stasiun (pusat perantara saraf) antara saraf tepi dan otak. Semua komando motorik volunteer
maupun involunter dari otak ke otot-otot tubuh, harus dikomunikasikan lebih dahulu pada pusat motorik spinal. Demikian juga, sinyal sensorik dari reseptor perifer ke pusat otak, harus lebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di korda spinalis. Jadi jaras pada korda spinalis merupakan tempat komunikasi dua arah anatar otak dan korda spinalis. Saraf-saraf Spinal. Medulla spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen
servikal , 12 torakal , 5 lumbal , 5 sakral dan 5 segmen koksigeus. koksigeus. Medulla spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal; masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Medulla spinalis terdiri dari substansi grisea dan alba. Substansi grisea ada di bagian tengah dan semua sisi saraf dikelilingi oleh substansia alba. Kolumna
Vertebra.
Kolumnal vertebral melindungi medulla spinalis ,
memungkinkan gerakan kepala dan tungkai, dan menstabilkan struktur tulang untuk ambulasi. Vertebra terpisah oleh potongan-potongan kecuali servikal pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang kogsigeus. Seterusnya lengkung saraf terbagi dua yaitu pedikel dan lamina. Badan vertebra, arkus saraf, pedikel dan lamina semuanya berada di kanalis vertebralis. Struktur Medulla Spinalis.
Medulla spinalis dikelilingi oleh meningen ,
dura,
arakhnoid dan
piameter. Di antara dura meter dan kanalis vertebralis terdapat ruang epidural.
Medulla
spinalis
berbentuk struktur H dengan badan sel
saraf
(substansia
grisea/
substansi abu) dikelilingi traktus asenden dan desenden (subtansia alba/ substansi putih). Substansi putih,
terutama
terdiri
atas
sekumpulan serabut saraf bermyelin (akson). Badan sel dari serabut ini berada di otak atau korda spinalis. Substansi abu berisi beris i sel saraf (neuron), prosessus, sinap diantara sel saraf, sehingga ia dapat menganalisa, mengintegrasi dan mentransmisi rangsang.
Substansi abu dibagi atas tiga zona funsional : tanduk dorsal (posterior),
tanduk ventral (anterior) dan zona tengah. tengah . Bagian bawah yang berbentuk H meluas dari bagian atas dan bersamaan menuju bagian tanduk anterior. Keadaan tanduk-tanduk ini berupa sel-sel yang mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar anterior (motorik) dan berfungsi untuk aktivitas yang disadari dan aktivitas reflek dari otot-otot yang berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian posterior yang tipis ( upper horn) horn) mengandung sel-sel berupa serabut-serabut yang masuk ke ujung akar posterior (sensorik) dari kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras reflek/ sensorik. Pada bagian torakal medulla spinalis adalah projeksi dari masing-masing sisi di bagian crossbar H crossbar H substansia grisera yang disebut tanduk lateral. Tanduk lateral mengandung sel-sel yang memberikan simpatis.
reaksi
serabut
Serabut-serabut
otonom
ini
bagian
meninggalkan
medulla spinalis melalui akar anterior di dalam segmen torakal dan segmen lumbar bagian atas. Traktus
Spinalis.
Substansia
alba
membentuk bagian medulla spinalis yang besar dan dapat terbagi menjadi tiga kelompok serabut-serabut disebut traktus atau jaras. Traktus posterior menyalurkan posterior menyalurkan sensasi, persepsi terhadap sentuhan, tekanan getaran, posisi, dan gerakan pasif bagian-bagian tubuh. Sebelum menjangkau daerah korteks serebri, serabut-serabut ini menyilang ke daerah beralawanan pada medulla oblongata. Traktus Spinotalamus bertugas mengirim impuls nyeri dan temperature ke thalamus dan korteks serebri. Traktus lateral ( pyramidal pyramidal kortikospinal ) menyalurkan impuls motorik ke sel-sel tanduk anterior dari sisi yang berlawanan di otak. Serabut-serabut desenden merupakan sel-sel saraf yang didapat pada daerah sebelum pusat korteks. Bagian menyilang di medulla oblongata yang disebut piramida. Sistem Motorik Saraf Motorik Atas dan Bawah. Setiap
serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi sel-sel saraf, salah satunya terdapat pada korteks motorik, serbut-serabutnya
berada tepat pada traktus piramida atau penyilangan traktus piramida, dan serat lainnya berada pada ujung anterior medulla spinalis, serat-seratnya berjalan menuju otot. Yang pertama disebut sebagai neuron motorik atas (upper motor neuron [UMN]), dan yang terakhir disebut sebagai neuron motorik bawah ( lower motor neuron [LMN]). Setiap saraf motorik yang menggerakkan setiap otot merupakan komposisi gabungan ribuan saraf-saraf motorik bawah.
Jaras motorik
TABEL 1. Akibat lesi Neuron Motor Atas (UMN) versus
dari otak ke medulla
Neuron Motor Bawah (LMN)
Lesi UMN
spinalis
Lesi LMN
dari
Kehilangan kontrol volunter
Kehilangan control volunteer
Peningkatan tonus otot
Penurunan tonus otot
Spastisitas otot
Paralisis flaksio otot
Tidak ada atrofi otot
Atrofi otot
Reflek hiperaktif dan abnormal
Tidak ada atau penuruna refleks
dan
juga
serebrum
ke
batang otak dibentuk oleh (UMN). UMN mulai
di
korteks
pada
dalan sisi
yang berlawanan di
otak, menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi berlawanan di dalam batang otak, menurun melalui traktus kortikospinal dan ujungnya berakhir di sinaps LMN. UMN seluruhnya berada dalam system saraf pusat (SSP). LMN menerima impuls di bagian ujung posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. LMN berakhir di dalam otot. Ciriciri klinik pada lesi di UMN dan LMN dibicarakan pada bagian sebelumnya yang terdapat dalam tabel 1. Sistem Saraf Autonomik
Kontraksi otot-otot yang tidak di bawah control kesadaran, seperti otot jantung, sekresi
semua
digestif
dan
kelenjar keringat dan aktivitas organorgan endokrin, dikontrol oleh sebagian besar
komponen
system
saraf
yang
dikenal sebagai system saraf otonom. Sistem saraf otonom merupakan system
saraf percampuran. Perluasan system saraf autonom tidak diatur oleh korteks serebri. System ini menyerupai system ektraparamidal yang berpusat pada serebelum dan basal ganglia. Basal ganglia adalah massa pada substansia grisea di bagian otak tengah di bawah hemisfer serebri, berbatasan atau terproyeksi kearah ventrikel lateral dan letaknya dekat kapsul interna. Basal ganglia berfungsi untuk mengontrol kegiatan yang biasa dilakukan atau aktivitas yang automatis dan mempertahankan bentuk dasar untuk melakukan gerakan yang disadari. Ganglia berhubungan dengan organ melalui penghubung khusus,dengan tugas mempertahankan kontraktilitas tegangan setiap otot pada batang tubuh dan keadaan konstan
dari
ektremitas
dalam
penyesuaian
diri,
sehingga
seseorang
dapat
mempertahankan keseimbangan postur tubuhnya, baik dalam keadaan gelap atau terang. Selanjutnya, karena basal ganglia maka seseorang dapat bereaksi cepat, tepat dan berespon cepat secara automatis untuk beberapa penciuman, penglihatan dan pendengaran. System ini sangat unik. Pertama, system saraf autonom mempengaruhi pengaturan dimana sel-selnya tidak bersifat individual, tetapi meluas pada sebagian besar jaringan dan seluruh organ. Kedua, respon yang muncul tidak cepat tetapi hanya setelah periode yang lambat. Respon ini bersifat terus menerus dengan jangka waktu yang panjang, yang tidak dimiliki oleh respon neurogenik lainnya. Tabel F un gsi Saraf Otonom
Sistem
saraf
otonom
terdiri
atas
bagian
dua
yaitu system saraf simpatis
dan saraf
parasimpatis. Sebagian besar jaringan dan organ-organ di bawah control otonom yang
mencakup kedua system ini. Sebagai mediator pada stimulus simpatis adalah norepinefrin dan mediator impuls parasimpatis adalah asetilkolin. Kedua zat kimia ini mempunyai pengaruh yang berlawanan. System Saraf Otonom Simpatis. Divisi simpatetik berisi neuron praganglionik
yang berada di antara segmen T1 dan L2 daeri saraf spinal dan neuron-neuron ganglionik yang berada di ganglia dekat kolumna vertebra. Neuron ganglionik berada pada sisi lateral tanduk abu-abu dan akson-akson masuk melalui akar ventral dari setiap segmen.
Secara anatomis neuron simpatis terletak di ruas tulang torakal dan lumbal yaitu pada susunan saraf medulla spinalis; akson-aksonnya disebut serabut praganglion , muncul melalui jalan pada semua akar saraf anterior dari ruas tulang leher (servikal)
kedelapan
atau
tulang
torakal pertama menuju ruas tulang lumbal kedua dan ketiga. Jarak dari medulla ke serabut-serabut saraf ini mempunyai perbedaan karena adanya perbedaan
hubungan
tiap
rantai.
Komposisi serabut-serabut ini terdiri atas 22 mata rantai ganglia, yang meluas ke seluruh lajur sepanjang spinal dan kedua sisi tubuh tulang belakang. Fungsi
unik
system
saraf
otonom simpatis adalah system ini siap siaga untuk membantu dalam proses kedaruratan. Di bawah keadaan stress baik
yang
maupun
disebabkan emosional
oleh
fifik dapat
menyebabkan peningkatan yang cepat pada impuls simpatis. Tubuh mempersiapkan untuk respon “ fight or flight” jika ada ancaman. Sebagai akibatnya, bronkiolus berdilatasi untuk memudahkan pertukaran gas, kontraksi jantung yang kuat dan cepat, dilatasi arteri menuju jantung dan otot-otot volunter yang membawa lebih banyak darah ke jantung; kontriksi pembuluh darah perifer yang membuat kulit pada kaki dingin tetapi memirau ( shunting ) darah ke organ esensial yang aktif ; dilatasi pupil; hati mengeluarkan glukosa untuk energy cepat; peristaltic simpatis yang meningkat cepat sama seperti tubuh diberikan suntikan adrenalin, sehingga stasiun system persarafan adrenergik kadang-kadang digunakan jika menunjukkan kondisi seperti pada system persarafan simpatis. Sistem Saraf Otonom Parasimpatis. Fungsi system parasimpatis adalah sebagai
pengontrol dominan untuk kebanyakan efektor viseral dalam waktu lama. Selama keadaan diam, kondisi tanpa stress, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolinergik) menonjol.
Serabut-serabut system parasimpatis terletak di dua area, satu pada batang otak dan yang lainnya pada segmen spinal di bawah L2. Oleh karena lokasi serabut-serabut tersebut, saraf parasimpastis
menghubungkan
area
kraniosakral,
sedangkan
saraf
simpatis
menghubungkan area torakolumbal dari system autonom. Parasimpatis cranial muncul dari otak tengah dan medulla oblongata. Serabut dari sel-sel pada otak tengah berjalan dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris, yang memiliki serabut postganglion yang berhubungan dengan simpatis lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan keseimbangan antara keduanya pada satu waktu. Konsep Refleks
Refleks
merupakan
kejadian involunter dan tidak dapat
dikendalikan
oleh
kemauan. Tindakan dari sebuah (reflex
action)
merupakan
gerakan motorik involunter atau respon
sekretorik
yang
diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik, seperti refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip (Sue Hinchliff, 1999). Secara fisiologis dengan ringkas dapat dijelaskan bahwa suatu res pon refleks terjadi bila suatu otot rangka dengan persarafan utuh diregangkan, otot ini akan berkontraksi. Respon seperti ini disebut refleks regang. Rangsang yang membangkitkan refleks regang adalah regangan pada otot, dan responnya adalah kontraksi otot yang diregangkan itu. Reseptornya adalah kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang tercetus oleh kumparan otot dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik penghantar cepat. Impuls kemudian diteruskan ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot yang teregang itu. Neurotransmiter di sinaps pusat adalah glutamate. Tahanan otot terhadap regangan kerap disebut tonus. Bila neuron (saraf) motorik di suatu otot dipotong, otot itu memberikan tahanan yang lemah dan disebut flaksid. Otot yang hipertonik (spastic) adalah otot yang mempunyai tahanan yang tinggi terhadap regangan karena adanya refleks regang yang hiperaktif. Di anatara keadaan flaksid dan spastic terdapat area yang salah diartikan
sebagai area tonus normal. Otot umumnya hipotonik bila pelepasana impuls eferennya rendah dan hipertonik bila tinggi. Suplai Darah Medula Spinalis
Medula spinalis mendapat dua suplai darah dari dua sumber yaitu: 1) arteri Spinalis anterior yang merupakan percabangan arteri vertebralis 2) arteri Spinalis posterior, yang juga merupakan percabangan arteri vertebralis. Antara arteri spinalis tersebut diatas terdapat banyak anastomosis sehingga merupakan anyaman plexus yang mengelilingi medulla spinalis dan disebut vasocorona. Vena di dalam otak tidak berjalan bersama-sama arteri. Vena jaringan otak bermuara di jalan vena yang terdapat pada permukaan otak dan dasar otak. Dari anyaman plexus venosus yang terdapat di dalam spatum subarachnoid darah vena dialirkan kedalam sistem sinus venosus yang terdapat di dalam durameter diantara lapisan periostum dan selaput otak.
1. Definisi
Mielopati adalah penyakit saraf terkait HIV . Mielopati adalah kompresi medula spinalis. Mielopati adalah setiap gangguan fungsional dan/atau perubahan patologi dalam
medula spinalis. (Kamus Saku KEDOKTERAN DORLAND, 1998)
Radikulopati merupakan keadaan terjadinya gangguan pada radiks/serabut saraf, yang sesuai dengan distribusi serabut sarafnya dan menyebabkan nyeri radikuler, dapat disertai dengan paresthesia dan rasa raba yang berkurang, gangguan motorik (cram, atropi twiching dan refleks fisiologi yang menurun) serta nyeri pada vertebr a. Radikulopati adalah penyakit radiks saraf spinalis. Radikulopati adalah penyakit pada akar saraf (Kamus Saku KEDOKTERAN
DORLAND, 1998).
MYELORADICULOPATHY
Myeloradiculopathy merupakan penyakit medula spinalis dan radiks nervus spinalis (Kamus Saku KEDOKTERAN DORLAND, 1998). Myeloradiculopathy merupakan kerusakan atau sindroma klinik karena kerusakan pada medula spinalis ataupun pada akar persyarafan. (Lecture Pa Ur ip Rahayu)
Myeloradiculopathy merupakan gangguan pada medula spinalis dan gangguan pada akar medula spinalis. (Lecture Pa Cecep) Jadi, myeloradiculopathy adalah kerusakan atau penyakit karena kerusakan atau gangguan pada medula spinalis dan gangguan pada akar medula spinalis.
2. Patofisiologi a. Etiologi
Merokok ama
Malas berolahraga
Terlalu sering menyetir
Sering mengangkat barang berat
Trauma karena terjatuh, terbentur
Usia lanjut
Tumor/ keganasan (myeloma multipleks)
Osteoporosis
Fraktur patologis
b. Faktor Risiko
Postur tubuh yang tidak benar
Gaya hidup yang tidak sehat
Sering menyetir
Kurang mengkonsumsi kalsium dan vitamin D
Konsumsi obat-obatan kortikosteroid
c. Proses Penyakit (Lampiran) d. Manifestasi Klinis
Nyeri punggung akut dan kronik Ataxia, ketidakmampuan untuk mengkoordinasikan gerakan otot yang mengakibatkan kesulitan dalam berjalan, bicara dan melakukan tugas perawatan diri
Nyeri abdomen
Nyeri ekstremitas bagian bawah atau kaki
Tidak mampu berdiri dari posisi duduk
Kelemahan yang mengganggu
Paralysis atau kelemahan otot
Paralysis kaki dan lengan
Kehilangan sensori di bagian bawah
Tidak mampu berjalan dan berdiri
Penurunan kemampuan gerak
Kelelahan akut yang ekstrim
Lokasi
Radiks saraf yang terkena
Nyeri
Kelemahan otot
Parestesia
Atrofi
L4 ke L5
L5
Di atas sendi sakroiliaka, panggul, aspek lateral paha dan betis, aspek medial kaki (nyeri yang menyebar ke bawah panggul dan tungkai disebut skiatika)
Dapat Tungkai Tidak menyebabkan lateral, bermakna kaki lunglai, bagian distal kesulitan kaki. dorsifleksi diantara jari kaki kaki dan/jempol pertama dan kaki, kesulitan kedua berjalan dengan tumit
Biasanya tidak bermakna, refleks lutut dan pergelangan kaki mungkin berkurang
L5 ke S1
S1
Diatas sendi sakroiliaka, bagian posterior seluruh tungkai sampai ke tumit, aspek lateral kaki
Dapat menyebabkan melemahnya fleksi plantar, abduksi jari kaki dan otot hamstring, kesulitan berjalan jinjit
Pertengahan betis dan aspek lateral kaki, termasuk jari kaki keempat dan kelima
Refleks pergelangan kaki mungkin berkurang atau hilang
C5 ke C6
C6
Nyeri leher yang
Biseps
Aspek radial Tidak lengan atas, bermakna
Gastrokne rnius
Refleks
Refleks biseps
menyebar ke bahu, lengan, dan lengan atas
jempol, dan telunjuk.
hilang atau berkurang
e. Klasifikasi
Berdasarkan letak tulang belakang yang terkena : 1) Radiculopathy servikalis
Penyebab: proses infeksi, perubahan degeneratif, trauma, tumor dan kelainan sistemik. Ciri khas radikulopati servikal adalah rasa nyeri radikuler pada leher dan bahu yang menyebar ke lengan, yang akan bertambah pada perubahan posisi leher dan dapat diikuti terbatasnya gerakan leher dan rasa sakit pada penekanan tulang dan kadang-kadang disertai parestesi pada lengan. Namun seringkali pula gejala nyeri radikuler tersebut tidak terlokalisasi baik sesuai dermatomal. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih daerah persarafan.
Degenerasi diskus
servikal dapat mengakibatkan lesi yang dapat menyebabkan kerusakan medula spinalis dan radiks saraf. Penonjolan diskus servikal biasanya terjadi pada antar ruang C5-C6, C6-C7. Nyeri dan kekakuan terjadi pada leher bagian atas pundak dan daerah skapula, nyeri dapat juga terjadi pada ekstremitas atas dan kepala yang disertai parastesia dan kebas pada ekstremitas atas. Nyeri dimulai mendadak dan menjalar ke leher , dan menurun ke lengan, atau subakut dengan nyeri leher menahun dan nyeri lengan yang dimulai diam-diam. Nyeri diperburuk oleh gerakan leher seperti batuk, mengejan, atau bersin yang meningkatkan tekanan intra toraks dengan akibat peningkatan tekanan vena epiduralis dan kompresi radiks saraf yang terlibat. Penatalaksanaan medis biasanya meliputi pembatasan akivitas, analgesik, agen antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan immobilisasi leher. Atau dengan traksi halter 5-10 pon. Penting agar pasien selalu dipantau secara ketat perkembangan kelemahan motorik atau tanda mielopati yang merupakan indikasi untuk intervensi operasi. Ada 2 jenis umum operasi, pendekatan anterior dan pendekatan posterior : 1.
Pendekatan operasi anterior meliputi pemaparan korpus vertebralis melalui leher anterior dengan reseksi diskus yang terlibat.
2.
Pendekatan posterior terdiri dari dekompresi lamina dan fasies di posterior, yang memaparkan radiks saraf dibawahnya pada foramen.
2) Radiculopathy lumbalis
Seperti pada vertebra servikalis, kompresi radiks saraf lumbalis bisa atas dasar diskus yang ruptur atau gangguan tulang pada foramen lateralis. Secara, patologi, diskus lunak terjadi akibat perkembangan progresif cacat di posterolateral di dalam anulus fibrosus. Secara klinis, didapatkan riwayat nyeri punggung bawah progresif dengan nyeri alih berikutnya ke dalam bokong atau tungkai proksimal didapatkan, kemudian berlanjut melibatkan keseluruhan dalam cara radikular. Dianggap bahwa ini terjadi berdasarkan penonjolan progresif nukleus pulposus melalui anulus dengan ruptur melalui ligamentum longitudinalis posterius yang menyebabkan kompresi radiks saraf. Secara klinis lebih dari 90% herniasi diskus lumbalis timbul pada tingkat L5-S1 atau L4-L5. Radikulopati lumbalis bisa juga berdasarkan penyakit tulang, dengan degenerasi progresif dalam vertebra lumbalis, maka ada pembentukan osteofit posterior dan posterolateral, penyempitan resesus lateralis dan foramen serta hipertrofi unsur posterior. Hasil keseluruhan sama dengan radikulopathy servikalis disertai penyempitan kanalis spinalis, namun presentasi klinisnya lebih radikular akibat gangguan radiks lateral terhadap radiks saraf dibandingkan kompresi garis tengah, yang menyebabkan mielopati. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan radikulo aktif biasanya mempunyai bukti iritasi radiks saraf. Ini mencakup tanda mekanik, seperti spasme muskulus paravertebralis, penurunan rentang gerakan punggung bawah, skoliosis lumbalis, nyeri radikular. Penatalaksanaan medis terdiri dari pembatasan aktivitas, analgesik, NSAID dan relaksan otot, panduan gerak badan untuk meningkatkan tonus otot abdomen sangat direkomendasikan. Setelah periode akut nyeri radikular atau nyeri punggung bawah harus dihindari untuk membungkuk dan mengangkat beban berat.
Untuk
ruptura
diskus
lumbalis,
terapi
bedah
standar
adalah
hemilaminektomi sebagian dengan eksplorasi dan dekompresi radiks saraf yang terlibat. Ini terdiri dari insisi lumbalis garis tengah dengan diseksi anatomi untuk memaparkan lamina dan fasies pada tingkat yang terlibat. Pembuangan sebagian lamina, fasies medial, dan ligamentum flavum dilakukan, yang memaparkan kantong dura dan radiks saraf. Semua materi diskus yang ruptura harus disingkirkan. Dekompresi gangguan tulang lateral dilakukan bila diperlukan.
Penting agar radiks saraf dieksplorasi sejauh mana yang diperlukan ke lateral untuk memastikan dekompresi yang memuaskan. Kimopapain adalah enzim proteolitik yang menimbulkan hidrolisis cepat polipeptida nonkolagen atau protein yang membentuk kondromukoprotein dari nukleus pulposus. Bila digunakan secrara bijaksana, kimopapain merupakan alternatif layak bagi operasi untuk pasien ruptura diskus. 3) Radiculopathy torasika Insiden diskus torasika cukup rendah hampir semuanya timbul dibawah vertebra torasika kelima. Secara klinis, distribusi nyeri terletak pada dinding dada atau abdomen, sehingga bisa mudah dikelirukan untuk penyakit toraks atau abdomen. Perubahan degeneratif dapat juga terlihat sebagai mielopati yang tak nyeri. Gejala klinis umumnya terbatas pada paraparesis spastik serta penurunan rasa tusukan jarum dan raba halus dalam ekstremitas bawah.
f.
Komplikasi
1) Paraplegia Adalah kelumpuhan pada kedua belah bagian bawah tubuh, termasuk dua belah kaki. Maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan 2) Paraperesis Adalah gangguan menurun yang menyebabkan kelemahan bertahap dengan kejang otot (kelemahan kejang) pada kaki. Refleks menjadi berlebihan, dan kram kaki, gugup, dan terjadi kejang, membuat gerakan kaki menjadi kaku dan menyentak (disebut kejang gaya berjalan). Berjalan secara bertahap menjadi lebih sulit. Orang bisa tersandung atau tergelincir karena mereka cenderung untuk berjalan berjingkat dengan kaki memutar ke dalam. Sepatu seringkali
dikenakan turun ke daerah lebih dari jempol kaki. Kelelahan sering terjadi. Pada beberapa orang, otot pada lengan menjadi lemah dan kaku. 3) Disfungsi atau lesi medula spinalis. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologi lokal merupakan hal yang sangat penting. Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motorik. 3. Asuhan Keperawatan a.
Pengkajian 1) Biodata
Nama
: Ny. X
Usia
: 27 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
2) Anamnesa Keluhan utama : klien mengeluh sakit punggung yang dirasakan terus menerus Riwayat kesehatan sekarang
P: Apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi multiple myeoloma pada bagian punggungnya. Dapat dikaji dari jenis pekerjaan klien dimana klien memiliki pekerjaan yang mengharuskannya mengangkat beban beban berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama. Ataupun karena proses degeneratif (usia 30-60 tahun). Q: Menanyakan kepada klien seperti apa nyeri punggung yang dirasakan dan apakah adanya nyeri apabila di tekan ? Pada kasus di atas rasa nyeri yang di rasakan terasa amat sakit di sebabkan terjadinya
ruptur /kerusakan tulang belakang dan kelemahan elastisitas
diskusvertebralis dan anulus fibrosus sehingga dapat menyebabkan keluarnya nukleus pulposus yang ada di dalam anulus fibrosus ke diskus vertebralis. Kondisi ini dapat menimbulkan kerusakan sendi faset dan gangguan suplai darah kejaringan akibat dari terjepitnya serabut syaraf spinal. Terjepitnya serabut saraf dan penekanan inilah yang menimbulkan keluhan dan dapat
menjalar ke daerah bokong dan ekstremitas bawah dan apabila penekanan ke syaraf
tersebut
berlebihan
dapat
menimbulkan
kematian
syaraf
yang
mengakibatkan kelumpuhan ekstremitas bawah. R Klien merasakan sakit pada daerah punggung S Kaji seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan jika di nilai dari skala 1-10. Pada kasus ini biasanya nyeri yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan akan semakin bertambah apabila terjadi penekanan disaat batuk, mengedan, bersin, membungkuk, mengangkat beban berat, berdiri secar tiba-tiba dari posis duduk. T Kaji sejak kapan klien merasa nyeri tersebut dan kaji juga pada saat kapan klien mengalami rasa nyeri 3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma multipleks), metabolik (osteoporosis)
Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri punggung bawah
4)
Riwayat Penggunaan obat Klien melakukan terapi alternatif untuk analgasia termasuk opioid aganist, NSAID, asetaminofen, atau kombinasi produk. kalsitonin, carticosteroids dan bifosfonat.
5)
Riwayat psikologis Menanyakan faktor-faktor yang membuat klien stres dan pendekatan untuk membangun rasa percaya diri.
6) Pola-pola Fungsi Kesehatan
Pola aktivitas/istirahat : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan / matras yang keras saat tidur, penurunan rentang gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
Eliminasi :
Konstipasi, mengalami kesulitan dalam difekasi adanya inkontinesia / retensi urine.
Integritas Ego : Ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas masalah pekerjaan, finansial keluarga.
Nyeri / kenyamanan : Nyeri seperti tertusuk pisau, yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat kkaki atau fleksi pada leher, nyeri yang tidak hentinya atau adnya episode nyeri yang lebih berat secara intermiten, nyeri yang menjalar ke kaki, bokong (lumbal) atu bahu / lengan, kaku pada leher (servikal), terdengar adanya suara “krek” saat nyeri baru timbul / saat trauma atau merasa “punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi / membungkuk ke depan.
Neurologi : Kesemutan, kekakuan, kelemahan pada tangan dan kaki.
Kebutuhan istirahat dan tidur : Klien mungkin akan mengalami gangguan tidur karena merasa tidak nyaman seperti berkeringat, ansietas, berdebar-debar, dan mengeluhkan sakit punggung yang amat sakit.
Pengkajian spiritual : -
Apakah klien secara teratur melakukan ibadah sesuai keyakinannnya.
-
Apakah klien secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan
7)
Pemeriksaan Umum
Sistem Respirasi
: kaji adanya peningkatan RR, biasanya nyeri kan
diikuti dengan RR yang cepat.
Sistem Kardiovaskular : kaji adanya peningkatan denyut jantung yang ditandai dengan HR meningkat.
Sistem Integumen
: kaji adanya kerusakan integritas kulit abibat
immobilisasi.
Sistem Persepsi Sensori : adanya penrunan sensasi raba, nyeri, panas, atau gatal.
Sistem Reproduksi : penurunan fungsi seksual.
Sistem Muskuloskeletal : paralisis yang mengganggu ADL. Sistem Neurologi
: Kesemutan, kekakuan, kelemahan pada tangan dan
kaki. 8)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi o
Punggung, pantat dan tungkai dalam berbagai posisi dan gerakan untuk evaluasi neurogenik
o
Perhatikan adanya kurfatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, pelvis yang miring atau adanya postur tingkai yang abnormal
o
Perhatikan apakah ada hambatan pada pergerakan punggung, pelvis dan tungkai selama bergerak,
o
Perhatikan apakah klien dapat mengenakan pakaian secara wajar atau tidak
o
Perhatikan kemungkinan adanya atrofi, pembengkakan dan perubahan warna kulit
Palpasi dan perkusi o
Harus dilakukan secara hati-hati dan halus supya tidak mengganggu kenyamanan klien
o
Palpasi pada daerah yang ringan rasa nyerinya ke daerah yang paling terasa nyerinya
o
Ketika meraba kolumna vertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau entero-posterior
o
Palpasi dan perkusi perut, distensi perut, kandung kemih penuh, dll.
7. Pemeriksaan neurologik
Pemeriksaan motorik o
Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas, tungkai bawah, kaki, ibu jari dan jari lainnya dengan menyuruh klien unutk melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan.
o
Atropi otot pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan kanan-kiri.
o
Fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot tertentu.
Pemeriksan sensorik
Pemeriksaan rasa raba, rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar (vibrasi) untuk menentukan dermatom mana yang terganggu sehingga dapat ditentuakn pula radiks mana yang terganggu.
Pemeriksaan refleks o
Refleks lutut/patela/hammer (klien bebraring.duduk dengan tungkai menjuntai), pada HNP lateral di L4-5 refleks ne gatif.
o
Refleks tumit.achiles (klien dalam posisi berbaring , luutu posisi fleksi, tumit diletakkan diatas tungkai yang satunya dan ujung kaki ditahan dalam posisi dorsofleksi ringan, kemudian tendon achiles dipukul. Pada aHNP lateral 4-5 refleks ini negatif.
Pemeriksaan ROM Pemeriksaan ini dapat dilakukan aktif atau pasif untuk memperkirakan derajat nyeri, functio laesa, atau untuk memeriksa ada/tidaknya penyebaran nyeri.
b. Data Penunjang (Pemeriksaan Diagnostik)
Foto rontgen Foto rontgen dari depan, samping, dan serong untuk mengidentifikasi ruang antar vertebra menyempit. Foto rontgen spinal : Memperlihatkan adanya degeneratiF pada tulang belakang / ruang interverbralis atau mengetahui patologi lain (tumor, ostaomilitis). Adapun pemeriksaan mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalui tindakan fungsi lumbal dan pemotretan dengan sinar tembus. Memperlihatkan penyempitan dari ruang diskus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
Elektroneumiografi (ENMG) Untuk mengetahui radiks mana yang terkena atau adanya polineuropati.
MRI (Magnetic Ressonance Imaging) Untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal. MRI : Pemeriksaan noninvasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak serta dapat memperkuat bukti adanya herniasi secara spesifik
c. Analisis Data d. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan nausea akibat peningkatan asam lambung ditandai dengan … 2) Gangguan
eliminasi : konstipasi
berhubungan dengan distensi abdomen akibat
pengerasan feses yang ditandai pasien mengalami konstipasi akibat perkembangan penyakitnya
3) e. Intervensi Keperawatan N
Diagnosa
o
Keperawatan
1
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b.d nausea akibat peningkatan asam lambung
Implementasi Tujuan
Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai dengan berat badan ideal. Dengan kriteria hasil: klien tidak mengalami nausea.
Intervensi Mandiri
1. Berikan diet dengan kadar serat tinggi dalam bentuk tepung sereal, roti, buah-buahan segar
1. Meningkatkan konsistensi feses, meningkatkan pengeluaran feses
2. Kurangi atau batasi makanan seperti produk susu
2. Makanan ini diketahui sebagai pencetus konstipasi
3. Dorong peningkatan pemasukan cairan
3. Tingkat konsistensi fese normal
4. Berikan makanan sedikit tapi sering
4. Untuk mengurangi rasa mual dan meningkatkan pemasukan yang adekuat
5. Buat pilihan menu yang ada dan diizinkan untuk mengontrol pilihan sebanyak mungkin
5. Klien yang meningkatkan kepercayaan dirinya dan merasa mengontrol lingkungan lebih suka menyediakan makanan untuk makan.
Kolaborasi
1. Berikan anti emetik
2 .
Gangguan Pasien tidak eliminasi : menunjukkan konstipasi b.d adanya gangguan distensi abdomen eliminasi /konstipasi akibat pengerasan feses yang ditandai Kriteria hasil : pasien bisa BAB pasien mengalami secara teratur sehari konstipasi akibat 1 kali perkembangan penyakitnya
Rasional
1. Mencegah dan mengurangi rasa mual dan muntah
Mandiri
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya 2. Observasi adanya distensi perut 3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah
1.
Bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal
2.
Penumpukan feses akan menyebabkan distensi abdomen
3. Mual dan muntah disebabkan oleh distensi abdomen akibat
penumpukan feses 4. Berikan diet seimbang TKTP : tinggi serat
4. Meningkatkan konsistensi feces
Kolaborasi
1. Berikan obat pencahar sesuai dosis 2. Foto abdomen
3. Pemberian tindakan Enema 3
Kerusakan mobilitas fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, klien dapat mempertahankan dan meningkatkan mobilitas fisik, dengan kriteria hasil: a. Meningkatkan kekuatan otot dan fungsi sendi. b. Mampu melakukan aktivitas sesuai dengan instruksi perawat c. Klien mendemonstrasi kan perilaku yang memungkinkan klien melakukan kembali aktivitas d. Klien menunjukkan posisi fungsional e. Klien menunjukkan partisipasi dalam aktivitas
Mandiri 1. Anjurkan dan ajarkan klien melakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi. Bantu klien bila mengalami keterbatasan dalam latihan ROM
1. Merangsang kerja usus 2. Mengetahi letak penumpukan feses agar dapat dilakukan enema 3. Membantu melunakan feses agar feses dapat tereliminasi 1. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan mobilitas sendi, mencegah kontraktur dan perubahan bentuk
2. Anjurkan dan ajarkan latihan isometri pada tulang belakang untuk mengembalikan ke bentuk normal dan mempertahankan bentuk spinalis dalam bentuk normal, dengan cara: Latihan ekstensi batang tubuh (bersandar pada tembok) maupun posisi telentang diatas matras atau bed-broad (tempat tidur dengan alas kayu atau kasur busa keras yang tidak menimbulkan lekukan pada saat klien tidur) dengan cara mengangkat ekstremitas bawah secara bersamaan
2. Gerakan ini dilakukan untuk menegakkan postur tubuh dalam bentuk normal dan menguatkan otot-otot paraspinal dan untuk mempertahan tulang belakang tetap rata dalam keadaan normal
3. Buat rencana dan jadwal aktivitas untuk klien sehingga klien dapat beristirahat tanpa terganggu. dorong klien untuk berpartisipasi
3. Mencegah kelelahan, meningkatkan harga diri klien, meningkatkan rasa kontrol terhadap aktivitas atau mobilitas dan menciptakan kemandirian
dalam aktivitas sesuai kemampuan klien.
klien
4. Pantau tanda-tanda vital klien sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
4. Untuk mencegah klien stress fisik dan kelelahan yang berlebihan
5. Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti massase
5. Mengurangi ketegangan otot akibat kelelahan setelah melakukan aktivitas
6. Tanamkan persepsi positif pada klien terhadap mobilitas yang klien lakukan yaitu untuk mempercepat proses penyembuhan klien
6. Meningkatkan kemauan klien untuk melakukan mobilitas semaksimal mungkin
7. Berikan penghargaan kepada klien atas aktivitas yang klien capai, contohnya dengan mengucapkan kata-kata pujian bahwa apa yang klien lakukan sangat baik dan proses penyembuhan klien akan cepat
7. Pujian akan meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri klien, sehingga klien akan memiliki semangat yang lebih untuk lebih baik lagi.
Kolaborasi 1. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien
1. Kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari fisioterapi
Penatalaksanaan Nyeri
Tujuan pengobatan nyeri adalah mengurungi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri : Farmakologik dan nonfamakologik. 1. Pendekatan Farmalogik
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat tiga kelompok obat nyeri : a. Analgesic Nonopioid : Non Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAIDs)
Langkah pertama untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang, menggunakan analgesic nonopioid, terutama asetaminofen (Tylenol) dan NSAIDs. Tersedia bermacam-macam NSAIDs dengan efek antipiretik, analgesic dan antiinflamasi (kecuali asetaminofen). Asam asetilsalisilat (aspirin) dan ibuprofen (motrin, advil) merupakan NSAIDs yang paling sering digunakan. NSAIDs efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat kanker yang ringan. NSAIDs menghasilkan analgesia yang bekerja ditempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari precursor asam arakidonat. Prostaglandin (terutama PGE1, PGE2, dan PGE3) mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergitis dengan produk inflamatorik lain ditempat cedera, misalnya bradikinin, histamine, untuk menimbulkan hiperanalgesia. Dengan demikian, NSAIDs menganggu mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan opioid, NSAIDs tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect; yaitu peningakatan dosis melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesic. Namun, dosis puncak tertentu tersebut (ceiling dose) mungkin lebih tinggi daripada dosis awal anjuran, dengan demikian penambahan dosis dapat diterima. Penyulit tersering yang berkaitan dengan pemberian NSAIDs adalah gangguan pencernaan, meningkatnya waktu perdarahan (aspirin), penglihatan kabur, perubahan minor fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal. Asetaminofen (Tylenol) hamper sama efektinya dengan aspirin dalam sifat analgesic-antipiretik. Namun, asetaminofen kurang memiliki efek antiinflamasi, karena obat ini merupakan inhibitor kelas siklooksigenase yang lemah apabila terdapat peroksida dalam konsentsi tinggi seperti dijumpai di jaringan perifer yang meradang.
Sebaliknya,
asetaminofen
memiliki
kemampuan
menghambat
siklooksigenase di otak, tempat konsentrasi peroksida rendah-sehingga obat ini memiliki efek antipiretik. Keunggulan asetaminofen dibandingkan aspirin sebagai obat antipiretik dan analgesic adalah bahwa obat ini tidak menimbulkan efek pada system kardiovaskular atau pernafasan, dan tidak menimbulkan gangguan keseimbangan asam dan basa, fungsi trombosit, atau aktivitas siklooksigenase kelas satu di lambung dan ginjal. Apabila asetaminofen atau aspirin tidak efektif untuk menghilangkan nyeri maka keduany dapat dikombinasikan dengan suatu narkotik
lemah seperti oksikodon atau kodein agar lebih efektif meredakan obat. Kekurangan utama asetaminofen adalah bahwa obat ini dapat menyebabkan kerusakan hati fatal dalam dosis yang berlebihan. b. Analgesic Opioid Opioid saat ini adalah analgesic paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesic lain. Berbeda dengan NSAIDs, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak penemuan reseptor-reseptor opioid endogen di system limbic, thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis, opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorphin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada system-sistem desenden yang mengahmbat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga menghambat transmisi impuls nosiseptor yang datang dengan mengikat reseptor opioid di substansi gelatinosa. Efek opioid dapat bergantung pada tipe reseptor yang diikat. Telah cukup banyak yang diketahui tentang tiga tipe reseptor opioid : reseptor mu-, kappa- dan delta-. Tipe reseptor yang paling penting untuk analgetik klinis disebut reseptor “mu” karena afinitasnya terhadap morfin. Banyak obat dari golongan morfin agonis-mu, walaupun potensinya berbeda-beda (Baumann, 1997). Pengetahuan tentang dosis ekuianalgesik obat opioid bermanfaat saat kita mengganti obat atu cara pemberian. Perlu dicatat bahwa pemberian meperidin (Demerol) tidak di anjurkan untuk digunakan dalam penatalaksanaan nyeri karena toksisitasnya yang nyata, terutama kejang (American Society of Anesthesiologist [ASA], 1996; Waitman,McCaffery, 2001). Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernafasan, mual dan muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan tolerans, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi terhadap opioid tertentu terbentuk apabila opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Ketergantungan fisik adalah juga suatu proses fisiologi yang ditandai dengan timbulnya gejala-gejala putus obat setelah penghentian mendadak suatu obat opioid atau setelah pemberian antagonis. Sindrom putus obat ini diperkirakan disebabkan oleh aktivitas cerminan noradrenergic di SSP yang tertekan selama pemberian opioid jangka panjang. Adiksi atau keter gantungan psikologik, mengacu kepada sindrom perilaku berupa hilangnya kekhawatiran berkaitan dengan penggunaan dan akuisisi obat, yang menyebabkan perilaku menimbun obat dan peningkatan dosis tanpa pengawasan. c. Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi pernafasan dan sedasi. Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan antagonis seperti pentazonin (Talwin) dan butorfanol (Stadol). Apabila diberiakn kepada pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak di inginkan (misalnya, depresi pernafasan) dibandingkan dengan agonis opioid murni. d. Obat Osteoporosis Pengobatan osteoporosis dan penyakit tulang lainnya terdiri dari berbagai macam obat (biposponat / bisphosphonates, terapihormon estrogen, selective estrogen receptor modulators or SERMs), seperti calcium an vitamin D.Bisphosphonate oral untuk osteoporosis pada wanita post menopause khususnya, harus diminum satu kali seminggu tau satu kali sebulan pertama kali di agi hari dengan kondisi perut kosong untuk mencegah interaksi dengan makanan. Obat untuk osteoporosis harus menunjukkan kemampuan melindungi dan meningkatkan massa tulang juga menjaga kualitas tulang supaya mengurangi resiko tulang patah. Beberapa obat meningkatkan ketebalan tulang atau memperlambat kecepatan penghilangan tulang. Bisphosphonates dapat mencegah kerusakan tulang, menjaga massa tulang, dan
meningkatkan kepadatan tulang di punggung dan panggul.,mengurangi resiko patah tulang. 1) Golongan Biposponat Golongan biposponat adalah Risedronate, Alendronate, Pamidronate, Clodronate, Zoledronate (Zoledronic acid). Selain untuk osteoporosis golongan bipsoponat juga digunakan untuk terapi lainnya misalnya untuk hiperkalsemia. Contohnya Zoledronisc acid yang digunakan untuk mengobati kadar kalsium yang tinggi pada darah yang mungkin disebabkan oleh jenis kanker tertentu. Zoledronic acid juga digunakan bersama kemoterapi kanker untuk mengoabti tulang yang rusak yang disebabkan multiple myeloma atau kanker lainnya yang menyebar ke tulang. Zoledronic acid bukan obat kanker dan tidak akan memperlambat atu menghentikan penyebaran kanker. Tetapi dapat digunakan untuk mengobati penyakit tulang yang disebabkan kanker. Zoledronic acid bekerja dengan cara memperlambat keruaskan tulang dan menurunkan pelepasan kalsium dari tulang ke dalam darah. 2) Selective Estrogen Receptor Modulator Sementara terapi sulih hormon menggunakan estrogen pada wanita pasca menopause, efektif mengurangi turnover tulang dan memperlambat hilangnya massa tulang. Tapi pemberian estrogen jangka panjang berkaitan dengan peningkatan resiko keganasan pada rahim dan payudara. Sehingga sekarang sebagai alternatif pengganti estrogen adalah golongan obat yang disebut SERM (Selective Estrogen Receptor Modulator). Obat ini berkhasiat meningkatkan massa tulang tetapi tidak memiliki efek negatif dari estrogen, obat golongan SERMs adalah Raloxifene. 3) Metabolit vitamin D Sekarang ini sudah diproduksi metabolit dari vitamin D yaitu calcitriol dan alpha calcidol. Metabolit ini mampu mengurangi resiko patah tulang akibat osteoporosis. 4) Calcitonin Salmon calcitonin diberikan lisensinya untuk pengobatan osteoporosis. Sekarang ini juga ada yang sintetiknya. Sediaan yang ada dalam bentuk injeksi.. Dosis rekomendasinya adalah 100 IU sehari, dicampur dengan h 600mg calcium dan 400 IU vitamin D.
Calcitonin menekan aksi osteoclast dan menghambat pengeluarannya. Merupakan
hormone
polipeptida
yang
berefek
hipokalsemik
dan
hipofosfatemik. Kalsitonin disekresi oleh kelenjar tiroid. Proses sekresi dan biosintesis dipengaruhi oleh kadar ion Ca2+ plasma. Jika ion ini meningkat maka kadar hormone juga akan meningkat. Kalsitonin memiliki masa paruhnya 10 menit. Efek hipokalsemik dan hipofosfatemik kalsitonin terutama terjadi akibat efek penghambatan langsung kalsitonin terhadap resorpsi tulang oleh sel-sel osteoklast dan sel-sel osteosit. Kalsitonin juga memabnatu merangsang pembentukan tulang oleh osteoblast. Selain itu juga mengurangi efek osteolisis hormone paratoroid. Kerja kalsitonin tidak dihambat oleh inhibitor sintesis RNA maupun protein. Kalsitonin meningkatkan ekskresi Ca 2+, fosfat dan Na+ sehingga tidak mempengaruhi absorpsi Ca2+ di saluran cerna. Pemberian kalsitonin diberikan secara parenteral. Jika diberikan secara oral akan cepat dirusak oleh cairan lambung. Pemberian untuk pasien dengan osteoporosis post-menopause diberikan 50 IU 3 kali seminggu. Untuk penderita usia lanjut, penderita dengan gejala fraktur vertebra. Efek samping pemberian kalsitonin ruam kulit, mual, muntah, diare, flushing di daerah muka dan malese. Pada awal terapi akan terjadi peningkatan eksresi Na + dan air. Na+ berhubungan dengan efek langsung pada ginjal dan untuk memperbaiki dinamik sirkulasi (hemodinamik). Juga Smungkin terjadi inflamasi pada tempat suntikan. Indikasi. efek hipokalsemik dan hipofosfatemik hormone dimanfaatkan untuk keadaan hiperkalsemia idiopatik dan keracunan vitamin D.efektif untuk dekalsifikasi yang dapat terjadi pada berbagai kelainan pada osteoporosis, resorpsi tulang yang bertambah pada imobilisasi penderita, dan Paget’s disease. e. Adjuvant atau Koanalgesik Obat adjuvant atau koanalgesik adalah obat yang semula di kembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian memiliki sifat analgeti atau efek komplementer dalam penatalaksanakan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid.
Antidepresan
trisiklik,
seperti
amitriptilinn
(elavil)
atau
imipramin
(tofranil), adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik, serta berbagai
penyakit
lain
yang
menimbulkan
nyeri.
Antidepresan
trisiklik
menghilangkan nyeri dengan menghambat penyerapan ulang amina-amina biogenic di SSP. Antidepresan trisiklik diperkirakan meningkatkan ef ek inhibitorik serotonin dan norepinefrin pada neuron-neuron untuk transmisi nyeri spinal. Obat adjuvant lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (Vistaril) yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek adiktif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya Diazepam (Valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya deksametazol (dekadron), yang telah di gunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medulla spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
2. Pendekatan Nonfarmakologik a. Terapi dan Modalitas Fisik Terapi fisik utnuk meredakan nyeri mencakup berbagai bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Dasar dari stimulasi kulit adalah teori pengendalian gerbang dari transmisi nyeri. Stimulasi kulit akan merangsang serat-seratnon-nosiseptif yang berdiameter besar untuk menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorphin dan neurotransmitter lain yang menghambat nyeri. Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan atau penggosokkan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik-titik pemicu miofasial diseluruh tubuh. Utnuk mengurangi gesekan digunakan minyak atau lotion. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi local. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat. Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda umumnya di letakkan di atas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri
akut dan kronik : nyebri pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer, dan arthritis rheumatoid. Akupungtur adalah teknik kuno dari Cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupungtur (pemicu) di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasive lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah pemberian tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur. Efektivitas metode ini mungkin dapat dijelaskan dengan teori control gerbang dan teori bahwa akupungtur merangsang pelepasan opioid endogen. Range of Motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi, dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas. Aplikasai panas adalah tindakan sederhana yng telah lama diketahui sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri dan juga kejang otot. Panas dapat salurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas), atau konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan arthritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah local, panas jangan digunakan setelah cedera traumatic saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi, seperti bradikinin, histamine, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri local. Panas juga mungkin merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medulla spinalis dan otak dapat di hambat. Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin lebih efektif untuk nyeri akut (misalnya trama akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Aplikasi dingin mengurangi aliran darah kesuatu bagian dan mengurangi perdarahan serta edema. Terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. b. Strategi Kognitif-Perilaku Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback.
Pada metode-metode yang menekankan relaksasi otot, fasilitator memimta passion untuk memfokuskan diri ke kelompok otot yang berbeda dan secara voluntary mengontraksikan dan melemaskan otot-otot tersebut secara berurutan. Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah olahraga bernafas dalam, meditasi, dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, tegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat. Teknik-teknik
pengalihan
mengurangi
nyeri
dengan
memfokuskan
perhatian pasien kepada stimulasi lain dan menjauhi nyeri. Menonton televise, membaca buku, mendengarkan music, dan melakukan percakapan adalah contohcontoh umum pengalihan, penciptaan khayalan dengan tuntunan adalah suatu bentuk pengalihan fasilitator yang mendorong pasien untuk memvisualisaikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian metode ini juga bergantung pada
menjauhi nyeri. Teknik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi. Hypnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien kfisiologik tere bayangan bayangan yang paling konstruktif. Intervensi pengalihan yang paling efektif apabila digunakan untuk nyeri akut. Tetapi dapat juga efektif pada nyeri kronik. Kemempuan intervensi pengalihan untuk meredakan nyeri didasarkan pada teori bahwa apabila dua rangsangan yang berpisah, focus pada salah satu akan menghilangkan focus pada yang lain. Namun, semakin besar rasa nyeri, semakin kompleks rangsangan pengalih yang harus diberikan. Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter ukuran-ukuran tertentu terhadap pasien. Sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak. Alat umpan balik hayati mengubah parameter-parameter fisiologik menjadi sinyal visual dan dilihat oleh pasien. Pasien mula-mula dikenalkan kepada respon yang berkaitan dengan stress seperti meningkatnya ketegangan otot, denyut jantung, atau tekanan darah dan kemudian diajar bagaimana mengendalikan respon-respon ini melalui citra visual, bernafas dalam, atau olahraga relaksasi. Biasanya diperlukan beberapa sesi sebelum pasien belajar
mengendalikan respon mereka. Walaupun umpan balik hayati sudah dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah nyeri kronik, namun pemakaian metode ini untuk mengobati nyeri kepala. Factor-faktor yang mungkin berperan member efek menguntungkan adalah relaksasi otot, berkurang rasa cemas, pengalihan, dan adanya perasaan peningkatan kemampuan mengendalikan gejala.
4. Kesimpulan
Myeloradiculopathy merupakan penyakit karena kerusakan atau gangguan pada medula spinalis dan gangguan pada akar medula spinalis. Myeloradiculopathy dapat terjadi di servikal, torakal atau lumbal pada spinal dan merupakan penyakit vertebra degeneratif. Penyebab myeloradiculopathy antara lain: merokok, batuk yang terlalu lama, cara duduk yang salah, malas berolahraga, terlalu ser ing menyetir, sering mengangkat beban berat, trauma karena terjatuh, terbentur, usia lanjut, tumor/keganasan (myeloma multiple), osteoporosis, dan fraktur patologis. Intervensi keperawatan tidak hanya mengacu pada pemberian obat untuk merdakan nyeri klien tetapi pendidikan kesehatan perlu diberikan agar klien mengerti tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit sehingga komplikasi tidak akan timbul.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. Mardiati, Ratna. 1996. Buku Kuliah Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: CV.Sagung Seto. Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Doengoes, Marilynn E., dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
View more...
Comments