June 30, 2019 | Author: Kotaro Minami | Category: N/A
JMEI
Jurnal Material dan Energi Indonesia
Volume 01, Nomor 01, Tahun 2011
http://jmei.phys.unpad.ac.id
Diagram film tipis untuk sel surya (lihat halaman 7) ISSN: 2087-748X
JMEI
Jurnal Material dan Energi Indonesia
Volume 1 No. 1 28 Februari 2011
Penanggung Jawab Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unpad Ketua Editor: Fitrilawati, Jurusan Fisika FMIPA Unpad Editor Pelaksana : Irwan Ary Dharmawan, Jurusan Fisika FMIPA Unpad Sahrul Hidayat, Jurusan Fisika FMIPA Unpad Editor: Yudi Rosandi, Unpad Risdiana, Unpad Darmawan Hidayat, Unpad Hendra Grandis, ITB Bambang Prijamboedi, ITB Darminto, ITS Evvy Kartini , BATAN Taufik, California Polytechnic State University (Calpoly) Luis Sandoval, Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL) Kazuki Ohishi (RIKEN)
Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI) merupakan jurnal ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian yang mencakup kajian teoretik, simulasi dan modeling, eksperimen, rekayasa dan eksplorasi dalam bidang Material dan Energi. Jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali dalam setahun (Februari, Juni dan Oktober). Redaksi menerima naskah ilmiah hasil penelitian, pikiran dan pandangan, review, komunikasi singkat dalam bidang material dan energi. Petunjuk penulisan artikel tersedia di dalam setiap terbitan dan secara online. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi mitra bebestari dan disetujui oleh dewan editor.
Biaya Penerbitan: Rp. 300.000 per artikel Harga langganan (termasuk ongkos kirim per eksemplar) Untuk Pemesanan atas nama Pulau Jawa Luar Jawa Lembaga Rp. 75.000,Rp. 85.000,Perorangan Rp. 50.000,Rp. 60.000,Penerbit: Jurusan Fisika FMIPA Unpad Terbit Terbit pertama kali: Februari 2011 Terbit Terbit tiga kali setahun (Februari, Juni, Oktober) Alamat Editor: Sekretariat Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI) Jurusan Fisika Fakultas MIPA MIPA Universitas Padjadjaran Jl. Raya Jatinangor Sumedang 45363 Telpon: 022 779 6014, Fax: 022 779 2435 Alamat email jurnal:
[email protected] jurnal:
[email protected] Website: http://jmei.phys.unpad.ac.id
i
JMEI
Jurnal Material dan Energi Indonesia
Volume 1 No. 1 28 Februari 2011
Daftar Isi Hal
Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya
1–6
Triwikantoro, Darminto Febie Angelia Perdana , Malik Anjelh Baqiya, Mashuri, Triwikantoro,
Sel-Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran
7 – 14
Ayi Ayi Bahtiar , Annisa Aprilia, Fitrilawati
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil
15 – 21
Wahyu Suciati, D. Wahyudi, Wahyudi, Wildan Wildan Khoiron Warsito , Sri Wahyu
Studi Eksperimental Eksperimental Laju Aliran Massa Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai pada Kasus Sirkulasi Alamiah Menggunakan Untai Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT01)
22 – 30
Mulya Juarsa , Arief Goeritno, Asep Suheri, Iwan Sumirat, Dewanto Saptoadi, Andika Nurcahyo
Estimasi Distrubusi Temperatur, emperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoar Panas Bumi
31 – 39
Alamta Singarimbun , Robi Irsamukhti
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid Berbasis Polimer Poli(alkil tiofen)
40 – 46
, Annisa Aprilia, Priastuti Wulandari, Wulandari, Herman Rahmat Hidayat ,
Simulasi Lattice Boltzman untuk Menentukan Konsentrasi Polarisasi pada Solid Oxide Fuel Cell
47 – 58
Irwan Ary Dharmawan , Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto
Penelitian Bahan Termoelektrik bagi Aplikasi Konversi Energi di Masa Mendatang Inge M. Sutjahja
ii
59 – 71
Kata Pengantar Dalam penerbitan perdana, Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI) Volume 1 Nomor 1 tahun 2011 menyajikan delapan buah artikel yang terdiri dari empat buah artikel kontribusi dan empat buah artikel yang merupakan makalah terpilih pada kegiatan Simposium Nasional Energi (SNE 2010). Dari makalah kontribusi terdapat artikel tentang nanopartikel magnetik, sumber energi terbarukan nano hidro, karakteristik fotodioda dan sel surya hibrid berbasis polimer polialkiltiofen, dan review singkat tentang bahan termoelektrik untuk aplikasi konversi energi. Dari makalah terpilih SNE2010 terdapat artikel tentang perkembangan penelitian sel surya polimer, studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA FT-01, estimasi parameter fisis reservoar panas bumi, dan simulasi lattice Boltzman untuk fuel cell. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada kontributor JMEI edisi perdana. Semoga artikel-artikel dalam jurnal edisi nomor ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian bidang material dan energi di Indonesia.
Dewan Redaksi
iii
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 1 – 6 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
SINTESIS NANOPARTIKEL Fe3O4 DENGAN TEMPLATE PEG-1000 DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIKNYA
FEBIE ANGELIA PERDANA, MALIK ANJELH BAQIYA, MASHURI, TRIWIKANTORO, DARMINTO † Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
diterima 27 Oktober 2010 revisi 4 Februari 2011 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak.
Nanopartikel Fe3O4 telah berhasil disintesis menggunakan metode kopresipitasi dengan penambahan polietilen glikol (PEG)-1000 sebagai template. Ukuran partikel, distribusi dan sifat magnetik dari partikel nano ini diteliti berdasarkan perbandingan volume larutan dan PEG, yaitu 1:1, 1:2 dan 1:4. Ukuran kristal dari nanopartikel menurut uji dan analisis data XRD menurun dengan bertambahnya kadar PEG-1000, yang dikonfirmasi dengan pengamatan ukuran partikel dengan TEM. Nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen nanopartikel Fe 3O4 bervariasi bergantung pada ukuran kristalnya. Kata kunci
:
Nanopartikel Fe3O4, Polietilen Glikol (PEG-1000)
Abstract.
Fe3O4 nanoparticles have successfully been synthesized using coprecipitation method employing polyethylene glycol (PEG)-1000as templates. Particle size and its distribution as well as magnetic properties were examined with respect to the volume fraction of starting materials and PEG, namely 1:1, 1:2 and 1:4. Crystallite size of nanoparticles according to XRD spectra analyses which was confirmed by TEM observation decreases with increasing PEG-1000 content. Further, coercive field and remanent magnetizations of Fe3O4 nanoparticles were obtained to be somewhat strongly dependent on its crystallite size. Keywords : Fe3O4 Nanoparticle, Polyethylene
Glycol (PEG-1000)
1. Pendahuluan
Nanopartikel magnetik kini intensif dikembangkan karena sifatnya yang menarik dalam aplikasinya dalam berbagai bidang, seperti fluida dan gel magnetik, katalis, pigmen pewarna, dan diagnosa medik. Beberapa sifat nanopartikel magnetik ini bergantung pada ukurannya. Sebagai contoh, ketika ukuran suatu partikel magnetik di bawah 10 nm, akan bersifat superparamagnetik pada suhu ruang, artinya bahwa energi termal dapat menghalangi anisotropi energi penghalang dari sebuah nanopartikel tunggal. Karena itu, sintesis nanopartikel yang seragam dengan mengatur ukurannya menjadi salah satu kunci masalah dalam ruang lingkup sintesis ini [1] . Salah satu zat yang dapat dipakai untuk membentuk dan sekaligus mengontrol ukuran dan struktur pori dari partikel adalah polietilen glikol (PEG). Dalam peran ini PEG dapat berfungsi sebagai template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk agregat lebih lanjut, dikarenakan PEG menempel pada permukaan partikel dan menutupi ion positif yang bersangkutan untuk bergabung dan membesar, sehingga pada akhirnya akan diperoleh partikel dengan bentuk bulatan yang seragam. Akan tetapi, agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, diperlukan PEG dengan panjang molekul dan jumlah yang tepat; misalnya, untuk PEG 2000 diperlukan sekitar 200 % dari jumlah bahan yang ditambahkan [2]. †
email :
[email protected] 1
2
Febie Angelia Permana dkk
Dalam tulisan ini dilaporkan kegiatan sintesis dan karakterisasi struktur serta sifat magnetik nanopartikel Fe3O4 dengan template PEG-1000. Fe3O4 disintesis dari pasir besi (ferit alami) dengan metoda kopresipitasi. Hasilnya akan dibandingkan lebih lanjut dengan hasil sintesis Fe 3O4 menggunakan PEG-400 dari penelitian sebelumnya [3]. 2. Eksperimen
Pasir besi yang telah diekstrak [4] dilarutkan dalam HCl 12 molar sebanyak ±35 ml pada suhu ~70 °C dan diaduk selama 15 menit dengan pengaduk magnetik. Setelah larutan homogen dilakukan penyaringan dengan kertas saring. PEG -1000 yang berbentuk padatan, dipanaskan dan dilelehkan pada suhu 40 ºC. PEG-1000 yang sudah mencair ditambahkan dalam larutan dengan variasi perbandingan volume 1:1, 1:2 dan 1:4, lalu diaduk. Ke dalam larutan ditambahkan NH4OH 12 molar sebanyak ±30 ml sambil terus diaduk dan dipanaskan pada suhu ~70 °C. Endapan Fe 3O4 yang terbentuk (berwarna hitam pekat) dipisahkan dari larutannya yang kemudian dicuci dengan aquades berulang kali. Untuk mendapatkan serbuk nanopartikel Fe 3O4, endapan dikeringkan dalam oven pada suhu sekitar 70 ºC selama 5 jam, yang kemudian dikarakterisasi dengan X-Ray diffractometer (XRD), transmission electron microscope (TEM) dan vibrating sample magnetometer (VSM).
Gambar 1. Pola
XRD sampel Fe 3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000 dan penambahan PEG (b) 1:1
(c) 1:2 (d) 1:4. 3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 1 menunjukkan pola XRD dari sampel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 dan dengan perbandingan penambahan PEG-1000 yang bervariasi. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terbentuk puncak yang semakin lebar dengan bertambahnya volume PEG-1000, yang menunjukkan bahwa ukuran kristalnya semakin kecil. Berdasarkan hasil analisis menggunakan program search- match dan analisis kualitatif menggunakan metode Hanawalt, bahwa sampel mengandung 100% fasa Fe 3O4, yang ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi dengan indeks Miller. Ini berarti tidak ditemukan adanya fasa PEG dalam sampel, yang menandakan bahwa PEG1000 tidak ikut bereaksi dan hanya bertindak sebagai template saja. Ukuran kristal masing-masing sampel dapat ditentukan salah satunya menggunakan program (MAUD) dengan data ICSD No. 82237 (a = 8,3873 Å). Tabel 1 menunjukkan ukuran kristal dari masing-masing sampel. Sampel Fe3O4 tanpa penambahan PEG1000 mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan sampel dengan penambahan PEG-
Material Analysis Using Diffraction
Sintesis Nanopartikel Fe 3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya
3
1000. Dari Tabel 1 dapat pula dilihat bahwa semakin besar konsentrasi penambahan PEG-1000, semakin kecil ukuran kristal yang didapatkan. Tabel 1.
Ukuran kristal masing-masing sampel
Sampel
Ukuran Partikel (nm)
Fe3O4 Fe3O4 dengan PEG 1:1
10,9 ± 0,3 7,3 ± 0,1
Fe3O4 dengan PEG 1:2
6,5 ± 0,1
Fe3O4 dengan PEG 1:4
7,5 ± 0,1
Tabel 2.
Nilai rata-rata ukuran kristal Fe 3O4 dengan penambahan PEG-400 [3] PEG – 400
Ukuran Rata-rata Kristal (nm)
(mol)
0,023 0,050 0,075
9,4 ± 3,5 11,5 ± 2,4 16,3 ± 5,1
Hasil ini jauh berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan penambahan PEG-400 [3]. Pada penambahan PEG-400 menyebabkan ukuran kristal Fe 3O4 semakin besar. Perbedaan hasil ini kemungkinan diakibatkan oleh banyaknya rantai yang terkandung dalam masing-masing PEG. PEG-400 yang mempunyai berat molekul rata-rata 400 g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 9 sedangkan PEG-1000 dengan berat molekul ratarata 1000 g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 23. Derajat polimerisasi menyatakan banyaknya jumlah mer atau panjang rantai yang terkandung dalam PEG. Sehingga, PEG-1000 mempunyai rantai yang lebih panjang dibanding PEG-400. Panjang rantai ini menyebabkan semakin banyak partikel Fe 3O4 yang terjebak di dalam rantai PEG sehingga pertumbuhan kristal terbatasi atau terhalangi. Karena pertumbuhanya terhambat, ukuran kristal Fe 3O4 semakin kecil. Pada penelitian sebelumnya, pembuatan nanopartikel Fe 3O4 juga dilakukan dengan perbandingan volume PEG-1000 dengan H 2O. Agar diperoleh ukuran yang efektif atau pembentukannya tidak menurun, konsentrasi pembentukan maksimumnya diperoleh dengan perbandingan 1:3. Hal ini diakibatkan viskositas yang tinggi dengan kandungan PEG yang tinggi. Penambahan PEG-1000 menghasilkan nanopartikel Fe 3O4 yang berbentuk nanorod dengan diameter 200 nm dengan panjang 2-3 µm [5]. PEG-1000 berpengaruh terhadap distribusi ukuran partikel Fe 3O4. Hal ini disebabkan PEG-1000 yang berfungsi sebagai template juga berperilaku sebagai surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa yang mempunyai dua ujung, yang satu bersifat hidrofilik atau suka air dan ujung yang lain bersifat hidrofobik atau penolak air. PEG yang merupakan sebuah oligomer yang mempunyai rantai seragam pendek, dapat dengan mudah diserap pada permukaan koloid metal oksida. Salah satu ujung rantai PEG yang bersifat hidrofilik akan menempel pada permukaan koloid magnetit dan ujung yang bersifat hidrofobik bebas. Pelapisan oleh PEG pada permukaan koloid menyebabkan pertumbuhan terhambat karena ruang gerak partikel terhalang oleh adanya PEG. Penambahan PEG-1000 juga menyebabkan persebaran ukuran kristalnya terlihat lebih monodisperse dibandingkan partikel tanpa penambahan PEG-1000 yang mempunyai persebaran ukuran kristal lebih polidisperse dalam Gambar 2.
4
Febie Angelia Permana dkk
Distribusi ukuran kristal menurut data XRD sampel Fe 3O4 tanpa PEG-1000, dan dengan penambahan PEG : 1:1, 1:2, dan 1:4. Gambar 2.
Gambar 3 menunjukkan foto TEM dari masing-masing sampel. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semua sampel memiliki morfologi yang sama yaitu bulat ( spherical). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya [5] yang berbentuk nanorod. Hasil ini mungkin disebabkan seluruh permukaan nanopartikel Fe3O4 terlapisi sempurna oleh PEG-1000, sehingga pertumbuhannya terbatasi ke segala arah.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.
Foto TEM sampel Fe3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000, dan penambahan PEG : (b) 1:1, (c) 1:2 (d) 1:4.
Sifat magnetik Fe3O4 hasil pengukuran dengan VSM ditunjukkan dari Gambar 4. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa partikel Fe3O4 dengan dan tanpa penambahan PEG-1000 tergolong magnet lunak, karena dari kurva histeresis mempunyai urut balik yang hampir simetris ketika dikenai medan magnet maupun ketika medan magnet ditiadakan. Atau dapat dilihat dari luasan kurva histeresis yang sempit. Luasan kurva histeresis menunjukkan energi yang diperlukan untuk megnetisasi. Pada magnet lunak, untuk magnetisasi memerlukan energi yang sangat kecil. Dari Gambar 4 dapat dilihat juga bahwa dengan atau tanpa penambahan PEG-1000, nanopartikel Fe 3O4 tetap bersifat ferimagnetik; meskipun ukuran kristalnya di bawah 10 nm, yang dimungkinkan berubah sifatnya menjadi superparamagnetik ditinjau dari ukurannya. Suatu bahan dapat dikatakan bersifat superparamagnetik jika memiliki nilai Hc yang sangat kecil (~0). Sementara itu, nilai Hc dari masing-masing sampel dalam sintesis ini masih cukup besar.
Sintesis Nanopartikel Fe 3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya
5
Nilai magnetisasi remanen partikel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 sebesar 18,1 emu/gr, lebih tinggi dibandingkan Fe 3O4 dengan penambahan PEG-1000. Hasil ini juga berbeda dengan nilai magnetisasi remanen Fe3O4 dengan penambahan PEG-400 yang besarnya 12,5 emu/gr [6] yang mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan dengan penambahan PEG-1000. Untuk lebih jelasnya nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari masing-masing sampel berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 4. Kurva
histeresis Fe3O4 tanpa dan dengan penambahan PEG-1000
Nilai magnetisasi saturasi (M s), medan koersivitas (Hc) dan magnetisasi remanen (M r) untuk masing-masing sampel Tabel 3.
Sampel
Fe3O4 Fe3O4 dengan PEG 1:1 Fe3O4 dengan PEG 1:2 Fe3O4 dengan PEG 1:4
Hc
Mr
(Oe) -84 -100 -99 -97
(emu/gr) 18,1 15,7 13,3 13,7
Nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari partikel Fe 3O4 tanpa penambahan PEG1000 berbeda dibandingkan dengan penambahan PEG-1000 menghasilkan kecenderungan yang berlawanan. Perbedaan ini cukup menarik mengingat ada sejumlah faktor yang menentukan secara simultan. Dalam penelitian ini sifat magnetik belum dibahas secara tuntas dan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun demikian, jelas bahwa kekuatan magnetik partikel dipengaruhi oleh ukurannya. 4. Kesimpulan
Pembuatan nanopartikel Fe3O4 dengan metode kopresipitasi menghasilkan partikel dengan ukuran 10,9 ± 0,3 nm. Penambahan PEG-1000 berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Penambahan PEG-1000 menyebabkan ukuran nanopartikel Fe 3O4 menjadi lebih kecil sekitar 6,5 ± 0,1 nm. Medan koersivitas dan magnetisasi remanen nanopartikel Fe3O4 menurun dengan menurunya ukuran kristal dengan kecenderungan yang masih memerlukan kajian lebih lanjut.
6
Febie Angelia Permana dkk
Ucapan terima kasih
Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Tim Pascasarjana, DP2M – DIKTI, tahun 2009 – 2010. Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sosiati untuk bantuan teknis pengukuran dengan TEM. Daftar Pustaka
1. Y. Aiguo, Journal Alloys and Compound 458 (2008) 487. 2. D. E. Zhang, et al., Journal of Magnetism and Magnetic Materials 292 (2005) 491. 3. M.A. Baqiya, T. Heriyanto, D. Kurniawan, M. Anwar, Darminto, Jurnal Sains Materi Indonesia, 102 – 105, Oktober 2007. 4. D.M. Arisandi, D. Kurniawan, T. Hariyanto, Darminto, Pengaruh jenis surfaktan pada sifat magnetik fluida magnetik berbasis pasir besi dan aplikasinya untuk pelapisan , Prosiding Seminar Fisika dan Aplikasinya 2007, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya, p. B3-1. 5. H. Kai, C-Y. Xu, L. Zhen, e-Z. Shao, Materials Letters 61 (2007) 303. 6. M. A. Baqiya dan Darminto, Jurnal Sains Materi Indonesia, 74 – 77, Desember 2009.
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 7 – 14 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
SEL-SURYA POLIMER: STATE OF ART DAN PROGRES PENELITIANNYA DI UNIVERSITAS PADJADJARAN
AYI BAHTIAR †, ANNISA APRILIA, FITRILAWATI Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21Jatinangor, Indonesia
diterima 3 November 2010 revisi 9 Februari 2011 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak. Sel-surya merupakan suatu piranti untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. Perkembangan penelitian dan aplikasi sel-surya sebagai sumber energi listrik utama dimasa mendatang sangat pesat, seiring berkurangnya sumber energi listrik berbahan bakar fosil dan masalah pencemaran lingkungan. Sel-surya berbahan polimer semikonduktor atau sel-surya plastik merupakan salah satu kandidat sel-surya masa depan, karena menawarkan kemudahan dalam proses sintesis bahan, fabrikasi, ringan dan dapat diproduksi secara masal dan berbiaya murah. Sampai saat ini efisiensi sel-surya polimer mencapai 6– 7% berbasis konsep bulk-heterojunction atau blend polimer dan fuleren, baik struktur tunggal maupun tandem. Efisiensi ini masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan untuk produksi masal dan komersialisasi. Dalam makalah ini, akan dibahas tentang perkembangan sel-surya polimer di dunia dan progres penelitian sel-surya polimer di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran. Penelitian telah dimulai tahun 2009, berbasis bulk-heterojunction polimer poli(3-heksiltiofen, P3HT) dan turunan fuleren ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid methyl ester, PCBM) sebagai bahan aktif sel-surya. Berbagai pendekatan dilakukan untuk meningkatkan kinerja sel-surya berupa aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer dan penambahan molekul aditif dalam bahan aktif. Kata kunci : sel-surya polimer, bulk-heterojunction, optical spacer, molekul aditif
Abstract. Solar cell is a device for converting sunlight into electricity. Research development and application of solar cells for electricity source grows very fast, due to a decreasing of fossil energy sources and environmental problems. Semiconducting polymer solar cells or plastic solar cells become a promising candidate for future solar cells, because it offers the easy-ways of synthetic materials, fabrication process, lightweight, and it can be fabricated with mass and low cost production. Currently, 6–7% efficiency is achieved for polymer solar cells based on bulk-heterojunction concept or blend polymer with fullerene using both single and tandem structure. However, this efficiency is still low and need to be improved for mass production and commercialization. In this paper, we discuss the state of the art of polymer solar cells and its research progress at Department of Ph ysics Universitas Padjadjaran. Our research on polymer solar cells has been started since 2009 using bulk-heterojunction of polymer poly(3-hexylthiophene, P3HT) and fullerene’s derivative fullerene ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid methyl ester, PCBM) as an active material layer. Several approaches such as thermal annealing, insertion of thin optical spacer layer, and addition of additive molecule into active layer have been applied to improve the performance of solar cells Keywords : polymer solar-cell, bulk-heterojunction, optical s pacer, additive molecule
1. Pendahuluan Semakin meningkatnya kebutuhan dan konsumsi energi listri k di Indonesia dan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) dunia, mengakibatkan pasokan listrik di Indonesia semakin tersendat. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menyediakan pasokan energi listrik di Indonesia telah menerapkan kebijakan pemadaman begilir dan penghematan penggunaan energi listrik untuk mengurangi beban daya PLN. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pencarian sumber energi listrik alternatif yang dapat digunakan secara massal dan berbiaya murah. Dalam 30 tahun mendatang, sumber energi dari bahan fosil semakin berkurang sehingga penggunaan sumber energi alternatif,
†
email :
[email protected] 7
8
Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati
seperti panas bumi, angin, biomasa, air, nuklir dan matahari semakin dibutuhkan [1]. Karenanya kajian intensif pengembangan, penggunaan dan manajemen sumber energi listrik selain fosil, sangat mendesak untuk segera dilakukan. Sel-surya merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik, karena tidak memerlukan generator dan dapat ditangani secara individu. Perkembangan industri pembuat modul sel-surya di dunia pun sangat meningkat tajam (46%) dari tahun 2000 dan mencapai 1200 MW pada tahun 2004 dan terus berkembang sampai 30 tahun ke depan dan pada tahun 2020 diharapkan bisa menghasilkan daya 200 GW [2]. Jumlah daya ini sama dengan daya yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebanyak 200 buah. Dewasa ini, material aktif untuk sel-surya umumnya adalah semikonduktor inorganik, seperti Silikon (Si), Galium Arsenida (GaAs), Kadmiumselenium (CdSe) dan masih banyak lagi, dengan efisiensi konversi bervariasi mulai dari 8% sampai 40% [2]. Namun, proses pembuatan sel-surya berbahan aktif ini umumnya dibuat dalam bentuk film tipis menggunakan teknik efitaksi, sehingga memerlukan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan sel-surya anorganik di Indonesia sangat minim. Tren penelitian sel-surya saat ini adalah menggunakan material organik dan polimer terkonjugasi. Polimer terkonjugasi memiliki elektron- π yang terdelokalisasi sehingga mampu menyerap sinar matahari, membentuk pembawa-pembawa muatan, mentransport muatan-muatan tersebut dan menghasilkan listrik [3,4]. Penelitian di bidang sel-surya berbahan aktif polimer terkonjugasi sangat berkembang pesat, karena menawarkan proses pembuatan yang berbiaya murah, sederhana dan dapat dihasilkan efisiensi konversi yang tinggi. Polimer poli(3-heksiltiofen) atau P3HT merupakan material yang banyak dikaji sebagai bahan aktif sel-surya polimer, karena memiliki struktur regio-reguler (RR) yang mampu menghasilkan konduktivitas listrik yang tinggi, mudah larut dalam pelarut organik biasa, dan dapat dibuat dalam bentuk film tipis dengan teknik sederhana, seperti spin-coating, dip-coating, inkjet printing dan roll-to-roll printing [5]. Saat ini sel-surya dengan konsep bulk-heterojunction (BHJ) campuran polimer P3HT sebagai donor elektron dan turunan metanofuleren (PCBM) sebagai akseptor elektron banyak dikaji. Saat ini, efisiensi sel-surya mencapai 6–7% [6,7]. Efisiensi ini perlu ditingkatkan minimal menjadi 10% untuk produksi masal dan komersialisasi. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sel-surya BHJ, diantaranya, penggunaan polimer baru [7], kontrol morfologi lapisan aktif [8] dan optimasi struktur [6,7]. Dalam makalah ini, dibahas perkembangan penelitian sel-surya yang dilakukan di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran, juga berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi melalui aniling termal, penyisipan lapisan optical spacer dan penambahan molekul aditif dalam bahan aktif untuk mengontrol morfologi lapisan aktif. 2. Eksperimen Polimer regioregular poli(3-heksiltiofen) (RR > 90%) dan turunan metanofuleren PCBM (struktur kimia, ditunjukkan pada Gambar 1), digunakan sebagai bahan aktif sel-surya. Kedua material diperoleh dari Sigma Aldrich, yang digunakan langsung tanpa purifikasi.
Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran
9
Gambar 1. Struktur kimia polimer P3HT dan PCBM
Sel-surya dibuat dengan struktur Gelas/ITO/PEDOT:PSS/P3HT:PCBM/Al, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Lapisan ITO berfungsi sebagai anoda, lapisan PEDOT:PSS berfungsi sebagai injeksi lubang ( hole) dan lapisan Al sebagai katoda. Dalam eksperimen, kami menggunakan campuran P3HT dan PCBM dengan rasio 1:1.
-
+
P3HT:PCBM PEDOT-PSS
ITO
Gelas
PCBM P3HT
Gambar 2. Struktur sel-surya polimer dengan bahan aktif campuran P3HT dan PCBM.
Untuk sel-surya yang diberikan perlakuan aniling termal, sebanyak 10 mg P3HT dilarutkan dalam 1 ml klorobenzen dan diaduk sampai larutan homogen. 10 mg PCBM juga dicampur dengan 1 ml klorobenzen diaduk sampai homogen. Kedua larutan, kemudian dicampurkan dan diaduk selama 18 jam pada temperature 50 °C, sehingga rasio akhir P 3HT:PCBM adalah 1:1. Sebelum digunakan, larutan difilter dengan syringe-filter 0,45 µm. Film tipis dibuat menggunakan spin coater dengan kecepatan 800 rpm selama 20 detik. Film tipis kemudian dianil dengan suhu 150 °C di dalam oven yang divakumkan selama 30 menit. Aniling termal merupakan teknik umum yang digunakan untuk mengembalikan keteraturan atau kristalinitas polimer P3HT yang terganggu akibat kehadiran PCBM [9]. Lapisan Alumunium (Al) dibuat dengan teknik evaporasi termal. Sifat optik film tipis diukur dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis. Karakteristik sel-surya diukur dengan mengukur arus listrik dari piranti ketika diberi tegangan panjar maju. Sebagai sumber cahaya, digunakan lampu Halogen atau Xenon. Untuk sel-surya yang menggunakan lapisan tipis optical spacer , kami menggunakan lapisan titanium sub-oksida (TiO X) yang disisipkan di antara lapisan aktif dan lapisan Alumunium. Lapisan TiOX dibuat dengan teknik spin-coating, sedangkan material TiOX dibuat dengan teknik sol-gel suhu rendah [7]. Lapisan TiOX dispin-coating di atas lapisan aktif, kemudian dianil pada suhu 150 °C selama 30 menit. Untuk sel-surya yang menggunakan molekul aditif sebagai campuran pada pelarut bahan aktif, digunakan molekul 1,8-diiodooktan (DIO). Sebanyak 3% molekul aditif DIO dicampurkan dengan larutan P3HT:PCBM dalam klorobenzen yang sudah diaduk hingga homogen. Larutan difilter
Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati
10
dengan syringe filter 0,45 µm, sebelum dibuat film tipis. Struktur sel-surya yang dibuat adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Ada 3 sampel sel-surya yang dibuat yaitu sel-surya tanpa perlakuan aniling termal (Sampel A), dianil termal pada suhu 100 °C selama 30 menit (Sampel B), dan sel-surya yang dianil termal pada suhu 100 °C selama 30 menit (Sampel C). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Sel-Surya dengan Aniling Termal Kurva karakteristik sel-surya dengan lapisan aktif blend P3HT:PCBM (1:1) yang dianil termal pada suhu 150 °C dalam keadaan disinari dengan lampu Xenon dengan intensitas 177 mW/cm 2 ditunjukkan pada Gambar 3. Luas area sel-surya adalah 4 mm 2.
] 10
2
m 8 c / A 6 µ [ J 4
Gelap Disinari
2 0 0.0 -2
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
V [Volt]
-4 -6
Gambar 3. Kurva karakteristik sel-surya dalam keadaan gelap dan disinari.
Dari kurva karakteristik arus-tegangan di atas, diperoleh parameter-parameter sebagai berikut: 2 tegangan hubung-terbuka, V OC = 0,3 Volt, rapat arus hubung singkat, J SC = 5,275 µA/cm , rapat arus pada daya maksimum, J MPP = 4,675 µA/cm2, tegangan pada daya maksimum, V MPP = 0,2 Volt, maka faktor pengisi ( fill-factor , FF) dan efisiensi konversi ( η) diperoleh 0,59 dan 0,0005%, berdasarkan persamaan :
η=
VOC * ISC * FF
FF =
Pin IMPP * VMPP
(1)
(2)
ISC * VOC
Nilai efisiensi konversi ini masih sangat kecil dibandingkan dengan efisiensi yang saat ini dicapai pada sel-surya P3HT:PCBM, yaitu 5%. Hal ini diakibatkan oleh nilai tegangan terbuka V OC yang lebih kecil dari seharusnya yaitu ~0,63 Volt. Arus yang kecil diakibatkan oleh tingginya nilai hambatan seri dari sel-surya, yang berasal dari belum optimumnya morfologi lapisan aktif dan masalah homogenitas antarmuka ( interface) antar lapisan di dalam sel-surya. Di samping itu, selsurya ini dibuat dalam lingkungan yang lembab, sehingga mengakibatkan penetrasi oksigen ke dalam lapisan aktif selama spin-coating dan evaporasi Alumunium. Akibatnya elektron-elektron yang dihasilkan oleh proses fotogenerasi akan diserap, sehingga arus listrik yang sampai ke katoda
Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran
11
(Al) kecil. Faktor lainya yang menyebabkan rendahnya efisiensi adalah nilai FF yang kecil. Nilai FF yang kecil diakibatkan oleh degradasi sel-surya selama pengukuran. Hasil pengukuran pada sel-surya pristin tanpa diberikan tegangan panjar maju, diperoleh rapat arus J SC = 37,5 µA/cm2. Namun arus listrik terus berkurang selama pengukuran akibat degradasi karena foto-oksidasi polimer. Efek degradasi ini menjadi perhatian khusus bagi sel-surya polimer, karena pengurangan panjang konjugasi polimer akibat oksidasi sehingga arus yang mengalir menjadi berkurang. Dengan menggunakan teknik enkapsulasi, kelompok N.S. Sariciftci dkk [10] berhasil membuat sel-surya polimer blend MDMO-PPV:PCBM, dan kelompok Brabec dkk dari Konarka dengan selsurya blend P3HT:PCBM tanpa mengalami penurunan efisiensi dalam waktu 1 tahun yang diuji coba diatas atap gedung [11]. Salah satu cara untuk mengatasi efek degradasi, di samping enkapsulasi, juga sebaiknya pembuatan sel-surya dan pengukuran karakteristiknya dilakukan di dalam Glove-Box yang dialiri gas Nitrogen, sehingga efek oksidasi dapat dikurangi. Di samping itu, arus yang kecil dapat diakibatkan oleh kontak yang buruk antara lapisan aktif dan katoda. 3.2. Sel-Surya dengan Lapisan Optical Spacer TiOX Gambar 4 memperlihatkan pengaruh penyisipan lapisan tipis optical spacer TiOX terhadap parameter-parameter sel-surya: V OC, J SC, FF dan η. Efisiensi sel-surya yang disisipi lapisan TiO X lebih tinggi daripada sel-surya tanpa lapisan TiO X [12]. Hal ini menunjukkan bahwa penyisipan optical spacer meredistribusi intensitas cahaya di dalam sel-surya akibat perubahan interferensi optis antara cahaya datang dan cahaya yang dipantulkan Alumunium [13], sehingga maksimum absorpsi terjadi di dalam lapisan aktif. Akibatnya, jumlah arus fotogenerasi dan efisiensi meningkat. Namun, jika lapisan TiOX dipertebal, maka semua parameter sel-surya akan berkurang. Lapisan TiOx yang lebih tebal akan menurunkan efisiensi sel-surya akibat meningkatnya resistansi seri (RS) sel-surya. Dalam Gambar 4 jelas, bahwa kinerja sel-surya optimum jika ketebalan lapisan TiOX di bawah 10 nm. Hasil ini sesuai dengan studi sebelumnya oleh Hayakawa dkk [14], yang mengkaji efek penyisipan lapisan TiOx terhadap resistansi paralel (R P) dan resistansi seri (RS) selsurya, menggunakan inverse gradien dari kurva I-V pada keadaan hubung terbuka dan hubung singkat. Hayakawa dkk menemukan bahwa penyisipan lapisan TiOx meningkatkan nilai R P sebesar 5 orde dan nilai RS hanya berubah sedikit, jika ketebalan lapisan TiOx di bawah 10 nm. Dengan demikian, meningkatnya nilai V OC akibat dari meningkatnya nilai resistansi paralel. 3.3. Sel-Surya dengan Molekul Aditif Spektra absorbansi lapisan tipis P3HT murni dan P3HT:PCBM yang ditambahkan 3% volume molekul aditif 1,8-diiodooktan (DIO) tanpa perlakuan dan dengan perlakuan aniling termal 100 °C dan 150 °C selama 30 menit di dalam oven vakum, ditunjukkan pada Gambar 5. Pada spektrum film tipis P3HT murni, t erdapat puncak-puncak vibronik pada panjang gelombang 515 nm dan 550 nm, yang merupakan transisi π−π* dan pada 600 nm yang merupakan ciri dari adanya agregat atau interaksi antar rantai polimer. Munculnya puncak-puncak ini mengindikasikan bahwa polimer P3HT membentuk struktur kristal berbentuk lamela [15].
Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati
12
0. 3 (a )
) 8 V m ( c o
V
(b)
F F
0. 2
6 0. 1 4 0
20
40
60
80
0
[× 10
) 2 m c /
0. 3
20
40
60
80
d(TiO x) [nm]
d ( T i O x) [ n m ]
(c )
A 0. 2 m ( c
s 0. 1 J
-5
]
) 1 % ( 0. 8 i s n 0. 6 e i s i f 0. 4 E
(d )
0. 2 0
20
40
60
80
0
d ( T iO x ) [ nm ]
20
40
60
80
d(TiO x) [nm]
Gambar 4. Grafik efek ketebalan lapisan TiO X terhadap parameter sel-surya (a). V OC, (b). FF, (c). JSC, (d) efesiensi
0.25
0.20
] . u . 0.15 a [ D0.10 O
P3HT murni setelah spin-coating 0 aniling 100 C 0 aniling 150 C
0.05
0.00 300
400
500
600
700
λ [nm]
Gambar 5. Spektra absorbansi film tipis P3HT murni, film tipis P3HT:PCBM (1:1) yang dicampur 3% volume molekul ODT.
Penambahan sedikit molekul DIO tetap mempertahankan puncak-puncak vibronik di atas, sehingga kehadiran molekul PCBM tidak menggangu kristalinitas polimer P3HT bahkan pada film tipis tanpa perlakuan aniling termal. Hasil ini berbeda dengan film tipis tanpa molekul aditif, dimana kehadiran PCBM mengganggu kristalinitas P3HT, sehingga diperlukan aniling termal untuk mengembalikan kristalinitas P3HT di dalam film tipis campuran P3HT:PCBM [9]. Parameter-parameter sel-surya yang ditambahkan 3% molekul DIO ke dalam lapisan aktifnya (P3HT:PCBM) diperlihatkan dalam Tabel 1. Tampak bahwa penambahan ODT, meningkatkan rapat arus dan tegangan terbuka. Hal ini mungkin diakibatkan oleh separasi fasa antara P3HT dan PCBM menjadi lebih jelas, sehingga meningkatkan efisiensi pemisahan eksiton dan transfer muatan [8]. Akibatnya arus listrik meningkat. Namun, untuk mengkaji lebih jauh diperlukan foto SEM atau TEM untuk melihat morfologi lapisan aktif sel-surya. Proses aniling termal,
Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran
13
menurunkan nilai dari semua parameter sel-surya yang diakibatkan oleh perubahan morfologi lapisan aktif. Diperlukan kajian morfologi lebih lanjut untuk menjelaskan penurunan nilai parameter sel-surya yang ditambahkan molekul ODT akibat aniling termal. Tabel 1. Parameter-parameter sel-surya dengan p enambahan molekul 3% volume ODT
Sampel
JSC
VOC 2
FF
[mA/cm ]
[Volt]
A
12,5
0,58
0,29
B
0,15
0,50
0,31
C
0,015
0,50
0,11
4. Kesimpulan Telah dilakukan fabrikasi sel-surya berbahan aktif campuran P3HT:PCBM dengan rasio 1:1, menggunakan beberapa perlakuan, yaitu aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer TiOX, dan penambahan molekul aditif 1,8-diiodooktan pada larutan campuran P3HT:PCBM dalam klorobenzen. Penyisipan lapisan tipis TiO X meningkatkan kinerja sel-surya akibat dari redistribusi absorpsi cahaya sehingga maksimum absorpsi cahaya terjadi pada lapisan aktif. Ketebalan optimum dari lapisan TiO X adalah 10 nm, jika lebih tebal menurunkan kinerja sel-surya akibat bertambahnya resistansi seri sel-surya [16]. Penambahan molekul aditif DIO mempertahankan kristalinitas P3HT pada lapisan aktif P3HT:PCBM, sehingga meningkatkan kinerja sel-surya. Namun, kinerja sel-surya menurun akibat aniling termal. Perlu studi morfologi lebih lanjut, untuk menjelaskan efek penambahan molekul aditif DIO pada morfologi lapisan aktif sel-surya, seperti separasi fasa P3HT dan PCBM, pembentukan antar-rantai P3HT dan PCBM. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dikti (DIKTI) atas suport dana penelitian ini melalui Penelitian Hibah Bersaing (PHB) Tahun 2010, berdasarkan SK No. 710/H6.26/LPPM/PL/2010. Terima kasih juga untuk Andria Kurniawan, Ahmad Rosikhin atas bantuannya dalam eksperimen. Daftar Pustaka 1. W. Hoffmann, and L. Waldmann, PV Solar Electricity: From a Niche Market to One of the Most Mainstream Markets for Electricity, in High-Efficient Low-Cost Photovoltaics ; Recent Development, edited by Petrova-Koch, R. Hezel, and A. Goetzberger, Berlin : Springer Verlag GmbH, 2009, pp. 29-43. 2. G. Dennler, N. S. Sariciftci, and C. J. Brabec, Conjugated Polymer-Based Organic Solar Cells , in Semiconducting Polymers: Chemistry, Physics and Engineering, Vol I Second Edition, edited by G. Hadziioannou and G.G. Malliaras, Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, 2006, pp. 455-530. 3. C.J. Brabec, N.S. Sariciftci, and J.C. Hummelen, Adv. Funct. Mater. 11, 15 - 26 (2001). 4. R. D. McCullough, Adv. Mater. 10, 93 - 98 (1998). 5. F. C. Krebs, Sol. Energy Mat er. Sol. Cells 93, 394-412 (2009). 6. J. Y. Kim, K. Lee, N. E. Coates, D. Moses, T-Q. Nguyen, M. Dante, A. J. Heeger, Science 317, 222-225 (2007). 7. S. H. Park, A. Roy, S. Beaupre, S. Cho, N. Coates, J. S. Moon, D. Moses, M. Leclerc, K.-H. Lee, A. J. H eeger, Nat. Photonics 3, 297–302 (2009).
14
Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati
8. Y. Liang, Z. Xu, J. Xia, S.-T. Tsai, Y. Wu, G. Li, C. Ray and L. Yu, Adv. Mater. 22, E135E138 (2010). 9. A. Bahtiar, Fitrilawati, and A. Aprilia, Effect of Thermal Annealing on Optical Properties and Morphology of Thin Film of P3HT-PCBM Blend , The 7th International Symposium on Modern Optics and Its Applications, Bandung, August 12-14, (2009). 10. G. Dennler, C. Lungenschmied, H. Neugebauer, N.S. Sariciftci, M. Latreche, G. Czeremuszkin, and M.R. Wertheimer, Thin Solid Films 349, 511-512 (2006). 11. J. A. Hauch, P. Schilinsky, S. A. Choulis, R. Childers, M. Biele and C. J. Brabec, Sol. Energy Mater.Sol. Cells 92, 727-731 (2008). 12. A. Bahtiar, A. Kurniawan, A. Rosikhin, and A. Aprilia, The Role of TiOX Interlayer on Performance of Bulk-Heterojunction Polymer Solar Cells, Proceedings of the 5th Kentingan Physics Forum; International Conference on Physics and Its Application, 21-24 (2010). 13. J. Y. Kim, S. H. Kim, H.-H Lee, K. Lee, W. Ma, X. Gong, and A. J. Heeger, Adv. Mater. 18, 572–576 (2006). 14. A. Hayakawa, O. Yoshikawa, T. Fujieda, K. Uehara, and S. Yoshikawa, Appl. Phys. Lett. 90, 1635171-1635173 (2007). 15. H. Sirringhaus, P. J. Brown, R. H. Friend, M. M. Nielsen, K. Bechgaard, B. M. W. LangeveldVoss, A. J. H. Spiering, R. A. J. Janssen, E. W. Meijer, P. Herwig and D. M. de Leeuw, Nature 401, 685-688 (1999). 16. Roy, S. H. Park, S. Cowan, M. H. Tong, S. Cho, K.e Lee, and A. J. Heeger, Appl. Phys. Lett. 95, 0133021 – 0133023 (2009)
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 15 – 21 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
REALISASI DAN ANALISIS SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN NANOHIDRO DARI ALIRAN AIR BERDEBIT KECIL
WARSITO †, SRI WAHYU SUCIYATI, D WAHYUDI, WILDAN KHOIRON Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Lampung Jl. Sumantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung 35145
diterima 1 November 2010 revisi 11 Pebruari 2011 dipublikasikan 28 Pebruari 2011 Abstrak. Telah direalisasi sumber energi baru terbarukan dengan sistem nanohidro berdaya 2.34W menggunakan kincir tipe Francis dengan debit air maksimum 0.87 × 10-3 m3 /s dan ketinggian head 1,5 m. Agar didapatkan kecepatan putar optimal dari generator yang digunakan, maka transmisi daya putar dari kincir menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 0.19 m dan 0.015 m serta 1 buah belt yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Secara teori, generator yang digunakan merupakan generator magnet permanen 3 pasang kutub yang mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm dengan tegangan keluaran 12/15 V dan kapasitas daya keluaran maksimum 6 W. Daya optimum yang dihasilkan adalah 2.34 W untuk generator dengan kecepatan sebesar 2333 rpm. Dengan data ini, kita dapat menghitung efisiensi generator sebesar 40.12 %. Daya keluaran selanjutnya dimanfaatkan untuk mengisi akumulator 12 V. Kata kunci : energi terbarukan, nanohidro, akumulator
Abstract. It has been realized a renewable energy source by nanohydro system with 2.34 W power output using Francis wheel type with water flow debit of 0.87 × 10-3 m3 /s and head elevation of 1.5 m. In order to be obtained a generator optimum power output, we use a transmission system of wheel rotation using two pulleys with diameter of 0.19 m and 0.015 m and a belt with the size of 0.70 m length and 0.004 m width to transmit the rotation power from the wheel to the generator. Generator used in this study has three permanent magnets, 2400 rpm maximum rotation, 12/15 V voltage output and 6 W maximum power output. The optimum power output obtained in this study is about 2.34 W with the generator rotation of 2333 rpm. Using this result, we can find the generator efficiency is about 40.12 %. Finally, the power output is used to recharge the 12 V accumulator. Keywords: renewable energy, nanohydro, accumulator
1. Pendahuluan
Kebutuhan energi akan selalu meningkat sebagai fungsi pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk energi konvensional seperti migas, tingginya kebutuhan apabila tidak diimbangi dengan kapasitas produksinya menyebabkan kelangkaan sehingga terjadi kenaikan harga dan krisis energi [1]. Salah satu usaha pemerintah yang terkait dengan kebijakan energi tersebut adalah dengan mengembangkan dan meningkatkan keanekaragaman energi termasuk energi yang sangat potensial saat ini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN/ National Electricity Plan), prosentase penduduk Indonesia yang belum berlistrik 36 % dan desa belum berlistrik 35 % [2]. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan bidang energi terbarukan. Sistem mikrohidro atau nanohidro sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan, dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam memenuhi energi listrik tanpa harus
†
email :
[email protected] 15
Warsito dkk
16
mengeluarkan biaya tinggi untuk sistem transmisi daya atau perawatan lingkungan secara umum karena implementasi sistem terintegrasi dengan pemanfaatannya [3]. Dalam konsep Fisika bahwa energi tidak dapat dimusnahkan oleh karena itu tentu energi setelah digunakan tentu menjadi sumber energi lain yang baru. Konsep dasar dari penelitian ini adalah bahwa hukum kekekalan energi yaitu energi bersifat kekal, tidak bisa dimusnahkan, tetapi berpindah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi lainnya. Maka untuk memahami konsep ini, yang terpenting adalah menciptakan energi awal sebagai pemicu ( trigger ), selanjutnya energi lain dapat dihasilkan dari energi tersebut, demikian seterusnya energi akan berputar. Pemanfaatan tenaga air sebagai pembangkit listrik mempunyai bermacam-macam tingkatannya; Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan daya keluaran di atas 0,5 MW, sistem mikrohidro sekitar 1–500 kW, sistem nanohidro dengan daya keluaran di bawah 1 kW. System nanohidro dapat direalisasi menggunakan aliran air pada pipa dengan diameter 2–6 inch [4] dan perkembangannya hingga kini dapat direalisasi menggunakan pipa berdiameter mulai dari ½ inch. Parameter utama penentu tingkat daya keluaran sistem tenaga air tersebut adalah debit air dan ketinggian air jatuh [3] sesuai dengan persamaan berikut : P
=
g × Q × h × η t × η g
(1)
dengan h Q ηt ηg
g
: head efektif (m) : debit air (m3 /s) : efisiensi turbin : efisiensi generator : gravitasi (10 m/s2)
Besarnya nilai efisiensi turbin adalah ηt = 82 % untuk Turbin Pelton, ηt = 84 % untuk Turbin Francis, ηt = 77 % untuk Turbin Crossflow dan ηt = 84 % untuk Turbin Tubular tipe S. Penelitian yang banyak dilakukan saat ini adalah pemanfaatan energi air dalam skala mikrohidro 10–100 kW yang berasal dari saluran irigasi [5,6]; atau sistem mikrohidro pada umumnya [7,8,9]. Sistem sejenis juga telah dilakukan oleh Takane dan Hiromaro [10] dengan memanfaatkan aliran air sungai kecil dan dihasilkan efisiensi turbin sebesar 25–30 %. Pada penelitian ini telah didesain dan direalisasi energi listrik nanohidro menggunakan kincir tipe -3 3 Francis yang bersumber pada aliran sungai berdebit kecil 0,87 × 10 m /s dengan ketinggian head 1,5 m. 2. Metode
Tahap awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan studi tentang potensi aliran air untuk mengetahui tipe kincir yang digunakan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa potensi aliran mempunyai head setinggi 1,5 m sehingga tipe kincir yang tepat adalah tipe Francis. Desain sistem nanohidro tampak seperti pada Gambar 1. Dari Gambar 1, aliran air dari sungai kecil ditampung dalam bak penstock (A) yang selanjutnya dialirkan menuju kincir tipe Francis (C) melalui pipa pesat (B). Selanjutnya putaran kincir
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil
17
dihubungkan ke generator (D) menggunakan belt. Untuk menghasilkan putaran optimal pada generator, maka dilakukan analisis sistem konversi gir secara integral. Tujuan utama dari tahap ini adalah mendapatkan nilai putaran optimal pada titik generator dan mendapatkan daya putar yang optimal. Tahapan selanjutnya adalah analisis secara integral dari sistem nanohidro yang meliputi daya keluaran generator sebagai fungsi kecepatan putar (rpm) dari generator. Pengukuran kecepatan putar generator menggunakan tachometer analog, dengan mendapatkan nilai kecepatan putar generator ini maka dapat dianalisis efisiensi ( η sistem) secara keseluruhan.
Gambar 1. Desain sistem nanohidro
3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Pemilihan Jenis Turbin Analisis pemilihan turbin didasarkan oleh data-data yang diambil secara teknis yang memperhitungkan faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan dimanfaatkan untuk operasi turbin. Dari data dan analisis perhitungan tinggi jatuhan air efektif yang didapatkan -3 3 adalah sebesar 1.5m dengan debit air maksimum 0,87 x 10 m /s. Ketinggian 1,5m digolongkan ke dalam kategori ketinggian rendah, sehingga turbin yang dipilih adalah turbin reaksi jenis Francis [11]. Analisis Transmisi Daya Mekanik Perancangan sistem nanohidro yang sudah dilakukan, menggunakan turbin Francis dan generator jenis magnet permanent 1 phase dengan 3 pasang kutub dan transmisi daya mekanik dengan rasio pulley 12,67 kali. Pulley berfungsi untuk menaikkan putaran sehingga putaran generator sesuai dengan putaran daerah kerjanya. Agar didapatkan kecepatan putar sesuai dengan yang dibutuhkan, maka transmisi daya menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 19 cm dan 1,5 cm serta 1 buah belt yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Belt berfungsi untuk menyalurkan daya dari poros turbin ke poros generator. Daya mekanik disalurkan secara satu tahap, pulley yang berdiameter 19 cm yang dipasang pada poros turbin dihubungkan dengan pulley yang berdiameter 1,5 cm yang terpasang pada generator. Penyaluran daya hasil putaran dari turbin tersebut mampu menaikkan kecepatan putar sebanyak 12,67 kali pada poros generator.
Warsito dkk
18
Analisis Pengujian Turbin yang Terhubung dengan Generator menggunakan aliran air dari pipa ½ inch Pada perancangan nanohidro yang sudah dilakukan memakai turbin reaksi sebagai pengkonversi energi potensial yang dimiliki oleh air menjadi energi mekanik dan generator ac yang mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Pada penelitian ini, di ujung pipa pesat dipasang sebuah kran yang berfungsi untuk mengatur debit air untuk menggerakan turbin. Ada tiga posisi pada pengaturan debit air, yaitu posisi 3 dimana kran terbuka penuh, posisi 2 kran terbuka sekitar ¾ dan posisi 1 kran terbuka sekitar ½. Pengukuran debit di lakukan dengan cara menampung air pada sebuah ember dalam waktu tertentu. Hasil pengujian pengaruh posisi kran terhadap debit air terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh posisi kran terhadap debit air
Posisi Kran
Waktu t (s)
Volume (L)
Debit Q (m3 /s)
3 2 1
23 34 45
20 20 20
0,87 × 10-3 0,59 × 10-3 0,44 × 10-3
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa posisi kran berpengaruh terhadap debit air yang akan menggerakan turbin, sehingga dengan berkurangnya debit air mengakibatkan berkurangnya putaran. Pada posisi kran terbuka penuh (100 %) waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ember dengan volume 20 l adalah 23 detik, pada posisi 1 dan 2 dengan volume yang sama dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengisi penuh ember. Debit air akan berpengaruh terhadap putaran yang dihasilkan oleh turbin. Pengujian pengaruh turbin terhadap putaran turbin di lakukan dengan tiga debit air yang berbeda yang dihasilkan oleh perubahan posisi kran. Semakin besar debit air maka putaran turbin yang dihasilkan akan lebih besar apabila dibandingkan denngan debit air yang lebih sedikit. Pengukuran putaran pada turbin menggunakan alat pengukur putaran yaitu tachometer. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan yang dihasilkan oleh generator, debit air mempengaruhi kecepatan putaran turbin dan selanjutnya semakin cepat putaran turbin tegangan keluaran akan semakin tinggi pula (Gambar 2).
Gambar 2. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan keluaran generator
Pengujian selanjutnya adalah melakukan uji pemberian beban yang dilakukan sebanyak 3 kali perubahan, yaitu menggunakan lampu 6 W 12 volt dan hambatan yang terukur adalah 25 Ω. Sedangkan total hambatan untuk sistem secara terpasang (lampu dan juga tachometer), adalah 125
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil
19
Ω.
Jika pembebanan dilakukan secara seri antara lampu dan tacho, hambatan yang terukur adalah 145 Ω. Data hasil pengujian pembebanan terlihat pada Tabel 2. Analisis generator dan kecepatan putar Pada penelitian ini telah dibuat sistem nanohidro yang diputar oleh mini turbin tipe Francis. Generator yang digunakan merupakan generator magnet permanen 3 pasang kutub yang mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm (rotation per minute / putaran per menit ) dengan tegangan keluaran 12/15 V dan kapasitas daya 6 W. Keluaran dari generator berupa tegangan arus bolak balik yang kemudian disimpan dalam akumulator. Sebelum disimpan pada akumulator tegangan tersebut disearahkan terlebih dahulu menggunakan dioda. Generator ini terdiri dari magnet yang berputar atau disebut rotor dan kumparan yang diam atau disebut stator. Untuk mengetahui tegangan generator yang digunakan pada pengisian akumulator, dilakukan pengujian menggunakan motor sebagai penggerak generator dengan sebuah dimmer sebagai pengatur kecepatannya. Tabel 2. Data Hasil Perubahan Beban Terhadap Tegangan Keluaran
Beban R ()
Arus I (A)
TeganganV (Volt)
Daya P (Watt)
KM/H
25 120 145
0,33 0,12 0,13
4,7 8,75 9,5
1,551 1,05 1,235
60 75 85
Gambar 3. Grafik tegangan keluaran
Tegangan yang keluar dari generator yang sudah disearahkan oleh dioda diukur menggunakan multimeter digital dan kecepatannya diukur menggunakan tachometer . Rotor generator yang diputar tersebut menghasilkan tegangan yang bervariasi sebagai fungsi kecepatan putar yang juga berubah-rubah pula. Untuk mendapatkan nilai kuat arus dari keluaran generator diperlukan beban (R) yang telah diketahui nilainya, sehingga diperoleh daya yang dapat dihasilkan oleh generator. Gambar 3 merupakan grafik hasil pengukuran tegangan keluaran generator dengan variasi kecepatan di mulai dari 1050–2333 rpm dengan beban resistor 100 Ω dan diperoleh hasil berupa tegangan dan kuat arus. Nilai tegangan yang dihasilkan oleh generator tergantung pada kecepatan putaran yang diberikan pada generator tersebut. Semakin besar kecepatannya maka akan menghasilkan tegangan yang semakin besar. Dari grafik pada Gambar 3 diperoleh persamaan V out = 0,005v − 3.85 dengan
Warsito dkk
20
kemiringan (slope) = 0,005 dan sensibilitas generator yaitu dV dv = 0,005(Volt / rpm) artinya generator yang digunakan mengalami kenaikan tegangan sebesar 0,005 Volt setiap 1 rpm. Pada penelitian ini kecepatan maksimum putaran hanya mencapai 2333 rpm. Untuk mengetahui daya yang dihasilkan, dilakukan perhitungan, sehingga diperoleh nilai daya seperti tampak pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik hubungan antara putaran turbin dan daya keluaran dari generator
Tegangan yang di gunakan untuk mengisi akumulator besarnya adalah minimal sama dengan tegangan akumulator (12V), sedangkan hasil pengukuran keluaran generator adalah 12,22 V, maka nilai ini sudah memenuhi syarat untuk mengisi arus pada akumulator. Kecepatan putar yang dibutuhkan untuk nilai tegangan tersebut adalah 1983 rpm, sehingga menghasilkan daya sebesar 1,71 W yang ditunjukkan pada Gambar 4. Tinggi rendahnya daya yang dihasilkan mempengaruhi pada lama waktu yang dibutuhkan dalam pengisian akumulator.
Gambar 5. Foto sistem pulley dan belt serta generator yang terpasang pada turbin tipe Francis
Setelah diketahui karakteristik dari generator dengan beberapa variabel yang telah diperoleh maka generator dapat dirangkai dengan turbin yang mempunyai kecepatan putar 166 rpm menggunakan belt dan pulley. Untuk menaikkan kecepatan hingga 1983 rpm digunakan pulley dengan perbandingan 12, artinya perbandingan pulley minimal 1:12. Gambar 5 adalah f oto hasil rancangan generator yang terpasang pada turbin. Namun sistem ini masih mempunyai efisiensi daya keluaran yang rendah. Efisiensi daya keluaran dari sistem dapat dihitung sebagai berikut:
Poptimal
=
2333 2400
* 6W = 5.83W
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil
η sistem
=
2.34 5.83
21
*100% = 40.12%
Daya optimal yang seharusnya dihasilkan dari sistem nanohidro pada 2333 rpm adalah 5,83 W, namun sistem hanya menghasilkan 2,34 W sehingga efisiensi sistem secara integral dari sistem nanohidro adalah 40,12%. 4. Kesimpulan
Telah direalisasi dan dikarakterisasi sistem nanohidro dengan head 1,5 m dan debit 0,87 × 10-3 m3 / S dengan kecepatn turbin maksimum yang dihasilkan adalah 2333 rpm dan daya yang dihasilkan adalah 2,34 W. Efisiensi sistem secara integral sebesar 40,12%, nilai ini merupakan rasio antara daya hasil penelitian yang terukur terhadap daya ideal yang seharusnya didapatkan dengan nilai rpm yang sama. Prospektif secara umum dari hasil penelitian ini adalah memanfaatkan daya keluaran dari generator untuk mengisi akumulator 12 V dan selanjutnya daya tersebut dapat dimanfaatkan secara langsung dengan arus dc atau ac menggunakan sistem inverter. Solusi dari daya yang dihasilkan kecil adalah sistem multi titik nanohidro yang merupakan penjumlahan daya dari beberapa titik nanohidro Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M, Dirjen Dikti yang telah memberikan support dana penelitian melalui program Penelitian Hibah Strategis Nasional dengan No Kontrak : 529/SP2H/PP/DP2M/VII/2010 tanggal 24 Juli 2010. Daftar Pustaka
1. B. Nababan, Rancangan Sistem Kontrol Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Air , Laporan penelitian IPB. Bogor (2001). 2. Dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (The National Electricity Plan), Departemen ESDM, Jakarta (2006). 3. E. Bedi, H. Falk, Small hydro power plants, Journal of Energy Saving Now, Vol. 1(2008) 4. B-O. Schultze, Siting for Nanohydro : a Primer , Journal of Home-Made Power, Vol. 15, February / March (1990). 5. H. Nadjamuddin, M. Yamin dan N. Salam, Pemanfaatan Turbin Mikrohidro Untuk Pembangkit Tenaga Listrik Di Desa Baji Minasa Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bukukumba, Jurnal ASPI, Vol. I, No. 4, Februari (1995) 6. E. Mawardi, dan M.Memed, Pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro tipe MdCCF di saluran irigas, Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta (2008) 7. O.F. Patty, Tenaga Air, Erlangga, J akarta (1995) 8. Satriyo, Puguh Adi, Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Untuk Daerah Terpencil, Buletin Balitbang Dephan Volume 10 N omor 18 (2007). 9. D. J. Fullford, P. Mosley and A.Gill, Recommendations on the use of microhydro power in rural development , Journal of International Development, Vol. 12, 975 – 983 (2000) 10. I. Takane dan I. Hiromaro, Micro Turbine and Micro Hydro, Journal of the Institute of Electrical Engineers of Japan , VoL.121; No.2; Page 119-122 (2001). 11. F. Dietzl, Turbin, Pompa dan Kompresor (alih bahasa Dakso Sriyono), Erlangga, Jakarta (1992)
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 22 – 30 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
STUDI EKPERIMENTAL LAJU ALIRAN MASSA AIR BERDASARKAN PERUBAHAN SUDUT KEMIRINGAN UNTAI PADA KASUS SIRKULASI ALAMIAH MENGGUNAKAN UNTAI SIMULASI SIRKULASI ALAMIAH (USSA-FT01)
MULYA JUARSA†, ARIEF GOERITNO, ASEP SUHERI, IWAN SUMIRAT, DEWANTO SAPTOADI, ANDIKA NURCAHYO Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor – Jawa Barat INDONESIA
diterima 3 November 2010 revisi 19 Pebruari 2011 dipublikasikan 28 Pebruari 2011 Abstrak. Optimalisasi pemanfaatan energi untuk efisiensi dilakukan selain merancang bangun alat konversi energi yang baru, juga memanfaatkan hukum-hukum alam yang berlaku seperti fenomena natural sirkulasi alamiah. Studi ekperimental dilakukan untuk memahami fenomena natural sirkulasi dengan menghitung laju aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA FT-01. Konstruksi USSA FT-01 terdiri dari komponen pipa SS304 berdiameter 1 inci, heater , cooler dan tangki ekspansi. Variasi eksperimen adalah beda ketinggian antara sisi panas dan sisi dingin berdasarkan variasi sudut kemiringan untai, yaitu 30 o, 45o dan 90o. Temperatur outlet dari heater (Th) dan temperatur outlet dari cooler (Tc) digunakan sebagai parameter yang diukur dan direkam dengan rentang waktu eksperimen selama 50 menit. Hasil ekperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi menunjukkan, laju aliran massa air akan memiliki harga kestabilan yang secara berturut-turut adalah 5,6 gr/s, 4,9 gr/s dan 9,8 gr/s berdasarkan perubahan sudut kemiringan 30 o, 45o dan 90o. Pengaruh beda temperatur rata-rata lebih dominan dibandingkan gaya apung karena beda ketinggian . Kata kunci : sirkulasi alamiah, fenomena, aliran, massa
Abstract. Optimizing energy utilization for more efficiency purpose can be done by design and construct a new energy conversion devices, also apply a natural laws such as natural circulation. Experimental studies has been conducting to understand the phenomena of natural circulation by calculating the water mass flow rate based on temperature changes in the cold area and the hot area in the USSA FT-01’s loop. Construction USSA FT-01 consists of components SS304 pipe 1 inch in diameter, heater, cooler and expansion tank. Experimental variation is the height difference between hot side and cold side based on the variation of loop angle, i.e. 30 o, 45o and 90o. Outlet of the heater temperature (Th) and the outlet of the cooler temperature (Tc) were used as a parameter that is measured and recorded with the experimental time range for 50 minutes. Experimental results and calculations using multiple correlation shows that the water mass flow rate will have a stable value in respectively 5.6 g/s, 4.9 g/s and 9.8 g/s based on angle variations of 30 o, 45 o and 90o. The effect of average temperature difference is more dominant than the buoyancy force due to the difference of height between the cold and hot side. Keywords : natural circulation, phenomena, flow, mass
1. Pendahuluan Perpindahan energi dalam bentuk kalor pada suatu peralatan konversi energi masih menjadi kajian dan tema penelitian yang belum usang. Peningkatan kebutuhan energi yang terus-terusan mesti diantisipasi dan hal ini memaksa penelitian terhadap fenomena yang muncul selama kalor dipindahkan menjadi perhatian penting. Salah satu peralatan pemindah kalor berupa loop tertutup
†
email :
[email protected] 22
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ...
23
thermosyphon memiliki kemampuan untuk memindahkan kalor dari suatu sumber ke area yang lebih dingin lain dengan jarak tertentu. Kondisi ini dapat digambarkan dengan loop tertutup yang diisi fluida kerja (air). Jika salah satu bagian dipanaskan dan bagian lainnya didinginkan, maka kerapatan air di bagian yang panas lebih rendah dibandingkan dengan bagian dingin. Perbedaan tekanan hidrostatik karena kerapatan akan menyebabkan gradien kerapatan yang menggerakkan air untuk mengalir di dalam loop. Kemampuan pergerakan molekul air karena beda kerapatan dan ditambah adanya perbedaan ketinggian akan menimbulkan aliran di dalam loop. Stabilitas aliran diharapkan akan timbul apabila terjadi perbedaan temperatur yang stabil antara bagian dingin dan bagian panas. Aliran tanpa adanya intervensi mekanik seperti pompa atau kendali aliran, disebut fenomena aliran sirkulasi alamiah. Aplikasi dari sirkulasi alamiah seperti pada teknologi pemanas surya, konversi energi, pembangkit listrik tenaga nuklir dan termal control untuk komponen elektronik. Beberapa penelitian terkait fenomena sirkulasi alamian seperti yang dilakukan oleh Welander [1] telah mempertimbangkan aspek penggerak ( driven) dalam aliran yang timbul karena gaya apung (buoyancy ), perbedaan tekanan dan hambatan oleh gaya gesekan pada pipa. Kasus fluida laminar pada fasa tunggal oleh Dobson [2], menjelaskan skema formulasi yang sederhana yang mampu menangkap perilaku non-liner dan transien pada loop. Instabilitas aliran yang muncul belum dapat dijelaskan. Penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh K.Chen [3] dan P.K. Vijayan [4-5], menjelaskan instabilitas osilasi aliran dan stabilitas yang muncul pada loop yang dilakukan melalui eksperimen dan simulasi komputer, meskipun kondisi batasnya belum didefiniskan secara baik. Kemudian, review terhadap aliran thermosypon pada geometri umum dan aplikasinya telah dilakukan oleh Grief [6], P.K. Vijayan et al. [5], and Zvirin [7], dimana untuk kasus untai rektangular terbuka dan tertutup telah menekankan pada aliran steadi dan aliran transien seperti halnya analisis stabilitas sistem berdasarkan variasi kondisi pemanasan dan pendinginan. Sedangkan, Perbedaan kondisi batas termal, seperti perubahan sudut kemiringan untai telah dipertimbangkan oleh Misale [8] dan konduksi termal pipa juga dipertimbangkan oleh Jiang [9– 12].
2. Metoda Eksperimen Fasilitas Eksperimen Fasilitas eksperimen yang ada di laboratorium teknik dan devais untuk konversi energi ( EDfEC, Engineering and Device for Energy C onversion) di FTUIKA Bogor, telah dikonstruksi pada tahun 2009. Fasilitas eksperimen yang disebut Untai simulasi sirkulasi alamiah (USSA-FT01) dibuat dengan bentuk segi empat, dengan panjang 1,5 meter dan lebar 1,0 meter dibuat menggunakan pipa SS304 dengan diameter 1 inch (2,54 cm). Sisi panjang terdiri dari 3 pipa dan sisi lebar terdiri dari 2 pipa yang ujung-ujung dipasang flange, dengan tujuan agar ukuran untai dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan eksperimen. Gambar 1 menujukkan geometri USSA FT-01
Mulya Juarsa dkk
24
Gambar 1. Geometri tampak atas USSA FT-01
Perubahan sudut kemiringan untai dilakukan dengan merubah kedudukan USSA FT-01 pada suatu penopang persegi empat (berbahan CS), dimana penopang disambungkan dengan engsel. Busur derajat dipasang pada salah satu engsel untuk mengetahui posisi kemiringan untai. Gambar 2 menunjukkan bagian lengkap dari fasilitas eksperimen. Gambar 2 menunjukkan posisi untai berdasarkan kemiringan sudutnya. Ketinggian (H) diperoleh dengan rumus, H
=
(550 mm) × Sinα
Sistem intrumentasi adalah dengan mengendalikan temperatur yang dilakukan PLC yang terkoneksi ke heater melalui SSR (solid state relay), dimana temperatur heater akan disesuikan dengan perubahan temperatur pada cooler . Data pengukuran temperatur menggunakan termokopel tipe K, kemudian data pengukuran direkam melalui sistem akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000 dengan sampling rate 1 data per-detik pada 8 kanal (dalam makalah ini data hanya ditampilkan untuk T h dan T c). Gambar lengkap dari fasilitas eksperimen disajikan pada Gambar 3.
m m 5 0 5
Gambar 2. Fungsi sudut kemiringan untai
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ...
25
Gambar 3. Fasilitas eksperimen USSA FT-01
Prosedur Eksperimen Eksperimen sebelumnya didahului dengan mengisi untai dengan air menggunakan katup inlet, kemudian diberikan tekanan secara hidrostatik hingga mencapai 1 bar lebih (untuk menguji kebocoran). Setelah tidak terjadi kebocoran, eksperimen sudah bisa dilakukan. Setelah air terisi pada untai, setting terhadap system instrumentasi dilakukan. Kemudian posisi untai dirubah berdasarkan sudut kemiringan yang ditentukan, dalam hal ini 30 o, 45o dan 90o. Langkah pertama menghidupkan cooler hingga temperatur minimal tercapai, sekitar -9 oC. Kemudian setelah itu, daya heater dinaikkan secara gradual berdasarkan setting dari PLC melalui SSR. Persentase kenaikan daya adalah sebesar 20% setiap 10 menit. Daya maksimal heater adalah 300 Watt. Saat heater dihidupkan, maka DAS mulai merekam data. Eksperimen dilakukan untuk setiap perubahan sudut untai Perhitungan Hasil pengamatan perbedaan temperatur pada heater dan cooler dikonversikan menjadi densitas air untuk memperoleh perbedaan densitas air pada untai dari sifat fisik air, sehingga dapat digunakan untuk menghitung laju aliran massa air yang terjadi di dalam untai USSA FT-01, menggunakan korelasi (1)[10-11].
& m
2
=
2 gH ( ρ c − ρ h ) ρ R
(1)
Dengan m & (kg/s) adalah laju aliran massa air, H (meter) adalah ketinggian antara heater dan 3 2 cooler , ρ (kg/m ) adalah massa jenis air, g percepatan gravitas (m/s ) dan R adalah resistensi hidrodinamika (m4). Hasil perkalian antara Q (m 3 /s) debit ai r dengan densitas ai r sama a dalah laju aliran massa air, seperti yang diuraikan melalui korelasi (2).
& = Q ρ air = Av ρ m
(2)
Dengan A (m2) luasan hidrodinamika, v (m/s) kecepatan aliran air. Kemudian korelasi (1) disubstitusikan ke dalam korelasi (2), sehingga diperoleh korelasi (3), sebagai berikut;
Mulya Juarsa dkk
26
v2
=
2 gH ( ρ c − ρ h )
(3)
R ρ A2
Bilangan Reynolds yang mempunyai fungsi sebagai bilangan penentu aliran laminer atau aliran turbulen yang timbul pada USSA FT-01 dihitung menggunakan korelasi (2). Korelasi (4) menunjukkan hubungan bilangan Reynolds dengan faktor gesek Fanning. Faktor gesek Darcy Weishbach ( f D) mempunyai besar empat kali faktor gesek Fanning ( f f ), sehingga ( f D) = 4 ( f f ) seperti pada korelasi (5). f f
=
f D
=
16 µ
(4)
D ρ v 64 µ
(5)
D ρ v
Kemudian harga resistensi termohidrolik ditunjukan pada korelasi (6)[12].
R
=
64 µ L + K ρ vD 2
(6)
ρ vA2 D 2
Dengan L (m) panjang total untai, D (m) diameter dalam pipa. Untuk memperoleh kecepatan ratarata yang terjadi di dalam untai adalah dengan mensubstitusikan korelasi (6) ke dalam korelasi (3), dengan menggunakan rumus abc diperoleh korelasi (7), sebagai berikut.
v=
−
64 µ L + (64 µ L) 2
+
8 gHK ρ D 4 ( ρ c − ρ h )
2 K ρ D
(7)
2
Harga untuk massa jenis air diperoleh dari table sifat fisik air berdasarkan perubahan temperaturnya. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran Hasil pengukuran pada dasarnya dilakukan pada 8 titik pengukuran, untuk penelitian ini hanya 2 titik pengukuran temperatur saja yang ditampilkan. Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 menyajikan hasil pengukuran T h dan T c serta selisihnya berdasarkan vairasi sudut kemiringan untai secara berturut-turut dari 30 o, 45o dan 90o. Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
]100 C90 o [ T 80 , l e 70 p o k 60 o 50 m r 40 e T30 r u 20 t a r e 10 p m 0 e T-10
T
α
c
T
o
=30
h
-T c ∆T=T h
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
waktu, t [detik]
Gambar 4. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 30 o
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ...
27
Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
]100 C90 o [ T 80 , l e 70 p o k 60 o 50 m r 40 e T30 r u 20 t a r e 10 p m 0 e T-10
T c
α
T h
o
=45
-T c ∆T=T h
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
waktu, t [detik]
Gambar 5. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 45 o
Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
]100 C90 o [ T 80 , l e 70 p o k 60 o 50 m r 40 e T30 r u 20 t a r e 10 p m 0 e T-10
T c
α
T h
o
=90
-T c ∆T=T h
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
waktu, t [detik]
Gambar 6. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 90 o
Fenomena perubahan temperatur selama 50 menit dapat dijelaskan sebagai berikut, pada Gambar 4 untuk sudut kemiringan 30 o kenaikan temperatur air pada daerah heater terjadi dengan cepat dan cukup tajam, dimulai dari 0 detik hingga sekitar 800 detik temperatur air yang semula 27 oC naik menjadi 47 oC. Kemudian temperatur mulai stabil dari 800 detik hingga 3000 detik, meski pada detik ke 2200, temperatur naik sekitar 8 oC. Kecenderungan kenaikan temperatur air yang tajam pada daerah heater diimbangi dengan pengurangan temperatur air pada cooler, meski terjadi kenaikan kembali mulai detik ke 800. Sedangkan pada posisi 45 o (Gambar 5) profile temperatur seperti pada kasus 30 o tidak terjadi, temperatur air di daerah heater naik secara perlahan. Meskipun o o demikian gradien kenaikannya sekitar 14 C selama 1000 detik. Pada kasus kemiringan untai 90 , temperatur air di daerah heater dari awal naik secara perlahan hingga detik terakhir pada 3000 detik. Kenaikan hanya sekitar 6 oC selama 3000 detik. Perbedaan gradien keanikan temperatur jika disimpulkan mengalami perubahan berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai. Gradien temperatur mengalami penurunan untuk kenaikan besarnya sudut kemiringan untai. Pembahasan Berdasarkan data pengukuran temperatur air pada daerah heater dan cooler sepertti yang dipresentasikan pada Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6. Kemudian harga massa jenis air berdasarkan perubahan temperatur menggunakan tabel sifat fisik air, kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam korelasi (7). Hasil perhitungan berdasarkan korelasi (7) kembali dimasukkan
Mulya Juarsa dkk
28
ke dalam korelasi (2) dengan terlebih dahulu menghitung luas tampang lintang dalam pipa ( A), resistansi hidrodinamika ( R). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 untuk setiap perubahan besar sudut kemiringan.
Kurva laju aliran massa air
0,20 ] s / g0,18 k [
data laju aliran massa air
α
0,16
m ,0,14 r i a0,12 a s s0,10 a 0,08 m n0,06 a r i l0,04 a u0,02 j a L0,00
o
=30
laju aliran massa (rata2) = 0,05656 kg/s
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
waktu, t [detik] Gambar 7. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 0 o
Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 memiliki profile perubahan laju aliran massa air yang sesuai dengan profile perubahan temperatur di daerah heater atau selisih temperatur. Stabilitas laju aliran pada kasus kemiringan 30 o (Gambar 7) mulai terjadi pada detik 750 hingga detik ke 3000. Hal ini sangat sesuai dengan yang terjadi pada perubahan temperatur seperti pada Gambar 4. Demikian kondisi serupa juga terjadi pada Gambar 8 dan Gambar 9 untuk sudut kemiringan untai 45 o dan 90o, bahwa pengaruh satbilitas temperatur pada untai akan berpengaruh pula pada stabilitas laju aliran massa. Keadaan ini telah diprediksikan oleh Misale [10] dan D’Auria [11], bahwa stabilitas temperatur akan berpengaruh pada stabilitas aliran fluida.
Kurva laju aliran massa air
0,20 ] s / g0,18 k [
data laju aliran massa air
α
0,16
m ,0,14 r i a0,12 a s s0,10 a 0,08 m n0,06 a r i l0,04 a u0,02 j a L0,00
o
=45
laju aliran massa (rata2) = 0,04967 kg/s
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
waktu, t [detik] Gambar 8. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 45 o
Mekanisme yang dapat dijelaskan dari kasus ini adalah, untuk sudut kemiringan untai 30 o, efek dari gaya apung dengan ketinggian H=0,275 meter menyebabkan gerakan molekul air untuk segera mengisi kembali bagian yang kurang rapat kurang terbantu oleh efek gaya apung. Kemudian jika dibandingkan dengan sudut kemiringan 45 o dan 90o, efek gaya apung semakin membesar seiring dengan perubahan ketinggian, yaitu berturut-turut menjadi H= 389 meter dan H=0,550 meter. Menjadi jelas bahwa, efek perubahan sudut kemiringan berlaku untuk waktu pencapaian kestabilan selisih temperatur air. Sedangkan besarnya perubahan laju aliran massa air bergantung pada
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ...
29
kestabilan temperatur air. Beda besarnya laju aliran massa air terkait dengan beda temperatur air pada daerah heater dan cooler. Hal tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 10. Gambar 10 menjelaskan perubahan laju aliran massa air akan didominasi oleh besarnya beda temperatur air di daerah heater dan cooler . Selain itu efek gaya apung memberikan kontribusi terhadap mekanisme kestabilan temperatur dan laju aliran massa. Kurva laju aliran massa air
0,20 ] s / g0,18 k [0,16 m ,0,14 r i a0,12 a s s0,10 a 0,08 m n0,06 a r i l a0,04 u0,02 j a L0,00
data laju aliran massa air
α
o
=90
laju aliran massa (rata2) = 0,09804 kg/s
-5 00
0
5 00
1 00 0
1 500
2 0 00
2 5 00
3 0 00
3 50 0
waktu, t [detik] Gambar 9. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 90 o
] s 0,20 / g k 0,18 [ a 0,16 t a r a 0,14 t a r 0,12 r i a 0,10 a s s a 0,08 m n 0,06 a r i l 0,04 a u 0,02 j a L
50
Rata-rata laju aliran massa air
45
∆T rata-rata
40 35 30 25 20 15 10 5
0,00
] C [ a t a r a t a r r u t a r e p m e t a d e B
o
0
0
15
30
45
60
75
90
o
105
1 20
sudut kemiringan untai, α[ ]
Gambar 10. Efek beda tempratur dan laju aliran massa air berdasarjan sudut kemiringan
4. Kesimpulan Hasil studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai, menyimpulkan bahwa:
-
-
Karakteristik laju aliran massa dipengaruhi oleh beda temperatur air di daerah heater dan cooler, serta beda ketinggian antara heater dan cooler. Laju aliran tertinggi adalah 0,098 kg/s untuk H=0,550 m dan beda temperatur rata-rata 38,19 o C untuk sudut 90o. Laju aliran minimal terjadi pada sudut 45 o, dikarenakan beda temperatur rata-ratanya 16,37 oC meskipun memiliki ketinggian H yang lebih besar dibandingkan sudut kemiringan 30o. Keadaan tersebut menyimpulkan bahwa, efek besarnya perbedaan rata-rata temperatur air pada daerah heater dan cooler lebih besar dibandingkan efek gaya apung yang beracuan pada beda ketinggian.
30
Mulya Juarsa dkk
Studi awal ini menunjukkan bahwa perlunya dilakukan eksperimen lanjutan dengan menetapkan beda temperatur air harus sama. Sehingga efek gaya apung terhadap mekanisme pergerakan fluida akan lebih diperjelas dan dianalisis dengan baik. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakutas Teknik UIKA Bogor atas dukungan moril dan menyediakan Lab. EdfEC untuk riset dosen dan mahasiswa. Para sarjana alumni EDfEC maupun yang masih riset TA, kami ucapkan terimakasih atas kerjasama dan kerja kerasnya. Daftar Pustaka 1. P. Welander, Journal of Fluid Mech, 29, Part 1, 17-30 (1967). 2. R.T. Dobson, Transient response of a closed loop thermosyphon , R & D J., 9, 32-38 (1993). 3. K. Chen, On the oscillatory instability of closed-loop thermosypons , Journal of Heat Transfer , 105 (1985). 4. P.K.Vijayan et al., Effect of loop diameter on the stability of single-phase natural circulation in rectangular loop, Proc. 5th Int.Topical Meeting on reactor thermal hydraulics (Salt Lake City), September 21-24. pp 261-267 (1992). 5. P.K.Vijayan et al., Simulation of unstable oscillatory behaviour of single-phase natural circulation with repetitve flow reversals in a rectangular loop using computer code ATHLET , Nuclear Engineering and Desaign, 155, 623-41 (1995). 6. R. Greif, Natural circulation loops, Journal of Heat Transfer, 110, 1243–57 (1988) . 7. Y. Zvirin, A review of N. C. loops in PWR and other systems, Nuclear Engineering and Design, 67, 203–25 (1981). 8. M. Misale et al., Some considerations on the interaction between the fluid and wall tube during experiments in a single-phase natural circulation loops , IASME Transaction Issue 9 , 2, 1717–22 (2005). 9. Y.Y. Jiang, M. Shoji, Flow stability in a natural circulation loop: influence of wall thermal conductivity, Nuclear Engineering Design, 222, 6–28 (2003). 10. M. Misale et al., Experiments in a single-phase natural circulation mini-loop, University of Genoa, Genoa, Italy (2006). 11. F. D’Auria, et al., Insights Into Natural Circulation Stability, Dipartimento Di Ingegneria Meccanica, Nucleare e Della Produzione Universita' di Pisa 56100 Pisa, Italy, IAEA Course on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants, ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June (2007). 12. P.K. Vijayan et al., Experimental observations on the general trends of the steady state and stability behaviour of single-phase natural circulation loops , Nuclear Engineering and Design, 215, 139–52 (2002)
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 31 – 39 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
ESTIMASI DISTRIBUSI TEMPERATUR, ENTALPI DAN TEKANAN DALAM RESERVOIR PANAS BUMI
ALAMTA SINGARIMBUN†, ROBI IRSAMUKHTI KK Fisika Sistim Kompleks, Prodi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung
CYRKE A. BUJUNG Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Manado
diterima 3 November 2010 revisi 9 Februari 2011 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak. Karakteristik reservoir panas bumi ditentukan oleh beberapa sifat fisisnya, antara lain distribusi temperatur, tekanan, dan entalpi. Oleh karena itu pengetahuan akan nilai-nilai parameter tersebut amat penting. Penelitian ini dilakukan untuk memperkirakan nilai-nilai parameter tersebut dengan teknik simulasi. Untuk itu beberapa persamaan matematis dari hukum-hukum kekekalan, termodinamika serta aliran fluida dalam medium berpori dipadukan. Untuk melakukan perhitungan dilakukan model numerik 2D yang dibangun melalui metode diskretisasi beda hingga. Dalam hal ini reservoir diasumsikan terisi oleh air dalam kondisi satu fasa. Fluks energi disuplai secara terus menerus dari ruang magma melalui rekahan pada dasar formasi reservoir. Hasilnya dapat terlihat berupa peningkatan nilai temperatur, entalpi sebagai fungsi waktu pada formasi reservoir. Meningkatnya nilai entalpi dan temperatur memiliki kecenderungan yang sama, akan tetapi peningkatan tersebut tidak linear terhadap kedalaman. Apabila entalpi melebihi nilai entalpi saturasi air, maka fasa fluida dalam reservoir berubah dari fasa cair menjadi sistim dua fasa. Kata kunci : reservoir panas bumi, medium berpori, diskritisasi beda h ingga, fluks energi
Abstract. Characteristics of the geothermal reservoir is determined by several physical properties, among others, is the distribution of temperature, pressure, and enthalpy. Therefore, knowledge of these parameter values is very important. This research was conducted to estimate the value of these parameters with simulation techniques. For that some mathematical equations of conservation laws, thermodynamics and fluid flow in p orous medium combined. To do the calculations performed 2D numerical model developed by discretizing the finite difference method. In this case the reservoir is assumed to be filled by water in a s inglephase conditions. Energy flux is continuously supplied from the magma chamber through the fracture at the base of the reservoir formation. The results can be seen by increasing the value of the temperature, enthalpy as a function of time at the reservoir formation. Increasing the value of enthalpy and temperature have the same trend, but the increase was not linear with depth. If the enthalpy exceeds the value of enthalpy of water saturation, the fluid phase in the reservoir changed from liquid to two-phase system. Keywords : geothermal reservoir, porous medium, finite difference discretization, energy flux
1. Pendahuluan Isu energi merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian yang sangat serius di dunia saat ini. Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas (migas) di seluruh dunia akibat eksploitasi terus menerus, maka dibutuhkan pencarian sumber-sumber energi alternatif baru untuk mengatasi berkurangnya pasokan energi dari migas di masa datang. Dalam hal ini, salah satu
†
email :
[email protected] 31
32
Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung
sumber energi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi krisis migas adalah energi panas bumi. Energi panasbumi merupakan energi panas dari dalam bumi yang dibangkitkan oleh proses magmatisasi lempeng-lempeng tektonik. Besarnya potensi cadangan suatu lapangan panas bumi dapat digambarkan dengan beberapa parameter reservoir seperti temperatur, tekanan, dan entalpi yang merepresentasikan energi termal yang terkandung di dalam fluida reservoir tersebut. Karena itu pengetahuan mengenai distribusi temperatur, tekanan, dan entalpi dari sistem reservoir merupakan hal yang sangat penting. 2. Aliran Fluida dalam Reservoar Panas Bumi Aliran fluida melalui medium berpori dan proses penghantaran panas ( heat transport ) merupakan dasar dari model matematis sistem panas bumi fasa tunggal [1]. Gerakan fluida melewati zona permeabel secara diasumsikan tidak kencang, karena itu berlaku hukum empiris Darcy, yaitu : k
Qm =
(1)
(ρ g∇ D − ∇P )
ν
dimana Qm adalah fluks massa fluida per satuan luas, k adalah permeabilitas, ν merupakan viskositas kinematik, ρ adalah densitas fluida, g adalah percepatan gravitasi, ∇ D adalah gradien kedalaman, dan ∇P adalah gradien tekanan. 2.1. Kekekalan Massa dalam Sistem Reservoir Dalam kesetimbangan fluida dengan aliran transien, perubahan massa terhadap waktu di dalam reservoir haruslah sama dengan selisih fluks massa yang masuk ke dalam reservoir dan fluks massa yang keluar reservoir selama selang waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat dirumuskan sebagai: ∂W ∂t
(2)
= q m − ∇ • Qm
dimana W adalah massa di dalam reservoir per unit volume, t adalah waktu dan qm merupakan fluks massa sumber ( inlet ) per unit volume serta Qm merupakan fluks massa keluar reservoir (outlet ) per unit volume. Persamaan (2) merupakan jenis persamaan difusi dan merupakan persamaan diferensial parsial parabolik. Persamaan ini dapat disusun lagi penulisannya dalam bentuk: ∂W ∂t
(3)
+ ∇ • Qm − q m = 0
Fluida yang dimodelkan di dalam simulasi ini merupakan fluida satu fasa air, sehingga saturasi air dapat diasumsikan sama dengan 1. Jika Φ adalah porositas medium, maka dengan mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (3) diperoleh persamaan (4) [2].
∂ ( ρ Φ ) ∂t
k (∇P − ρ g∇ D − qm ν
+ ∇ •−
=0
(4)
Oberbeck-Boussinesq mengasumsikan bahwa perubahan massa jenis dalam persamaan (4) tersebut dapat diabaikan kecuali untuk suku ρ g∇ D dalam hukum Darcy [3]. Oleh karena itu, jika porositas medium diasumsikan konstan maka persamaan (4) tereduksi menjadi persamaan (5).
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi
k (∇P − ρ g∇ D − qm ν
∇•−
=0
33
(5)
2.2. Kekekalan Energi dalam Sistem Reservoir Reservoir panas bumi mendapatkan energi dari ruang magma melalui proses recharge. Energi di dalam reservoir dapat mengalir keluar reservoir melalui proses discharge. Dalam keadaan setimbang, perubahan energi terhadap waktu di dalam reservoir haruslah sama dengan selisih dari fluks energi yang masuk ke dalam reservoir dan fluks energi yang keluar reservoir selama selang waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat dirumuskan persamaan (6) ∂ E ∂t
= qe − ∇ • Qe
(6)
dimana E adalah energi dalam reservoir, qe adalah fluks energi sumber dan Qe merupakan fluks energi yang keluar dari reservoir. Persamaan (6) dapat disusun menjadi persamaan (7). ∂ E ∂t
+ ∇ • Qe −q e = 0
(7)
Jika ρr adalah densitas batuan dan h r adalah entalpi batuan, maka dengan memasukkan persamaan (2) dan (3) ke dalam persamaan (7), diperoleh persamaan (8) [ 4]. ∂
{Φ ρ h + (1 − Φ ) ρ r hr } + ∇ • (Qm h − K ∇T ) − qe = 0
∂t
(8)
Berdasarkan hubungan termodinamika didefenisikan bahwa T merupakan fungsi dari P dan h sehingga K ∇T dapat diuraikan secara parsial menjadi persamaan (9).
∂T ∂T ∇P + K ∇h ∂P h ∂h P
K ∇T = K
(9)
Jika persamaan (2) disubstitusikan ke dalam persamaan (9) akan didapatkan persamaan (10). ∂
k {Φ ρ h + (1 − Φ) ρ r hr } + ∇ • {− (∇P − ρ g∇ D)h} ν ∂t ∂T ∂T ) h ∇P + K ( ) P ∇h − qe = 0 − ∇ • {K ( ∂P ∂h
(10)
Persamaan (10) dapat disusun penulisannya dalam bentuk persamaan (11). ∂
2 k k {Φ ρ h + (1 − Φ) ρ r hr } − h∇ P + ρ gh∇ 2 D ∂t ν ν ∂T ∂T − K ( ) h ∇ 2 P − K ( ) P ∇ 2 h − qe = 0 ∂P ∂h
(11)
3. Metodologi Persamaan (5) untuk kesetimbangan massa dan persamaan (11) untuk kesetimbangan energi merupakan persamaan utama yang digunakan dalam program simulasi ini. Agar persamaan
Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung
34
tersebut dapat dimasukkan ke dalam proses komputasi, maka dibutuhkan perhitungan numerik dan pemberian syarat awal (initial value problem) serta syarat batas (boundary condition ) terhadap kedua persamaan tersebut. Untuk tujuan tersebut digunakan metode diskretisasi numerik beda hingga selisih pusat ( central finite difference method ). Di dalam simulasi ini, pengaruh gravitasi terhadap laju fluks massa yang dirumuskan di dalam hukum empiris Darcy diabaikan. Akibatnya, persamaan (5) dan persamaan (11) tereduksi menjadi persamaan (12) [5] .
k ∂T ∂T ∂ { h + K ( ) h }∇ 2 P + K ( ) P ∇ 2h = {Φ ρ h + (1 − Φ ) ρ r hr } − qe ν ∂P ∂h ∂t 3.1.
(12)
Skema Numerik Sistem Reservoir
Dengan menggunakan metode beda hingga selisih pusat ( central finite difference method ), persamaan (12) dapat diaproksimasi menjadi persamaan (13) [6].
P1+1,k − 2 Pi ,k + Pi −1,k ∆ x
2
+
P1+1,k − 2 Pi ,k + Pi −1,k ∆ z
2
=0
(13)
Dengan menggunakan diskretisasi beda hingga ( finite difference) dan skema metode numerik FTCS ( forward time centered space), persamaan (13) dapat diaproksimasi dan ditulis dalam bentuk persamaan (14) [3].
hin,k + = hin,k + 1
T h∆t A∆ x +
2
(h
n i +1,k
T h∆t A∆ z
2
n
n
− 2hi ,k + hi−1,k
(h
n i ,k +1
n
) (14) n
)
− 2hi ,k + hi ,k −1 +
∆t
A
n
qe i , j
dimana n merupakan level waktu. 3.2. Geometri, Syarat Batas dan Syarat Awal Reservoir Reservoir pada simulasi ini diasumsikan berada pada keadaan alaminya proses produksi selama simulasi baik berupa pengambilan massa fluida maupun injeksi fluida ke dalam reservoir. Pada keadaan awal, belum ada energi dari dan keluar reservoir, reservoir pada keadaan ini diasumsikan dengan gradien temperatur 0,07 °C/m [7].
tanpa ada perlakuan dari dalam reservoir aliran massa maupun berada pada fasa air
Formasi reservoir terletak pada kedalaman 250 meter di bawah permukaan bumi dengan ketebalan formasi 1,5 km dan lebar formasi secara horizontal juga 1,5 km. Ketebalan 250 m pada bagian paling bawah formasi ditafsirkan sebagai daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma ( magma chamber ) dan ruang tengah vertikal pada reservoir merupakan daerah rekahan ( fractured zone) yang memiliki porositas dan konduktivitas termal paling tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Formasi ini selanjutnya didiskretisasi dengan ukuran grid 5x5 m. Semua dinding reservoir diasumsikan impermeabel baik terhadap fluks massa maupun fl uks energi kecuali sel paling bawah pada ruang magma yang terletak pada daerah rekahan merupakan daerah yang permeabel terhadap fluks energi. Geometri dan kondisi batas dari reservoir selanjutnya diperlihatkan pada Gambar 1.
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi
35
qe =0, Qe =0 qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0 qm=0, Q m=0
qe =0, Qe = 0 qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0 qm=0, Qm=0
qe ? 0, Qe =0 qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0 qm=0, Qm=0
Gambar 1. Geometri dan Kondisi Batas Reservoir
Daerah yang diarsir pada gambar di atas menyatakan daerah rekahan dengan porositas dan konduktivas termal paling tinggi, warna merah-gelap menyatakan daerah yang ditafsirkan sebagai daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma, dan sel dengan warna hitam merupakan daerah yang permeabel terhadap fluks energi tempat masuknya energi dari ruang magma ke dalam reservoir. Formasi yang ditinjau lebih lanjut dalam simulasi ini adalah daerah di atas warna merah-gelap. Daerah warna merah-gelap (daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma) memiliki kontras entalpi dan temperatur yang sangat tinggi dibandingkan dengan daerah di atasnya, sehingga meninjaunya sekaligus dengan daerah di atasnya menyebabkan daerah di atasnya menjadi tidak signifikan. Nilai parameter/variabel fisis yang digunakan dalam simulasi ini dinyatakan dalam Tabel 1. Tabel 1. Nilai Parameter / Variabel Fisis
Parameter/Variabel Fisis Konduktivitas Termal Zona Rekahan Konduktivitas Termal Daerah Sekitar Kapasitas Panas Spesifik Densitas Fluida Densitas Batuan Porositas Zona Rekahan Porositas Daerah Sekitar Fluks Energi Sumber
Nilai 5 1 775 1,000 2,700 17 1,7 100
Satuan Watt/m.K Watt/m.K J/kg.K kg/m3 kg/m3 % % MWatt/kg.m2
Pendekatan hidrostatik digunakan untuk menyatakan syarat awal simulasi distribusi tekanan, dan keadaan awal reservoir dengan gradien temperatur 0,07 °C/m digunakan untuk menyatakan syarat awal entalpi. Distribusi temperatur pada simulasi ini diperoleh secara manual dari steam table [8] JSME berdasarkan kenyataan bahwa secara termodinamika variabel temperatur merupakan fungsi dari tekanan dan entalpi.
Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung
36
4. Hasil dan Analisis 4.1. Distribusi Tekanan Setelah program perhitungan numerik dijalankan, diperoleh hasilnya bahwa distribusi tekanan hanya sedikit bergantung terhadap waktu. Hal ini karena asumsi tidak adanya fluks massa yang masuk dan keluar reservoir. Distribusi tekanan merupakan distribusi tekanan hidrostatis, dengan tekanan terendah terletak pada bagian atas formasi dengan nilai 2,6 MPa sedangkan tekanan tertinggi terletak pada bagian paling bawah formasi dengan nilai 17,251 MPa. Distribusi tekanan ini valid selama fasa fluida yang digambarkan oleh distribusi ini masih dalam fasa air. 4.2. Distribusi Entalpi Keadaaan awal reservoir pada simulasi ini merupakan reservoir fasa tunggal (air). Dengan adanya fluks energi yang masuk ke dalam reservoir secara terus menerus dari ruang magma mengakibatkan keadaan air berubah menjadi uap atau dua fasa uap-air.
Gambar 2. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50
Gambar 3. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi
37
Gambar 4. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-150
Hasil simulasi di atas menunjukkan adanya perambatan energi ke seluruh formasi reservoir akibat adanya fluks energi dari ruang magma yang masuk terus menerus ke dalam reservoir seperti diperlihatkan pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.. Perambatan energi ini mengakibatkan peningkatan energi pada permukaan yang ditunjukkan dengan peningkatan entalpi reservoir di permukaan. Peningkatan energi ini dapat menyebabkan perubahan fasa fluida dari air menjadi uap atau dua fasa uap-air jika peningkatan entalpi telah melewati ambang batas nilai entalpi saturasi air. Akibatnya ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin lama akan semakin menipis seiring dengan peningkatan waktu. Pada tahun ke-1500, ketebalan reservoir fasa air pada daerah rekahan hanya tersisa 5 meter dengan nilai entalpi pada bidang batas dua-fasa sebesar 830 kJ/kg dan besarnya entalpi di permukaan reservoir 540 kJ/kg. Simulasi ini dilakukan sampai dengan tahun ke-1500, di atas 1500 tahun fluida di seluruh ruang tengah reservoir ( fractured zone) telah berubah menjadi uap. 4.3. Distribusi Temperatur Distribusi temperatur untuk keadaan satu fasa ditampilkan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7. Bidang datar x-y dalam gambar tersebut menyatakan bidang vertikal reservoir 2D yang disimulasikan dan 0 pada sumbu thickness of reservoir dimulai dari permukaan reservoir itu sendiri. Terlihat pada hasil simulasi tersebut bahwa distribusi temperatur memiliki kecenderungan yang sama dengan distribusi entalpi. Ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin lama akan semakin menipis seiring dengan peningkatan waktu. Hal ini diikuti dengan peningkatan temperatur yang terus merambat ke permukaan. Akan tetapi, sebagaimana dengan hasil simulasi entalpi, peningkatan ini secara umum tidaklah linear terhadap kedalaman. Linearitas baru diperoleh ketika ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air tersebut semakin menipis.
38
Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung
Gambar 5. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50
Gambar 6. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100
Gambar 7. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-250
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi
39
5. Kesimpulan Hasil simulasi dapat memperlihatkan distribusi beberapa parameter fisis penting dalam reservoir bumi. Distribusi nilai tersebut dapat dilihat perubahannnya sebagai fungsi waktu Besarnya nilai temperatur di permukaan reservoir pada zona rekahan pada tahun ke- 50, 100 dan 250. Hasil ini dapat memberi gambaran untuk memperkirakan kapan suatu reservoir panas bumi dapat secara poternsial untuk dieksploitasi. Hal ini bergantung kepada efek termal dari ruang magma yang telah mulai sampai ke permukaan reservoir yang ditunjukkan dengan kenaikan temperatur di permukaan reservoir. Daftar Pustaka 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
T.N. Narasimhan, and K. Pruess. A Practical Method for Modelling Fluid and Heat Flow in Fractured Porous Media. Lawrence Berkeley Laboratory LBL-13487, University of California, (1982). A. Singarimbun, A Numerical Model of Magmatic Hydrothermal System: “A Case Study of Kuju Volcano, Central Kyushu , Japan. Kyushu: Department of Mining Engineering, Faculty of Mining, Kyushu University (1997). A. Sumardi, Pemodelan Numerik Sistem Hidrotermal Lapangan Panasbumi Kamojang . Bandung: Departemen Fisika FMIPA ITB (2005). G.S. Bodvarsson, and K. Pruess and M.J. Lipmann. Modelling of Geothermal System. California: University of California (1985). P.S. Huyakorn, and G. F. Pinder. Computational Methods in Subsurface Flow . New York: Academic Press, Inc. (1983). A.R., Mitchell, and D.F. Griffiths. The Finite Difference Method in The Partial Differential Equations. John Wiley & Sons Ltd. (1980). J. LeVeque Randall, Finite Difference Methods for Differential Equations. University of Washington. (2006). JSME. JSME Steam Tables. Japan: The Society of Mechanical Engineers (1980).
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 40 – 46 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
KARAKTERISTIK FOTODIODA DAN SEL SURYA HIBRID BERBASIS POLIMER POLIALKILTIOFEN
RAHMAT HIDAYAT†,1, ANNISA APRILIA1,2, PRIASTUTI WULANDARI1, HERMAN1 1) Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik, Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 2)
Program Studi Fisika, Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung – Sumedang km. 21, Sumedang 45363
diterima 3 November 2010 revisi 8 November 2010 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak. Telah dilakukan kajian karakteristik fotoarus dari fotodioda dengan polialkiltiofen, yakni
poliheksiltiofen (P3HT) regio-regular, sebagai bahan aktifnya. Fotodioda tersebut dibuat dalam bentuk struktur lapis tunggal dengan susunan ITO/P3HT/Al. Karakteristik fotoarus yang teramati menunjukkan karakterisitik fotodioda umumnya yang dicirikan oleh kondisi space-charged limited current . Akan tetapi, besar fotoarus tidak tepat bergantung secara kuadratis terhadap tegangan bias, melainkan sedikit bervariasi bergantung pada intensitas cahaya, yang diduga terkait dengan proses generasi dan transpor pembawa muatan dalam bahan ini. Karakteristik fotovoltaik dari polimer ini juga telah dikaji dalam struktur sel surya terbalik (inverted ) dengan konfigurasi ITO/ZnO/P3HT/Ag, dimana lapisan ZnO-nya dibuat dengan metoda sol-gel. Karakteristik fotovoltaik teramati dengan potensial elektroda Ag lebih positif dari elektroda ITO, yang berarti elektron mengalir dari ITO ke Ag di dalam rangkaian beban. Meski rapat fotoarus lebih kecil dibanding dengan sel surya P3HT/fullerene, dari hasil ini dapat diklarifikasi kemungkinan terjadinya proses transfer elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan sebagai lapisan pemblok hole. Kata kunci : sel surya hibrid, polialkiltiofen, polimer terkonjugasi, ZnO, sol-gel, fotodioda, fotovoltaik
Abstract. Photocurrent characteristics of photodiode made from poly(alkylthiophene) as the active material,
namely regio-regular polyhexylthiophene, has been carried out. This photodiode has a single layer structure with ITO/P3HT/Al configuration. The measured photocurrent shows a typical photodiode characteristics which is indicated by space-charged limited current. However, the photocurrent is not exactly depending on the square of bias voltage, but it is slightly influenced by the light intensity which is related with the photogeneration and transport of charge carrier. The photovoltaic characteristics of this polymer has been also investigated in an inverted solar cell structure with ITO/ZnO/P3HT/Ag configuration, where the ZnO layer was prepared by sol-gel method. The photovoltaic characteristics was indicated by the Ag electrode with more positive potential than the ITO electrode, as the result of electron flowing from ITO to Ag inside the load circuit. Although the photocurrent density is smaller compared to the P3HT/fullerene system, the result may confirm electron transfer process from P3HT to ZnO layer, which is also functioning as hole blocking layer. Keywords : hybrid solar cell, poly(alkylthiophene), conjugated polymers, ZnO, sol-gel, photodiode,
photovoltaic
1. Pendahuluan
Berbagai jenis sel surya telah dikembangkan menggunakan bahan anorganik, seperti silikon, CdTe, GaAs, dan kombinasi dari golongan I-III-VI (misalnya, CuInSe). Dalam dua dekade terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan secara intensif untuk mengembangkan sel surya dengan †
email :
[email protected] 40
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen
41
menggunakan bahan organik, yang dapat dikelompokkan menjadi dye synthesized solar cell (DSC) dan conjugated polymer solar cell (CPSC). Tipe DSC umumnya berbentuk sel basah yang memiliki efesiensi konversi energi yang relatif besar tetapi rentan terhadap terjadinya aglomerasi dye dan kebocoran larutan elektrolitnya [1]. CPSC memiliki bentuk padatan ( all solid state devices) sehingga terbebas dari masalah tersebut, namun sayangnya efesiensi konversi sel surya ini masih rendah dibandingkan tipe DSC. Di antara sel surya berbahan organik ini, sel surya yang menggunakan polimer terkonjugasi dan turunan fullerene merupakan salah satu jenis yang paling banyak dipelajari, dengan efesiensi konversi hingga 4.4% telah dilaporkan [2]. Selain kedua tipe sel surya tersebut, akhir-akhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sel surya hibrid dengan struktur persambungan hetero dari bahan polimer terkonjugasi dan semikonduktor oksida logam [3]. Struktur sel surya hibrid organik/anorganik mendapatkan perhatian yang cukup besar akhir-akhir ini dalam upaya meningkatkan kinerja devais berbasis bahan polimer/organik. Dalam struktur semacam tersebut, perbedaan tingkat energi pada persambungan diharapkan akan memfasilitisasi pemisahan eksiton, yang merupakan produk primer serapan cahaya oleh polimer terkonjugasi. Di antara bahan oksida yang sering dipakai, ZnO mendapatkan perhatian yang besar karena lapisan tipis ZnO dapat disintesis dalam suhu rendah dan dengan berbagai metoda penumbuhan, termasuk metoda deposisi kimia dan sol-gel yang relatif sederhana. Semikonduktor oksida ini memiliki energi ikat eksiton sebesar 60 meV pada suhu kamar. Tanpa adanya dopan pada ZnO, material ini merupakan bahan semikonduktor tipe- n. [5] Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil kajian kami tentang fabrikasi sel surya hibrid dengan persambungan hetero ZnO/poli(alkiltiofen) dan karakteristik fotovoltaiknya. Metoda pembuatan lapisan tipis ZnO yang digunakan adalah metoda deposisi kimia dan sol-gel. Metoda ini dipilih karena kemudahan proses pembuatan lapisan tipis, yang memiliki potensi untuk sel berpenampang luas nantinya. Fungsi kerja dari sel surya ini dikaji melalui pengukuran karakteristik fotoarus statik dan transien. Akan juga dicoba dikaji kemungkinan keterkaitannya dengan proses elektronik dan pengaruh dari nano-morfologi lapisan ZnO. 2. Eksperimen
Polialkiltiofen yang digunakan dalam penelitian ini adalah P3HT, yang memiliki gugus samping alkil (R = CnHn+1) dengan panjang n = 6. Lapisan tipis polimer dibuat dengan spin-coating larutan polimer dalam kloroform atau toluene pada substrat gelas atau gelas ITO. Untuk mempelajari karakteristik fotoarus, lapisan tipis polimer di atas gelas ITO kemudian dilapisi dengan logam (Aluminium) melalui metoda deposisi vakum fisis. Karakteristik fotoarus dikaji melalui pengukuran tegangan bias vs. fotoarus (I-V). Untuk membentuk sel surya, lapisan tipis ZnO dibuat lebih dulu di atas gelas ITO dan kemudian dilanjutkan dengan lapisan politiofen serta lapisan logam (Ag). Susunan tersebut membentuk struktur hibrid juga membentuk struktur terbalik ( inverted ), yakni pengkoleksian elektron pada sisi ITO. Lapisan ZnO di sini adalah lapisan ZnO dengan doping Alumunium yang dipreparasi melalui metoda sol-gel. Larutan prekursor dibuat dari Zn asetat dihidrat di dalam pelarut metanol atau metoksietanol dengan tambahan dietilamin atau dietanolamin sebagai stabilisator. Larutan prekursor tersebut kemudian dispin-coating di atas gelas ITO dan dikenai pemanasan bertahap mulai dari suhu 100 oC hingga 500 oC. Pengukuran Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Atomic Force Microscopy (AFM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari lapisan ZnO tersebut. Karakteristik sel surya dikaji melalui pengukuran I-V, dalam keadaan gelap dan di bawah penyinaran cahaya, dan pengukuran spektrum fotoarusnya.
42
Rahmat Hidayat dkk
3. Hasil dan pembahasan 3.1. Karakteristik foto arus
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara tegangan bias vs. fotoarus (I-V) yang diukur dari struktur ITO/regio-regular P3HT/Al di bawah pengaruh bias mundur dan maju. Kebergantungan terhadap intensitas cahaya penyinaran di bawah bias mundur lebih tampak jelas dibandingkan di bawah bias maju. Dalam kondisi gelap, fotoarus tidak teramati karena belum ada pembentukan pembawa muatan di dalam polimer. Dalam keadaan bias maju, arus lebih didominasi dengan arus injeksi sehingga kontribusi dari fotoarus kurang terlihat. Di bawah panjar mundur, arus injeksi sangatlah kecil sehingga kontribusi fotoarus menjadi dominan. Kebergantungan fotoarus terhadap tegangan bias ternyata tidak secara linier, melainkan mengikuti suatu fungsi pangkat berbentuk b I (V ) aV . Inset dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva I-V tersebut dapat difit dengan hubungan tersebut dengan a = 6.6 10-10 A and b = 2.2. Hal ini menunjukkan bahwa fotoarus bergantung hampir secara kuadratis terhadap tegangan bias. =
-6
5x10
Tegangan Bias (V)
-6
4x10
IIllum 120K Lux
)3x10-6 A ( s u2x10-6 r a o t o -6 F1x10
-6
4x10
) A3x10-6 ( s u r a o t -6 o F2x10
-12
fitting
0
0
2 4 6 8 Tegangan Bias (V)
-10
Iluminasi (Lux) 200K 160K 120K 80K 40K 12K dark
10
-8
-6
-4
-2
0 0.0E+0
-5.0E-6
dark
-1.0E-5
)
18V
-6
1x10
(a)
(b)
21V
0
0
2
4
6
8
10
12
F o t o a r u s ( A
-1.5E-5
-2.0E-5
Tegangan Bias (V) Gambar 1. Karakteristik fotoarus diukur dari struktur ITO/P3HT(regio-regular)/Al
pada berbagai intensitas cahaya (a) di bawah tegangan bias mundur dan (b) tegangan bias maju. Inset: Hasil kurva fiting untuk fotoarus diukur pada intensitas cahaya 120 KLux.
Kebergantungan fotoarus secara kuadratis terhadap tegangan bias dapat mengindikasikan bahwa karakteristik fotoarus dibatasi oleh akumulasi pembawa muatan pada bidang batas elektroda. Kondisi semacam ini dikenal sebagai space-charged limited current (SCLC), dimana fotoarus diberikan oleh hubungan: [4] jSCL
=
nq µ E
=
9ε s µ V 2
8d 3
(1)
dengan j adalah rapat fotoarus dan V adalah tegangan bias. Secara umum, efek akumulasi pembawa muatan ini terjadi pada bidang batas metal/semikonduktor yang menghasilkan medan listrik internal yang akan membatasi besar aliran arus di dalam devais tersebut. Akan tetapi, jumlah pembawa muatan di dalam polimer ini, dan juga polimer terkonjugasi secara umum, tidaklah sebesar dalam bahan kristal semikonduktor inorganik (seperti silikon). Selain itu, lapisan polimer dalam struktur fotodioda ini bukanlah dalam keadaan terdoping. Oleh karena itu, karakteristik kurva I-V yang teramati bisa dipengaruhi oleh faktor lain selain efek SCLC.
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen
43
Meskipun sifat kelistrikan dari polimer terkonjugasi ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan mengadopsi konsep pita energi dan pembawa muatan elektron-hole seperti dalam bahan kristal semikonduktor anorganik, terdapat perbedaan yang mendasar pada skala mikroskopik. Produk foto-eksitasi adalah eksiton polaron, yakni pasangan elektron dan hole yang terstabilkan oleh distorsi struktur molekul sehingga memiliki energi ikat yang besar. Eksiton tersebut harus mengalami disosiasi untuk menghasilkan pembawa muatan bebas, yakni polaron negatif dan polaron positif, suatu keadaan yang membawa elektron dan hole tetapi disertai juga dengan distorsi struktur molekul. Oleh karena itu, konsentrasi pembawa muatan ( n) dan mobilitas pembawa muatan ( µ ) di dalam persamaan (1) tidaklah konstan untuk poli mer ini. E (eV) r
Gambar 2. Ilustrasi proses disosiasi eksiton yang dibantu oleh medan listrik.
Model Onsager sering dirujuk untuk mendeskripsikan karakteristik fotogenerasi dalam bahan dengan ke-takteraturan keadaan dan energi ikat eksiton yang besar [5]. Dalam kondisi semacam tersebut, proses disosiasi eksiton memerlukan bantuan medan listrik seperti diilustrasikan dalam Gambar 2. Fotoarus di dalam bahan merupakan produk dari proses pembangkitan pembawa muatan yang bergerak di bawah pengaruh tegangan bias ( V ), yang diberikan oleh hubungan I e g ( E , hν , T ) µ h ( E ) τ V =
d
(2)
dimana E adalah medan listrik lokal, g adalah laju fotogenerasi, µ adalah mobilitas pembawa muatan, τ adalah waktu hidup pembawa muatan dan d adalah ketebalan lapisan polimer. Laju fotogenerasi pada energi eksitasi ( hν) tertentu adalah: α ( hν )
g ( E , T ) η ( E , hν , T ) =
I ph ( x )
hν
(3)
dimana η adalah efesiensi pembentukan eksiton per foton yang diserap, α(hν) adalah absorbansi (yang bergantung pada energi eksitasinya), dan I ph adalah intensitas cahaya pada kedalaman penetrasi ( x) tertentu pada lapisan polimer. Jelas bahwa kebergantungan laju generasi dan mobilitas pembawa muatan pada medan listrik ini dapat turut memberikan pengaruh pada karakteristik I-V seperti yang teramati.
44
Rahmat Hidayat dkk
3.2. Karakteristik sel surya
Gambar 3. Diagram tingkatan energi untuk sel surya Gambar 4. Citra AFM yang menunjukkan morfologi
lapisan ZnO dengan kekasaran < 10 nm.
hibrid.
1.0
2
0.5
2.5
dark (a) irradiated
2.0
m c / ) A 0.0 m ( t n e r r u -0.5 C
-1.0 -0.2
(b)
) %1.5 ( E Q E1.0
0.5
-0.1
0.0 0.1 0.2 Voltage (V)
0.3
0.4
0.0 300
400
500 600 Wavelength (nm)
700
800
Gambar 5 (a) Kurva I-V dalam keadaan gelap dan penyinaran cahaya. (b) Spektrum
fotoarus yang menunjukkan dua daerah sintesasi, yang masing-masing berasal dari ZnO dan P3HT.
Dalam sel surya, foto-arus harus terjadi secara spontan, meski tanpa kehadiran medan listrik atau tegangan bias eksternal. Oleh karena itu, untuk menghasilkan disosiasi eksiton secara spontan, biasanya dibentuk struktur persambungan donor-akseptor (D-A), baik dalam bentuk persambungan bulk-hetero ataupun lapisan hetero. Dalam penelitian ini digunakan persambungan lapisan hetero dengan struktur terbalik ( inverted ) ITO/ZnO/P3HT/Ag. Meskipun ZnO sering dipakai sebagai lapisan transpor elektron, dalam penelitian ini kami menduga bahwa ZnO dapat juga berperan sebagai akseptor. Elektron akan mengalir keluar lewat lapisan ZnO dan kemudian ke ITO, sehingga elektroda ITO akan memiliki tegangan lebih negatif dibanding elektroda emas. Diagram tingkat energi dan ilustrasi aliran pembawa muatan (elektron dan hole) ditunjukkan dalam Gambar 3. Dalam kondisi terbalik seperti ini, sel surya ini beroperasi dengan polarisasi yang berlawanan dibandingkan dengan struktur sel surya polimer konvensional [2–4]. Lapisan ZnO yang dipakai dibuat dengan metoda sol-gel [2]. Hasil pengukuran Energy Disperse Spectrum (EDS) dari lapisan yang telah dibuat menunjukkan kandungan ZnO, yakni 22.3% ZnO dan 77.3% In 2O3 (yang berasal dari substrat gelas ITO yang dipakai). Gambar 4 menunjukkan citra AFM
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen
45
lapisan ZnO yang telah dibuat dengan uniformitas yang baik dan kekasaran permukaan < 10 nm. Dengan mengatur konsentrasi prekursor dan kecepatan putaran spin coater , dapat dibuat lapisan ZnO dengan ketebalan berkisar dari 30-200 nm. Fullerene atau PCBM tidak ditambahkan ke dalam P3HT dalam sel surya ini karena kami ingin mengklarifikasi kemungkinan fungsi ZnO juga sebagai lapisan akseptor dalam kajian ini. Gambar 5(a) menunjukkan kurva I-V dari sel surya hibrid ini. Dalam keadaan gelap, tampak bahwa arus berubah secara linier terhadap perubahan tegangan. Di bawah penyinaran simulator surya AM 1.5, kurva I-V yang terukur jelas-jelas menunjukkan karakteristik fotovoltaik. Elektroda Ag memiliki potensial lebih positif dibandingkan elektroda ITO, yang berarti juga elektron mengalir dari ITO ke Ag. Karakteristik ini jelas menunjukkan fungsi kerja yang terbalik ( inverted ) dari karakterisitik fotodioda jenis ini dengan struktur yang standar. Dalam struktur standar, elektroda ITO bermuatan lebih positif dari elektroda metal, umumnya Al. yang berarti elektron mengalir dari Al ke ITO. Akan tetapi, kurva I-V dalam kedua kondisi tersebut sepertinya menunjukkan karakteristik Ohmic, yakni perubahan arus yang hampir linier terhadap perubahan tegangan. Karakteristik ini sedikit berbeda dengan karakteristik efek fotovoltaik yang umum dengan karakteristik dioda, yang dipengaruhi oleh adanya daerah space-charge yang terbentuk di bidang batas persambungan. Karakteristik ini belum dapat dipahami sepenuhnya saat ini, tetapi diperkirakan terkait dengan karakteristik persambungan ZnO/P3HT yang terbentuk. Spektrum fotoarus dalam Gambar 5(b) menunjukkan sebuah pita dengan puncak di 500 nm dan sebuah pita dengan puncak di 350 nm, yang masing-masing merupakan fotoarus yang berasal dari hasil sentisasi molekul ZnO dan P3HT. Masing-masing pita tersebut memiliki bentuk yang serupa dengan spektrum absorbsinya. 4. Kesimpulan
Telah berhasil dibuat devais fotodioda dan sel surya dengan bahan aktif P3HT. Untuk sel surya, struktur yang dibuat adalah struktur terbalik ( inverted ) dengan lapisan ZnO yang dibuat dengan metoda sol-gel. Karakteristik fotodioda yang teramati mirip dengan karakteristik fotodioda umumnya, yang biasanya dipengaruhi oleh efek SCLC. Akan tetapi, teramati adanya deviasi dari model SCLC bergantung pada intensitas penyinaran cahaya, yang diduga terkait dengan mekanisme generasi dan transpor pembawa muatan dalam P3HT. Efek fotovoltaik juga teramati dalam struktur sel surya terbalik yang telah dibuat. Fotoarus mengalir dari elektroda Ag ke elektroda ITO. Meski fotoarus yang teramati kecil, hasil yang diperoleh dapat mengklarifikasi kemungkinan terjadinya proses transfer elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan sebagai lapisan pemblok hole. Ucapan terima-kasih
Penulis berterimakasih pada program Riset Unggulan Institut Teknologi Bandung. 2009 (Project number: 0098/k01.20/SPK-LPM/I/2009). Penulis juga berterima kasih pada Prof. Masanori Ozaki, Osaka University, yang telah memberikan kesempatan menggunakan beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini. Daftar Pustaka
1. M. Law et al., Nanowire dye-sensitized solar cells , Nat. Mater., 4 (2005) 455; T. Oekermann, et al., J. Phys. Chem. B 108 (2004) 2227–2235. 2. H. Hoppe and N. S. Sariciftci, Polymer Solar Cells , Adv Polym Sci., DOI 10.1007 (2007) 121; C. J. Brabec, Plastic Solar Cells, Adv. Funct. Mater., 11 (2001) 15; G. Li et al., Nat. Mater. 4 (2005) 864. 3. T. Shirakawa et al., J. Phys. D: Appl. Phys., 37 (2004) 847-850; J. Owen et al., Appl. Phys. Lett. 90 (2007) 033512. 4. S. M. Sze, Physics of Semiconductors and Devices , (1981), John Wiley, New York.
46
Rahmat Hidayat dkk
5. S. Barth, D. Hertel, Y.-H. Tak, H. Bassler, and H.H. Horhold, Chem. Phys. Lett. 274 (1997) 165 6. Ü. Özgür et al., J. Appl. Phys., 98 (2005) 041301. 7. Beek et al., Adv. Funct, Mater, 16 (2006) 1112-1116. 8. P. Quist et al., J. Phys. Chem.. B, 110 (2006) 10315-10321. 9. Sekine Nobuyuki et al., Org. Electron. (2009), doi:10.1016/j.orgel.2009.08.01. 10. Annisa Aprilia, Herman, and Rahmat Hidayat, AIP Conference Proceedings Vol. 1284 (2010) 142-147.
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 47 – 57 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
SIMULASI LATTICE BOLTZMANN UNTUK MENENTUKAN KONSENTRASI POLARISASI PADA SOLID OXIDE FUEL CELL
IRWAN ARY DHARMAWAN †, DINI FITRIANI, KUSNAHADI SUSANTO Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang km.21, Jatinangor 45363, Indonesia
WAHYU PERDANA YUDISTIAWAN School of Chemical and Biomedical Bioengineering Nanyang Technological University Nanyang Road, Singapore
diterima 3 November 2010 revisi 24 Februari 2011 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak. Dalam makalah ini telah disimulasikan metoda lattice Boltzmann untuk memprediksi nilai konsentrasi polarisasi pada Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Nilai konsentrasi polarisasi pada SOFC sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri pada anoda berporinya. Metoda Lattice Boltzmann digunakan untuk menghitung konsentrasi H 2 dan H2O untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan Nerst untuk menghasilkan nilai konsentrasi polarisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai konsentrasi polarisasi terendah dimiliki oleh bentuk geometri anoda yang memiliki porositas tinggi. Kata kunci : konsentrasi polarisasi, metode lattice Boltzmann
Abstract. In this paper, we performed lattice Boltzmann method to p redict the polarization concentration of the SOFC. The polarization concentration value is depends on the anode geometry itself. The lattice Boltzmann is used to calculate the concentration of H 2 and H2O, and these value will be consider as the input for the Nerst equation to produce polarization concentration value. Results showed that the lowest concentration polarization is obtained for the higher porosity media. Keywords : concentration polarization, lattice Boltzmann method
1. Pendahuluan Dengan semakin terbatasnya sumber energi dari bahan fosil (bahan bakar minyak atau BBM) dan meningkatnya konsumsi energi dunia, khususnya energi listrik serta dengan semakin tingginya harga minyak dunia saat ini, mendorong pencarian sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui dan sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah sumber energi berbasis hidrogen. Fuel Cell atau sel bahan bakar adalah sebuah divais elektrokimia yang mengubah energi kimia ke energi listrik secara kontinyu. Dari berbagai macam teknologi sel bahan bakar yang ada saat ini, salah satu sel bahan bakar yang sering digunakan pada industri adalah sel bahan bakar oksida padatan atau Solid Oxide Fuell Cell (SOFC), selain mempunyai efisiensi yang lebih tinggi, SOFC tidak memerlukan jaringan pemasok hidrogen yang banyak dibandingkan sel bahan bakar lainnya seperti molten carbonate, polymer electrolyte, phosphoric acid dan alkali [1]. Namun, di pihak lain
†
email :
[email protected] 47
48
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan
SOFC mempunyai kelemahan yaitu temperatur kerja yang cukup tinggi dibandingkan sel bahan bakar lainnya [2]. Pada prinsipnya SOFC terdiri dari dua buah elektroda yang berpori, yaitu katoda dan anoda. Dua buah elektroda karbon yang tercelup dalam larutan elektrolit (dalam hal ini asam) dan dipisahkan dengan sebuah pemisah gas. Bahan bakar, dalam hal ini hidrogen, digelembungkan melewati permukaan satu elektroda melewati elektroda lainnya. Ketika kedua elektroda yang secara listrik dihubungkan dengan beban luar, beberapa hal terjadi yaitu hidrogen menempel pada permukaan + katalitik elektroda, membentuk ion ion hidrogen dan elektron elektron. Ion ion hidrogen (H ) migrasi melewati elektrolit dan pemisah gas ke permukaan katalitik elektroda oksigen. Secara simultan, elektron elektron bergerak melewati lintasan luar pada permukaan katalitik yang sama. Oksigen, ion ion hidrogen dan elektron bersatu pada permukaan elektroda membentuk gas H 2O. Reaksi total yang dihasilkan adalah H 2O dan energi. Kinerja SOFC bergantung kepada fenomena transport fluida dalam anoda dan faktor geometrinya [2–4], selain itu menurut Yakabe, kinerja SOFC sangat bergantung pada faktor konsentrasi polarisasi [5]. Faktor konsentrasi polarisasi menunjukkan kehilangan energi yang berkaitan dengan efek perpindahan massa dalam proses difusi gas pada anoda. Laju difusi ini sangat bergantung pada faktor geometri anoda seperti ukuran pori, porositas dan tortuositas. Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada faktor konsentrasi polarisasi, dimana perhitungannya menggunakan persamaan Nerst dan dalam perhitungannya melibatkan faktor transport dan geometri anoda. Transport gas dalam anoda disimulasikan secara numerik menggunakan metoda Lattice Bol tzmann yang telah dimodifikasi untuk aliran gas multikomponen [6–7]. Dari simulasi ini dihitung nilai konsentrasi gas hidrogen dan air pada elektroda untuk selanjutnya akan digunakan dalam persamaan Nerst. 2. Pemodelan dan Simulasi
2.1. Proses Difusi Proses difusi dalam media berpori memenuhi hukum Stefan Maxwell yaitu :
N
− ∇ X i =
∑ j =1 j ≠ i
X j J i − X i J j cT Dij
(1)
Dengan X i dan J i adalah fraksi mol dan mol fluks dari gas komponen ke i , sedangkan cT adalah total konsentrasi molar dan Dij merupakan koefisien difusi antardua buah komponen. Persamaan di atas merupakan persamaan yang menggambarkan kasus difusi untuk gas multikomponen dalam campuran yang ideal, dengan N menyatakan jumlah komponen gas yang terlibat dalam sistem. Apabila N = 2 , maka persamaan (1) akan berubah menjadi persamaan hukum Fick, yang dinyatakan oleh persamaan (2)
J i = −cT D∇ X i
(2)
Persamaan (2) menyatakan bahwa setiap komponen gas dalam campuran akan terdifusi dari suatu daerah yang konsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah. Proses difusi untuk masing-
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell
49
masing gas terlibat disertakan, karena proses i ni sangat berhubungan erat dengan perhitungan rapat arus pada anoda yang secara l angsung nantinya akan diketahui besarnya konsentrasi polarisasi.
2.2. Metoda Lattice Boltzmann Simulasi numerik dalam penelitian ini bertujuan: (i) memvalidasi model matematik yang dikembangkan sekaligus sebagai kontrol model tersebut, (ii) Untuk memahami proses yang sebenarnya terjadi pada SOFC, (iii) mengetahui pengaruh geometri terhadap faktor-faktor yang menunjang kinerja SOFC, (iv) mengetahui perilaku SOFC beserta kinerjanya apabila komponen gasnya divariasikan. Pada dasarnya metoda LB yang dikembangkan adalah metoda LB yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Joshi [6–7], dimana persamaan umumnya diungkapkan oleh persamaan berikut : i f α i ( x + eα i , t + 1) = f α i ( x, t ) + Ωα ( x, t )
(3)
i
Dengan f α merupakan fungsi distribusi partikel pada posisi x dan waktu t yang didefinisikan sebagai jumlah partikel dari komponen ke i yang bergerak dengan kecepatan α sepanjang arah eα i . Indeks i menyatakan indeks komponen gas yang berada dalam system anoda. Jumlah i komponen pada gas anoda ada sebanyak tiga terdiri dari H 2, O2 dan H20. Ωα adalah operator tumbukan, di mana dalam hal ini menggunakan operator BGK atau Bhatnagar-Gross-Krook. Kisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kisi D2Q9 yang merupakan kisi dua dimensi dengan sembilah arah kecepatan, yang digambarkan pada gambar 1 berikut :
Gambar 1 Gambar sembilan arah kecepatan untuk komponen gas pertama atau yang teringan pada metoda LB D2Q9
Adapun vektor kecepatan untuk masing-masing komponennya adalah :
1
eα =
k BT M 1n
2
, eα =
k BT M 2 n
3
, eα =
k BT M 3n
(4)
50
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan
Dengan k B , T , M dan n menyatakan konstanta Boltzmann, temperatur, berat molekul dan mol secara berturut-turut. Sedangkan untuk operator tumbukannya dinyatakan oleh
1
11
12
13
2
21
22
23
3
31
32
33
Ωα = Ωα + Ωα + Ωα
Ωα = Ωα + Ωα + Ωα
(5)
Ωα = Ωα + Ωα + Ωα
Persamaan (5) menyatakan operator tumbukan untuk masing-masing partikel gas, yang masingmasing sukunya dinyatakan oleh persamaan berikut :
f α i − f α i = − τ i ( ) 1 ρ j f α i eq i ij Ωα = − ij (eα − u) ⋅ (u i − u j ) τ D ρ cs2,i ii Ωα
(6)
(7)
Persamaan (6) menyatakan operator tumbukan antarpartikel sejenis, sedangkan persamaan (7) 2 i (eq ) ij menyatakan operator tumbukan antarpartikel antarkomponen. Sedangkan f α , τ D , ρ , csj dan u menyatakan fungsi kesetimbangan, waktu relaksasi, densitas, kecepatan suara dan kecepatan fluida secara berturut-turut. Fungsi kesetimbangan yang dipilih untuk simulasi multikomponen adalah [7] : i ( eq ) α
f
(0)
eα i ⋅ u (eα i ⋅ u) u ⋅ u = ω α ni 1 + 2 + − cs ,i 2cs4,i 2cs2,i
f α = 1 +
Dengan
(e − u ) ⋅ (u i − u) i ( eq ) f α cs2,i
(8)
i α
ω α adalah vektor bobot statistik, dimana untuk D2Q9 nilainya adalah : 4 ω 1 = 9 1 ω 2 = ω 3 = ω 4 = ω 5 = 9 1 ω 5 = ω 6 = ω 7 = ω 8 = 36
(9)
Waktu relaksasi dalam perasmaan (7) ditentukan oleh besarnya nilai koefisien difusi antarkomponen sebagai berikut
Dij =
ij 1 τ D − n M M 2 i j ρ P
2
(10)
Variabel M i menyatakan berat molekul dari komponen ke i . Sedangkan tekanan ( P ) ditentukan oleh persamaan berikut :
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell
P = ρ 1cs2,1 + ρ 2cs2, 2 + ρ 3cs2,3
51
(11)
Dengan
cs ,1 =
1 3
M 1
1
cs , 2 =
,
3 M 2
cs ,3 =
,
1
M 1
3 M 3
(12)
Persamaan (12) menyatakan kecepatan suara dalam metoda LB untuk setiap komponennya. Dari persamaan (11) dan (12) maka persamaan (11) dapat dinyatakan sebagai
P = M i n / 3
(13)
Dari persamaan (13) terlihat bahwa jika tekanan bernilai tetap maka total konsentasi ( n ) akan bernilai tetap. Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke dalam persamaan (10) dihasilkan persamaan berikut
Dij =
M 1 ρ 2τ Dij − 1 n 6 M M i j
(14)
Dari persamaan (14) dapat dihitung koefisien relaksasi untuk setiap kisinya sebagai berikut
τ Dij =
1 2
+ 3 Dij
M M i j n M 1
ρ
(15)
Untuk menjaga kestabilan numerik maka harus diupayakan agar koefisien relaksasi (15) selalu berharga dalam orde satu [7]. Besaran makro yang diperoleh dari metoda ini diperoleh dengan persamaan (16) dan (17) berikut di bawah ini :
ρ i = M i ni
(17)
3
ρ =
∑ ρ
(18)
i
i =1
Dengan ni menyatakan kerapatan partikel ke i yang dihitung melalui persamaan (4.19) 8
ni =
∑ f
i α
(19)
α = 0
Dan total jumlah densitas diperoleh menggunakan persamaan (20)
n = n1 + n2 + n3
(20)
Untuk komponen ke i , kecepatan ui digunakan untuk menghitung fungsi kesetimbangan dengan menggunakan persamaan (21). Namun demikian kecepatan komponen ui′ digunakan untuk menghitung mol flux yang dievaluasi menggunakan persamaan (22) . Selain itu persamaan (22) digunakan untuk menurunkan syarat batas pada inlet dan outlet. Mol flux dan kecepatan campuran u dihitung menggunakan persamaan (23) dan (24). 8
ni ui =
∑ f e
i i α α
α = 0
(21)
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan
52
4ni ui′ = 4 −
1
1
τ ij
8
∑
−
τ ik α = 0
1 τ ij
f α i eα i +
+
1
8
f ∑
τ ik α = 0
i , eq i α α
e
(22)
J i = ni ui′
(23)
ρ u = ρ 1u1 + ρ 2u2 + ρ 3u3
(24)
Syarat batas Untuk menangani syarat batas untuk konsentrasi dan fluks maka kita perlu memodifikasi kecepatan terlebih dahulu dengan menggunakan
~′ = u′ M i u i i M 1
(25)
1 τ ij
(26)
dan parameter relaksasi
φ =
+
1
τ ik
Dengan kedua persamaan di atas, maka persamaan (22) dapat dinyatakan kembali menggunakan
∑ e f + φ S = ( 4 − φ )∑ e f + φ S
4nu~ y′,i = (4 − φ )
i y
i α
2 ,i
4nu~ x′,i
i x
i α
1,i
(27) (28)
Dengan mendefinisikan variabel dummy eq eq eq eq S 1,i = f 2eq,i + f 6eq ,i + f 9, i − f 4 ,i − f 7 ,i − f 8 ,i
(29)
eq eq eq eq eq S 2 ,i = f 3eq ,i + f 6,i + f 7 ,i − f 5,i − f 8 ,i − f 9 ,i
Persamaan (19) , (27) dan (28) dapat dimodifikasi menjadi
(4 − φ )( f 4i + f 7i + f 8i ) + (4 − φ )( f 1i + f 3i + f 7i + f 4i + f 8i + f 5i ) − φ S 1 ni = [(4 − φ ) − 4u~′ ]
(30)
4nu~ y′,i − φ S 2,i f − f = − f − f + f + f + 4 − φ
(31)
x ,i
i 6
i 9
i 3
i 7
i 8
i 5
4nu~ x′,i − φ S 1,i 2nu x f + f = f + f + − 2 4 − φ 9cs ,i i 6
i 9
i 7
i 8
f 2i = f 4i +
2nu x 9c
2 s ,i
(32)
(33)
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell
53
Persamaan (30) s.d (33) menyatakan fungsi distribusi partikel pada syarat batas inlet yang akan ditentukan, dan secara simultan keempat persamaan tersebut dapat diselesaikan. Hal yang sama pula dapat diterapkan untuk syarat batas di outlet.
2.3. Sistem transport gas Dua buah parameter utama tak berdimensi dalam persamaan transport dalam poros media adalah * porositas φ , yang didefinisikan sebagai fraksi luas anoda yang ditempati oleh pori, dan fluks J . Hubungan kedua parameternya dijelaskan oleh persamaan berikut :
J* =
JL
(34)
cT D31
Dengan J menyatakan mol fluks pada TPB (Triple Phase Boundary), L adalah panjang media, cT total konsentrasi molar dan D31 koefiesien difusi antara H2 dan N2. Secara fisis J * merepresentasikan besarnya transport konveksi dan difusi massa dari gas hidrogen melalui gas * nitrogen. Nilai J berorde sekitar 10 -2, karena transport massa dalam SOFC lebih didominasi oleh proses difusi. Parameter LB dapat dipilih secara sembarang sepanjang bilangan tak berdimensi * yang dipilih ada benar. Sebagai contoh untuk mensimulasikan kasus di mana J = 0.16, parameter LBnya adalah (dalam satuan kisi) L = 150 , J = 0.069 , cT = 600 , D12 = 0.337 , D23 = 0.069 dan D31 = 0.1085 . Fraksi mol yang dipilih adalah H 2 = 0,47, H2O = 0,03 dan N2 * = 0,5 yang terletak pada x = 0 . Nilai J juga dapat direlasikan dengan arus pada sel bahan bakar melalui :
i = 2 F × J
(35)
i menyatakan rapat arus dan F adalah konstanta Faraday. Dalam kasus ini mol fluks akan selalu konstan pada TPB, hal ini menyebabkan rapat aruspun akan konstan pada antarmuka anodaelektrolit. Nilai arus yang tidak berdimensi dinyatakan oleh
i* =
iL
2 FcT D31
=J
*
(36)
Tegangan yang dihasilkan E diperoleh menggunakan tekanan parsial (atau fraksi mol) dari hidrogen sebagai bahan bakar, dan produk antara H 2O dan O 2 pada TPB melalui persamaan Nerst [7] 0,5 RT P H 2 PO2 E = E + ln 2 F P H 2 O 0
(37)
0
Dalam persamaan (37), E adalah tegangan pada tekanan standar dan R adalah konstanta gas. Konsentrasi polarisasi ( ∆V conc ) didefinisikan kehilangan tegangan karena hilangnya konsentrasi bahan bakar hidrogen melalui anoda (media berpori) pada x = 0 menuju x = L .
∆V conc = E g − E TPB
(38)
54
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan
Dalam persamaan (37) nilai E g ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol H 2 dan H2O yaitu 0.47 dan 0.03. Sedangkan nilai E TPB ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol pada TPB menggunakan model LB. 3. Hasil dan diskusi
3.1. Validasi metoda LB Dalam validasi ini kita akan membandingkan antara nilai konsentrasi polarisasi dengan nilai arus yang disimulasikan menggunakan LB. Hasilnya kemudian akan diplotkan dengan penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Chan et.al [4] dan Zhao [8]. Hasil yang diperoleh disajikan pada gambar 2 di bawah ini
Gambar 2 Validasi model LB untuk porositas 0,3
Media yang dipilih adalah media yang mempunyai porositas 0,3. Dari gambar terlihat bahwa metoda prediksi metoda LB cukup sesuai dengan dua metoda lainnya, hal ini mengindikasikan bahwa model LB cukup akurat untuk memodelkan konsentrasi polarisasi dalam SOFC menggunakan model dua dimensi. Perbedaan nilai konsentrasi polarisasi yang terjadi diprediksi terjadi karena perbedaan geometri untuk setiap metoda, sehingga menyebabkan faktor tourtuositas berbeda pula, sedangkan hal ini merupakan faktor yang cukup signifikan dalam kontribusi penghitungan nilai konsentrasi polarisasi. Selain itu, perbedaan inipun terjadi karena dalam model LB digunakan sistem ternary yang artinya komponennya terdiri dari tiga jenis gas, sedangkan model yang lainnya menggunakan sistem binary atau yang terdiri atas dua jenis gas.
3.2. Efek tortuositas pada laju difusi Pada bagian ini akan disajikan kasus aliran fluida pada anoda dua dimensi. Anoda yang dijadikan objek merupakan media berpori hasil rekonstruksi secara acak yang divariasikan menurut porositasnya. Terdapat lima macam geometri anoda pada kasus ini yang diperoleh dengan variasi porositas dari 0,60 s.d 0,85 dengan ukuran geometri sebesar 128 × 128 kisi. Pemilihan porositas
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell
55
bernilai tinggi ini dimaksudkan agar nilai konsentrasi polarisasi yang dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan dengan porositas yang rendah [7]. Besarnya konsentrasi awal dan fluks mol yang digunakan pada bagian ini sama persis dengan yang telah dilakukan pada bagian 3.1. Simulasi dilakukan pada mesin komputer dengan prosesor quad core 2.8 GHz dengan RAM sebesar 8 MB. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak adalah delapan jam untuk setiap simulasinya.
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 3. Profil kecepatan fluida H 20 untuk setiap geometrinya (a) porositas 0,6 (b) porositas 0,7 (c) porositas 0,75 (d) p orositas 0,8 (e) porositas 0,85
Gambar 3 mengilustrasikan laju aliran fluida dihasilkan oleh H 2O, bentuk geometri bola pada media menandakan bentuk penghalang berupa padatan. Pemilihan gas ini semata-mata karena gas tersebut mendapatkan perlakuan mol fluks yang lebih tinggi dibandingkan gas lainnya, sehingga pola fluks yang dihasilkan lebih jelas. Hasil yang diperoleh untuk gas H 2 tidak jauh berbeda dengan hasil pada gambar 3, yang berbeda hanyalah skala nilai yang dihasilkan. Gambar 3 menjelaskan bahwa meskipun fluks yang diberikan untuk anoda media berpori ini sangat rendah, namun dari hasil s imulasi terlihat munculnya vorteks laminar di sekitar penghalang. Hal ini berlaku pula untuk gas H 2. Pola aliran yang ditunjukkan pada gambar 3 menggambarkan bagaimana pengaruh trajektori fluida dalam hal ini tortuositas untuk setiap alirannya. Tortuositas merupakan perbandingan antara trajektori fluida sebenarnya dari inlet menuju outlet dengan panjang geometri sepanjang aliran. Dari gambar 3 terlihat bahwa besarnya luas vorteks laminar
56
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan
yang dihasilkan (warna gelap sekitar penghalang) adalah bernilai kecil seiring dengan besarnya nilai porositas. Pada porositas 0,85 (gambar 3.e) medan fluks yang dihasilkan (warna terang di sekitar pori) lebih besar dibandingkan luas vorteks laminarnya, hal ini berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh porositas terendah yaitu pada gambar 3(a), di mana luas vorteks laminarnya lebih besar daripada medan fluks massanya. Fenomena ini menggambarkan bagaimana pengaruh dari efek tortuositas pada proses difusi gas multikomponen. Secara umum nilai tortuositas tertinggi dihasilkan oleh bentuk geometri dengan porositas yang lebih rendah. Hal ini menandakan bahwa geometri dengan porositas yang rendah akan menghasilkan tingginya resistansi difusi massa karena jejak aliran fluida akan semakin bersifat tortuos. Meskipun tidak dapat dijelaskan dengan gambar, fraksi mol H 2O bervariasi sepanjang arah vertikal dan fra ksi terendah ditemukan pada daerah yang mendekati penghalang.
3.3. Efek porositas dan fluks terhadap konsentrasi polarisasi Ketika fraksi mol H2 dan H2O pada anoda diketahui dengan menggunakan metoda LB, maka konsentrasi polarisasi dapat dihitung menggunakan persamaan (37) untuk mempelajari kinerja dari SOFC. Rendahnya konsentrasi bahan bakar pada anoda dapat mengindikasikan tingginya kehilangan polarisasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kehilangan ini akan terjadi pada media dengan nilai porositas yang rendah dan nilai mol fluks yang tinggi. Konsentrasi polarisasi dihitung dengan memvariasikan nilai porositasnya, grafiknya seperti yang diilustrasikan pada gambar 4 di bawah ini. 0.2
] V [ i s a s i r a l o P i s a r t n e s n o K
0.15
0.1
0.05
0 0
φ =.65 φ =.70 φ =.75 φ =.80 φ =.85 0.05
0.1
0.15
0.2
*
Rapat arus tak berdimensi ( i ) Gambar 4. Konsentrasi Polarisasi pada anoda untuk perbedaan nilai porositas
Dari gambar 4 terlihat bahwa semakin kecil porositasnya maka polarisasinya semakin menaik. * * Seperti yang diharapkan, karena i proporsional dengan J , nilai polarisasi terkecil terjadi pada * nilai i yang rendah. Tren umum untuk kurva polarisasi akan sama untuk setiap nilai porositas anoda yang berbeda, namun semakin kecil porositas maka konsentrasi polarisasi menjadi menaik. Hal ini disebabkan karena reduksi fraksi mol H 2 pada anoda untuk porositas yang rendah.
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell
57
Menaiknya porositas pada anoda mengindikasikan semakin baiknya transport massa dalam bahan bakar dan rendahnya nilai konsentrasi polarisasi. Namun demikian, untuk porositas tinggi akan menyebabkan rendahnya kekuatan mekanik dari media tersebut. Porositas dan struktur geometri yang optimum akan ada apabila kombinasi polarisasi (konsentrasi + aktivasi + ohmic) juga minimum[6]. Khusus untuk konsentrasi aktivasi dan ohmic tidak dibahas dalam penelitian ini. 4. Kesimpulan Metoda Lattice Boltzmann (LB) telah dibangun untuk mensimulasikan transport massa dari H 2 (bahan bakar) dan H2O (produk) dalam kehadiran gas N 2 pada struktur anoda berpori dalam SOFC. Struktur geometri yang kompleks mengindikasikan efek tortuositas pada proses difusi gas sepanjang geometri. Secara numerik efek tortuositas dapat diukur, namun proses difusi satu dimensi belum dapat digunakan untuk mengoptimalisasi proses transfer massa dalam bentuk geometri dua dimensi. Struktur berpori yang digunakan dalam model LB dihasilkan dari pencitraan SEM yang dikonversikan ke dalam bentuk digital. Hasil-hasil distribusi fraksi mol yang diperoleh untuk variasi nilai porositas dan mol fluks. Dengan turunnya nilai porositas, konsentrasi bahan bakar pada anoda secara drastis akan berkurang, hal ini mengindikasikan besarnya nilai konsentrasi polarisasi, dan demikian pula sebaliknya dengan besarnya nilai porositas maka akan turunnya nilai konsentrasi polarisasi yang mengakibatkan meningkatnya kinerja dari sel bahan bakar. Namun di lain pihak, besarnya nilai porositas akan mengurangi nilai kekuatan mekanik dari bahan. Perhitungan konsentrasi polarisasi belum merupakan jaminan dalam meningkatkan kinerja dari sel bahan bakar, perlu adanya perhitungan konsetrasi lain seperti aktivasi dan ohmik untuk memberikan gambaran yang utuh tentang kinerja dari sel bahan bakar. Ucapan Terimakasih Penulis berterimakasih pada DIKTI yang telah membiayai penelitain ini melalui program Hibah Bersaing 2010 No : 005/SP2H/PP/DP2M/III/2010. Daftar Pustaka 1. S.C. Singhal. Science and Techologi of Solid-Oxide Fuel Cells MRS Bull . Vol 25, No.3, 200 p 16-21 2. Eileen J. De Guire, A Solide Oxide Fuell Cell , Journal of Electrochemical Society (128) 6, 2003 3. S.H.Chan, Z.T. Chia, Anode Micro Model of Solid Oxide Fuel Cell, Journal of the Electrochemical Society, 148 (4) 2001. 4. S.H.Chan, K.A.Khor, Z.T.Chia, A complete polarization model of a solid oxide fuel cell and its sensitivity to the change of cell component thickness , Journal of Power Sources (87) 4, 2000. 5. Yakabe, M. Uratani, I. Yasuda, Evaluation and modeling of performance o f anode-supported solid oxide fuel cell , Journal of Power Sources (86) 2000 6. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann modeling of 2D gas transport in a solid oxide fuel cell anode , Journal of Power Sources (164), 2007 7. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann method for continuum, multi-component diffusion in complex 2D geometries , Journal of Applied Physics (40) 2007. 8. Feng Zhao, Anil F. Virkar, Dependence of polarization in anode-supported solid oxide fuel cells on various cell parameters , Journal of Power Sources (141) 5, 2005
Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 58 – 70 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
PENELITIAN BAHAN THERMOELEKTRIK BAGI APLIKASI KONVERSI ENERGI DI MASA MENDATANG (REVIEW ARTICLE)
INGE M. SUTJAHJA † Grup Riset Fisika Magnetik dan Fotonik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 Indonesia
diterima 22 Oktober 2010 revisi 10 Februari 2011 dipublikasikan 28 Februari 2011 Abstrak. Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi listrik, atau sebaliknya yang ramah lingkungan. Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure of merit (FOM) yang didefinisikan sebagai T=(S 2σ / κ) /T, dengan S adalah koefisien Seebeck, σ adalah konduktivitas listrik, κ adalah konduktivitas thermal, dan T adalah temperatur yang dinyatakan dalam Kelvin. Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary semikonduktor. Walaupun demikian, penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang relatif masih rendah. Dalam makalah ini direview hasil penelitian bahan thermoelektrik baru dalam usaha untuk meningkatkan kinerjanya untuk aplikasi. Teknik yang digunakan berupa manipulasi sifat fisis bahan dengan ‘induksi’ elemen tertentu (“ rattler ”), manipulasi struktur kristal dengan struktur nano, dan investigasi bahan oksida bulk baru berbasis logam oksida kobalt. Kata kunci: Bahan thermoelektrik, figure of merit (FOM), thermopower (koefisien Seebeck), resistivitas (konduktivitas) listrik, konduktivitas thermal.
Abstact. The thermoelectric material is a unique material that can convert the heat energy directly into electrical energy, or vise versa, with environmental friendly properties. In general the performance of the thermoelectric material is determined by its figure of merit (FOM) defined by ZT=(S 2σ / κ) /T, where S is the Seebeck coefficient, σ is the electrical conductivity, κ is the thermal conductivity, and T is the operating temperature measured in Kelvin. The conventional thermoelectric device commonly used a lloy bulk binary semiconductor materials. However its application is limited by its relatively low efficiency compared to other energy converter methods. In this article we review several investigations on the ‘new thermoelectric materials’ to increase its performance for application. The techniques consist of doping the semiconductor materials with “rattler”, crystal structure manipulation by using nanostructure, and investigation of new bulk oxide materials mainly based on cobalt oxide system. Keywords: thermoelectric material, figure of merit (FOM), thermopower, electrical resistivity (conductivity), thermal conductivity.
Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi listrik, atau sebaliknya, tanpa menghasilkan gas beracun karbondioksida maupun polutan lain seperti elemen logam berat (ramah lingkungan). Di dalam kehidupan manusia di muka bumi ini energi panas terutama dihasilkan dari cahaya matahari; energi panas yang tidak berguna banyak
†
email :
[email protected] 58
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
59
pula dihasilkan dari limbah industri (pabrik) maupun dari kegiatan antropogenik manusia seperti kendaraan bermotor ( automotive) dan pemakaian AC ( air conditioning). Dengan demikian, dengan menggunakan bahan thermoelektrik ini, energi panas yang jumlahnya berlebih atau tidak berguna dapat dikonversi menjadi energi listrik yang berguna bagi kehidupan manusia, terutama bagi daerah-daerah terpencil atau terisolir dimana distribusi energi listrik masih memerlukan transmisitransmisi energi. Dalam skala aplikasi yang lebih besar, material thermoelektrik ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menggantikan energi dari bahan bakar fosil yang bersifat tak terbarukan, sejajar dengan sumber-sumber energi alternatif yang lain seperti tenaga air, geotermal, energi surya, energi angin, energi berbahan bakar biogas, dan energi nuklir.
σ
S 2
S σ
κ e κ κ l
Gambar 1. Kebergantungan dari parameter-parameter thermoelektrik: konduktivitas listrik ( σ ), thermopower (S), dan konduktivitas thermal ( κ ) pada konsentrasi pembawa muatan bebas ( n). Untuk nilai optimum tertentu, n ≈1025 /m3=1019 /cm3 ,faktor daya S 2σ mencapai nilai maksimum [1].
Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure of merit (FOM) bahan yang bersangkutan, yang didefinisikan sebagai [1,2]
(S σ )T = (S σ )T ZT = 2
κ
2
κ e
+ κ l
(1)
dimana T adalah temperatur mutlak, S adalah thermopower atau koefisien Seebeck, σ (=1/ ρ ) adalah konduktivitas (resistivitas) listrik, dan κ adalah konduktivitas thermal total yang merupakan jumlahan dari kontribusi elektronik ( κ e) dan kontribusi kisi (κ l). Nilai konduktivitas thermal elektronik berhubungan dengan konduktivitas listrik menurut hukum Wiedemann-Franz [1,2], e
≅ L0σ T
(2)
Inge M. Sutjahja
60
dimana L0 = 2,44 x 10-8 V2 /K2 adalah nilai Sommerfeld dari bilangan Lorenz. Seperti diperlihatkan dalam Gambar 1, secara umum nilai-nilai parameter S, σ , dan κ e bergantung pada konsentrasi pembawa muatan (melalui doping) dalam bahan, yaitu untuk bahan umum logam, semikonduktor, dan superkonduktor [1]. Secara khusus, faktor daya, S 2σ , memiliki sebuah nilai maksimum terten19 3 tu untuk nilai konsentrasi pembawa muatan yang optimum sekitar n ≈10 /cm [1]. Dalam hal ini diperlukan nilai yang besar dari mobilitas pembawa muatan untuk mencapai nilai konduktivitas listrik maksimum untuk suatu konsentrasi pembawa muatan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja dari bahan thermoelektrik terutama ditentukan oleh pembawa muatan listrik n (elektron atau lubang) dengan minor kontribusi dari kisi ( lattice). Dapat dilihat pula dari Gambar 1 kebergantungan yang berlawanan dari nilai S dan σ pada n. Secara umum nilai thermopower dari suatu bahan bergantung pada temperatur bahan dan struktur kristalnya. Dapat disebutkan bahwa umumnya logam memiliki nilai S yang relatif kecil berkaitan dengan pita valensi yang terisi setengah penuh. Dalam hal ini, baik elektron (muatan negatif) dan lubang (muatan positif) berkontribusi secara bersamaan pada nilai S dengan tanda yang saling berlawanan, sehingga menghasilkan nilai S total yang relatif kecil. Sebaliknya, bahan semikonduktor dapat didoping oleh elektron atau lubang (melalui doping elemen lain) sehingga dapat menghasilkan nilai S yang lebih besar, dimana tanda dari nilai S yang dihasilkan sesuai dengan mayoritas jenis pembawa muatan. Di sisi lain, bahan superkonduktor memiliki nilai thermopower sama dengan nol berhubungan dengan nilai entropi nol dari pembawa muatan yang dikenal dengan nama pasangan Cooper. Prinsip kerja bahan thermoelektrik adalah berdasarkan efek Peltier (produksi dari gradien temperatur oleh arus listrik), efek Seebeck (konversi langsung gradien temperatur menjadi arus listrik atau daya listrik), dan efek Thomson (pendinginan atau pemanasan dari sebuah konduktor pembawa arus oleh sebuah gradien temperatur) [2,3]. Hal ini memberikan banyak keuntungan dari pemakaian bahan thermoelektrik bagi aplikasi devais semikonduktor dan elektronik lain karena merupakan refrigerator bahan-padat ( solid-state refrigerator ) yaitu tanpa adanya bagian-bagian yang bergerak atau bervibrasi, performa yang baik berhubungan dengan kemampuannya untuk melokalisasi “spot” pendinginan, bersifat ramah lingkungan, dan dapat dengan mudah digunakan dalam teknologi untuk menangkap panas atau untuk konversi energi [3].
(a)
(b)
Gambar 2. Prinsip kerja devais thermoelektrik sebagai: (a) generator daya, dan (b) pompa panas. I adalah arus listrik [2].
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
61
Devais thermoelektrik secara umum terdiri dari dua material thermoelektrik yang berbeda jenis (tipe-n dan tipe-p) yang saling terhubung satu sama lain membentuk sebuah junction [2]. Jelasnya, elemen-elemen tersebut dihubungkan seri secara elektrik dan paralel secara thermal, yang dapat dipakai sebagai devais generator daya dan pompa panas, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2. Dapat disebutkan secara singkat bahwa prinsip kerja generator daya adalah dengan memberikan sebuah gradien thermal sehingga arus listrik akan mengalir dari satu bahan ke bahan yang lain, sedangkan prinsip kerja dari pompa panas adalah melewatkan sebuah arus listrik melalui junction sehingga akan dihasilkan pendinginan pada bahan [2].
Gambar 3. Nilai FOM ZT untuk beberapa bahan thermoelektrik konvensional [3].
Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary semikonduktor yang tersusun dari pasangan elemen material thermoelektrik berbeda (tipe-n dan tipe-p). Selama lebih dari 30 dekade, bahan aloy semikonduktor dengan sistem Bi 2Te3, (Bi1xSbx)2(Te1-xSex)3 , PbTe, dan Si 1-xGex telah dikaji secara intensif untuk menghasilkan nilai ZT yang optimum [1,4]. Variasi nilai ZT terhadap temperatur dari beberapa bahan thermoelektrik konvensional tipe-p dan tipe-n diperlihatkan dalam Gambar 3 [3,5]. Walaupun demikian, penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang relatif masih rendah. Hal ini berkaitan dengan sulitnya memanipulasi ketiga parameter S , σ and κ , untuk mencapai nilai ZT yang besar pada bahan-bahan padatan konvensional. Fakta menunjukkan bahwa modifikasi pada satu parameter tersebut akan mempengaruhi nilai parameter yang lain, sehingga nilai ZT tidak berubah secara signifikan. Dengan demikian, pada daerah temperatur ruang nilai ZT dari bahan thermoelektrik konvensional hanya berkisar pada angka sat u, yang jauh berbeda dengan nilai ZT sekitar 4 yang diperlukan dalam skala aplikasi. Gambar 4 menunjukkan perbandingan nilai performansi atau efisiensi dari bahan thermoelektrik dibandingkan dengan metoda konversi energi yang lain [6]. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai performansi (efisiensi) dari
62
Inge M. Sutjahja
teknologi berbasis bahan thermoelektrik (ZT = 0,5) masih jauh di bawah nilai dari teknologi yang lain yang memiliki nilai ZT yang lebih besar
Gambar 4. Perbandingan dari teknologi bahan thermoelektrik dengan metoda konversi energi yang lain untuk: (a) pendinginan dan (b) generator daya [6]. Performansi (efisiensi) dari teknologi berbasis bahan thermoelektrik ditandai oleh nilai ZT = 0,5 .
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti mancanegara untuk melahirkan bahan-bahan thermoelektrik baru yang dapat menghasilkan nilai ZT yang lebih tinggi bagi keperluan aplikasi. Secara prinsip nilai efisiensi thermoelektrik yang tinggi memerlukan material dengan nilai konduktivitas listrik yang besar (untuk mereduksi efek pemanasan diri atau self-heating berhubungan dengan arus listrik yang melewati devais), koefisien Seebeck yang tinggi (untuk menghasilkan tegangan yang besar di dalam generator daya dan koefisien Peltier yang besar di dalam proses pendinginan), dan konduktivitas thermal yang rendah (untuk menghasilkan beda temperatur yang besar dan dengan demikian nilai tegangan yang besar di dalam generator daya). Dari sisi eksperimen, upaya tersebut berupa manipulasi sifat fisis bahan dengan ‘induksi’ elemen tertentu (“rattler ”) [2,3,7,8] dan investigasi bahan oksida bulk baru (berbasis logam transisi) dengan kadar doping yang dapat divariasi [9,10]. Di sisi lain, manipulasi struktur kristal bahan dengan film tipis atau struktur dimensi rendah (struktur nano) menunjukkan peningkatan nilai ZT thermoelektrik yang cukup signifikan [2,3,6,11,12]. Semikonduktor dengan “ rattler” Bergantung pada bagaimana baiknya sifat konduktivitas listrik dan buruknya sifat konduktivitas thermal dari suatu bahan tertentu, Glen Slack (Rensselaer Polytechnic Institute) mengkarakterisasi material sebagai semikonduktor " holey" atau " unholey". Pengelompokkan ini berdasarkan prinsip bahwa bahan thermoelektrik yang baik harus bersifat seperti sebuah material “ phonon-glass, electron-crystal” (PGEC), atau dengan kata lain bahan thermoelektrik tersebut harus memiliki sifat thermal seperti sebuah glass dan sifat elektronik seperti sebuah kristal [2,3,7]. Konsep Slack dari semikonduktor holey untuk bahan thermoelektrik yang baru berpusat pada minimisasi nilai konduktivitas thermal kisi dengan memasukkan atom-atom lain yang tidak terikat ("rattlers") ke dalam lubang-lubang di dalam struktur bahan. Berkaitan dengan hilangnya keteraturan berjangkauan panjang ( long-range order ), atom-atom rattlers ini akan bergerak bebas
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
63
di dalam lubang dan dengan demikian menghamburkan fonon (kuantisasi vibrasi kisi), yang pada gilirannya akan mereduksi secara efektif dan meminimalkan nilai konduktivitas thermal kisi. Dari investigasi ini dikenal beberapa material baru yang disebut sebagai skutterudites [2,3,7,13,14] dan clathrates [2,3,7].
Transition Metal Atom (Co, Rh, Ir) Metalloids atau Pnicoge Atom (P, As, Sb) Void Space/Filler Ion
Gambar 5. Struktur kristal dari binary skutterudites [14].
Secara umum material skutterudites dengan rumus pokok ReTm 4M12 adalah suatu senyawa kompleks yang terdiri dari elemen tanah jarang (Re), logam tansisi (Tm) dan Pnicogen atau metalloids (M). Nama skutterudites berasal dari nama mineral alami skutterudite atau CoAs 3 yang ditemukan di daerah skutterud, Norwaygia. Dalam hal ini elemen tanah jarang merupakan “rattler ” yang dimasukkan dalam material binary skutterudites yang memiliki rumus kimia TmM 3, yang awalnya memiliki nilai konduktivitas termal dan nilai koefisien Seebeck yang relatif besar. Struktur kristal dari binary skutterudites diperlihatkan dalam Gambar 5. Dari gambar tersebut terlihat bahwa binary skutterudites memiliki dua ruang kosong yang besar dalam tiap unit sel satuan. Pengisian tempat kosong tersebut dengan ion-ion tanah jarang bervalensi +3 dengan ukuran diameter yang relatif kecil dan massa yang relatif besar akan berakibat pada reduksi konduktivitas thermal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ZT.
y t i v i t c u d n o C l a m r e ) h K T e m c c / i t t W a m L (
(a)
Temperature (K) (b)
Gambar 6. Penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material skutterudites: (a) IrSb ReIr4(Ge3Sb9) untuk Re = La, Sm, dan Nd [14].
3
dan Ir0.5Rh0.5Sb3, serta (b)
64
Inge M. Sutjahja
Gambar 6 menunjukkan secara nyata penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material skutterudites Ir0.5Rh0.5Sb3 (dibandingkan dengan IrSb 3), dan ReIr 4(Ge3Sb9) untuk Re = La, Sm, dan Nd [14]. Selanjutnya, peningkatan nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dibandingkan dengan bahan thermoelektrik konvensional dan kebergantungannya terhadap temperatur ditunjukkan dalam Gambar 7 [15]. Kelas lain dari bahan thermoelektrik baru dengan konsep semikonduktor holey yang menjanjikan peningkatan nilai ZT yang cukup signifikan adalah clathrates. Material ini, seperti halnya skutterudites, juga menunjukkan struktur seperti perangkap dan mekanisme “ rattling” untuk menurunkan nilai konduktivitas thermal. Terdapat dua tipe material clathrate, yaitu clathrates tipe I dengan rumus umum X 2Y6E46 (X dan Y masing-masing adalah logam alkali, alkali tanah atau logam tanah jarang yang berlaku sebagai atom “ rattler ”, dan E adalah elemen grup IV) dan clathrates tipe II dengan rumus umum X 8Y16E136 [8].
Gambar 7. Nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dan bahan thermoelektrik konvensional serta kebergantunganya sebagai fungsi dari temperatur [15].
Material clathrates tipe I menunjukkan sifat-sifat fisis menarik yang jarang ditemui dalam bahan padat lain, antara lain nilai konduktivitas thermal yang cukup kecil dan variasinya yang menarik sebagai fungsi dari temperatur. Sebagai contoh, nilai konduktivitas thermal pada temperatur ruang dari semikonduktor Sr 8Ga16Ge30 lebih rendah dari bahan vitreous silica dan sangat dekat dengan amorphous Germanium [16–18]. Di sisi lain, data konduktivitas termal pada temperatur rendah ( T < 1 K) menunjukkan kebergantungan temperatur T 2, sedangkan pada temperatur yang lebih tinggi konduktivitas termal menunjukkan sebuah nilai minimum atau dip yang mengindikasikan suatu proses hamburan resonansi. Studi intensif hasil-hasil eksperimen dan kajian teori menunjukkan korelasi antara sifat-sifat thermal, ultrasound, dan optik dengan struktur kristal bahan, yang merupakan indikasi kuat dari kehadiran hamburan resonansi dari fonon akustik dengan modus “rattle” optik frekuensi rendah, yang pada gilirannya menentukan sifat transport thermal di dalam bahan clathrate. Hasil refinement struktur kristal pada suhu ruang dari data pengukuran hamburan neutron dan difraksi sinar X menunjukkan parameter perpindahan atomik yang besar untuk atomatom di dalam struktur dari clathrate tipe I. Hal ini mengindikasikan disorder terlokalisasi di dalam
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
65
polihedra di sekitar vibrasi termal umum. Material tertentu dari clathrates tipe I seperti Sr8Ga16Ge30 dan Eu8Ga16Ge30 menunjukkan konduktivitas thermal sperti glass dan mobilitas pembawa muatan yang besar, sehingga dapat dipandang sebagai “phonon glass–electron crystal” (PGEC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan penerobosan ( tunneling states) dan keadaan “rattling” pada material clathrate diperlukan untuk menghasilkan nilai konduktivitas thermal yang kecil, yang pada gilirannya dapat meningkatkan nilai ZT. Lebih jauh, bentuk kristal dari material ini menunjukkan sifat-sifat fisis yang lebih kaya, termasuk di dalamnya adalah kelakukan semikonduktif dan superkonduktif, dengan sifat-sifat thermal seperti bahan amorphous. Kebanyakan bahan thermoelektrik konvensional yang telah banyak dikaji sebelumnya merupakan sistem binary intermetalik semikonduktor. Dengan demikian investigasi bahan baru berfokus pada sistem ternary dan quaternary chalcogenides yang mengandung atom berat dengan struktur kompleks isotropik atau berdimensi rendah [6]. Sistem ini merupakan bahan semikonduktor unholey dengan massa efektif pembawa muatan yang besar dan konduktivitas thermal kisi yang kecil. Termasuk contoh dari material chalcogenide ini adalah CsBi 4Te6 (Bi2Te3 yang diisi oleh elemen Cs) [19] dan pentatelluride (HfTe 5 and ZfTe5) [20]. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa nilai ZT dari CsBi4Te6 adalah 40% lebih tinggi dari bahan aloy konvensional [(Bi 1-xSbx)2(Te1xSex)3] pada suhu 225 K, sedangkan nilai faktor daya dari bahan pentatellurides yang didoping dengan Selenium melebihi nilai yang dicapai oleh material Bi 2Te3 pada suhu rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa material semikonduktor unholey ini memiliki potensi sifat elektronik yang baik pada temperatur rendah, yang dapat berperan sebagai bahan thermoelektrik temperatur rendah (T < 220 K). Struktur nano Material struktur nano menjanjikan konversi energi thermoelektrik yang lebih efisien dibandingkan dengan material bulk. Hal ini terutama berkaitan dengan fakta bahwa di dalam struktur nano, berbagai fenomena, sifat, dan fungsi baru yang tidak biasa ( unusual) dapat muncul. Hicks dan Dresselhauss [12] menunjukkan bahwa pada bentuk struktur nano dari material tertentu, efek pembatasan gerak dari pembawa muatan listrik pada skala mikroskopik atau yang dikenal sebagai efek pembatasan kuantum ( quantum confinement ) dapat meningkatkan nilai koefisien Seebeck dan konduktivitas listrik. Efek pembatasan kuantum dapat dicapai, contohnya, melalui reduksi dari dimensi sistem (struktur film tipis atau nanowire). Gambar 8 menunjukkan prediksi nilai ZT dari bahan semikonduktor BiTe, yaitu berbentuk 3D (bulk), 2D (film tipis), dan 1D (nanowire) [6]. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai ZT berkaitan erat dengan peningkatan efek pembatasan kuantum dengan reduksi dimensionalitas efektif sistem.
66
Inge M. Sutjahja
Gambar 8. Prediksi peningkatan nilai ZT dari bahan bismuth telluride dengan struktur nano [6].
Kontribusi utama lain dari peningkatan nilai ZT di dalam bahan struktur nano bersumber dari perubahan sifat-sifat transport thermal pada skala nano. Sebagai contoh, investigasi eksperimental dari sifat transport panas di dalam superlattice menunjukkan bahwa walaupun lapisan-lapisan dalam struktur tersebut merupakan kristal tunggal dengan kualitas baik, nilai konduktivitas thermal efektif yang dihasilkan jauh lebih rendah dari bahan bulk, dan juga lebih kecil dari nilai konduktivitas thermal dari bahan aloy dengan komposisi ekivalen. Hal ini terkait erat dengan peran sangat penting dari hamburan pembawa muatan pada permukaan dan interface [6].
Gambar 9. Nilai ZT dari beberapa bahan thermoelektrik, dengan struktur nano dan bulk [6].
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
(a)
(b)
67
(c)
Gambar 10. Pendekatan baru dari penggunaan struktur nano untuk menghasilkan nilai ZT thermoelektrik yang besar: (a) sistem superlattices Bi2Te3 /Sb2Te3, (b) sistem superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe, dan (c) sistem nanowire Bi, BiSb, dan BiTe [6].
Bukti nyata hasil eksperimen dari peningkatan nilai ZT dari sistem struktur nano dan perbandingannya dengan bahan thermoelektrik bulk diperlihatkan dalam Gambar 9 [21]. Dari gambar tersebut, peningkatan nilai performansi thermoelektrik hingga mencapai nilai ZT ≈ 2,4 pada T ≈ 330 K diperoleh pada superlattices Bi2Te3 /Sb2Te3 dan ZT ≈ 1,3 – 1,6 pada struktur superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe. Struktur dari kedua material tersebut ditunjukkan secara kualitatif dalam Gambar 10. Ekperimen menunjukkan bahwa kontribusi utama pada peningkatan nilai ZT dari material superlattices bersumber dari reduksi konduktivitas thermal kisi daripada peningkatan dari faktor daya. Sebaliknya, peningkatan nilai koefisien Seebeck yang cukup signifikan diamati pada material struktur nanowire (Gambar 10 (c)), antara lain sistem nanowire Bi, BiSb, dan BiTe [6]. Bahan Bulk Baru Dibandingkan dengan bahan thermoelektrik yang lain, bahan oksida bulk menarik dari sisi sifat kimiawinya yang stabil pada temperatur tinggi dan sifatnya yang tidak beracun. Loncatan besar pada investigasi material bulk thermoelektrik dimulai dengan penemuan sistem oksida kobalt berlapis NaxCoO2 dengan nilai S mencapai 100 µV/K pada temperatur ruang [9,10]. Selain bersifat thermoelektrik, bentuk hidrat dari material ini juga bersifat superkonduktif pada suhu rendah [22]. Penemuan ini kemudian berlanjut pada sistem serupa seperti La 1-xSrxCoO3 [23], Ca3Co4O9 [24] dan Bi2Sr2Co2O y [25,26]. Seperti diperlihatkan dalam Gambar 11, selain kesamaan kehadiran lapisan konduktif CoO 2, perbedaan mendasar dari struktur kristal sistem Na xCoO2 dengan sistem oksida kobalt berlapis yang lainnya adalah pada lapisan blok. Pada sistem Na xCoO2, lapisan blok hanya terdiri dari lapisan Na tunggal dimana Na terorder secara struktur, sedangkan lapisan blok pada sistem lain terdiri dari lapisan rock-salt yang tebal dengan tipe NaCl, yang berlaku sebagai lapisan reservoar muatan untuk menjamin stabilisasi struktur secara elektrostatik. Dalam hal ini, variasi doping dapat dilakukan dengan mengubah kation atau komposisi oksigen. Di sisi lain, sistem oksida kobalt selain Na xCoO2 menunjukkan struktur misfit dari kedua lapisan blok (modulasi dalam bidang basal oktahedral), yang merupakan parameter penting dalam peningkatan nilai daya thermopower sistem yang bersangkutan [28].
Inge M. Sutjahja
68
Gambar 11. Struktur kristal material termoelektrik sistem oksida kobalt berlapis: Na xCoO2, Ca2Co2O5, dan Bi2Sr2CoO8 [27].
Di sisi lain, studi intensif menunjukkan bahwa sistem elektron 3d dari ion Co merupakan sistem elektron yang terkorelasi kuat ( strongly correlated electron system ) yang memegang peranan sangat penting bagi peningkatan nilai daya thermopower ( S ) [29]. Hal ini berkaitan dengan degenerasi karakteristik yang diasosiasikan dengan derajat kebebasan spin dan orbital dalam keadaan lokal dari ion-ion Co 3+ dan Co4+. Keadaan lokal tersebut dikarakterisasi oleh konfigurasi elektron 3d dengan derajat degenerasi lipat 5 dalam orbital-orbital 3 t 2g dan 2 eg, yang ditentukan oleh nilai kopling Hund K , nilai splitting medan kristal ∆ (= 10 Dq) antara tingkat energi eg dan t 2g, serta nilai temperatur T . Setiap keadaan yang dikarakterisasi dengan konfigurasi spin dan nilai spin total yang berbeda dapat diklasifikasikan menjadi; 1) konfigurasi spin rendah ( low spin, LS ), 2) spin menengah ( intermediated-spin, IS ), dan 3) spin tinggi ( high spin, HS ), di mana masingmasing keadaan tersebut memiliki derajat degenerasi ( g) yang berbeda sesuai dengan perkalian antara derajat degenerasi orbital g L dan derajat degenerasi spin gS (= 2S + 1). Secara teoritis, Koshibae telah menurunkan nilai ekspektasi thermopower pada daerah temperatur yang cukup tinggi melalui modifikasi rumusan Heikes [29],
S = −
k B e
g 3 x g x 1 − 4
ln
(3)
dimana g3 (g4) adalah derajat degenerasi ion Co dalam keadaan valensi Co 3+ (Co4+), serta x adalah jumlah atau konsentrasi doping. Rumusan i ni telah berhasil memprediksi n ilai thermopower dari material NaxCoO2 sesuai dengan hasil eksperimen, yaitu prediksi keadaan spin rendah (LS) dari ion-ion Co3+ dan Co4+ dalam bahan. Selain itu, rumusan ini juga dapat dipakai untuk memprediksi tanda dan nilai thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi (jika valensi ionik dari logam tersebut dapat memiliki keadaan divalensi seperti ion Co), dan dengan mengatur derajat degenerasi yang bersesuaian. Beberapa contoh diperlihatkan dalam Ta bel 1 berikut, dengan tingkat kesesuaian yang tinggi dengan hasil eksperimen [27].
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang
69
Tabel 1: Nilai ekspektasi thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi [27].
Ion logam transisi 3+
1
4+
g3 g 4 0
Ti (3d ), Ti (3d ) V3+ (3d2), V4+ (3d1) Cr3+ (3d3), Cr4+ (3d2) Mn3+ (3d4), Mn4+ (3d3) Rh3+ (4d6), Rh4+ (4d5)
6/1 9/6 4/9 10 / 4 1/6
− (k B e ) ln( g 3 g 4 ) , µV/K - 154 - 35 70 - 79 154
Ucapan Terimakasih Sebagian hasil penelitian yang disajikan dalam artikel ini didukung oleh Riset Ikatan Alumni ITB tahun anggaran 2010-2011. Daftar Pustaka 1. 2.
3.
4. 5.
6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16. 17.
D.M. Rowe, ed., CRC Handbook of Thermoelectrics (CRC Press, Boca Raton, FL, 1995). Terry M.Tritt and M.A. Subramanian, Guest Editors, Thermoelectric Materials, Phenomena, and Applications: A Bird’s Eye View, MRS BULLETIN VOLUME 31, p. 188-198 MARCH 2006 Jyrki Tervo, Antti Manninen, Risto Ilola & Hannu Hänninen, State-of-the-art of thermoelectric materials processing (Properties and applications) , V JULKAISIJA – UTGIVARE – PUBLISHER, ISBN 978-951-38-7184-0 (URL: http://www.vtt.fi/publications/index.jsp http://www.vtt.fi/publications/index.jsp), ), ISSN 1459-7683, Copyright © VTT 2009. H.J. Goldsmid, Electronic Refrigeration (Pion Limited, London, 1986). Terasaki, I. Introduction to Thermoelectricity (Ch 13). Materials for Energy Conversion Devices, eds. Sorrell, C., Sugihara, S. & Nowotny, J. Woodhead Publishing in Materials, Cambridge, 2005, pp. 339–357. Chen, G. and Shakouri, A. 2002 Heat transfer in nanostructures for solid state energy conversion, J. Heat Transfer , Vol. 124 pp. 242-252. G.A. Slack, in CRC Handbook of Thermoelectrics , ed. by D.M. Rowe (CRC Press, Boca Raton, FL, 1995) pp. 407. Terry M. Tritt, Overview of Various Strategies and Promising New Bulk Materials for Potential Thermoelectric Applications, Mat. Res. Soc. Symp. Proc. Vol. 691 © 2002 Materials Research Society. I. Terasaki and N. Murayama, eds., Oxide Thermoelectrics (Research Signpost, Trivandrum, India, 2002). I. Terasaki, Y. Sasago, and K. Uchinokura, Phys. Rev. B 56, 12685 (1997). Handbook of thermoelectrics (From Macro to Nano), edited by D.M. Rowe, Ph.D, D.Sc., CRC Taylor and Francis, 2006. L.D. Hicks and M.S. Dresselhaus, Phys. Rev.B 47 (1993) pp. 12727. J.-P. Fleurial, T. Caillat and A. Borshchevsky , Skutterudites: An Update , Proceedings of the XVI International Conference on Thermoelectrics, Dresden, Germany, August 26-29, 1997 Gary A. Lamberton, Jr., Terry M. Tritt, R. W. Ertenberg, M. Beekman, George S. Nolas, Overview of the Thermoelectric Properties of Yb-filled CoSb 3 Skutterudites, Power Point Presentation, The University of Mississippi. Terry M. Tritt & Mas Subramanian, MRS Bulletin TE Theme, March 2006 J.L. Cohn, G.S. Nolas, V. Fessatidis, T.H. Metcalf and G.A. Slack, Phys. Rev. Lett. 82, 82, 779 (1999). G.S. Nolas, T.J.R. Weakley and J. L. Cohn, Chem. Mater. 11, 11, 2470 (1999).
70
Inge M. Sutjahja
18. B.C. Sales, B.C. Chakoumakos, R. Jin, J.R. Thompson and D. Mandrus, Phys. Rev. B 63, 63, 245113 (2001). 19. Duck Young Chung, et. al., Sci ence, 287, 287, 1024 (2000). 20. W. M. Yim and F. D. Rosi, Solid-State Electronics, 15, 15, 1121-40, (1972). 21. Chen, G., Dresselhaus, M. S., Dresselhaus, G., Fleurial, J.-P., and Caillat, T., 2003, “Recent Developments in Thermoelectric Materials, “ International Materials Reviews, Vol. 48. 22. K. Takada, H. Sakurai, E. Takayama-Muromachi, F. Izumi, R.A. R.A. Dilanian, T. Sasaki, Nature 422, 422, 53 (2003). 23. K. Berggold, M. Kriener, C. Zobel, A. Reichi, M. Reuther, R. Müller, A. Freimuth, and T. Lorenz, Phys. Rev. B 72, 72, 155116 (2005). 24. A. Maignan, S. Hébert, M. Hervieu, C. Michel, D. Pelloquin, and D. Khomskii, J. phys. : Condens. Matter 15, 15, 2711 (2003). 25. D. Pelloquin, A. Maignan, S. He´bert, C. Martin, M. Hervieu, C. Michel, L. B. Wang, and B. Raveau, Chem. Mater. 14, 14, 3100 (2002). 26. R. Funahashi and M. Shikano, Appl. Ph ys. Lett. 81, 81, 1459 (2002). 27. S. Maekawa, IMR, Tohoku University , Spin, Charge and Orbital and their Excitations in Transition Metal Oxides , Hong Kong, Dec. 18, 2006. 28. H. Leligny, D. Grebille, O. Perez, A.C. Masset, M. Hervieu, and B. Raveau, Acta Crystallographica Section B, B56, B56, 173-182 (1999). 29. W. Koshibae, T. Tsutsui and S. Maekawa, Phys. Rev. B 62, 62, 6869 (2000).
INDEKS PENULIS
Irwan Ary Dharmawan, 47 Iwan Sumirat, 22
A
Alamta Singarimbun, 31 Andika Nurcahyo, 22 Annisa Aprilia, 40 Annisa Aprilia, 7 Arief Goeritno, 22 Asep Suheri, 22 Ayi Bahtiar, 7
Malik Anjelh Baqiya, 1 Mashuri, 1 Mulya Juarsa, 22
K
Kusnahadi Susanto, 47 M
D
P
D Wahyudi, 15 Darminto, 1 Dewanto Saptoadi, 22 Dini Fitriani, 47
Priastuti Wulandari, 40 Rahmat Hidayat, 40 Robi Irsamukhti, 31
F
S
Febie Angelia Perdana, 1 Fitrilawati, 7
T
H
Triwikantoro, 1
R
Sri Wahyu Suciyati, 15
Herman, 40
W
I
Warsito, 15 Wildan Khoiron, 15
Inge M. Sutjahja, 59
INDEKS SUBJEK
Medium berpori, 31, 32 Metode lattice Boltzmann, 47 Molekul aditif, 7, 8, 9, 11, 12, 13
A
Akumulator, 15, 19, 20, 21 B
Bahan thermoelektrik, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 67 Bulk-heterojunction, 7, 8, 14
N
D
O
Nanohidro, 15, 16, 17, 18, 19, 21 Nanopartikel, 1,2, 3, 4, 5
Diskritisasi beda hingga, 31
Optical spacer, 7, 8, 9, 11, 13
E
P
Energi terbarukan, 15
Polialkiltiofen, 40, 41 Polietilen Glikol, 1 Polimer terkonjugasi, 8, 41, 41, 43
F
Figure of merit, 58, 59 Fluks energi, 31, 33, 34, 35, 36, 37 Fotodioda, 40, 42, 45 Fotovoltaik, 40, 41, 45
R
Reservoir panas bumi, 31, 33, 39 Resistivitas listrik, 59
K
S
Koefisien Seebeck, 58, 59, 62, 63, 65, 67 Konduktivitas thermal, 58, 59, 62, 63, 64, 65, 66, 67 Konsentrasi polarisasi, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 56, 47
Sel surya hibrid, 40, 41, 44, 45 Sel-surya polimer, 7, 9, 11 Sirkulasi alamiah, 22, 23 Sol-gel, 9, 40, 41, 44, 45 T
M
Thermopower, 58, 59, 60, 68, 68
Massa, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 36, 48, 53
ZnO, 40, 41, 44, 45
Z
73
Panduan Persiapan Naskah
Panduan Umum. Editor menerima makalah dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Karena itu, teks naskah ditulis dalam bahasa Indonesia (dapat juga dalam bahasa Inggris) menggu nakan piranti lunak pengolah-kata Microsoft Office. Teks dibuat dalam satu kolom, rata kiri, huruf Times New Romance, ukuran 12, spasi Double. Margin kiri, atas, kanan dan bawah masing-masing adalah 4, 2,5, 3 dan 2,5 cm. Tiap halaman dibubuhi nomor halaman dan baris teks dibubuhi nomor guna proses review. Gunakan format yang sesederhana mungkin karena editor akan memformat ulang sesuai dengan format akhir publikasi guna kesergaman format pada Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI).
o
Tataletak Naskah: Naskah terdiri dari Halaman Muka , Teks, Ilustrasi/Gambar/Grafik, Tabel dan Data Tambahan. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut. 1. o
o
o
2. o
Halaman Muka Judul. Harus singkat dan informatif. Hindari singkatan dan rumus pada judul jika memungkinkan Nama penulis dan afiliasi. Nama lengkap seluruh penulis ditulis. Nama institusi, alamat institusi, nama negara jika ada dan alamat email ditulis lengkap setelah baris nama-penulis. Hubungan nama penulis dan afiliasinya ditunjukan dengan angka superskrip. Penulis koresponden. Tunjukan dengan jelas penulis yang menangani korespondensi selama tahap pengirimin, revisi dan publikasi. Di samping a lamat email dan kode pos alamat, tuliskan juga nom or telepon, faksimili (kode negara jika ada). Struktur Teks Naskah Abstrak. Tuliskan abstrak dengan singkat dan faktual. Isi abstrak harus dengan singkat menggambarkan tujuan penelitian, hasil-hasil mendasar dan simpulan penting atas isi makalah. Abstrak seringkali disajikan terpisah dari makalah sehingga harus bersifat berdiri-sendiri. Oleh karena itu, dalam abstrak tidak diperkenankan acuan dan referensi maupun persamaan matematik. Abstrak harus kurang dari 200 kata, tidak boleh mengandung singkatan dan harus disertakan maksimum lima kata kunci yang relevan. Abstrak ( Abstract ) dalam bahasa Inggris juga harus dibuat dan harus dituliskan lima keywords.
Gunakan subseksi (seksi bernomor) untuk penomoran subseksi naskah anda. Subseksi diberi nomor 1.1 (kemudian 1.1.1, 1.1.2, ...), 1.2, dan seterusnya (Abstrak/ abstract tidak termasuk dalam penomoran seksi). Tiap judul subseksi harus ditulis sesingkat mungkin. o Pendahuluan. Tuliskan tujuan beserta latar belakang yang relevan atas pekerjaan penelitian. Bahan dan metoda. Berikan informasi detail yang o memadai untuk pembaca yang tertarik untuk melakukan-ulang penelitian tersebut. Metoda-metoda yang digunakan namun telah dipublikasikan harus diacu dalam naskah. o Eksperimen. Berikan informasi detail yang memadai untuk pembaca yang tertarik untuk melakuk an-ulang penelitian tersebut. Metoda-metoda yang digunakan namun telah dipublikasikan harus diacu dalam naskah.
71
3.
4.
Teori/perhitungan. Bagian teori harus memperluas, bukan mengulang, latar belakang yang telah diungkapkan di bagian Pendahuluan. Sedangkan Perhitungan menyajikan implementasi praktik dari dasar teori tersebut. Jika memungkinkan, bagian ini dapat digabung dengan seksi Hasil dan Diskusi. o Hasil. Hasil penelitian harus dinyatakan dengan jelas dan singkat. Sebaiknya hasil bersifat kuantitatif, numerik dan spesifik. Diskusi. Seksi diskusi sebaiknya membahas o informasi penting yang terkandung dalam hasil dan membahas pentingnya hasil yang telah diperoleh dan disajikan bukan hanya menceritakan (narasi) atas hasil tersebut. Hasil dan diskusi dapat juga digabungkan dalam satu seksi. Hindari acuan dan diskusi yang berlebihan atas literatur yang ditulis di Daftar Pustaka. o Simpulan. Tuliskan simpulan utama atas penelitian tersebut di seksi Simpulan . Seksi Simpulan bersifat berdiri-sendiri tidak terhubung dengan seksi Hasil dan Diskusi. Seksi Simpulan suatu makalah ilmiah tidak boleh sama dengan bagian Abstrak. Simpulan memuat rangkuman hasil umum; penemuan unik dan kuantitatif harus ditekankan di sini dengan implifikasi yang lebih luas daripada Abstrak. Perbandingan dengan hasil-hasil sebelumnya dapat juga dimuat. Lampiran. Jika terdapat lebih dari satu o lampiran maka dapat dituliskan dengan notasi Lampiran A, B, dst. Rumus dan Persamaan dalam bagian Lampiran harus diberi nomor berbeda dengan isi teks, contoh Pers. (A.1), Pers. (A.2), dst; persamaan dalam lampiranselanjutnya diberi nomor Pers. (B.1) dst. Begitu juga dengan nomor tabel dan gambar dalam Lampiran: Tabel A.1; Fig. A.1, dst. Gambar. Ilustrasi/gambar/grafik diletakkan setelah bagian Teks Naskah. Letakkan tiap gambar beserta nomor dan keterangannya pada tiap halaman. Informasi Pelengkap. Data tambahan yang kiranya tidak dapat masuk ke teks namundirasa perlu untuk mendukung hasil dan diskusi dapat dimasukan di bagian Data Pelengkap di halaman terakhir setelah bagian Gambar ..
Panduan Tambahan: Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih dibuat dalam satu seksi sebelum seksi Daftar Pustaka. Jangan menulikan ucapan terima kasih pada halaman muka atau sebagai catatan-kaki. Ucapan terima kasih ditujukan pada individu atau institusi yang memberikan bantuan selama penelitian (mis. membantu dalam penyediaan dana, bantuan eksperimen dan diskusi, dsj) tanpa menuliskan gelar akademik, gelar sosial maupun gelar keagamaan. Satuan Satuan besaran fisis dinyatakan dengan sistem internasional (SI) atau jika dinyatakan dengan satuan lain, sertakan pula kesetaraaannya dalam SI.
Nomenklatur dan Satuannya Nomenklatur dan satuannya menggunakan sistem internasional (SI). Jika menggunakan sistem lain. Tuliskan kesetaraaannya dalam SI.
Tabel Tabel dibubuhi nomor berurut sesuai kemunculannya dalam teks. Catatan kaki tabel diletakkan di bawah tabel dan dituliskan dengan huruf-kecil superskrip.
Persamaan Matematika Rumus matematika ditulis dengan Equation Editor 2.0, Microsft Office. Setiap persamaan yang dirujuk dalam makalah harus menggunakan penomoran dengan menggunakan tanda kurung ”( )”. Penomoran diawali sesuai dengan kemunculannya secara berurut.
Daftar Pustaka Acuan Dalam Teks . Setiap literatur yang diacu di dalam teks harus ada di dalam seksi D aftar Pustaka. Juga sebaliknya, setiap literatur yang ditulis di Daftar Pustaka harus diacu di dalam teks. Format Daftar Pustaka . Daftar literatur di seksi Daftar Pustaka ditulis dengan penomoran angka berurut (1, 2, 3, ... dst) sesuai dengan uru tan kemunculannya di dalam teks. Urutan informasi pada setiap literatur adalah Nama penulis, Judul, Nama Jurnal, Edisi (volume), (Tahun), Halaman. Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut. Data yang tidak dipublikasi tidak boleh dimasukkan dalam daftar pustaka.
Tampilan (Artwork) Penggunaan huruf dan ukuran huruf harus seragam. Teks yang tercantum di dalam grafik harus disimpan dalam bentuk file ”image”. Gunakan jenis huruf Arial, Times New Romance, Courier di dalam ilustrasi/gambar/grafik. Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran cetaknya. Ilustrasi/gambar/grafik dimuat di halaman setelah halaman teks.
1.
Y. Rosandi et.al., Phys. Rev. Lett. 104, 075501 (2010)
2.
Format . Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dalam format grafik file TIFF dengan resolusi 300 dpi. Warna. Jika dimungkinkan untuk tidak menggunakan warna, grafik dapat dibuat dalam warna hitam-putih. Keterangan Gambar (Caption). Bubuhi nomor berurut pada ilustrasi/gambar/grafik. Berikan keterangan ( caption) dan gambaran atas setiap gambar dengan singkat dan informatif. Teks pada Grafik . Ukuran teks pada grafik seperti judul grafik, judul dan nilai pada sumbu-sumbu grafik, legenda, simbol dan keterangan tambahan pada grafik harus dibuat proporsional sehingga dapat terbaca jelas meskipun grafik tersebut diperkecil hingga 50% . Kejelasan tampilan penyajian ilustrasi/gambar/grafik adalah tanggung jawab penulis. Untuk kejelasan informasi pada grafik y ang ingin disampaikan, penulis harus antisipasi dan perhitungkan hal ini.
72
D.A. Nield and A. Bejan, Convection in Porous Media (Springer, New York, 2006)
3.
K. Ernstons, In Groundwater geophysics , ed.
4.
Reinhard Kirsch (Springer, Heidelberg, 2006) P. P. Edwards, in Superconductivity and Applications — Proc. Taiwan Int. Symp. on Superconductivity, ed. P. T. Wu et al. (World Scientific, Singapore, 1989), pp. 29–35.
5.
I. A. Dharmawan, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2006
6.
J.S. Moon, “Lattice Boltzmann method for blood flow”, MEYS preprint, November 2000
7.
J. I. Katz, “The Ptolemaic Gamma-Ray Burst Universe”, astro-ph/9204003