Jurnal Teori Ilmu Politik
July 30, 2017 | Author: Chichi 'Aisyatud Da'watiz Zahroh | Category: N/A
Short Description
jurnal iilmu politik...
Description
JURNAL TEORI ILMU POLITIK (CATATAN KULIAH) Kamis, 10 Oktober 2002 Dr. Bahtiar Effendi State/Negara Sebagai Teori Teori ini melihat negara sebagai sebuah pendekatan dalam melihat perkembangan masyarakat. Alasannya karena selama ini teori politik yang ada terlalu berpusat pada masyarakat (society centre). Kurang sekali teori memberi perhatian kepada negara dan cenderung kepada aktor-aktor politik di masyarakat. Definisi negara sendiri setidaknya jika merujuk Weber biasanya punya teritori (wilayah), warga negara dan lain-lain. Negara sebuah sebuah entitas adalah satu-satunya pihak yang memonopoli penggunaan senjata. Entitas negara kok tidak berperan apa-apa, sedangkan masuarakat bisa. hal tersebut karena negara tidak dianggap sebagai aktor. Negara juga tidak bisa dilihat dari perspektif strukturalis dan instrumentalis. Negara juga punya kepentingan sendiri tidak hanya sebagai struktur yang melakukan sesuatu atau berperan hanya atas nama perintah pihak lain (masyarakat). Kita harus melihat negara sebagai variabel yang independen. Dalam negara banyak kepentingan yang ada di masyarakat. Negara harus mampu mentransendensi kepentingankepentingan itu. Dalam konteks itu, negara punya kepentingan untuk mengatur. Lainnya negara yang mendistribusikan kekayaan negara atau mengekstrak sumber daya serta menentukan pajak untuk didistribusikan kembali. Problemnya, tidak semua negara punya kemampuan yang sama. Karena itu negara harus punya kekuasaan. Dalam kenyataannya, kapasitas negara berbeda satu sama lain bahkan ada yang sama sekali tidak mampu (weak state). Ini dalam kaitan relasi antara negara dengan masyarakat, idealnya berimbang. Meskipun ada juga negara yang kuat (strong state) seperti Orde Baru, sekarang Indonesia masuk kategori weak state. Masalahnya, definisi negara terlalu abstrak seperti Hongkong pada masa kolonial Inggris, Singapura pada masa Lee Kuan Yew (hanya LKY atau PAP yang berkuasa) dan lain-lain. Nordlinger memberi batasan atau prasyarat tentang keadaan tersebut 1. Mullability 2. Insulation 3. Resilience 4. Vulinerability Jika negara dapat melakukan ini, maka negara dapat mentransenden. Dalam pembahasan lain, Huntington meski tidak eksplisit menyatakan 1. adaptability-rigidity 2. autonomy-subordination 3. coherence-disunity 4. complexity Sebuah institusi akan kuta jika sejauh mana mampu melakukan hal di atas. Semuanya bisa terjadi hanya melalui waktu/masa. Sebuah negara tidak bisa kuat secara instan. Otonomi relatif negara itu ada dengan melihat indikasi di atas meski definisi negara sendiri abstrak. Dalam hubungan antara negara dengan masyarakat harus ada kelompok yang mampu menjadi pendorong atau penengah yaitu civil society. Tetapi konotasi civil society seringkali lebih ke counterbalancing khususnya di Indonesia atau negara lain seperti Polandia masa Lech Walesa. Mestinya civil society berperan sebagai komplemen atau suplemen seperti di negara maju (Eropa) civil society tidak gembor-gembor bahkan tidak terlihat karena mereka menyatu dalam negara. Tokoh-tokohnya antara lain Dietriech Ruschmeier, Eric Nordlinger, Peter Evans, Thedo Skopot. tentang hal ini harap identifikasi apa kelemahan kekuatan dan sejauh mana bisa diaplikasikan baik dari masa lalu hingga sekarang.9indra pahlevi) JURNAL TEORI ILMU POLITIK (CATATAN KULIAH) Kamis, 3 Oktober 2002 Dr. Bahtiar Effendi Korporatisme Digolongkan pada pendekatan yang konservatif. Sebuah teori tapi bisa menjadi ideologi serta bisa juga menjadi sebuah rezim pemerintahan yang korporatis. Korporatisme merupakan reaksi terhadap rezim pluralisme. Setelah PD II, teori rezim pluralis muncul sebagai reaksi terhadap rezim-rezim fasis Itali, Jerman dan Jepang. Setelah kolaps, orang membicarakan perlunya pluralisme sebagai lawan dari totaliter yang lebih menekankan kelompok-kelompok di masyarakat tapi mengakui adanya negara yang mengatur mereka (kelompok-kelompok). Korporatisme muncul sebagai rekasi atas paham pluralisme itu karena tidak selamanya
memuaskan sistem pluralis tersebut seperti demokrasi, apalagi tidak memiliki resources yang seimbang. Dalam perkembangannya, korporatisme sering diasosiasikan totaliter, fasis karena lebih ditinjilkan peran negara. Negara mengatur keberadaan kelompok-kelompok di masyarakat, sementara dalam sistem pluralis negara tidak begitu penting dan dianggap hanya sebagai arena. Korporatis Negara menentukan korporat-korporat/kelompok-kelompok masyarakat untuk diberikan representasi-representasi tertentu dalam hubungannya dengan negara yang dalam suatu sistem perwakilan kepentingan (interest representation). Negara menjamin adanya wakil-wakil dari setiap kelompok dalam hubungannya dengan negara. Negaralah yang mendefinisikan. Seperti pemikiran Soepomo tentang paham negara integralistik. Konstituen dari unit-unit perwakilan diorganisasikan oleh negara. Susunan kelompok kepentingan sangat hirarkis. Dengan itu kepentingan golongan-golongan terjamin dengan kondisi organisasi tersebut tidak muncul dengan sendirinya tapi harus dengan izin da diakui negara. Filsafat dasarnya menganggap negara sebagai keluarga besar. Masih mengakui hak individu serta negara melindungi kelompok yang tidak bisa bersaing. Dalam praktek sulit menemukan negara yang menerapkan teori korporatisme. Teori ini sebetulnya mati, tidak berkembang. Mungkin elemennya ada. Muncul tahun 1960-an - 1970an, sekali-sekali dipakai dalam menjelaskan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah. teori politik dipengaruhi oleh 2 pola : 1. kekuatan masyarakat (seperti pluralis, demokrasi) dan 2. state center pengembang teori korparatis ini adalah Philip Schmitter. kelemahan teori ini adalah terlalu homogenisasi karena tidak mungkin kelompok kepentingan di masyarakat hanya muncul 1 kelompok saja untuk satu profesi atau kelompok kepentingan. meniadakan pluralitas. Indonesia tidak bisa dilihat dari 1 teori saja tapi dari beberapa teori. Karena Indonesia masih menggunakan pendekatan personal role atau peran aktor seperti Soekarno dan Soeharto. (Indra Pahlevi) JURNAL ILMU POLITIK (CATATAN KULIAH) Kamis, 26 September 2002 Dr. Bahtiar Effendi Dependensia/Ketergantungan Teori ini merupakan reaksi radikal dari teori-teori yang dikembangkan kalangan liberal. Bagi mereka (radikalis) apa yang diasumsikan oleh kalangan liberal seperti Huntington tidak benar. Yang membuat negara dunia ke III menjadi tidak maju/situasi modern bukan karena tidak mampu, tetapi situasi itu disebabkan oleh hubungan antara mereka dengan negara maju. Oleh karena itu mereka harus memutus hubungan dengan negara maju. Teori ini juga berdasarkan pada keadaan empirik di Amerika Latin. Teori ini berasal dari kalangan Latin Amerika yang tergabung dalam ECLA (Economis Commision on Latin America) yang melakukan studi melalu time series dengan menentukan adanya ketidaksetaraan dalam hal TOT (Term Of Trade atau cara-cara perdagangan) antara Amerika Utara dengan Latin. Antara keduanya jomplang. Latin menyediakan bahan baku dalam bentuk row material, sehingga tidak ada added value lalu diproses di Amerika Utara baru dikembalikan le Latin dengan harga yang jauh lebih tinggi. Sehingga tidak ada keuntungan bagi Latin. Keuntungan yang besar diperoleh oleh tiga kelompok dalam bentuk segitiga yaitu State di puncak, lalu di sudut kiri ada Multi National Corporation (MNC) dan di sudut kanan ada local beourgeoise. Dari kondisi tersebut, TOT menjadi tidak seimbang dan hanya menguntungkan mereka (3 kelompok tersebut) sehingga kalangan dependensia yang sangat radikal yaitu Andre Gunder Frank menyatakan putus hubungan dengan negara maju. Dengan dependensia menurut Andre 1. tidak ada pertumbuhan 2. tidak ada pemerataan 3. tidak ada.... (Pak Bahtiar Lupa) Selama ada hubungan dengan negara-negara maju (Center) akan menimbulkan pola-pola pembangunagn seperti negara-negara satelit atau periperi dengan tergantung kepada center atau metropole. Tetapi tidak semua kalangan dependensia seperti Andre, ada juga yang moderat seperti Cardozo yang mengatakan ada pertumbuhan meski distribusinya tidak ada (associated dependent development). Asia Timur khususnya Taiwan dan Korsel merupakan contoh negara dependensia yang ada
pembangunan dan ada distribusi karena time frame berbeda, maka ada variasi. Teori ini lebih appealing, menarik dan banyak ditiru daripada modernisasi. Karena lebih memacu negara berkembang menjadi maju secara ekonomi. Kerangka awal tersebut (di Amerika Latin( dikemukakan Raul Prebish. Ada yang membuat atau memproduksi sendiri tapi ternyata lebih mahal. Di Indonesia dihubungkan dengan membuat industri yang spektakuler (Hi-tech) seperti industri pesawat tapi tidak diikuti dengan basis insdustri pendukungnya. Sementara Cina menerapkan industri yang menengah. Ketifa faktor di atas (State, MNC dan borjuis lokal) menentukan juga proses politik di suatu negara (otoritarianisme, represive development) Orang-orang yang nasionalismenya kuatmudah terpengaruh dengan gagasan ini. Masalahnya adalah kalau mengikuti dunia luar akan mengalami nasib buruk, tapi tidak semua negara seperti yang terlihat dengan Singapore, Myanmar dan Albania. Peter Evans, seorang dependensialis tapi melakukan revisi-revisi yaitu : 1. tingkat hubungan antara metropole dengan satelit (tingkat kolonialisme) seperti di Korut tidak terlalu dalam 2. kebijakan industri seperti di Cili, Brasil, Argentina. Tingkatan hubungan yang mempengaruhi apakah negara itu untung/maju atau tidak dengan berhubungan dengan negara maju. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah pilihan kebijakan. (Indra Pahlevi) JURNAL TEORI ILMU POLITIK (CATATAN KULIAH) Kamis, 19 September 2002 Dr. Bahtiar Effendi Institusionalisasi dan Tertib Politik Teori ini yang mendorong negara menjadi otoriter. Tokoh yang membangun adalah Samuel Huntington. Munculnya teori ini pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Teori ini mengkritik dan menentang teori modernisasi yang menyatakan akan melahirkan adanya pembangunan politik. Modernisasi justru melahirkan ketidakstabilan dan melahirkan tuntutan masyarakat sedemikian rupa dan negara tidak mampu mengatasinya. Sebagai negara baru (negara dunia ketiga/berkembang) negara belum terinstitusionalisasi sehingga belum kuat. Dalam kaitan itu modernisasi berbeda dengan modern, modern adalah situasi yang selesai, sementara modernisasi merupakan proses yang sedang berjalan. Dalam proses ini apapun bisa terjadi. Negara belum tentu bisa menampung karena merupakan negara baru (berkembang). Dalam negara berkembang, negara masih bersifat soft state yaitu lemahnya penegakan hukum, birokrasi imparsial. Teori Huntington merupakan pengalaman politik di sejumlah negara besar Asia, Amerika dan Afrika. Karena saat itu telah terjadi pembusukan politik dan menjadi negara otoriter. Tetapi ada juga negara yang memang memiliki buffer zone (wilayah penyangga) seperti Thailand. Sementara Indonesia dan banyak negara tidak punya. Di negara berkembang, proses institusionalisasi dan tertib politik dilakukan melalui otoritarianisme seperti terlihat dalam bagan di bawah ini : Otoritarianisme -------- Institusionalisasi dan Tertib Politik ---------- Pembangunan Politik Menurut Huntington, tertib politik lebih penting daripada kebebasan. Bagaimana mau hidup bebas kalau tidak tertib. Orang bisa lebih hidup dalam tertib politik meski tidak bebas daripada hidup dalam kebebasan tapi tidak ada tertib politik. Selain itu negara juga harus stabil jika ingin mampu mengelola negara. Huntington menganggap kebebasan ditunda dulu sebentar, jadi agak otoriter juga sih, seperti kasus Indonesia.Bagaimana menciptakan institusionalisasi dan tertib politik itu, yaitu dengan meminimalkan otoritarianisme. (Indra Pehlevi) JURNAL TEORI ILMU POLITIK Kamis, 12 September 2002 Dr. Bahtiar Effendi Modernisasi Modernisasi merupakan teori yang awalnya bukan dari kalangan ilmuwan politik tapi sosiologi kemudian diambil untuk menjelaskan situasi dan kondisi politik tertentu. Adalah Karl Deutch, Daniel Lerner dan Seymour Lipset yang menjadi tokoh-tokohnya yang menyatakan ada sejumlah faktor sosial yang mengakibatkan situasi sosial (politik) tertentu. Yang dimaksud situasi sosial tertentu tersebut adalah modernisasi dengan mensyaratkan adanya : 1. pendidikan 2. ekonomi 3. urbanisasi 4. literasi dan 5. komunikasi (koran dan media massa lainnya). Lerner, setelah melakukan penelitian empirik di Turki, mendapatkan faktor-faktor tersebut.
Sementara Lipset menyatakan bahwa prasyarat demokrasi adalah faktor-faktor di atas. Di Asia Tenggara tahun 1980-an, prasyarat itu ada tapi demokrasi tidak ada (otoriter). Sementara di Asia Selatan (India) adalah negara demokrasi terbesar padahal tingkat ekonominya rendah. Di Asia Tenggara yang terjadi adalah pembalikan teori modernisasi yang mengarah ke demokrasi. Pola yang ada adalah Kapitalisme -------- Demokrasi atau Otoritarianisme ------- Growth/kapitalisme JURNAL TEORI-TEORI ILMU POLITIK Kamis, 05 September 2002 Dr. Kusnanto Anggoro Pengantar kuliah Saran-saran praktis untuk belajar: 1. Satu kali baca untuk banyak keperluan. Misalnya baca Plato sekali untuk keperluan pemahaman dalam rangka PP, TIP, persiapan paper, tesis dst. 2. Yang penting wawasannya konsisten, penilaian tergantung pada argumennya. Contoh, dapat saja berbeda pendapat dengan dosen, asal ada argumennya. Q: Apa perbedaan kuliah Pemikiran Politik dengan TIP? PP membicarakan ide atau pemikiran seseorang dalam kontinyuitas hidup si pemikir. Sementara TIP hanya mengambil bagian yang praktis dan relevan dari pemikiran dalam rangka menjelaskan fenomena sosial tertentu. Jadi, apakah unsur-unsur pokok dalam ilmu politik? Unsur-unsur tersebut berbeda-beda dari satu pakar ke pakar yang lainnya. Namun setidaknya ada 4 unsur yang utama: 1. Social base for political participation. 2. Leadership 3. Internal dynamics 4. Arts of bargaining
View more...
Comments