Kajian Genetik Ekspresi Kelamin

April 22, 2019 | Author: Faiza Imawati | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

genetika kelamin...

Description

Alif Rosyidah El Baroroh Faiza Nur Imawati N. A. KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP PROKARIOTIK

Contoh perkelaminan pada makhluk hidup prokariotik bisa pada  Escherichia coli. coli. Watson dkk. (1987), menyatakan bahwa siklus kelamin  E.coli   E.coli  memiliki ciri yang berbeda. Dinyatakan pula bahwa “seperti pada makhluk hidup tinggi ada sel kelamin jantan dan betina, tetapi sel-sel itu tidak berfusi sempurna, yang memungkinkan kedua perangkat kromosom  berbaur  berbaur dan membentuk genom diploid utuh”. Transfer kromosom (materi genetik) selalu  berlangsung satu arah. Dalam hal ini materi genetik jantan bergerak masuk ke dalam dal am sel-sel  betina; dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Sel kelamin jantan dan betina  E.coli dapat  E.coli dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya suatu kromosom kelamin yang tidak lazim, yang disebut “Faktor F” (F = fertility = kesuburan). Pada sel E.coli sel E.coli,, faktor F dapat berupa suatu badan/bentukan terpisah namun juga  bisa berada dalam keadaan terintegrasi dengan kromosom utama sel. Faktor F ini juga merupakan DNA unting ganda sirkuler (Watson dkk., 1987) dimana dalam tiap sel terdapat satu kopian faktor F yang tersusun dari sekitar 94x10 3  pasang basa (1/40 dari jumlah informasi genetik yang terkandung pada kromosom utama), sedangkan 1/3 DNA faktor F mengandung 19 gen transfer (tra ( tra). ).

scher i cia co coli  Jantan Sel-sel E scher  Jantan (F+) Sel E.coli Sel E.coli dinyatakan  dinyatakan berkelamin jantan jika dalam sel itu terkandung faktor F berupa  badan terpisah t erpisah dari kromosom utama. Sel  E.coli jantan  E.coli jantan ini disebut F+. Sel E.coli dinyatakan  berkelamin betina (F-) jika dalam sel itu tidak terkandung faktor F. Faktor F berperan dalam  proses transfer materi genetik. Transfer materi genetik dari sel  E.coli   E.coli  jantan ke betina didahului oleh terbentuknya  pasangan konjugasi antara kedua sel, dimana pasangan konjugasi tersebut dibentuk melalui  pelekatan suatu pilus kelamin jantan pada permukaan suatu sel kelamin betina. Menurut Watson dkk., (1987) “pelekatan pi lus tersebut merangsang suatu rangkaian kejadian dan mendorong terjadinya replikasi DNA faktor F, selanjutnya menggiring transfer

suatu DNA faktor F (hasil replikasi) ke sel F-. Akibat transfer materi genetik faktor F seluruh sel kelamin betina F- akan berubah menjadi sel kelamin jantan F +. Sel-sel E schericia coli  Berkelamin Jantan (Hfr)

Faktor F dalam sel  E.coli  juga dapat berintegrasi ke dalam kromosom utama sel melalui peristiwa pindah silang. Sel-sel  E.coli  berkelamin jantan (F+), yang faktor F nya terintegrasi kedalam kromosom utama sel, akan berubah menjadi sel Hfr (high frequency recombinant ). Sel-sel Hfr tetap berkelamin jantan, demikian pula tetap membentuk pilus konjugasi dan tetap berfusi dengan sel berkelamin betina (F -) yang memungkinkan  berlangsungnya transfer materi genetik. Seperti Gambar 1. menunjukan proses transfer materi genetik.

Gambar 1. Proses transfer materi genetik faktor F dari sel E. Coli berkelamin jantan (F +) menuju ke sel kelamin betina (F -), proses replikasi melalui replikasi rolling circle. Watson dkk (1987) menyatakan bahwa sel Hfr yang berdekatan dengan sebuah sel (F-), akan terjadi replikasi DNA yang terinduksi oleh konjugasi dan karena ujung pengarah faktor F berdekatan dengan kromosom utama maka terjadi transfer materi genetik utama. Prosese transfer materi genetik memerlukan waktu sekitar 100 menit pada suhu 37 ⁰C selama waktu itu satu genom jantan lengkap telah masuk ke dalam sel betina. EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP EUKARIOTIK Ekspresi Kelamin Pada Tumbuhan Eukariotik Chlamydomonas

 

Sel-sel Chlamydomonas  biasanya haploid dan dapat bereproduksi secara vegetatif

dengan pembelahan. Pada beberapa jenis, tiap sel berfungsi sebagai gamet; dan reproduksi seksual terjadi ketika sel-sel motil berkelamin berlawanan saling bersatu membentuk zigot diploid, untuk selanjutnya mengalami meiosis menghasilkan empat sel haploid yang mana keempat sel haploid itu dapat bereproduksi secara vegetatif menghasilkan lebih banyak lagi sel Chlamydomonas. Beberapa fungsi perkelaminan Chlamydomonas berhubungan dengan kerja senyawasenyawa tertentu serupa hormon, dimana tiap senyawa dibentuk dibawah kendali suatu gen tertentu. Fungsi-fungsi itu adalah: 1) pertumbuhan flagel, 2) konjugasi gamet, 3) penentuan  jenis kelamin, 4) faktor kemandulan, 5) prekursor dari senyawa penyebab kemandulan. Menurut Gardner dkk. (1991) pada C. Reinhardii, latar belakang genetik kelamin  bersifat monogenik [ditemukan alela (+) dan alela ( -) pada lokus mating type]. Secara genetik ada 2 kelamin (mating type) yaitu tipe (+) dan (-), yang tidak dapat dibedakan secara morfologi dan berada dibawah kontrol satu gen. Jenis kelamin Chlamydomonas  dinyatakan sebagai sifat jantan dan betina, dan perkelaminan tersebut bersifat relatif. Menurut Stansfield (1983) menyatakan bahwa individu-individu haploid yang memiliki alela kelamin (mating type) yang sama biasanya tidak dapat bergabung satu sama lain membentuk zigot tetapi bagi sel-sel haploid yang memiliki konstitusi alela yang berlawanan (komplementer) dapat  bergabung.

 Saccharomyces dan Neurospora Latar belakang genetik kelamin pada S.cereviseae  dan  N.crassa  bersifat monogenik atau berada dibawah kontrol satu gen. Pada S.cereviseae mating type nya dibedakan menjadi (+) dan (-), sama dengan pada N.crassa dimana secara morfologis kelamin tersebut tidak bisa dibedakan. Waston dkk. (1987), membedakan kelamin pada S. cereviseae sebagai kelamin (mating type ) α dan α. Individu-individu haploid yang memiliki alela kelamin sama biasanya tidak bergabung satu sama lain membentuk zigot, sel-sel haploid yang memiliki konstitusi alela yang berlawanan (komplementer) dapat bergabung (Stansfield, 1983). Kelas Jamur Basidiomycetes

Sekitar 90% spesies jamur dalam kelas  Basidiomycetes  tergolong heterotalik. Pada sekitar 37% spesies heterotalik tersebut (bipolar) kompatibilitas kelaminnya dipengaruhi

oleh satu pasang faktor Aa yang berperilaku sama seperti pada  N.crassa. Dari sumber yang sama ditemukan informasi bahwa pada 63% spesies heterotalik selebihnya tetrapolar, kompatibilitas kelamin secara mendasar dipengaruhi oleh 2 pasang faktor, AaBb yang terletak pada kromosom berbeda. Terdapat alela ganda yang berdekatan letaknya yang secara  bersamaan menentukan kelamin (mating type) pada tiap lokus.

Lumut H ati Perangkat kromosom sporofit lumut hati Sphaerocarpos  dilaporkan terdiri dari 7  pasangan yang masing-masing kromosomnya setangkup, serta sepasang (pasangan ke 8) yang tidak setangkup kromosomnya. Pada pasangan ke 8 ini salah satu kromosom lebih besar daripada yang lainnya, dan kromosom yang lebih besar itu disebut sebagai kromosom X sedangkan yang lebih kecil disebut sebagai kromosom Y. Saat meiosis, kromosom X dan Y memisah dari keempat meiospora yang dihasilkan tiap meiocyte, dua diantaranya menerima kromosom Y. Meiospora yang mengandung kromosom Y berkembang menjadi gametofit  jantan, dan yang mengandung kromosom X menjadi gametofit betina. Dalam hal ini genotip gametofit betina adalah X dan genotip gametofit jantan adalah Y; sedangkan genotip sporofit adalah XY.

Tumbuhan B erumah Satu dan Berumah Dua Menurut Stansfield (1983) berpendapat bahwa sel-sel pada tumbuhan berumah satu  berpotensi ganda, bahkan dikatakan pula bahwa sel-sel tidak mempunyai kromosom kelamin. Herskowitz (1973) menyatakan bahwa kedua macam sel kelamin pada tumbuhan berumah satu dihasilkan oleh satu genotip. Sedangkan untuk tumbuhan berumah dua, Stansfield (1983) menyebutkan bahwa biasanya keadaan berumah dua itu secara genetik dikendalikan oleh gen  pada satu lokus saja.

 Marga Melandri um Pada marga Melandrium, ditemukan adanya kromosom kelamin X dan Y. Kromosom Y pada marga Melandrium secara fisik ditemukan lebih besar daripada kromosom X, bahkan dikatakan bahwa kromosom Y sudah diketahui pasti sebagai pembawa faktor jantan. Pada Melandrium album, gen penentu kelamin jantan terletak pada kromosom Y, sedangkan gen  penentu kelamin betina terletak pada kromosom X maupun pada autosom. Ekspresi kelamin ditentukan oleh perimbangan antara gen-gen penentu kelamin jantan pada kromosom Y dan gen-gen penentu kelamin betina pada kromosom X maupun pada autosom.

 

Tumbuhan  Melandrium yang mempunyai pasangan kromosom kelamin XX

 berkelamin betina, sedangkan yang mempunyai pasangan XY berkelamin jantan (Adrian dan Owen, 1960) tumbuhan betina memiliki potensi jantan seperti pada tumbuhan yang terinfeksi  jamur akan membentuk anthera. Ekspresi Kelamin Pada Hewan Avertebrata

Paramaecium bursari a Pada  P.bursaria  ditemukan 8 kelamin (mating type); tipe (macam) kelamin secara fisiologis tidak dapat berkonjugasi dengan tipenya sendiri, tetapi dapat berkonjugasi dengan satu dari ke 7 tipe lain.

Ophryotrocha Tipe kelamin pada Ophryotrocha  ditentukan oleh ukuran tubuh hewan itu. Jika  berukuran kecil, hewan itu menghasilkan sperma; jika tumbuh menjadi lebih besar, hewan yang sama itu akan berubah menghasilkan telur.

Cacing Tanah Pada cacing tanah terdapat dua gonad yang terpisah dimana satu gonad menghasilkan gamet jantan dan gonad yang lain menghasilkan gamet betina. Rincian penjelasan tentang hermaproditisma semacam ini sama dengan pada tumbuhan monocius.

Helix Keong dalam marga  Helix  tergolong hemaprodit. Telur dan sperma dihasilkan oleh sel-sel yang kadang-kadang sangat dekat satu sama lain pada satu gonad. Rincian penjelasan tentang hermaproditisma semacam ini sama dengan pada tumbuhan monocius.

Crepidula Tiap individu mengalami suatu urutan perkembangan, mulai dari tahap aseksual yang diikuti oleh suatu tahap jantan. Tahap jantan itu diikuti oleh suatu tahap perantara dan akhirnya tahap betina. Selama tahap jantan, pada individu-individu yang sudah cukup matang dan bersifat sedenter, transformasi ke tahap betina akan menurun; akan tetapi jika tetap bebas mengembara, individu-individu jantan relatif cepat mengalami perubahan memasuki tahap  betina. Perubahan Crepidula dari jantan ke betina dipengaruhi oleh lingkungan.

Lygaeus turcicus

Pada serangga jenis ini sudah ditemukan kromosom kelamin X dan Y, dimana kromosom X lebih kecil dari pada kromosom Y. Zigot yang memiliki kromosom kelamin XX akan menjadi individu betina sedangkan zigot yang memiliki kromosom kelamin XY akan menjadi individu jantan. Mekanisme perkelaminan spesies  Ligaeus turcicus  tergolong XXXY.

H ymenoptera Pada  Hymenoptera, telur yang tidak dibuahi akan berkembang menjadi individu  berkelamin jantan yang haploid dan telur yang dibuahi berkembang menjadi individu betina yang diploid. Individu jantan haploid menghasilkan sperma melalui meiosis dengan  penyesuaian tertentu. Semua gamet yang dihasilkan oleh individu jantan maupun betina mempunyai komposisi kromosom yang secara morfologis identik (tetapi tidak mungkin sama kandungan alelanya). Pada  Hymenoptera, kromosom kelamin tidak berperan pada ekspresi kelamin; dan  jumlah maupun mutu makanan yang dimakan larva yang diploid akan menentukannya tumbuh dan berkembang menjadi individu betina pekerja yang steril, atau ratu yang fertil. Lingkungan menentukan sterilitas atau fertilitas, tetapi tidak mengubah kelamin yang secara genetik telah tertetapkan. Pola ekspresi kelamin pada  Hymenoptera  disebut sebagai haplo ploidy

Drosophila melanogaster Pada  D.melanogaster   terdapat kromosom kelamin X dan Y. Dalam keadaan diploid normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY, atau pasangan kromosom secara lengkap sebaga AAXX dan AAXY (jumlah autosom sebanyak tiga pasang). Mekanisme ekspresi kelamin pada D.melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme  perimbangan antara X dan A (X/A), atau disebut juga mekanisme keseimbangan determinasi kelamin atau

“keseimbangan gen”. Mekanisme tersebut merupakan perimbangan antara

 jumlah X pada kromosom kelamin dengan jumlah A (autosom) pada tiap pasangan A. Hasil  perimbangan itu disebut sebagai numerical sex index atau indeks kelamin numerik.

Gambar 2. Ekspresi kelamin haploid-diploid pada lebah madu (Maxon dkk., 1985) Pada kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina; sedangkan  perangkat gen untuk kelamin jantan ada pada pasangan-pasangan autosom. Indeks kelamin numerik pada  D.melanogaster   dijelaskan sebagai suatu hasil akibat keadaan tertentu yang terjadi karena adanya interaksi antara determinan jantan pada autosom dan determinan betina  pada kromosom kelamin X. Tampaknya ada semacam interaksi antara determinan jantan  pada autosom dan determinan betina pada kromosom X yang juga menyebabkan munculnya fenotip kelamin pada D. melanogaster . Mekanisme ekspresi kelamin X/A pada  Drosophila  sudah diketahui berhubungan dengan beberapa gen pada kromosom X maupun autosom. Beberapa gen tersebut diantaranya gen Sx1 ( sex-lethal ) pada kromosom X, dan beberapa gen lain pada kromosom X ataupun autosom. Gen Sx1 memiliki dua macam keadaan aktivitas, yaitu saat keadaan sedang bekerja dan keadaan tidak sedang bekerja. Pada keadaan sedang bekerja, gen Sx1 bertanggung jawab atas perkembangan betina sedangkan pada keadaan tidak sedang bekerja, maka yang  berkembang adalah kelamin jantan. Selain itu ditemukan juga peranan gen dsx (doublesex) dan tra (transformer ) terhadap fenotip kelamin  Drosophila. Gen dsx  mengubah individu  jantan maupun betina menjadi individu intersex, sedangkan gen tra mengubah individu betina (berdasarkan konstitusi kromosom) menjadi individu jantan steril. Ekspresi kelamin  Drosophila  ditentukan oleh adanya rangkaian tahap aktivasi gen yang masing-masing menuju ke pembentukan suatu protein yang memungkinkan  penyambungan yang benar atas RNA yang disintesis pada tahap berikutnya.

Caddies F lies, K upu Siang (Butterfli es), dan K upu M alam (Moths), serta Ulat Sutera Pada caddies flies, kupu siang (butterflies), dan kupu malam (moths), serta ulat sutera, individu yang bergenotip XX memiliki fenotip kelamin jantan. Akan tetapi dikatakan pula  bahwa kromosom kelamin pada hewan-hewan itu disimbolkan sebagai ZZ (Jantan) dan ZW atau ZO untuk betina.

Boniella Pada  Boniella, telur-telur yang telah dibuahi, yang tumbuh pada keadaan tanpa individu betina akan berkembang menjadi betina. Telur-telur itu akan tumbuh dan  berkembang menjadi individu jantan jika ada individu betina dewasa atau sekurangkurangnya ada ekstrak dari belalai individu betina. Ekspresi kelamin pada Boniella merupakan contoh fenomena perkelaminan yang non genetik dan tergantung faktor-faktor lingkungan luar. Individu jantan dan betina memiliki fenotipe serupa, namun rangsangan dari lingkungan memulai perkembangan ke arah salah satu kelamin atau yang lainnya. Ekspresi Kelamin Pada Hewan Vertebrata

Pisces Ekspresi kelamin pada ikan sangat beragam, termasuk tipe mekanisme kromosom kelamin. Kebanyakan spesies ikan budidaya memiliki tipe perkelaminan “gonochoristik”. Pada tipe ini, ikan-ikan yang memiliki gonad dibedakan menjadi dua tipe, yaitu spesies yang memiliki gonad yang belum berdiferensiasi dan yang memiliki gonad yang sudah  berdiferensiasi. Pada spesies yang gonadnya belum berdiferensiasi, pertama kali gonad  berkembang menjadi suatu gonad serupa ovarium; selanjutnya kira-kira separuhnya menjadi individu jantan, sedangkan separuhnya lagi menjadi individu betina. Pada spesies yang gonadnya sudah berdiferensiasi, gonad-gonadnya langsung berdiferensiasi menjadi suatu testis atau ovarium. Pada beberapa ikan juga terdapat mekanisme ekspresi kelamin ZZ-ZW seperti pada  burung dan kupu-kupu malam karena memiliki komposisi kromosom telur menentukan kelamin turunan. Ditemukan juga kromosom-kromosom heteromorfik pada beberapa spesies ikan laut dalam.

Tabel 1. Jumlah kromosom (2n) serta macamkromosom kelamin pada ikan (Yamazaki, 1983).

 Amphibia Pada  Amphibia  tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin. Banyak kelompok Amphibia yang sudah dikaji pola ekspresi kelaminnya, dan terlihat jelas bahwa di kalangan tersebut sudah ada kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-ZW). Ada  pula beberapa kelompok yang tidak memiliki kromosom kelamin seperti  Xenopus laevis. Studi tentang ekspresi gen untuk antigen permukaan sel H-Y sudah mengkonfirmasikan heterogami pada  Xenopus laevis dan menunjukan heterogami jantan pada  R. Pipiens. Gengen terpaut kelamin untuk enzim, lokus-lokus genetik terpaut kelamin sudah terdeteksi.

Reptilia Pada banyak jenis reptil, individu heterogametik berkelamin betina bersimbol ZW dan yang homogametik jantan bersimbol ZZ. Pada beberapa reptil suhu pengeraman telur yang telah dibuahi berpengaruh besar terhadap ekspresi kelamin turunan. Faktor dalam lingkungan

mempengaruhi rangsangan ekspresi gen-gen yang menghasilkan fenotip jantan maupun yang menghasilkan fenotip betina.

 Aves Kromosom kelamin pada burung disimbulkan XX atau ZZ untuk yang jantan, dan XO, ZW, atau ZO, untuk yang betina. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penentuan kelamin pada ayam dan mungkin juga burung secara keseluruhan sama dengan yang ditemukan pada Drosophila, yaitu tergantung pada perimbangan Z dan A atau Z/A.

 Mammalia: Tikus dan Manusia Perkembangan kelamin pada Mammalia terbagi menjadi dua proses, yaitu diferensiasi kelamin somatis atau sekunder dan diferensiasi kelamin pada sel germinal. Konstitusi kromosom dalam inti adalah yang pertama kali menentukan diferensiasi kelamin dari gonad awal. Apabila kemudian terbentuk testis, maka akan disekresikan hormon testosteron. Apabila ovarium yang terbentuk, maka tidak adanya testosteron memungkinkan sel-sel somatik berkembang dalam jalur betina. Pembentukan testis dikendalikan gen-gen yang terdapat pada kromosom Y sehingga  jenis kelamin Mammalia ditentukan oleh kromosomY. Saat ini pada kromosom Y dari tikus (mice) sudah ditemukan gen atau perangkat gen yang mengendalikan suatu ciri dominan yang disebut Sex-reversed  (Sxr ) trait   yang menyebabkan zigot tikus bergenotip AAXX tumbuh dan berkembang menjadi individu tikus  berfenotip kelamin jantan lengkap dengan testis, sekalipun tidak mengalami spermatogenesis. Berkenaan dengan perkembangan testis, pada kromosom Y manusia terdapat gen TDF  (Testis Determining Factor ) yang bertanggungjawab terhadap perkembangan testis dan diketahui mengkode semacam protein yang diduga mengatur ekspresi gen lain. Gen lain yang  juga dinyatakan ikut bertanggung jawab yaitu gen  H-Y   yang terpaut kromosom kelamin Y dan dinyatakan ikut bertanggungjawab terhadap diferensiasi testis maupun spermatogenesis. Selain itu, gen Tfm+  yang terpaut pada kromosom kelamin X (Individu jantan) mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosteron pada sitoplasma dari semua sel (jantan maupun betina) BEBERAPA PEMIKIRAN

Kromosom pada dasarnya bukanlah yang menentukan jenis kelamin terwujud pada makhluk hidup. Yang benar adalah bahwa gen atau perangkat gen pada kromosom kelamin Y yang menentukan jenis kelamin manusia. Kromosom kelamin sama saja dengan autosom, sama-sama membawa faktor keturunan. Ekspresi kelamin makhluk hidup dikendalikan oleh gen-gen yang saling berinteraksi. Keseimbangan tertentu dalam interaksi gen itu bertanggung jawab atas ekspresi kelamin makhluk hidup. Ekspresi gen-gen yang interaksinya bertanggung jawab atas fenotip kelamin makhluk hidup, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Ekspresi gen-gen itu tidak bebas dari faktor lingkungan (fisikokimiawi) internal maupun eksternal. B. KROMOSOM KELAMIN SEJARAH PENEMUAN KROMOSOM KELAMIN

Pada tahun 1891 H. Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat ditemukan (dilacak) selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuhnya sperma menerima struktrur tersebut sedangkangkan separuhnya tidak menerimanya dan struktur tersebut diidentifikasi sebagai “X- body”. Pada tahun 1902 C. E. McClung membenarkan observasi Henking atas dasar obserasi sitologis terhadap berbagai spesies belalang, dan ditemukan pula bahwa sel-sel soma pada indivudu jantan berbeda dengan sel-sel soma pada individu betina. Kemudian pada awal abad ke 20 E. B. Wilson dkk., menyatakan bahwa  X body yang dilaporkan oleh Henking merupakan suatu kromosom yang menentukan kelamin. Sejak saat itu X body tersebut dikenal dengan kromosom kelamin atau kromosom X. E. B Wilson menemukan bahwa susunan kromosom yang lain pada Lygaeus turcicus. Pada serangga ini jemlah kromosom yang sama ditemukan pada sel-sel dari kedua macam kelamin. Akan tetapi, kromosom homolog dari nkromosom X ternyata lebih kecil ukurannya dan disebut kromosom Y. Zigot XX akan menjadi individu betina, sedangkan zigot XY akan menjadi individu jantan. EVOLUSI KROMOSOM KELAMIN Evolusi Kromosom X dan Y Pemula

Asal mula evolusioner kromosom kelamin primitif berkaitan erat dengan evolusi kelamin terpisah yang berlatarbelakang genetik. Pola transisi paling sederhana, dari keadaan kelamin tergabung menuju kepada suatu keadaan kelamin terpisah sempurna, adalah melalui

kejadian mutasi pada dua lokus. Salah satu lokus itu adalah f, yang mengontrol fungsi betina dan m yang mengatur lokus jantan. Mekanisme pada dua lokus diikuti dengan roses seleksi dan pengurangan rekombinasi akan memunculkan kromosom proto X maupun kromosom  proto Y. Setelah itu akan terjadi proses seleksi lebih lanjut yang berkenaan dengan seleksi alela-alela yang menguntungkan pada individu jantan tetapi merugikan individu betina, yang akan mengarah pada diferensiasi genetic selanjutnya antara kedua kromosom kelamin. Erosi Kromosom Y

Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom  pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchel” bersangkut paut dengan hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Peristiwa tersebut menyebabkan  peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking” dengan mutasi -mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y . Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO

Westergaard mengemukakan bahwa system keseimbangan X/A berevolusi dari system kromosom Y penentu kelamin jantan. Spesies-spesies yang mempunyai suatu gen semacam mf yang dibutuhkan untuk perkembangan kea rah kelamin jantan, terpaksa mempertahankan suatu pola Y determinasi kelamin berupa kromosom Y sebagai penentu kelamin jantan, kecuali hal tersebut telah diganti ole h mekanisme genetik lain. Diduga bahwa ekspresi gen f f dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak adanya produk f f misalnya dikarenakan kehadiran suatu alela f f   sterilitas betina yang dominan mengarah kepada perkembangan parsil atau lengkap kelamin jantan. Pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa f f dan mf berakibat munculnya individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). Berkenaan dengan determinasi kelamin X/A yang berevolusi dari keadaan tersebut, setelah itu diduga adanya evolusi suatu alela tersebut mengurangi ekspresi satu-satynya ekspresi copy f f  pada individu jantan yang mengarah kepada peluang karakter jantan yang lebih tinggi. KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN Penemuan Morgan Tentang Pautan Kelamin Pada Drosophila

Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, dan gen terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X, tepatnya pada lokus w (Gardner dkk., 1991). Persilangan berikut memperlihatkan hal tersebut (Gambar 2).

Pada persilangan tersebut terlihat bahwa seluruh turunan F1 bermata merah. Pada F2 75% turunan bermata merah, sedangkan 25% lainnya bermata putih. Ke 25% turunan F2 yang bermata putih itu berkelamin jantan. Terbukti pula 50% turunan jantan F2 bermata merah, 50% lainnya bermata putih (ke 25% tersebut). Secara keseluruhan pada percobaan  persilangan itu, alel resesif diekspresikan hanya pada individu jantan. Atas dasar percobaan  persilangan itu disimpulkan bahwa gen warna mata tersebut terdapat pada kromosom kelamin X sehingga kebakaan warna mata pada Drosophila terpaut kromosom kelamin (kromosom X). Pola-pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin

Dikalangan makhluk hidup yang memiliki kromosom kelamin XX-XY (misalnya  pada manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin X sebagian tidak ditemukan sama sekali pada kromosom Y sehingga disebut terpaut kelamin lengkap (completely sex linked ), sebagian dapat berekombinasi melalui pindah silang (crossing over ) dengan gen yang terdapat pada kromosom Y, seperti layaknya gen pada autosom homolog ( incompletely sex linked / partially sex linked ). Pada kromosom Y juga ditemukan gen yang tidak terdapat pada kromosom X. Gen tersebut disebut terpaut seluruhnya pada kromosom Y( completely Y linked ) atau dikenal sebagai gen holandrik. Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola crisscross pattern of inheritance (pola pewarisan menyilang). Dalam hal ini suatu sifat fenotip yang ada pada

induk betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, dan yang ada pada induk jantan diwariskkan (tidak terekspresi) melalui turunan beti na keturunan jantan F2 dan diekspresikan. Pertanyaan 1. Mengapa seleksi alel menguntungkan bagi individu jantan dan merugikan pada individu  betina? Karena proses seleksi dan penggurangan rekombinasi akan memunculkan kromosom  proto X   dan kromosom  proto Y yang akan mengalami mutasi pada kedua lokusnya. 2. Gen-gen apa saja yang berperan dalam penentuan kelamin pada mamalia? - Gen TDF : gen-gen penentu kelamin jantan pada kromosom Y atau master regulator, apabila tidak ada gen TDF maka gen-gen akan menghasilkan fenotip kelamin betina. - Gen H-Y : bertanggungjawab dalam diferensiasi testis maupun spermatogenesis, gen HY akan mengatur protein antigen H-Y. - Gen Tfm : mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosteron yang ada  pada sitoplasma dari semua sel baik jantan maupun betina.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF