September 29, 2017 | Author: Wahyu Bm | Category: N/A
Download Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2-Nop...
JURNAL TEKNIK ENERGI PERANCANGAN GENERATOR LOW RPM UNTUK PLT_ANGIN, oleh SP MURSID POTENSI PLTMH PADA FASILITAS BPT MILIK PDAM - SUATU STUDI KASUS DI PDAM KABUPATEN WONOGIRI, WONOGIRI oleh leh WAHYU BUDI MURSANTO SIMULASI NUMERIK PENGARUH ALIRAN UDARA TERHADAP KARAKTERISTIK SEMPROTAN BIOETANOL DALAM INTAKE MANIFOLD, MANIFOLD oleh BUDI SUHARTO RANCANG BANGUN KONTROL PENYUSUNAN KEMBALI SUSUNAN MODUL POTOVOLTAIK (PV) UNTUK APLIKASI POMPA AIR VOLUMETRIK, VOLUMETRIK, oleh ACENG DAUD EVALUASI KINERJA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR DI PT INDONESIA POWER UBP PRIOK, oleh KARTONO, ARTONO, dkk EVALUASI VALUASI KINERJA BOILER UNIT 2 PLTU 2 BANTEN-LABUAN LABUAN MENGGUNAKAN METODA LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG, LANGSUNG oleh MARID MARIDJO, dkk STUDI PEMAKAIAN SUPLAI DAYA “SOLAR CELL-HYBRID HYBRID OFF GRID” GEDUNG LABORATOIUM ENERGI SURYA-JURUSAN SURYA JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI POLBAN POLBAN, oleh MARDIYANTO, dkk PENGARUH JUMLAH FASA TERHADAP TERHADAP FREKUENSI KELUARAN PADA STEP DOWN CHOPPER, oleh AHMAD MUDAWARI EFEK KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS KESELURUHAN TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENDINGIN BANTALAN GENERATOR, oleh SRI WURYANTI WURYANTI, dkk UJI PERFORMANSI SI DAN EMISI GAS BUANG MESIN DIESEL PERKIN 4 SILINDER KAPASITAS 75 KW BERBAHAN BAKAR ECOLU,, oleh IKA YULIYANI, dkk.
JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
ISSN : 2089 -2527
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
JURNAL TEKNIK ENERGI
Penerbit: Jurusan Teknik Konversi Energi Politeknik Negeri Bandung
Penanggung Jawab: Ketua Jurusan Teknik Konversi Energi
REDAKSI Pimpinan Redaksi: Ignatius Riyadi Mardiyanto, MT. Redaksi Pelaksana: Arya Wulung, MT Ika Yuliyani, MT. Purwinda Iriani, MT. Sri Utami, MT. Apipudin, MT. Siti Saodah, MT. Redaksi Ahli: Dr Ir. Hermagasantos Zein, MSc Ir Conny K W, PhD Sri Paryanto Mursid, MEng Tina Mulya Gantina, MT
Alamat Redaksi Jurusan Teknik Konversi Energi Politkenik Negeri Bandung Jl Geger Kalong Hilir Ds. Ciwaruga Telp (022) 2013789 ext 150, (022) 2011095
Jurnal Teknik Energi terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober, memuat artikel ilmiah tentang energi dan keenergian.
2
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Prakata Terimakasih kami ucapkan kepada para pihak yang telah bersedia menyediakan sarana, dana, restu dan juga tulisannya sehingga Jurnal Teknik Energi terbitan kedua ini menjadi terwujud. Jurnal ini dimaksudkan untuk menerbitkan secara berkala dari hasil penelitian dosen, dosen dengan mahasiswa khususnya pada tingkat akhir atau karya akhir sehingga karya tersebut dapat dibaca dan dinikmati oleh masyarakat. Tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk diterbitkan pada yang berupa hasil karya dari masyarakat yang berminat untuk menyumbangkan tulisan pada jurnal ini. Pada edisi kedua ini masih dituliskan karya dosen dari hasil penelitian, baik yang dibiayai oleh donor, pemerintah ataupun mandiri. Juga ditampilkan karya dosen dan mahasiswa tingkat akhir maupun alumni. Fokus terbitan kali ini adalah pada topik energi terbarukan, dengan menampilkan hasil penelitian tentang “Generator Low RPM oleh SP.Mursid, Studi Penelitian PLTMH oleh Wahyu BM., penelitian Sel Surya oleh Aceng Daud dan Mardiyanto, dkk., serta Bioethanol oleh Budi Suharto”. Selain itu, juga diterbitkan hasil penelitian tentang “Teknologi pendinginan mesin konversi oleh Sri Wuryanti, dkk., dan studi performansi dari mesin konversi energi oleh Kartono, dkk ,oleh Maridjo, dkk., dan oleh Ika Yuliyani, dkk.. Satu topik tentang DC Chopper oleh Achmad Mudawari, juga ditampilkan dalam edisi kali ini.
3
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
JURNAL TEKNIK ENERGI
DAFTAR ISI JUDUL
halaman
PERANCANGAN GENERATOR LOW RPM UNTUK PLT_ANGIN, oleh SP MURSID POTENSI PLTMH PADA FASILITAS BPT MILIK PDAM - SUATU STUDI KASUS DI PDAM KABUPATEN WONOGIRI, oleh WAHYU BUDI MURSANTO SIMULASI NUMERIK PENGARUH ALIRAN UDARA TERHADAP KARAKTERISTIK SEMPROTAN BIOETANOL DALAM INTAKE MANIFOLD, oleh BUDI SUHARTO RANCANG BANGUN KONTROL PENYUSUNAN KEMBALI SUSUNAN MODUL POTOVOLTAIK (PV) UNTUK APLIKASI POMPA AIR VOLUMETRIK, oleh ACENG DAUD EVALUASI KINERJA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR DI PT INDONESIA POWER UBP PRIOK, oleh KARTONO, dkk EVALUASI KINERJA BOILER UNIT 2 PLTU 2 BANTEN-LABUAN MENGGUNAKAN METODA LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG, oleh MARIDJO, dkk ANALISIS PEMAKAIAN SUPLAI DAYA “SOLAR CELL-HYBRID OFF GRID” GEDUNG LABORATOIUM ENERGI SURYA-JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI POLBAN, oleh MARDIYANTO, dkk PENGARUH JUMLAH FASA TERHADAP FREKUENSI KELUARAN PADA STEP DOWN CHOPPER, oleh AHMAD MUDAWARI EFEK KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS KESELURUHAN TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENDINGIN BANTALAN GENERATOR, oleh SRI WURYANTI, dkk UJI PERFORMANSI DAN EMISI GAS BUANG MESIN DIESEL PERKIN 4 SILINDER KAPASITAS 75 KW BERBAHAN BAKAR ECOLU, oleh IKA YULIYANI, dkk.
4
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
PERANCANGAN GENERATOR LOW RPM UNTUK PLTAngin SP Mursid Jurusan Teknik Konversi Energi - Politeknik Negeri Bandung E-mail:
[email protected]
Abstrak Pemanfaatan angin sebagai sumber energi terbarukan berpeluang untuk memberikan solusi murah dalam pengadaan energi listrik bagi masyarakat. Namun demikian, dikarenakan rata-rata kecepatan angin di Indonesia, khususnya di Bandung relatif rendah, maka perlu dibuat mesin pengkonversi putaran rendah ke energi listrik yang efesien. Generator Low RPM (Revolution Per Minute) dapat memberikan jawaban pada persoalan konversi ini. Saat ini masih sulit mendapatkan generator Low RPM di pasaran Indonesia. Jikapun ada, harganya sangat mahal. Oleh karenanya, merancang dan membangun sendiri generator Low RPM akan dapat menjadi alternatif pengadaanya. Kata kunci: energi terbarukan, PLT Angin, generator, low RPM.
Absract Utilization of wind power as a renewable energy source has an opportunity to provide low-cost solutions in the supply scheme of electric energy for the community. However, do to the low average wind speed in Indonesia, especially in Bandung, it needs to design low speed converting machines that can convert efficiently low rpm (revolution per minute) of shaft speed into electrical energy. Low rpm generator can provide answers to the issue of this conversion. But we knew this is still difficult to obtain low rpm generator in Indonesian market. Even if there are available in the market, the price is very expensive. Therefore, to design and build our own low rpm generators will be able to be an alternative solution. Key words: renewable energy, wind power, generator, low rpm
PENDAHULUAN Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLT-Angin) dapat memberikan peluang untuk mendapatkan energi alternatif selain dari minyak bumi dengan mengkonversi-kan energi angin ke energi listrik. Energi yang dikonversikan ke listrik akan sesuai dengan potensi energi angin dikalikan dengan efesiensi PLT-Angin (Elistrik = Epot.angin x η). Energi yang dapat diperoleh dari angin merupakan perbandingan langsung dari fluks angin yakni : Eangin = ½ ρ V∞3 A (Watt). Rho (ρ) merupakan masa jenis dari angin yang berubah berdasarkan ketinggian dari permukaan laut. Umumnya akan berharga ρ = 1,225 kg/m3. Dalam kalkulasi praktir, Rho (ρ) akan diambil pada harga ρ = 1,0 kg/m3. Sangat jelas dari persamaan energi angin, bahwa kecepatan angin V∞ sangat berpengaruh terhadap besarnya energi yang dihasilkan. Karena energi yang
dihasilkan akan sebanding dengan kecepatan dan torsi poros, maka kecepatan poros sendiri akan sangat sensitif terhadap perubahan kecepatan angin. Kecepatan poros turbin akan melonjak pangkat tiga terhadap kecepatan angin. Di sisi lain, turbin angin sebagai konverter energi angin ke putaran poros tergolong mesin yang berputar pada rpm (revolution per minute) rendah. Ini artinya dibutuhkan generator listrik rpm rendah yang mampu mengkonversikan putaran rendah poros ke energi listrik dengan tegangan kerja normal. Teknologi PLT-Angin berkembang pesat khususnya di negara maju seperti Denmark dan Swedia. Turbin angin dengan skala di atas 25 MW sudah lumrah dipasang untuk memproduksi listrik bagi masyarakat di sebagian negera Eropa. Sayangnya Indonesia tergolong tertinggal dalam bidang PLT-Angin. Diduga hal ini
5
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
dikarenakan energi konvensional masih mudah diperoleh dan murah, sehingga usaha untuk memanfaatkan energi alternatif khususnya angin masih belum optimal, bahkan belum diperhitungkan. Indonesia, dengan kontur pantai dan daerah pegunungan yang kaya, sesungguhnya memiliki potensi energi angin berlimpah. Jika memperhitungkan seluruh potensi maka ada 73 GW, dan dengan memperhitungkan teknologi yang ada saat ini diperoleh kapasitas terpasang optimum = 25 MW, namun kapasitas saat ini baru 0,6 MW. Pada skala kecil, di bawah 2000 watt, turbin pada PLT-Angin dapat dibuat dengan mudah bahkan oleh konstruktor amatir. Penelitian PLTAngin skala kecil telah dilakukan untuk melihat peluang pembangkitan energi listrik di rumahrumah penduduk yang dapat dikonstruksi secara mudah dan mandiri. Penelitian sebagaimana dimaksud di atas telah penulis lakukan pada tahun 2008 dengan didanai oleh Hibah Penelitian Politeknik Negeri Bandung (Polban). Penelitian dengan judul Pembuatan Prototipe PLT-Angin Domestik juga merupakan rangkaian dan kelanjutan dari penelitian kami sebelumnya yang berjudul Energi Listrik Alternatif Menggunakan PLT-Hibrida pada RUT VII. Terakhir, penelitian yang dilakukan yang mengait pada topik bahasan ini berjudul Auto Brake Generator PLT-Angin, yang didanai oleh Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Rangkaian penelitian yang telah dilakukan mengantarkan pada kesimpulan sementara bahwa bagian kritis dari PLT-Agin adalah pada generator dan sistem pengatur kecepatan poros. Generator harus mampu menghasilkan daya listrik pada kecepatan rendah untuk mendapatkan konversi energi paling efesien, sedangkan sistem pengatur kecepatan akan menjaga turbin dan poros berputar pada kecepatan aman. Jika tersedia perangkat yang dapat berfungsi sebagi generator rpm rendah sekaligus berfungsi sebagai speed regulator, maka PLT-Angin menjadi sangat mudah dibangun dan berpeluang menjadi sumber energi listrik altenatif yang dapat dimiliki oleh siapa saja sejauh di tempat tersebut tersedia potensi energi angin yang mencukupi.
MODEL GENERATOR Generator sebagai pengkonversi energi mekanik putaran poros menjadi energi listrik memanfaatkan fenomena elektromagnetik yang menghubungkan torsi, medan magnet dan arus listrik. Generator dapat dibuat dengan menggunakan motor DC yang telah dilengkapi dengan magnet permanen. Persamaan sederhana pada konversi DC, F = ILB dimana F merepresentasikan daya, I arus listrik, L identik dengan luas konduktor pada generator yang terpapar medan magnet dan B merupakan kuat medan dapat memberikan gambaran akan relasi medan magnet dengan besarnya daya. Keberhasilan dari rancangan generator yang akan dibuat menekankan pada kesederhanaan dan kekuatan konstruksi. Oleh karenanya dihindari untuk membuat generator yang membutuhkan arus eksitasi pembangkit medan magnet. Generator dengan menggunakan magnet permanen dipilih untuk alasan kesederhanaan konstuksi dan keandalan. Keuntungan menggunakan magnet permanen adalah tidak diperlukannya energi awal untuk mencatu arus eksitasi, hal ini cocok dengan karakteristik dari PLT-Angin yang umumnya diinstalasikan di daerah terpencil. Generator dengan magnet permanen memudahkan untuk mendapatkan rancangan generator rpm rendah. Kecepatan putar generator (rpm) berkorelasi dengan jumlah pole magnet yang dipergunakan. Persamaan berikut menggambarkan hubungan yang dimaksudkan. rpm = / Dari persamaan terlihat bahwa jumlah pole berbanding terbalik dengan rpm generator. Semakin banyak pole yang dipergunakan, akan diperoleh generator dengan rpm semakin rendah. KONSEP GENERATOR LOW RPM Generator merupakan perangkat mesin listrik yang mengubah energi kinetik atau energi gerak menjadi energi listrik. Umumnya energi gerak merupakan gerakan berputar yang memiliki kecepatan angular tertentu. Konversi energi
6
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
gerak menjadi listrik dimungkinkan dengan menerapkan hukum Faraday yang menyatakan bahwa jika ada konduktor yang mendapatkan paparan medan magnet yang berubah, maka pada konduktor tersebut akan mengalir arus listrik. Dengan pemahaman ini maka gerakan berputar dipergunakan untuk menggerakkan magnet permanen pada kumparan konduktor sehingga pada konduktor akan selalu mendapatkan medan magnet yang berubah. Secara sederhana skema generator dengan medan magnet berputar diperlihatkan pada Gambar 1 Skema Generator. Pada Gambar Skema Generator terdapat magnet permanen yang dapat berputar pada sumbu tengahnya. L1 dan L2 merupakan kumparan konduktor yang dihubungkan secara seri, sehingga dari terminal A sampai B merupakan satu jalur arus listrik. Jika magnet digerakkan berputar pada sumbunya, maka kutub S (selatan) dan U (utara) akan bergerak sesuai dengan arah gerakan magnet, hal ini mengakibatkan medan magnetnya ikut berputar sehingga kumparan yang ada didekatnya akan terpotong oleh medan magnet yang berubah. Maka sesuai dengan hukum Faraday, pada terminal AB akan mengalir arus jika dibebani, dan pada terminal tersebut akan terjadi beda tegangan Vab. Tegangan yang dihasilkan adalah tegangan AC (Alternating Current) dengan bentuk sinusoidal murni. Tegangan puncaknya akan terjadi pada saat pole magnet berada paling dekat dengan kumparan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin dekat kumparan terhadap medan magnet, maka akan dihasilkan tegangan lebih tinggi. Pengetahuan ini akan dipergunakan untuk membuat rancangan generator yang memungkinkan kumparan penghasil arus berada pada posisi terdekat dengan magnet.
L1
S
U
L2
A
B Gambar 1. Skema Generator
Tegangan pada kumparan juga dipengaruhi oleh kecepatan perubahan medan magnet yang
memotongnya. Ini dapat diartikan semakin cepat magnet diputar pada porosnya, akan semakin cepat kutub utara dan kutub selatannya saling berganti, selanjutnya akan semakin besar tegangan yang dihasilkan pada kumparan. Aspek perubahan kutub magnet ini nantinya akan dipergunakan untuk merencanakan jumlah magnet yang dipergunkan dalam rancangan generator selanjutnya. Secara umum generator akan memiliki komponen utama: • Rotor yang merupakan komponen secara mekanis berputar untuk menggerakkan medan magnet; • Stator tempat kumparan yang menerima perubahan medan magnet untuk dikonversi menjadi tegangan. Jumlah kutub magnet pada rotor akan berpengaruh pada kecepatan putaran setiap menitnya (RPM = Revolution Per Minute) untuk menghasilkan tegangan AC dengan frekwensi tertentu. Pada skema generator yang ditampilkan di atas, untuk menghasilkan frekwensi 50 Hz dengan 2 kutub U dan S, diperlukan kecepatan 3000 rpm. Semakin banyak pole, akan semakin rendah putaran yang diperlukan. Secara umum persamaannya adalah sebagai berikut, RPM = dengan f = frekwensi dari tegangan sinusoidal N = jumlah kutub pada rotor Sebagai misal, jika diharapkan frekwensi yang dihasilkan 50 Hz, dengan 2 kutub, maka: RPM = = 3000 putaran setiap menitnya.
Tegangan yang dibangkitkan oleh generator mengikuti persamaan Faraday, atau juga persamaan gaya gerak listrik memberikan nilai tegangan pada kumparan stator generator sehingga memungkinkan arus listrik mengalir ke beban. Persamaan ini diturunkan dari Hukum Faraday bahwa: “emf = total fluks magnet yang dipotong tiap satuan waktu.” !" 60 dengan: V o = gaya gerak listrik φ = fluks tiap kutub (Weber) p = jumlah kutub n = kecepatan putar rotor (rpm) Z = jumlah konduktor jangkar
7
ISSN : 2089 -2527
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
a = jumlah lintasan paralel Daya yang dihasilkan oleh generator dipengaruhi oleh besarnya torsi yang diberikan pada rotor dan kemampuan kumparan stator (armatur) dalam menyalurkan arus listrik. Kemampuan menyaluran arus listrik pada kumparan berbanding lurus dengan besarnya diameter kawat yang dipergunakan.
Dari Gambar di atas dicontohkan stator dengan lima (5) lilitan seluas A = 0,002 m2 yang didekatkan pada magnet dengan perubahan medan 0,4 T/s akan diperoleh tegangan generator sebesar – 0,004 volt. Contoh di atas merupakan miniatur dari generator, namun pada rancangan selanjutnya akan dihitung nilai daya listrik genertor yang lebih besar.
PERHITUNGAN DAYA GENERATOR
Perancangan generator akan memiliki properti yakni kecepatan angin dianggap relatif rendah karena dipilih yang mungkin diperoleh di sekitar kampus Polban yakni berkisar antara 3 sampai 5 m/detik. Dengan kecepatan ini rancangan turbin yang telah dibuat pada Riset PLT-Angin domestik dapat memberikan kecepatan putaran sekitar 300 RPM yang merupakan kecepatan optimum rancangan. Dalam konstruksi generator akan dipergunakan magnet NdFeb atau Nyobdinium Iron Boron atau juga dikenal dengan magnet rare earth berukuran 50,8 x 25,4 mm2 dengan kuat magnet 10.000 gauss. Konstruksi magnet yang menempel pada rotor terhadap kumparan yang dipasang pada stator kurang lebih 2 mm yang merupakan jarak yang relatif renggang karena untuk menjaga agar tidak terjadi gesekan. Jarak sejauh ini akan mengakibatkan kuat medan magnet yang sampai ke kumparan menurun sekitar 30% sehingga kuat medan menjadi 7.000 gauss di dalam kumparan.
Daya listrik yang dibangkitkan oleh generator akan sangat tergantung pada tegangan dan arus listrik yang dapat dibangkitkan generator saat bekerja. Variabel tegangan dan arus berkorelasi langsung dengan jumlah belitan pada stator, besarnya medan magnet pada rotor, jarak antara rotor dan stator, dan yang terpenting adalah kecepatan putar rotor dalam setiap menitnya (RPM) yang akan merepresentasikan perubahan medan magnet yang memotong kumparan stator. Persamaan yang umum dipergunakan dalam mengestimasi perhitungan tegangan listrik terhadap medan magnet dan perubahan medan magnet dipergunakan persamaan Faraday. Persamaan umumnya adalah sebagai berikut, V = -N (B.A/t), Dengan: V = tegangan yang dibangkitkan oleh generator; N = Jumlah kumparan pada stator B = Kuat medan magnet pada rotor A = luas dari kumparan yang terpapar oleh medan magnet t = waktu yang diperlukan terjadinya perubahan medan magnet.
Gambar 2. Model Generator dengan Persamaan Faraday
Rancangan generator diharapkan mampu menghasilkan tegangan listrik yang cukup untuk men-charge baterai 12 volt, sehingga diharapkan akan menghasilkan tegangan kerja 14 volt pada RPM nominal (300 RPM). Yang diperlukan selanjutnya adalah menghitung banyaknya belitan pada stator untuk menghasilkan tegangan yang dimaksud. Arus listrik yang dibangkitkan selanjutnya ditentukan oleh besarnya diameter dari kawat yang dipergunakan. Perhitungan dalam perancangan dimulai dengan menghitung kuat medan yang disesuaikan dengan persamaan Faraday yang dipergunakan. Telah diketahui bahwa 10.000 Gauss = 1 Tesla. Persamaan untuk mendapatkan jumlah belitan akan menjadi: N = -1 x –V (BxA/t) N = V x (B x A/t) Diketahui bahwa luas dari magnet adalah:
8
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
A = 50,8 x 25,4 mm2 = 0,001290,32 m2 Dengan kecepatan putar 300 RPM atau setiap putaran adalah 0,2 detik. Dengan demikian N = 14/(0,7 x 0,00129/0,2) = 3100 belitan Jika dalam rancangan generator dibuat 18 pole tiga fasa, maka setiap fasa akan terdiri dari 6 pole. Jadi setiap pole akan memerlukan belitan sebanyak Npole = 3100/6 = 516,67 belitan. Masing masing belitan pada pole dibubungkan secara serial. Jika dipilih kawat dengan diameter 0.8 mm, maka generator mampu menangani arus sampai 25 ampere. Sehingga daya yang dapat dihasilkan pada kecepatan angin 5 m/detik kurang lebih adalah 25 x 14 x 3 = 1050 watt. PEMILIHAN JUMLAH POLE STATOR Pemilihan jumlah pole atau kutub pada generator mempertimbangkan aspek berikut: mendapatkan RPM serendah mungkin; mengusahakan dimensi dari generator seringkas mungkin; mempertimbangkan aspek kelancaran putaran khususnya pada saat start tidak terjadi kemacetan. Dengan pertimbangan sebagaimana di sampaikan di atas, maka pemilihan jumlah kutub antar stator dan rotor tidak sama jumlahnya. Hal ini akan diterangkan pada akhir bahasan. Dudukan Stator
Stator
Pada stator dipilih jumlah pole sebanyak 22, artinya terdapat 11 pasangan magnet dengan kutub berlawanan (N dan S). Jika kecepatan nominal yang diinginkan adalah 300 RPM, maka • Terdapat 300 RPM/60 = 5 Putaran Perdetik • Maka satu kutub pada pada stator yang dililiti kumparan akan mendapatkan perubahan medan magnet N ke S atau sebaliknya dalam satu detik adalah perubahan Medan Magnet Pole Stator = 5 x 11 = 55 kali. Ini artinya akan menghasilkan frekwensi listrik 55 Hertz. Frekwensi ini dapat dipandang sebagai frekwensi nominal yang mendekati frekwensi grid PLN. Walaupun demikian, ketepatan frekwensi bukan tujuan utama karena tegangan yang dihasilkan oleh generator nantinya akan disearahkan menjadi tegangan DC yang dapat disimpan dalam baterai. Pole pada stator dipilih hanya 18 kutub dengan mempertimbangkan bahwa generator dapat disusun secara 3 fasa. Susunan tiga fasa memiliki keuntungan: mudah disearahkan menjadi tegangan DC yang rata; meningkatkan kemampuan handling arus listrik, sehingga dihasilkan daya listik generator yang lebih besar;
Dudukan Stator Tebal 10 mm
Rumah generator
Rumah generator tebal 5 mm
10 mm Bearing
Bearing
GAMBAR TIDAK SESUAI SKALA !!
Bearing
Ventilasi
Kaki generaror
Gambar 3. Rancangan Rumah Generator
9
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
memiliki kemampuan menangani beban lebih baik karena terdapat pembagian arus pada setiap fasanya; mudah direparasi jika terdapat kerusakan. Akan tetapi alasan utama pemilihan jumlah pole sebanyak 18 adalah untuk membuat selisih jumlah pole dengan rotor yang jumlahnya 22. Ini dimaksudkan agar tidak pernah terjadi kondisi dimana pole pada rotor berpasangan satu satu dengan pole pada stator, khususnya pada kondisi diam. Keadaan dimana masing-masing pole saling berpasangan satu-satu akan menjadikan magnet pada rotor mengunci ke rotor dengan sangat kuat sehingga sulit diputar (distarter).
disebabkan induksi dan menyebabkan inti menjadi sangat panas. Rumah generator berfungsi untuk menjaga sistem bearing tetap berada pada tempatnya sekaligus memberikan dudukan pada generator agar dapat dipasang stabil pada landasan. Dudukan rumah generator sekaligus menjadi rangka yang menjepit tumpukan inti kumparan pada stator. Garis tengah dari generator dengan jumlah pole 18 pada stator dan 22 pada rotor adalah 270 mm. ukuran ini masih dianggap moderat dan mudah diinstalasikan pada turbin angin ukuran sedang (blade 1,5 m).
PEMILIHAN KUMPARAN PADA STATOR
ROTOR
Dengan memasang kumparan pada stator, menjadikan konstruksi dari genarator sangat kuat. Hal terpenting yang diperoleh dari konstruksi ini adalah tidak diperlukannya sikat (brushless) sehingga mengurangi bagian yang paling sering aus. Tegangan listrik yang demikian dapat disadap langsung ke kumparan sehingga konstruksi menjadi sederhana.
Rotor merupakan bagian berputar sekaligus tempat magnet diletakkan. Dengan demikian konstruksinya harus sangat kuat, dan utamanya harus imbang (balans) sehingga mudah diputar, konstruksinya diperlihatkan pada Gambar 4 dan 5.
KONSTRUKSI GENERATOR Secara keseluruhan generator dibangun dengan menggunakan bahan metal khususnya baja ST 37 pada rotor, rumah generator dan sistem bearingnya. Sedangkan pada stator yang menjadi inti kumparan menggunakan plat besi lunak yang ditumpuk. Hal ini dimaksudkan agar inti besi tidak termagnetisasi secara permanen seperti jika menggunakan baja, sedangkan tumpukan plat dipergunakan untuk mengurangi arus Edy atau arus pusar pada inti yang
Diameter terluar dari rotor adalah 192 mm, dengan demikian dapat menampung 11 pasang magnet selebar 25,4 mm sebanyak 22 magnet. Pemasangan magnet dilakukan dengan menempelkan pada permukaan rotor dengan permukaan magnet berselang-seling arah kutubnya. Jika magnet 1 permukaan luar berkutub Utara (N) maka magnet 2 permukaannya harus berkutub Selatan (S). Rotor kemudian diberi poros yang akan menjaga posisi rotor selalu stabil dan tidak bergesekan dengan stator. Jarak antara rotor dan stator adalah 2 mm. 6,35 mm
20 mm 12 mm
192 mm
80 mm
250 mm
4 mm
50,8 mm
12 mm
4 mm
Gambar 4. Dimensi Rotor
10
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527 MODEL ROTOR Skala tidak proporsional dengan ukuran.
50,8 mm magnet
Magnet
25,4 mm
192 mm
Tebal 6,35 mm
Magnet
20 mm
Magnet Magnet TERDAPAT 22 MAGNET
Magnet
Gambar 5. Pemasangan Magnet pada Rotor
KONSTRUKSI STATOR Pada stator terdapat kutub yang menonjol yang berfungsi sebagai inti dari kumparan utama sebanyak 18 buah. Masing-masing kutub dirancang mampu menampung sampai 525 belitan kawat email dengan diameter 0,5 mm. Tumpukan dari plat inti pada rotor disusun sehingga setebal panjang magnet 50,8 mm.
Stator merupakan inti magnetik dari kumparan utama generator penghasil listrik. Karena merupakan inti magnetik maka harus dibuat dari bahan feromagnetik yang yang secara fisik kurang kuat dibanding dengan bahan baja. Oleh karenanya harus diperkuat dengan dudukan. Konstruksi dari Stator diperlihatkan pada Gambar 6. MODEL STATOR Skala tidak proporsional dengan ukuran.
ROTO 20 mm
27 mm Pole Stator Tampak Atas
2 mm jarak antara pole stator dan rotor
270 mm Terdapat 18 Pole Jumlah Pole pada stator lebih sedikit dari rotor Rotor = 22 pole, Stator 18 pole
50 mm 27 mm 2 mm
2 mm Pole 18
20 mm Pole 1
Pole 2 15 mm
Gambar 6. Rancangan Stator PEKERJAAN METAL GENERATOR Pembuatan generator menggunaan bahan baja dan besi oleh karenanya diperlukan penanganan khusus yakni dilakukan dengan pembubutan sesuai dengan gambar rencana. Proses pembubutan rotor dilakukan dengan menggunakan bahan dari baja yang terdiri dari tiga komponen. Pada bagian tengah dibuat dari
silinder prefab yang ukuran diameternya 20 cm dan dibubut menjadi 190 mm. bagian tengah ini dipergunakan untuk menempelkan magnet permanen. Selanjutnya dibuat tepian kiri dan kanan dari plat baja. Untuk menghubungkan ketiganya dipergunakan baut. Hal ini akan memudahkan bila pada suatu saat diperlukan modifikasi terhadap konstruiksi rotor.
11
ISSN : 2089 -2527
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Selanjutnya pada rotor akan diberikan poros dengan besi pejal sepanjang 350 mm. bagian poros depan memanjang untuk dudukan spindle turbin angin yang nantinya dipasang (dikopel) langsung ke Generator.
Rotor dikerjakan dengan membuat dudukan rotor dari plat setebal 1 cm dan dibuat bentuk lingkaran dengan diameter luar 270 mm. Berikut adalah proses pembubutan utuk komponen generator.
Gambar 7. Proses Pembubutan Rotor
Gambar 10. Konstruksi Rotor dengan Bearing Kerucut
Gambar 8. Komponen Generator dalam Proses
Gambar 11. Konstruksi Rotor dengan Magnet Terpasang
Gambar 9. Konstruksi Rotor dengan 18 Pole
Gambar 12. Kumparan Armatur
Pada Gambar 9. diperlihatkan susunan rotor yang belum diberi kumparan arus. Nampak bahwa jumlah pole untuk kumparan berjumlah 18 buah. Gambar 10. memperlihatkan konstruksi rotor yang sebagai dudukan magnet dengan bearing kerucut. Pemilihan jenis bearing kerucut memberikan kekuatan pada poros rotor pada saat nantinya dikopel dengan hub turbin angin. Poros kerucut juga memberikan penahan pada poros agar tidak terdorong ke belakang maupun ke depan pada saat dibebani. Selanjutnya pada Gambar 11. memperihatkan
rotor yang telah di beri magnet. Susunan magnet berjumlah 20 dengan permukaan kutubnya dibuat bergantian antara kutub utara dan selatan. Pada Gambar 12, memperlihatkan armature atau bagian stator yang telah diberi belitan kumparan kawat email dengan garis tengah 0,5 mm. Penggunaan kawat berdiameter lebih kecil dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah belitan sampai 500 kumparan setiap pole (kutub). Terdapat 18 kutub yang terdiri dari 3 fasa kumparan sehingga masing masing terdapat 6 kutub untuk setiap fasanya. Dengan jumlah
12
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
belitan 500 x 6 = 3000 belitan untuk setiap fasa diperoleh resistasi dalam sebesar 40 Ohm.
PENGUKURAN DAN ANALISIS DATA Generator yang telah selesai konstruksinya dilakukan pengujian dan pengukuran variabel kelistrikannya untuk mengetahui karakteristik dan kinerja teknisnya. Pengukuran pertama dilakukan untuk mendapatkan nilai resistansi dalam setiap kumparan pada ketiga fasa armature generator. Dengan menggunakan ohmmeter, terukur masing masing fasa memiliki resistansi dalam sebesar 40 Ohm. Pengujian selanjutnya dilakukan untuk generator dalam kondisi dinamis dengan rangkaian sebagai berikut.
Data dari hasil pengukuran tegangan terbuka memperlihatkan bahwa semakin besar rpm generator akan menghasilkan tegangan terbuka yang semakin besar. Karena pengukuran menggunakan voltmeter ac, maka pembacaan yang diperoleh adalah tegangan rms (root means square) sehingga dapat dipergunakan dalam perhitungan tegangan dc nantinya. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan beban resistif murni sebesar 10 ohm. Pengukuran dilakukan untuk satu fasa, hal ini dimaksudkan agar tidak diperlukan penyearah terlebih dahulu. Susunan rangkaiannya adalah sebagai berikut: Generator Dikopel ke motor
A
Generator Dikopel ke motor
Motor dengan pengatur kecepatan
Motor dengan pengatur kecepatan
10 V
V
Gambar 13. Pengukuran Tegangan Generator Tanpa Beban Generator dikopel secara mekanis ke motor dengan kecepatan putarannyayang dapat diatur. Dalam kondisi tanpa beban elektris pada generator, pada setiap fasa dilakukan pengukuran tegangan terbuka. Diambil data untuk 7 putaran dari kecepatan minimal sampai kecepatan nominal yakni 300 rpm. Tabel 1. Hasil uji tegangan generator tanpa beban Volt ac No RPM 25 5,2 1 50 10,3 2 100 15,8 3 150 25,3 4 200 35,4 5 250 41,2 6 300 58,7 7
Gambar 14. Pengukuran Berbeban Tabel 2. Hasil uji tegangan generator dengan beban No RPM Volt ac (V) Amp (I) 1 25 3,4 1,61 2 50 8,6 1,2 3 100 13,4 4,57 4 150 20,2 6,8 5 200 28,1 7,49 6 250 34,5 9,92 7 300 48,3 8,02 Dari data di atas dapat dilakukan analisis tegangan output dibandingkan dengan data pengukuran tanpa beban. Tegangan pada pengukuran berbeban menjadi lebih rendah dibanding tanpa beban, hal ini dikarenakan pada generator terdapat resistansi dalam yang mempengaruhi resistansi tertutup total dari rangkaian. Resistansi beban dan resistansi dari kumparan generator membentuk rangkaian seri sehingga terjadi pembagian tegangan. Hal ini
13
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
yang menyebabkan pengukuran tegangan pada kondisi berbeban menjadi menurun. Pengukuran juga memperlihatkan bahwa arus yang mengalir pada beban meningkat sesuai dengan peningkatan rpm generator. Dengan menggunakan persamaan daya (P = V.I watt), dapat dihitung daya output generator dalam kondisi berbeban. Maka pada rpm 25 diperoleh hasil, P = 3,4 x 1,61 = 5,5 watt Dengan menggunakan perhitungan seperti di atas, maka disusun tabel daya output generator sebagai berikut Tabel 3. Daya Output Generator No RPM V (Volt I P ac) (Amp) (watt) 1 25 3,4 1,61 5,5 2 50 8,6 1,2 10,4 3 100 13,4 4,57 61,2 4 150 20,2 6,8 138,8 5 200 28,1 7,49 210,5 6 250 34,5 9,92 342,3 7 300 48,3 8,02 387,4 Dari tabel di atas diperlihatkan bahwa daya output meningkat semakin pesat pada rpm semakin tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa generator akan bekerja semakin efesien pada putaran semakin tinggi. KESIMPULAN Merujuk pada hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan penting yang relevan diantaranya: a. Generator Low RPM dapat dibuat dengan menggunakan rotor multipole yang terdiri dari 20 magnet untuk menghasilkan daya listrik 387,4 watt pada beban 10 ohm pada putaran 300 rpm.
b. Tegangan yang dihasilkan adalah 48,3 volt dengan arus listrik 8,3 ampere dengan membuat armature dimana setiap polenya dibuat dari 500 belitan atau keseluruhan fasa adalah 6 x 500 belitan kawat 0,5 mm dengan resistansi dalam sebesar 40 ohm dan berputar pada kecepatan 300 rpm. c. Pada kecepatan putar semakin tinggi, generator memperlihatkan perilaku semakin efesien. Namun memiliki batas maksimal dikarenakan arus Eddy maupun kemampuan dari kawat kumparan untuk menghantarkan arus. d. Untuk mendapatkan rpm yang semakin rendah, diperlukan jumlah pasangan kutub magnet yang semakin banyak. PUSTAKA Burton, Toni, 2001, Wind Energy Handbook, John Wiley & Son Ltd, England. Monteanu, Iulian, 2008, Optimal Control Of Wind Energy System, Springer, London. Nayef, Na’al, ___, Friction Drive, Variable Speed, Multiple Generator, Utility-Scale Wind Turbin, CWind Inc. Sagrillo, Mick, 2002, Choosing Home Size Wind Generator, Home Power. Noel, John M, ____, Frech Wind Generator System, Aerowatt Corp., Paris, France. Caterpillar_2005, Generator Systems, Application and Installation Guide Unnewehr, L.E., and S.A. Nasar. Electric Vehicle Technology.New York: John Willey & Sons, 1982. Rashid, Muhammad H. Power Electronics: Circuits, Devices,and Applications 2nd edition. New Jersey: Prentice Hall, 1993.
14
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
POTENSI PLTMH PADA FASILITAS BPT MILIK PDAM - SUATU STUDI KASUS DI PDAM KABUPATEN WONOGIRI Wahyu Budi Mursanto Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung email :
[email protected]
Abstrak Sumber air minum untuk suatu kota atau daerah, banyak yang berasal dari sumber air yang berada di pegunungan. Dikarenakan letaknya yang cukup tinggi, untuk mengalirkan air tersebut pihak PDAM menggunakan pipa-pipa tertutup secara gravitasi. Jika jarak pengalirannya cukup jauh, maka pipa-pipa tersebut dilengkapi dengan Bak Pelepas Tekanan (BPT). Fungsi dari BPT adalah melepaskan energi air yang ada di pipa bertekanan agar tidak merusak/memecahkan pipa. Pada penelitian ini akan dihitung potensi energi air yang ada pada suatu BPT untuk dimanfaatkan sebagai PLTMH. Sebagai studi kasus dipilih salah satu BPT milik PDAM Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah yang mempunyai fasilitas pompa sumur dalam yang digerakkan dengan motor listrik (14,92 kW) yang energi listriknya berasal dari genset Diesel (23,87 kW). Air dari sumur dalam tersebut digunakan untuk menambah pasokan air minum pada saat musim kemarau. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ditemukan solusi untuk menggantikan mesin genset Diesel dengan PLTMH yang menggunakan turbin Pelton maupun crossflow . Pemilihan penggunaan turbin crossflow untuk penelitian ini, karena turbin ini mampu memenuhi spesifikasi yang dinginkan, harganya lebih murah serta diproduksi secara lokal di Indonesia. Kata kunci : Bak Pelepas Tekan, PLTMH, turbin pelton, turbin crossflow
PENDAHULUAN Bila ditinjau dari sudut pandang keenergian, setiap saat, energi potensial yang ada pada segmen antar jaringan perpipaan di satu BPT (Bak Pelepas Tekanan) dengan BPT berikutnya terbuang secara percuma. Sebenarnya energi potensial air ini dapat dimanfaatkan untuk memutar turbin air untuk kemudian dikonversikan menjadi bentuk energi lain, khususnya energi listrik. Besarnya energi listrik yang dihasilkan tentunya akan bergantung pada debit air dan head efektif yang mengalir di pipa transmisi tersebut. Artinya, ada suatu potensi untuk membangkitkan listrik tenaga air skala kecil (PLTMH) pada tiap bangunan BPT ini. Jika PLTMH tersebut dapat direalisasikan, maka energi listrik yang dihasilkan akan dapat digunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan PDAM sendiri. Sebagai contoh: di Kabupaten Wonogiri ketika musim kemarau mereka kekurangan air; sumber dari mata air yang ada tidak memenuhi kebutuhan, sehingga pihak PDAM membuat sumur dalam di dekat BPT
untuk menambah pasokan air. Seandainya ada potensi PLTMH pada BPT tersebut, maka dapat dibuat instalasi PLTMH yang dapat menghasilkan listrik. Energi listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk memompa air dari sumur dalam yang berada di lokasi BPT tersebut. Dengan demikian pihak PDAM tidak perlu membayar listrik atau solar untuk genset dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik untuk pompanya. KONDISI UMUM BPT DI KABUPATEN WONOGIRI PDAM Wonogiri mengelola sumber air dari berbagai daerah untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Khusus untuk Kecamatan Kota Wonogiri, air untuk kebutuhan masyarakat dipenuhi dari lereng pegunungan Lawu di Kecamatan Jatinom Kabupaten Karanganyar. Instalasi pembawa air tersebut adalah pipa yang berdiameter 250 mm yang disambung sampai puluhan kilometer. Perbedaan tinggi elevasi dataran dari sumber air di Desa Kurya Kecamatan Jatinom sampai Kecamatan Wonogiri mencapai
15
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
ratusan meter. Kondisi ini membuat PDAM membuat BPT di setiap interval antara 70 sampai 100 meter perbedaan elevasi. Dengan demikian, adanya potensi debit dan head merupakan sumber energi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan PDAM sendiri. PDAM Wonogiri mengelola mata air, yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri. Mata air yang diambil terdiri dari sumber mata air murni yang muncul ke permukaan bumi, maupun mata air yang berasal dari sumur dalam. Mata air dan sumur dalam, serta instalasi penjernihan air dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Mata air desa Kurya Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar 2. Mata air Tempel Wuryantoro 3. Mata air Banyu Anjog 4. Sumur Dalam Mongsari Girimarto, yang hanya beroperasi pada waktu musim kemarau saja. 5. Sumur Dalam Ngadirojo 6. Mata Air Genukharjo Wuryantoro 7. Mata Air Bakalan Purwantoro 8. Mata Air Supit Urang Jatisrono 9. Mata Air Silamuk Slogohimo 10. Mata Air Nangsri Pracimantoro 11. Mata Air Umbul Nogo Manyaran 12. Mata Air Semawur Baturetno 13. Mata Air Luweng Sapi Giritontro 14. Mata Air Sumur Gedhe Batiwarno 15. Mata Air Bendung Malang Girimarto Sidoharjo 16. Mata Air Kakao Giriwoyo 17. Mata Air Sumber Eromoko 18. Mata Air Waru Paranggupito Dalam pengoparasiannya, sumber air di atas kebanyakan menggunakan gaya gravitasi untuk menyalurkan ke rumah penduduk. Hanya beberapa tempat seperti di Giritontro, Pracimantoro dan Giriwoyo yang menggunakan mesin pendorong untuk menaikkan air menuju bak penampungan untuk didistribuskan ke rumah-rumah.
Pada instalasi PDAM di Desa Kurya Kecamatan Jatiyoso Kab Karanganyar yang merupakan salah satu sumber mata air yang menyuplai air minum di Kecamatan Kota Wonogiri, air mengalir secara gravitasi dari desa Kurya yang mempunyai ketinggian 1100 dpl dan dialirkan ke Kota Kecamatan Giritirto Wonogiri dengan ketinggian 156 dpl. Jika dilihat selisih ketinggiannya, maka terdapat selisih ketinggian sebesar 1100 – 156 = 944 meter. Jika pipa yang digunakan tidak dilakukan pemutusan dalam bentuk BPT-BPT, maka tekanan air terhadap pipa menjadi sangat besar dan tidak mungkin pipa PDAM akan bertahan. Instalasi PDAM dari desa Kurya menuju ke Kecamatan Kota Giritirto Wonogiri terdapat 6 BPT, 1 Reservoir dan 1 Bak Filtrasi yang berfungsi sebagai tempat untuk membuang tekanan air sehingga menjadi sama dengan tekanan udara luar. POTENSI UMUM Telah dilakukan penelitian untuk potensi pembangkitan energi listrik untuk jaringan pipa yang berasal dari mata air di desa Kurya Kecamatan Jatiyoso Kab. Karanganyar. Potensi daya listrik terutama dihitung untuk data debit minimum pada musim kemarau, namun tidak menutup kemungkinan memanfaatkan debit pada musim penghujan sehingga diperoleh daya yang cukup besar. Persoalannya adalah pada jenis turbin yang akan digunakan karena akan berpengaruh pada efisiensi dan jumlah debit minimum yang masih bisa digunakan agar turbin tetap aman beroperasi. Sementara itu, untuk memilih turbin yang akan digunakan bergantung pada jumlah debit rencana dan head efektif. Dengan demikian pemilihan turbin yang akan digunakan tergantung pada basic design dari keinginan pemakai. Sebagai basic design pada penelitian ini adalah memanfaatkan PLTMH untuk memompa air sumur pada musim kemarau
16
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
dan kelebihan daya (terutama pada musim penghujan) dapat digunakan untuk kepentingan lain.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dihitung potensi PLTMH apakah bisa memenuhi kebutuhan yang diinginkan atau tidak. Perlu dihitung potensi pada musim kemarau, dimana air berada pada kondisi minimum dan dihitung potensi pada musim penghujan, dimana air berlebih. Dengan demikian akan diperoleh gambaran mengenai potensi PLTMH di BPT yang ada. Selanjutnya potensi PLTMH dapat digunakan untuk menggantikan genset yang telah terpasang, maupun jika ada kelebihan pasokan dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Berikut pada Tabel-1 adalah data potensi untuk tiap BPT yang diteliti.
Di lokasi dimana BPT-1 berada, sudah ada sumur dalam dan instalasi pompa yang digunakan sebagai tambahan pasokan air pada saat musim kemarau. Instalasi ini berada di BPT-1 di dusun Mongsari. Kekuatan motor listrik pompa sebesar 20 hp dengan penggerak berupa generator set dengan kekuatan 32 hp. Genset menggunakan bahan bakar solar. Pada musim kemarau mesin ini dijalankan selama 5 jam setiap harinya.
Tabel-1 Data Potensi BPT Skema Nama instalasi di hulu Nama daerah di hulu Elevasi di hulu (m)
1
2
BPT 6 Selobentar
BPT 1 Selobentar
873
Nama instalasi di hilir Nama daerah di hilir Elevasi di hilir (m) Head (m) Panjang lintasan pipa (m) Diameter pipa (m) Debit minimum rata-rata (m3/s)
BPT 1 Selobentar 799 74 1350 0.25 0.03
799 Bak Filtrasi Mongsari 674 125 2141.5 0.25 0.03
Debit maximum rata-rata (m3/s)
0.12
0.12
PERHITUNGAN POTENSI PLTMH Perhitungan head efektif dapat dicari dengan menghitung selisih head bruto dikurangi dengan head losses pada pipa. Head losses dapat disebabkan oleh adanya major losses dan minor losses. Major losses diakibatkan adanya gesekan pada pipa, sedangkan minor losses adalah rugi-rugi energi yang diakibatkan adanya belokan pipa, entrance, reducer, expansion, dll. Pada perhitungan head efektif yang dilakukan, hanya memperhitungkan head loss akibat major losses saja. Kehilangan head akibat minor losses akan diperhitungkan sesuai dengan kondisi skema yang ada.
3 Bak Filtrasi Mongsari
4
5
6
7
BPT 2 Koripan
BPT 3 Jagir
BPT 4 Jatirejo
BPT 5 Bulu
674
583
513
436
364
BPT 2 Koripan 583 91 2443 0.25 0.03
BPT 3 Jagir 513 70 1666 0.25 0.03
BPT 4 Jatirejo 436 77 1858.5 0.25 0.03
BPT 5 Bulu 364 72 2287.5 0.25 0.03
Reservoir Bakalan 290 74 2708 0.25 0.03
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
Pertama dihitung kecepatan aliran air. Kecepatan air dapat dihitung dari data debit dan diameter pipa. Sebagai contoh pada perhitungan ini digunakan data debit pada musim kemarau.
Q = v A ………………… Atau: v = Q = A
(1)
Q 1 πD 2 4
Data yang diperoleh adalah Q = 30 liter/detik = 0,030 m3/s, dan D = 250 mm = 0,25 m, sehingga didapat:
17
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527 v=
Kemudian digunakan rumus Colebrook untuk menghitung fnew (persamaan 4):
0,030 = 0,61 m/s 1 π (0,25) 2 4
Kooefisien gesek f dapat dihitung dengan menggunakan bantuan grafik Moody (Moody chart) maupun dengan iterasi berdasarkan formula Blasius dan Colebrook. Pada perhitungan yang dibuat ini, dipilih cara yang kedua, yaitu dengan menggunakan iterasi [1]. Pertama dihitung relative roughness (kekasaran relatif), ε/D. Nilai ini langsung dicari melalui tabel kekasaran relatif jika diketahui diameter pipa dan jenis pipa yang digunakan. Pada kasus ini, jenis pipa yang digunakan adalah pipa jenis Ci, yaitu jenis pipa baja komersial. Dari tabel kekasaran diperoleh dengan nilai ε/D =0,000184. Kemudian dihitung nilai bilangan Reynold, Re; dimana, Re =
(2)
Dengan demikian nilai Re adalah
ε log D + 2,51 3,7 Re f old
2
…
(4)
0,25 0,00018 2,51 + log 290298,61 0,0157 3,7
2
f new = 0.013602263 ,
Nilai ini kemudian dimasukkan sebagai nilai fold pada rumus Colebrook, untuk memperoleh nilai f yang baru. Iterasi dilakukan sampai diperoleh nilai f yang konvergen. Nilai fnew berikutnya adalah f new = 0.013595284
4 (1,16)
π (1.0 x 10 − 6 ) (0,25)
= 662139.74
Karena aliran adalah turbulen maka rumus Blasius digunakan untuk menebak nilai koefisien gesek f sesuai dengan persamaan 3: 0,3164 …………………….. Re 0, 25
Nilai f pertama adalah : = 0,0157
Nilai fnew tersebut kemudian diiterasi lagi dan menghasilkan nilai, f new = 0.01359526
Diiterasi lagi , dan diperoleh f new = 0.013595259
Sampai di sini nilai fnew sudah konvergen. Jadi diperoleh nilai koefisien gesek, f = 0.013595259
(turbulen)
f =
f new =
0,25
4Q
πυ D
Dengan υ adalah viskositas kinematik yang nilainya juga bergantung pada temperatur. Pada kondisi ini temperatur air dianggap sebesar 20oC, sehingga dari tabel sifat-sifat air diperoleh nilai viskositas kinematik sebesar 1 x 10-6 m2/s.
Re =
f new =
(3)
Nilai ini diperoleh untuk pipa baja yang baru, karena pipa yang ada sudah lama digunakan maka koefisien gesek menjadi bertambah besar. Dalam hal ini diasumsikan bahwa nilai gesek yang digunakan dalam perhitungan sebesar 0,02. Dengan menggunakan rumus DarcyWeisbach head loss akibat gesekan dapat diperoleh persamaan 5 sebagai berikut :
18
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527 2 L v ………………….. hL = f D 2g
Sebagai gambaran berapa nilai K untuk belokan dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. Tampak bahwa nilai koefisien K untuk belokan 20o berkisar pada harga 0.04. Makin besar sudut belok nilai K semakin besar.
(5)
2141.5 0,612 hL = 0,02 0,25 2(9,81)
Pada kenyataannya, walaupun jalur distribusi air yang melalui pipa bisa mencapai 1 – 2 km, namun sambungan pipa yang ada didominasi sambungan dengan sudut di bawah 20o. Sebagai contoh dilakukan perhitungan untuk belokan dengan sudut 22o untuk jalur pipa PDAM. Kecepatan aliran di dalam pipa untuk debit 30 liter/s dengan diameter pipa 250 mm, diperoleh nilai V = 0,6 m/s. Sehingga untuk pipa dengan sudut belokan sebesar 22o akan menghasilkan nilai kehilangan energi tekan sebesar:
hL = 3,26 meter
Rumus untuk kehilangan tinggi tekan akibat minor losses ditunjukkan pada persamaan 6 sebagai berikut : hb = K
V 2 ............................ 2g
(6)
hb = K
V2 0,6 2 = 0.04 = 0,00073 m 2g 2 x 9,81
Artinya secara total kontribusi kehilangan energi tekan akibat belokan menjadi relatif kecil. Selain belokan, minor losses juga diakibatkan karena bentuk masukan (entrance), katup (gate valve), expansion dan reduction pipa. Tabel 2 memperlihatkan hasil perhitungan head losses untuk kondisi debit minimum dan maksimum.
Gambar 1 Koefisen belokan pipa Dengan K adalah konstanta yang bergantung pada jenis halangan (obstacle) seperti belokan, penyempitan, katup, dll.
Tabel-2 Perhitungan head efektif Skema V Disain pada Q minimum (m/s) V Disain pada Q maximum (m/s) Minimum ---> f gesek Head loss mayor/gesek (m) Head loss minor (m) Head efektif (m) Maximum ---> f gesek Head loss mayor/gesek (m) Head loss minor (m) Head efektif (m)
1 0,61 2,44 0,0200 2,06 0,08 69,86 0,0200 32,90 1,29 37,82
2 0,61 2,44 0,0200 3,26 0,09 119,65 0,0200 52,18 0,72 70,10
3 0,61 2,44 0,0200 3,72 0,09 85,19 0,0200 59,53 0,75 28,72
4 0,61 2,44 0,0200 2,54 0,08 65,38 0,0200 40,60 0,67 26,73
5 0,61 2,44 0,0200 2,83 0,08 72,09 0,0200 45,29 0,69 29,02
6 0,61 2,44 0,0200 3,48 0,09 66,43 0,0200 55,74 0,73 13,52
7 0,61 2,44 0,0200 4,12 0,09 67,79 0,0200 65,99 0,78 5,23
19
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Tampak bahwa pada kondisi debit minimum, kecepatan air juga menjadi kecil; sehingga berakibat pada head losses total yang kecil. Dengan demikian, head efektif tidak banyak berkurang. Sebagai contoh untuk BPT-1 (skema 2) pada Tabel 2, diperoleh nilai head gross 125 m yang menghasilkan nilai head efektif sebesar 119,65 m untuk debit minimum 30 l/s. Pada debit yang maksimum, yaitu sebesar 120 l/s, head efektifnya menjadi hanya 70,10 m. Jelas bahwa pada kondisi debit maksimum, kecepatan air menjadi lebih besar, sehingga kehilangan tinggi tekan akibat gesekan menjadi lebih besar. Kondisi ini terjadi karena gesekan sebanding dengan kuadrat kecepatan, hal ini berarti semakin tinggi kecepatan maka akan semakin besar gesekan yang terjadi. ANALISIS PERHITUNGAN DAYA PLTMH
POTENSI
Analisis perhitungan daya PLTMH pada penelitian ini hanya difokuskan pada skema 2 saja. Hal ini dikarenakan pada skema 2 (BPT-1) sudah ada genset berbahan bakar solar yang digunakan sebagai sumber penggerak motor pompa submersible, yang merupakan pompa yang hanya diaktifkan pada musim kemarau dimana pasokan PDAM yang berasal dari mata air mulai berkurang. Daya genset eksisting sebesar 32 Hp (23,87 kW) dan daya motor pompa sebesar 20 Hp (14,92 kW). Dalam penelitian ini, daya elektrik yang dihasilkan oleh PLTMH harus sama atau lebih besar dari daya genset eksisting agar dapat menggerakkan motor pompa submersible. Diasumsikan bahwa daya sebesar 23,87 kW merupakan daya minimal yang diperlukan untuk menggerakkan motor listrik pompa submersible. Walaupun daya motor pompa lebih kecil, namun karena ada persoalan starting motor, pada saat awal dubutuhkan daya yang lebih besar. Hal ini dilakukan, karena peranan PLTMH nantinya adalah untuk menggantikan genset Diesel yang ada. Namun dalam analisis ini tidak menutup kemungkinan daya yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk hal yang lain jika memungkinkan.
Pemikiran ini didasari bahwa kalau debit disain dirancang hanya untuk debit minimum, maka pada waktu musim penghujan dimana air berlebih, maka kelebihan air tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Berdasarkan pada Tabel-2, untuk skema 2 saja, maka tampak bahwa variasi debit antara 30 sampai 120 l/s dengan variasi head efektif antara 70,10 sampai 119,65 m. Dengan menggunakan bantuan gambar 2, turbin yang memenuhi spesifikasi tersebut adalah turbin Pelton dan crossflow (Banki). Keduanya merupakan jenis turbin impuls. Persoalan yang ada bergantung pada debit berapa turbin akan dirancang. Kalau hanya menggunakan debit tertentu (kurang dari maksimum), maka pada waktu musim penghujan dimana air berlebih, harus ada saluran dengan bukaan katup tertentu yang akan membuang kelebihan debit. Kesulitannya dengan cara ini adalah perlu pengaturan katup, manakala debit total berubah. Tentu saja hal ini akan menyulitkan operator
Gambar 2 Grafik pemilihan turbin [2]
Jika turbin didisain dengan debit maksimum, persoalannya adalah apakah pada waktu musim kemarau dengan debit minimum; turbin masih bisa beroperasi dengan menghasilkan daya yang mencukupi untuk menggerakkan pompa listrik? Untuk itu harus dianalisis lebih jauh
20
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
kemungkinan yang ada sehingga kriteria tersebut dapat dicapai.
debit minimum adalah sebesar 30 l/s atau setara dengan debit 0,4 debit maksimum. Tabel 3 Hasil perhitungan daya turbin Pelton SKEMA-2 2 (untuk turbin Pelton) Qmax 0,12 m3/s H efektif max 70,10 M Q min 0,03 m3/s H efektif min 119,65 m Efisiensi turbin max 0,89 Efisiensi turbin min 0,9 Efisiensi generator max 0,85 Efisiensi generator min 0,8 Efisiensi transmisi 0,95 Daya PLTMH max 59,30 kW Daya PLTMH min 22,23 kW
Gambar 3 Efisiensi turbin versus debit [3] Pertama-tama tama adalah dengan menentukan jenis turbin yang akan dipakai. Berdasarkan Gambar 3, tampak bahwa turbin Pelton dan crossflow mempunyai efisiensi fisiensi yang lebih stabil (hampir rata) dibandingkan dengan jenis turbin yang lainnya. Efisiensi turbin Pelton secara keseluruhan lebih bagus daripada turbin crossflow. Secara umum kedua turbin tersebut masih mempunyai efisiensi yang relatif stabil sampa sampai 0,4 debit maksimum (pada penelitian ini setara dengan debit minimum, 30 l/s). Dikarenakan efisiensi turbin Pelton lebih bagus daripada crossflow,, maka akan diuji terlebih dahulu apakah turbin pelton mampu untuk menggantikan genset Diesel. Pada waktu deb debit berubah, sebenarnya generator juga mempunyai perilaku yang hampir mirip dengan turbin. Artinya dengan berubahnya debit, maka efisiensi generator juga akan berubah. Tabel 3 berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan untuk daya minimum dan maksimum berdasarkan turbin yang dirancang dengan debit disain sebesar 120 l/s. Pada kondisi
Tampak bahwa pada kondisi minimum, daya yang dihasilkan hanya 22,23 kW, sementara untuk menggerakkan motor pompa (karena ada persoalan start awal) harus menggunakan daya minimal sebesar 23,87 kW. Artinya adalah bahwa daya PLTMH yang dihasilkan pada kondisi minimum di musim kemarau tidak bisa digunakan untuk menggerakkan motor listrik untuk pompa. Secara grafis tampak bahwa efisiensi turbin crossflow lebih rendah dari pada turbin Pelton. Dengan demikian untuk kondisi disain yang sama, pada kondisi musim kemarau ; jika digunakan turbin crossflow akan menghasilkan daya yang lebih kecil daripada turbin Pelton. Dengan demikian jelas bahwa turbin crossflow juga tidak dapat digunakan untuk skema-2 skema ini. ALTERNATIF SOLUSI Berikut ini beberapa solusi yang memungkinkan agar persoalan tersebut dapat diatasi. a. Grafik yang ada pada Gambar ambar 3 diambil dari literatur yang mengacu pada produk turbin yang dibuat oleh h pabrikan dengan standard yang tinggi (produk Eropa Barat). Dengan demikian perhitungan tersebut sudah dapat dikatakan maksimal perolehannya.
21
ISSN : 2089 -2527
Dengan memilih produk generator yang mempunyai efisiensi minimal 0,85 pada kondisi 0,4 debit disain; maka akan menghasilkan daya yang dapat digunakan untuk menggerakkan motor pompa. Pada nilai efisiensi generator sebesar 0,85 ini akan dihasilkan daya PLTMH pada kondisi debit minimum sebesar 23,82 kW b. Dengan membangun wadah yang mampu untuk menampung air dengan kapasitas tertentu di hulu (di BPT-6), sehingga pada saat PLTMH di jalankan pertama kali (start up), daya PLTMH bisa melebihi daya minimal genset. Dengan demikian pada saat start (kondisi transien) dibutuhkan daya yang sama atau lebih besar dari pada daya minimal genset, agar motor listrik pompa dapat dijalankan. Pada kondisi tunak (steady state), daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pompa sama dengan daya motor listrik nominal (14,92 kW). Jelas pada kondisi nominal, daya yang dihasilkan oleh PLTMH jauh di atas daya nominal yang dibutuhkan motor. Jika suatu saat sistem mengalami shut-down, dan harus diperlukan start-up lagi, maka hanya diperlukan waktu beberapa saat untuk melakukan start-up, karena harus menunggu reservoir/wadah yang berada di hulu (di BPT-6) terisi air terlebih dahulu agar PLTMH dapat distart-up dengan daya yang lebih besar. Walaupun pengaliran di pipa pesat berhenti, namun karena BPT-1 juga merupakan tempat penampungan air, maka pengaliran air ke BPT berikutnya tetap tidak terganggu..
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Persoalan yang mungkin timbul adalah suku cadang yang susah untuk diperoleh. Pada penelitian ini dengan menggunakan peralatan yang mempunyai efisiensi tinggi, ternyata hanya menghasilkan daya yang relatif sama dengan daya nominal genset Diesel. Dengan adanya kondisi yang seperti ini pada saat di-install hasil yang diharapkan bisa tidak memenuhi keinginan, karena tidak ada spare daya. Solusi ini tidak bisa memberikan kepastian hasil yang diinginkan. Alternatif pemecahan masalah yang kedua (point b) memberikan suatu solusi yang bijaksana. Sebagaimana diketahui bahwa harga turbin pelton (juga generator) yang memenuhi spesifikasi seperti tercantum pada gambar 3, merupakan produk Eropa dengan harga yang bisa 5 kali harga produk lokal. Dengan menggunakan turbin Pelton lokal yang harganya lebih murah, tentu saja dengan efisiensi yang lebih rendah; bisa diterapkan sistem dengan menggunakan tampungan sementara, dengan demikian akan diperoleh daya yang lebih besar dari pada daya minimal. Mengingat bahwa harga turbin pelton di pasaran lokal juga masih lebih mahal dibandingkan dengan turbin crossflow untuk skema yang sama, maka ada kemungkinan penggunaan turbin crossflow pada sistem ini bisa dilakukan, walaupun secara efisiensi turbin crossflow juga lebih rendah dari pada turbin Pelton. Turbin crossflow mempunyai keunggulan dalam penyesuaian debit karena dilengkapi dengan pengaturan debit dalam rentang 3/3 Q, 2/3 Q dan 1/3 Q; sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.
PEMILIHAN SOLUSI Alternatif solusi yang pertama (point a) memang memberikan suatu pemecahan persoalan. Konsekuensinya adalah kualitas peralatan elektro-mekanik (turbin dan generator) yang bagus akan menghasilkan daya yang diinginkan dan biasanya handal, namun implikasinya adalah biaya peralatan elektromekanik tersebut sangat mahal. Peralatan ini biasanya harus dipesan dari luar negeri.
Dalam penelitian ini turbin crossflow yang dipakai sebagai acuan adalah tipe T-14 yang diproduksi di dalam negeri (Bandung) yang mempunyai karakteristik sebagaimana diperlihatkan pada gambar 5 berikut ini. Tampak pada Gambar 5, efisiensi turbin crossflow tipe T-14 efisiensinya lebih rendah dibandingkan dengan yang ada pada gambar 3.
22
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
pemecahan masalah pada point b. Hasil perhitungan diperoleh dengan memperhitungkan bahwa waktu yang diperlukan agar air bisa mengisi si wadah penampung, agar bisa digunakan untuk start-up diperkirakan selama 10 menit. Selama waktu ini dalam wadah terdapat 18 m3 air. Jika kemudian PLTMH di-start-up di dengan debit sebesar 0,045 m3/s hingga mencapai daya nominalnya (daya 26,72 kW), maka daya da ini dapat digunakan untuk menjalankan pompa pada saat start-up (transient).
Gambar 4 Pengaturan efisiensi crossflow [4]
Kondisi transient ini hanya beberapa saat saja, untuk kemudian menjadi tunak (steady ( state) dengan daya nominal motor pompa (14,92). Maksimum rentang waktu dari saat start-up sampai ampai pompa dapat mengalirkan air dengan kondisi tunak adalah sekitar 6,5 menit. Lebih dari waktu tersebut proses start-up start harus diulang dari awal, karena air sudah tidak mencukupi lagi. Nilai debit, volume penampung, penampung waktu menunggu pengisian dan durasi waktu start-up merupakan variabel yang juga menentukan, tergantung optimasi yang dilakukan. Artinya banyak solusi yang bisa diperoleh dengan cara ini. Hasil perhitungan yang ang ditunjukkan pada Tabel abel 4 memperlihatkan salah satu hasil yang mungkin dilakukan. Dalam contoh tersebut dibutuhkan tampungan sebesar 18 m3. KESIMPULAN
Gambar 5 Efisiensi crossflow tipe T-14 [5]
Tabel 4 Hasil perhitungan turbin crossflow SKEMA-2 (turbin crossflow crossflow) Q pada 0,375 Qmax 0,045 m3/s H efektif max 115,58 M η turbin 0,71 η generator 0,81 η transmisi mekanik 0,95 Daya PLTMH 26,72 kW Tabel 4 memperlihatkan salah satu hasil perhitungan yang mungkin untuk penggunaan turbin crossflow sesuai dengan alternatif
Solusi dengan memanfaatkan tampungan merupakan suatu pilihan alternatif yang dapat dilakukan. Biasanya instalasi BPT sudah dilengkapi dengan penampung air. PLTMH dapat menggantikan genset eksisting untuk menyuplai energi listrik bagi motor listrik pompa submersible di Skema-2 Skema (BPT-1) yang ada di PDAM Wonogiri. Keuntungan PLTMH adalah bahwa peralatan bisa bekerja 24 jam dengan biaya produksi listrik secara sec gratis dan ramah lingkungan; tidak seperti genset Diesel yang membutuhkan bahan bakar solar dan menghasilkan polusi udara dari emisi gas buangnya.
23
ISSN : 2089 -2527
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Daftar Simbol : A D F H P Q V g t η ρ
: luas penampang, m2. : Diameter, m. : Koefisien gesek. : Head, m. : daya, kW. : debit air, m3/s. : kecepatan aliran air, m/s. : percepatan gravitasi,m/s2. : waktu, s. : efisiensi. : massa jenis air, kg/m3.
DAFTAR PUSTAKA Gerhart P.M., Gross R.J., Fundamentals of Fluid Mechanics, Addison Wesley Publishing Company, Massachusset, 1985. http://hydropowerstation.com., Hydro Power Electric Plant, Word Press publication,. Maniton,L., M.Le Nir., J. Roux, Micro Hydroelectric Power Stations, John Wiley & Sons, 1984, New York. Harvey A., Brown. A.,Hettiarachi and Inversin A., Microhydro Design Manual : A Guide to small-scale eater power schemes, Intermediate Technology Publications, South hampton, London,1993. Cihanjuang Inti Teknik Turbine T - 14 Technical Data.
24
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
SIMULASI NUMERIK PENGARUH ALIRAN UDARA TERHADAP KARAKTERISTIK SEMPROTAN BIOETANOL DALAM INTAKE MANIFOLD Budi Suharto Jurusan Teknik Konversi Energi – Politeknik Negeri Bandung E-mail:
Abstrak Penelitian ini dilakukan secara numerik menggunakan software FLUENT dengan tujuan untuk mempelajari proses pembentukan droplet lebih rinci. Secara teoritis, pembentukan droplet dalam semprotan diawali dengan pembentukan lapisan tipis kemudian ligament serta droplet. Droplet tersebut akan mengalami breakup saat bergesekan dengan udara. Proses breakup ini akan mengalami perubahan saat semprotan tersebut berada pada sebuah intake manifold karena aliran udara berada pada posisi tegak lurus. Ketika sudut katup 30o, 60o atau 90o akan terjadi perubahan tekanan dan kecepatan pada area sekitar tepi katup dan dinding intake manifold. Area dengan celah kecil akan memiliki kecepatan tertinggi yaitu 307 m/s pada bukaan katup 30o, 133 m/s pada bukaan katup 60o, sedangkan bukaan katup lebar 90o hanya menimbulkan kecepatan 64,6 m/s. Hal ini akan berpengaruh pada proses pencampuran bahan bakar dan udara sehingga tidak sesuai komposisinya secara stoikhiometri dimana dalam pembakaran sempurna, perbandingan udara dan ethanol 9,1 : 1. Oleh karena itu pada penelitian ini, masalah tersebut akan diatasi menggunakan metode simulasi untuk mempelajari pengaruh wake pada semprotan bahan bakar bensin, E85 dan E100. Keywords : droplet, bioethanol spray
PENDAHULUAN Bioethanol adalah alkohol liquid yang memiliki kandungan unsur oksigen, hidrogen dan karbon. Di beberapa negara, bahan bakar ini diproduksi dari fermentasi gula yang diperoleh dari jagung atau gandum. Pengembangan bahan bakar alternatif diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang persediaannya semakin menipis dan hasil pembakarannya memiliki kadar emisi yang tinggi. Bioethanol merupakan bahan bakar alternatif yang dapat digunakan pada motor bensin karena memiliki nilai oktan cukup tinggi dan menghasilkan emisi lebih rendah daripada bensin. Bioethanol sebagai bahan bakar dapat digunakan melalui tiga cara, yaitu dicampur langsung dengan bensin, diolah menjadi ethyl tertiary butyl ether (ETBE), atau etanol murni sebagai pengganti bensin. Penggunaan bioetanol murni pada motor bakar dapat dilakukan pada engine yang dilengkapi sistem injeksi bahan bakar. Sistem tersebut diperlukan agar proses
atomisasi etanol berlangsung sempurna dan menciptakan droplet yang dapat bereaksi dengan udara. Bahan bakar campuran bensin dan etanol terbukti dapat memperbaiki masalah saat penyalaan awal selama musim dingin dan telah dipasarkan di beberapa negara antara lain Amerika Serikat menggunakan E70 sedangkan Swedia menggunakan E85, (Davis, 2002). Dewasa ini beberapa produsen otomotif bahkan telah memasarkan kendaraan berbahan bakar etanol murni (E100) walaupun jumlahnya sedikit. Tantangan pengembangan kendaraan berbahan bakar bioetanol murni terletak pada sistem bahan bakarnya karena bioetanol memerlukan sistem atomisasi yang baik. Computational Fluid Dynamic merupakan alat bantu yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan matematis yang berkaitan dengan aliran fluida. Dengan CFD, pemodelan dan visualisasi semprotan pada submodel dapat dipelajari lebih rinci dan pemilihan parameter
25
ISSN : 2089 -2527
tentang suatu kasus fluida umumnya dikaitkan dengan hasil dari eksperimen sebelumnya. Dengan menggunakan pemodelan yang tepat maka hasil post processing dari perangkat lunak ini akan memiliki trend yang sama dengan eksperimen Menurut Bechtold (1997) penerapan etanol sebagai bahan bakar dapat menggunakan tiga cara, yaitu langsung dicampur bensin dengan komposisi etanol sekitar 10 % (biasanya disebut gasohol), diolah menjadi ethyl tertiary butyl ether (ETBE), (Menezes, 2008) dan etanol murni sebagai pengganti bensin dengan komposisi etanol sebanyak 85% (E85). Ketiga komposisi tersebut telah diproduksi dan dipasarkan di beberapa negara, (Paasi dan Hira, 2009). Penggunaan bioethanol murni pada engine dengan sistem bahan bakar karburator tidak dapat dilakukan karena proses atomisasi tidak berlangsung sempurna. Hal ini dapat diatasi dengan mencampur bioethanol dengan bahan bakar. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penambahan etanol dalam bahan bakar dapat meningkatkan kinerja engine, mengurangi kadar emisi gas buang dan menambah nilai oktan. Yucesu dkk (2006) melakukan eksperimen menggunakan mesin Hydra silinder tunggal dengan perbandingan kompresi 8:1 hingga 13:1, sistem bahan bakar injeksi dan menggunakan putaran mesin 2000, 3500 dan 5000 rpm. Bahan bakar yang digunakan adalah bensin (E0) dan campuran bensin dengan etanol E10, E20, E30, E40 dan E60. Eksperimen ini dapat menjelaskan bahwa peningkatan perbandingan kompresi akan menghasilkan torsi besar dan hemat bahan bakar. Penggunaan perbandingan kompresi tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik bahan bakar karena E0 dan campuran low etanol lebih mudah mengalami detonasi daripada high etanol. Pada perbandingan kompresi 13 (tinggi), bensin (E0) akan mengalami detonasi pada 10o BTDC sedangkan E10 menyebabkan detonasi tertunda menjadi 15o sebelum TMA dan E40 menunda detonasi menjadi 17o sebelum TMA. Proses atomisasi semprotan full cone pada sac
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
nozzle dijelaskan Baumgarten (2006). Ketika meninggalkan nozzle, jet mulai break up membentuk semprotan yang bersudut. Primary break up adalah break up pada awal semprotan dan menghasilkan ligamen serta droplet yang membentuk dense spray sekitar nozzle. Pada injeksi tekanan tinggi, kavitasi dan turbulen dalam lubang injeksi adalah penyebab awal mekanisme break up. Perbedaan kecepatan relatif antara droplet dan gas akan menimbulkan gaya aerodinamik yang dapat memperlambat laju droplet dan menyebabkan droplet pecah menjadi lebih kecil, peristiwa ini dinamakan secondary breakup. Droplet sekitar spray tip memiliki gaya drag paling besar dan kecepatannya lebih lambat daripada droplet dalam area wake sedangkan droplet dengan energi kinetik rendah didorong ke arah radial dan membentuk semprotan bagian terluar hingga membentuk sudut (spray cone angle). Fasa liquid banyak terdapat di sekitar sumbu semprotan daripada di bagian luar semprotan, kecepatan droplet tertinggi berada pada daerah sumbu dan berkurang ke arah radial akibat interaksi droplet dengan gas. Dense spray memiliki peluang sangat besar untuk collision yang dapat menyebabkan kecepatan dan ukuran droplet berubah menjadi lebih kecil atau bergabung menjadi besar yang biasa disebut coalescence. Menurut Heywood (1988), kondisi injeksi seperti tekanan injeksi, area orifice dan injection rate berubah saat injeksi sehingga distribusi ukuran droplet dalam semprotan akan berubah selama periode injeksi. Hal ini menunjukkan proses atomisasi akan berbeda sesuai spray cone dan spray edge, dan lintasan individual droplet tergantung dari ukuran, kecepatan awal dan posisi dalam semprotan. Proses atomisasi tersebut menjelaskan penyebab distribusi ukuran droplet selalu berbeda sesuai posisinya dalam semprotan. Liimata dkk (1971) telah membuat visualisasi aliran di sekitar butterfly valve dan menjelaskan bahwa pada bukaan katup 20o hingga 45o terdapat aliran jet dua dimensi pada kedua sisi butterfly valve. Aliran mengalami percepatan setelah keluar dari venturi dan separasi terjadi didepan bagian katup tengah. Akibat separasi
26
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
tersebut aliran terpisah dan mengarah pada kedua tepi katup. Pada bagian belakang katup terjadi wake yang memiliki dua vortex dengan arah berlawanan. Jet yang terjadi pada tepi katup mengalir sedemikian rupa sehingga sangat kecil kemungkinan kedua aliran tersebut dapat bergabung di belakang butterfly valve. Melalui eksperimen yang dilakukan oleh Park (1989) diketahui bahwa distribusi campuran bahan bakar pada karburator dipengaruhi oleh sudut dan bentuk butterfly valve. Pada eksperimen ini lapisan bahan bakar akan terbentuk dalam intake manifold pada arah downstream setelah venturi. Eksperimen dilaksanakan menggunakan model intake manifold dengan venturi terletak horizontal dan metanol sebagai bahan bakar. Lapisan tipis (liquid film) diukur sepanjang 400 mm dan ketebalannya diukur menggunakan sensor elektronik setiap 50 mm. Penelitian ini menjelaskan bahwa lapisan ini terbentuk akibat gaya gravitasi dan tidak dipengaruhi oleh bukaan katup melainkan kecepatan udara dalam intake manifold, udara kecepatan tinggi menyebabkan ketebalan lapisan semakin berkurang.. Untuk meningkatkan laju atomisasi diciptakan the Eco-Ring (venturi yang dilengkapi empat lubang berdiameter 3 mm sekitar dindingnya) yang ditempatkan setelah karburator dengan tujuan membuat lapisan bahan bakar di dinding teratomisasi sehingga laju atomisasi lebih baik dan menghasilkan distribusi campuran yang homogen. Pada sistem bahan bakar menggunakan karburator, wake tersebut mempengaruhi proses pencampuran bahan bakar dengan udara serta menimbulkan lapisan tipis bioetanol pada dinding sehingga kinerja engine menurun. Kerugian ini dapat dikurangi dengan menggunakan sistem injeksi bahan bakar dan menempatkan injektor setelah butterfly valve. Sistem injeksi bahan bakar yang digunakan pada kendaraan modern adalah multi-port injection dan throttle body injection, Crouse dan Anglin (1993). Multi-port injection adalah sistem bahan bakar yang dilengkapi injektor untuk setiap silinder, sedangkan throttle body injection atau single point injection adalah sistem bahan bakar yang menggunakan sebuah injektor untuk
sebuah intake manifold. Eksperimen dilakukan oleh Furuyama dan Ohgane (1987) serta Moss (1980) yang membuktikan bahwa pulsa aliran dalam intake manifold timbul saat katup terbuka penuh dengan kecepatan udara rendah dan katup terbuka penuh dengan kecepatan udara tinggi. Menurut Behnia (2001), Milton (2001) dan Kale (2005), kecepatan dan pola aliran udara yang masuk dalam intake manifold akan mengendalikan massa bahan bakar yang diatomisasikan dan dapat membuat lapisan tipis bahan bakar pada dinding. Milton dkk (1994) melakukan penelitian numerik menggunakan software FLOW3D untuk mempelajari aliran bahan bakar di dalam intake manifold posisi horizontal berdiameter 0,03 m dan kecepatan udara 5 hingga 30 m/s serta pasokan bahan bakar menggunakan sistem injeksi. Pada penelitian pertama, injektor bahan bakar diletakkan sebelum butterfly valve sedangkan pada penelitian kedua, injektor diletakkan setelah butterfly valve. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa saat butterfly valve ditutup terjadi perbedaan tekanan sangat tinggi yang menyebabkan daerah wake pada downstream bertambah luas. Penutupan aliran manifold tersebut menyebabkan bahan bakar menempel pada dinding katup dan berkurang saat aliran terbuka kembali. Saat aliran tertutup, bahan bakar menempel pada katup bagian depan hingga 75% dan membuat lapisan tipis pada sisi depan karena sisi tersebut berada tepat setelah aliran jet dari injektor sebaliknya di sekitar dinding manifold bagian bawah lapisan tipis bahan bakar mencapai maksimum hingga 20% saat aliran terbuka penuh. Lapisan tersebut semakin tipis saat katup mulai menutup karena terjadi aliran berkecepatan tinggi pada daerah antara katup dan dinding bawah. Pada penelitian dengan bukaan katup 60o dan kecepatan udara meningkat hingga 30 m/s memberikan pengaruh lebih baik karena udara kecepatan tinggi akan membawa bahan bakar melalui intake manifold dan bahan bakar yang menempel pada dinding katup dan saluran sangat sedikit.
27
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Behnia dkk (2001) melakukan eksperimen pada sebuah model intake manifold menggunakan campuran kerosene dan menunjukkan bahwa pola aliran pada arah downstream di belakang butterfly valve memiliki vortex dengan arah aliran saling berlawanan. Hal ini menunjukkan wake di sekitar butterfly valve akan mengendalikan lapisan tipis bahan bakar dalam saluran manifold.
Kecepatan udara masuk intake manifold diasumsikan uniform dan dipilih sesuai dengan perhitungan stokiometri untuk memperoleh pembakaran sempurna. Injektor I
Velocity Inlet
Injektor II
θ Butterfly Valve
Melalui penelitian pola aliran menggunakan particle image velocimetry, Krishna dkk (2008) menjelaskan bahwa aliran campuran bahan bakar dan udara dalam intake manifold memiliki energi kinetik turbulen (TKE) yang dapat mempengaruhi kinerja motor bakar. Eksperimen ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sudut intake manifold dengan beragam putaran mesin terhadap TKE. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa TKE terbesar terbentuk saat o menggunakan intake manifold bersudut 60 . Parameter injeksi akan berpengaruh terhadap sebuah pola semprotan bahan bakar. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah viskositas, densitas dan tegangan permukaan. Penelitian numerik tentang hal ini telah dilakukan Wulung (2009) menggunakan dua jenis biodiesel terbuat dari jarak dan minyak goreng bekas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan bakar dengan viskositas rendah akan mengalami break up secara cepat dan tumbukan droplet dengan dinding akan mengalami regim spread METODOLOGI Dalam penelitian ini akan dipelajari karakteristik semprotan bioetanol di bagian intake manifold pada motor bensin. Ukuran pemodelan intake manifold ini dibuat berdasarkan ukuran intake manifold di Laboratorium Motor Bakar Jurusan Teknik Konversi Energi. Penelitian ini dlakukan dengan menggunakan software Fluent 6.3. Fluent adalah salah satu jenis program CFD yang menggunakan metode volume hingga. Pada penelitian pertama, injektor diletakkan sebelum butterfly valve kemudian dilakukan simulasi sedangkan pada penelitian kedua injektor diletakkan setelah butterfly valve.
Gambar 1 Geometri ruang bakar tipe Mexican-Hat
Persamaan reaksi untuk pembakaran sempurna etanol dalam ruang bakar adalah, C2H3OH + 3O2 2CO2 + H2O Dimana, Massa relatif atom-atom penyusun bioetanol yaitu : Carbon, C : 12 Hidrogen, H: 1 Oxygen, O : 16
Sehingga, massa molekul relatif etanol adalah (2 x 12 ) + (1 x 5) + 16 + 1 = 46. Dan massa molekul relatif oksigen 3(2 x 16) = 96. Dalam pembakaran sempurna, perbandingan oksigen dan etanol adalah 96 : 46 = 2,1, dengan kata lain untuk membakar 1 kg bioetanol dalam ruang bakar diperlukan 2,1 kg udara. Kandungan oksigen dalam udara sekitar 23% maka untuk memperoleh 1 kg oksigen diperlukan 4,35 kg udara. Massa oksigen diperlukan dalam penelitian (2,1 kg) dapat dipenuhi jika 2,1 x 4,35 = 9,1 udara masuk dalam intake manifold. Penelitian ini menggunakan intake manifod berdiameter 22 mm sepanjang 132 mm. Oleh karena itu untuk menciptakan pembakaran ideal (Ø=1) diperlukan udara kecepatan 60 m/s yang mengalir dalam intake manifold. Ganesan (2002), mendefinisikan pengaruh fuel-air ratio sebagai, φ=
Actual Fuel − AirRatio Stoichiometri Fuel − AirRatio
28
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Dimana, Ø = 1 adalah komposisi campuran bahan bakar-udara yang ideal, sedangkan Ø1 merupakan campuran kaya (rich) Tabel 1 Hasil Perhitungan Kecepatan dan Fuel-Air Ratio dalam Intake Manifold No Kecepatan udara (m/s) Ø Jenis campuran 1 70 0,9 Lean 2 60 1 Ideal 3 50 1,2 Rich
Bahan bakar yang digunakan dalam penelitian numerik ini adalah bensin dan campuran bensinbioethanol E85, E100. Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian ketiga bahan bakar tersebut. Bensin memiliki nilai kalor tertinggi dengan nilai oktan rendah sedangkan bioetanol E100 memiliki nilai kalor paling rendah.
No 1 2 3 4
Tabel 2 Spesifikasi Bahan Bakar Bahan Bakar Bensin E85 Densitas (kg/L) 0,79 0,79 Viskositas (cP) 0,44 1,08 MON 88 89 LHV (kJ/L) 33000 22900
E100 0,79 1,19 89,7 21000
dengan nama primary breakup. Tahap selanjutnya adalah secondary breakup dimana droplet pecah menjadi berukuran kecil akibat bergesekan dengan udara. Dalam kondisi aktual, droplet tersebut bertabrakan dengan droplet lainnya sehingga breakup terjadi kembali (collision) dan pada beberapa kasus droplet bergabung membentuk ukuran lebih besar (coalescence). Hasil penelitian numerik ini menunjukkan baik semprotan bensin, E85 maupun E100 hanya mengalami collision yang terukur pada post processing dengan diameter berkisar antara 18,8-134 µm. E100 30o
E100 60o
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semprotan bioetanol akan memiliki spray cone angle dan panjang penetrasi bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan karena droplet mengalami waktu yang lebih lama untuk bergesekan dengan udara. Proses ini mudah dilakukan fluida cair jika memiliki kecepatan relatif yang tinggi antara liquid yang akan diatomisasi dengan udara atau gas yang ada disekitarnya. Droplet pada tepi semprotan lebih cepat break up atau pecah daripada di tengah semprotan., karena droplet pada bagian tengah memiliki energi kinetik lebih besar dibandingkan tepi. Pecahnya droplet menjadi bagian yang lebih kecil adalah akibat gaya geser (dari gaya aerodinamis) pada bagian terlemah dari droplet yang terlebih dahulu berdeformasi. Tahap pertama pembentukan droplet bioetanol diawali dengan kavitasi di dalam injektor lalu saat melintasi nozzle tip terbentuklah sheet, ligament lalu droplet. Proses tersebut dikenal
E100 90o
Gambar 2 Pengaruh sudut butterfly pada distribusi droplet
Ketika sudut katup 30o, 60o atau 90o akan terjadi perubahan tekanan dan kecepatan pada area sekitar tepi katup dan dinding intake manifold. Area dengan celah kecil akan memiliki kecepatan tertinggi yaitu 307 m/s pada bukaan katup 30o, 133 m/s pada bukaan katup 60o
29
ISSN : 2089 -2527
sedangkan bukaan katup lebar 90o hanya menimbulkan kecepatan 64,6 m/s. Gambar 2 merupakan hasil simulasi semprotan bahan bakar E100 pada beberapa posisi bukaan katup. Dari gambar tersebut diketahui bahwa celah yang kecil akan mengganggu semprotan bahan bakar, sehingga sudut semprotan bertambah. Hal ini terjadi akibat penurunan tekanan yang ekstrim pada daerah celah hingga droplet di tepi semprotan akan terhisap ke arah downstream. Distribusi kecepatan pada celah tersebut ditunjukkan pada Gambar 3 dimana intake manifold dengan kecepatan tertinggi terjadi pada bukaan katup 30o. Peristiwa terhisapnya droplet di celah dapat menimbulkan kerugian karena tepat di belakang katup terjadi wake. Wake tersebut menyebabkan sebagian bioetanol mengisi bagian di belakang katup dan tidak dapat tercampur dengan udara, lihat Gambar 4 atas. E100 30o
E100 60o
E100 90o
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Kerugian lainnya yang ditimbulkan oleh celah yang sempit adalah lapisan bioetanol tipis (fuel film) akan terbentuk di sekitar dinding dan tentu saja proses pencampuran bahan bakar-udara berlangsung kurang sempurna. Kedua hal tersebut, fuel film dan wake dapat mengakibatkan pembakaran di dalam ruang bakar tidak berlangsung sempurna dan dapat meningkatkan polusi. Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa bukaan katup paling optimal yang menghasilkan kinerja maksimum pada motor bensin adalah berkisar antara 50 hingga 75%, dalam penelitian ini diwakili oleh Gambar 4 tengah. Pada gambar tersebut area wake yang ditimbulkan relatif lebih kecil, karena perbedaan tekanan di belakang dan di depan katup tidak signifikan. Dengan kata lain, intensitas pencampuran bioetanol dan udara (mixing rate) dalam intake manifold ini akan meningkat. E100 30o
E100 60o
E100 90o
Gambar 4 Pengaruh sudut butterfly pada vektor kecepatan Gambar 3 Pengaruh sudut butterfly pada kontur kecepatan
30
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527 E100 60o
E100 60o
E100 60o
(pemecahan droplet akibat tumbukan) yang ditunjukkan oleh diameter droplet yang berkisar antara 18,8-134 µm. Ketika sudut butterfly valve berubah dan menciptakan celah kecil antara tepi katup dan dinding akan terjadi penurunan tekanan di celah hingga menyebabkan droplet pada tepi semprotan terdorong keluar dari spray cone. Akibatnya spray cone mengalami peningkatan 50% menjadi 17,44o ketika sudut katup sudut 30o. Hasil penelitian lainnya adalah viskositas tinggi, menyebabkan bahan bakar memiliki tegangan permukaan yang tinggi sehingga droplet E100, viskositas 1,19 Cs berdiameter lebih besar daripada E85 & bensin. Penelitian ini akan diterapkan pada sistem bahan bakar motor bensin, oleh karena itu air fuel ratio dan stoikhiometri lebih diperhatikan agar memperoleh pembakaran yang baik. Parameter lainnya adalah kekasaran dinding intake manifold karena boundary layer dapat menambah ketebalan fuel film. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 5 Pengaruh letak injektor pada vektor kecepatan Sudut butterfly valve 60o
Meletakkan injektor setelah butterfly valve diyakini dapat memperbaiki masalah proses pencampuran karena seperti terlihat pada gambar, droplet yang terbentuk tidak menyebar dan membentuk sudut semprotan yang lebih besar. Begitu juga jika diterapkan pada bukaan katup 60o, aliran yang berada di atas katup akan mendorong semprotan hingga menjauhi dinding bawah, Gambar 5. KESIMPULAN Bioethanol memiliki banyak keunggulan dibandingkan bensin. Bahan bakar ini memiliki nilai oktan tinggi 89,7, ramah lingkungan, memiliki atom oksigen yang diharapkan dapat memberikan leaning effect dalam pembakaran. Kecepatan udara yang paling efektif untuk intake manifold berdiameter 22 mm adalah 60 m/s dengan laju massa bioetanol 3 gr/s karena dapat membentuk campuran ideal 9,1:1. Hasil simulasi numerik ini menunjukkan dalam semprotan bioethanol hanya terjadi collision
Al Baghdadi, M. R. S., ”A Simulation Model for a Single Cylinder Four-Stroke Spark Ignition Engine Fueled with Alternative Fuels”, Turkish J. Eng. Env. Sci. 30, hal. 331 – 350, 2006. Al Hasan, M.,”Effect of ethanol–unleaded gasoline blends on engine performance and exhaust emission”, Energy Conversion and Management 44, hal. 1547–1561, 2003. Arias, D. A.,”Numerical and Experimental Study of Air and Fuel Flow in Carburetors for Small Engines, Dissertation, University of Wisconsin-Madison, 2004. Baumgarten, C.,”Mixture Formation in Internal Combustion Engines”, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany, 2006. Ceviz, M.A. dan Yüksel, F.,“Effects of ethanol– unleaded gasoline blends on cyclic variability and emissions in an SI engine”, Applied Thermal Engineering 25, hal. 917– 925, 2005. Ganesan, V.,“Internal Combustion Engines, Third Edition”, Tata McGraw-Hill, New Delhi, 2007. Hira, A. dan Oliveira. L.,”No Subtitute for Oil?
31
ISSN : 2089 -2527
How Brazil Developed its Ethanol Industry”, Energy Policy 37, hal. 24502456, 2009. Hwang, J.S., HA, J.S. dan No, S. Y.,"Spray Characteristics of DME in Conditions of Common Rail Injection System", International Journal of Automotive Technology, Vol. 4, No.3 hal. 119, 2003. Kale, S. C. dan Ganesan, V.,”A Study of Steady Flow through a SI Engine Intake System using CFD”, 2005. Makgata, K. W., ” Computational Analysis and Optimisation of the inlet system of a highperformance rally engine", University of Pretoria, Thesis, 2005. Menezes, E. W. dan Calaluña, R., ”Optimization of the ETBE (ethyl tert-butyl ether) production process,” Fuel Processing Technology (2008), hal. 1148-1152, 2008. Milton, B. E., Behnia, M. dan Ellerman, D. M., ”Fuel Deposition and Re-Atomisation from Fuel/Air Flows Through Engine Inlet Valves”, International Journal of Heat and Fluid Flow 22, hal. 350-357, 2001. Krishna, B. M., Bijucherian, A. dan Mallikarjuna J. M.,”Effect of Intake Manifold Inclination on Intake Valve Flow Characteristics of a Single Cylinder Engine using Particle Image Velocimetry”, Proceeding of World Academy of Science, Engineering and Technology Volume 34 Oktober, hal. 861-867, 2008. Kajitani, S., Oguma, M. and Mori, T.,”DME fuel blends for low-emission, directinjection diesel engines”,.SAE Paper No. 2000-01-2004, 2000. Paasi, J., Kalliohaka, T. dan Glor, M.,”Chargeability of ethanol–petrol biofuels”, Journal of Electrostatics 67, hal. 247–250, 2009. Park, S. W. dan Lee, C. S.,"Macroscopic Structure and Atomization Characteristics of High-Speed Diesel Spray", International Journal of Automotive Technology, Vol. 4, hal. 157, 2003. Yücesu, H. S., Topgül, T., Çinar C. dan Okur, M.,”Effect of ethanol–gasoline blends on engine performance and exhaust emissions in different compression ratios”, Applied Thermal Engineering 26, hal. 2272–2278, 2006.
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Wulung, A., “Spray Characteristics of Biodiesel from Jatropa Curcas and Waste Cooking Oil”, International Seminar on Sciences and Technology, Universitas Andalas, Padang, 2009. Wulung, A., “Investigation of Biodiesel Spray Wall Interaction on Direct Injection Diesel Engine”, International Seminar on Sciences and Technology, Universitas Andalas, Padang, 2009. Wulung, A., Puguh, B. dan Slameto, “The Effects of Ethanol-Gasoline Blends on Performance of Modified Four Stroke SI Engine, International Seminar on Sustainable Biomass production and Utlitization: Challenges and Opportunities”, Universitas Negeri Lampung, Lampung, 2009. Slameto, Wulung, A. dan Puguh, B.,“Pengaruh Campuran Bensin dan Ethanol terhadap Kinerja Motor Bensin Empat Langkah pada Putaran Rendah, Seminar on Application and Research in Industrial Technology”, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2009. Baumgarten, C. 2006. Mixture Formation in Internal Combustion Engines, SpringerVerlag Berlin Heidelberg, Germany. Hwang, J.S., HA, J.S. dan No, S. Y. 2003. Spray Characteristics of DME in Conditions of Common Rail Injection System, International Journal of Automotive Technology, Vol. 4, No.3 hal. 119. Saydut, A., Duz, M. Z., Kaya, C., Kafadar, A. B. dan Hamamci, C. 2008. Transesterified Sesame (Sesamum Indicum L.) Seed Oil as a Biodiesel Fuel, Bioresource Technology Vol. 99, hal. 6656–6660. Wulung, A. dan Sungkono, D. 2010, Simulasi Numerik Pola Semprotan Bahan Bakar Biodiesel di Ruang bakar Mexican Hat dengan CFD Solver FLUENT 6.3, Prosiding Seminar Nasional Kimia 2010, hal. B 51-58.
32
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 - 252 7
RANCANG BANGUN KONTROL PENYUSUNAN KEMBALI SUSUNAN MODUL PHOTOVOLTAIK (PV) UNTUK APLIKASI POMPA AIR VOLUMETRIK Aceng Daud Teknik Konversi Energi- Politeknik Negeri Bandung E-mail:
[email protected]
Abstrak Makalah ini menampilkan suatu teknik untuk meningkatkan kinerja modul photovoltaik (PV) yang mensuplai motor DC magnet permanen yang dikopel pada sebuah pompa air volumetrik. Metoda ini menggunakan sebuah kontrol penyusunan kembali susunan modul photovoltaik (PV) menggunakan saklar solid state, yang menyensor radiasi rendah, menengah, dan tinggi. Pengontrol memilih salah satu set karakteristik I-V untuk starting dan karakteristik I-V yang lain untuk keadaan mantap. Ini dilakukan dengan pensaklaran panelpanel surya yang bergantung pada arus starting yang dibutuhkan dan tingkat radiasi, untuk hubungan paralel, seri-paralel, dan seri. Prosedur ini mencukupi arus mula, khususnya pada radiasi rendah dan menengah, yang akan meningkatkan kinerja pompa, terutama sekali pada pagi, sore dan hari-hari berawan. Kata kunci:photovoltaik, motor DC, pompa air volumetrik
PENDAHULUAN Penggunaan modul-modul photovoltaik (PV) untuk mensuplai sistem pompa air semakin banyak akibat semakin menurunnya biaya panel-panel solar, walupun efisiensi panel solar masih relatif rendah. Ini menarik untuk menggunakan alat yang sederhana dan murah yang akan menaikan kinerja suatu modul photovoltaik yang mensuplai pompa air. Teknik-teknik telah banyak dicoba untuk meningkatkan kinerja pompa air photovoltaik. Teknik-teknik tersebut termasuk “optimal matching” dari sistem yang dikopel langsung, sumbu tunggal (single-axis) dan sumbu ganda (double-axis) penjejak matahari, dan penjejak titik daya maksimum (maximum power point tracker). Sebuah pompa air volumetrik yang dikopel langsung dengan sebuah motor DC magnet permanen diketahui mempunyai torsi mula (starting) yang konstan yang bergantung hanya kepada tinggi (h), dan debit air (Q), tapi tidak bergantung pada kecepatan (n). Untuk menanggulangi torsi mula, suatu tingkat radiasi yang cukup tinggi (kira-kira 600 W/m2) harus tersedia. Oleh karena itu, untuk mengoperasikan tipe pompa ini pada tingkat radiasi rendah dan menengah, torsi yang
dikembangkan oleh motor harus naik. Kenaikan torsi pada motor tentunya akan menaikan arus pada motor atau sebaliknya. Suatu cara yang logis untuk mencapai hal tersebut yaitu dengan penyusunan kembali susunan photovoltaik modulama radiasi rendah dan menengah. Dalam makalah ini susunan photovoltaik dikelompokan dalam empat unit. Keempat unit ini dihubungkan paralel modulama tingkat radiasi rendah, seri-paralel modulama tingkat radiasi menengah, dan dihubungkan seri modulama tingkat radiasi tinggi. Pengontrolan dilakukan dengan kontrol penyusunan kembali modul potovoltaik (PV) tiga tingkat. DASAR TEORI Suatu motor DC magnet permanen dapat digambarkan dengan sebuah sumber tegangan, (Vt) yang seri dengan tahanan jangkar (Ra) dan tegangan yang diinduksikan (E). Persamaan dari motor magnet permanen adalah sebagai berikut : Vt = E + Ia.Ra E = K.φ.ωm Tm= K.φ.Ia
(1) (2) (3)
dimana:
1
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527 Vt = tegangan terminal motor (V) E = tegangan nduksi motor (V) Ra= tahanan jangkar (Ω) φ = fluksi ( weber) ωm= kecepatan sudut motor (rad/detik) Tm= torsi motor (Nm)
dengan : C3 = 0,01175 C4 = C6/VOC C6 = ln [(1 + C3)/C3] ISC (1 + C3) - Imp
Perbandingan daya yang dipakai oleh motor dan daya yang digunakan oleh pompa untuk mengangkat air pada suatu ketinggian (h) tertentu, diketahui sebagai efisiensi (η) kawat ke air yang dinyatakan dengan : η = ρ.g.h.Q/Pi
(4)
dengan : Pi = Vt.Ia
(5)
dimana: ρ = grafitas sfesifik air (kg/m3) 2 g = grafitasi (m/detik ) h = tinggi (m) Q = aliran air (m3/detik) PI = daya masukan motor (W)
C5 = ln C3 ISC Persamaan (6) menjelaskan kurva I-V hanya pada satu tingkat radiasi dan temperatur. Untuk membuat Persamaan tersebut (6) berlaku untuk radiasi dan temperatur yang lain, kurva dirubah ke persamaan (7), yaitu : ∆T = T – Tref. ∆I = α(S/Sref.) ∆T + (S/Sref. – 1) ISC ∆V = - β ∆T – RS ∆I Vnew= Vref. + ∆I T = TA + 0,02 S
(7)
dimana:
Dari data-data pembuat pompa, kecepatan motor, ωm dan efisiensi, η dapat dicari untuk berbagai tinggi, h yang berbeda, dan dengan menggunakan Persamaan (1) sampai dengan (5), arus jangkar dapat ditentukan, sehingga kurva I-V dari sistem dapat diperoleh. Daya keluaran dari modul photovoltaik adalah hasil dari tegangan keluaran dan arus keluaran modul. Rangkaian ekivalen dari sebuah panel photovoltaik diperlihatkan pada Gambar 1.
α = koefisien temp. perubahan arus pd. radiasi acuan (amp./°C) β = koefisien temp. perubahan tegangan pd. Radiasi acuan (V/°C) I = arus modul (A) Imp = arus daya maksimum modul (A) = arus hubung singkat modul (A) ISC S = radiasi Tilt total (W/m2) Sref. = radiasi acuan (W/m2) RS = Tahanan seri modul (Ω ) T = temperatur (°C) TA = temperatur lingkungan (°C) Tref. = temperatur acuan (°C) ∆T = perubahan temperatur (°C) V = tegangan modul (V) Vmp = tegangan daya maksimum (V) = tegangan hubungan terbuka (V) VOC S = radiasi (W/m2)
Gambar 1 Rangkaian ekivalen modul potovoltaik (PV)
Persamaan yang menghubungkan arus susuhan photovoltaik (PV) dengan tegangan susunan photovoltaik (PV) adalah [1] : (C4.Vm) I = ISC { 1 – C3 [ e - 1]}
(6)
Gambar 2 Karaktrristik I-V photovoltaik tipikal
2
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 - 252 7
Karakteristik tipikal dari hubungan arus dan tegangan susunan photovoltaik diperlihatkan pada Gambar 2.
tahanan dalam dikontrol.
kecil,
dan
mudah
untuk
Tahanan seri, RS dihitung dari percobaan karakteristik I-V pada dua tingkat radiasi yang berbeda. Dengan menggunakan persamaan diatas, karakteristik I-V susunan photovoltaik (PV) dapat dibuat dengan pertolongan komputer atau dengan metoda iterasi. Gambar 3 memperlihatkan sebuah kurva I-V dari pompa-motor, dimana pompa pada suatu tekanan 100 psi, dan susunan photovoltaik (PV) dihubungkan dalam paralel, seri-paralel, dan seri. Gambar 4 Kontrol rangkaian daya tiga tingkat.
Pada tingkat radiasi rendah, keempat unit photopoltaik (PV) dihubungkan dalam paralel, sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 5 (a), dengan menyulut T4, T5, T6, T7, T8, dan T9. Setiap unit menyediakan arus I dan tegangan V, sehingga arus yang tersedia pada motor sebesar 4I dan tegangannya sebesar V yang menyediakan arus tinggi untuk starting. Gambar 3 Kurva I-V susunan photovoltsik dan pompa-motor pada tingkat radiasi 500 W/m2
Dari Gambar 3, arus yang tersedia untuk motor pada beberapa tingkat, maksimum pada tingkat pertama (hubungan paralel), menengah pada tingkat kedua (hubungan seri-partalel), dan minimum pada tingkat ketiga (hubungan langsung). Titik starting dari sistem motorpompa terjadi pada perpotongan kurva I-V dari susunan modul potovoltaik (PV) dan kurva I-V dari motor-pompa.
PERANCANGAN RANGKAIAN DAN OPERASI Perancangan kontrol daya tingkat dilakukan untuk mengelompokkan susunan photovoltaik (PV) dalam empat unit U1, U2, U3, dan U4. Setiap unit terdiri dari sejumlah modul yang tetap. Keempat unit ini diinterkoneksi melalui sembilan IGBT (insulated gate bipolar transistor) kanal N, seperti diperlihatkan dalam gambar 4. IGBT digunakan sebagai alat pensaklaran sebab kemampuan arusnya tinggi,
Pada tingkat radiasi menengah, unit dikelompokan dalam dua set (setiap set terdiri dari dua unit yang dihubungkan seri). Dua set ini kemudian dihubungkan paralel untuk membentuk hubungan seri-paralel, sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 5 (b) dengan menyulut T1, T3, T4, dan T5. Dalam kasusu ini arus yang tersedia pada motor sebesar 2I Dan tegangannya sebesar 2V⋅ Pada tingkat radiasi tinggi, keempat unit dihubungkan dalam seri, sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 5 (c) dengan menyulut T1, T2, dan T3. Dalam kasus ini arus yang tersedia pada motor sebesar I dan tegangannya sebesar 4V. Karena motor DC magnet permanen dapat dioperasikan pada suatu daerah tegangan masukan yang lebar, maka suatu perubahan tegangan tidak akan mencegah motor untuk beroperasi.
3
ISSN : 2089 - 252 7
Gambar 5 Penyusuanan kembali susunan modul potovoltaik (PV). (a) Tingkat 1 untuk radiasi rendah, (b) Tingkat 2 untuk radiasi menengah, dan (c) Tingkat 3 untuk radiasi tinggi.
Gambar 6 memperlihatkan rangkaian kontrol logika yang mengimplementasikan pensaklaran saklar-saklar IGBT untuk melalukan tiga langkah pensaklaran sesuai dengan tingkat radiasi yang datang. Rangkaian kontrol logika mengontrol radiasi yang datang, yaitu rendah, menengah, dan tinggi dengan pertolongan sebuah modull solar acuan yang dibuat dari bahan yang sama sebagaimana modul-modul potovoltaik (PV). Modul dipasang pada bidang yang sama dan dalam arah yang sama sebagaimana susunan modul potovoltaik (PV). Modul potovoltaik akan menghasilkan arus sebanding dengan jumlah radiasi matahari yang datang. Arus ini dirubah dalam bentuk sinyal tegangan oleh hubungan resistor yang paralel dengan modul potovoltaik. Tegangan ini kemudian dimasukkan pada komparator tegangan rendah (L) dan komparator tegangan tinggi (H). Komparator tegangan rendah (L) bekerja bila radiasi yang datang lebih rendah dari set poin radiasi rendah. Komparator ini akan menghubungkan saklar IGBT T4, T5, T6, T7, T8, dan T9 yang menghubungkan empat unit photovoltaik dalam paralel. Bila radiasi datang lebih tiinggi dari set poin radiasi tinggi, komparator tegangan tinggi (H) akan bekerja yang menyebabkan T1, T2, dan T3 menghubung sehingga menyambungkan keempat unit photovoltaik (PV) dalam hubungan seri. Set poin ini dapat divariasikan dengan mengatur potensiometer R1 dan R2. Komparator tegangan menengah (M) bekerja bila radiasi yang datang
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
berada antara set poin radiasi rendah (L) dan set poin radiasi tinggi (H). Komparator tegangan menengah (M) bekerja sebab komparator tegangan rendah (L) dan komparator tegangan tinggi (H) tidak bekerja dan tegangan pada titik C sama dengan nol. Bila komparator tegangan menengah (M) bekerja, T1, T3, T4, dan T5 terhubung untuk menyediakan hubungan seriparalel. Bila salah satu komparator teganan rendah (L) atau komparator tegangan tinggi (H) bekerja, tegangan pada titik C tidak sama dengan nol, sehingga akan mencegah komparator tegangan menengah (M) bekerja. Dioda D1 dan D2 digunakan untuk meyakinkan bahwa hanya satu tingkat saklar yang akan bekerja pada saat kapanpun. Saklar SW digunakan untuk merubah tiga tingkat kontrol ke dalam dua tingkat kontrol, dengan mengeluarkan tingkat pertama (susunan paralel). Nilai tahanan umpan balik dibuat tinggi pada komparator tegangan, digunakan untuk meyakinkan tegangan mengambang (floating) yang dibutuhkan untuk menyulut IGBT. Emiter dari IGBT kanal N T4, T6, dan T7 yang dihubungkan pada sisi positip U1, kemudian tegangan gate harus di 8 sampai 12 volt lebih tinggi dari tegangan emiter agar IGBT bekerja. Oleh karenanya sumber tegangan terisolasi (SS) digunakan untuk menyediakan tegangan tersebut.
Gambar 6 Rangkaian kontrol tiga tingkat.
Bila mesin start dari keadaan diam, rangkaian kontrol akan mulai bekerja dari tingkat satu (susunan paralel) pindah ke tingkat dua (susunan seri-paralel) dan ke tingkat tiga (susunan seri), sesuai tingkat radiasi yang
4
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 - 252 7
tersedia.
HASIL DAN DISKUSI
kontrol), sementara Gambar 9 (b) memperlihatkan rating aliran air bila kontrol digunakan.
Suatu sistem loop tertutup, dimana air dipompa dari tangki melawan sebuah katup bertekanan dan kembali ke tangki telah dibuat dan diperlihatkan dalam Gambar 7. Tekanan yang menstimulasikan tinggi, dapat diubah dengan mengatur katup tekanan.
Gambar 9 Rating aliran sebagai fungsi radiasi dikopel langsung dan dengan pengontrol.
KESIMPULAN Gambar 7 Sistem photovoltaik (PV) yang mensuplai motor-pompa.
Sebuah pompa kapasitas 1,5 HP (1119 Watt), digerakan oleh sebuah motor DC magnet permanen 1,5 HP, 180 volt telah diuji. Radiasi pada saat pompa mulai memompa melawan tinggi 100 psi telah dicatat. Gambar 8 memperlihatkan tingkat radiasi yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem dengan menggunakan pengontrol tiga tingkat.
Kontrol penyusunan kembali susunan modul potovoltaik (PV) memperkenalkan suatu pendekatan untuk mengoptimalkan pompa air volumetrik yang disuplai modul potovoltaik (PV) dengan menghasilkan arus yang cukup tinggi untuk menjalankan motor pada tingkat radiasi rendah, sehingga menyediakan suatu daerah tingkat radiasi yang lebar untuk operasi dan jam pemompaaan air.
DAFTAR PUSTAKA Bogdan S. Borowy dan Ziyad M.Salameh, Sept. 1994”Optimum Photovoltaic Array Size For a Hybrid Wind/PV Sistem”. IEEE TEC., Vol.9, No. 3. Ryder, 1970. Electronic Fundamentals & Applications. Pitman Publishing.
Gambar 8 Titik start untuk sistem operasi pengontrol pada 100 psi.
Rating aliran air dalam liter per menit sebagai fugsi dari tingkat radiasi diperlihatkan dalam Gambar 9 (a) dan (b) untuk takanan 100 psi. Gambar 9 (a) memperlihatkan rating aliran air untuk sistem bila dikopel langsung (tanpa
5
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
EVALUASI KINERJA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR DI PT INDONESIA POWER UBP PRIOK Kartono, Tina Mulya Gantina dan Mega Andayani Jurusan Teknik Konversi Energi – Politeknik Negeri Bandung E-mail:
[email protected]
Abstrak Heat Recovery Steam Generator merupakan alat penukar panas yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap dengan memanfaatkan panas gas buang. Pada siklus PLTGU, panas buang yang dimanfaatkan HRSG berasal dari turbin gas, dan uap yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin uap. HRSG di PT Indonesia Power UBP Priok terdiri dari LP ekonomiser, LP evaporator, HP ekonomiser, HP evaporator dan HP superheater. Untuk menentukan kinerja HRSG maka dihitung efisiensi dengan cara langsung dan dibandingkan dengan efisiensi pada saat komisioning (heat balance) pada tahun 1994. Untuk menentukan komponen mana yang mengalami penurunan kinerja maka dihitung efisiensi dari komponen-komponennya. Dari hasil perhitungan didapatkan efisiensi HRSG sebesar 88,8% hingga 90,8%, sedangkan efisiensi HRSG pada saat komisioning (heat balance) adalah sebesar 94%. Hal ini menunjukan bahwa HRSG telah mengalami penurunan kinerja sekitar 3-5%. Sedangkan komponen yang mengalami penurunan kinerja cukup tinggi adalah LP evaporator dengan efisiensi mencapai 82,2%. Penurunan ini diakibatkan oleh suhu air umpan yang terlalu tinggi. Selain itu, penurunan kinerja HRSG dapat juga disebabkan oleh adanya pengerakan pada pipa-pipa HRSG terutama pada evaporator akibat dari akumulasi panas yang tinggi. Upaya untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan menjaga kualitas air umpan HRSG, terutama kandungan mineral kalsium dan magnesium sebagai penyebab utama pengerakan. Selain itu, harus dilakukan pengecekan, perawatan dan pembersihan HRSG agar penyerapan panas gas buang oleh air dapat lebih efisien. Kata kunci : HRSG, PLTGU, efisiensi
PENDAHULUAN PT Indonesia Power UBP Priok memiliki 2 unit pembangkit listrik tenaga gas - uap (PLTGU) yang masing-masing unit mulai beroperasi sekitar tahun 1992-1995. PLTGU terdiri dari dua jenis pembangkit yaitu pembangkit tenaga gas dan tenaga uap. Pada turbin gas, gas hasil pembakaran digunakan untuk memutar turbin gas yang selanjutnya menghasilkan listrik. Gas buang dari turbin gas masih memiliki suhu yang sangat tinggi dan memiliki jumlah energi yang cukup besar. Oleh karena itu, pada sistem PLTGU, gas buang dengan suhu tinggi itu dimanfaatkan kembali dengan mengalirkannya ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) untuk memanaskan air dan mengubahnya menjadi uap kering yang selanjutnya digunakan untuk memutar turbin uap. Pembangkit tenaga gas memiliki efisiensi 30% dan tenaga uap memiliki efisiensi 35%. Namun apabila kedua siklus ini digabung dapat menghasilkan efisiensi lebih dari 50%. Efisiensi turbin uap pada PLTGU tergantung
pada beberapa hal yang salah satunya kinerja HRSG. Apabila HRSG ini berjalan dengan baik maka energi listrik yang dibangkitkan pada turbin uap akan maksimal. Namun dengan bertambahnya usia PLTGU, kinerja HRSG akan mengalami penurunan. Salah satu indikasinya adalah temperatur gas buang yang dibuang HRSG ke atmosfer menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan pada awal pembangunan. Hal ini menunjukan bahwa penyerapan panas pada HRSG berkurang. Berkurangnya penyerapan panas pada HRSG menyebabkan jumlah uap yang dihasilkan semakin sedikit sehingga listrik yang dihasilkan turbin uap pun semakin sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi terhadap kinerja HRSG sehingga dapat diketahui seberapa besar penurunan kinerja tersebut, dan pada bagian mana dari HRSG tersebut yang mengalami penurunan cukup tinggi. Selanjutnya dapat dicari upaya-upaya untuk mengoptimalkan kinerja HRSG tersebut.
6
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
PLTGU di PT. Indonesia Power UBP Priok
Pola ini merupakan pola normal operasi unit PLTGU, dimana gas panas dialirkan ke HRSG untuk menguapkan air umpan untuk memutarkan sudu-sudu turbin uap dan tidak ada yang terbuang ke udara luar. HRSG di PT Indonesia Power UBP Priok
Gambar 1 Bagan operasi PLTGU
PLTGU UBP.Priok pada dasarnya memiliki 2 (dua) pola operasi yaitu pola operasi open cycle (siklus terbuka) dan combined cycle (siklus gabungan).
1.
Pola operasi terbuka)
open
cycle
(siklus
Pola operasi open cycle (siklus terbuka) ialah sistem pengoperasian unit PLTGU dimana gas bekas memutar turbin gas dibuang langsung ke udara bebas tanpa dimafaatkan terlebih dulu oleh HRSG untuk menguapkan air umpan. Pola operasi ini dilakukan jika terjadi gangguan, perbaikan ataupun pemeliharaan pada HRSG dan diverter damper tidak dapat diopersikan (ditutup) sehingga gas panas tidak dapat masuk ke HRSG. Operasi ini juga berlaku ketika terjadi gangguan, perbaikan ataupun pemeliharaan pada unit turbin uap sehingga gas panas tidak dapat dialirkan karena unit turbin uap tidak dioperasikan. Pola Operasi ini sebenarnya tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat seperti yang disebutkan di atas, karena gas panas yang terbuang melalui cerobong merupakan kerugian yang besar. Selain itu efesiensi yang didapat dari pola ini hanya mencapai 25-29%, tergantung pada pembebanan turbin gas. Jika turbin gas dioperasikan pada beban rendah maka efesiensi yang diperoleh pun semakin kecil.
2.
Pola operasi combined cycle (siklus gabungan)
PT Indonesia Power UBP Priok memiliki 6 unit HRSG yang terdiri dari dua aliran berbeda yaitu High Pressure (HP) boiler dan Low Pressure (LP) boiler. HRSG dilengkapi dengan dua buah drum, yaitu HP drum dan LP drum yang digunakan untuk menampung air dan uap dari hasil pemanasan. Kedua drum dilengkapi dengan masing-masing boiler circulating pump HP dan LP untuk membantu proses sirkulasi air ke evaporator. HRSG ini terdiri dari 1 buah LP ekonomiser, 1 buah LP evaporator, 1 buah HP evaporator, 2 buah HP ekonomiser, dan 1 superheater. Pada satu blok terdapat 3 unit HRSG dengan 1 buah deaerator. Neraca Energi Neraca Energi pada HRSG adalah sebagai berikut: Exhaust Gas
Energi Air dari LP boiler pump
Energi Uap ke LP turbin
Energi Air dari HP boiler pump
Energi Uap ke HP turbin
Energi Gas Buang dari Turbin Gas
Gambar 2 Neraca energi HRSG
Pada HRSG ini, energi masuk berupa gas buang dari turbin gas yang dimanfaatkan untuk memproduksi uap. Terdapat dua boiler yaitu LP boiler dan HP boiler yang masingmasing di alirkan ke LP turbin dan HP turbin. Berdasarkan neraca energi di atas maka untuk
7
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
#$%&%#&%
##'(% )#*+#",- ,) . 100% ##'(% *&,- &%&"#* * 1) 214 4 126 7 * !) 213 4 116 * ( . 9) . 2 :% 4 :,"6 . 100%
Dimana: M hp= massa air masuk boiler hp (kg/s) M lp = massa air masuk boiler lp (kg/s) Mg = massa gas buang (kg/s) Cpg = Kalor spesifik gas buang (kJ/kg °C) h1 = entalphi air masuk lp boiler (kJ/kg) h2 = entalphi air masuk hp boiler (kJ/kg) h3 = entalphi uap keluar hp boiler (kJ/kg) h4 = entalphi uap keluar lp boiler (kJ/kg) Tin = temperature gas buang masuk HRSG (°C) Tout = temperature gas buang keluar HRSG (°C)
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Temperatur Gas Buang
Temperatur (⁰C)
Temperatur gas buang merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan indikator penurunan kinerja HRSG. Gambar 3 merupakan data perbandingan temperatur gas buang aktual dan heat balance yang diambil pada tanggal 14 Februari 2011, pukul 12:00 WIB.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbandingan temperatur pada masing-masing komponen dengan pengambilan data sebanyak 5 kali dari jam 8:00-16:00 sebagai berikut.
a) Inlet Duct Temperature Inlet duct temperature merupakan temperatur yang masuk pada duct HRSG yang langsung berasal dari turbin gas. Berikut adalah perbandingan temperatur masuk HRSG aktual dengan heat balance. 532 530 528 526 524 522
1
2
3
aktual
4
Dari Gambar 4 terlihat bahwa masuk HRSG dapat lebih tinggi rendah dari heat balance. Hal ini pada temperatur keluar turbin gas yang dihasilkannya.
600 500 400 300 200 100 0
5
heat balance
Gambar 4 Perbandingan temperatur masuk HRSG
temperatur atau lebih tergantung dan beban
b) HP Superheater
Heat Balance
Actual
Gambar 3 Perbandingan temperatur gas buang
Temperatur setelah HP superheater
#$%&%#&%
setelah melewati HP superheater dan HP evaporator temperatur aktualnya lebih rendah. Sedangkan setelah melewati HP ekonomiser, LP evaporator dan LP ekonomiser, data actual untuk temperatur gas buang lebih tinggi daripada data heat balance.
Inlet duct Temperature (⁰C)
menghitung efisiensi dari HRSG adalah sebagai berikut:
470 460 450 440 430 420 1
Dari Gambar 3 terlihat bahwa pada saat heat balance dan actual temperatur gas buang masuk ke HRSG sama. Sedangkan
2 aktual
3
4 5 heat balance
Gambar 5 Temperatur setelah HP superheater
8
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Dari Gambar 5 terlihat bahwa temperatur gas buang setelah melewati superheater pada saat sekarang lebih rendah dibandingkan pada saat heat balance. Hal ini menunjukan panas yang diserap oleh HRSG lebih besar dibanding heat balance. Panas ini dapat diserap oleh air atau rugi-rugi pada pipa. Untuk mengetahui kinerja dari HP superheater dapat dengan menghitung efisiensinya.
d) HP ekonomiser 2 HP ekonomiser 2 merupakan alat pemanas awal pada sistem HP boiler setelah melewati HP ekonomiser 2.
Temperatur setelah HP eco 2
c) HP evaporator
komponen ini terhambat karena sebagian energi gas buang diserap oleh kerak tersebut.
Temperatur setelah HP evaporator
305 300 295 290
265 260 255 250 245 240 235 230 225 220 215 1
285
2
3
aktual
4
5
heat balance
280 2 aktual
3
4
5
Gambar 7. Temperatur setelah melewati HP ekonomiser
heat balance
Gambar 6 Temperatur gas buang setelah melewati HP evaporator
Dari Gambar 6 terlihat bahwa temperatur gas buang setelah melewati HP evaporator pada saat sekarang lebih rendah dibandingkan pada saat heat balance. Sama seperti pada HP superheater, hal ini menunjukan panas yang diserap oleh HP evaporator lebih besar dibanding heat balance. Panas ini dapat diserap oleh air atau rugi-rugi pada pipa. Untuk mengetahui kinerja dari HP evaporator dapat dengan menghitung efisiensinya. Apabila efisiensinya rendah maka panas lebih banyak diserap oleh pipa. HP evaporator dan HP superheater merupakan komponen dari HP boiler, dengan melihat energi pembentukan uap pada HP boiler maka kita dapat mengetahui apakah energi yang diserap air meningkat juga atau tidak. Apabila energi yang diserap air pada HP boiler menurun atau tidak meningkat maka hal ini mengindikasikan bahwa rugi-rugi meningkat. Rugi-rugi ini dapat berupa rugi konduksi pada pipa dan rugi – rugi akibat adanya kerak pada pipa HRSG. Akibat adanya kerak pada pipa HP superheater dan HP evaporator, maka penyerapan panas pada
Dari Gambar 7 terlihat bahwa temperatur gas buang setelah melewati HP ekonomiser 2 lebih tinggi daripada heat balance. Hal ini menunjukan panas yang diserap oleh HP ekonomiser lebih rendah. Karena suhu feed water yang lebih tinggi daripada heat balance maka panas yang diserap oleh HP ekonomiser lebih rendah. e) LP Evaporator LP evaporator merupakan alat untuk membentuk uap jenuh bertekanan rendah yang digunakan untuk memutar LP steam turbin.
Temperatur setelah LP evaporator
1
190 185 180 175 170 165 160 1 aktual
2
3
4
5
heat balance
Gambar 8. Temperatur gas buang setelah melewati LP evaporator
Dari Gambar 8 terlihat bahwa temperatur gas buang setelah melewati LP evaporator lebih
9
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
tinggi daripada heat balance. Sama seperti pada HP ekonomiser, panas yang diserap oleh LP evaporator lebih rendah. Hal ini juga disebabkan suhu feed water yang lebih tinggi daripada heat balance maka panas yang diserap oleh LP evaporator lebih rendah. f) LP ekonomiser
Temperatur setelah LP ekonomiser
Ekonomiser merupakan alat untuk memanaskan air umpan yang masuk ke evaporator. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
aktual
4
5
heat balance
Gambar 9. Temperatur gas buang setelah melewati LP ekonomiser
Dari Gambar 9 terlihat bahwa temperatur gas buang setelah melewati LP ekonomiser lebih tinggi daripada heat balance. Sama seperti pada LP evaporator, panas yang diserap oleh LP ekonomiser lebih rendah. Hal ini juga disebabkan suhu feed water yang lebih tinggi daripada heat balance maka panas yang diserap oleh LP ekonomiser lebih rendah.
Efisiensi (%)
Efisiensi HRSG 95,00 94,00 93,00 92,00 91,00 90,00 89,00 88,00 87,00 86,00
1
aktual
2
3
4
heat balance
5
Gambar 10. Efisiensi HRSG
Untuk mengetahui performansi dari HRSG maka harus diketahui efisiensi penyerapan
panas HRSG. Efisiensi HRSG saat ini dibandingkan dengan efisiensi HRSG pada saat pertama kali dibangun (new and clean). Dari Gambar 10 terlihat bahwa efisiensi HRSG pada saat pertama dibangun adalah 94,0%, sedangkan pada saat ini sekitar 88,8 % hingga 90,8%, sehingga sudah mengalami penurunan sebesar 3% – 5%. Penurunan efisiensi HRSG dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: • Kandungan abu (fly ash and medium ash) pada gas buang turbin. Abu yang terkandung pada gas buang akan menempel pada dinding-dinding pipa air sehingga perpindahan panas dari gas buang ke air terhambat. Oleh karena itu pipa-pipa harus dibersihkan secara rutin. • Laju aliran gas buang yang terlalu cepat, sehingga panas yang diserap air kurang optimal dan gas buang yang terbuang ke atmosfir masih panas. • Adanya kebocoran pada pipa-pipa HRSG terutama pada evaporator. Kebocoran menyebabkan berkurangnya air yang diproses menjadi uap sehingga uap yang dihasilkan menjadi sedikit. Kebocoran diakibatkan karena kurang kuatnya las pada evaporator dengan tekanan yang cukup tinggi. Tekanan tinggi ini menyebabkan laju aliran air menjadi turbulen dan mengakibatkan kebocoran evaporator. • Temperatur air pada saat masuk lebih tinggi dari pada heat balance, hal ini menyebabkan energi feed water lebih besar dari heat balance. Padahal dengan temperatur 60⁰C, HRSG masih mampu menproduksi uap yang diinginkan. Kenaikan temperatur ini disebabkan pola operasi HRSG memakai natural gas dan HSD. Pada satu blok PLTGU memiliki satu deaerator untuk menyuplai 3 unit HRSG. Apabila ada HRSG yang memakai bahan bakar HSD maka suhu air masuk harus di atas 100⁰C. • Kandungan silika dalam air yang dapat menyebabkan deposit sehingga perpindahan panas dari gas buang ke air tehambat. • Kesadahan air yang tinggi. Kesadahan diakibatkan oleh adanya garam-garam Kalsium dan Magnesium dalam air yang apabila terkena panas akan menyebabkan
10
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
•
terjadinya kerak pada pipa air. Kerak ini dapat menghambat perpindahan panas dari gas buang ke air. Pembentukan kerak tertinggi biasanya terjadi pada evaporator. Kandungan oksigen dalam air. Oksigen dalam air dapat menyebabkan gelembung-gelembung yang dapat menghambat perpindahan panas pada air.
Efisiensi (%)
Efisiensi komponen HRSG 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0,0000 LP eco efisiensi 0,261
LP eva
HP eco
HP eco 2
HP eva
HP SH
0,822
0,643
0,966
0,939
0,966
Gambar 11. Efisiensi komponen-komponen HRSG
Dari Gambar 11 terlihat bahwa efisiensi pada LP ekonomiser sangat rendah sekali, hal ini disebabkan karena pada bagian LP ekonomiser dan HP ekonomiser 1 berada pada level yang sama, sehingga gas buang yang mengalir masuk ke dua komponen tersebut. Gas buang yang diserap oleh LP ekonomiser sebanyak 26,16% dan oleh HP ekonomiser 1 sebanyak 64,35% dan jumlahnya adalah 90,51%. Namun hasil ini masih lebih rendah dibandingkan HP ekonomiser 2, HP evaporator dan HP superheater. Hal ini disebabkan oleh suhu air umpan yang masuk jauh lebih tinggi dari biasanya. Suhu air masuk yaitu sebesar 101⁰C, padahal untuk HRSG dengan bahan bakar gas alam suhu air umpan boleh 60⁰C. Suhu air masuk yang tinggi menunjukkan energi dari air tinggi sehingga kalor yang diserap LP ekonomiser menjadi lebih rendah. Peningkatan temperatur ini karena HRSG yang memakai HSD membutuhkan suhu tinggi dan deaerator yang ada hanya 1 untuk satu blok. Efisiensi dari LP evaporator adalah yang paling rendah dibandingkan komponen lain yaitu 82,2%. Kemungkinan kerugian pada evaporator disebabkan terutama oleh pembentukan kerak dan adanya kebocoran pada pipa. Kebocoran pada pipa disebabkan
tekanan air umpan yang cukup tinggi sedangkan sambungan las pada pipa tidak cukup kuat menahan tekanan tinggi tersebut. Adanya kerak merupakan faktor lain yang menyebabkan kerugian pada evaporator. Pembentukan kerak terbesar terjadi pada evaporator karena terjadi akumulasi panas yang cukup tinggi pada proses penguapan. Pada proses ini air diuapkan dan mineral yang terkandung di dalamnya tertinggal di pipa sebagai kerak. Efisiensi HP superheater cukup tinggi yaitu sekitar 96%. Ini menunjukan bahwa HP superheater dalam keadaan baik. Pembentukan kerak pada superheater sangat rendah karena uap yang masuk superheater sudah tidak mengandung mineral pembentuk uap. Namun superheater rawan terhadap korosi karena suhunya cukup tinggi. Pada suhu tinggi, keberadaan oksigen dan asam dapat menyebabkan korosi pada pipa superheater. Selain HP superheater, efisiensi HP ekonomiser maupun LP ekonomiser cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh pembentukan kerak yang terjadi lebih rendah dibandingkan evaporator. Pada ekonomiser, air hanya dinaikan temperaturnya, sehingga fluida masih dalam fasa cair. Mineral yang terkandung masih terbawa oleh air yang berfasa cair sehingga hanya sebagian kecil yang mengerak di ekonomiser. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: •
•
•
Efisiensi aktual HRSG adalah sekitar 88,8% hingga 90,8% sedangkan saat komisioning (tahun 1994) adalah sebesar 94,0%. Hal ini menunjukan bahwa HRSG tersebut sudah terjadi penurunan kinerja sebesar 3-5%. Komponen HRSG yang mengalami penurunan penyerapan panas adalah HP ekonomiser, LP evaporator dan LP ekonomiser. Komponen yang memiliki efisiensi cukup rendah adalah LP evaporator yaitu 82,2% dan jumlah efisiensi LP ekonomiser & HP ekonomiser 1 yaitu 90,51%.
11
ISSN : 2089 -2527
•
•
•
•
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Kondisi HP ekonomiser 2 dan HP superheater masih dalam keadaan baik dan yang paling baik dalam penyerapan panasnya karena efisiensinya cukup tinggi (96,5% - 98,8%). Penurunan kinerja pada LP evaporator disebabkan karena pembentukan kerak yang lebih banyak dibandingkan pada komponen lain. Sedangkan penurunan kinerja LP ekonomiser dan HP ekonomiser 1 disebabkan oleh temperatur air umpan yang terlalu tinggi. Secara keseluruhan penurunan kinerja HRSG disebabkan oleh penurunan penyerapan panas oleh HRSG, karena adanya pengerakan pada pipa HRSG dan tebalnya debu yang menempel pada permukaan luar pipa HRSG. Upaya optimalisasi dapat dilakukan dengan pengecekan kualitas air umpan terutama kandungan kalsium dan magnesium yang merupakan penyebab utama pengerakan, serta pembersihan dan perawatan HRSG secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Djokosetyardjo, M. J. 2006. Ketel Uap. Jakarta: PT Pradnya Paramita Holman, J. P. 1994. Perpindahan Kalor (terjemah E. Jasjfi) Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga Maridjo. 2005. Modul Bahan Ajar: Pembangkit Listrik Tenaga Thermal. Bandung: Politeknik Negeri Bandung. Moran, Michael J. 2006. Fundamental of Engineering Thermodynamics. England: John Wiley & Son, Inc. Suseno, Tulus. 2000. Optimasi Efisiensi Termal dan Pola Pembebanan PLTGU Priok. Jakarta: PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik. Wuryanti, Sri. 1995. Perpindahan Panas. Bandung: Pusat Pengembangan Pendidikan Politeknik. Yuliyawati, Sri Nur dan Hazma. 2009. Kiat Penulisan Laporan Ilmiah Untuk Program Diploma. Bandung: UPT Penerbit Politeknik Negeri Bandung.
12
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
EVALUASI KINERJA BOILER UNIT 2 PLTU 2 BANTEN-LABUAN MENGGUNAKAN METODA LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG Maridjo, Kholiq Hernawan dan, Bagus Dwi Nurtanto Jurusan Teknik Konversi Energi - Politeknik Negeri Bandung E-mail:
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak Boiler pada sistem Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan komponen utama yang fungsinya sangat vital. Kinerja boiler khususnya efisiensi adalah parameter penting yang harus diperhatikan,karena merupakan jaminan dalam pengoperasian boiler. Berdasarkan standar disainnya, boiler di PLTU 2 Banten-Labuan memiliki efisiensi sebesar 93,1% pada beban maksimum, dan efisiensi hasil komisioning pada tahun 1994 yaitu sebesar 87,21% pada beban maksimum. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada tahun 2011dengan menggunakan metode langsung diperoleh efisiensi boiler sebesar 87,3% sedangkan dengan metode tidak langsung adalah 85,05% pada beban maksimum. Dengan demikian efisiensi boiler tersebut masih cukup baik. Kata kunci : PLTU, kinerja boiler, metode langsung, metode tidak langsung
PENDAHULUAN Energi listrik merupakan energi yang sekarang ini sangat dibutuhkan oleh semua orang untuk memenuhi dan menunjang kebutuhan hidup. Indonesia sebagai negara berkembang dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya yang semakin maju mau tidak mau kebutuhan energi listriknya juga meningkat, sedangkan pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik. Salah satu program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut adalah dengan proses PPDE (Program Percepatan Diversifikasi Energi) 10.000 MW. PLTU 2 Banten-Labuan 2x300 MW dengan bahan bakar batubara yang memiliki nilai kalori rendah (4.250 kalori) sesuai dengan peraturan RI Nomor 71 Tahun 2006, merupakan salah satu pembangkit listrik yang dibangun dalam rangka program percepatan tersebut. Sebagai suatu sistem besar PLTU memiliki komponen dan sistem pendukung yang menunjang operasinya. Komponen utama dari PLTU adalah boiler, turbin uap, kondensor, pompa, dan generator. Sedangkan Sistem pendukung dari PLTU yaitu sistem aliran fluida, sistem aliran uap, sistem aliran udara, sistem gas buang, dan sistem coal handling.
Boiler atau ketel uap yaitu suatu bejana tertutup dimana panas pembakaran dari bahan bakar diserap oleh air sehingga air berubah menjadi uap/steam. Energi panas yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap didapatkan dari suatu sumber panas, seperti bahan bakar (padat, cair, dan gas), energi listrik, sisa proses kimia, dan energi nuklir. Boiler sebagai salah satu komponen utama dari pembangkit listrik tenaga uap yang berfungsi menghasilkan uap sebagai fluida kerja yang menggerakan turbin memiliki perlengkapan utama seperti furnace/ ruang bakar dan steam drum yang memungkinkan boiler dapat bekerja. Selain itu boiler juga didukung oleh cerobong asap dengan sistem tarikan asapnya sehingga ruang bakar dapat bekerja optimal. Perlengkapan lain seperti pemanas uap lanjut, pemanas udara pembakaran, dan pemanas awal air umpan boiler berguna untuk menaikan kinerja boiler secara umum. Kinerja dari boiler akan menurun seiring dengan semakin lamanya waktu operasi. Kinerja boiler seperti efisiensi dapat menurun yang diakibatkan oleh buruknya proses pembakaran, kotornya permukaan penukar panas, dan kurang baiknya operasi serta perawatan. Untuk boiler yang baru sekalipun, kinerja yang buruk dapat terjadi disebabkan oleh rendahnya kualitas bahan bakar maupun kualitas air umpan.
13
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Oleh karena itu diperlukan metode perhitungan kinerja boiler khususnya efisiensi guna mengetahui baik atau buruk kinerja suatu boiler, dan diketahui dari sisi mana kinerja tersebut menurun sehingga dapat ditentukan peluang-peluang yang harus dilakukan untuk meningkatkan atau mengembalikan kinerjanya. METODOLOGI Terdapat dua metode pengkajian efisiensi boiler yang mengacu pada british standard, BS 845:1987 dan USA standard ASME PTC 4-1 (UNEP/www.energyeficiencyasia.org): 1.
2.
Metode langsung: energi yang didapat dari fluida kerja (air dan uap) dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam bahan bakar boiler. Metode tidak langsung: efisiensi merupakan perbedaan antara kehilangan panas dan energi yang masuk.
Efisiensi termis boiler didefinisikan sebagai “persen energi (panas) masuk yang digunakan secara efektif pada steam yang dihasilkan” Metode langsung Dikenal juga sebagai ‘metode input-output’ karena dalam kenyataannya metode ini hanya memerlukan keluaran/ output (uap) dan panas masuk/ input (bahan bakar) untuk menghitung efisiensi. Efisiensi ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus: & E#!,' Efisiensi Boiler 2η6 . 100 & F&,muap X 2huap – hair6 mbb X GCV . 100
Efisiensi Boiler 2η6
[1] [1a]
Parameter yang digunakan untuk perhitungan efisiensi boiler dengan metode langsung adalah: 1. Jumlah steam yang dihasilkan per jam (muap) (kg/jam); 2. Jumlah bahan bakar yang digunakan per jam (mbb) (kg/jam);
3. Tekanan kerja (kg/cm2) dan suhu lewat panas (oC), jika ada; 4. Suhu air umpan (oC); 5. Jenis bahan bakar dan nilai panas kotor bahan bakar (GCV) (kkal/kg bahan bakar) Dimana: • huap= Entalpi steam jenuh (kkal/kg steam) • hair= Entalpi air umpan (kkal/kg air) 4.1.1.1
Metode tidak langsung
Metode tidak langsung juga dikenal dengan metode kehilangan panas. Efisiensi ini dapat dihitung dengan mengurangkan bagian kehilangan panas sebagai berikut: (η) = 100 % – ( q1 + q2 + q3 + q4 + q5 + q6 + q7)
[2]
Dimana ( q1 + q2 + q3 + q4 + q5 + q6 + q7) adalah kehilangan panas yang terjadi dalam boiler yang diakibatkan oleh: 1. Gas cerobong yang kering 2. Penguapan air yang terbentuk karena H2 dalam bahan bakar 3. Penguapan kadar air dalam bahan bakar 4. Adanya kadar air dalam udara pembakaran 5. Bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu terbang/ fly ash 6. Bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu bawah / bottom ash 7. Radiasi dan kehilangan lain yang tidak terhitung Kehilangan yang diakibatkan oleh kadar air dalam bahan bakar dan yang disebabkan oleh pembakaran hidrogen tergantung pada bahan bakar tersebut, dan tidak dapat dikendalikan dalam perancangan. Data yang diperlukan untuk perhitungan efisiensi boiler dengan menggunakan metode tidak langsung adalah: 1. Analisis ultimate bahan bakar (H2, O2, S, C, kadar air, kadar abu) 2. Persentase oksigen atau CO2 dalam gas buang 3. Suhu gas buang (oC) (Tf)
14
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
4. Suhu ambien (oC) (Ta) dan kelembaban udara (kg/kg udara kering) 5. GCV bahan bakar (kkal/kg) 6. Persentase bahan yang tidak dapat terbakar dalam abu ( untuk bahan bakar padat ) 7. GCV abu (kkal/kg) (untuk bahan bakar padat)
(4.2) Persen kehilanagan panas karena penguapan air yang terbentuk karena adanya H2 dalam bahan bakar (q2)
• •
• • •
Tahap 1: Menghitung kebutuhan udara teoritis 211,43 x C6 7 T34,5 x VH₂ – 100
O₂ [\ 7 24,32 x S6 kg 8 2 bahan bakar6 kg
[3]
% `₂ . 100 221 4 %`₂6
Persen kehilangan panas karena penguapan kadar air dalam bahan bakar (q3) Ml584 7 Cp 2Tf – Ta6m [8] GCV Bahan bakar Dimana:
• •
[4]
Tahap 3: Menghitung massa udara sebenarnya yang dipasok (AAS) ab1 7
cd e 100
. fg' :#'%"%& h
-( 2 +1 +-'6 -(
• • •
[5]
Tahap 4: Memperkirakan seluruh kehilangan panas
H2 = persen H2 dalam 1 kg bahan bakar Cp = panas jenis steam lewat jenuh / superheated steam (0,45 kkal/kg) Tf = Suhu gas buang (oC) Ta = Suhu ambien (oC) GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg)
(4.3)
Tahap 2: menghitung persen kelebihan udara yang dipasok (EA)
M = persen kadar air dalam 1 kg bahan bakar Cp = panas jenis steam lewat jenuh/ superheated steam (0,45 kkal/kg) Tf = Suhu gas buang (oC) Ta = Suhu ambien (oC) GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg)
(4.4)
Persen kehilangan panas karena kadar air dalam udara (q4)
AAS x factor kelembaban x Cp 2Tf 4 Ta6m x 100 GCV Bahan Bakar
(4.1) Persentase kehilangan panas yang diakibatkan oleh gas buang yang kering (q1)
Dimana:
m x Cp x 2Tf – Ta 6 x 100 GCV Bahan bakar
• • •
[6]
Dimana:
• • • • • •
m = massa gas buang kering (kg/kg bahan bakar) m = (massa hasil pembakaran kering /kg bahan bakar ) + (massa N2 dalam massa udara pasokan yang sebenarnya) Cp = Panas jenis gas buang (0,23 kkal/kg) Tf = Suhu gas buang (oC) Ta = Suhu ambien (oC) GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg)
[7]
Dimana:
Tahap-tahap perhitungan efisiensi boiler menggunakan metode tidak langsung adalah sebagai berikut
9 x H2 l584 7 Cp 2Tf – Ta6m GCV Bahan bakar
•
Cp = panas jenis steam lewat jenuh / superheated steam (0,45 kkal/kg) Tf = Suhu gas buang (oC) Ta = Suhu ambien (oC) GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg)
(4.5)
[9]
Persen kehilangan panas karena bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu terbang/fly ash (q5)
persen abu terbang . GCV abu terbang GCV Bahan bakar . 100
[10]
Dimana: • •
GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg) GCV = nilai kalor abu (kkal/kg)
15
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
(4.6)
Persen kehilangan panas karena bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu bawah/ bottom ash (q6)
persen abu bawah . GCV abu bawah GCV Bahan bakar . 100
[11]
Efisiensi (%)
ISSN : 2089 -2527 100 97,5 95 92,5 90 87,5 85 82,5 80 77,5 75 75
Dimana: • •
(4.7)
84,84
GCV = nilai kalor bahan bakar (kkal/kg) GCV = nilai kalor abu (kkal/kg)
Persen kehilangan panas karena radiasi dan kehilangan lain yang tidak terhitung (q7)
Kehilangan radiasi dan konveksi aktual sulit dikaji sebab daya emisifitas permukaan yang beraneka ragam, kemiringan, pola aliran udara, dll. Pada boiler yang relatif kecil, dengn kapasitas 10 MW, kehilangan radiasi dan yang tak terhitung dapat mencapai 1 hingga 2 persen dari nilai kalor kotor bahan bakar, sementara pada boiler 500 MW nilainya 0,2 hingga 1 persen. Kehilangan panas dapat diasumsikan secara tepat tergantung pada kondisi permukaan. Tahap 5: Menghitung efisiensi boiler (η) = 100 % – ( q1 + q2 + q3 + q4 + q5 + q6 + q7)
[12]
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Langsung Berikut adalah data hasil perhitungan efisiensi boiler dengan menggunakan metode langsung.
80
86,25
86,04
85 90 95 Beban Generator (%)
87,3
100
Gambar.1 Hubungan efisiensi boiler terhadap beban generator dengan metode langsung
Pada Tabel 1 dan Gambar 1 terlihat bahwa dengan menggunakan metode langsung ini didapatkan efisiensi boiler unit 2 pada beban 75% (225 MW) adalah sebesar 84,84%; Pada beban 80% (240 MW) sebesar 86,25%; Sedangkan pada beban 90% (270 MW) sebesar 86,04%; Serta pada beban maksimum (300 MW) efisiensinya sebesar 87,3%. Dengan demikian terlihat bahwa efisiensi meningkat sesuai dengan peningkatan pembebanan dan selanjutnya konstan (stabil) pada beban 80% dan 90%. Dengan bertambahnya beban maka jumlah bahan bakar yang digunakan dan uap yang dihasilkan akan semakin besar. Seperti terlihat pada Tabel 1, konsumsi bahan bakar meningkat dari 115.000 kg/jam pada beban 75% menjadi 153.000 kg/jam pada beban maksimum. Selain itu uap yang dihasilkan juga meningkat dari 652.776 kg/jam pada beban 75% menjadi 900.376 kg/jam pada beban maksimum. Perbandingan antara massa uap yang dihasilkan terhadap jumlah bahan bakar yang digunakan (heat rate) semakin bertambah dengan semakin tingginya beban (Gambar 2).
Tabel.1 Efisiensi boiler dengan metode langsung
1
Load/ Beban (%)
Satuan Deskripsi Efisiensi
%
75
80
90
84,84
86,25
86,04
6,00 100 87,3
2
mbb
kg/jam
115000
124000
141000
153000
3
muap
kg/jam
652776
714573
815061
900376
Hubungan Efisiensi terhadap beban generator diperlihatkan pada Gambar 1.
Heat Rate (kg uap/ kg bahan bakar)
No
5,88 5,75
5,68
5,78
5,76
5,50 5,25 5,00 75
85
95
Beban Generator (%) Gambar 2 Hubungan heat rate Boiler terhadap beban generator
16
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
ISSN : 2089 -2527
Metode Tidak Langsung Tabel 2 merupakan hasil perhitungan efisiensi dengan metode tidak langsung. Tabel.2 Efisiensi boiler dengan metode tidak langsung
1
Deskripsi Efisiensi Kehilangan panas akibat gas buang Kehilangan panas akibat penguapan air yang terbentuk karena hidrogen dalam bahan bakar Kehilangan panas akibat penguapan air dalam bahan bakar Kehilangan panas akibat air dalam udara Kehilangan panas akibat radiasi dan kehilangan lain yg tak Terhitung
2
3
4
5 6
Sat uan
Perbandingan efisiensi boiler dengan data disain dan komisioning
Load/ Beban (%) 75
80
90
100
%
84,53
84,51
85,09
85,05
%
7,37
7,36
6,81
6,87
%
3,9
3,92
3,91
3,9
75
%
3,33
3,34
3,33
3,32
%
0,17
0,17
0,16
0,16
%
0,7
0,7
0,7
0,7
Efisiensi (%)
84,53
75
80
85 90 Beban Generator (%)
95
100
Data Efisiensi PLTU 2 Banten-Labuan Metoda Langsung Metoda Tidak Langsung Efisiensi Disain
Gambar.4 Perbandingan efisiensi boiler dengan
Gambar 3 menunjukan hubungan antara efisiensi dan beban generator dengan metode tidak langsung. Pada Gambar tersebut, efisiensi boiler dengan menggunakan metode tidak langsung besarnya relatif stabil yaitu sekitar 84,5% sampai 85% pada beban generator 75% sampai 100%.
100 97,5 95 92,5 90 87,5 85 82,5 80 77,5 75
100 95 90 85 80 75
Efisiensi (%)
N o
Kehilangan panas karena kandungan air pada bahan bakar yaitu sebesar 3,3%; Dan kehilangan panas diakibatkan radiasi dan kehilangan yang tak terhitung besarnya adalah 0,7%.
84,51
85,09
85,05
85 95 Beban Generator (%)
Gambar 3 Hubungan efisiensi boiler terhadap beban generator dengan metode tidak langsung
Kehilangan panas pada boiler paling besar diakibatkan oleh gas buang yaitu sekitar 6,81% - 7,37%; Kehilangan panas paling kecil diakibatkan oleh kandungan air pada udara pembakaran yang besarnya 0,16% - 0,17%; Kehilangan panas yang diakibatkan penguapan air yang terbentuk karena adanya hidrogen pada bahan bakar adalah sekitar 3,9%;
data disain dan komisioning
Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi boiler unit 2 PLTU 2 Banten-Labuan seperti pada Gambar 4, besarnya efisiensi boiler dengan menggunakan metode langsung nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode tidak langsung. Jika dibandingkan dengan data disain (93,1% pada beban maksimum), efisiensi boiler unit 2 PLTU Labuan masih lebih rendah dengan selisih sekitar 6% pada metoda langsung dan 8% pada metoda tidak langsung. Sedangkan jika dibandingkan dengan data komisioning pada tahun 1994 (87,2% pada beban maksimum), maka efisiensi boiler ini masih mendekati data komisioning tersebut pada metoda langsung dan terjadi penurunan sekitar 2% pada metoda tidak langsung. KESIMPULAN Efisiensi boiler unit 2 PLTU 2 Banten-Labuan pada metode langsung lebih besar dibanding pada metode tidak langsung. Pada metode langsung, efisiensi boiler semakin meningkat dengan meningkatnya beban generator dan cenderung stabil mulai beban 80% sampai 100%. Efisiensi boiler dengan metode langsung pada beban maksimum (300 MW) adalah 87,3%. Sedangkan dengan metode tidak langsung, efisiensi boiler relatif konstan sekitar 84,5% pada beban mulai 75% sampai beban 100%.
17
ISSN : 2089 -2527
Jurnal Teknik Energi Vol 1 No 2 Tahun 2011
Jika dibandingkan dengan data disain (93,1% pada beban maksimum), efisiensi boiler masih lebih rendah dengan selisih sekitar 6% pada metoda langsung dan 8% pada metoda tidak langsung. Sedangkan jika dibandingkan dengan data komisioning pada tahun 1994 (87,2% pada beban maksimum), maka efisiensi boiler ini masih mendekati data komisioning pada metoda langsung dan terjadi penurunan sekitar 2% pada metoda tidak langsung. Dengan demikian secara keseluruhan kondisi boiler unit 2 PLTU 2 Banten-Labuan masih dalam kondisi baik. DAFTAR PUSTAKA ---------------. “Fire Tube Boiler” tersedia: www.taijune.com/en/p/fire_tube_b...hef.ht ml (17 Oktober 2010) ---------------. “Horizontal Boiler” tersedia: www.alkazemco.com/eng_pages/steam.ht m (17 Oktober 2010) ---------------. “Water Tube Boiler” tersedia: www.turbodradial.com/new_page_1.htm (17 Oktober 2010) Dongfang Boiler Group Co., Ltd. 2008. Boiler Spesification. Zigong-Sichuan. El-Wakil, M.M. 1984. Power Plant Technology. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Maridjo. 2005. Pembangkit listrik Tenaga Thermal (modul). Bandung: Politeknik Negeri Bandung. Muin, Syamsir A. 1988. Pesawat-Pesawat Konversi Energi. Jakarta: Rajawali Pers. Rianto, Bambang. “Pengenalan Dasar Unit Pembangkit”. UNEP. 2006. “Boiler and Thermic Fluid Heater”tersedia: www.energyefficiencyasia. org. (22 Juli 2010).
18
STUDI PEMAKAIAN DAYA “SOLAR CELL-HYBRID OFF GRID” GEDUNG LABORATORIUM ENERGI SURYA-JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI-POLBAN Ign. Riyadi. Mardiyanto dan Alvera Apridalianti Melkias Jurusan Teknik Konversi Energi – Politeknik Negeri Bandung email :
[email protected]
Abstract Solar energy is a renewable source that has never been exhausted; this energy will not reveal pollution into environment such as another power plant. Solar Power Plant is one of renewable source that become an alternative source in the future. One of application of this system is Hybrid Solar Power Plant, this power plant it is use to accomplish electricity energy consumption in Solar Laboratory Energy Conversion Engineering POLBAN with benefitted solar energy as electricity energy source. Electricity of energy there is resulted dependent on high and low solar light intensity. This paper is analyzed for both of supply and demand electricity in Laboratory of Solar Energy - Energy Conservation Engineering Department-POLBAN. Keyword: renewable source, Hybrid Solar Power Plant
PENDAHULUAN Pada era global, manusia tidak terlepas dengan keberadaan energi listrik. Hampir semua aktivitas yang dilakukan menggunakan energi listrik, bahkan energi listrik menjadi penunjang utama dari terlaksananya suatu kegiatan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan menjadi energi alternatif bagi masa depan. Kegiatan praktikum yang dilakukan di laboratorium pada jenjang perkuliahan seperti di Politeknik Negeri Bandung (POLBAN) sangat bergantung dengan keberadaan sumber listrik. Kegiatan praktikum di laboratorium Teknik Konversi Energi POLBAN masih mengandalkan pasokan listrik yang berasal dari PLN. Laboratorium Surya Teknik Konversi Energi di POLBAN merupakan satusatunya laboratorium yang menggunakan sumber energi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Hibrida di setiap aktivitas perkuliahan. Tulisan ini dimaksudkan untuk meninjau kecukupan pemakaian sumber energi dari sel surya untuk memenuhi beban di laboratorium Tenaga Surya/Lab Energi Terbarukan pada jurusan Teknik Konversi Energi POLBAN.
PERANGKAT PLTS HIDBRIDA PADA LAB ENERGI TERBARUKAN Gambaran singkat untuk sistem PLTS Hibrida yang ada di Laboratorium Energi Terbarukan khususnya Lab Surya adalah seperti digambarkan di bawah ini.
Gambar 1 Diagram PLTS Hibrida pada Lab Surya
Pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa, energi listrik yang didapat dari sinar matahari akan diubah oleh panel surya menjadi sumber listrik DC. Adapun beban adalah berupa perangkat yang menggunakan pasokan listrik AC. Sehingga pada system ini dibuat busbar AC sebagai busbar utama.
1
PLTS Hibrida pada Lab Surya ini menggunakan inverter untuk mengubah tegangan DC yang berasal dari panel surya untuk menjadi tegangan AC. Dan juga menggunakan bidirectional inverter untuk menyimpan energy dari sel surya ke batere atau sebaliknya untuk menyalurkan energy dari batere ke beban. Pada system ini juga dilengkapi dengan genset dan akan aktif hanya jika suplai ini masih tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan beban pada gendung Lab Surya. Tetapi pada kondisi khusus, suplay energy listrik dapat diambilkan dari PLN.
Sudut kemiringan panel surya disesuaikan dengan posisi lintang suatu daerah pada pemasangan panel surya, arah permukaan panel surya adalah ke utara untuk lokasi pada lintang selatan dan arah selatan untuk lokasi pada lintang utara. Pemasangan panel surya tidak boleh terhalang oleh bayangan (pohon atau bangunan) pada permukaan panel surya, karena akan menurunkan atau membuat panel surya tidak akan menghasilkan keluaran daya. Solar Array
Beberapa panel utama yang terinstalasi sebagai sumber energy pada Lab Surya diantaranya adalah Panel Surya baik yang diberi tracker maupun Solar Array saja, Baterai, Genset, Inverter dan Bidierctional Inverter untuk 3 fasa, dan Busbar pada Panel Distribusi.
Solar array merupakan serangkaian panel surya yang akan menangkap sinar matahari sebagai sumber energi. Pada siang hari solar array merubah tenaga surya menjadi listrik.
Penjelasan Singkat untuk perangkat utama PLTS pada Lab Surya adalah sebagai berikut. Panel Surya Gambar 3 Solar Array di Lab Energi Terbarukan
Panel surya terbuat dari sel surya polikristal, tahan digunakan dalam waktu yang lama. Daerah kelistrikan terbentuk dekat permukaan atas sel pada waktu kedua lapisan tersebut berinteraksi yang disebut P-N junction.
Gambar 2 Panel Surya dengan Tracker
Ketika cahaya matahari mengenai permukaan sel surya maka daerah kelistrikan memberikan daya gerak dan secara langsung cahaya tersebut akan mendorong elektron-elektron dan menghasilkan arus listrik ketika sel surya dihubungkan dengan beban. Panel sel surya merupakan modul yang terdiri beberapa sel surya yang digabung dalam hubungkan seri dan paralel tergantung ukuran dan kapasitas yang diperlukan.
Baterai Baterai adalah suatu alat yang digunakan untuk menyimpan energi. Energi yang disimpan dapat digunakan saat radiasi matahari rendah dan atau pada malam hari. Deep cycle battery digunakan sebagai sistem penyimpanan pada PLTS di Lab Energi Terbarukan. Deep cycle battery dibuat untuk mampu dipakai energinya sebanyak 80% dari kapasitas pengisian tiap siklus. Baterai ini sangat cocok pada sistem hibrida apalagi jika baterai ini dirancang untuk persiklus tidak melebihi 50% kapasitasnya. Ukuran baterai sangat tergantung pada, ukuran panel surya, dan komponen lainnya. Ukuran baterai yang terlalu besar baik untuk efisiensi operasi tetapi mengakibatkan kebutuhan investasi yang besar sebaliknya ukuran baterai kecil dapat mengakibatkan tidak tertampungnya daya dari sel surya.
2
Gambar 4 Baterai Array
sebagai charger untuk mengisi baterai dari busbar AC pada panel distribusi yang berasal dari inverter pada panel surya atau hasil daya dari genset maupun listrik dari PLN. Biderectional inverter juga berfungsi untuk mengatur proses termasuk mematikan dan menyalakan genset jika panel maupun baterai tidak mampu melayani beban.
Generator Set (GENSET) sumb Generator set digunakan sebagai sumber energi komplementer agar beban selalu terpenuhi kebutuhannya akan listrik. listrik Pada saat beban tinggi atau ketika listrik di dalam baterai bater minimum, generator diesel akan bekerja untuk menghasilkan listrik yang diperlukan. Untuk beban normal dan rendah, diesel tidak bekerja, tetapi untuk beban puncak atau energi yang tersimpan di baterai dibawah ambang batas, maka ka diesel akan mulai bekerja untuk mensuplai kekurangan beban, generator-set generator diharapkan dapat mensuplai tenaga listrik terutama untuk beban-beban beban prioritas.
Gambar 7 Generator-Set Set (GENSET)
Inverter Inverter ini digunakan untuk mengubah meng listrik DC yang berasal dari panel surya menjadi listrik AC untuk digunakan pada beban AC.
Gambar 6 Bidirectional Inverter
Selain sebagai bidirectional inverter inverter, alat ini merupakan battery charge controller yang berfungsi untuk mengatur overcharging (kelebihan pengisian) jika baterai sudah penuh dan kelebihan voltase dari bus AC yang dapat mengurangi umur baterai. Beberapa fungsi lain dari battery charge controller yaitu mengatur arus untuk pengisian ke baterai, rai, menghindari overcharging dan overvoltage,, mengatur arus yang dibebaskan dan diambil dari baterai agar baterai tidak full discharge dan overloading, serta untuk memonitoring temperatur baterai. METODA PENGUKURAN Untuk mengetahui suplay daya optimal pada gedung Lab Energi Terbarukan yang berasal dari PLTS Hibrida dan pemakaiannya. D Data yang diambil antara lain adalah berupa: berupa 1. Radiasi matahari Radiasi matahari akan didapat melalui pengukuran dengan alat piranometer, pengukuran ini dilakukan untuk menget mengetahui besarnya daya listrik yang dihasilkan oleh matahari (W/m).
Gambar 5 Inverter
Pada sistem PLTS Hibrida di Lab Surya digunakan juga inverter bidirectional inverter mengkonversi listrik DC dari baterai menjadi listrik AC yang akan dicatu ke beban, beban dan juga
2. Inverter Data pada inverter akan didapat melalui pembacaan inverter dengan cara diketuk, dengan cara tersebut maka akan terbaca beberapa parameter yang dihasilkan oleh inverter.
3
kWh), sehingga daya yang dapat diambil dari penyimpanan adalah 60 kWh.
3. Bidirectional inverter Data pada bidirectional inverter akan didapat melalui kartu MMC yang terdapat di dalam, dari SD card tersebut maka akan terbaca beberapa parameter sistem yang tersimpan di dalam inverter. 4. Panel distribusi (power suplai) Data pada panel distribusi didapat melalui pengukuran dengan alat power quality analiser, pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui besarnya daya listrik tiga fasa dan jika diperlukan dapat dibaca THD (arus dan tegangannya). 5. Penggunaan beban gedung Besarnya penggunaan daya listrik serta konsumsi energi listrik pada gedung akan diketahui melalui jadwal perkuliahan. ANALISIS DAYA DARI PLTS HIBRIDA PADA LAB ENERGI TERBARUKAN Suplay Daya Tabel 1 Komponen Sistem PLTS Hibrida
Komponen Sistem
Daya dan Energi
Panel Surya Baterai Inverter Bidirectional Inverter Generator Set
18 kW 60 kWh 18 kW 15 kW 12,35 kW
Berdasarkan tabel di atas, sumber listrik yang dihasilkan dari panel surya yang berjumlah 102 panel dengan daya 18 kW, besarnya radiasi yang dihasilkan setiap harinya berubahubah karena dipengaruhi oleh tinggi dan rendahnya radiasi matahari. Sumber listrik ini selanjutnya akan diubah oleh inverter menjadi sumber AC, berdasarkan spesifikasi alat yang ada didapat daya komponen ini sebesar 18 kW. Seperti penjelasan sebelumnya, sumber listrik yang tidak langsung digunakan ke beban akan disimpan di dalam baterai, baterai sistem PLTS ini mempunyai 72 buah baterai dengan keseluruhan kapasitas 86,4 kWh berjenis deep cycle. Baterai harus memiliki sisa sebesar 30% dari keseluruhan jumlah daya (86,4
Daya yang tersimpan ini akan disalurkan melawati alat yang bernama bidirectional inverter, alat ini mempunyai kapasitas daya sebesar 15 kW. Dari spesifikasi alat yang ada, daya panel keseluruhan adalah 18 kW, inverter 18 kW juga namun pada bidirectional inverter hanya 15 kW maka pada malam hari PLTS tersebut dapat mensuplai energi listrik sebesar 15 KW jika tanpa Genset. Beban Listrik Pada saat dilakukan pengukuran, gedung ini digunakan seperti penjelasan berikut. Gedung laboratorium surya ini mempunyai dua buah laboratorium yang digunakan untuk kegiatan praktikum, ruang ini adalah laboratorium multimedia dan laboratorium surya. Dari kedua ruangan ini, laboratorium multimedia adalah satu-satunya ruangan yang berisikan komputer terbanyak sebanyak 32 buah. Ruang laboratorium tersebut digunakan untuk ruang praktikum mata kuliah teknik pengaturan, mata kuliah sistem utilitas, mata kuliah gambar teknik, dan beberapa matakuilah lainnya. Sedangkan ruang laboratorium surya mempunyai enam buah komputer, ruang ini juga digunakan sebagai ruang praktikum namun tidak sesering seperti ruang laboratorium multimedia. Selain ruang laboratorium, gedung ini mempunyai ruang-ruang yang lain yang digunakan sebagai ruang dosen sebanyak sembilan buah ruang, satu buah ruang teknisi dan satu buah kelas, Ruang lainnya digunakan sebagai ruang rapat, ruang kalibrasi, ruang baca dosen, serta toilet. Untuk sektor penerangan gedung, tidak semua ruang menggunakan lampu TL tetapi menggunakan lampu SL (toilet dan koridor). Dengan jenis lampu yang berbeda, maka daya dari setiap lampu pun berbeda. Berdasarkan spesifikasi alat dari sektor penerangan gedung, maka didapat bahwa daya yang terpasang untuk penerangan sebesar 5,52 kW sedangkan untuk sektor non penerangan dan HVAC daya yang terpasang adalah 8,94 kW. Sektor non penerangan serta HVAC terdiri dari komputer, dispenser, printer, dan AC. Sehingga daya
4
yang terpasang dari semua beban yang ada di gedung sebesar 14,46 kW. Dengan pengukuran yang telah dilakukan yang terbagi menjadi dua jenis pengukuran, maka :
suplai listrik yang diberikan oleh sistem masih memenuhi kebutuhan beban tersebut. Dari suplai daya sistem 15 kW maka suplai sistem masih mempunyai sisa sebesar 5,04 kW.
2. Pengukuran selama lima hari kerja 1. Pengukuran beban gedung a. Pengukuran beban gedung maksimum Pengukuran ini dilakukan dengan pemakaian beban non penerangan dan HVAC. Semua komputer yang berada di ruang multimedia, ruang lab surya, ruang teknisi, serta AC yang ada di ruang kalibrasi dihidupkan selama pengukuran dari pukul 08.00-15.00 WIB. Selain alat-alat di atas, lampu yang ada di dalam gedung pun ikut dinyalakan, tetapi pada saat pengukuran lampu yang ada di sembilan ruang dosen tidak nyalakan maka hanya menggunakan beban penerangan dari ruang kelas, teknisi, laboratorium surya dan multimedia, rapat, kalibrasi, ruang baca dosen, koridor ruang dosen, dan koridor lantai dua. Pemakaian seluruh beban ini mempunyai total daya sebesar 13,91 kW. Dengan pemakaian beban seperti ini, jika dilihat dari segi daya sistem PLTS Hibrida suplai listrik yang diberikan oleh sistem masih memenuhi kebutuhan beban tersebut. Dari suplai daya sistem 15 kW tanpa genset harus menyala dan pemakaian beban 13,91 kW maka suplai sistem masih mempunyai sisa sebesar 1,09 kW.
b.
Pengukuran beban setengah penuh
Pengukuran dengan kondisi beban setengah maksimum dimana, sebagian komputer yang berada di ruang ruang multimedia, semua komputer di ruang lab surya, serta satu komputer di ruang teknisi dihidupkan serta penerangan gedung menyala pengukuran ini dilakukan dari pukul 08.00-15.00 WIB. Selain alat-alat di atas, beban penerangan yang digunakan hanya dari ruang kelas, teknisi, laboratorium surya dan multimedia, rapat, kalibrasi, ruang baca dosen, koridor ruang dosen, dan koridor lantai dua. Pemakaian seluruh beban ini mempunyai total daya sebesar 9,96 kW. Dengan pemakaian beban seperti ini, jika dilihat dari segi daya sistem PLTS Hibrida
Pengukuran ini dilakukan dengan pemakaian beban disesuaikan dengan pemakaian beban gedung selama lima hari kerja, pengukuran dilakukan dari pukul 08.00-15.00 WIB. Berdasarkan jadwal perkuliahan yang didapat maka pemakaian daya yang terbesar pada hari senin dan terkecil di hari jum’at. Hari senin merupakan hari pemakaian daya listrik terbesar yaitu 13 kW dikarenakan pada hari ini penggunaan ruang multimedia selama enam jam perkuliahan, pada pukul 07.00-10.00 WIB ruang dipakai oleh kelas 1B untuk mata kuliah gambar teknik lalu dari pukul 10.00-13.30 WIB dipakai oleh kelas 3B untuk mata kuliah sistem utilitas. Selain penggunaan komputer di ruangan tersebut, dua buah komputer di ruang teknisi pun dinyalakan selama sembilan jam (pukul 07.00-16.00 WIB). Banyaknya penggunaan beban pada hari ini terlihat pada banyaknya pemakaian daya dari baterai untuk memenuhi kebutuhan beban tersebut. Hari jum’at menjadi hari terendah sebesar 6,97 kW pemakaian daya listrik dikarenakan pada hari ini penggunaan ruang multimedia hanya dua jam 30 menit oleh kelas 1 TPTL dalam mata kuliah gambar teknik pada pukul 07.00-09.30 WIB. Komputer di ruang teknisi masih tetap menyala selama sembilan jam (pukul 07.00-16.00) disetiap harinya. Pemakaian listrik pada hari ini tidak banyak karena aktivitas yang dilakukan pun sedikit sehingga gedung laboratorium cenderung sepi dihari ini, gedung laboratorium sangat banyak digunakan pada hari senin dan kamis. Tabel pemakaian dapat diperlihatkan seperti tabel 2 berikut. Tabel 2 Daya Listrik Gedung Lab Surya (berdasarkan Jadwal Kuliah) Pemakaian Hari Daya (kW) Senin 13,00 Selasa 6,97 Rabu 6,64 Kamis 8,22 Jum’at 6,97 Rata-rata pemakaian daya 8,42
5
Dari tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa rata-rata pemakaian beban pada gedung laboratorium adalah 8,42 kW selama lima hari aktivitas perkuliahan. ANALISIS KONSUMSI ENERGI LISTRIK Berdasarkan analisis daya sebelumnya, dikarenakan hari senin adalah pemakaian daya terbesar maka konsumsi energi hari ini pun besar pula yaitu 41,32 kWh sedangkan untuk hari jum’at konsumsi energi adalah 20,21 kWh. Konsumsi energi rata-rata gedung dari kelima hari perkuliahan sebesar 29,05 kWh. Tabel 3 Konsumsi Energi Listrik Gedung Lab Surya (berdasarkan Jadwal Kuliah)
Hari Senin1 Selasa2 Rabu3 Kamis4 Jum’at5 Total Konsumsi Energi dalam lima hari kerja Rata-rata Konsumsi Energi
Konsumsi Energi (kWh) 41,32 29,27 20,22 34,25 20,21 145,27 29,05
Dari jadwal perkuliahan maka dengan memadatkan waktu perkuliahan di gedung laboratorium surya beserta pemakaian beban, didapat bahwa dari sembilan jam perkuliahan (07.00-16.00) setiap harinya pemakaian listrik ini tidak penuh digunakan. Pemakaian energi listrik yang optimal disetiap harinya yaitu hari senin pemakaian energi listrik rata-rata dari pukul 10.00-13.40 WIB (tiga jam 40 menit), dihari selasa pemakaian energi dari pukul 07.00-11.00 WIB (empat jam), untuk hari rabu pukul 11.30-14.00 WIB (dua jam 30 menit), di hari kamis pada pukul 07.00-11.00 WIB (empat jam), dan dihari jum’at saat pukul 07.00-09.30 WIB (dua jam 30 menit) sehingga keseluruhan pemakaian beban optimal selama lima hari kerja adalah 15 jam 50 menit. Jika dirata-ratakan pemakaian energi listrik selama lima hari kerja adalah dari selama tiga jam delapan menit. Perencanaan Penambahan Beban Pada Gedung Lab Surya
Perencanaan penambahan beban hanya pada sektor non penerangan saja itu dikarenakan sektor penerangan tidak dapat lagi untuk ditambah. Penambahan yang dilakukan adalah dengan penggunaan laptop (dengan daya setiap laptop 60 Watt) pada setiap ruang dosen yang berjumlah sembilan ruangan. Penambahan beban yang akan dilakukan daya terpasang sektor non penerangan dan HVAC menjadi 9,48 kW yang semula hanya 8,94 kW dengan presentase penambahan beban adalah 6,04%. Dengan kapasitas sistem sebesar 15 kW dan adanya penambahan beban maka daya yang terpasang untuk sektor non penerangan dan HVAC pada gedung menjadi 9,48 kW. Maka daya yang terpasang kini yang semula 14,46 kW menjadi 15 kW. Dengan daya yang terpasang pada saat ini menunjukkan bahwa beban pada gedung telah maksimum dan tidak dapat ditambah lagi. Selain penambahan beban pada laptop, gedung laboratorium tidak dapat menambahkan beban dengan kapasitas daya melebihi daya laptop yang direncanakan. KESIMPULAN
• Gedung Laboratorium Surya ini mempunyai tiga sektor beban yaitu sektor penerangan, non penerangan, serta HVAC. Jumlah daya terpasang dari sektor penerangan adalah 5,52 kW dan dari sektor non penerangan maupun HVAC sebesar 8,94 kW. Seluruh beban ini disuplai dari sel surya dengan kapasitas 18 kWp melalui inverter dipakai melayani beban tersebut, dan atau melalui alat bidirectional inverter dengan kapasitas komponen yaitu 15 kW disimpan ke batere dan jika pasokan dari sel surya kurang dalam melayani beban maka dapat diambilkan dari batere ini melalui bidirectional inverter tersebut. • Pemakaian daya listrik terbesar dari lima hari aktivitas perkuliahan adalah 13 kW di hari senin dimana hari tersebut beban paling banyak digunakan. Untuk pemakaian daya listrik terkecil sebesar 6,97 kW pada hari jum’at karena dihari ini kegiatan perkuliahan sangat sedikit dilakukan sehingga pemakaian listrik pun tidak banyak. • Berdasarkan jadwal perkuliahan semester genap Teknik Konversi Energi didapat bahwa konsumsi energi gedung
6
Laboratorium Surya tertinggi berada di hari senin sebesar 41,32 kWh sedangkan konsumsi energi terendah di hari jum’at sebesar 20,21 kWh. DAFTAR PUSTAKA Krarti, Moncef. 2000. Energy Audit of Buliding System. London : CRC Press Jackson, Frank. 2008. Planning and Installing Photovoltaic Systems Second Edition. London : Earthscan. Kadir, Abdul. 1982. Energi. Jakarta : UI Press. PT Azet Surya Lestari. Pembangkit Listrik Tenaga Surya Skala Menengah-Besar (Hybrid, Grid- Interractive). Tanggerang : Ruko Sentra Menteng. Samuel L. Abreu9, Sergio Colle, Karime L. Z. Glitz, Ricardo Rüther and Hans Georg Beyer. 2000. Isolated Hybrid PV-Diesel Power Plants Design Method. RIO 3 World Climate & Energy Event. Brazil : University of Santa Catarina Lab Solar– Department of Mechanical Engineering. SMA Solar Technology AG.2009. PV Inverter Sunny Minny Central 4600/5000A/6000A Installation Guide. Jerman : Sonnenallee. SMA Solar Technology AG .2009. Sunny Island 5048 Installation and Instruction Manual. Jerman: Sonnenallee.
7
PENGARUH JUMLAH FASA TERHADAP FREKUENSI KELUARAN PADA STEP DOWN CHOPPER Achmad Mudawari Jurusan Teknik Konversi Energi- Politeknik Negeri Bandung Jl. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga - Bandung 40551 E-mail:
[email protected]
Abstrak Chopper banyak dipergunakan sebagai power suply dan diharapkan riak keluarannya sekecil mungkin. Untuk mengurangi riak pada sisi keluaran chopper dapat dipasang tapis. Ukuran tapis dapat dipengaruhi oleh besar kecilnya frekuensi. Dalam artikel ini diusulkan cara untuk mempertinggi frekuensi keluaran tanpa mempertinggi frekuensi switching komponen elektroniknya. Dari hasil analisis maupun simulasi menunjukkan bahwa pada step down chopper dua fasa frekuensi arus keluaran besarnya dua kali frekuensi arus fasanya. Kata kunci: DC Chopper, riak keluaran, frekuensi
PENDAHULUAN Chopper banyak dipergunakan sebagai power supply, oleh karena itu diharapkan riak keluarannya sekecil mungkin. Untuk mengurangi riak keluaran, pada sisi keluaran chopper dapat dipasang tapis. Besar kecilnya ukuran tapis dipengaruhi oleh besarnya amplitudo riak keluaran dan frekuensinya. Untuk memperkecil riak keluaran dapat dilakukan dengan mempertinggi frekuensi switching chopper dan atau memperbesar ukuran tapis. Salah satu cara untuk mempertinggi frekuensi keluaran tanpa mempertinggi frekuensi switching adalah dengan memperbanyak jumlah fasa dari chopper.
kapasitor (C) sebagai filter keluaran. Pada prinsipnya chopper dua fasa mempunyai prinsip kerja yang sama dengan chopper satu fasa. Hanya saja pada chopper dua fasa mempunyai dua kondisi konduksi yang masing-masing saling tergeser sebesar 180 derajat listrik atau sebesar T/2. Sr
L
Ss
M
ir il is ic
io
Beban
Vs Dr Ds
Vc
BATASAN MASALAH Untuk mencapai tujuan penelitian, penulis perlu memberi batasan sebagai berikut. a. b. c. d.
Gambar. 1 Gambar rangkaian chopper 2 fasa.
Tidak membahas masalah pengaruh macam-macam beban Tidak membahas rugi-rugi pada komponen Pembahasan pada kondisi tunak. Konduksi arus induktor tapis dianggap kontinyu.
CHOPPER DUA FASA. Gambar 1 menampilkan skema rangkaian chopper dua fasa dengan induktor (L) dan
Gambar 2 Gelombang tegangan fasa untuk 0