September 24, 2017 | Author: aufal Riswan | Category: N/A
Download Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol. 14 No. 1 November 2013.pdf...
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
3
FASIES KIPAS BAWAH LAUT PADA BATUAN BERUMUR PEREM-TRIAS, DAERAH KEKNENO, CEKUNGAN TIMOR SUB MARINE FAN FACIES OF THE PERMIAN-TRIASSIC ROCKS, KEKNENO AREA, TIMOR BASIN Oleh A.K. Permana* dan A.H. Prastian** *Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Jl. Diponegoro No.57 Bandung **Program Studi Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang (corresponding authors, email:
[email protected])
Abstrak Cekungan Timor termasuk kedalam kategori semi mature yang memiliki potensi hidrokarbon, namun kompleksitas kondisi geologi dan banyaknya konsep yang berbeda-beda merupakan salah satu penyebab stratigrafi di cekungan ini sulit dimengerti. Penelitian stratigrafi rinci untuk mengidentifikasi fasies dan sub fasies lingkungan pada batuan berumur Perem-Trias dilakukan di daerah Kekneno, Nenas, Cekungan Timor untuk memberikan pandangan baru mengenai stratigrafi, sedimentologi dan fasies lingkungan pengendapan pada batuan berumur Perem-Trias di cekungan ini. Hasil analisis litofasies menunjukkan bahwa batuan yang berumur Perem di daerah Kekneno diendapkan pada fasies lereng bagian bawah sampai atas (lower to upper slope facies), sedangkan batuan berumur Trias umumnya diendapkan sebagai fasies sistem kipas luar (outer fan system facies), fasies paparan luar samping lereng atas (outer shelf to upper slope facies), fasies sistem kipas tengah (middle fan system facies), dan fasies sistem kipas dalam (inner fan system facies). Endapan-endapan alur (channel) dan pematang (levee) pada batuan berumur Trias berpotensi menjadi target play hidrokarbon. Kata Kunci: fasies, kipas bawah laut, batuan Perem-Trias, Cekungan Timor
Abstract The Timor Basin is one of the semi-mature basin in the Eastern Indonesia which has a greatest hydrocarbon potential, however the geological conditions are poorly understood due to the complexity of geological condition and overwhelming of many different geological concept. Detailed stratigraphic section were performed to define facies and depositional environment of the Permian-Triassic rocks in the Kekneno area, Nenas, (West) Timor basin. The result of the facies analysis show that Permian rocks were deposited on the middle fan and lower to upper slope facies. The Triassic rocks deposited on the outer fan, outer shelf to upper slope, middle fan and inner fan facies. The sub-marine channel and levee complex in the Triassic rocks would be a good potential as hydrocarbon play target in the (West) Timor Basin. Keywords: facies, sub marine fan, Permian-Triassic rocks, Timor Basin
Pendahuluan Cekungan Timor merupakan salah satu cekungan semi mature, yaitu cekungan yang dianggap belum menghasilkan hidrokarbon di kawasan Indonesia Timur. Kondisi geologi yang sangat kompleks menjadi salah satu penyebab kurang menariknya kegiatan eksplorasi migas di Cekungan Timor. Beberapa peneliti terdahulu telah melakukan penelitian di Cekungan Timor, seperti Sawyer drr. (1993), Sani drr. (1995), dan Charlton (2001). Sawyer drr. (1993) Naskah diterima : Revisi terakhir :
29 Juli 2013 11 November 2013
lebih menintikberatkan penelitiannya pada stratigrafi di Timor barat serta proses-proses sedimentologinya, Sani drr. (1995) dalam penelitiannya lebih memfokuskan pada struktur geologi yang berkembang pada Pulau Timor, dan Charlton (2001) dalam penelitiannya lebih banyak membahas tentang prospek adanya hidrokarbon pada Cekungan Timor. Dari beberapa peneliti tersebut di atas masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai urutan stratigrafi secara rinci dari setiap formasi di Cekungan Timor.
4
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Sawyer drr. (1993) menyebutkan bahwa litostratigrafi di Pulau Timor dibagi menjadi tiga sikuen, yaitu Sikuen Kekneno, Sikuen Kolbano, dan Sikuen Viqueque. Umur dari ketiga sikuen tersebut berkisar dari Perem hingga Pleistosen. Di dalam publikasinya, Sawyer drr. (1993) juga telah merinci susunan formasi dari setiap sekuen tersebut, seperti untuk Sikuen Kekneno yang umurnya Perem Awal hingga Jura disusun oleh Formasi Maubisse, Formasi Atahoc, Formasi Cribas, Formasi Niof, Formasi Aitutu, Formasi Babulu, dan Formasi Wailuli. Karakteristik litologi setiap formasi telah digambarkan secara rinci oleh peneliti terdahulu namun (fasies) lingkungan pengendapan untuk batuan berumur Perem-Trias tersebut belum dilakukan pembagian yang lebih rinci, khususnya untuk batuan Perem-Trias, mereka hanya menyebutkan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga laut dalam, tetapi belum menyebutkan lingkungan pengendapan secara rinci. Masih banyaknya perbedaan pendapat antara beberapa peneliti terdahulu mengenai urutan stratigrafi serta fasies dan lingkungan pengendapan khususnya pada batuan yang berumur Perem-Trias, maka penelitian stratigrafi rinci untuk mengidentifikasi fasies dan sub fasies lingkungan pada batuan beurumur Perem-Trias dilakukan di Daerah Kekneno, Nenas, Cekungan Timor. Penelitian ini memberikan pandangan baru mengenai urutan stratigrafi, sedimentologi dan (fasies) lingkungan pengendapan pada batuan berumur perem-Trias di Cekungan Timor.
pengendapan. Penyelidikan lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data stratigrafi pada setiap singkapan batuan, menyusun stratigrafi rinci pada lintasan Sungai Lafunup dan Sungai Tunsif, serta membuat penampang stratigrafi terukur secara lengkap. Dari penampang stratigrafi lengkap tersebut dapat dilakukan analisis litofasies dan analisis (fasies) lingkungan pengendapan pada setiap lintasan. Geologi Regional Timor Barat Pulau Timor terletak di sepanjang arah barat hingga timur membentuk sabuk kolisi linier yang disebut Busur Banda (Sawyer drr., 1993). Busur Banda berbentuk tapal kuda, yang membentang sekitar 2000 km melalui kepulauan Tanimbar, Kai, Seram dan menghilang di sekitar pulau Buru (Sani drr. 1995). Pembentukan Pulau Timor dipengaruhi oleh adanya Busur Banda yang merupakan zona pertemuan antara 3 lempeng utama (Gambar 1) yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia (Hamilton, 1979). Stratigrafi Regional Menurut Sawyer drr. (1993), secara umum litostratigrafi di Timor dapat dibagi menjadi tiga sikuen yaitu Sikuen Kekneno, Sikuen Kolbano, dan Sikuen Viqueque (Gambar 2). Dalam tulisan ini hanya akan dijabarkan stratigrafi batuan pada Sikuen Kekneno yang berumur Perem-Trias sebagai berikut: Formasi Maubisse
Metodologi Penelitian difokuskan di daerah Kekneno, yaitu di daerah Nenas dan sekitarnya, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian berada sekitar 130 km ke arah timur laut dari Kota Kupang (Gambar 3). Luas wilayah penelitian adalah 125 km2. Untuk mencapai lokasi penelitian dari pusat Kota Kupang menuju ke Kota Soe, dilanjutkan perjalanan dari Kota Soe menuju Desa Nenas menggunakan mobil 4WD selama 2 hari perjalanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua metode, yaitu metode observasi dan metode analisis. Metode observasi terbagi menjadi dua, yaitu observasi pendahuluan dan observasi rinci untuk memperoleh data geologi lapangan. Sedangkan metode analisis mencakup analisis stratigrafi, struktur geologi, dan (fasies) lingkungan
Formasi Maubise berumur antara Perem Awal hingga Perem Akhir, dengan litologi penyusunnya berupa batugamping dan batuan beku ekstrusif yang merupakan batuan tertua di Timor Barat. Batugampingnya berupa biokalkarenit merah-ungu, packstones, dan boundstones yang kaya akan rombakan cangkang koral, crinoids, byrozoids, brachipods, cephalopods dan fusilinids. Sedangkan batuan beku mafik ekstrusif dari Formasi Maubise digambarkan oleh De Roever (1940; dalam Sawyer drr., 1993) sebagai kumpulan batuan volcanicspilitic dengan sisipan tuf. Pada singkapan yang ditemukan memperlihatkan dua unit struktur kekar kolom masif dan struktur bantal (pillow) pada batuan diabas yang sudah hancur dan batuan basalt, dan juga terdapat perselingan batugamping. Tekstur batuan beku basalnya memperlihatkan tekstur afanitik hingga porfiritik.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 1 Kerangka tektonik Indonesia Timur (Sawyer drr., 1993)
Gambar 2 Kolom stratigrafi Timor dan pembagian sikuen (Sawyer drr., 1993)
5
6
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 3 Lokasi penelitian yang meliputi lintasan Sungai Tunsif dan Lapunuf, daerah Nenas dan sekitarnya
Formasi Atahoc Formasi ini berumur Perem Awal berdasarkan umur dari fosil Ammonite. Di Timor Barat, Formasi Atahoc tidak banyak tersingkap, yang muncul hanya di sepanjang Sungai Noil Laka dan di wilayah Nenas pada barisan perbukitan utara. Litologi dominan yang menyusun Formasi Atahoc adalah batupasir halus arkose dengan ciri-ciri sortasi sedang, komposisi mineralnya terdiri atas kuarsa monokristalin, felspar, plagioklas, serta terdapat fragmen filit dan fragmen batuan dari Kompleks Mutis atau Lolotoi. Kontak basal Formasi Atahoc tidak terekam di Timor Barat. Bird & Cook (1991) menggambarkan kontak bagian atas yang terdiri dari basal amigdaloidal antara Formasi Atahoc dan di atasnya Formasi Cribas. & Cook (1991) menggambarkan kontak bagian atas yang terdiri dari basal amigdaloidal antara Formasi Atahoc dan di atasnya (Formasi Cribas). Formasi Cribas Klasifikasi umur Formasi Cribas pada umur Perem Awal telah ditentukan oleh Audley-Charles (1968) di Timor Timur yang kemudian diperluas di Timor Barat oleh Bird & Cook (1991) yang membagi Formasi ini menjadi beberapa fasies batuan yang berurutan secara lateral, dengan batas antar lapisan yang jelas yang terdiri dari batupasir aneka warna, batulanau, serpih hitam, dan batugamping bioklastika. Ketebalannya diperkirakan lebih dari 300 m. Hasil analisis petrografi dari batupasir (Sawyer drr., 1993) mempunyai ciri-ciri ukuran butirnya halus hingga
kasar, feldspathic litharenites, terdiri dari mineral kuarsa polikristalin, plagioklas, fragmen batuan vulkanik, dan bioklastika echinodermata. Batuan sumbernya (provenance) diperkirakan dari batuan beku proksimal . Lingkungan pengendapannya diperkirakan pada shelf dangkal karena diidentifikasi adanya kelompok fosil Atomodesma yang menggambarkan lingkungan air subtropis pada kedalaman 20-50 m. Struktur sedimen yang dijumpai adalah ripple dan sole marks yang menunjukkan bahwa arus turbidit berperan dalam proses pengendapan formasi ini. Formasi Niof Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Tengah yang dicirikan oleh kontak lapisan yang tajam serta menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi yang dominan yang menyusun formasi ini adalah batulempung berlapis tipis, batuserpih warna merah, abu-abu, hitam dan coklat, batupasir greywacke, napal, dan batugamping masif. Dari pengamatan petrografi batupasir dari Formasi Niof, diketahui sortasi buruk, bentuk butir bersudut tanggung (subangular) hingga bersudut (angular), ukuran butir sangat halus hingga medium, feldspathic arcosic hingga lithic arenites. Proses pengendapan formasi ini melalui mekanisme arus turbidit. Lingkungan pengendapan dari formasi ini diperkirakan terdapat pada lingkungan laut dangkal hingga laut dalam. Ketebalan lapisan ini diperkirakan mencapai 400 m. Formasi Aitutu Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Akhir.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Litologi penyusun dari formasi ini adalah batugamping putih-merah muda dengan perselingan batulempung karbonatan berwarna abu-abu hitam. Kadang-kadang dijumpai rijang (chert) yang terendapkan bersama dengan batugamping. Tebal lapisan konsisten yaitu 45-60 cm dengan kontak tajam dan planar. Pada bidang perlapisan dapat ditemukan makrofauna seperti Halobia, Daonella, Monotis, Ammonite, dan fragmen fosil lainnya. Lingkungan pengendapan formasi ini didominasi endapan laut terbuka, yaitu pada sekitar paparan luar hingga lereng (slope). Formasi Babulu Litologi yang menyusun formasi ini terdiri dari perselingan batulanau-batulempung dan batupasir masif. Bidang perlapisan dari batupasir masif mempunyai ketebalan antara 60 cm hingga 3 m. Struktur sedimen yang ditemukan diantaranya adalah perlapisan, struktur biogenik, dan mud cracks. Pada permukaan bidang perlapisan terdiri dari brakiopoda, fragmen tumbuhan, fosil jejak dan Ammonite berukuran kecil. Selain itu juga terdapat perlapisan tipis unit batulempung, batulanau dan batupasir. Pola sedimentasi yang sering muncul adalah mengkasar atau menghalus ke atas, rip-up clast, dan perlapisan, termasuk paralel laminasi, laminasi silang siur, bioturbasi, dan small scale current ripple. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah tepi paparan. Formasi Wailuli Litologi yang menyusun formasi ini adalah batulempung gelap dengan perselingan batugamping organik, kalsilutit, batulanau, dan batupasir. Umur dari formasi ini adalah Jura Awal-Jura Tengah. Lingkungan pengendapan formasi ini berkisar dari paparan dalam-paparan tengah. Hasil Penelitian dan Diskusi Stratigrafi Daerah Nenas dan Sekitarnya Dari hasil pengukuran penampang stratigrafi, pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi beberapa satuan batuan, diantaranya dari yang tua hingga muda adalah satuan batulanau sisipan batupasir halus, satuan perselingan batulanau dengan batugamping kalkarenit, satuan serpih hitam sisipan batupasir halus, satuan batugamping wackstone sisipan batulanau karbonatan, satuan perselingan
7
batupasir dengan batulanau, dan satuan batupasir sisipan batulanau (Permana, 2012). Dari masing-masing satuan batuan tersebut kemudian dilakukan analisis (fasies) lingkungan pengendapannya. Secara umum batuan yang ditemukan pada daerah penelitian diendapkan sebagai endapan kipas bawah laut (submarine fan deposit) hingga sebagai endapan paparan luar (outer shelf deposit). Analisis fasies pada daerah penelitian ini dibagi menurut umur batuan, yaitu analisis fasies pada batuan berumur Perem dan analisis fasies pada batuan Trias. Fasies Batuan Perem Analisis fasies pada batuan Perem berkaitan dengan litologi dari Formasi Atahoc dan Formasi Cribas yang ditemukan di lapangan. Dari hasil pengamatan dilapangan dapat diidentifikasi bahwa batuan yang berumur Perem di daerah Kekneno ini diendapankan sebagai endapan kipas bawah laut (submarine fan), terdiri atas endapan kipas tengah (middle fan) dan endapan kipas bawah sampai lereng atas (lower to upper slope deposit). a. Fasies Middle Fan System Batuan yang terendapkan pada sistim kipas tengah (middle fan system) ini merupakan produk dari arus turbidit dengan tingkat densitas yang tinggi dan rendah. Karakteristik litofasies yang ditemukan di lapangan adalah satuan batulanau sisipan batupasir, perselingan batulanau dengan batupasir halus, dan batupasir masif yang merupakan bagian bawah dari Formasi Atahoc (Gambar 4A). Batulanau berwarna abu-abu cerah, relatif kompak, bersifat non-karbonatan, ketebalan setiap lapisan batulanau bervariasi mulai dari 5-20 cm, dan terdapat nodul batupasir halus. Struktur sedimennya parallel lamination (Gambar 4B), dan semakin ke lapisan yang muda batulanau semakin dominan (Gambar 4A). Batupasir berwarna abu-abu cerah, bersifat non karbonatan, ukuran butir pasir halus sampai sedang, bentuk butir membundar tanggung (subrounded), sortasi baik, dan ketebalan batupasir bervariasi antara 6-70 cm. Struktur sedimen yang dijumpai diantaranya adalah normal gradded bedding, parallel lamination, small scale cross lamination, dan pada batupasir bagian bawah (bottom) semakin ke atas atau ke arah yang muda batupasirnya semakin menebal (thickening upward), sedangkan pada bagian atas batupasirnya semakin ke atas ada yang semakin menipis atau thinning upward (Gambar 4B).
8
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 4(A) Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thickening upward sequence dan normal gradded bedding, (B) Foto lapangan yang menunjukkan thickening upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Suprafan Lobe Deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)
Pada fasies kipas tengah (middle fan facies) ini karakteristik litofasiesnya masih dapat dibedakan lagi menjadi beberapa endapan subfasies, diantaranya adalah endapan suprafan lobe deposit pada bagian bawah (bottom), middle fan channel deposit, dan leveed channel of submarine middle fan. Subfasies Suprafan Lobe Endapan pada suprafan lobe merupakan endapan turbidit klasik (classical turbidite), yaitu satuan batulanau sisipan batupasir. Karakteristik khusus
sebagai penciri endapan suprafan lobe adalah pada lapisan batupasir yang semakin ke arah atas semakin menebal lapisannya atau thickening upward. Menurut Walker dan James (1992), endapan yang mempunyai karakteristik thickening upward dapat dibandingkan dengan progradasi Lobe pada delta, dan oleh karena itu sama halnya dengan endapan turbidit klasik (classical turbidite) pada kipas bawah laut (submarine fan) dengan karakteristik thickening upward terbentuk selama progradasi dari submarine fan lobe seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4C
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
untuk model menurut Walker dan James (1992). Proses progradasi pada submarine lobe ini terjadi ketika influk material sedimen yang berukuran pasir yang berasal dari paparan (shelf) lebih banyak sehingga endapan sedimen pada submarine lobe akan semakin maju ke arah kipas luar (outer fan) dan distal. Endapan yang ditemukan pada daerah penelitian ini termasuk dalam fasies kipas luar (outer fan), tetapi tidak terlalu jauh dari batas luar fasies kipas tengah (middle fan). Hal ini dilihat dari lapisan batupasir yang tidak terlalu sedikit dan semakin ke arah lapisan muda semakin tebal (thickening upward) seperti pada Gambar 4A. Subfasies Middle Fan Channel Endapan subfasies middle fan channel dicirikan oleh karakteristik litofasies dimana terdapat struktur thinning upward pada lapisan batupasir (Gambar 5). Singkapan pada daerah penelitian terdapat satuan perselingan batulanau dengan batupasir halus, dimana lapisan batupasirnya semakin menipis ke arah muda (thinning upward) dan juga ukuran butirnya semakin menghalus ke atas (Gambar 5A). Karakteristik itulah penciri endapan middle fan channel. Pada endapan middle fan channel ini terdiri dari endapan alur (channel) pada kipas tengah (middle fan) dan endapan leveed channel pada kipas tengah atau middle fan (Gambar 5C). Endapan channel berupa lapisan batupasir masif dan semakin ke arah muda, lapisan batupasir tersebut semakin menipis ke atas (thinning upward) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5B. Endapan channel pada fasies middle fan channel ini merupakan endapan alur (channel) dangkal pada endapan kipas tengah (middle fan deposit). Sedangkan endapan leveed channel pada kipas bawah laut dicirikan oleh endapan turbidit klasik berupa batulanau sisipan batupasir. b. Fasies Lower to Upper Slope Dari data lapangan, diperoleh data litologi yang terdiri dari satuan perselingan batulanau dengan batugamping kalkarenit dan satuan perselingan batulanau dengan batupasir di bagian bawah. Batulanau berwarna abu-abu cerah sampai abu-abu gelap, secara umum batulanau semakin menebal ke arah atas perlapisan, sedangkan batugampingnya berwarna abu-abu cerah, ukuran butir pasir halus, sortasi baik, bentuk butir membundar (rounded). Struktur sedimen yang ditemukan pada batupasir adalah parallel lamination, small scale cross bedding dan juga terdapat fosil jejak (Gambar 6B).
9
Batugamping kalkarenit berwarna abu-abu terang, ukuran butir pasir halus, sortasi baik, dan bentuk butir membundar tanggung (subrounded). Struktur sedimen yang ditemukan adalah laminasi. Batugamping ini terdapat komposisi makrofosil berupa fosil Atomodesma, Ammonite, Coral dan Crinoid (Gambar 6A). Kemunculan makrofosil tersebut terutama fosil Atomodesma pada lapisan batugamping kalkarenit, jika disebandingkan dengan peneliti sebelumnya, batuan tersebut termasuk dalam anggota Formasi Cribas. Hasil analisis karakteristik litofasies dari singkapan batuan di lapangan dan kolom stratigrafi terukur (Gambar 6A), lapisan batugampingnya semakin menipis ke arah muda (thinning upward) dan juga semakin menghalus (fining upward). Pada lapisan batugamping kalkarenit terdapat komposisi makrofosil berupa fosil Atomodesma, Ammonite, coral dan crinoid. Fosil-fosil tersebut hanya dapat hidup di lingkungan laut dangkal (shelf). Diinterpretasikan bahwa fosil tersebut tertransport melalui submarine canyon dan kemudian terendapkan pada lingkungan yang tidak jauh dari fasies paparan luar (outer shelf), yaitu tepatnya diendapkan sebagai fasies lereng bagian bawah hingga atas (lower to upper Slope), Gambar 6C. Fasies Batuan Trias Batuan yang berumur Trias pada daerah penelitian terdiri dari Formasi Niof, Formasi Babulu dan Formasi Aitutu. Berdasarkan hasil analisis fasies pada batuan Trias dari data lapangan, dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut terendapkan pada beberapa sistem fasies, diantaranya adalah fasies kipas luar (outer fan system), paparan luar sampai lereng atas (outer shelf to upper slope), kipas tengah (middle fan system) dan kipas dalam (inner fan system). a. Fasies Outer Fan Batuan yang terendapkan pada fasies kipas luar (outer fan) ini merupakan produk dari arus turbidit. Karakteristik litofasies pada fasies ini adalah didominasi oleh endapan turbidit klasik yaitu satuan serpih sisipan batupasir halus dari Formasi Niof. Serpih berwarna abu-abu kehitaman, pada bagian bawah shally (menyerpih) dikarenakan adanya struktur dan semakin ke atas semakin masif, terdapat banyak konkresi atau nodul batupasir sangat halus, bersifat non-karbonatan, dan ketebalan setiap lapisan serpih bervariasi antara 15-110 cm dengan karakteristik lapisannya buruk antara beberapa milimeter sampai
10
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 5 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thinning upward sequence dan fining upward, (B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi, pola thinning upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies middle fan channel deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)
beberapa desimeter (Gambar 7A dan B). Semakin ke arah lapisan yang muda, batulanau semakin menebal. Batupasirnya berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir halus, sortasi buruk, bentuk butir membundar tanggung, bersifat non-karbonatan, ketebalan lapisan antara 5-10 cm. Struktur sedimen yang ditemukan adalah paralel laminasi, perlapisan, slump, dan batas erosional pada beberapa lapisan sisipan batupasir halus (Gambar 7B). Pada sistem fasies ini terdiri dari endapan-endapan
fan fringe pada endapan fasies kipas luar dan endapan pelagic mud. Keduanya saling berhubungan dan terbentuk pada lingkungan pengendapan yang tidak jauh. Fasies fan fringe ini merupakan fasies lingkungan pengendapan pada pinggir atau batas luar dari fasies kipas luar, seperti yang ditunjukkan oleh model fasies lingkungan pengendapan kipas bawah laut oleh Walker dan James (1992) dan Nichols (2009) yang ditunjukkan pada Gambar 7C.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 6 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Cribas yang menunjukkan thinning dan thickening upward sequence, (B) Foto singkapan dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari fasies lower to upper slope deposit (Lokasi : Sungai Tunsif, Nenas)
11
12
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 7 (A) Penampang stratigrafi Formasi Niof yang menunjukkan dominasi litologi serpih dengan sisipan batupasir halus, (B) Foto singkapan dan beberapa struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Outer Fan System Deposit (Lokasi: STA 12 AHP 102 di Sungai Tunsif, Nenas)
b. Fasies Outer Shelf to Upper Slope Fasies paparan luar sampang lereng bagian atas (outer shelf to upper slope) ini diindikasikan dengan dijumpai litologi batugamping wackstone sisipan batulanau karbonatan. Ketebalan lapisan batugamping wackstone sisipan batulanau karbonatan tersebut hanya 1,5 meter. Berdasarkan deskripsi batuan secara megaskopis, batugamping wackstone berwarna merah, kompak atau masif, ketebalan lapisannya antara 19 cm hingga 25 cm, cenderung menipis ke atas (thinning upward), terdapat makrofosil Halobia. Sedangkan sisipan batulanau karbonatan berwarna
merah kecoklatan, ketebalan lapisannya antara 5 cm hingga 10 cm dan menyerpih (Gambar 8A). Dari karakteristik litologi tersebut, diinterpretasikan bahwa satuan litologi ini merupakan anggota Formasi Aitutu yang terendapkan secara menjari dengan Formasi Niof dan Formasi Babulu. Penentuan fasies lingkungan pengendapan untuk satuan batugamping wackstone sisipan batulanau karbonatan tersebut berdasarkan litologi batugamping dan keterdapatan fosil Halobia (Gambar 8B).
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
13
Gambar 8 (A) Penampang stratigrafi Formasi Aitutu di daerah Kekneno, menunjukkan litologi batugamping wackstone yang menipis ke atas (thinning upward), (B) Foto singkapan yang menunjukkan litologi dan makrofosil, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies outer shelf to upper slope deposit (Lokasi: 12 AHP 107 di Sungai Besi, Nenas)
c. Fasies Middle Fan System Karakteristik litofasies pada endapan sistem fasies kipas tengah (middle fan) adalah litologinya didominasi oleh satuan perselingan batulanau dengan batupasir halus dan satuan perlapisan batupasir halus dengan batupasir sedang. Fasies kipas tengah ini pada batuan berumur Trias terdiri dari endapan alur (channel) dan alur pematang (leveed
channel) pada kipas tengah bawah laut (submarine middle fan), yang penjelasannya seperti berikut ini: Middle Fan Channel Karakteristik endapan channel pada kipas tengah yang terdapat di daerah penelitian adalah dicirikan oleh adanya lapisan batupasir tebal (7-8 m)pada bagian bawah (bottom), dengan struktur normal gradded bedding, dan pada batas bagian bawah
14
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
berupa batas erosional yang mengerosi litologi batulanau di bawahnya (Gambar 9A). Karakteristik tersebut merupakan penciri endapan pengisi channel. Selain itu, kenampakan lainnya yang terdapat di lapangan yang merupakan karakteristik litofasies dari sistem ini adalah adanya batupasir masif berukuran pasir sedang dengan bagian bawah dibatasi oleh batas erosional, di atasnya terdapat lapisan batupasir dengan struktur normal gradded bedding, dan bagian atasnya terdapat perlapisan batupasir halus
dengan batupasir sedang dengan karakteristik lapisannya menebal ke atas atau thickening upward (Gambar 9B). Thickening upward pada pengisi channel diinterpretasikan terjadi pergantian pengisian influks sedimen yang semakin banyak secara bergantian antara material yang berukuran pasir halus dengan material pasir sedang, dimana dipengaruhi juga oleh faktor arus dan topografi channel.
Gambar 9 (A) Foto singkapan dan Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Babulu, menunjukkan thickening upward, (B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Middle Fan System Deposit (Lokasi: 12 AHP 109 di Sungai Lapunuf, Daerah Nenas)
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Leveed Channel of Submarine Middle Fan Endapan alur pematang (leveed channel) ini memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan endapan leveed channel pada kipas dalam (inner fan) dan kipas luar (outer fan). Hanya saja pada endapan alur pematang pada sistem kipas tengah (middle fan) dicirikan dengan adanya perubahan ketebalan lapisan batupasir secara cepat semakin ke arah atas semakin menipis. Endapan ini terdiri dari endapan turbidit klasik yaitu berupa perselingan antara batulanau dengan batupasir, dimana secara
15
umum sikuen tersebut memperlihatkan penipisan ke arah muda (thinning upward). Penentuan thinning upward ini dimulai dari lapisan batupasir dengan batas bawah erosional (Gambar 10A dan B). Pada satuan perselingan batulanau dengan batupasir halus yang ditemukan di daerah penelitian, secara megaskopis, batulanau berwarna abu-abu cerah, menyerpih, bersifat non-karbonatan, dan ketebalannya antara 5-20 cm. Batulanau semakin menebal ke arah lapisan muda.
Gambar 10 (A) Penampang stratigrafi Formasi Babulu yang menunjukkan fining upward dan thinning upward, (B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Inner Fan System Deposit
16
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Batupasirnya berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir halus, sortasi buruk, bentuk butir membundar tanggung, bersifat non-karbonatan, ketebalan lapisan antara 6-17 cm (Gambar 10 B) Berdasarkan data lapangan, karakteristik litofasies tersebut diendapkan pada sistem fasies ini. d. Fasies Inner Fan System Karakteristik litofasies yang diendapkan pada fasies kipas dalam (inner fan system) adalah adanya perlapisan batupasir sisipan batulanau, dimana lapisan batupasirnya semakin ke arah muda semakin menipis. Fasies ini terdiri dari endapan-endapan channel dan pematang channel (leveed channel) pada sistem kipas dalam (inner fan system) sebagai berikut: Inner Fan Channel Deposit Endapan ini terdiri dari lapisan batupasir sisipan batulanau, lapisan batupasirnya semakin ke arah atas atau ke arah lapisan yang lebih muda semakin menipis secara bertahap. Batupasir berwarna abuabu cerah, ukuran butir pasir halus, sortasi baik, bersifat non-karbonatan. Struktur sedimen yang berkembang diantaranya adalah paralel laminasi, perlapisan, dan pada beberapa lapisan batupasir bagian bawahnya terdapat batas erosional yang mengerosi litologi batulanau. Pola menipis ke secara gradasional pada lapisan batupasir, menurut Walker dan James (1992) terbentuk karena perubahan lingkungan pengendapan material sedimen dari channel menuju ke bagian leveed channel yang lebih dalam. Dari karakteristik litofasies tersebut dapat diinterpretasikan bahwa endapan tersebut merupakan endapan inner fan channel (Gambar 10C). Leveed Channel of Submarine Inner Fan Seperti pada endapan levee lainnya, endapan leveed channel pada Inner Fan juga terdiri dari endapan turbidit klasik yaitu perselingan batulanau dengan batupasir. Dari deskripsi litologi secara megaskopis di lapangan, pada satuan perselingan batulanau dengan batupasir halus, batulanaunya berwarna abu-abu cerah, menyerpih, bersifat non-karbonatan, dan ketebalannya antara 5-20 cm. Batupasirnya berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir halus, sortasi buruk, bentuk butir membundar tanggung, bersifat non-karbonatan, ketebalannya
antara 6-17 cm. Endapan levee yang berupa endapan turbidit klasik menurut Walker dan James (1992) terbentuk karena proses perkembangan endapan dari channel yang kemudian migrasi atau berpindah ke lingkungan pematang channel (leveed channel). Dari rincian di atas, dapat dibuat model fasies lingkungan pengendapan dari semua satuan batuan yang diendapkan pada masing-masing fasies lingkungan pengendapan dari semua formasi (Gambar 11). Fasies lingkungan pengendapan dari semua unit batuan tersebut secara umum diendapkan pada fasies outer shelf hingga fasies submarine fan system. Secara rinci, batuan berumur Perem hingga Trias ini terendapkan pada beberapa fasies, diantaranya adalah fasies middle fan system, fasies lower to upper slope deposit, fasies outer fan system, fasies outer shelf to upper slope deposit, dan fasies inner fan system. King drr., 1992 menggambarkan bahwa di beberapa daerah endapan laut dalam, khususnya lingkungan komplek channel dan levee telah terbukuti dapat menjadi potensi yang sangat besar untuk terakumulasi hidrokarbon, oleh karena itu endapanendapan channel dan leveed channel pada batuan yang berumur Trias seperti dijelaskan di atas memiliki potensi sebagai target play hidrokarbon di Cekungan Timor (Barat). Kesimpulan n Satuan batuan pada daerah penelitian dibagi
menjadi 6 satuan, yaitu satuan batulanau sisipan batupasir halus, satuan perselingan batulanau dengan batupasir gampingan, satuan serpih hitam sisipan batupasir halus, satuan batugamping wackstone sisipan redmarl, satuan perselingan batupasir dengan batulanau, dan satuan batupasir sisipan batulanau. n Batuan
berumur Perem diendapkan pada beberapa sistem fasies submarine fan, diantaranya adalah fasies middle fan dan fasies lower to upper slope deposit.
n Batuan
berumur Trias terendapkan pada beberapa sistem fasies submarine fan dan fasies laut dangkal, diantaranya adalah fasies outer fan system deposit, fasies outer shelf to upper slope deposit, fasies middle fan systemd, dan fasies inner fan system deposit.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
17
Gambar 11 Model fasies lingkungan pengendapan batuan berumur Perm-Trias dari setiap fasies yang dijumpai n Endapan-endapan channel dan leveed pada
batuan yang berumur Trias dapat berpotensi menjadi target play hidrokarbon di Cekungan Timor (Barat) Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya sampaikan kepada seluruh anggota Tim Survei Dinamika Cekungan, Pusat
Survei Geologi Badan Geologi Bandung yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan penelitian di Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur. Terima kasih juga sampaikan kepada Hadi Nugroho dan Yoga Aribowo atas diskusi selama penulisan ini, serta kepada seluruh pihak yang telah mendukung saya selama melaksanakan penelitian hingga selesai.
Acuan Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., 1968. Paleogeographical significance of some aspects of Paleogene and Early Neogene Stratigraphy and tectonics of the Timor Sea region. Paleogeography, Paleoclimatology, Paleoecology, 11:247-264. Bird, P.R and Cook, S.E., 1991. Permo-Trias Succession of the Kekneno Area, West Timor: Implication for Paleogeography and Basin Evolution. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 6(3/4):359-371. Bouma, A.H., 1962. Sedimentology of some flysch deposits. Amsterdam, Elsevier, 168 p. Charlton, T.R., 2001. The Perm of Timor: stratigraphy, palaeontology and palaeogeography. Journal of Asian Earth Science 20 :719-774. Charton.T.R.,2001. The Petroleum Potential of West Timor. Proocedings of the Indonesian Association 28,301317, Indonesia. Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. United States Geological Survey, p.1079.
18
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
King, P.R., Browne, G.H. and Slatt, R.M. 1994. Sequence architecture of exposed late Miocene basin floor fan and channel–levee complexes (Mount Messenger Formation), Taranaki Basin, New Zealand. In:Eds P. Weimer, A.H. Bouma and B.F. Perkins Submarine Fans and Turbidite Systems; Sequence Stratigraphy, Reservoir Architecture and Production Characteristics, Gulf of Mexico and International,pp. 177–192. Nichols, G., 2009. Sedimentology and Stratigraphy Second Edition. Wiley-Blackwell by a John Wiley & Sons, Ltd, UK. Permana, A.K., 2012. Laporan Akhir Penelitian Stratigrafi Cekungan Timor Kelompok Kerja Survei Dinamika Cekungan Tahun Anggaran 2012. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Bandung. Sani, K., Jacobson, I., Sigit, R., 1995. The Thin-Skinned Thrust Structures of Timor. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 24 Annual Convention 24, 277-193, Indonesia. Sawyer, R.K., Sani, K., Brown, S., 1993. Stratigraphy and Sedimentology of West Timor, Indonesia. Proccedings of the Indonesian Petroleum Association 22:1-20, Indonesia. Shanmugam, G., 2005. Deep-Water Processes and Facies Models: Implications For Sandstone Petroleum Reservoirs. Department of Earth and Environmental Sciences The University of Texas, U.S.A. Walker, R. G., dan James, N. P., 1992. Facies Model, Response to Sea Level Change. Geological Association of Canada, Kanada.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
19
PERAN SISTEM TUNJAMAN, SESAR MENDATAR TRANSFORM DAN PEMEKARAN TERHADAP SEBARAN CEKUNGAN SEDIMEN DI INDONESIA THE ROLE OF SUBDUCTION SYSTEMS, TRANFORM FAULTS AND RIFTING TO THE DISTRIBUTION OF SEDIMENTARY BASINS IN INDONESIA Oleh :
S. Bachri Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
Abstrak Berdasarkan umurnya, cekungan sedimen di Indonesia dapat dibedakan menjadi cekungan pra-Tersier, cekungan berumur menerus pra-Tersier – Tersier, dan cekungan Tersier. Indonesia bagian barat didominasi oleh cekungan Tersier, sementara Indonesia bagian timur didominasi oleh cekungan yang berkembang sejak Zaman pra-Tersier sampai Tersier. Baik berdasarkan umurnya maupun berdasarkan pola sebarannya, keberadaan cekungan – cekungan tersebut merepresantasikan pola perkembangan tektonik. Di wilayah bagian barat Indonesia pola sebaran cekungan berpola semi konsentris tampak mendominasi wilayah ini, dan ini dikontrol oleh evolusi sistem tunjaman. Sementara di bagian timur Indonesia hanya di wilayah Busur Banda dicirikan oleh sebaran cekungan berpola semi konsentris, dan selebihnya umumnya berpola acak, kecuali daerah yang dipengaruhi pemekaran dan tunjaman selain Busur Banda. Sebaran berpola acak ini terutama dikontrol oleh keberadaan sesar-sesar mendatar transform yang menjadi mediasi transportasi benua renik yang berasal dari Australia. Kata kunci: Tunjaman, sesar transform, pemekaran, cekungan sedimen
Abstact On the basis on the age, sedimentary basins in Indonesia can be classified into Tertiary, pre-Tertiary, and pre-Tertiary continues to Tertiary basins. Western Indonesia is dominated by Tertiary basins, whilst the eastern Indonesia is occupied largely by basins which have developed since pre-Tertiary time. Either based on the age or the distribution pattern, the occurrence of the basins represent tectonic evolution pattern. The western Indonesia is dominated by basins of semi-concentric pattern which represent evolutions of the subduction system. Meanwhile, in the eastern Indonesia only the Banda Arc which is characterized by basins of semi-concentric pattern, and the rest is largely occupied by basins which are distributed randomly, excepted in the areas which are affected by rifting and subduction excluding the Banda Arc. The random distribution is mainly controlled by the occurrence of major lateral faults which have an important role in transporting micro-continents derived from Australia. Key words: Subduction, transform fault, rifting, sedimentary basin.
Pendahuluan Konvergensi lempeng-lempeng Hindia-Australia, Pasifik dan Eurasia telah menyebabkan terbentuknya beberapa busur kepulauan di Indonesia. Proses konvergensi antar lempeng yang berlangsung terus hingga kini mempengaruhi evolusi busur-busur tersebut, seperti adanya rotasi busur, pembentukan struktur regional, serta pembentukan cekungan sedimen. Di Indonesia dijumpai 128 cekungan sedimen, yang berdasarkan umurnya dapat dibedakan menjadi cekungan Tersier, cekungan pra-Tersier, dan Naskah diterima : Revisi terakhir :
13 Februari 2013 05 Juni 2013
cekungan yang berkembang sejak pra-Tersier dan berlanjut hingga Tersier (Badan Geologi, 2009). Cekungan Tersier mendominasi bagian barat Indonesia, cekungan pra-Tersier terutama dijumpai di wilayah Kalimantan bagian utara, sementara cekungan pra-Tersier yang berkembang menerus hingga Tersier umumnya dijumpai di wilayah Papua dan sebelah timur Sulawesi (Gambar 1). Makalah ini akan mengupas hubungan antara struktur utama dan kegiatan tektonik terhadap sebaran cekungan sedimen di Indonesia, berdasarkan data sebaran cekungan sedimen (Badan Geologi, 2009), serta data keberadaan struktur utama maupun kegiatan tektonik di Indonesia berdasarkan hasil penelitian para penulis terdahulu.
20
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 1. Peta cekungan sedimen Indonesia (Badan Geologi, 2009).
Wilayah Busur Sunda dan Paparan Sunda Wilayah Busur Sunda meliputi busur kepulauan yang membentang dari Sumatera, Jawa sampai pulaupulau di sebelah timurnya, sampai Pulau Sumbawa, sementara wilayah Paparan Sunda meliputi wilayah Kalimantan ke barat melalui daerah Natuna hingga menyambung dengan Semenanjung Malaya, di sebelah selatannya termasuk Laut Jawa, bagian utara-barat Jawa dan bagian paling timur – utara Sumatera (Gambar 2). Terjadinya evolusi tektonik lempeng di wilayah ini selama Mesozoikum – Kenozoikum, tanpa disertai oleh adanya migrasi material batuan atau bagian dari suatu lingkungan tektonik tertentu secara lateral, sehingga mengalami perpindahan ke lingkungan tektonik yang baru. Perkembangan tektonik semacam ini dapat diistilahkan sebagai model otokton, (autochtonous model) karena semua satuan batuan merupakan satuan batuan otokton (in situ). Sebagaimana dijelaskan oleh Katili (1975), sejarah busur kepulauan di Indonesia bagian barat dimulai pada awal Paleozoikum, yaitu ketika terdapat dua sistem palung - busur yang berlawanan, yang dipisahkan oleh satu mikrokontinen, sebagaimana ditunjukkan oleh adanya (1) zona tunjaman di sebelah timur Semenanjung Malaya yang menghasilkan busur vulkano-plutonik di bagian tengah daerah tersebut, dan (2) adanya tunjaman ke arah benua Asia di bagian barat Sumatera .
Kegiatan penunjaman ke arah Asia berlanjut pada Karbon Akhir – Perem Awal, di sebelah barat atau Sumatera bagian barat, yang disertai kegiatan vulkanisme dan penempatan batuan granitan. Pada saat itu terjadi pula penunjaman ke arah baratdaya di tepian benua sebelah timurlaut, yang diindikasikan oleh adanya batuan gunugapi dan granit di bagian timur Semenanjung Malaya dan Kalimantan bagian barat (Katili, 1975). Zona tunjaman ini sedikit bergeser ke arah Samudera Hindia pada Perem – Trias Awal (Katili, 1989). Terbentuknya busur vulkano-plutonik pada pulau-pulau yang dikenal mengandung timah di Indonesia dan Semenanjung Malaya mengindikasikan bahwa zona Benioff kemungkinan lebih dangkal dibanding tunjaman sebelumnya (Katili, 1975). Rifting pada Kapur Awal yang terjadi di Gondwana menyebabkan India terpisah dari Gondwana (Katili, 1989). Pada Kapur Akhir – Eosen Awal (70 jtl), zona tunjaman di sebelah baratdaya dan di timurlaut menjadi lebih luas, karena masing-masing bergerak ke Samudera Hindia dan ke laut Cina Selatan. Data paleomagnetik dari Daly drr (1986) menunjukkan adanya rotasi kraton Sunda yang menyebabkan tertutupnya Laut Cina Selatan. Sementara itu tunjaman kerak samudera di bawah Kalimantan berlanjut, sedangkan vulkanisme dan penempatan granit terjadi sepanjang tepi kraton, termasuk Natuna dan Kepulauan Anambas.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
21
Gambar 2. Peta tataan tektonik Indonesia (Simandjuntak dan Barber, 1996).
Pada 50-45 jtl atau Eosen Tengah terjadi tumbukan antara India dan Eurasia (Katili, 1989). Selanjutnya pada 40 jtl (Eosen Akhir) terjadi pengekstrusian Birma dan Thailand (Tapponier drr., 1982). Pada sekitar 40 jtl tersebut terjadi perubahan arah gerakan lempeng pasifik, dari NNW ke WNW (Ben-Avraham & Uyeda, 1973). Terjadinya rotasi Kalimantan searah jarum jam menyebabkan terjadinya bukaan pada Laut Cina Selatan (Daly drr.,1986). Pada Eosen Akhir (40 jtl) juga terjadi satu peristiwa penting yaitu terjadinya zona tunjaman Eosen Akhir yang berarah barat-timur di selatan Jawa dan Sumatera.
signifikan ini disebut dengan model otokton, dan disertai pembentukan cekungan yang mengikuti perkembangan sistem tunjaman tersebut, yaitu berpola semi-konsentris (Gambar 4). Cekungancekungan sedimen yang terbentuk meerupakan cekungan parit (trench), cekungan busur muka, cekungan antar pegunungan, dan cekungan busur belakang.
Pada Oligosen Akhir (30 jtl), tunjaman di selatan Sumatera dan Jawa mengakibatkan terjadinya vulkanisme yang menghasilkan Formasi Andesit Tua di Busur Sunda. Zona tunjaman tersebut pada Pliosen bergeser ke selatan ke posisi Parit SumateraJawa masakini. Namun berdasarkan sebaran batuan gunungapi, dapat disimpulkan bahwa vulkanisme Kenozoik Akhir sampai Holosen mengalami migrasi ke arah yang berlawanan, yang diduga dikarenakan kemiringan zona Benioff jauh lebih landai dibanding pada waktu pertengahan Tersier (Katili, 1975). Evolusi zona tunjaman Indonesia bagian barat sejak Karbon Akhir – Perem Awal hingga masakini disajikan dalam Gambar 3. Evolusi tektonik yang tanpa disertai pergeseran lateral material secara
Gambar 3. Evolusi sistem tunjaman di Indonesia bagian barat (Katili, 1989).
22
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 4. Sebaran cekungan sedimen di Indonesia bagian barat membentuk pola semi konsentris.
Wilayah Busur Banda dan Sulawesi Sekitar 5 Jtl, ketika Australia masih bergerak ke utara, Papua berotasi ke arah kiri, akibatnya terjadilah pelengkungan ke baratlaut pada Busur Banda yang semula berarah barat-timur (Gambar 5). Sebagai akibatnya cekungan sedimen di wilayah Busur Banda berpola semi konsentris (lihat Gambar 1). Sementara itu gerakan sesar-sesar transform telah menyebabkan beberapa mikrokontinen, seperti Buton, Sula dan lain-lainnya, bertumbukan dengan Busur Sulawesi dan Halmahera yang menghadap ke timur (Katili, 1989). Tumbukan antara beberapa mikrokontinen dengan busur Sulawesi dan Halmahera tersebut mengakibatkan batuan ultrabasa terobdaksi di lengan timur dan lengan tenggara. Gaya tektonik ke arah barat melalui Sesar Sorong dan zona Sesar Matano mengakibatkan Sulawesi semakin terdorong ke arah Kalimantan, dan menyebabkan tertutupnya laut Sulawesi purba. Hal ini menyebabkan terjadinya obdaksi kompleks tunjaman Meratus dan Pulau Laut yang berumur Kapur – awal Tersier, serta terjadinya Pegunungan Meratus (Katili, 1978). Laut Sulawesi selatan, sekarang disebut Selat Makassar, mengalami fase bukaan sejak Eosen Tengah ( Situmorang (1982), Hall (1996), Moss drr.
(1997), Guntoro (1999), dan Puspita drr. (2005) meskipun mekanisme bukaan tersebut masih kotroversi sampai sekarang. Fase ekstensi atau pemekaran tersebut telah menyebabkan terbentuknya Cekungan Makassar Utara dan Cekungan Makassar Selatan (Gambar 6). Sementara sejak Miosen selat ini telah mengalami fase kompresi (Chamber dan Dalley, 1995; Bergman drr., 1996), yaitu saat mulai terjadinya benturan antara tepi Kranton Sunda (Kalimantan) di sebelah barat, dengan Paparan Sula di sebelah timur. Meskipun fase kompresi ini masih berlangsung sampai sekarang (Bachri, 2012) namun belum menyebabkan tertutupnya kembali Selat Makassar. Di wilayah Busur Banda dan Sulawesi, hanya cekungan sedimen di sekitar Busur Banda saja yang berpola semi-konsentris, sementara di daerah sebelah utara lengan utara Sulawesi keberadaan cekungan sedimen dikontrol oleh sistem tunjaman Sulawesi Utara, di sebelah barat Sulawesi dikontrol oleh sistem pemekaran, sementara di bagian lain dari Sulawesi cekungan sedimen lainnya sebarannya tidak teratur, dikontrol oleh keberadaan sesar-sesar mendatar transform. Sesar-sesar mendatar transform di Sulawesi dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 7A.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
23
Gambar 5. Peta tataan tektonik Busur Banda diikuti sebaran cekungan sedimen berpola semi-konsentris (lihat Gambar 1).
Gambar 6. Sebaran cekungan sedimen di Selat Makassar yang dikontrol oleh tektonik bukaan sebagaimana ditunjukkan kemiripan batas barat Sulawesi Barat dengan batas timur Paparan Paternoster. Citra DEM diambil dari Becker dan Sandwell (2004).
24
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Wilayah Papua dan sekitarnya
A
Pecahnya Gondwana telah menghasilkan sumbu pemekaran utama di Samudera Hindia yang kemudian diikuti oleh penyesuaian pola tunjaman di Indonesia. Ketika Australia bergerak ke utara, Papua mendekat dan menumbuk busur kepulauan Sepik pada sekitar 30 jtl (Downey, 1986, dalam Katili, 1989). Pada sekitar 20 jtl, suatu sistem parit – busur berarah barat-timur terbentuk dan membentang dari ujung barat Sumatera sampai ke Buru, dan bahkan lebih ke timur ke busur Melanesia, melalui Jawa, Bali, Sumba, Timor, Tanimbar, Kai dan Seram (Katili, 1989). Sebelum benua Australia yang bergerak ke utara sampai di tepian benua Asia Tenggara busur vulkanik Sulawesi – Mindanao yang berarah utara-selatan dijumpai sekitar 800 km di sebelah timur Kalimantan (Katili, 1978). Ke arah tenggara, busur Kepulauan Sepik yang berarah barat-timur menyatu dengan Papua dan memisahkan antara Australia dengan Pasifik (Katili, 1989). Sekitar 20 Jtl, Papua dan Sepik yang kini menyatu menjadi mikrokontinen yang lebih besar, sampai di tepi lempeng Asia Tenggara dan bertumbukan dengan busur-dalam Melanesia yang menghadap ke selatan (Daly drr., 1986). Hal ini menyebabkan adanya interaksi antara lempeng Australia yang bergerak ke utara dan lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat-baratdaya, yang akibatnya menghasilkan beragam bentukan struktur. Beberapa sesar mendatar utama berarah barat timur terbentuk, seperti Sesar Sorong dan Sesar Tarera-Aiduna (Gambar 7A-B). Sebagai akibat dari pergerakan sesar-sesar tersebut terbentuklah cekungan pull apart, misalnya Cekungan Salawati dan Cekungan Taliabu. Sekitar 10 jtl, terbentuk suatu tunjaman ke arah selatan melalui sebelah utara Papua, dan masih aktif sampai sekarang (Daly drr., 1986). Tunjaman ini tidak disertai dengan kegiatan kegunungapian di Papua. Keberadaan sistem tunjaman ini disertai pembentukan cekungan sedimen, antara lain Cekungan Biak Utara, Cekungan Biak -Yapen, Cekungan Mamberamo, dan lain-lainnya. Bila disebelah utara Papua cekungan sedimennya lebih banyak dikontrol oleh zone tumbukan antara Lempeng Pasifik dengan Benua Australia, maka di bagian selatan lebih banyak dipengaruhi oleh sistem pemekaran pada Paparan Baratlaut Australia.
B
Gambar 7. Peta struktut wilayah Sulawesi dan Papua menggambarkan sebaran sesar mendatar utama yang diikuti sebarn cekungansedimen berpola acak (lihat Gambar 1).
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Diskusi Cekungan sumperimposed di Busur Sunda Dari pola sebaran cekungan sedimen di Sumatera bagian tengah – barat, menyambung sampai Jawa bagian utara, Laut Jawa hingga Kalimantan barat daya, tampak adanya sistem tunjaman yang berkembang sejak Kapur Akhir – Perem Awal hingga Kapur Akhir – Tersier Awal. Namun, cekungan sedimen Pra-Tersier yang dijumpai di wilayah ini hanya sekitar 6 buah dan berukuran relatif kecil dibandingkan yang berumur Tersier. Sementara cekungan sedimen Tersier mendominasi dan bersama-sama cekungan Pra-Tersier membentuk pola semi konsentris dengan arah panjang cekungan mengikuti arah sistem tunjaman. Walaupun di wilayah ini didominasi cekungan Tersier, bahkan di Laut Jawa bagian barat tidak dijumpai cekungan Pra-Tesier, namun diperkirakan jumlah cekungan Pra-Tersier sebenarnya lebih kurang sama dengan cekungan Tersier. Di lajur-lajur yang dilewati sistem tunjaman Pra-Tersier diduga terbentuk cekungan sejak Jaman Pra-Tersier dan berkembang terus hingga Tersier. Namun, cekungan Pra-Tersier di sini tertutupi (superimposed) oleh cekungan Tersier hingga yang terpetakan hanya cekungan Tersier. Pada bagain lain dari wilayah Busur Sunda, yaitu di selatan Sumatera sampai selatan Jawa dijumpai sistem tunjaman linier, yang merupakan sistem tunjaman Tersier dan Risen. Pada saat itu, 40 jtl (Eosen Akhir) terjadi perubahan arah tunjaman, dari yang bersifat semi konsentris menjadi linier berarah hampir barat – timur (Katili, 1989). Cekungancekungan yang terbentuk terkait dengan sistem tunjaman Tersier ini diyakini murni merupakan ceungan Tersier, tidak ada cekungan Pra-Tersier yang tertutupi. Lain halnya di Kalimantan Utara, terdapat satu cekungan sedimen Pra-Tersier dan satu cekungan Tersier yang relatif besar (Gambar 1), yang berproros panjang utara – selatan. Melihat bentuk dan arah panjang cekungan, ada kemungkinan cekungan ini terbentuk berhubungan dengan sistem tunjaman di sebelah timur Kalimantan, namun hal ini belum diketahui dengan pasti.
25
Pemekaran, tunjaman dan sesar transform di Indonesia bagian timur Di Indonesia bagian timur, terdapat tiga struktur utama yang mengontrol kemunculan cekungan sedimen, yaitu: (1) struktur pemekaran (rifting), (2) sistem tunjaman, dan (3) sesar-sesar mendatar besar (transform). (1). Pemekaran (rifting) Cekungan Makassar Utara dan Makassar Selatan (Gambar 6) merupakan cekungan Tersier karena proses pemekaran Selat Makassar pada Eosen Tengah (Situmorang ,1982); Hall, 1996; Moss drr.,1997; Guntoro, 1999); dan Puspita drr.,2005). Karena pemekaran terjadi pada Eosen Tengah, maka cekungan-cekungan ini diyakini tidak menindih cekungan Pra-Tersier. (2). Sistem tunjaman Cekungan sedimen yang terbentuk berkaitan dengan adanya sistem tunjaman di Indonesia bagian timur, semuanya merupakan cekungan Tersier. Cekungan – cekungan tersebut yaitu yang berada di sebelah utara dan selatan lengan utara Sulawesi, berkaitan dengan Tunjaman Sulawesi Utara, cekungan – cekungan di Busur Banda yang membentuk pola semi-konsentris (Gambar 5), terkait dengan tunjaman di Laut Timor sampai Laut Banda ke utara, serta cekungan – cekungan di sebelah utara Papua yang terkait dengan penunjaman Samudera Pasifik ke lempeng Australia. (3). Sesar mendatar (transform) Cekungan-cekungan ini merupakan cekungan PraTersier dan cekungan Pra-Tersier – Tersier, yang bentuk dan arah poros panjangnya sangat beragam karena diduga pengaruh rotasi yang berbeda-beda selama transportasi melalui media sesar mendatar tersebut. Cekungan – cekungan tersebut pada awalnya terbentuk di Australia, sehingga bentuk aslinya tidak diketahui. Pada sekitar 30 jt yang lalu (Miosen) Gondwana pecah yang ditandai oleh pembentukan sumbu pemekaran di Samudera Hindia yang diikuti oleh bergeraknya lempeng Australia ke utara (Katili, 1989). Selanjutnya diiukti oleh terjadinya beberapa sesar transform yang menyebabkan beberapa pecahan dari lempeng Australia bergerak ke arah Sulawesi. Oleh karenanya, cekungan – cekungan tersebut mulai berada di Indonesia pada Tersier, meskipun sebagian berumur Pra-Tersier.
26
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Cekungan sedimen alokton dan paraotokton Di Indonesia bagian timur dijumpai cekungan praTersier dan cekungan pra-Tersier – Tersier. Cekungancekungan pra-Tersier berasal dari Australia yang terbawa ke wilayah Indonesia, sehingga dapat disebut sebagai cekungan alokton. Namun, disamping itu juga dijumpai cekungan yang berkembang sejak pra-Tersier sampai Tersier. Sewaktu pra-Tersier sampai Tersier Awal, cekungan tersebut masih berada di Australia, kemudian setelah 30 jtl (Miosen) memasuki wilayah Indonesia, dan sedimentasi berlangsung terus. Oleh karenanya, cekungan ini dapat dikatagorikan sebagai cekungan paraotokton, atau kombinasi antara alokton dan otokton.
Kesimpulan Keberadaan sistem tunjaman, sesar transform maupun peristiwa pemekaran telah mempengaruhi pola sebaran cekungan sedimen di Indonesia. Cekungan – cekungan Tersier yang berpola semikonsentris di bagian barat Busur Sunda sampai meliputi Kalimantan baratdaya diyakini merupakan cekungan yang tertindihkan di atas cekungan praTersier, dan keduanya merupakan cekungan otokton. Sementara cekungan – cekungan Tersier di selatan Sumatera – Jawa, Selat Makassar, sekitar lengan utara Sulawesi dan beberapa di wilayah Papua diyakini terbentuk pada Tersier, tidak didahului pembentukan cekungan pra-Tersier. Cekungan praTersier di Indonesia bagian timur merupakan cekungan alokton yang berasal dari lempeng Australia, sementara cekungan pra-Tersier – Tersier mulanya terbentuk di Australia, dan berlanjut pengendapannya selama Tersier setelah memasuki wilayah Indonesia.
Acuan Bachri, S., 2012. Fase kompresi di Selat Makassar berdasarkan data geologi daratan, seismic laut dan citra satelit. Jurnal Sumber Daya Geologi, vol.22, No. 3, 137-144. Badan Geologi, 2009. Peta Cekungan Sedimen Indonesia. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung. Becker, J. J., and Sandwell, D.T. 2004. Global topography. Scripps Institution of Oceanography, http://topex.ucsd.edu/www_html/srtm30_plus.html. Ben-Avraham, Z. & Uyeda, S., 1973. The evolution of the China Basin and the Mesozoic Paleogeography of Borneo. Earth Planet Sci. Lett., 18, 365-376. Bergman, S.C., Coffield , D.Q., Talbot, J.P. & Garrad, R.A., 1996. The Late Tertiary tectonic and magmatic evolution of S.W. Sulawesi and the Makassar Strait: Evidence for Miocene continental collision. From: Hall,R. & Blundel (eds), Tectonic Evolution of S.E. Asia. Geological Society. Chambers, J.L.C. and Dalley, T., 1995. A tectonic model for the onshore Kutai Basin, East Kalimantan, based on integrated Geological and geophysical interpretation. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 24th Annual Convention, Jakarta, I, 111-130. Daly, M., Hopper, B.G. & Smith, D.G., 1986. Reconstruction of movements of major plates in SE Asia, Proc. B.P. Workshop on Eastern Indonesia (unpub.) Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., Blundell, D. J.(eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia. Geological Society of London Special Publication, 106,153-184. Guntoro, A., 1999. The formation of the Makassar Strait and the separation between SE Kalimantan and SW Sulawesi. Journal of Asian Earth Sciences, 17, p. 79-98. Katili, JA., 1975, Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs, Tectonophysics, 26, 165-188. Katili, J, 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics, 45, 289322. Katili, J, 1989. Evolution of the southeast Asian Arc complex. Geologi Indonesia 12, 113-143.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
27
Moss, S. J., Chambers, J., Cloke, I., Carter, A., Satria, D., Ali, J. R., & Baker, S.,1997. New observation on the sedimentary and tectonic evolution of theTertiary Kutai Basin. In: Fraser, A. J., Matthews, S. J., and Murphy, R.W. (eds) Petroleum Geology of Southeast Asia. Geological Society of London Special Publication, 126, 395-416. Simandjuntak, T.O. & Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogen Orogenic Belt of Indonesia. In R. Hall & D. Bundell (eds). Tectonic evolution of Southeast Asia, Geol. Soc. London, Special Publication , 106, 185-201. Situmorang, B. 1982. The formation of the Makassar Basin as determined fromsubsidence curves. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 11thAnnual Convention, 83-108. Puspita, R.D., Hall. R. & Elders, C.F., 2005. Structural styles of the offshore West Sulawesi Fold Belt, North Makassar Strait, Indonesia. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 11th Annual Convention & Exhibition, 519-542. Tapponier P., G. Peltzer, A. Y. Le Dain & R. Armijo, 1982, Propagating extrusiontectonics in Asia: New insights from simple experiments with plasticine. Geology, Vol. IO, 611-616.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
29
ANOMALI GAYABERAT KAITANNYA TERHADAP KETERDAPATAN FORMASI PEMBAWA BATUBARA DI DAERAH BANJARMASIN DAN SEKITARNYA, KALIMANTAN SELATAN GRAVITY ANOMALY IN RELATION TO THE COAL BEARING FORMATION IN BANJARMASIN AND SOURONDING AREAS, SOUTH KALIMANTAN Oleh : H. P Siagian dan B.S. Widijono Pusat Survei Geologi Jalan Diponegoro No. 57 Bandung Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Anomali gayaberat di daerah Banjarmasin dan sekitarnya dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: anomali gayaberat tinggi dengan kisaran anomali 45 mGal hingga 75 mGal ditafsirkan sebagai Tinggian Meratus, anomali gayaberat sedang dengan kisaran anomali dari 20 mGal hingga 45 mGal merupakan daerah transisi yang didominasi oleh batuan Pratersier dan Tersier, anomali gayaberat rendah dengan kisaran anomali dari -15 mGal hingga 20 mGal merefleksikan keberadaan cekungan sedimen Tersier. Anomali sisa menggambarkan dengan jelas sebaran subcekungan, di sebelah timur tinggian Meratus terdapat Subcekungan Pasir dan Subcekungan Asem-asem, dan di sebelah barat terdapat Cekungan Barito dan Subcekungan Barito Selatan, Cekungan Pambuang dan Paparan Banjarmasin. Formasi Tanjung dengan rapat massa 2.6 gr/cm³ yang terdapat pada anomali sisa dengan nilai -5 mGal hingga -20 mGal, sedangkan Formasi Warukin (Subcekungan Asem-asem) mempunyai rapat massa 2.55 gr/cm³, dan pada anomali sisa ditunjukkan dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal. Kata Kunci: gayaberat, batubara, Formasi Tanjung, Formasi Warukin.
Abstract Gravity anomaly in Banjarmasin area can be grouped into 3 (three) regions are: high gravity anomalies with anomalous range 45 mGal to 75 mGal interpreted as the Meratus High, medium gravity anomalies which range from 20 mGal to 45 mGal is of the transition dominated by distribution of pre-Tertiary and Tertiary rocks, and the low gravity anomalies with anomalies range from -15 mGal to 20 mGal is a respon of the Tertiary sedimentary basin.The presence of the Tertiary sedimentary basins is clearly shown from residual anomalies. In the east of the Meratus High, there are Asem Asem and Pasir subbasins, while in the west of Meratus high seen the Barito Basin and Sub-Basin of the South Barito, Pembuang Basin and Banjarmasin Platform. The Tanjung Formation having 2.6 gr/cm³ density is represented -5 mGal to -20 mGal on residual anomalies, while the Warukin Formation having 2.55 gr/cm³ density on residual anomaly shows -5 mGal to -35 mGal. Keywords : gravity, coal, Tanjung and Warukin Formations.
Pendahuluan Daerah Banjarmasin dan sekitarnya merupakan salah satu daerah penghasil batubara di Indonesia. Daerah ini dalam peta geologi dan peta anomali gayaberat sistimatis berskala 1:250.000 termasuk Lembar Banjarmasin. Berdasarkan peta geologi daerah ini terdiri atas berbagai batuan, yang meliputi batuan malihan, batuan beku dan batuan sedimen; Naskah diterima : Revisi terakhir :
24 Juli 2013 08 November 2013
sedangkan pada peta anomali gayaberat menunjukan nilai anomali berkisar -15 mGal sampai 75 mGal. Lapisan ini secara fisik dicirikan oleh warna hitam, dan ringan. Berdasarkan sifat ringan ini, batubara mempunyai rapat massa kecil. Data gayaberat menggambarkan nilai rapat massa batuan, oleh karena itu batubara pada peta gay berat seharusnya dapat dikenali dengan mudah.
30
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 1. Sebaran batuan daerah penelitian (Sikumbang. drr, 1994)
Di daerah Banjarmasin dan sekitarnya, lapisan batubara dijumpai di dalam batuan sedimen Tersier, yaitu di dalam Formasi Tanjung dan Formasi Warukin. Keterdapatan batubara pada umumnya merupakan sisipan dalam batulempung dan batupasir kuarsa (Formasi Tanjung) dan sisipan dalam perselingan batupasir kuarsa dan batulempung (Formasi Warukin). Oleh karena itu kenampakan lapisan batubara ini tidak dapat dikenali secara langsung pada data gaya berat. Penelitian gayaberat di daerah ini dimaksudkan untuk menganalisis data gayaberat dengan tujuan dapat menafsirkan keberadaan lapisan batubara. Daerah penelitian adalah seluruh lembar peta Banjarmasin, yang secara geografi terletak 114°00 – 115°30' BT, dan 3°00' – 4°15' LS, dan secara administrasi termasuk Provinsi Kalimantan Selatan. Metodologi Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : tahap inventarisasi data, tahap pengolahan data, tahap analisis data, dan tahap sintesa hasil
interpretasi. Tahap inventarisasi data adalah mengumpulkan data yang meliputi peta geofisika, peta geologi dan hasil pengukuran lapangan; tahap pengolahan data meliputi pembuatan kontur anomali Bouguer, penapisan anomali Bouguer (yang menghasilkan anomali sisa) untuk analisis kuantitatif; tahap analisis terdiri atas interpretasi kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif adalah interpretasi peta anomali Bouguer dan anomali sisa dengan memperhatikan pola, kerapatan kontur dan menghitung landaian horisontal (horizontal gradient), sedangkan analisis kuantitatif melakukan pemodelan penampang geologi pada peta anomali sisa, sehingga dapat mengidentifikasi kenampakan geologi, dan memperoleh gambaran geometri gejala geologi. Dalam analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis pemodelan metode ke depan bermatra dua (2D forward modelling). Untuk mengurangi ambiguitas maka dalam analisis ini di gunakan data geologi permukaan sebagai kendali (geologic constrained); tahap sintesa hasil analisis dilakukan kajian hasil interpretasi yang dihubungkan singkapan batubara di lapangan.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Geologi Regional Daerah penelitian disusun oleh batuan berumur Pratersier hingga Kuarter. Batuan Pratersier terdiri atas batuan malihan, batuan ultramafik, batuan terobosan, batuan sedimen dan batuan gunungapi, yang berumur Jura hingga Kapur. Batuan malihan tersusun oleh sekis dan filit; sedangkan batuan ultramafik terdiri atas hazburgit, wehrlit, websterit, piroksenit dan serpentinit. Berdasarkan fosil radiolaria batuan Pratersier tersebut berumur Jura sampai Kapur ( Sikumbang dan Heryanto,1994 ). Batuan ultramafik dan malihan diterobos oleh batuan beku gabro, diorit dan granit yang berumur Kapur Awal. Batuan-batuan tersebut di atas ditindih secara tak selaras oleh batuan sedimen Kelompok Pitap yang berumur Kapur Akhir dan terdiri atas Formasi Pudak, Formasi Keramayan, dan Formasi Manunggal. Kelompok Pitap berhubungan menjemari dengan batuan vulkanik Kelompok Haruyan yang terdiri atas Formasi Pitanak dan Formasi Paau. Menurut Sikumbang dan Heryanto, (1994), batuan Tersier terdiri atas Formasi Tanjung, Formasi Berai, Formasi Warukin, dan Formasi Dahor. Formasi Tanjung merupakan batuan sedimen Tersier tertua, singkapan batuan ini terdapat di tepi barat dan timur Tinggian Meratus yang membentang hampir utaraselatan. Formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung dan batubara, setempat ditemukan lensa batugamping berumur Eosen. Selaras di atas formasi ini adalah Formasi Berai yang terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung, dengan tebal ±1000 m (Maryanto dan Sihombing, 2001). Formasi yang menindih formasi ini secara selaras adalah Formasi Warukin yang disusun oleh perselingan batupasir kuarsa dan batulempung, setempat mengandung sisipan batubara. Berdasarkan kumpulan fosil foraminifera menunjukkan umur Miosen Awal sampai Miosen Tengah dengan ketebalan lebih kurang 1250 m. Formasi Dahor menindih takselaras Formasi Warukin, dan terdiri atas batupasir kasar berselingan dengan konglomerat dan batupasir kuarsa, dan batulempung. Kegiatan tektonik di daerah ini diduga telah berlangsung sejak Jaman Jura yang menyebabkan bercampurnya batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada Zaman Kapur Awal terjadi penerobosan granit dan diorit yang mengintrusi batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada Akhir
31
Kapur Awal diendapkan Kelompok Alino yang sebagian merupakan olistrostrom dan diselingi batuan gunungapi Kelompok Pitanak. Kegiatan tektonik pada awal Kapur Akhir menyebabkan tersesarkannya batuan ultramafik dan malihan ke atas Kelompok Alino. Kegiatan tektonik berikutnya pada Kala Paleosen menyebabkan terangkatnya batuan Mesozoikum disertai penerobosan andesit porfir. Pada awal Eosen terendapkan Formasi Tanjung dalam lingkungan paralas, selanjutnya sejak Kala Oligosen terjadi genang laut yang membentuk Formasi Berai. Kemudian pada Kala Miosen terjadi susut laut yang membentuk Formasi Warukin. Gerakan tektonik terakhir terjadi pada Miosen menyebabkan batuan yang tua terangkat membentuk Tinggian Meratus, dan melipat kuat batuan Tersier dan Pra-Tersier. Sejalan dengan itu terjadi penyesaran naik dan penyesaran geser yang diikuti sesar turun dan pembentukan Formasi Dahor pada Kala Pliosen. Interpretasi Anomali Bouguer dan Anomali Sisa Anomali Bouguer Berdasarkan Peta Anomali Bouguer, di daerah penelitian dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok anomali (Gambar 2) yaitu : a. Anomali gayaberat tinggi dengan kisaran anomali dari 45 mGal hingga 75 mGal yang ditafsirkan sebagai Tinggian Meratus. Batuan penyusunnya adalah batuan malihan, batuan ultrabasa, batuan terobosan dan batuan gunungapi. b. Anomali gayaberat sedang dengan kisaran nilai anomali dari 20 mGal hingga 45 mGal merupakan daerah transisi antara Tinggian Meratus dan Cekungan Sedimen Tertier. c. Anomali gayaberat rendah dengan kisaran nilai anomali dari - 15 mGal hingga 20 mGal, yang diduga cekungan Tersier yang batuan pengisinya terdiri atas Formasi Tanjung, Formasi Berai, Formasi Warukin dan Formasi Dohor. Anomali sisa Anomali Bouguer merefleksikan struktur geologi regional. Untuk mendeliniasi struktur lokal dilakukan pengurangan antara anomali Bouguer dengan anomali regional yang menghasilkan anomali sisa. Berdasarkan anomali sisa ini akan dilakukan interpretasi umum, pembuatan pemodelan geologi dan interpretasi struktur geologi.
32
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 2. Anomali Bouguer daerah penelitian (Padmawidjaya dan Pribadi, 1997)
Interpretasi umum Pola anomali sisa (Gambar 3) menggambarkan kondisi geologi lokal. Anomali sisa di daerah penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu anomali tinggi, anomali sedang dan anomali rendah. Anomali tinggi dengan kisaran anomali 7 mGal hingga 30 mGal membentuk kontur berpola ellips tersebar di sekitar Martapura dan Pelaihari, yang mencerminkan keterdapatan batuan ultrabasa dan batuan terobosan. Sebaran anomali tinggi membentuk jurus umum timurlaut - baratdaya dan di Pelaihari berarah relatif utara - selatan yang mencerminkan sebaran zona tinggian Meratus. Anomali sedang dengan nilai 7 mGal hingga -3 mGal mencerminkan daerah transisi dan ditempati oleh batuan malihan, batuan gunungapi Pratersier dan batuan sedimen Tersier. Zona ini dijumpai adanya patahan yang di cerminkan oleh kontur berpola sejajar dengan spasi antar kontur relatif rapat. Di sebelah barat Tinggian Meratus anomali membentuk pola bulatan-bulatan anomali yang mencerminkan sumbu perlipatan (antiklin dan sinklin). Anomali rendah dengan kisaran dari -3 mGal hingga -31 mGal terdapat di sebelah barat dan sebelah
timur Tinggian Meratus, yang membentuk cekungan sedimen memanjang berarah umum timurlaut baratdaya. Anomali rendah di sebelah barat Pegunungan Meratus mencerminkan Cekungan Barito, dan di sebelah timur mencerminkan Cekungan Asem-asem. Pemodelan penampang geologi Pemodelan geologi dilakukan dengan membuat penampang geologi, yaitu penampang A-B, dan penampang C-D. Penampang A-B Panjang lintasan penampang ini berkisar 110 km (Gambar 4) dari Satui sampai Silau, berarah hampir utara-selatan. Dari km 0 hingga km 37 diawali anomali menurun dengan landaian -0,533 mGal/km dan di bagian akhir anomali naik dengan landaian 1,36 mGal/km. Segmen ini mencerminkan suatu cekungan yang dialasi oleh batuan dengan rapat massa 2,9 gram/cc yang di duga terdiri atas batuan ultrabasa dan batuan malihan.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 3. Anomali sisa daerah penelitian
Gambar 4. Model geologi bawah permukaan berdasarkan analisis pemodelan lintasan AB
33
34
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Cekungan sedimen terdiri atas batuan sedimen dengan rapat massa 2,6 gram/cc dan ketebalan mencapai 1750 meter yang diduga Formasi Tanjung, batuan dengan rapat massa 2,59 gr/cc dan ketebalan mencapai 1000 meter yang diduga Formasi Berai, Formasi Warukin dengan rapat massa 2,54 gr/cc dengan ketebalan 750 meter menumpang secara selaras di atas Formasi Berai, dan batuan sedimen paling muda adalah Formasi Dahor dengan rapat massa 2,49 gr/cc dengan ketebalan mencapai 500 meter. Naiknya anomali pada km 37 secara dominan dikontrol oleh adanya patahan naik di km 35, yang diduga sesar naik dengan blok timur relatif naik. Dari km 37 hingga km 55 anomali kembali turun dengan landaian -0,44 mGal/km, yang disebabkan oleh terdapatnya batuan sedimen dan batuan gunungapi Kapur dengan rapat massa 2,65 ketebalan mencapai 1000 meter menumpang di atas batuan malihan. Dari km 47 hingga km 76 anomali meninggi dengan landaian 0,35 mGal/km, diduga dikontrol oleh adanya sesar naik di km 76 dimana blok barat relatif naik. Dari km 76 hingga km 80 landaian anomali relatif datar yang diduga batuan relatif homogen, terdiri atas batuan malihan dan ultramafik dengan rapat massa 2,85 gram/cc. Dari km 80 hingga km 100 anomali menurun dengan landaian -0,6 mGal/km dan anomali naik di km 110 di akhir
lintasan dengan landaian +0,8 6 mGal/km. Di ujung penampang ini ditunjukkan suatu cekungan, yang diisi oleh Formasi Tanjung dengan rapat massa 2,6 gr/cc dengan ketebalan 1000 meter ditumpangi oleh batuan dengan rapat massa 2,59 gr/cc (Formasi Berai) dengan ketebalan 500 meter, Formasi Warukin dengan rapat massa 2,54 gram/cc dengan ketebalan mencapai 1000 meter, dan Formasi Dahor dengan rapat massa 2,49 gram/cc dengan ketebalan mencapai 500 meter. Penampang C-D Penampang ini memotong Cekungan Sedimen Asemasem. Penampang berarah utara baratlaut - selatan tenggara yang berakhir di daerah Asem-asem (di selatan) dengan panjang lintasan sekitar 26 Km (Gambar 5). Dari km 0 hingga km 18 anomali menurun dari 2 mGal sampai -30 mGal dengan landaian – 1,4 mGal/km, sedangkan dari km 22 hingga km 26 anomali meninggi dari -30 mGal menjadi -6 mGal dengan landaian + 4 mGal/ km. Analisis pemodelan menghasilkan penampang yang menunjukkan suatu cekungan, yang dialasi oleh batuan dengan rapat massa 2,9 mGal/km, dan ditindih oleh seri lapisan batuan sedimen dengan ketebalan mencapai 1350 meter yang terdiri atas Formasi Tanjung rapat massa 2,6 gr/cc dengan tebal
Gambar 5 Model geologi bawah permukaan lintasan CD
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
250 meter, Formasi Berai dengan rapat massa 2,59 gram/cc dengan ketebalan 400 meter, Formasi Berai ditumpangi oleh Formasi Warukin dengan rapat massa 2,54 gr/cc dengan ketebalan 600 meter. Lapisan teratas adalah batuan sedimen Formasi Dahor ( rapat massa 2,49 gr/cc ) tebal 100 meter. Struktur geologi Kelurusan struktur geologi daerah penelitian terlihat dari peta anomali sisa (Gambar 3). Kelurusan menyolok terdapat di daerah Cempaka dan di sebelah timur Pleihari. Struktur Geologi di daerah Cempaka ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali berarah timurlaut- baratdaya dengan kontur berspasi rapat dengan landaian mencapai 8 mGal/Km. Kelurusan ini diduga cerminan sesar naik yang membatasi batuan Pra-Tersier zona Pegunungan Meratus dengan batuan sedimen di dalam Cekungan Barito yang terletak di sebelah barat. Sesar ini disebut sebagai Sesar Naik Cempaka. Kelurusan struktur geologi di sebelah timur Pelaihari ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali berspasi agak rapat dengan arah kelurusan timur timurlaut barat baratdaya, dengan landaian 1 mGal/km. Kelurusan ini merupakan kelurusan sesar naik yang membatasi batuan Pra-Tersier zona Pegunungan Meratus dan batuan sedimen Cekungan Asem-asem. Kelurusan ini disebut sebagai Sesar Naik Pelaihari. Kelurusan struktur geologi dari daerah Ambawang, Martapura yang menerus ke arah utara hingga daerah Silau ditunjukkan oleh kontur sejajar dengan arah utara selatan. Kelurusan ini diduga merupakan sesar geser sinistral dan memotong Cekungan Barito,
35
dan menyebabkan terbentuk Subcekungan Barito Selatan dan Subcekungan Barito Utara. Sesar ini disebut Sesar Geser Ambawang-Martapura. Kelurusan struktur geologi juga dijumpai di daerah Cempaka ditunjukkan oleh kontur anomali berpola sejajar berarah barat laut- tenggara melewati daerah Cempaka. Kelurusan ini diduga merupakan cerminan dari sesar geser menganan dan memotong batuan ofiolit di daerah tersebut. Sesar ini disebut Sesar Geser Cempaka. Kelurusan yang diduga cerminan sesar geser juga dijumpai di daerah Tatakan, yang ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali sejajar berarah utara - selatan. Kelurusan ini diduga cerminan dari sesar geser mengiri dan memotong Sesar Naik Cempaka. Sesar ini disebut Sesar geser Tatakan. Berdasarkan analisis anomali sisa, di daerah penelitian terdapat beberapa kenampakan geologi (Gambar 8), yaitu Tinggian Meratus, Paparan Banjarmasin, Cekungan Pembuang, Sub Cekungan Barito Selatan, Subcekungan Asem-asem Selatan dan Subcekungan Asem-asem Utara. Paparan Banjarmasin terletak di barat Cekungan Barito, yang ditunjukkan oleh kontur anomali dengan kisaran anomali dari -1 mgal hingga 3 mGal. Jika diasumsikan batuan alas tersingkap pada anomali 3 mGal dan kontras rapat massa antara batuan alas dengan sedimen adalah 0,17 gram/cc, maka dengan prinsip Bouguer slab dapat diduga ketebalan sedimen di paparan tersebut dapat mencapai 600 meter.
Gambar 6. Lapisan batubara Formasi Tanjung di daerah Jorong.
36
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 7. Lapisan batuan Formasi Warukin di Sungai Darau.
Gambar 8. Mendala tektonik daerah penelitian.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
37
Keterdapatan Batubara
Kesimpulan
Cekungan Barito yang digambarkan dengan nilai anomali sisa -5 mGal hingga -35 mGal terletak di sebelah barat Tinggian Meratus, dan melampar ke arah selatan. Batubara di lokasi tambang Rantaunangka yang terdapat di dalam Cekungan Barito mempunyai kisaran anomali -4 mGal hingga 10 mGal (Gambar 3). Batubara terdapat dalam Formasi Tanjung, berupa sisipan dalam batulempung dengan ketebalan 30 cm hingga 200 cm (Gambar 6) dengan rapat massa 2.6 gr/cm³, pada anomali sisa dicirikan nilai -5 mGal hingga -20 mGal. Batubara di daerah ini telah ditambang oleh perusahaan dan koperasi pertambangan rakyat.
Tinggian Meratus ditunjukkan oleh gayaberat tinggi dengan kisaran nilai anomali dari 45 mGal hingga 75 mGal, yang dikontrol batuan dengan rapat massa tinggi, yaitu batuan ultrabasa (3 gram/cc), batuan malihan, batuan terobosan dan batuan gunungapi (rapat massa 2,8 gram/cc ).
Di Cekungan Asem-asem yang terletak di sebelah tenggara Tinggian Meratus, batubara terdapat di dalam Formasi Warukin, yang tersebar luas ke arah timur sampai daerah Satui. Batubara berupa sisipan, dengan tebal 30 cm hingga 80 cm (Gambar 7) dengan rapat masa Formasi Warukin 2.55 gr/cm³, dan pada anomali sisa dicirikan dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal. Di daerah ini, batubara diduga lebih prospek di sebelah baratnya, yang mempunyai anomali -15 mGal, yaitu di daerah Asem-asem di dalam Sub Cekungan Asem-asem dan Sub Cekungan Pasir. Batubara di dalam Formasi Tanjung kualitasnya lebih baik daripada batubara Formasi Warukin. Namun demikian, adanya patahan yang memotong Formasi Warukin dan Formasi Tanjung dapat menaikkan nilai kalori masing masing batubara.
Cekungan sedimentasi ditunjukkan oleh nilai gayaberat rendah dengan kisaran dari - 15 mGal hingga 20 mGal, yang merupakan respons gayaberat dari batuan sedimen dengan rapat massa rendah. Keberadaan sesar dicirikan oleh kontur anomali rapat dan membentuk kelurusan yang pada umumnya berarah timurlaut - baratdaya, utara - selatan, dan barat laut - tenggara. Peta anomali sisa menunjukkan adanya beberapa subcekungan, yaitu di sebelah timur Tinggian Meratus terdiri atas Subcekungan Pasir dan Subcekungan Asem-asem, sedangkan di sebelah barat terdapat Cekungan Barito dan Subcekungan Barito Selatan, Cekungan Pambuang dan Paparan Banjarmasin. Lapisan pembawa batubara Formasi Tanjung (di Cekungan Barito) mempunyai rapat massa 2.6 gr/cm³ yang terdapat pada anomali sisa dengan nilai -5 mGal hingga -20 mGal, sedangkan dalam Formasi Warukin (Subcekungan Asem-asem) mempunyai rapat massa 2.55 gr/cm³, dan pada anomali sisa ditunjukkan dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal. Saran Untuk pengembangan eksplorasi batubara disarankan dilakukan penelitian dengan metode resistivity detil di wilayah pinggiran sub cekungan.
Acuan Maryanto, S. dan Sihombing, T., 2001. Stratigrafi Paleogen daerah Kalimantan selatan: Kaitannya dengan keterdapatan batubara. Publikasi Khusus No 26, hal 29 – 51, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Padmawidjaya, T., dan Pribadi, D., 1997. Peta Anomali Bouguer Lembar Banjarmasin, Kalimantan, Skala 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sanyoto, P., 1994. Laporan penelitian struktur dan tektonik di daerah G.Kukusan, Kalimantan Selatan. Laporan PKIGT , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, tidak terbit. Sikumbang, N., dan Heryanto, R.,1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin, Sekala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Sumarsono, P., 1984. Evolusi tektonik daerah Meratus dan sekitarnya, Kalimantan Tenggara. Laporan tidak terbit PPTMGB “LEMIGAS”.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
39
GEOLOGI GUNUNG SADAHURIP, KABUPATEN GARUT GEOLOGY OF MOUNT SADAHURIP, GARUT DISTRICT Oleh :
Pudjo Asmoro Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Email :
[email protected]
Abstrak Isu-isu adanya piramida Sadahurip telah merebak di media massa, elektronik dan dunia maya sejak awal tahun 2012. Kalangan masyarakat tertentu masih percaya, walaupun telah disanggah oleh beberapa ahli geologi dan arkeologi. Berdasarkan pandangan ilmu kegunungapian, G. Sadahurip merupakan gunung api tua yang merupakan parasit G. Talagabodas, dan muncul di dalam bukaan kawah berarah tenggara-baratlaut. G. Sadahurip berbentuk kerucut, dan disusun oleh aliran-aliran lava dan sebagian besar ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika berumur 13320 BP. Lembah Baturahong adalah lembah dalam yang terbentuk oleh proses erosi. Bercak-bercak warna putih pada permukaan bongkahan lava yang dianggap batu bertulis di Kp.Cicaparlebak merupakan endapan silika. Semua kenampakan tersebut menunjukkan bahwa G. Sadahurip bukan piramida hasil budaya manusia pra sejarah, tetapi sebuah gunung api tua, parasit G. Talagabodas yang terbentuk sebagai hasil erupsi efusif. Kata kunci : piramida, lembah baturahong, batu bertulis, gunung api tua, Sadahurip, Garut
Abstract The issues of existing a Sadahurip pyramid has been established in newspapers and electronic medias since early 2012. The certain communities are still believing of it, although the geologists and archeologists contradicted. Based on the volcanology view's, Mt. Sadahurip is an old parasitic volcano that growth in the southeast – notrhwest opening crater of Mt. Talagabodas. The Mt. Sadahurip is a cone, constructed by lava flows and almost covered by 13320 BP pyroclastic fall deposits. The Baturahong is a deep valley located in the southeast of Mt. Sadahurip, formed by erosion processes. The white spots on the block lava surface in Cicaparlebak village that assumed as epygraft is silicic deposits. Those all features show that the Mt. Sadahurip is not a pyramid that had been built by pre hystoric human, but an old parasitic volcano of Mt. Talagabodas, formed by effusive eruption. Key words : pyramid, baturahong valley, old volcano, Sadahurip, Garut
Pendahuluan Latar belakang Dugaan adanya jejak kegiatan manusia prasejarah di G. Sadahurip telah merebak di media massa, media elektronik dan media maya sejak awal tahun 2012. Jejak kegiatan tersebut adalah keberadaan bangunan piramida yang terpendam di dalam G. Sadahurip. Piramida tersebut diduga dibangun pada periode 6 10 ribuan tahun yang lalu, dan bangunan tersebut sengaja ditimbun untuk melestarikan keberadaannya. Fenomena bangunan piramida tersebut pada awalnya didasarkan atas pertimbangan supranatural dan bentuk morfologis G. Sadahurip yang mirip dengan bangunan piramida
Naskah diterima : Revisi terakhir :
15 Juli 2013 01 November 2013
Giza di Mesir, yang dibangun pada jaman Firaun Khufu 2560 SM. Bentuk G. Sadahurip telah dibuktikan dengan survei geofisika (antara lain geolistrik dan georadar). Hasil survei tersebut menunjukkan adanya anomali bawah permukaan, yang ditafsirkan sebagai bangunan piramida budaya (Hilman, D, dalam rapat koordinasi program tindak lanjut Situs Megalitik Gunung Padang, Mei 2013). Bukti lainnya adalah adanya lembah dalam yang diisi oleh material andesit diduga merupakan tempat pengambilan bahan bangunan dalam pembuatan piramida tersebut. Adanya bercak putih pada permukaan bongkah andesit di Dusun Cicaparlebak, Desa Sukahurip, yang terletak di kaki baratlaut G. Sadahurip ditafsirkan sebagai tulisan Sunda Kuno atau epigraf.
40
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 1. G. Sadahurip dilihat dari Karangtengah dengan latar belakang G. Gombong (kiri), dan G. Beuticanar (kanan).
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Garut skala 1:100.000 (Alzwar drr.,1992), dan hasil pemetaan geologi gunungapi (Mulyana drr.,2000) daerah ini didominasi oleh batuan hasil kegiatan gunung api Kuarter, yang pada umumnya masih memperlihatkan kenampakan kerucut (Gambar 1); sementara itu bangunan piramida tidak dikenal di budaya Indonesia (Yondri,2011, komunikasi pribadi). Oleh karena itu, secara geologi dugaan G. Sadahurip merupakan bangunan piraminda menjadi janggal. Tulisan ini akan membahas asal usul/ mulajadi terbentuknya G. Sadahurip; dan hubungannya dengan keberadaan piramida tersebut di atas. Lokasi dan kesampaian daerah G. Sadahurip terletak di Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, secara geografi terletak diantara koordinat 108°01'30” - 108°04'00” BT dan 07°10'00” 07°12'00” LU (Gambar 2). Metodologi Untuk mengetahui kondisi geologi G. Sadahurip, pada awalnya melakukan kajian geologi regional, dilanjutkan interpretasi geologi data inderaan jauh, dan diikuti penelitian lapangan dan analisa laboratorium. Hasilnya dituangkan dalam peta geomorfologi dan peta geologi. Berdasarkan kedua peta tersebut dilakukan analisis pembentukannya, dan berdasarkan bentuk gunungapi, batuan penyusunnya dan proses geologi (erosi dan pelapukan) dihubungkan dengan keberadaan piramida.
Gambar 2. Lokasi G. Sadahurip.
Geologi Regional Menurut Alzwar drr. (1992) bahwa G. Sadahurip merupakan hasil erupsi gunung api muda (G.Galunggung-Talagabodas) yang tersusun oleh breksi gunung api, tuf dan lava andesit-basal; sedangkan Mulyana drr. (2000) menerangkan bahwa gunung ini menempati daerah sebelah baratlaut G. Talagabodas, berbentuk kerucut, dengan ketinggian puncak +1449 m; tersusun oleh endapan piroklastika dan leleran lava. Di bagian selatan G. Sadahurip dilalui oleh sesar normal berarah timurlaut – baratdaya, dimana tubuh bagian baratdaya merupakan bagian blok naik. Hasil Interpretasi Data Inderaan Jauh Data inderaan jauh yang digunakan berupa data citra landsat yang ditumpang-tindihkan dengan citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping). Berdasarkan kenampakan citra (Gambar 3) daerah penelitian merupakan bagian dari deretan gunung api yang melingkar mengelilingi dataran Garut. Dari selatan, gunung-gunung tersebut adalah G. Karacak, ke arah timur dan ke arah utara terdapat masingmasing G. Galunggung, G. Talagabodas, G. Eweranda dan G. Sadakeling; dan di sebelah baratnya merupakan komplek G. Guntur. G. Galunggung dan G. Talagabodas mempunyai bentuk kerucut terpancung, pada tubuhnya terdapat alur-alur air halus yang membentuk pola subradial, dan bentuk kawah masih terlihat jelas (G. Galunggung terbuka ke arah tenggara, dan
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
41
Gambar 3. Data inderaan jauh dan hasil interpretasi geologi G. Talagabodas dan sekitarnya. Gambar 4. Pembentukan G. Sadahurip.
G.Talagabodas membuka ke timurlaut yang di dalamnya tumbuh terdapat G. Sadahurip dan G. Talagasaat). G. Sadahurip berbentuk kerucut, aluralur air halus dan membentuk pola radial, serta di puncaknya tidak dijumpai kawah. Antara G. Talagabodas dan G. Eweranda terdapat kelurusan yang cukup panjang (dari Komplek Talagabodas sampai Tarogong) berarah tenggarabaratlaut. Kelurusan ini merupakan batas tegas antara produk aliran lava G.Eweranda dan G. Talagabodas; dan blok bagian selatan relatif turun terhadap blok bagian utara. Kelurusan yang terdapat di sebelah barat G. Talagabodas berarah tenggara-baratlaut memotong kelurusan di sebelah utara G. Talagabodas. Kelurusan-kelurusan ini diduga sesar tua yang tertutup produk erupsi G. Eweranda dan G. Talagabodas. Kawah G. Talagabodas membuka kearah tenggara dan baratlaut, pada bukaan ke arah baratlaut tumbuh G. Sadahurip dan G. Talagasaat. Bukaan ini ditafsirkan sebagai zona lemah yang dikontrol oleh sesar besar bawah permukaan. Geologi G. Sadahurip G. Sadahurip merupakan gunung api parasit (Kusumadinata, 1979), yang tumbuh di dalam kawah G. Talagabodas. Bentuk kerucutnya masih terlihat jelas, dan di puncaknya tidak dijumpai jejak sisa kawah. Morfologi G. Sadahurip menabrak tubuh G. Damar, yang menunjukkan bahwa G. Damar lebih tua daripada Gunung Sadahurip, yang diduga sisa tubuh G. Sadahurip tua (Gambar 4). Berdasarkan kenampakan morfologi ini menunjukkan bahwa telah terjadi 3 aktifitas gunungapi, yaitu 2 fase
pembangunan dan 1 kali fase pengrusakan. Fase pembangunan pertama adalah pembentukan gunung api Sadahurip tua dan kemudian terjadi fase pengrusakan yang menyisakan tubuh G. Damar, dan dilanjutkan fase pembangunan kembali membentuk tubuh G. Sadahurip sekarang. Erupsi-erupsinya bersifat efusif menghasilkan lava. Geomorfologi Berdasarkan citra landsat, peta topografi dan pengamatan lapangan, bentang alam daerah G. Sadahurip dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan bentang alam (gambar 6), yaitu Morfologi G. Talagabodas, Morfologi G. Gombong, Morfologi G. Talagasaat, dan Morfologi G. Sadahurip Morfologi G. Talagabodas Morfologi G. Talagabodas melampar di bagian tenggara daerah penelitian, bukaan kawah berarah tenggara-baratlaut dari kaki G. Talagabodas. Morfologi ini membentuk punggungan yang melandai ke arah baratlaut, kelerengan 10o sampai 25o. Lembah-lembahnya relatif terjal dan sempit membentuk pola aliran sub-dendritik dengan vegetasi penutup berupa tanaman palawija. Batuan penyusun morfologi G. Talagabodas adalah lava dan endapan piroklastika. Morfologi G. Gombong Morfologi G. Gombong terletak di sebelah timur hingga utara G. Sadahurip, membentuk punggungan yang berarah tenggara – baratlaut. Puncak tertinggi adalah G. Gombong, dengan ketinggian + 1847 m. Relief morfologi ini sedang-tinggi dengan kemiringan
42
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 5. Baturahong dilihat dari G. Sadahurip.
lereng bervariasi dari 10o sampai 45o, berlembah sempit dan dalam, berpola aliran sub-radial, disusun oleh lava, dengan vegetasi penutup berupa hutan lebat. Morfologi G. Gombong ditabrak oleh morfologi G. Sadahurip dan di bagian barat ditabrak oleh Morfologi G. Talagasaat. Berdasarkan kenampakan tersebut diinterpretasikan bahwa G. Gombong muncul lebih awal dibandingkan dengan G. Talagasaat dan G. Sadahurip. Morfologi G. Talagasaat Morfologi G. Talagasaat terdapat di sebelah selatan hingga tenggara G. Sadahurip. Puncak tertinggi morfologi ini adalah G. Talagasaat, berelevasi 1701 m dpl. Morfologi ini berpola sub radier, memusat di G. Talagasaat, melandai ke arah baratlaut yang berelief relatif halus dengan kemiringan lereng bervariasi dari 10o sampai 25o. Batuan penyusun morfologi ini adalah lava dan endapan jatuhan piroklastika. Sebagian besar tanaman penutup berupa palawija, tetapi di sekitar kawah berupa hutan. Morfologi G. Talagasaat menabrak morfologi G. Sadahurip di baratlaut, dan G. Gombong di utara, sehingga diinterpretasikan bahwa G. Talagasaat muncul lebih muda dibandingkan dengan G. Sadahurip, G. Gombong dan G. Talagabodas. Morfologi G. Sadahurip Morfologi G. Sadahurip berbentuk kerucut dengan puncak pada elevasi +1449 m, punggungannya menyebar ke arah baratlaut, berelief sedang-tinggi dengan kemiringan lereng bervariasi dari 10o sampai 40o. Lembah-lembahnya relatif terjal membentuk pola aliran sub-radial dan memusat pada puncak G. Sadahurip. Kerapatan aliran sungai sedang-rapat, tingkat erosi sedang-kuat, berlembah sempit dan dalam. Batuan penyusunnya adalah lava yang
ditutupi oleh endapan piroklastika. Walaupun kondisi morfologinya sangat terjal, penduduk menggunakannya sebagai daerah perkebunan, dan daerah pertanian di bagian lereng paling baratlaut. Lembah Baturahong Lembah Baturahong (Gambar 5) adalah suatu lembah dalam, yang terletak di sebelah tenggara G. Sadahurip. Lembah ini merupakan batas antara Mor fologi G.Gombong, G.Talagasaat dan G.Sadahurip. Lembah ini diisukan sebagai bekas penambangan batu manusia pra sejarah. Lembahnya berbentuk trapesium dengan luas permukaan sekitar 2 km2, dan mempunyai kedalaman 25 sampai 75 m (permukaan diukur dari ketinggian sadel Sudalarang). Tebing bagian selatan disusun oleh lava hasil erupsi G.Talagasaat, tebing bagian utara dan barat disusun oleh endapan piroklastika hasil erupsi G.Talagabodas. Dasar lembah Baturahong disusun oleh endapan aliran piroklastika yang ditindih oleh hasil longsoran dinding lava di sebelah selatan. Hasil longsoran berbentuk bongkah-bongkah dan menunjukkan struktur imbrikasi yang semakin dekat tebing ukurannya semakin besar. Stratigrafi Berdasarkan kajian citra (landsat dan SRTM) dan telaah sebaran morfologi yang ditunjang dengan penelitian di lapangan Batuan gunung api daerah G. Sadahurip dan sekitarnya adalah (dari tua ke muda) Produk erupsi G. Talagabodas Tua; Produk erupsi G. Gombong, Produk erupsi G. Sadahurip, Produk erupsi Pra G. Talagabodas Muda, Produk erupsi G. Talagasaat, Produk erupsi G. Talagabodas Muda, dan Endapan alluvial (Gambar 7).
43
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
0
0.5
1km
0.5
1km
1750 1500 1250 1000 800
Gambar 6. Peta geomorfologi G. Sadahurip, Kabupaten Garut, Jawa Barat
0
1750 1500 1250 1000 800
Gambar 7. Peta geologi G. Sadahurip, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
44
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Produk erupsi G. Talagabodas Tua Hasil erupsi G. Talagabodas Tua membentuk morfologi punggungan berelief sedang berarah tenggara-baratlaut. Batuannya berupa aliran lava yang membentuk bongkah-bongkah meruncing, berwarna abu-abu gelap, berdiameter hingga 1,5 m, bagian luar membreksi dan bagian dalam masif, ada kesan struktur berlembar, tekstur porfiritik halus tersusun oleh fenokris berupa plagioklas, piroksen dan massa dasar afanitik. Lava tersebut ditindih oleh endapan jatuhan piroklastika G. Talagabodas Muda, yang bersifat magmatis, freatik dan freatomagmatis (Fisher and Schmincke, 1984). Produk erupsi G. Gombong Lava G. Gombong membentuk morfologi punggungan berelief sedang-tinggi, berarah tenggara-baratlaut. Singkapan batuan menunjukkan lava masif, umumnya telah lapuk kuat. Lava bagian bawah berwarna abu-abu tua, berjenis andesit, porfiritik halus, masif, dengan fenokris berupa plagioklas (1-3 mm) dan piroksen (1-10 mm), tertanam dalam massa dasar berbutir halus. Lava bagian atas berwarna abu-abu tua bercak putih, bersifat andesitik, porfiritik kasar dengan fenokris dominan plagioklas (2-10 mm) dan piroksen (1-10 mm) yang tertanam dalam massa dasar berbutir halus. Lava di lokasi ini banyak mengandung xenolith andesit. Produk erupsi G. Sadahurip G.Sadahurip yang tingginya 1449 mdpl, terletak di bagian tengah daerah penelitian. Morfologi G. Sadahurip di bagian utara menabrak Morfologi lava
Gambar 8. Singkapan lava berstruktur plat di Cicapar Lebak.
G. Gombong, sedangkan di selatan ditabrak oleh Morfologi lava G. Tegalsaat dan endapan aliran piroklastika produk erupsi G. Talagabodas Muda. Berdasarkan pengamatan lapangan dan kenampakan morfologi, produk G. Sadahurip dapat dipisahkan menjadi lava tua dan lava muda (Gambar 4). Lava G. Sadahurip tua tersebar di kaki bagian timur dan tenggara, membentuk morfologi punggungan berelief sedang berarah tenggarabaratlaut. Singkapan lava yang tersingkap di lembah sungai Kp. Cicapar Lebak (Gambar 8) dicirikan oleh bagian permukaan yang umumnya berkekar lembar dan plat. Bagian bawahnya berbongkah dan retaktidak teratur dan ditindih oleh endapan jatuhan piroklastika berwarna coklat. Pada bagian yang masih segar, berwarna abu-abu muda, berjenis andesit, porfiritik sedang, fenokris dominan plagioklas, dan piroksen, yang tertanam pada massa dasar afanitik. Singkapan di punggungan G. Damar (Gambar 9), bagian permukaan umumnya berbongkah berukuran 1 – 6 m, semakin ke bawah bersifat breksiasi, pejal dan keras, berukuran fragmen 3 cm – 70 cm. Pada bagian yang masih segar, berwarna abu-abu gelap, berjenis andesit, porfiritik, fenokris dominan plagioklas (0,5-1,5 mm), piroksen (1 mm), tertanam dalam massa dasar afanitik; sedangkan singkapan di punggungan sebelah timur Sungai Ci Kantong hingga ke lembahnya, bagian permukaan umumnya masif dan berbongkah berukuran 2 – 7 m. Batuan berwarna putih keabu-abuan, jenis andesit piroksen, porfiritik dengan fenokris dominan plagioklas (0,5-5 mm), piroksen (1-5 mm), hornblende (0,5-1 mm), tertanam dalam massa dasar berbutir sedang.
Gambar 9. Singkapan breksi lava di lereng utara G. Damar.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
45
Lava G. Sadahurip muda tersingkap di beberapa tempat. Singkapan di lereng utara berupa bongkahbongkah lava andesit (Gambar 10) berukuran 50 cm - 242 cm, bentuk tidak teratur dan permukaan relatif membulat, berwarna abu-abu, tekstur porfiritik, ukuran fenokris 0,5 – 2 mm, struktur masif dan vesikuler, fenokris berupa plagioklas (0,5 – 2 mm, 25 %), piroksen (1 mm, 6 %), hornblenda (1-2 mm, 1%), massa dasar mineral mafik yang afanitik. Singkapan di lereng timurlaut bagian atas berupa bongkah-bongkah lava andesit berukuran 20 cm 254 cm, bentuk tidak teratur dan permukaan relatif membulat. Batuan tersebut berwarna abu-abu, tekstur porfiritik, ukuran fenokris 0,5 – 2,5 mm, struktur masif dan vesikuler. Pengamatan petrografi menunjukkan bahwa fenokris berupa plagioklas (0,5 – 2 mm, 35%), piroksen (1 mm, 9%), hornblenda (12 mm, 1%), massa dasar mineral mafik yang afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit. Singkapan bagian bawah berupa tonjolan tonjolan lava berbentuk blok tidak teratur dan lava plat, berukuran 5 cm – 1,5 m. Lava tersebut berwarna abu-abu, vesikuler dan masif, porfiritik, hasil analisis petrografi menunjukkan komposisi plagioklas (1-2 mm, 30 %), piroksen (1 mm, 10 %), hornblenda (1 mm, 1 %), di dalam massa dasar yang afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit. Singkapan di lereng timur (Gambar 11) terdiri atas breksi lava berwarna abu-abu hingga coklat, masif dan pejal, tersusun oleh fragmen andesit berukuran 10 hingga 30 cm, bentuk menyudut, tebal lebih dari 20 m. Breksi lava di daerah ini ditindih oleh endapan aliran piroklastika dan jatuhan piroklastika warna coklat. Batuan berwarna segar abu-abu, warna lapuk merah bata, tekstur porfiritik, ukuran fragmen 1 – 17 cm (ukuran
3-4 mm lebih dominan), fenokris berupa plagioklas (0,5 - 1 mm, 35 %), piroksen (0,5 - 3 mm, 9 %), hornblende (2 mm, 1 %), dalam masa dasar berupa mineral mafik yang afanitik, tebal singkapan 16,2 m. Singkapan di lereng tenggara berupa bongkahbongkah lava dan lava plat. Bongkah-bongkah lava berukuran (44 cm - 130 cm), bentuk tidak beraturan, berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiritik, vesikuler, tersusun oleh fragmen berukuran maksimum 2,5 mm, berupa plagioklas (0,5 mm -2 mm, 30%), piroksen (0,5 mm -1 mm, 5 %), dalam massa dasar mineral afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit. Lava plat mempunyai tebal 30- 68 cm, panjang sampai 7 m, bentuk memanjang dan menyudut, berwarna abu-abu, tekstur porfiritik, vesikuler dan masif, tersusun oleh fragmen berukuran maks. 2 mm, berupa plagioklas (0,5 mm -2 mm, 30%), piroksen (1,5 mm, penyebaran merata, 10 %), dalam massa dasar afanitik. Singkapan di lereng selatan berupa bongkah-bongkah lava berukuran 44 - 130 cm, berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiritik, vesikuler, tersusun oleh fragmen berukuran maksimum 2,5 mm, berupa plagioklas (0,5-2 mm, 30%), piroksen (0,5-1 mm, 5 %), dalam massa dasar mineral mafik yang afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit. Singkapan lereng barat G. Sadahurip (Gambar 12) tersusun oleh lava masif yang mengalami retak-retak dan sebagian bongkahbongkah. Batuan berwarna abu-abu keputihan (abuabu cerah), tekstur porfiritik, masif, tersusun oleh fenokris berukuran 0,5 mm - 5 mm (dominan 1,5 mm), berupa plagioklas (0,5 - 5 mm, 45 %), piroksen (1,5 mm, 10 %), dalam massa dasar afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit.
Gambar 10. Singkapan lava pada lereng utara G. Sadahurip.
Gambar 11. Singkapan breksi lava di lereng timur G. Sadahurip.
46
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Gambar 12. Singkapan lava masif di lereng barat G. Sadahurip.
Gambar 13. Singkapan endapan aliran piroklastika di Ci Dalem
Singkapan di puncak G. Sadahurip berupa bongkahbongkah lava andesit berukuran 30 cm - 64 cm, bentuk tidak teratur dan permukaan relatif membulat. Batuan tersebut berwarna abu-abu, masif, tekstur porfiritik, ukuran fenokris 0,5 – 2,5 mm, struktur masif dan vesikuler, fenokris berupa plagioklas (0,5 – 1,5 mm, 30 %), piroksen (1 – 2 mm, 10 %), hornblenda (1-2,5 mm, 1%), massa dasar mineral mafik yang afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini termasuk andesit.
api berukuran kecil dengan kawah di puncaknya. Produk erupsi G. Talagabodas Muda yang mencapai daerah penelitian adalah endapan aliran piroklastika (Endapan aliran piroklastika G. Talagabodas Muda, Gambar 7), dan dua endapan jatuhan piroklastika yaitu Endapan jatuhan piroklastika 1 G. Talagabodas Muda (Gambar 7); dan Endapan jatuhan piroklastika 2 G. Talagabodas Muda (gambar 7).
Produk erupsi Pra G. Talagabodas Muda Produk erupsi Pra G. Talagabodas Muda adalah endapan aliran piroklastika (Endapan aliran piroklastika 1 Pra G. Talagabodas Muda, Gambar 7). Endapan ini membentuk morfologi punggungan berelief sedang-halus, berarah tenggara-baratlaut. Endapan aliran piroklastika dijumpai di di lembah Ci Dalem (Gambar 13), dijumpai di lembah Ci Putih, dan di tebing utara Baturahong. Produk erupsi G. Talagasaat Aliran lava Talagasaat membentuk morfologi punggungan berelief sedang, berarah tenggarabaratlaut dan sangat dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan Baturahong. Ciri fisik lava di tebing Baturahong hingga ke lembahnya terdiri dari 2 aliran lava (Gambar 14), sedangkan Endapan jatuhan piroklastika 1 Talagasaat diperkirakan sebagai akhir dari kegiatan G. Talagasaat, yang tersebar di sekitar kawah. Produk erupsi G. Talagabodas Muda G. Talagabodas tumbuh di dalam kawah G. Telagabodas Tua dan ditunjukkan oleh tubuh gunung
Endapan aliran piroklastika 1 G. Talagabodas Muda, berwarna coklat, urai (lepas) di bagian atas, dan agak terkonsolidasi di bagian bawah, dengan tebal lapisan dari 1 - 5 m. Endapan jatuhan piroklastika 1 G. Talagabodas Muda tersebar ke arah timur, yang membentuk morfologi punggungan-punggungan berelief rendah-sedang. Jatuhan piroklastika 2 G. Talagabodas Muda ini umumnya berwarna kuning, terdiri dari beberapa lapisan dengan ketebalan bervariasi dari 15-60 cm, urai, berbutir abu hingga lapili, didominasi oleh komponen pumis dengan sedikit kandungan litik andesit dan litik teralterasi, yang disisipi oleh endapan alterasi berwarna putih, tebal sekitar 10 cm. Tebal lapisan tersingkap secara keseluruhan sekitar 20 m. Endapan jatuhan piroklastika 2 tersebar luas di bagian timur hingga baratlaut daerah penelitian, yaitu dari daerah Cicaparpasir, Sukahurip hingga Sindanggalih. Bentang alam yang dibentuknya mengikuti pola morfologi yang telah terbentuk sebelumnya yakni berupa punggungan sempit berelief sedang. Endapan jatuhan piroklastika 2 G. Talagabodas Muda tersingkap di tepi jalan Sukahurip (Gambar 15) bagian bawah kondisi lapuk lanjut, berwarna coklat abu-abu, terkonsolidasi, klastik, ukuran butir lapili (0,5 mm - 1 cm), menyudut-menyudut tanggung, kemas terbuka, struktur gradasi normal, komposisi gelas vulkanik dan litik andesit, tebal 242 cm,
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
47
Gambar 14. Singkapan aliran lava Talagasaat di dinding timur Baturahong
Gambar 15. Singkapan endapan jatuhan piroklastika di Kp. Cicaparpasir.
sedangkan di bagian atas merupakan perselingan antara lapisan berbutir kasar dan halus dengan ketebalan lapisan bervariasi dari 10 cm sampai 70 cm, umumnya lebih urai, dan didominasi oleh litik andesit basaltik berukuran abu. Hasil pentarihan umur endapan piroklastika (Paleosoil) yang diambil di Kp. Cicaparpasir, menunjukkan umur 14000 220 B.P. (1950) dan Paleosoil di bawah tempat parkir 13320 300 B.P. (1950).
Bahasan
Kenampakan singkapan lava pada umumnya masif, berkekar lembar dan plat, terkekarkan, terbreksikan di permukaan, berbentuk bongkah-bongkah tajam dan membulat dengan berbagai ukuran. Kenampakan lava masif menunjukkan bahwa selama mengalir bersifat homogen, cair, tidak mengalami pendinginan secara cepat, yang umumnya sebagai bagian dalam suatu aliran lava (Macdonald, 1972). Lava yang mengalir secara laminer dan membeku secara perlahan akan menghasilkan lembaranlembaran tipis dan tebal (plat dan berlembar). Selain itu lava yang sudah berhenti mengalir dan kemudian membeku, akibat proses pendinginan selama pembekuan mengakibatkan lava tersebut rekahrekah. Sedangkan breksi lava merupakan bagian permukaan aliran lava, baik bagian bawah maupun bagian atas, yang langsung bersentuhan dengan udara luar sehingga membeku dengan tiba-tiba dan sebagian teroksidasi (terbakar). Sebagai hasil proses pendinginan yang tiba-tiba mengakibatkan pecahpecah, bentuk tajam-tajam dengan berbagai ukuran, dari tebal beberapa cm hingga beberapa meter, urai hingga padu tergantung terjadi pemampatan dan pengelasan selama mengalir, berwarna abu-abu hingga merah (terbakar) dan dikenal sebagai breksi lava. Bongkah-bongkah lava yang dijumpai pada bagian permukaan tubuh G. Sadahurip merupakan bagian rekahan lava akibat pembekuan, pembreksian dan pembebanan, atau sebagai hasil longsoran tubuh lava, sehingga menghasilkan bentuk dan ukuran tidak beraturan. Adapun bongkah berbentuk membulat diakibatkan oleh proses erosi dan pelapukan.
Batuan penyusun tubuh G. Sadahurip tersusun oleh lava andesit dan sebagian besar tubuh tersebut ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika.
Endapan jatuhan piroklastika yang menyelimuti tubuh G. Sadahurip merupakan hasil erupsi eksplosif gunung api aktif yang diduga G. Talagabodas.
Endapan Aluvial (Al) Endapan aluvial ini menutupi lembah Sungai Ci Kantong yang tersusun oleh material lepas, berukuran bongkah hingga lempung, antara lain berupa fragmen-fragmen andesit berukuran pasir hingga bongkah. Endapan ini tertransportasikan dari tinggian dan lereng G. Sadahurip serta di sekitar lembah Ci Kantong dan akhirnya terendapkan pada daerah yang relatif lebih rendah. Struktur geologi Batuan di daerah penelitian terdiri atas batuan gunungapi Kuarter, sehingga kenampakan struktur geologi agak tidak jelas. Struktur geologi yang ada bersifat lokal, yang terdiri atas Sesar normal Sudalarang, dan beberapa kelurusan morfologi yang terdiri atas Kelurusan Cicaparpasir, Kelurusan Cicaparpasir-Talagasaat, Kelurusan Cidalem, dan Kelurusan Ci Putih.
48
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan tubuh G. Sadahurip merupakan hasil erupsi G. Sadahurip sendiri, yang bersifat efusif, tersusun oleh aliran-aliran lava, yang membentuk kerucut gunung api, kemudian ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika. Jadi bentukan ini bukan bangunan piramid yang dikubur dan bukan hasil budidaya manusia. G. Sadahurip bersama dengan G.Talagasaat tumbuh di dalam bukaan kawah G. Talagabodas yang berarah tenggara-baratlaut. Bukaan tersebut ditafsirkan sebagai zona lemah yang dikontrol oleh sesar besar tua berarah tenggara-baratlaut. Zona lemah tersebut ditunjukkan oleh penerobosan magma ke permukaan yang membentuk G. Sadahurip dan G. Talagasaat sebagai gunung api parasiter dari G. Talagabodas. Lembah Baturahong adalah lembah dalam, yang terletak di kaki timur G. Sadahurip, berbentuk trapesium dengan luas permukaan sekitar 2 km2. Lembah ini mempunyai kedalaman 25 hingga 75 m. Berdasarkan dimensi tersebut, volume lembah ini kurang-lebih 1.000.000 m 3 ; sedangkan G. Sadahurip yang berbentuk kerucut dengan diameter sekitar 1,1 km dan tinggi sekitar 0,25 km mempunyai volume kurang-lebih 2.400.000 m3. Volume G. Sadahurip jauh lebih besar dibanding volume lembah Baturahong, maka lembah ini bukan merupakan bekas galian penambangan andesit untuk bahan bangunan piramida Sadahurip. Lembah Baturahong ini pada awalnya terisi penuh oleh endapan aliran piroklastika yang bersifat urai dan ditindih oleh lava produk G. Talagasaat. Endapan aliran piroklastika bersifat lunak dan lepas sangat mudah tererosi, sedangkan lava sangat resisten. Oleh proses erosi, endapan aliran piroklastika ini hilang,
Larutan silika mengendap di celah lava plat
dan membentuk lembah dalam, sedangkan lava yang bersifat resisten membentuk dinding terjal. Karena di bagian bawahnya kosong, dinding lava ini runtuh, yang membentuk dinding Baturahong. Runtuhan lava berupa bongkah-bongkah meruncing dengan berbagai ukuran dan mengisi lembah Baturahong. Maka dapat disimpulkan bahwa lembah Baturahong merupakan lembah bentukan alam, dan /atau bukan merupakan bekas tambang bahan galian sebagai aktifitas manusia. Bongkah batuan dengan bercak putih terdapat di Kampung Cicaparlebak, terletak kurang-lebih 60 m dengan posisi relatif lebih rendah dari singkapan lava yang berstruktur kekar lembar atau kekar plat di daerah tersebut. Penampakan ini diisukan sebagai batu bertulis, yang dianggap sebagai prasasti kuno. Berdasarkan pengamatan gemology, bercak-bercak putih tersebut ternyata adalah kuarsa susu (milky quartz) yang lazim ditemukan di dalam rekahan lava hasil pengisian larutan hidrotermal. Pola bercakbercak putih tersebut yang menyerupai huruf kuno ditafsirkan sebagai hasil pelapukan dan erosi dengan tingkatannya berbeda, karena terdapat beberapa kuarsa susu yang kekerasannya bervariasi, yaitu adanya kuarsa susu lunak, dan kuarsa susu yang masih utuh dengan kekerasan lebih dari 6 skala Mohs. Adanya bongkah lava dengan kuarsa susu ini berkaitan dengan proses mineralisasi hidrotermal yang sejauh ini tidak ditemukan pada singkapansingkapan lainnya. Bentuk bongkahannya yang membulat (Gambar16) menunjukkan batuan tersebut hasil transportasi dan permukaannya telah tererosi. Sebagai tambahan, tulisan prasasti kuno pada umumnya digores di permukaan batu dan bukan menempel.
Endapan larutan silika menempel pada permukaan lava plat
Batuan runtuh dan tertransport, permukaan tererosi, menjadi bercak-bercak putih
Gambar 16. Singkapan lava plat dan bercak putih larutan silika, lokasi Cicaparlebak
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Maka dapat disimpulkan bahwa bongkah lava dengan bercak-bercak tersebut berasal dari runtuhan lava berstruktur kekar plat dengan kuarsa susu di dalam kekar, kemudian lapuk dan tererosi. Hal ini dapat menyanggah bahwa batu tersebut adalah prasasti. Kesimpulan n G. Sadahurip adalah sebuah kerucut gunung api
tua yang batuan penyusunnya didominasi oleh lava andesit yang ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastik. Gunung api Sadahurip dan G. Talagasaat merupakan gunung api parasiter G. Talagabodas yang muncul di dalam kawah. n Lembah Baturahong terbentuk oleh proses erosi
secara alamiah, dan bercak putih pada permukaan bongkah andesit merupakan mineral sekunder silika, yang terbentuk secara
49
alamiah di dalam rekahan, bukan tulisan Sunda kuno. n G. Sadahurip adalah suatu gunungapi purba
yang merupakan hasil aktifitas magamtisme; dan bukan suatu bangunan pyramid yang merupakan budidaya manusia. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada Prof. Ris. Dr. Ir. Sutikno Bronto yang telah memberi saran dan arahan sehingga tulisan ini dapat diterbitkan, Malia Adityarani dan Sony Sofyan yang telah membantu pengumpulan data lapangan, Hari Puranto yang telah membantu penggambaran peta, dan Bapak Ayi selaku Kepala Desa Sukahurip yang telah menyediakan akomodasi dan komsumsi selama penyelidikan lapangan.
Acuan Alzwar, M., Akbar, N., Bachri, S., 1992. Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, Skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Fisher, R.V., and Schmincke, H.U.,1984. Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin. Macdonald, G. A., 1972. Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung. Mulyana, A.R., Taufiqurrohman, R., Sasongko, Y., Suswati, Haerani, N., dan Sutawidjaja, I.S., 2000. Pemetaan Geologi Komplek Gunungapi Talagabodas, Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat, Direktorat Vulkanologi, Bandung. Travis, B.R.,1955.Classification of Rocks, Quarterly of the Colorado School of Mines.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
51
KONDISI TEMPERATUR, WAKTU, DAN ph REAKSI UNTUK MENGOPTIMASI PROSEDUR STANDAR ANALISA PLATINUM DENGAN EKSTRAKSI ATOMIC ABSORPTION SPECTROMETRY TEMPERATURE, TIME, AND ph REACTION CONDITION TO OPTIMIZE STANDARD OPERATION PROCEDURE ON PLATINUM ANALYSIS BY EXTRACTION ATOMIC ABSORPTION SPECTROMETRY Oleh : R. Irzon dan Kurnia Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung e-mail:
[email protected]
Abstrak Atomic Absorption Spectrometry (AAS) merupakan salah satu perangkat yang familiar dalam pengujian kadar kimia karena memilik kapabilitas tinggi dengan konsumsi waktu, biaya, dan tenaga yang tidak besar untuk mendapat presisi uji yang cukup baik. Penelitian mengenai optimasi perangkat ini telah banyak dilakukan. Pusat Survei Geologi turut melakukan studi terhadap perangkat ini untuk pengujian logam mulia, salah satunya adalah Platinum (Pt) terhadap contoh geologi. Percobaan ekstraksi Pt menggunakan kelat Amonium Pirolidin Carbamat dan pelarut Metil Isobutil Keton sesuai skema literatur memberikan recovery 14 - 20% yang berarti proses belum baik secara kuantitatif. Tulisan ini mengurai standar prosedur yang sudah ada dan meneliti pengaruh variabel termperatur, waktu, dan pH ekstraksi Pt pada beberapa konsentrasi standar sebelum diperiksakan kandungannya menggunakan AAS. Hasil percobaan menasbihkan bahwa temperatur ekstraksi terbaik adalah pada keadaan kamar, dengan lama reaksi 60 menit antara ion Pt dan APDC. Disimpulkan bahwa kondisi pH 2,0 merupakan tingkat keasaman terbaik. Proses ekstraksi hasil penelitian ini cocok pada Pt dalam matrik yang tidak banyak mengandung logam lainnya seperti dalam air atau pada katalis. Pengukuran dalam matrik berkondisi sebaliknya, seperti pada Saprolit masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait selektifitas APDC terhadap logam berat lain. Prosedur standar ini dapat dikembangkan agar lebih tangguh untuk diterapkan pada laboratorium manapun dan diajukan sebagai standar pengujian Pt di Indonesia Kata Kunci: Platinum, AAS, standar, ekstraksi, kondisi reaksi.
Abstract Atomic Absorption Spectrometry (AAS) has become a familiar technique to analys many chemical elements composition because of low time consumption and cost effectiveness to reach good precission. There are many studies to optimize this method. The Certer of Geology Survey of Indonesia started the study about nobel metals, including Platinum in geological samples using AAS. Pt extration experiments using Amonium Pirolidin Carbamat and Metil Isobutil Keton based on literature provides recovery 14-20%, means that the process was not well quantitatively. This paper describes literature's procedure and investigated the influence of temperature, time, and pH of Pt extraction on some standards' concentrations using AAS. The experiment showed that the best extraction was in room temperature, with reaction time between Pt ions and APDC for 60 minutes. It was concluded that pH 2.5 was the best acidity level. This extraction process fit on Pt in a matrix which did not contain high level of metal as in catalysts or water. Measurement to contrary matrix, as in Saprolite require further research related to APDC selectivity against other heavy metals. Our standard procedures could be developed to become more robust to be applied to any laboratories and submitted as Pt measurement standard in Indonesia Keywords: Platinum, AAS, standard, extraction, rection condition.
Pendahuluan Ruthenium, Rhodium, Palladium, Osmiun, Iridium dan Platinum merupakan unsur kimia yang Naskah diterima : Revisi terakhir :
15 Juli 16 Oktober
2013 2013
merupakan anggota platinum group elements (PGM) pada tata elemen kimia. Seluruhnya merupakan logam transisi yang berada pada blok-d pada tabel kimia. Logam tersebut memiliki sifat kimia dan fisika yang mirip dan sering dijumpai pada deposit mineral yang sama.
52
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
PGM ini kemudian dibagi lebih lanjut mengacu pada kelakuannya pada sistem geologi, yakni: IPGE (Iridiumgroup Platinum Group Elements: Os, Ir, dan Ru) dan PPGE (Palladium-group Platinum Group Elements: Rh, Pt, Pd) (Wilkipedia, 2013). Elemen kimia tersebut memiliki kelebihan luar biasa terhadap sifat katalisnya, resistensi tinggi terhadap bahan kimia maupun temperatur, dan stabil secara elektris. Lebih khusus, Platinum cocok dan sering dijadikan perhiasan. Latar Belakang Bond (2000) mengulas lebih jauh terhadap fenomena PGM dan menyebutnya sebagai 'efek relatifitas' secara kimia. Hal ini dikarenakan unsur pada platinum group elements memiliki koordinasi dan chemisorption yang berbeda dengan unsur lain terhadap karbon monoksida dan hidrokarbon tak tersaturasi. Dua isu tadi menjadi menarik karena dapat diarahkan kepada industrialisasi maupun pemeliharaan lingkungan. Oksidasi Pt(IV) juga didapati lebih stabil dari Pd(IV) walaupun merupakan sesama PGM yang bersifat elektris stabil. Dalam penelitian ilmu kesehatan pun PGM terbukti berdaya guna bahkan terhadap penanganan kangker (seperti: Dubiella-Jackowska dkk., 2007; Abu-Surrah dan Kettunen, 2006). Sifatsifat dan keunggulan demikian yang membuat elemen-elemen ini mahal harganya. Pusat Survei Geologi (PSG) telah menginisiasi pemanfaatan dan pengujian platinum group elements sejak tahun 2007 melalui penelitian geologi ke daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian tersebut didukung dengan fasilitas dan ahli geologi pada kegiatan lapangan hingga uji laboratorium. Laboratorium Geologi yang berada dalam koordinasi PSG memiliki beberapa instrumen untuk mendukung pengujian geokimia, termasuk pengukuran Pt, seperti: Gravimetri, XRF, ICP-MS, dan AAS. Tulisan ini lebih meningkatkan peran AAS dalam standarisasi pengujian Platinum dengan optimasi parameter suhu, waktu dan pH ekstraksi terhadap contoh standar. Hal ini lebih jauh bermanfaat dalam standarisasi Laboratorium Geologi dan pelayanan pengujian geokimia terhadap konsumen. Tujuan Perangkat AAS yang dimiliki oleh Pusat Survei Geologi ini sebelumnya telah berhasil melakukan optimasi pengukuran standar elemen Mg dalam pasir besi (Irzon, 2012) maupun adaptasi SNI 13-36081994 pada pengukuran contoh dengan kadar Fe
tinggi (Irzon, 2013). Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan rangkaian pengujian kandungan Pt menggunakan kelat Amonium Pirolidin Carbamat (APDC) dan pelarut Metil Isobutil Keton (MIBK) terhadap contoh geologi. Skema awal berpijak kepada skema Cantel (1982) dengan optimasi temperatur, pH, dan waktu reaksi. Hasil pengukuran menggunakan metoda literatur kemudian diperbandingkan dengan tujuan optimasi. Lebih jauh, penulis ingin menghasilkan skema robust yang dapat diterapkan pula di laboratorium uji lainnya. Fokus penelitian ini diharapkan dapat mempercepat terciptanya alur analisa Pt dengan AAS yang dapat distandarkan di tingkat nasional. Tinjauan Pustaka Atomic Absorbance Spectrometry Laboratorium Geologi bervisi menjadi mitra utama peneliti geologi dalam pengembangan ilmu kebumian dan sumber daya alam Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, lembaga ini dilengkapi dengan beragam perangkat uji yang terus ditingkatkan kemampuannya pada sisi geokimia maupun geofisika. Perangkat uji geokimia mutakhir yang telah berjalan antara lain: gravimetri, XRF, AAS, ICP-MS; sedangkan XRD, mikroskop, Uji radiasi, SEM, Paleomagnet turut mendukung dari sisi geofisika. Sisi sumber daya manusia turut diperhatikan, dimana laboratorium ini memiliki ahli kimia dan fisika yang terampil di bidangnya. Atomic Absorbance Spectrometry (AAS) dipilih karena memang lazim dimanfaatkan terhadap pengujian kadar elemen secara umum (Lajunen dan Permaki, 2004). PSG memiliki dua buah AAS, yang sangat sering dipakai bertipe 120 FS dari Variant, dan satu tipe lagi yang lebih tua dan jarang dimanfaatkan kecuali pada uji elemen terentu. Pada tulisan ini kami hanya menggunakan AAS tipe pertama dalam pengujian seluruh standar maupun contoh. Perangkat yang dimiliki oleh PSG ini dilengkapi processing computer untuk memonitor maupun mengatur skema pengukuran dengan mengadaptasi konsep dan teknis Beaty dan Kerber (1993). ICP-MS memang merupakan peralatan yang paling canggih dan mampu mengujikan puluhan elemen dalam satu kali analisa, kemudian biaya pengoperasiannya masih tinggi serta membutuhkan rangkaian kondisi tertentu agar dapat menghasilkan hasil uji berkualitas (Yoon drr., 2004). Oleh karena itu, AAS dimajukan pada untuk pengujian untuk elemen-elemen terpilih.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
53
Setiap perangkat memiliki beberapa kelemahan. Seperti diungkap oleh Siregar drr. (2012), Gangguan analisis dalam AAS dapat dikelompokkan pada beberapa katagori yakni: spektral, emisi, kimia, matriks, pancaran (scater) yang tidak spesifik, dan ionisasi. Kesulitan terbanyak berasal dari gangguan kimia, matrik, pemancaran sinar dan ionisasi. Gangguan disebabkan emisi dari unsur pada panjang gelombang yang sama dimana absorpsi terjadi (diukur). Permasalahan berikutnya disebut sebagai gangguan kimia berupa sesuatu yang mencegah atau menekan pembentukan atom pada tingkat dasar (ground state) dalam nyala.
Secara prinsip sederhana pelarutan Pt dengan penggunaan 40 ml aqua regia terhadap 1 gr Pt untuk kemudian dievaporasi dan dikeringkan, sebelum ditambahkan 10 ml HCl untuk kembali dievaorasi dan akhirnya disimpan setelah ditambahkan kembali HCl 10 ml sebagai larutan stok. Namun demikian, aplikasi ini tidaklah semudah itu, yang kemudia membuat studi tata cara penanganan Pt banyak dikerjakan (seperti: Bashour dan Sayegh, 2007; Balcerzak, 2002; Sracek drr., 2004; Yoon drr., 2004)
Platinum
Platinum Group Metals biasanya dianalisa menggunakan perangkat XRF, ICP-AES atau pun ICPMS (Yoon drr. 2004). Pada limit deteksi rendah, beberapa elemen bernilai tinggi tersebut dapat dianalisa dengan akuarasi tinggi menggunakan ICPMS setelah terlebih dahulu diisolasi melalui fire assaying. Pada tingkat konsentrasi lebih besar Pt maupun Pd dapat diukur menggunakan ICP-OES maupun AAS graphit setelah fire assaying atau langsung dari hasil pelarutan contoh dengan asam kuat. Hasil pelarutan selanjutnya diekstraksi untuk memisahkan PGM dari matriks yang mengganggu. Oleh karena itu, studi ini diinisiasi untuk mencari prosedur yang baik mengenaik uji PT menggunakan AAS graphit melalui pemisahan matriks pengganggu. Kelat Amonium Pirolidin Ditio Carbamat (APDC) dan pelarut organik Metil Isobutil Keton (MIBK) berfungsi sebagai pemisah matriks tersebut.
Elemen kimia ini mempunya formula kimia Pt. Sebagai unsur yang merupakan anggota platinum group element, nilai jual mineral platinum memang tinggi karena memiliki sifat-sifat khusus. Formula weight platinum adalah 195.08 dan densitas 21,0920. Melting point dan boiling point Pt secara berurutan pada 1.769oC dan 3.824oC. Lang (1999) menuliskan bahwa elemen ini sendiri dapat larut dalam aqua regia maupun fused alkali. Beberapa campuran kimia Pt yang lazim dikenal antara lain: Platinum(II) klorida (PtCl2), Platinum(IV) klorida (PtCl4), Platinum(VI) florida (PtF6), Platinum(II) oksida (PtO), Platinum(IV) oksida (PtO2), dan Platinum(IV) sulfide (PtS4). Pada bab IV dalam bukunya, Dean (1999) terus mengulas secara rinci mengenai sifat-sifat elektris elemen kimia. Hasil pengujian menunjukkan bahwa unsur platinum dengan nomor atom 78 ini memiliki konfigurasi elektronik [Xe] 4f14 5d9 6s. Konduktifitas termal Pt pada 25oC sebesar 71,6 W/mK dengan resistivitas elektrik 10,6 µΩ (20oC). Pada kondisi temperatur kamar, elemen ini memiliki besaran koefisien terhadap ekspansi termal linear yaitu 8,8 m.m-1(x106). 205,3(2) kJ/mol adalah afinitas elektron Pt yang merupakan perbedaan energi antara keadaan terendah (ground state) fasa netral dan keadaan terendah ion negatif pada fasa gas. Definisi satuan kilo gram yang dipakai dalam dunia ilmiah pun berasal dari massa campuran PlatinumIridium yang disimpan di Paris. Jumlah isotop Platiunum adalah enam buah dengan rincian nomor massa berikut persentasinya di alam (dalam kurung) adalah: 190 (0,01%), 192 (0,79%), 194 (32,9%), 195 (33,8%), 196 (25,3%), dan 198 (7,2%).
Metoda Penelitian
Proses dimulai dengan acuan skema Cantel (1982) untuk kemudian diteliti pengaruh variasi kondisi operasinya. Pada tahap awal preparasi, disiapkan dua buah standar Platinum cair dan satu buah blanko dengan volume masing-masing 10 ml. Standar Pt yang disiapkan tersebut berkonsentrasi 0,1 dan 10 ppm. Analisa blanko berguna untuk mengamati bagaimana kondisi larutan tanpa Pt setelah dianalisa dengan AAS, sedangkan pemilihan dua tingkat konsentrasi tadi dipilih untuk melihat tingkat absorbansi alat terhadap dua level Pt yang dinilai cukup jauh. Kedalam ketiga larutan ditambahkan dengan aquades 20 ml dalam labu reaksi 100 ml. NaOH dan HCl dimanfaatkan untuk mengatur pH larutan, yaitu pada level keasaman 4. Setelah tingkat pH tercapai, maka ditambahkan 4 ml APDC 1% segar pada masing-masing labu reaksi. Waktu reaksi antara Pt dan APDC yang diterapkan adalah 5 menit.
54
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Hasil dan Pembahasan Lima tingkat konsentrasi standar ditambahkan MIBK sebanyak 5 ml sebagai pelarut organik untuk kemudian melalui tahap ekstraksi. Reaksi ekstraksi memerlukan waktu 2 menit antara larutan dengan MIBK dalam corong pemisah, hal ini juga diterapkan pada skema pertama penelitian ini. Setelah ekstraksi selesai maka akan terbentuk dua fasa, yakni fasa organik (bersama MIBK) dan fasa air. Kedua fasa tersebut kemudian diperiksa absorbansi dan konsentrasi Pt-nya menggunakan AAS. Awalnya, penulis menggunakan AAS flame dengan lima level standar alat, yakni: 0 (blank), 2,5, 5, 10, dan 20 dala, satuan ppm dimana hasilnya terangkum pada Tabel 1. (C= konsentrasi pembacaan alat). Pada tabel tersebut terlihat kepekaan metode flame untuk Pt sangat rendah. Hasil pembacaan konsentrasi 20 ppm, absorban hanya 0,0083, sehingga hasil analisis meragukan. Konsentrasi terukur dari Pt yang tidak terekstrak untuk yang asalnya 0,1 ppm pada pembacaan alat sangat tinggi yaitu sekitar 6 ppm. Sedangkan contoh yang asalnya 10 ppm memiliki hasil analisa sisa tingga, yakni 5 ppm. Karena hasil yang meragukan akibat kepekaan yang tidak memadai, pengujian conto diulang menggunakan Grafit Furnace- AAS dan menggunakan enam buah level standar alat, yaitu: 0, 100, 200, 400, 600 dan 800 dalam satuan ppb. Hasil analisis Pt dalam fasa air yang tidak terekstrak pada Tabel 2, menunjukkan presisi rendah. Larutan yang mulanya 0,1 ppm yang tertinggal antara 0,72 s.d. 0,12 ppm, sedangkan yang asalnya 10 ppm Tabel 1. Hasil analisa Pt: fasa air, standar berkonsentrasi tinggi (AAS Ptflame).
yang tertinggal antara 0 s.d. 0,05 ppm. Hasil ini memperlihatkan larutan masih mengandung matrik yang mengganggu, diperkirakan berasal dari APDC. Hasil pengukuran pada fasa air tidak meyakinkan karena ada hasil yang tersisa jauh lebih besar dari yang asalnya. Hasil analisis Pt dalam yang terekstrak ke fasa MIBK menunjukkan bahwa pada contoh berkonsenrasi awal 0,1 ppm yang terekstrak antara 20%, sedangkan yang asalnya 10 ppm hanya mendapat nilai antara 14 – 15 % dari keadaan awal. Ini menunjukkan proses ekstraksi menggunakan skema dari literatur tidak berlangsung baik dalam studi ini, maka perlu dilakukan percobaan untuk mendapatkan parameter proses ekstraksi yang optimum. Langkah optimasi selanjutnya diambil dengan memvariasikan waktu dan temperatur reaksi. Setelah mendapatkan hasil pembacaan yang terdapat pada Tabel 2., studi ini bermaksud mengoptimalkan ekstraksi dengan variasi temperatur reaksi dan waktu reaksi. Dapat dilihat dari hasil pembacaan alat bahwa skema awal dengan lama reaksi 5 menit tidak menunjukkan hasil analisa yang baik, sehingga skema berikutnya menggunakan waktu reaksi selama setengah jam. Penulis pada tahap ini juga beranggapan bahwa hasil yang jauh dari angka yang diharapkan ini disebabkan oleh temperatur reaksi. Oleh karena itu, menggunakan waktu reaksi 30 menit, temperaturnya juga divariasikan menjadi temperatur ruangan dan 85oC. Sebagaimana skema pertama, pada variasi dua parameter ini, kedua fasa organik dam air diukur dengan AAS Graphit sesuai skema pertama. Keluaran alat pada skema kedua dapat diamati pada Tabel 3. Data percobaan pengujian dengan variasi waktu dan temperatur menunjukkan bahwa Pt yang tidak terekstrak pada perlakuan temperatur kamar dan waktu 30 menit memberikan hasil yang meragukan, satu wadah tidak ada yang tertinggal sedangkan yang lainnya lebih besar dari yang ditambahkan. Pernyataan ini dapat dicermati terhadap nilai minus pada contoh pertama dengan kondisi temperatur kamar, dan nilai positif pada analisa duplo-nya. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada perlakuan suhu 85o C dengan waktu 30 menit, dimana analisis dalam fasa air terganggu oleh matrik yang ada dalam latutan, yang seperti pada skema sebelumnya diperkirakan berasal dari APDC. Sehingga, untuk melihat keberhasilan ekstraksi hanya akan dilihat dari Pt yang yang terekstrak ke fasa MIBK.
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
55
Tabel 2. Hasil Analisis Pt: AAS Pt-grafit. waktu reaksi 5 menit,
Tabel 3. Hasil Analisis Pt 100 ppb: AAS Pt-grafit, waktu reaksi 30 menit
Platinum yang terekstrak ke dalam MIBK untuk perlakuan suhu kamar dan waktu reaksi APDC dengan Pt selama 30 menit memperlihatkan jumlah sedikit lebih besar dibandingkan dengan yang ditambahkan, sehingga recovery menjadi 130%. Pada sisi lain, dengan penerapan temperatur 85o C dan waktu 30 menit memperlihatkan yang terekstrak sekitar 60%. Ragam pembacaan alat ini menunjukkan bahwa temperatur kamar merupakan keadaan operasi
optimal, dimana waktu reaksi yang terbaik adalah selama 60 menit lebih baik pada 30 menit. Pada tahap ini penulis tidak terlalu menitik beratkan masalah terhadap rentang recovery, namun lebih kepada keberhasilan proses ektraksi dengan nilai mendekati 100%.Beberapa peneliti terdahulu mengungkapkan bahwa terdapat masalah yang harus diselesaikan ketika analisa PGM menggunakan AAS maupun ICPAES (Yoon drr., 2003; dan Borisov drr., 1997).
56
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Pada penelitian ini permasalahan yang ditemui pada rangkaian skema sebelumnya dicoba dipecahkan dengan memperlebar variasi waktu reaksi. Hasil pengukuran Pt dengan variasi waktu selanjutnya ini terangkai pada Tabel 4. Penulis hanya memilih rentang reaksi selama 30, 45, dan 60 menit. Lama reaksi yang lebih dari satu jam tidak dicobakan karena dinilai tidak efektif dari sisi kecepatan analisa. Rangkaian variasi waktu ini menggunakan faktor lain dengan nilai yang sama dengan yang sebelumnya. Tiga buah variasi waktu tidak menunjukkan bahwa semakin lama waktu reaksi akan menaikkan nilai absorbansi, begitu pula sebaliknya. Namun data tersebut memperlihatkan bahwa waktu reaksi 60 menit adalah optimal mengacu kepada nilai absorbansi yang paling stabil. Tabel 4. Absorban standar Pt 100 ppb dengan variasi waktu reaksi APDC-MIBK
Tingkat keasaman terbaik menjadi objek penelitian berikutnya. Optimasi pH ini dilakukan dengan menggunakan temperatur dan waktu operasi terbaik yang telah didapat pada skema sebelumnya, yakni keadaan kamar dan lama reaksi 60 menit terhadap stadard Pt 300 ppb. Variasi pH dilakukan pada rentang 2,5 - 4,5 dengan interval 0,5. Teknik duplo digunakan untuk melihat kestabilan nilai absorbansi dari setiap varian. Seluruh varian berikut duplo-nya diukur dua kali sehingga nilai absorbansi setiap opsi pH diukur total empat kali. Ringkasan optimasi level keasaman ini dapat terdapat pada Gambar 1. Pengukuran menunjukkan bahwa absorbansi tertinggi berada pada pH 3,0, namun dengan tingkat kestabilan rendah yang secara rata-rata di bawah absorbansi pada pH 2,5. Keadaan ini mendorong dilakukan perbaikan kondisi berikutnya. Ketidakpresisian optimasi pH sebelumnya diperkirakan berkaitan dengan ketidaksempurnaan ekstraksi. Diprediksi terjadi kebocoran pada corong pemisah ketika proses ekstraksi berjalan. Pada
proses sebelumnya fasa MIBK diambil langsung setelah ekstraksi berlangsung, dimana pada skema berikutnya ekstraksi dilakukan menggunakan labu ukur dengan penambahan aquadest hingga MIBK berada di leher labu sebelum diambil dengan pipet dan dianalisa dengan AAS graphit. Keadaan temperatur kamar, waktu reaksi 60 menit menggunakan standar Pt 300 ppb tetap dipertahankan dengan interpal pH 0,5. Pada tahap ini penulis mengganti opsi pH 4,5 dengan 2,0 karena tidak terdapat kecenderungan bahwa absorbansi bernilai tinggi pada pH yang rendah. Hasil pengukuran kondisi ini, tertera pada Gambar 2, meyimpulkan bahwa nilai absorbansi terbukti lebih stabil. Skema ini menyimpulkan absorbansi terbaik berada pada pH 2,0. Keberhasilan suatu optimasi metoda dapat diukur menggunakan kalibrasi. Oleh karena itu penulis menerapkan temperatur, waktu reaksi, pH dan teknik ekstraksi yang telah didapat terhadap beragam konsentrasi Pt. Pengukuran dilakukan terhadap delapan tingkat konsentrasi standar. Kalibrasi pengukuran dengan penjagaan pH ini menunjukkan bahwa nilai pengukuran terhadap variasi konsentrasi
Gambar 1. Perubahan nilai absorbansi terhadap variasi pH. Tampak bahwa hasil pengukuran absorbansi belum stabil. D = duplo
Gambar 2. Pengukuran absorbansi terhadap variasi pH lanjutan. Tampak bahwa hasil pengukuran lebih stabil. D= duplo
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
57
Gambar 3. Kurva absorbansi ekstraksi Pt pada pH 2,0, temperatur kamar, dan waktu reaksi 60 menit. R2 didapat = 0,9766
Pt cukup stabil, seperti dapat diamati pada Gambar 3, dengan faktor yang mendekati satu (R2=0,9749). Kesimpulan Studi ini menyimpulkan bahwa proses ekstraksi pada kondisi yang dinyatakan optimum pada literatur belum dapat memberikan hasil yang diharapkan. Pada kondisi tersebut, Pt memang dapat terekstrak namun dengan recovery kecil, sekitar 15%. Studi ini telah mendapatkan keadaan ekstraksi terbaik proses ekstraksi Pt dengan APDC-MIBK melalui optimasi temperatur, waktu dan pH saat ekstraksi. Temperatur terbaik diperoleh pada keadaan kamar dengan lama reaksi 60 menit. Pencarian pH terbaik bahkan dilakukan dua tahap, dengan pH optimum pada 2,0 yang terus dijaga saat penambahan APDC. Pencegahan kebocoran saat ekstraksi dapat diatasi dengan penggunaan labu ukur. Semua kondisi tersebut telah menunjukkan stabilitas dan tingkat kalibrasi yang sangat baik.
Studi ini dilakukan terhadap contoh yang tidak memiliki kandungan logam tinggi seperti pada matriks air maupun katalis berkadar logam rendah. Pada bidang geologi Pt juga banyak terdapat pada Saprolit atau bijih tembaga yang tentu berkadar logam berat lebih tinggi. Penelitian dapat dilanjutkan kepada selektifitas APDC terhadap logam berat selain Platinum. Akan sangat berharga bila hasil tulisan ini dapat dicobakan ketangguhannya di laboratorium lain hingga dapat ditetapkan sebagai standar pengujian nasional. Karya-karya ini dan berikutnya dapat dimanfaatkan pada eksplorasi, eksploitasi, maupun pemisahan logam mulia khususnya Pt. Ucapan Terima Kasih Penulis ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selsainya paper ini. Terimakasih kepada Pak Usep, Bu Erna, Deni, dan Erik telah banyak membantu pada proses preparasi. Indah dan Citra telah meluangkan waktu dalam administrasi penulisan karya ini. Juga kepada seluruh personal yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Acuan Abu-Surrah, A.S., & Kettunen, M. 2006. Platinum Group Antitumor Chemistry: Design and development of New Anticancer Drugs Complementary to Cisplatin. Current Medicinal Chemistry, v.13: 1337-1357. Bashour, I.I., & Sayegh, A.H. 2007. Methods of Analysis for Soils of Arid and Semi-arid Regions. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome Balcerzak, M. 2002. Sample Digestion Methods for the Determination of Traces of Precious Metals by Spectrometric Techniques. Analytical Sciences, v.18: 737-750 Beaty, R.D., & Kerber, J.D. 1993. Concepts, Instrumentation and Techniques in Atomic Absorption Spectrophotometry. 2nd ed. The Perkin-Elmer Corporation, Norwalk, CT, Amerika Serikat.
58
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
Bond, G.C. 2000. Relativistic Phenomena in the Chemistry of the Platinum Group Metals. Effects on Coordination and Chemisorption in Homogenous and Heterogeneous Catalys. Platinum Metals Review, v.44: 146-155. Borisov, O. V., Coleman, D. M., Kristine A., Oudsema, dan Carter III, R. O. 1997. Determination of Platinum, Palladium, Rhodium and Titanium in Automotive Catalytic Converters Using Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry with Liquid nebulization. Journal of Analalytical and Atomic Spectrometry, v.12: 239-246 Cantle, J.E. 1982. Atomic Absorption Spectrometry. Elsevier Scientific Publishing Company, AmsterdamOxford-New York. 440. Dean, J.A. 1999. Lange's Handbook of Chemistry. 15th ed. McGraw-Hill, Inc., Amerika Serikat Dubiella-Jackowska, A., Polkowska, Z., & Namieśnik, J. 2007. Platinum Group Elements: A Challenge for Environmental Analytics. Polish Journal of Environmental Study, v.16: 329-345. Irzon, R., Kurnia, Anggawinata, U.R., Ernawati, & Andriani, S. 2007. Metoda Fire Assay – ICP-MS untuk Identifikasi Unsur Logam Mulia (Au, Pt, dan Pd) di Daerah Lombok Tengah dan Sekitarnya, Nusa Tenggara Barat. Laporan Internal, Pusat Survei Geologi. Irzon, R., Kurnia, & Siregar, D.A. 2012. Optimasi Metoda AAS dengan Variasi Pelarut, Gas Oksidator dan Faktor Pengenceran Pada Analisa Mg dalam Matriks Pasir Besi. Proceeding Jaringan Kerjasama Ikatan Kimia Indonesia, Yogyakarta - Desember 2012. Irzon, R., & Kurnia. 2013. Adaptasi SNI 13-3608-1994 Terhadap Pengukuran Contoh Berkadar Besi Tinggi. Proceeding dan Pertemuan Ilmiah Stadardisasi, Mei 2013 Lajunen, L.H.J. & Peramaki, P. 2004. Spectrochemical Analysis by Atomic Absorption and Emision. 2nd ed., Finland. 332. Siregar, D.A., Kurnia & Irzon, R. 2012. Pengembangan Metode Analisis Zn Terhadap SNI 13-6974-2003 (Analisis Cu,Pb, Zn, Fe, Mn dan Cd Dalam Batuan Sulfida). Proceeding dan Pertemuan Ilmiah Stadardisasi, November 2012 Sracek, O., Choquettea, M., Ge´linasa, P., Lefebvreb, R., Nicholson, & R..V. 2004. Geochemical Characterization of Acid Mine Drainage from a Waste Rock Pile, Mine Doyon, Que´bec, Canada. Journal of Contaminant Hydrology, v.69: 45– 71. Wilkipedia. (2013) Platiunum. Retrieved March 10th , 2013 from http://en.wikipedia.org/wiki/Platinum_group Yoon, H., Park, C., Yoon, C., Hong, J., Kim, N., & Han, K. (2004). Quantitative Analysis of Platinum Group Metals Using X-Ray Fluorescence Spectrometry. SME Annual Meeting, Feb. 23-25, Denver, Colorado. Yoon, H., Yoon, C., Park, C.S., Ko, T., Kim, N.S., & Han, K.H. (2003). Quantitative Analysis of PGM using ICPMS, ICP-AES, AAS, and XRF. SME Annual Meeting, Feb. 24-27 Cincinnati, Ohio.