Jurnal Reading Faringitis
May 2, 2019 | Author: Gladys Larissa | Category: N/A
Short Description
THT...
Description
Pharyngitis, Diagnosis and Empiric antibiotic treatment Considerations Murtaza Mustafa1, P.Patawari2, RK.Muniandy3, MM.Sien4, S.Mustafa5, A.Fariz6 Abstrak : : Faringitis adalah kelainan umum pada anak-anak daripada orang dewasa. Faringitis sering terjadi di negara-negara berkembang. Di Amerika S erikat faringitis didiagnosis pada 11 juta pasien di gawat darurat dan pengaturan rawat jalan setiap tahunnya. Virus sering menyebabkan faringitis virus, dengan virus adenovirus, rhinovirus, enterovirus, influenza A dan B parainfluenza. Streptococcus pyogenes group A (GAS) atau kelompok A beta hemolytic streptococcus (GABS) adalah agen bakteri faringitis akut. Fusobacterium necrophorum d an Mycoplasma pneumonia juga telah dilaporkan. Faktor virulensi menyebabkan faringitis, penyakit invasif, demam rematik akut, dan glomerulonefritis akut. Tanda bakteri meliputi eritema faring, pembesaran tonsillar, dan eksudat keputihan keabu-abuan yang menutupi faring posterior dan pilar tonsil. Gejala seperti konjungtivitis, konjungtivitis, coryza, ulkus mulut, batuk dan diare menunjukkan penyebab virus. Skor Centor yang dimodifikasi dapat digunakan untuk diagnosis. Penisilin 10 hari tetap merupakan pengobatan pengob atan pilihan, macrolide untuk pasien alergi penisilin, amoxicillin memiliki keuntungan dosis yang kurang sering. Penggunaan antibiotik spektrum luas dianggap berkontribusi terhadap resistensi antibiotik. Peran tonsilektomi atau adenoidektomi pada kejadian faringitis GBHS kurang dipahami.
I.
Introduksi
Faringitis adalah inflamasi dari faring/tenggorokan. Pada keban yakan kasus faringitis akut menimbulkan nyeri yang berlebih dan merupakan penyebab sakit tenggorokan tersering. Jika inflamasi bersamaan dengan tonsillitis dapat juga disebut faringotonsilitis. Subkasifikasi lain adalah nasofaringitis (common cold). Faringitis adalah penyakit yang paling sering pada anak dan dewasa. Pada penelitian prospektif terbaru 16% orang dewasa & 41% anak dilaporkan menderita sakit tenggorokan. Pertahun di US, sekitar 6,2-9,7 juta anak dan sekitar 5 juta orang dewasa melakukan kunjungan ke dokter, klinik, atau UGD dengan faringitis. Hing, dkk melaporkan faringitis didiagnosis pada 11 juta pasien di UGD di US. Kebanyakan kasus faringitis pada anak usia 5-18 tahun, mirip dengan kasus pada streptokokus grup A, dan GAS/GABHS. Prevalensi faringitis karena streptokokus grup A yang d ilaporkan dipengaruhi baik oleh usia pasien maupun pemeriksaannya, dengan tingkat yang lebih tinggi ditemukan pada orang yang lebih muda. Berdasarkan data yg diperoleh menunjukkan faringitis streptokokus grup A yang terbukti secara serologi terjadi pada 0,14% kasus anak pertahun di Negara maju dan diperkirakan 5-10x pada negara berkembang. Di daerah beriklim sedang, kebanyakan kasus faringitis terjadi di musim dingin dan di awal musim semi yang sesuai d engan puncak dari d ari aktifitas virus pernafasan. Ini juga terjadi pada GAS faringitis yang hampir setengah kasus anak
terjadi pada musim musim ini. Kebanyakan kasus a kut terjadi karena infeksi virus (40-80%), dan sisanya terjadi karena infeksi bakteri, infeksi jamur, dan iritan sperti polusi atau bahan – bahan kimia. Pada pasien demam dengan gejala pernafasan dokter dapat dengan akurat membedakan infeksi virus dan bakteri hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terapi empiric unuk faringitis bakterial adalah penisilin, eritromisin untuk pasien yang alergi penisilin, dan klindamisin, amoksilin-klavulanat untuk kasus yang berulang/ kambuh pengobatan antibiotik selama 10 hari. Tulisan ini me-review diagnosis, dan terapi antibiotik empirik dari faringitis. II.
Agen penyebab infeksi
Virus adalah penyebab tersering faringitis, dan terhitung 25 -45% dari seluruh kasus dengan gejala mirip dengan ISPA. Adenovirus diidentifikasi sbg penyebab tersering faringitis dan dilaporkan terjadi pada 12-23% kasus. Virus lain yang dapat menyebabkan faringitis adalah rinovirus, enterovirus, influenza A dan B, parainfluenza, R SV, koronavirus, human meta pneumovirus, dan human boca virus. Beberapa human herpes virus seperti EBV, HSV, dan CMV juga dilaporkan dapat menyebabkan faringitis. Streptokokus piogenik, streptokokus grup A, atau GABHS adalah etiologi bakteri yang menjadi perhatian terbesar pada kasus faringitis akut karena hubu ngan antara streptokokus grup A dengan demam rematik. Streptokokus grup A bertanggung jawab sekitar 10-30% kasus pada orang dewasa dan 15-30% kasus pada anak. Fusobacterium necrophorum, bakteri gram negative penghasil spora berperan pada 10% kasus. Corynobacterium diphtheria juga merupakan penyebab faringtis dan menjadi perhatian khusunya pada orang – orang yang sering bepergian ke daerah dimana vkasin difteri tidak dilakukan/ ga gal terlaksana. Faringitis karena gonore harus dipertimbangakn oada dewasa dan remaja yang aktif secara seksual. Berdasarkan kultur tenggorokan di klinik PMS ditemukan 1-6% positif N. Gonorrhoeae. Mycoplasma pneumonia ditemukan 3-14% pada kasus faringitis. Beberapa kasus faringitis juga dapat disebabkan oleh infeksi jamur seperti kandida yang menyebabkan oral trush. III.
Patofisiologi
Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perkembangan tanda dan gejala faringitis belum sepenuhnya diketahui. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bradikinin yang disebabkan oleh infeksi rhinovirus simtomatik dan percoabaan bradikinin pada sukarelawan sehat menunjukkan hasil sakit tenggorokan yang signifikan saat bradikinin dicobakan ke orofaring atau mukosa nasal. Mediator inflamasi lainnya, termasuk prostaglandin, dilaporkan memainkan peran dengan bradikin melalui aktifitas mereka pada ujung saraf sensorik di faring. Beberapa uji coba terkontrol secara acak menunjukkan efek menguntungkan dari obat - obat anti-inflamasi nonsteroid atau kortikosteroid pada nyeri tenggorokan, dan dicurigai bawha mediator inflamasi memainkan peran dalam patofisiologi sakit tenggorokan. Di antara bakteri penyebab faringitis, patogenesis GAS telah dipelajari secara ekstensif. Beberapa faktor virulensi telah diidentifikasi yang pada akhirnya menyebabkan manifestasi faringitis akut. Peran sistem kekebalan tubuh dan kemungkinan perubahan genetik molekular pada GAS masih sulit dipahami. Protein yang terlibat dalam kekebalan imun, perlengketam ke sel epitel, penyebaran
melalui jaringan host, dan banyak eksotoksin telah dijelaskan. Ekspresi dari faktor virulensi ini dapat menyebabkan faringitis simtomatik dan komplikasi seperti pen yakit invasif, demam rematik akut, dan glomerulonefritis akut. Mekanisme faringitis GAS menyebabkan demam reumatik akut masih belum diketahui. Namun, dicurigai terjadi secara autoimun melalui molecular mimikri.
IV.
Manifestasi Klinis
Etiologi faringitis pada pasien tidak dapat dilihat secara akurat berdasarkan hanya dari karakteristik klinis saja, patogen tertentu dapat menimbulkan gejala yang dapat lebih mudah dikenali. Patogen patogen faringitis yang jarang terisolasi meliputi : Streptococcus Grup A . Faringitis yang disebabkan oleh GAS terjadi secara mendadak pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua. Nyeri tenggorokan yang berhubungan dengan GAS dapat menyebabkan sulit menelan. Demam, sakit kepala, dan gejala gastrointestinal (mual, muntah, sakit perut) juga berhubungan dengan nyeri tenggorok karena streptokokus namun tidak selalu ada. Pemeriksaan fisik umumnya menunjukkan adanya eritema faring, pembesaran tonsil, dan eksudat keputihan abu-abu yang menutupi faring posterior dan pilar tonsil. Kadang terdapat petekie pada palatum dengan eritema dan edema pada uv ula. Limfadenopati servikal anterior, sering terjadi pada Sudut rahang, khas faringitis GAS dan nodusnya mungkin cukup besar dan lunak. Pasien mungkin mengalami ruam scarlatiniform khas yang biasanya dimulai dari badan, menyebar ke ekstremitas, dan biasa menghindari telapak tangan dan telapak kaki. Ruam biasanya digambarkan sebagai ruam yang konfluens. Demam Scarlet disebabkan oleh satu atau lebih eksotoksin piogenik yang dihasilkan oleh strain GAS. Tanda dan gejala yang paling menunjukkan faringitis GAS adalah tonsilitis atau eksudat faring, limfadenopati servikal anterior, demam atau riwayat demam dan tidak adanya batuk. Non- Streptococcus Grup A dan haemolyticum . Streptokokus group C dan G umumnya ditemukan sebagai flora normal pada faring manusia. Namun, mereka juga dikenal sebagai penyebab potensial faringitis. Streptococcus dysagalactiae subspe quisimilis (kelompok C) adalah non-GAS yang paling umum diisolasi yang berhubungan dengan sakit tenggorokan, walaupun baru-baru ini S equi subsp, zoopidemicus telah diketahui sebagai patogen penting. Gejala klinis yang membedakan faringitis karena haemolyticum adalah ruam yang mungkin terjadi pada setengah individu yang terinfeksi. Ruam scarlatiniform.macular, atau macupapular paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Ruam dimulai pada ekstremitas bagian distal, biasanya melibatkan permukaan ekstensor namun menghindari bagian telapak tangan dan telapak kaki, diikuti penyebaran secara sentripetal. Haemolyticum dapat menyebabkan infeksi yang lebih parah misalnya pneumonia. Corynebacterium diphtheriae . Difteri jarang terjadi di negara maju karena vaksinasi tersedia dalam jumlah yang besar. Mayoritas infeksi pernafasan atas yang disebabkan oleh c.diphtheriae adalah tonsilofaringeal. Sakit tenggorokan merupakan sallah satu gejala difteri yang paling umum dan biasanya disertai demam ringan dan malaise. Pembentukan selaput pada permukaan tonsil atau faring adalah ciri khas difteri namun hanya ditemukan pada sepertiga pasien. Demam ringan dan pembentukan membran membedakan difteri dari faringitis yang disebabkan oleh
Streptokokus hemolitik kelompok alfa beta dan virus. Meembran yang terbentuk pada penderita difteri berwarna putih pada awal perjalanan penyakit, lalu kemudian menjadi abu-abu gelap dan bertekstur, dengan upaya mencegah membran yang dapat menyebab kan perdarahan. Formasi membran terbentuk akibat produksi toksin lokal dan penyebaran membran mengindikasikan toksisitas yang sistemik. Penyebaran ekstensif dari membran dapat mengarah k e limfadenopati tonsilar, cervical anterior, dan submandibular serta pembengkakan leher yang biasa disebut bull neck. Progresifitas lebih lanjut dapat menyebabkan gagal nafas dan kematian.
Neisseria gonorrhea . Infeksi faringeal yang disebabkan oleh N.gonorrhea cenderung asimptomatik. Nyeri tenggorokan terdapat ppada pasien dengan keterlibatan tonsilar. Beberapa kasus orofaringeal gonorrhea lebih dari 10% diklasifikasikan sebagai tonsilitis. Demam dan limfadenopati cervikal sering ditemukan. Diantara pasien dengan tonsilitis, eksudat berwarna putih kekuningan terdapat pada 20% pasien. Temuan klinik faringitis akibat N.gonorrhea nonspesifik dan gejala ringan, sehingga riwayat infeksi menular seksual harus ditanyakan pada pasien remaja dan dewasa dengan faringitis untuk menegakkan diagnosis. Riwayat dan orientasj seksual pasien penting untuk dilengkapi dan didapatkan secara teliti. Riwayat didapatkan dengan persetujuan pasien dan dengan pemahaman kepada pasien dan jang an mengarah kepada tuduhan.
Mycoplasma pneumonia. M. Pneumonia dan C. Pneumonia telah diidentifikasi sebagai faringitis pada semua usia dengan prevalensi tertinggi umunya pada M. Pneumonia. Beberapa kasus faringitis pada anak yang diakibatkan oleh M.pneumonia atau C.pneumonia ditemukan disfagia 25% - 36%, hipertrofi tonsil 76%-83%, adenopati cervical ha mpir 50%, dan eksudat pada 25%-39%. Walaupun temuan ini tidak spesifik pada faringitis akibat infeksi bakteri atipikal dibandingkan dengan kebanyakan kasus faringitis viral, anak dengan infeksi akibat M.pneumoniae atau C.pneumonia secara signifikan lebih sering memiliki riwayat faringitis rekuren. Anak dengan faringitis akibat infeksi bakteri atipikal d iobati dengan azithromicin memiliki resiko rendah terkena infeksi saluran napas, termasuk infeksi saluran napas b awah dibandingkan dengan anak yang hanya diberikan terapi simptomatik.
HIV-AIDS dan faringitis. Gejala yang seeing ditemukan adalah demam, faringitis, rash, dan limfadebopati. Mudah dimengerti bagaimana infeksi HIV 1 primer dapat di salah diagnosis dengan mononukleosis infejsiosa, sifilis sekunder, hepatitis A atau B akut, toxoplasmosis atau sindrome virus lainnya. Penelitian terbaru menghitung prevalensi infeksi HIV 1 primer pada 1.3 ppasien per 1000 kasus. Sebanyak setengah dari semua infeksi HIV 1 primer diderita oleh dewasa muda, tenaga medis yang menagani remaja dan dewasa penting untuk menguasai karakteristik dari infeksi HIV 1 primer.
Epstein Barr virus (EBV). Mononukleus infeksiosa merupakan kelainan multisistem yang diakibatkan oleh infeksi primer dengan EBV dan di definisikan menggunakan triad yaitu demam, faringitis, dan adenopati. Dari 150 dewasa muda dengan infeksi EBV akut yang telah terkonfirmasi secara serologi, tiga per empat pasien dilaporkan memiliki nyeri tenggorokan d an fatigue, dengan half noting fever, adenopati cervikal yang disertai nyeri, dan nyeri kepala. Faringitis yang bersamaan dengan mononukleosis infeksiosa memiliki onset subakut dan dapat disertai pembesaran tonsil ringan sampai sedang beserta eksudat dan petekhie palatal. Gejala secara bertahap memvaik setelah 1 bulan perjalanan penyakit dan dalam 6 bulan dapat sembuh total. Edema periorbital atau lipatan mata merupakan gejala infeksi EBV primer yang unik pada anak-anak. Agen virus. Virus yang menyebabkan radang tenggorokan atau faringitis kebanyakan adalah adenovirus terdapat dalam 25% kasus pada anak-anak dan 3% pada orang dewasa di instalasi rawat jalan. Infeksi primer virus herpes simpleks (HSV) umumnya menyebabkan gingivostomatitis pada anak kecil, dan menyebabkan faringitis pada remaja dan dewasa muda. Dengan gejala demam ringan, eritema faring, eksudat, dan limfadenopati servikal. V.
Diagnosa
Faringitis adalah salah satu gejala paling umum yang mungkin dihadapi oleh seorang dokter; Diagnosis etiologi yang dapat diobati sangat penting. Pencegahan demam rematik memerlukan pengobatan dengan antibiotik dan pemberantasan GAS dari faring. Temuan klinis yang tepat membantu membedakan GAS dari faringitis yang disebabkan oleh virus. Seperti yang diketahui, eksudat tonsillar atau faringeal, limfadenopati servikal, dan demam umumnya terkait dengan GAS. Gejala seperti konjungtivitis, coryza, ulkus mulut, batuk, dan diare menunjukkan penyebab virus. Beberapa kriteria klinis telah dikembangkan untuk membantu diagnosis faringitis GAS. Kriteria klinis untuk diagnosis faringitis GAS terbatas karena tanda dan gejala banyak penyebab tumpang tindih dengan tanda dan gejala faringitis akut karena virus. oleh GAS. Skor Centor yang telah dimodifikasi dapat digunakan untuk mendiagnosis. Misalnya skor 1 : (risiko 5% sampai 10%), skor 2, (risiko 11% sampai 17%), skor 3 (risiko, 28% sampai 35%), skor ≥4, risiko 51% sampai 53%). Berdasarkan 5 kriteria klinis, satu poin d iberikan untuk masing-masing kriteria, misalnya Tidak adanya batuk, pembengkakan KGB servikal, suhu> 380°C , usia kurang dari 15 tahun (satu poin dikurangi jika usia> 44 tahun). Kriteria McIsaac ditambahkan ke kriteria Centor : bila usia kurang dari 15 tahun tambahkan satu poin, dan bila usia lebih dari 45 tahun : kurangi satu poin. Panduan dari Infectious Disease Society of America (IDSA), k omite Infectious Diseases of American Academy of Pediatrics, dan American Heart Association merekomendasikan untuk mendiagnosis infeksi GAS dengan menggunakan rapid anitigen test (RADT), kultur tenggorokan, atau keduanya. Sebaliknya, pedoman yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American College of PhysiciansAmerican Society of Internal Medicine menyarankan pengobatan empiris berdasarkan skor faringitis saja dengan atau tanpa pemeriksaan mikrobiologis. Media dan teknik khusus diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab faringitis lainnya. Jika difteri dicurigai, laboratorium harus diberitahu, PCR baru-baru ini telah digunakan untuk identifikasi
C.diphtheriae. Deteksi molekuler Fusobacterium telah digunakan dalam beberapa penelitian. Infeksi EBVdidiagnosis berdasarkan hasil serologi, baik dari hasil tes antibodi hetrophile (monospot atau monoslide) atau deteksi antibodi imunoglobulin M terhadap antigen kapsid virus EBV dalam specimen serum yang di ambil saat akut. Serologi spesifik untuk EBV diperlukan untuk membuat diagnosis pada anak-anak, terutama yang berusia kurang dari 4 tahun.
VI. Pengobatan
Pemberian antibiotik untuk pasien dengan sakit tenggorokan adalah hal yang umum dan sering dilakukan untuk mencegah komplikasi radang tenggorokan. Tujuan terapi faringitis GAS adalah mengurangi gejala, mengurangi risiko penularan, dan mengurangi kekambuhan. Penisilin telah menjadi terapi pilihan untuk faringitis GAS. Meskipun penggunaan jangka panjang belum dilaporkan adanya resistensi penisilin. Penggunaan penisilin selama 10 hari merupakan pilihan utama dan telah direkomendasikan oleh Infectious Disease Society of America dan American Academy of Pediatrics untuk pengobatan faringitis yang disebabkan oleh GAS. Pasien dengan alergi penisilin diberikan golongan macrolide (eritromisin) atau sefalosporin generasi pertama. Saat ini, penggunaan sefalosprins spektrum luas seperti sefiksim dan ceftibuten belum banyak diberikan, meskipun telah didukung oleh FDA U.S untuk pengobatan faringitis GAS. Sedang dieliti penggunaan amoksisilin dalam pengobatan faringitis GAS. Penggunaan turunan penisilin seperti amoksisilin memiliki keuntungan yaitu penggunaan dosis yang lebih rendah dan rasa yang lebih nyaman untuk anak-anak. Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan faringitis GAS dengan amoxicillin sekali sehari selama sepuluh hari dapat mencapai hasil klinis dan bakteriologis yang serupa dibandingkan dengan dosis penisilin tradisional. Terapi menggunakan antibiotik tidak boleh digunakan untuk pencegahan faringitis GAS kecuali dalam keadaan khusus. Profilaksis antibiotik yang terus-menerus untuk pencegahan faringitis GAS diberikan kepada mereka yang memiliki episode demam rematik sebelumnya. Profilaksis dengan antibiotik juga dapat digunakan jika terjadi wabah demam reumatik akut, glomerulonefritis post streptococcal, atau kontak dengan orang dengan infeksi invasif seperti necrotizing fasciitis atau sindrom syok toksik streptokokus. Pengobatan pilihan untuk infeksi Fusobacterium termasuk penisilin yang dikombinasikan dengan inhibitor β-lacatamase (misalnya amoksisilin / sulbaktam) bersama dengan metronidazol. Resistensi terhadap penisilin telah dilaporkan, namun tidak tersebar luas. Penisilin dan eritromisin adalah dua agen yang direkomendasikan untuk pengobatan C. diphtheriae, walaupun makrolid baru seperti azitromisin biasa digunakan dalam praktik klinis. Dalam sebuah survei baru-baru ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam penggunaan antibiotik spektrum luas untuk pengobatan faringitis. VI.
Faringitis dan Komplikasi
Komplikasi faringitis, termasuk abses peritonsilar, abses ruang faring, limfadenitis, sinusitis, otitis media, mastoiditis dan infeksi invasif, misalnya necrotizing fasciitis dan toxic shock syndrome. Pada orang dewasa yang lebih tua, tanda dan gejala dari abses ruang peritonsillar atau parapharyngeal mungkin tidak terlihat, dan penyakit ini tampaknya lebih umum terjadi pada orang-orang dengan kondisi imunokompromais. Komplikasi faringitis yang disebabkan oleh GAS berpotensi menimbulkan demam rematik dan glomerulonefritis akut. Penyakit jantung rematik dan komplikasinya. mempengaruhi hampir 2 juta individu setiap tahun,
terutama di negara-negara berkembang. Demam rematik telah jarang terjadi di Amerika Serikat kecuali terjadi wabah GAS Rheumatogenik secara sporadik. Sindroma Lemeierre adalah komplikasi faringitis yang jarang terjadi pada remaja dan dewasa muda yang ditandai dengan tromblebitis septik pada vena jugular interna dan terdapat lesi metastatik (emboli septik) di tempat yang jauh setelah sakit tenggorokan akut yang umumnya disebabkan oleh Fusobacteriumnecrophorum. VII. Kesimpulan
Faringitis adalah penyakit umum pada orang dewasa dan anak-anak. Komplikasi faringitis termasuk demam rematik dan glomerulonefritis akut. Skor Centor yang dim odifikasi bermanfaat untuk mendiagnosis faringitis dan pengobatan faringitis. Penisilin dan eritromisin adalah antibiotik pilihan, antibiotik spektrum luas untuk kasus kambuh atau kasus rekuren.
View more...
Comments