Jurnal Aletheia Vol 15 No 4 2013

April 14, 2017 | Author: Roy Damanik | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Jurnal Aletheia Vol 15 No 4 2013...

Description

JURNAL THEOLOGI ALETHEIA Diterbitkan oleh : Sekolah Tinggi Theologia Aletheia (STT Aletheia) Alamat Redaksi : Sekolah Tinggi Theologia Aletheia Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100) Lawang 65211, Jawa Timur Telp. 0341-426617 ; Fax : 0341 - 426971 E-mail : [email protected] Rekening Bank : BCA Cabang Malang No. 011-3099-744 a/n. Sinode GKT ITA Lawang Staff Redaksi : Penasehat Pemimpin Anggota

Bendahara Publikasi & Distributor

: Pdt. Kornelius A. Setiawan, Th.D. : Pdt. Amos Winarto, Ph.D. : Pdt. Sia Kok Sin, D.Th. Pdt. Iskandar Santoso, Th.M. Pdt. Marthen Nainupu, M.Th. Pdt. Dr.Agung Gunawan, Th.M. Pdt. Mariani Febriana, Th.M. : Pdt. Alfius Areng Mutak, Ed.D. : Suwandi & Adi Wijaya

Tujuan Penerbitan :

Memajukan aktivitas karya tulis Kristen melalui medium penelitian dan pemikiran di dalam kerangka umum disiplin teologia Reformatoris

JURNAL THEOLOGIA ALETHEIA Vol. 15 No. 4, Maret 2013 Daftar Isi Catatan Redaksi

5

Agung Gunawan Mengelola Konflik Dalam Gereja

7

Sia Kok Sin Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran: Tindakan Pribadi Atau Tindakan Allah

17

Stefanus Kristianto Meresponi “New Perspective on Paul”

29

Marthen Nainupu Pluralisme Oikumenis Dan Implikasi Pelayanan Pastoral

45

Amos Winarto “Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi’ : Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

65

Sia Kok Sin Resensi Buku : The Story Of Israel: A Biblical Theology

75

Amos Winarto Resensi Buku: The Lost History Of Christianity: The ThousandYear Golden Age Of the Church In The Middle East, Africa, And Asia-And How It Died 81 Alfius Areng Mutak Resensi Buku: Building A Strong Youth Ministry

85

Penulis

87

3

CATATAN REDAKSI

Musim hujan mungkin sudah berlalu. Kota Lawang sudah kembali semakin panas.Namun bersyukur angin sepoi-sepoi masih bertiup. Di tengah-tengah tiupan angin yang menyejukkan tersebut, kami naikkan pujian kepada Tuhan Maha Pengasih dengan terbitnya kembali Jurnal Theologia Aletheia.

Edisi kali ini mencoba menyaksikan gereja Kristen, yang diwakili oleh para penulisnya, menanggapi beberapa persoalan yang telah dan sedang terjadi. Di antaranya adalah persoalan konflik di dalam gereja, isu penafsiran dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, masalah pluralism dan tantangan perceraian di antara pasangan orang percaya.Juga terdapat beberapa resensi buku yang kiranya boleh semakin meningkatkan minat baca di dalam jemaat terhadap buku-buku Kristen untuk pertumbuhan rohani mereka.

Bagi yang berminat untuk memiliki secara elektronik artikel-artikel di dalam Jurnal edisi ini atau edisi-edisi sebelumnya, bisa mengunduhnya pada website Sekolah Tinggi Theologia Aletheia: http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1333. Demikian juga, kalau ada komentar atau masukan yang membangun silakan memberikannya pada halaman website jurnal berikut ini: http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1081. Akhir kata, kiranya Jurnal edisi ini boleh menjadi berkat bagi banyak orang dan membangun iman jemaat. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

5

6

MENGELOLA KONFLIK DALAM GEREJA Agung Gunawan ABSTRAKSI Gereja adalah miniatur Kerajaan Allah dalam dunia yang fana ini yang didalamnya terdiri dari manusia-manusia berdosa yang telah ditebus oleh darah Kristus. Oleh sebab itu, gereja bukan sorga dan tempat berkumpulkan para malaikat yang sempurna tanpa cacat cela. Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang terus menerus masih mengalami proses pengudusan hingga mencapai tahap yang sempurna ketika Tuhan Yesus dating kembali. Oleh sebab itu, konflik dalam gereja bukanlah sesuatu yang aneh namun suatu kelaziman. Konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan membawa dampak kepada kehancuran gereja. Konflik yang terjadi dalam gereja harus dikelola dengan baik dan tepat agar konflik dapat diatasi. Dengan demikian maka gereja akan dapat terus mengembangkan diri kearah pemenuhan terhadap panggilan kesempurnaan di dalam Kristus. Kata Kunci: gereja, konflik, mengelola konflik.

PENDAHULUAN Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk kedalam terang-Nya yang ajaib untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (I Petrus 2:9). Mengingat bahwa gereja adalah kumpulan dari orang-orang berdosa yang sedang mengalami proses pengudusan, maka di dalam proses inilah gereja tidak dapat mengelak dari konflik. Konflik bisa terjadi karena masalah-masalah yang berkaitan dengan organisasi, seperti program gereja (organization conflicts) dan konflik juga bisa terjadi antar pribadi dalam gereja (personal conflicts). Konflik bisa terjadi antar kelompok-kelompok dalam gereja (intergroup conflicts) dan juga bisa terjadi antar anggota dalam kelompok (interpersonal conflicts). Namun disisi lain, gereja juga mmiliki tugas untuk memberitakan perbuatan7

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

8

perbuatan Allah yang besar, maka gereja harus mampu untuk mengelola konflik secara benar agar gereja tidak mempermalukan nama Tuhan. Mengapa konflik dapat muncul dalam gereja? Apa tanda-tanda munculnya konflik dalam gereja? Apa saja level-level konflik dalam gereja dan bagaimana kiat mengelola konflik dalam gereja? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang konflik dalam gereja dengan segala macam dimensinya. DEFINISI KONFLIK Meskipun tidak ada definisi tunggal tentang konflik, definisi yang paling tepat adalah konflik melibatkan dua kelompok independen, dimana satu kelompok merasakan beberapa ketidakcocokan di antara mereka. Jadi konflik adalah suatu kondisi disharmoni antara dua atau lebih individu 1 karena adanya benturan kepentingan diantara mereka. Di dalam konflik ada dua proses yaitu: (1) "proses di mana satu pihak merasakan bahwa kepentingannya bertentangan /ditentang oleh pihak lain", dan (2) "proses interaktif yang mana didalamnya terjadi ketidakcocokan, perselisihan, atau ketidaksetujuan di antara entitas 2 sosial" Penyebab Munculnya Konflik 1.

Perbedaan Persepsi dari Data Sensori Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang apa yang diterima oleh panca inderanya (melihat, mendengar, meraba, merasa, dan mencium).3 Misalnya, seseorang akan memiliki persepi yang positif ketika melihat satu obyek, namun orang lain akan memiliki persepsi yang negatif ketika melihat obyek yang sama. Di dalam gereja ada sebagaian orang yang merasa nyaman dengan musik band untuk mengiringi ibadah, namun ada sebagian yang merasa kurang nyaman apabila ibadah diiringi dengan musik band. Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa perbedaanperbedaan persepsi terhadap apa yang diterima oleh mata dan telinga dapat menimbulkan konflik di antara anggota gereja. 2.

Pertentangan Keyakinan Setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ketika keyakinan yang dimiliki oleh individu-individu dalam gereja saling 4 bertentangan, maka konflik tidak dapat terelakkan. Misalnya, di dalam

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

9

diukur secara kuantitas yaitu dengan jumlah anggota yang banyak, namun hamba Tuhan memiliki keyakinan bahwa gereja yang bertumbuh harus diukur secara kualitas yaitu kedewasaan rohani jemaat bukan kuantitas. Pertentangan keyakinan antara majelis dan hamba Tuhan dalam gereja sering memicu munculnya konflik dalam gereja. 3.

Perasaan Yang Terganggu Seringkali konflik dalam gereja juga muncul karena adanya perasaan yang terganggu disebabkan oleh ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan sesama anggota dalam gereja.5 Perasaan yang tersinggung seringkali menyangkut harga diri seseorang. Di dalam gereja yang terdiri dari bermacam-macam temperamen dan karakter seringkali perkataan, perilaku dan sikap seseorang dapat memicu terjadinya konflik. 4.

Persaingan Keinginan Setiap individu dalam gereja memiliki keinginan untuk memajukan pekerjaan Tuhan, namun seringkali seseorang memaksa kehendak agar 6 keinginannnya dituruti. Ketika keinginannya tidak dituruti dan keinginan orang lain yang dituruti, maka dapat dipastikan bahwa konflik akan terjadi karena adanya persaingan keinginan di antara anggota dalam gereja. Seseorang yang tidak diterima keinginannya akan merasa diabaikan dan tidak dihargai. Akibatnya ia akan membuat masalah yang akan memicu konflik dalam komunitas gereja. Tanda-Tanda Munculnya Konflik Ketika di dalam gereja terjadi konflik yang berkepanjangan dan tidak segera dikelola secara baik dan sehat, maka akan terjadi dampak yang negatif bagi gereja, antara lain: 1.

Jemaat dan Persembahan Berkurang Gereja yang memiliki konflik di dalamnya akan membawa dampak yang dapat dilihat secara kasat mata yaitu berkurangnya jumlah anggota 7 dari gereja tersebut. Hal itu dapat dilihat dari grafik kehadiran jemaat yang terus menunjukkan penurunan secara signifikan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini disebakan karena jemaat tidak merasa nyaman berada dalam lingkungan gereja yang tidak kondusif. Jemaat datang kegereja untuk mencari kedamaian dan ketenangan.

10

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Apabila gereja penuh dengan konflik, maka jemaat akan merasa tidak nyaman dan tidak ada damai. Akibatnya jemaat akan meninggalkan gereja tersebut dan pindah mencari gereja lain yang didalamnya ada kedamaian. Ketika anggota jemaat yang hadir berkurang, maka sebagai konsekwensi logisnya uang persembahan juga berkurang secara drastis. Akibatnya maka gereja akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan finansial gereja karena gereja mengalami defisit keuangan. 2.

Partisipasi Jemaat Menurun Apabila gereja penuh dengan konflik, maka hal itu akan membawa dampak pada penurunan dari partisipasi jemaat dalam aktifitas pelayanan 8 gereja. Banyak anggota gereja sebenarnya menyadari panggilan untuk terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Banyak anggota jemaat yang memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan. Namun tatkala mereka melihat bahwa di dalam gereja banyak konflik, maka mereka menjadi enggan dan akhirnya menarik diri dari pelayanan. Fakta menunjukkan bahwa banyak gereja-gereja yang sulit untuk mencari orang-orang yang mau terlibat dalam pelayanan seperti menjadi majelis, pengurus komisi, dan guru sekolah minggu. Akibatnya maka yang terlibat dalam pelayanan hanya orang-orang yang sama dan tidak ada tenaga baru. Selain daripada itu, banyak orang-orang yang memiliki tugas yang merangkap-rangkap, sehingga menyebabkan pelayanan menjadi tidak efektif dan tidak berkembang dengan baik dan maksimal. 3.

Perubahan Perilaku Hamba Tuhan Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah konflik dalam gereja akan membawa dampak terhadap perilaku hamba Tuhan yang melayani di gereja tersebut.9 Karena hamba Tuhan merupakan tokoh sentral di dalam gereja, maka ia adalah pribadi yang sangat terkena imbasnya secara hebat ketika gereja mengalami konflik. Perubahan yang terjadi pada diri hamba Tuhan diantaranya adalah: - Hamba Tuhan mulai malas melakukan visitasi jemaat - Hamba Tuhan mulai acuh tak acuh dalam pelayananannya - Kotbahnya tidak dipersiapkan dengan baik - Hamba Tuhan menjadi pasif dalam rapat - Hamba Tuhan kurang memperhatikan keluarganya - Hamba Tuhan lebih mementingkan hobinya seperti memancing daripada memikirkan pekerjaan Tuhan

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

11

4.

Munculnya Keluhan-Keluhan Ketika gereja berada dalam situasi konflik, maka pelayanan gereja 10 terhadap jemaatnya akan tidak berjalan secara maksimal. Hamba Tuhan dan majelis yang terlibat konflik pasti tidak akan dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Bahkan mereka cenderung akan mengabaikan tugas dan kewajibannya. Hal itu akan dapat dirasakan oleh anggota jemaat yang membutuhkan pelayanan yang baik dan benar. Akibatnya banyak anggota jemaat yang menyampaikan keluhan-keluhan, baik terhadap pelayanan dari hamba Tuhan mapun dari majelis atau pengurus gereja yang bertanggungjawab atas jalannya pelayanan dalam gereja. Banyak anggota jemaat yang merasa tidak puas terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam pelayanannya. Tidak jarang anggota gereja yang melakukan kritik yang keras, baik melalui lisan maupun surat. Bahkan tidak jarang juga muncul surat-surat kaleng yang mendeskridikkan hamba Tuhan maupun para aktifis gereja. Apabila hal ini dibiarkan, maka banyak jemaat yang akan keluar bahkan bukan tidak mungkin gereja akan mengalami perpecahan. Jenis-Jenis Konflik Ada dua macam konflik yang terjadi dalam kehidupan gereja yaitu: 1.

Konflik Substantif Dan Konflik Afektif 11

Konflik Substantif adalah konflik yang melibatkan perbedaan pendapat di antara anggota kelompok tentang isi dari tugas-tugas yang dilakukan atau kinerja itu sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika dua atau lebih entitas sosial tidak setuju pada pengakuan dan solusi untuk masalah tugas, termasuk perbedaan dalam sudut pandang, gagasan, dan pendapat. Konflik Afektif adalah konflik yang berkaitan dengan hubungan interpersonal atau ketidak cocokan antar pribadi dan tidak terkait langsung dengan pencapaian fungsi kelompok.Baik konflik substantif dan afektif memiliki dampak yang negatif berhubungan dengan kepuasan anggota tim dan kinerja tim dalam pelayan digereja. Konflik Organisasi Dan Interpersonal12 Konflik organisasi, apakah itu substantif atau afektif, dapat dibagi menjadi interorganisasi dan intraorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi 2.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

12

antara dua atau lebih organisasi yang berbeda, sedangkan konflik intraorganisasi adalah konflik yang ada di dalam organisasi, misalnya konflik yang terjadi antar komisi yang ada dalam gereja. Konflik interpersonal mengacu pada konflik antara dua atau lebih individu (tidak mewakili kelompok mereka). Konflik interpersonal dibagi menjadi intragrup dan intergrup. Konflik intragrup terjadi antara anggota dalam kelompok yang sama, sedangkan konflik intergrup terjadi antara pribadi-pribadi dari kelompok-kelompok yang berbeda. Level –Level Konflik I.

Problem To Solve Dalam level pertama ini, orang-orang yang terlibat konflik menyadari bahwa mereka memiliki konflik yang harus segera diselesaikan.13 Dalam level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik fokus pada penyelesaian masalah (problem oriented), bukan fokus pada pribadi yang terlibat konflik (person oriented). Pada level ini, tidak ada penyerang kepada pribadi baik secara verbal maupun non verbal. Dalam level ini, keduanya akan berusaha sekuat tenaga untuk segera mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Kedua belah pihak memiliki sikap yang optimis bahwa masalah yang mereka hadapi dapat diselesaikan dengan baik. II.

Disagreement

Level II dari konflik ini kondisinya lebih sulit dibandingkan dengan level pertama, karena disini terjadi ketidaksepahaman antara pribadi-pribadi 14 yang terlibat konflik. Berbeda dengan level pertama, pada level ini fokus bukan kepada penyelesaian masalah (problem solving), tapi cenderung untuk melindungi diri (self protection). Pada level ini, pihak-pihak yang konflik berusaha untuk mencari keselamatan atas diri masing-masing. Mereka yang terlibat konflik tidak mau secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki masalah. Mereka hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat umum, walaupun sebenarnya mereka memiliki masalah-masalah yang spesifik. Akibatnya masalah yang terjadi akan sulit diselesaikan, sehingga konflik akan terus mengambang tanpa ada akhirnya (floating). III.

Contest Dalam level III ini, kedua pihak yang terlibat konflik berpindah dari

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

13

upaya melindungi diri masing-masing kepada upaya untuk menjadi pihak 15 yang menang yang mengalahkan lawannya (win/lose). Pada level ini, pihak-pihak yang berkonflik masing-masing memaksakan kehendaknya kepada lawannya. Akibatnya akan sulit untuk menemukan solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akibatnya konflik makin hari semakin meruncing dan akan membawa kepada level yang berikutnya yaitu fight/flight. IV. Fight/Flight Level ini merupakan kelanjutan dari level III. Dalam level ini pihak-pihak yang terlibat konflik bukan hanya ingin menang atas lawannya, tapi juga ingin melukai atau menyingkirkan lawannya.16 Pada level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik sudah tidak percaya bahwa lawannya mau dan dapat berubah, karena dirinya sendiri tidak mau dan dapat berubah. Sehingga satu-satunya jalan adalah menyingkirkan orang tersebut dari organisasi gereja bahkan kalau bisa juga menyingkir dari gereja. Level ini biasanya akan berujung kepada salah satu pihak keluar atau menyingkir dari gereja dengan membawa pengikutnya. Dengan demikian maka perpecahan gereja tidak dapat dielakkan. V.

Intractable Situations Level ini adalah level yang tidak dapat dikelola, dimana konflik sudah tidak dapat lagi terkontrol oleh pihak-pihak yang terlibat.17 Level ini merupakan kelanjutan dari level IV yang memiliki orientasi untuk menyingkirkan lawannya. Namun level ini lebih daripada level IV karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya untuk menghancurkan lawannya dengan melakukan tindakan kekerasan, baik secara verbal maupun non verbal. Apabila lawannya belum hancur maka ia tidak akan mengalami kepuasan. Apabila hal ini terjadi, maka konflik yang terjadi antar anggota gereja akan berujung kepada masalah hukum. Gereja harus menghindari konflik yang terjadi tidak mencapai level V karena akibatnya gereja akan menjadi tontonan dan dipermalukan oleh orang-orang di luar gereja. Dengan demikian nama Tuhan bukan dipermuliakan, namun sebaliknya akan dipermalukan. Oleh sebab itu, konflik yang terjadi harus segera dikelola secara baik dan benar. Bagaimana kiat mengelola konflik yang baik dan benar?

14

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Kiat Mengelola Konflik 1.

Menyelesaikan Masalah (Resolve The Problem) Di dalam mengelola konflik secara baik dan benar, maka pertama18 tama kita perlu fokus kepada masalah yang ada. Disini kita mengindentifikasi tentang akar penyebab munculnya masalah, siapa saja orang-orang yang terlibat, serta mencari langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Masalah yang muncul harus diselesaikan secara tuntas sampai keakarnya bukan hanya permukaannya saja. Untuk itu maka perlu ada komitmen dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mau membuka diri dan menyatakan secara terbuka apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, diinginkan, serta apa yang diharapkan akan terjadi ketika masalahnya diselesaikan. Dengan demikian, maka masing-masing pihak tahu apa yang menyebabkan masalah terjadi dan hal ini akan memudahkan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas. 2.

Memperbaiki Hubungan (Restore The Relationship) Setelah masalah yang ada dapat diselesaikan secara tuntas, maka berikutnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki hubungan antara 19 pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik pasti menimbulkan luka batin, kemarahan, kebencian dan dendam bagi orang-orang yang terlibat konflik. Dengan kata lain karena konflik hubungan mereka menjadi rusak. Meskipun masalah yang menjadi pemicu terjadinya konflik sudah diselesaikan, namun hubungan di antara mereka yang terlibat konflik tidak secara otomatis juga akan menjadi baik. Hubungan mereka masih ada ketidaknyamanan. Untuk itu, hubungan di antara orang-orang yang terlibat konflik harus dipulihkan agar hubungan mereka menjadi seperti sebelum terjadi konflik. Dengan demikian maka konflik akan terselesaikan secara tuntas. 3.

Mengubah Sistem (Rebuilt The Sistem) Setelah masalah diselesaikan secara tuntas dan hubungan sudah 20 dipulihkan, maka langkah berikutnya adalah mengubah sistem yang ada. Sistem seringkali memiliki andil yang besar dalam terciptanya konflik. Sistem disini bisa berupa kondisi, peraturan, serta organisasi dalam gereja yang menyebabkan terjadinya konflik.

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

15

Apabila sistem tidak diubah maka konflik akan dapat muncul kembali. Oleh sebab itu, pada bagian ini perlu dikaji dengan cermat sistem yang memiliki andil terjadinya sebuah konflik. Setelah diketahui, maka orangorang yang terlibat konflik perlu bersama-sama mengubah sistem yang ada, sehingga tidak Akan terjadi lagi konflik yang sama. PENUTUP Konflik dalam gereja tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Konflik selalu ada dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan gereja. Gereja harus belajar untuk dapat mengelola konflik dengan cantik dn cerdas. Agar gereja tidak berjalan di dalam konflik tapi gereja berjalan di atas konflik. Gereja tidak dikuasai konflik, tapi gereja yang menguasai konflik. Ini adalah hasil dari pengelolaan konflik gereja secara tepat dan benar. DAFTAR RUJUKAN Alper, S., Tjosvold, D., & Law, K. S. (2000). Conflict Management, Efficacy, and Performance In Organizational Teams. Personnel Psychology, 53, 625-642. Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban Institut. Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc.. Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structural Equations Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict Management, 12(3), 191. Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21, 515-558. EndNote 1.

Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21, p.517

2.

Rahim, M. A. (1992). Managing conflict in organizations (2nd ed.). Westport, CT: Praeger. p.16

3.

Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc.

4.

Ibid.

5.

Ibid.

6.

Ibid.

7.

Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban Institut.

14

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

8.

Ibid.

9.

Ibid.

10. Ibid. 11. Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structureal Equations Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict Management, 12(3), 191. 12. Ibid. 13. Leas, 1998. 14. Ibid. 15. Ibid. 16. Ibid. 17. Ibid. 18. Miller, 1993 19. Ibid. 20. Ibid.

KEKERASAN HATI FIRAUN DALAM KITAB KELUARAN: TINDAKAN PRIBADI ATAU TINDAKAN ALLAH Sia Kok Sin ABSTRAKSI Kekerasan hati Firaun dalam kitab Keluaran merupakan topik perdebatan teologis yang hangat. Permasalahan yang muncul adalah apakah kekerasan hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau “predetermination” Allah. Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu persoalan teologis dalam kitab Keluaran. khususnya kalau kekerasan hati itu merupakan akibat dari tindakan Allah yang mengeraskannya. Apakah adil jika Allah yang mengeraskan hati Firaun, Ia juga yang menghukum Firaun oleh karena kekerasan hati itu? Urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati” (Kel. 8:15) menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya. Pemecahan terhadap masalah ini ada pada pertama, penyelidikan ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” (Kel. 4:21, 7:3) atau lebih tepatnya “Allah akan mengeraskan hati Firaun itu” muncul dalam bentuk YQTL (imperfect). Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Kedua, Kel. 3:19 menyatakan bahwa dalam kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan “mengeraskan hatinya” dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir. Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun. Kata Kunci: kekerasan hati, Firaun, Allah Kekerasan hati Firaun itu merupakan topik perdebatan teologis. Walter C. Kaiser Jr. membahasnya sebagai salah satu ucapan sulit dalam 1 Perjanjian Lama. Permasalahan yang muncul adalah apakah kekerasan hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau “predetermination” Allah.2 Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu persoalan teologis dalam kitab Keluaran, khususnya kalau kekerasan hati itu merupakan akibat dari 3 tindakan Allah yang mengeraskannya. Tema “kekerasan hati” ini memang dicatat dua puluh kali dalam Keluaran 4-14, namun yang menjadi persoalan 17

8

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

bahwa dalam bagian ini disebutkan bahwa Allah sendiri yang mengeraskan 4 hati Firaun sebanyak sepuluh kali. Kitab Keluaran memang mengungkapkan bahwa Firaun berkeras hati (Kel. 7:14, 22:8:15, dll.), tetapi juga diungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3; 9:12, dll.). Menjadi persoalan adalah hati Firaun itu menjadi keras, oleh karena ia sendiri yang berkeras hati atau hal itu merupakan akibat dari tindakan Allah yang mengeraskan hatinya. Biasanya untuk menghindari tuduhan terhadap karakter Allah muncul pendapat bahwa kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras.5 Pendapat ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati”(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” merupakan ungkapan idiomatis tentang penolakan batiniah Firaun yang telah sampai pada titik yang tak dapat 6 dibalikkan atau berubah lagi. Brevard Childs menolak pandangan ini dengan alasan bahwa penafsiran psikologis ini kehilangan inti teologis, karena ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” menunjuk dengan jelas adanya “a theology of divine causality”.7 Beberapa ahli telah membahas topik ini dengan menggunakan beberapa pendekatan, di antaranya:8 Pendekatan Kritik Sumber9 Robert R. Wilson menggunakan pendekatan kritik sumber dalam membahas topik ini. Wilson menyelidiki topik ini dengan menyelusuri sumber Y (Yahwist), E (Elohist) dan P (Priestly) untuk menemukan kekhasan pembahasan topik ini dalam sumber ini masing-masing. Sumber Yahwist (Kel. 7:14, 8:15, 32; 9:7, 34) menggunakan kata ãáë. Allah tidak pernah dijadikan sebagai subyek atau pelaku, tetapi subyeknya adalah hati Firaun atau Firaun itu sendiri. 10Sumber Elohist (Kel. 4:21; 10:20, 27) menggunakan kata ÷æç yang menyebutkan Allah sebagai subyek yang mengeraskan hati Firaun dan hanya dalam Kel. 9:35 kata ini digunakan untuk mengungkapkan kondisi hati Firaun.11 Sedangkan sumber Priestly (Kel. 9:12; 11:10; 14:4, 8, 17) menggunakan kata ÷æç di mana Allah merupakan subyek atau pelaku yang mengeraskan hati Firaun.dan dalam 12 Kel. 7:13, 22: 8:15 di mana menggambarkan kekerasan hati Firaun.

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

19

äù÷

Sumber Priestly juga menggunakan kata dalam Kel. 7:3 di mana Allah merupakan subyek atau pelaku yang akan mengeraskan hati Firaun.13 Selanjutnya Wilson mengamati dua hal dalam kaitan sumber-sumber ini,

ãáë tak digunakan dalam sumber-sumber kemudian dan diganti dengan kata ÷æç dan äù÷; kedua, sumber-sumber kemudian yaitu pertama, kata

cenderung melihat Allah sebagai subyek atau pelaku yang menyebabkan kekerasan hati Firaun.14 Wilson juga melihat fungsi motif kekerasan hati ini dalam setiap sumber. Dalam sumber Yahwist motif ini berada dalam akhir kisah tulah yang menunjukkan bahwa walaupun Firaun telah melihat dan mengalami tulah, namun ia tetap mengeraskan hati dan tidak membiarkan umat untuk pergi.15 Ia juga mengungkapkan bahwa dalam sumber Yahwist ini motif kekerasan hati ini menjadi penghubung dan pengikat antara narasi 16 penindasan dan narasi tulah. Dalam sumber Elohist Wilson melihat bahwa motif kekerasan ini memberikan kesatuan narasi tulah di mana motif ini merupakan penyebab adanya tulah lagi dan menjadi motif untuk Firaun menoolak untuk melepaskan Israel.17 Juga Allah dianggap sebagai penyebab kekerasan hati Firaun ini.18 Dalam sumber Priestly motif kekerasan digunakan dalam kaitan narasi tulah, namun motif ini digunakan 19 dalam menekankan kisah konfrontasi antara Musa dan Firaun. Memang tulisan Wilson ini menolong bagi mereka yang memegang pendekatan hipotesa dokumen yang mana seseorang dapat menemukan kekhasan dari setiap sumber dalam mengungkapkan motif kekerasan hati ini, tetapi tulisan Wilson tidak memberikan jalan keluar atas persoalan konflik teologis dalam topik kekerasan hati ini. Pendekatan Teologis-Eksegetis Pendekatan ini dapat ditemukan dalam tulisan G.K. Beale.20 Memang Beale melakukan penyelidikan eksegetis teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan hati Firaun ini, namun penyelidikannya dipengaruhi oleh presuposisinya bahwa Allah itu Mahakuasa, sehingga Ia berhak melakukan segala hal, termasuk menjadi sumber atau penyebab utama kekerasan hati Firaun. Ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” dalam Kel. 4:21 dan 7:3 mendahului narasi tulah-tulah, menunjukkan bahwa Allah adalah sumber utama kekerasan hati Firaun (“the Ultimate Cause of Pharaoh's Hardening”).21 Ia mengungkapkan tujuan Allah mengeraskan hati Firaun adalah “Yahweh hardens Pharaoh's heart primarily to create an Israelite Heilgeschichte, necessarily involving an Egyptian Unheilgeschichte – all of 22 which culminates in Yahweh's glory.” Pengerasan hati Firaun oleh Allah merupakan tindakan yang tak bersyarat (“unconditional”) atau tak bergantung pada keputusan Firaun dan semata-mata merupakan

20

keputusan Allah.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013 23

Tulisan Beale banyak memberikan informasi eksegetis yang baik, namun hasil akhir penyelidikannya ini sangat dipengaruhi oleh presuposisi teologisnya tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Allah dalam hidup manusia. Aspek kehendak bebas manusia (Firaun) kurang mendapat tempat, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan Allah. Apakah adil kalau Allah yang merupakan penyebab utama kekerasan hati Firaun juga merupakan Allah yang menghukum Firaun atas kekerasan hati itu?. 24

Pendekatan konteks sastra dan budaya

Dorian G. Coover Cox mengangkatkan persoalan keadilan Allah dalam kaitan dengan kekerasan hati Firaun. Dalam kaitan dengan pertanyaan tentang keadilan Allah dalam kaitan kekerasan hati Firaun, Cox menjawab dengan pasti bahwa kitab Keluaran menunjukkan bahwa 25 tuduhan bahwa Allah tidak adil adalah tuduhan yang salah. Cox menyelidiki topik ini dengan pendekatan yang memperhatikan konteks sastra dan budaya. Melalui penyelusuran konteks sastra Cox menyelusuri adanya kisahkisah dalam kitab Kejadian dan Keluaran yang mengungkapkan telah adanya ketegangan atau permusuhan antara Allah dan Mesir (Firaun).26 Cox memulai dengan kisah Penciptaan yang menunjukkan Allah adalah 27 Pencipta dan Pemilik segala sesuatu, termasuk yang dimiliki oleh Firaun. Selanjutnya ia mengungkapkan tentang keberadaan keturunan Abraham (Israel) dan penindasan mereka di Mesir yang telah Allah nubuatkan pada masa Abraham (Kej. 15:13-14), ketegangan antara Abraham dan keturunannya dengan raja-raja asing (termasuk Mesir – Kej. 12:10-20) dan 28 kisah Yusuf yang menyelamatkan Mesir. Dalam kaitan dengan kitab Keluaran, Cox mengungkapkan salah satu tema penting dalam kitab Keluaran adalah melalui segala karya-Nya (termasuk tulah-tulah), Allah ingin manusia mengakui Dia sebagai Tuhan.29 Kisah dalam Keluaran tak didasarkan pada masalah etnis, di mana adanya superioritas Israel atas 30 Mesir. Kekerasan hati Firaun nampak dalam wujud ketidakbersediaannya untuk mengakui Allah sebagai Tuhan dan rencana-Nya untuk 31 membebaskan Israel dari Mesir. Cox juga mengangkapkan perihal kemarahan Musa terhadap Firaun (Kel.11:8) sebagai dasar bahwa Firaun pun bertanggung jawab atas kekerasan hatinya, walaupun Musa tahu 32 bahwa Allah juga berperan dalam kekerasan hati Firaun. Sedangkan melalui perhatian terhadap konteks budaya Mesir, Cox mengkontraskan konsep Mesir tentang Firaun sebagai raja yang besar dan kitab Keluaran yang menempatkan Firaun di bawah kekuasaan Allah 33 sebagai Raja yang Besar itu. Firaun adalah raja yang memberontak atas

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

21 34

kekuasaan Allah, Sang Raja Besar itu. Tulah-tulah tak hanya menyerang 35 sistem kepercayaan Mesir, tetapi juga status Firaun. Cox juga memberikan uraiannya tentang kekerasan hati dalam konteks budaya Mesir yang menunjukkan dalam hati yang ringan akan menikmati hidup kekal, sedangkan hati yang berat menimbulkan masalah besar bagi yang memilikinya.36 Dalam bagian kesimpulan dapat ditemukan bahwa secara umum Cox berupaya menyimbangkan kekerasan hati Firaun itu sebagai tindakan yang 37 bersifat alami dan supraalami. Bersifat alami oleh karena tindakan itu merupakan keputusan pribadi Firaun dan bersifat supraalami oleh karena hal itu juga merupakan karya Allah atas diri Firaun. Oleh karena itu Allah tidak dapat dituduh bahwa Ia tak adil, oleh karena kekerasan hati Firaun itu juga merupakan keputusan pribadi Firaun. Cox mengungkapkan bahwa jika Allah tidak mengeraskan hati Firaun, Firaun secara hakiki tidak akan berbeda dan perbedaannya hanyalah bahwa mungkin ia hanya akan 38 mengalami tulah yang lebih sedikit. Menurut penulis bahwa pendekatan konteks sastra dan budaya yang dicetuskan oleh Cox, tidaklah memberikan solusi yang berarti atas perdebatan tentang kekerasan hati Firaun. Tulisan Cox hanya memberikan informasi tambahan dalam melihat perdebatan ini dalam persektif yang lain, tapi belum memberikan solusi yang baik. Pendekatan Kritik Narasi Dalam membahas topik ini David M. Gunn menggunakan pendekatan kritik narasi yang memberikan perhatian pada plot dan karakter Keluaran 114.39 Ia mengungkapkan “Plot implies action, action by characters and actions impinging on characters…. Questions about the cause or motivation of the hardening will therefore rapidly develop into questions about the 40 characters involved.” Gunn mengungkapkan bahwa Firaun merupakan 41 karakter pemimpin yang bengis. Hal itu dapat dilihat dalam kisah penolakan Firaun terhadap permintaan Musa untuk mengizinkan Israel mengadakan perayaan bagi Yahweh (Kel. 5:1-9).42 Karakter Firaun itu semakin jelas dalam kisah tulah-tulah yang juga mengungkapkan bagaimana ia mengeraskan hatinya dengan tidak memberikan respons yang tepat terhadap tulah-tulah itu dan juga tidak membebaskan Israel. Ketika membahas antara karakter Allah dan Firaun dalam kaitan dengan kekerasan hati Firaun, Gunn mengungkapkan: “To summarize so far, we can that while in the early stages of the story we are invited to see Pharaoh as his own master, hardening his own heart (perhaps the legacy of the J story), as the narrative develops it becomes crystal clear that God is ultimately the only agent of hearthardening who matters (the Plegacy). “Pharaoh's heart was hardened”

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

22

thus becomes a kind of shorthand for “Yahweh caused Pharaoh's heart to harden.” If Pharaoh may been directly responsible for his attitude as the commencement, by the end of the story he is depicted as acting against his own better judgement, a mere puppet of Yahweh.”43 Jadi dapat dikatakan bahwa Firaun pada awalnya yang mengeraskan hatinya dengan melawan Allah dan dalam perkembangannya Allah berperan aktif mengeraskan hati Firaun, sehingga tak ada lagi pilihan lagi bagi Firaun selain hatinya menjadi semakin keras dalam kendali Allah. Pendapat Gunn ini dikritik oleh G.K. Beale oleh karena penekanan terhadap peran Allah (“divine casuality”) dalam mengeraskan hati Firaun, membebaskan Firaun dari tanggung jawab atas tindakannya.44 Bagi penulis kritik Beale agak berlebihan, karena Gunn juga membahas peran Firaun (“human causality”) dalam kekerasan hatinya. Dalam tulisannya ini Gunn memberikan perhatian pada adanya perkembangan kekerasan hati Firaun. Kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras. Pendapat Gunn ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan dengan urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati”(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya. Dalam kaitan dalam upaya pembahasan topik ini, pertama-tama penulis menggunakan tulisan Robert B. Chisholm Jr. yang menyusun ayat45 ayat yang berkaitkan dengan topik ini dalam tiga bagian, yaitu: Teks yang mengungkapkan Allah sebagai Subyek Kel. 4:21 Aku akan mengeraskan hatinya

A B êl it a ,q Z Eåx ;a ] (÷æç Piel, YQTL) Kel. 7:3 Aku akan mengeraskan hati Firaun

h [ o+r >P ;b l eät a ,h v ,Þq .a ;y n Iïa ]w : (äù÷ Hiphil, YQTL) Kel. 9:12 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h [ oêr >P ;b l eät a ,h w "h y >q Z EÜx ;y >w : (÷æç Piel, WYQTL) Kel. 10:1 Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras

w y d 'êb '[ ]b l eät a ,w >A B l it a ,y T id >B ;Ûk .h iy n Ia ] (ãáë Hipihil, QTL) Kel. 10:20 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h [ o+r >P ;b l eät a ,h w "ßh y >q Z Eïx ;y >w : (÷æç Piel, WYQTL) Kel. 10:27 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h [ o+r >P ;b l eät a ,h w "ßh y >q Z Eïx ;y >w : (÷æç Piel, WYQTL)

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

23

Kel. 11:10 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h [ oêr >P ;b l eät a ,h w "h y >q Z EÜx ;y >w : ( ÷æçPiel, WYQTL) Kel. 14:4 Aku akan mengeraskan hati Firaun

éh [ or >P ;b l et a ,y T iäq .Z :x iw > (÷æç Piel, WQTL) Kel. 14:8 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h [ or >P ;b l eÛt a ,h A 'h y >q Z Eåx ;y >w : (÷æç Piel, WYQTL) Kel. 14:17 Aku akan mengeraskan hati orang Mesir

~ y Ir ;êc .m ib l eät a ,q Z Ex ;m .y n IÜn >h iy n I©a ]w : (÷æç Piel, partisip) Teks yang mengungkapkan Firaun sebagai subyek Kel. 8:15 Ia tetap berkeras hati (TB)

8:11

A B êl it a ,d B ek .h ;w > ( ãáë Hiphil, infinitive

absolute)

Kel. 8:32 Firaun tetap berkeras hati

8:28

A B êl it a ,h [ or >P ;d B eÛk .Y :w : (ãáë Hiphil, WYQTL)

Kel. 9:34 Ia tetap berkeras hati, baik ia maupun para pegawainya ( ãáë Hiphil, WYQTL) Kel. 13:15 Sebab ketika Firaun dengan tegar menolak untuk membiarkan kita pergi (äù÷ Hiphil, QTL) 1

` w y d '(b '[ ]w :a W h ïA B ßl id B eîk .Y :w :

W n x eL .v ;l . éh [ or >p ;h v 'äq .h iy K i( y h iy >w :

Teks yang mengungkapkan kondisi hati Firaun yang keras Kel. 7:13 Hati Firaun berkeras

h [ oêr >P ;b l eä q z :x /Y P ;b l eä d b eÞK '

h [ or >P ;b l eq z :Üx /Y P ;b l eq z :Üx /Y P ;b l eä d B ;k .Y Iw :

h [ oêr >P ;b l eä q z :x /Y P ;b l eät a ,h v ,Þq .a ;y n Iïa ]w :

äù÷

( ). Kata kerja ( )muncul dalam bentuk Hiphil, YQTL. Bentuk Hiphil ini dapat dikategorikan dalam factitive yang 49 menunjuk kepada penyebab yang menghasilkan suatu keadaan. Jadi ayat-ayat ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun. Allah sedang atau akan menyebabkan hati Firaun keras, tetapi tentang waktunya belum dinyatakan secara pasti.50 Ungkapan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun baru disebutkan dalam Kel.9:12 ( ) . Munculnya ungkapan ini dalam konteks tulah keenam, berarti Firaun dan orang Mesir

h [ oêr >P ; b l eät a , h w "h y > q Z EÜx ;y >w :

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

25

telah mengalami enam tulah dari Allah. Sedangkan ungkapan “hati Firaun telah menjadi keras” sudah disebutkan dalam Kel. 7:13 dan ungkapan “Firaun mengeraskan hatinya” disebutkan dalam Kel. 8:15. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa ketika hati Firaun berkembang menjadi keras atau Firaun mulai mengeraskan hatinya, maka Allah mulai bertindak untuk 51 mengeraskan hati Firaun. Dalam kaitan dengan hal ini, bagian lain yang penting diperhatikan adalah Kel..3:19 yang mengungkapkan: “tetapi Aku tahu bahwa raja Mesir tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang 52 kuat.”. ( ) Bagian ini mengungkapkan bahwa dalam kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan “mengeraskan hatinya” dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir. Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.

y K i y T i[ .d ;êy " y n Iåa ]w

KESIMPULAN 1. Munculnya ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” memang lebih awal dari pada ungkapan Firaun mengeraskan hatinya ataupun hati Firaun menjadi keras, tetapi hal ini tak dapat dijadikan dasar untuk menerima konsep “predetermination” Allah atas kekerasan hati Firaun. Oleh karena ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” atau lebih tepatnya “Allah akan mengeraskan hati Firaun itu” muncul dalam bentuk YQTL (imperfect). Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun. Dapat saja dipahami bahwa tindakan Allah mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan hatinya. Oleh karena itu tidaklah dapat diterima anggapan bahwa dalam hal ini Allah berlaku membingungkan, oleh karena Ia yang menjadi perancang kekerasan hati Firaun dan kemudian Ia menghukum Firaun atas kekerasan hati ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa tindakan Allah mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan hatinya, membuat Firaun tetap harus bertanggung jawab dari kekerasan hatinya. 2. Kel. 3:19 merupakan ayat penting dalam kaitan tentang topik kekerasan hati ini. Ayat ini menyatakan bahwa Allah dalam kemahatahuanNya mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Ketika topik ini

26

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

difahami dalam perspektif kemahatahuan Allah dan bukannya kedaulatan Allah yang melakukan “predetermination”, maka hal ini tak lagi menjadi masalah atau konflik teologis. 3. Peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun tak dapat dihilangkan, tetapi perlu ditempatkan pada proposinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun bukanlah penyebab utama kekerasan hati Firaun, tetapi lebih merupakan tindakan penguatan terhadap tindakan Firaun yang telah mengeraskan hatinya. Oleh karena itu tindakan Allah mengeraskan hati Firaun dapat dikatakan merupakan bagian awal atau pendahuluan penghukuman. End note: 1. 2. 3. 4. 5.

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.

Walter C. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama (Malang: SAAT, 1998), h. 71-73. Scott. M. Langston, Exodus Through the Centuries (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), pp. 85-87. Dorian G. Coover Cox, “The Hardening of Pharaoh’s Heart in Its Literary and Cultural Contexts,” Bibliotheca Sacra 163(July-September 2006), 292. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 71. Langston mengutip pandangan Origenes yang mengungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati orang yang telah berkeras hati, sehingga kekerasan hati itu merupakan sesuatu yang jahat timbul dari dalam orang itu dan bukan merupakan tindakan Allah (predetermination). Exodus Through the Centuries, p. 86. Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Louisville: The Westminster Press, 1976), p. 170. Ibid., p. 174 Para ahli yang disebutkan dalam bagian ini sebatas kemampuan penulis dalam memperoleh materi. Ada beberapa artikel atau tulisan lain yang membahas topic ini, tetapi penulis tak mampu memperoleh materi tersebut. Robert R. Wilson, “The Hardening of Pharaoh’s Heart”, The Catholic Biblical Quarterly, 41, 1979, 18-36. Ibid., 22. Ibid., 23. Ibid. Ibid. Ibid., 23-24. Ibid., 25. Ibid., 27. Ibid., 29. Ibid. Ibid., 30. G.K. Beale, “An Exegetical and Theological Consideration of The Hardening of Pharaoh’s Heart in Exodus 4-14 and Romas 9,” Trinity Journal 5 NS (1984), 129-154. Ibid.,133-8, 148-9 Ibid. 149. Ibid., 50. Dorian G. Coover Cox, “The Hardening of Pharaoh’s Heart in Its Literary and Cultural Contexts,” Bibliotheca Sacra 163 (July-September 2006), 292-311. Ibid., 294. Ibid., 294-301. Ibid., 294. Ibid., 294-6. Ibid., 296-7. Ibid., 298. Ibid., 298-300. Ibid., 300-1. Ibid., 301-2. Ibid., 302. Ibid., 303. Ibid., 305-6.

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

27

37. Ibid., 308. 38. Ibid., 311. 39. David M. Gunn, “The ‘Hardenng of Pharaoh’s Heart’: Plot, Character and Theology in Exodus 114,” Art and Meaning: Rhetoric in Biblical Literature, ed. David J.A. Clines, David M. Gunn, and J. Hauser, JSOTS 19 (Sheffield: JSOT, 1982), 72-96. 40. Ibid., 74. 41. Ibid. 42. Ibid. 43. Ibid., 79-80. 44. Beale, “An Exegetical and Theological Consideration…,” 300-1. 45. Bagian-bagian ini merupakan pengembangan dari tulisan Robert B. Chisholm Jr., “Divine Hardening in the Old Testament”, Bibliotheca Sacra 153 (October-December 1996), 411-2. 46. Ibid., 44. 47. Ibid., 56-57. 48. Fretheim, Exodus, p. 98. 49. Arnold and Choi, A Guide to Biblical Hebrew Syntax, p. 50. 50. Walter C. Kaiser Jr. memahami bagian ini seperti nubuatan para nabi, yang walaupun tak disebutkan persyaratannya. Oleh karena itu ia memahami bahwa Allah tak dapat dipandang sebagai penyebab utama kekerasan hati Firuan. Band. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 72. 51. Band. Fretheim, Exodus, p. 98. 52. Kata kerjanya dalam bentuk Qal, QTL (perfekt). Penggunaan kata ganti orang pertama sebagai subyek juga menunjuk pada aspek penekanan dalam bagian kalimat ini.

MERESPONI “NEW PERSPECTIVE ON PAUL” Stefanus Kristianto ABSTRAKSI Sumbangsih gerakan reformasi ternyata tidak hanya mencakup area doktrinal namun juga pembacaan hermeneutis terhadap surat-surat Paulus, khususnya Surat Roma. Cara membaca mereka telah menjadi cara membaca mayoritas orang Kristen sejak jaman mereka. Namun, sejak abad lalu cara membaca yang diwariskan reformator ini mulai digugat keabsahannya. Dimulai dari Krister Stendahl, kritik ini mencapai kulminasinya pada mazhab new perspective yang dimotori oleh orangorang seperti Ed Parish Sanders, James Dunn dan, di kalangan Injili, Nicholas Wright. Tulisan ini akan mencoba menguraikan sejarah dan konsep mendasar dari mazhab new perspective, serta menunjukkan kepada pembaca bahwa meskipun dalam beberapa hal mereka memberikan sumbangsih positif dan kritik konstruktif bagi studi Paulinisme, namun dalam banyak hal, para reformator tetap lebih baik dalam memahami tulisan Paulus. SEJARAH DAN TOKOH Munculnya gerakan reformasi di abad enam belas ternyata tidak hanya meninggalkan beragam warisan doktrinal bagi Kekristenan, tetapi juga – entah disadari atau tidak – cara membaca tulisan Paulus, khususnya surat Roma. Cara para reformator (terutama dimulai oleh Luther) memahami surat Roma telah menjadi cara mayoritas orang Kristen sejak jaman itu memahami tulisan Paulus ini. Luther dan para reformator melihat bahwa dalam surat ini Paulus mengritik habis konsep legalistik agama Yahudi waktu itu, yang meyakini dan mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan perkenanan Allah dengan cara menaati hukum Taurat. Ketaatan ini dianggap bisa “memaksa” Allah untuk berkenan dan, lantas, memberkati seseorang. Kontras dengan konsep itu, Paulus berargumen bahwa pembenaran didapat bukan karena melakukan atau menaati hukum Taurat melainkan hanya karena iman (justification by faith alone) di dalam karya Kristus yang telah genap. Iman yang demikian ini dengan sendirinya mengeksklusi peran perbuatan, dalam bentuk apapun, dalam meraih perkenanan Allah. Konsep Paulus ini dengan baik disimpulkan para reformator dalam motto gerakan mereka: pembenaran adalah sola fide dan sola gratia.1 Akan tetapi, dalam abad yang lalu, konsensus cara membaca ini dipersoalkan. Dimulai dengan esai Krister Stendahl dalam Harvard 29

30

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Theological Review bertajuk “The Apostle Paul and the Introspective 2 Conscience of the West.” Dalam esai ini, Stendahl mengritik bahwa sejak masa reformasi (terutama karena Luther, namun sebenarnya dimulai jauh sebelumnya oleh Agustinus) pembacaan terhadap tulisan Paulus lebih banyak menyangkut soal moral guilt: manusia yang bergumul dengan dosa moral membaca ulang pergumulannya dalam Kitab Suci untuk menemukan penghiburan dan jawaban tentang keselamatan. Akibatnya, menurut Stendahl, tanpa disadari pembacaan terhadap tulisan Paulus menjadi bersifat sangat individualistik. Stendahl menulis bahwa pembacaan demikian hanya merefleksikan cara membaca orang Barat (atau pergumulan pribadi Luther) dan jelas bukan hal yang dimaksudkan Paulus. Dalam pandangannya, pengaruh Luther ini justru menyebabkan sulitnya pembacaan yang akurat secara historis terhadap tulisan Paulus. Ia lantas mengusulkan pembacaan yang bersifat korporat dan bukan individualistik seperti yang diwariskan para Reformator. Di sini terlihat bahwa sifat aksiomatis pembacaan para reformator terhadap Surat-surat Paulus mulai mengalami gugatan. Nantinya, kritik Stendahl terhadap pembacaan reformator ini akan diperluas dan dikembangkan oleh begitu banyak sarjana, serta mencapai puncaknya dalam mazhab New Perspective. Setidaknya ada tiga tokoh penting yang perlu dibahas khusus di sini terkait dengan New Perspective (E P. Sanders, James D.G. Dunn, dan – dalam tradisi evangelikal – N.T. Wright), sebab tiga tokoh ini merupakan suksesor terkemuka dari obor yang telah disulut oleh Stendahl. Ed Parish Sanders Seperti disebutkan sebelumnya, Stendahl hanya menyulut bara kritik terhadap konsensus yang diwariskan Reformator. Kritik yang sebenarnya justru diusung oleh sebuah karya yang terbit tahun 1977, berjudul “Paul and Palestinian Judaism” karangan Ed Parish Sanders, seorang sarjana dan 3 pendebat kelas internasional. Dalam karyanya, Sanders mengritik metode rekonstruksi Yudaisme abad pertama yang digunakan banyak sarjana pada saat itu, terutama dari kalangan Reformed dan Lutheran. Ia menilai metode yang mereka lakukan tidak tepat sebab mereka menggunakan metode yang anakronistik: mereka menggunakan sumber yang lebih kemudian untuk memahami Yudaisme abad pertama. Akibatnya, tentu saja terjadi kesalahpahaman tentang Yudaisme pada jaman Yesus dan Paulus di sanasini. Sanders mengatakan bahwa gambaran tentang Yudaisme yang legalistik adalah salah satu produk dari kesalahan metode tersebut. Ia mencontohkan soal ajaran timbangan kebaikan, yang sering dikaitkan dengan Yudaisme abad pertama, namun yang sebenarnya baru bisa ditemukan dalam Talmud Babilonia abad keempat atau kelima. Penelitian yang dilakukan Sanders justru membawanya pada kesimpulan yang jauh berbeda dari para penerus reformasi. Menurutnya,

Meresponi “New Perspective on Paul”

31

Yudaisme abad pertama bukanlah agama yang legalistik. Ia meneliti tiga jenis literatur Yudaisme abad pertama, yakni naskah-naskah Tannaitik, tulisan para rabi dan naskah Qumran, dan menyatakan bahwa sumbersumber Yudaisme yang dipelajarinya tersebut hampir semuanya menggambarkan sejenis soteriologi yang disebutnya “covenantal nomism.” Struktur atau pola covenantal nomism ini dirangkumkannya sebagai 5 berikut: “(1) God has chosen Israel, and (2) given the law. The law implies both (3) God's promise to maintain the election and (4) the requirement to obey. (5) God rewards obedience and punishes trangression. (6) The law provides for means of atonement, and atonement results in (7) manintenance or re-establishment of the covenantal relationship. (8) All those who are maintained in the covenant by obedience, atonement and God's mercy beong to the group which will be saved. An important interpretation of the first and last points is that election and ultimately salvation are considered to be God's mercy rather than human achievement.” Jadi, fondasi soteriologi tersebut ialah perjanjian (covenant) yang Allah buat dengan umat Israel. Allah telah memilih Israel, dan bagi orangorang Yahudi, pemilihan tersebut merupakan dasar dari keselamatan mereka. Dalam perspektif ini, orang-orang Yahudi melakukan Taurat bukan untuk diselamatkan, – sebab mereka sudah diselamatkan – melainkan untuk memelihara status perjanjian mereka atau untuk mempertahankan agar mereka tetap dalam perjanjian tersebut. Dalam bahasa Sanders sendiri, orang Yahudi tidak melakukan Taurat untuk “get in” (legalism) tetapi untuk “stay in” (nomism).” Meskipun fokus utama studinya ialah Yudaisme Palestina, tetapi Sanders meluangkan sembilan puluh dua halaman untuk membahas kaitan 6 studi ini dengan Paulus. Sanders mengatakan bahwa soteriologi Yudaisme Palestina yang dipelajarinya tersebut secara mendasar memiliki kemiripan dengan teologi Paulus, yakni bahwa keselamatan merupakan anugerah Allah melalui pemilihan-Nya. Bila demikian, bila sebenarnya mereka sepakat dalam hal mendasar, bila iman versus perbuatan atau anugerah versus Taurat bukanlah pokok utama pertentangan mereka, lantas apakah yang menjadi pokok pertentangan antara Paulus dengan Yudaisme (termasuk dalam surat Roma)? Dengan mantap Sanders menjawab: eksklusivitas Kristologi Paulus. Bagi Paulus, Yesus adalah Mesias yang dijanjikan dan karena itu, keselamatan hanya bisa didapat melalui Dia, bukan melalui perjanjian. Inilah poin yang ingin ditegaskan Paulus kepada orang-orang Yahudi sezamannya. Apa yang diungkapkan Sanders ini (setidaknya ide utamanya) sebenarnya bukan sesuatu yang novum. Pandangan Sanders tentang

32

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Yudaisme Bait Allah kedua (Second Temple Judaism) tersebut telah 7 8 diantisipasi oleh orang-orang seperti C. Montefiore, G.F. Moore, dan juga 9 Stendahl. Meski begitu, harus diakui karyanya secara dramatis telah mengubah sudut pandang dalam studi Perjanjian Baru, secara khusus 10 dalam studi Paulinisme. Sayangnya, meski ide dasarnya mengenai nonlegalitas Yudaisme abad pertama diterima luas, penjelasan Sanders tentang konflik utama Paulus dan Yudaisme dianggap tidak memuaskan oleh para sarjana. James D.G. Dunn Para sarjana lain kemudian mengajukan proposal mereka masingmasing mengenai topik ini. Doug Moo11 menyebut setidaknya ada dua jenis proposal yang diajukan. Pertama, proposal yang menganggap bahwa pandangan Sanders maupun pandangan tradisional sama-sama benarnya. Konsekuensinya, pendukung pandangan ini menganggap bahwa Paulus telah salah memahami atau dengan sengaja membuat misrepresentasi (straw-man12) terhadap Yudaisme untuk tujuan polemis. Salah seorang sarjana pendukung pandangan ini ialah Heikki Raisanen.13 Kedua, proposal yang berusaha menafsir ulang teologi Paulus dalam terang covenantal nomism. Cukup banyak proposal yang diajukan dalam klasifikasi ini, salah satunya yang diusulkan oleh Gager dan Gaston, bahwa yang ditentang Paulus ialah mereka yang mencoba memaksakan Taurat terhadap bangsa non-Yahudi.14 Namun, dari beragam proposal tersebut, jawaban yang paling persuasif, populer, serta dianggap paling memuaskan dan komprehensif 15 muncul dari seorang teolog berkebangsaan Inggris, James D.G. Dunn. Dunn merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “new perspective” untuk menyebut cara pandang baru terhadap studi Paulinisme ini. Istilah ini kemudian juga menjadi istilah standar dalam studi Paulinisme 16 untuk menyebut cara baru melihat tulisan Paulus, khususnya Surat Roma. Dunn mengatakan bahwa pokok pertentangan Paulus dengan orang-orang Yahudi ialah kecenderungan mereka untuk membatasi keselamatan hanya bagi bangsa mereka sendiri.17 Jadi, yang dipermasalahkan Paulus ialah eksklusivitas etnis atau sejenis nasionalisme kaku bangsa Yahudi dan bukannya legalisme agama. Problem utamanya bukanlah tuntutan agar orang-orang menaati Taurat supaya mereka selamat (Sanders telah menunjukkan bahwa bukan ini masalahnya), melainkan sikap orang Yahudi yang mengeksklusi orang-orang non-Yahudi dari keselamatan Allah di dalam Kristus. Pandangan Dunn ini membuat ia mengintepretasi ulang teks-teks 18 tentang pembenaran. Carson dan Moo menjelaskan, “The difference between Dunn's view and the traditional interpretation of Paul can perhaps be seen most clearly in their conflicting interpretations of texts such as

Meresponi “New Perspective on Paul”

33

Romans 3:20: “no one will be declared righteous in his sight by works of the law” (our own translation; cf. also Rom. 3:28 and Gal. 2:16; 3:2, 5, 10).” Tidak seperti para Reformator yang memahami frase e;rga no,mou (works of the law; LAI: melakukan hukum Taurat) secara literal, Dunn19 memahami frase tersebut sebagai Torahfaitfulness, dimana kesetiaan ini sendiri merupakan penanda (boundary marker) yang membedakan orang Yahudi dari bangsa lain. Dengan kesetiaan mereka terhadap Taurat, – yang wujudnya antara lain soal sunat, menjaga sabat, dan hukum tentang makanan – bangsa Yahudi sedang mempertahankan keunikan identitas dan status mereka sebagai umat pilihan Allah. Pendeknya, bagi Dunn, “The Jewish claim Paul opposes in Romans 3:20 and other such verses is not, then, that a person can be justified by what he or she does (“works”), but the typically Jewish claim that a person is justified by maintenance of covenant status through 20 adherence to Torah.” Nicholas Thomas Wright Tokoh penting selanjutnya dalam mazhab new perspective ini ialah Nicholas Thomas Wright atau yang lebih sering disebut N. T. Wright, seorang pendeta Anglikan, mantan uskup di Durham, yang saat ini menjabat sebagai profesor Perjanjian Baru di St. Mary's College, University 21 of St. Andrews. Wright merupakan tokoh sentral dalam promosi new perspective di kalangan Injili. Menurut Wright, orang Yahudi memahami bahwa pembuangan yang sebenarnya belumlah berakhir, baik pada saat mereka kembali ke tanah mereka ataupun ketika Bait Allah dibangun kembali. Alasannya karena janji yang Allah berikan melalui para nabi tentang panggilan kepada semua bangsa belumlah tergenapi (Misalnya nubuatan Yessaya; Mzm. 87, dsb). Nubuatan para nabi ini nampaknya merujuk kepada sesuatu yang lain, yang jauh lebih spketakuler. Lalu kapankah pembuangan ini berakhir? Paulus, kata Wright, meyakini bahwa kematian Yesuslah yang mengakhiri pembuangan ini. Bagi Paulus, kematian Mesias membayar dosa korporat umat perjanjian sekaligus mengakhiri masa pembuangan yang sebenarnya, sementara kebangkitan-Nya memungkinkan orang-orang non-Yahudi juga menjadi bagian komunitas umat pilihan. Jadi, melalui hidup-Nya, Kristus membawa bangsa Yahudi dan non-Yahudi membentuk sebuah komunitas umat 22 perjanjian yang baru. Hampir mirip dengan Sanders, Wright beranggapan bahwa Paulus berupaya menunjukkan kepada bangsa Yahudi bahwa Yesus adalah bukti kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya, dan, sebab itu, harus menjadi fokus hidup mereka. Jadi, ada unsur konflik kristologis di sini. Namun, seperti halnya Dunn, Wright juga beranggapan bahwa Paulus sedang menentang ekslusivitas etnis Yahudi: seseorang menjadi keturunan Abraham bukan karena ras tetapi karena iman kepada Yesus. Melalui

34

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

kebangkitan-Nya, Yesus telah memungkinkan orang-orang non-Yahudi untuk menjadi umat Allah, dan, karena itu, orang Yahudi tidak berhak menghalanginya. Perbedaan tajam lainnya antara pandangan Wright dengan pandangan tradisonal ada pada cara memaknai kata “pembenaran.” Bagi Wright, pembenaran bukanlah bagian dari Injil tetapi hasil dari Injil. Tidak seperti pandangan tradisional yang meyakini pembenaran sebagai imputasi (penyematan) kebenaran Allah kepada orang berdosa saat ia percaya kepada Kristus, Wright menganggap bahwa pembenaran ialah pembebasan pendosa dari hukuman dan deklarasi terus-menerus dari 23 Allah bahwa seseorang menjadi bagian dari umat Allah. Dengan demikian, pembenaran ini tidak selesai pada saat momen keselamatan melainkan harus terus menerus dipelihara melalui perbuatan baik. Pembenaran ini sendri akan sempurna saat penghakiman terakhir nanti. Jadi, menurut Wright, pembenaran lebih merupakan persolan ekklesiologis ketimbang 24 soteriologis. INTI MASALAH Apa yang ditawarkan Sanders, Dunn, Wright dan para sarjana lain yang mengikutik jejak mereka ialah cara baru membaca tulisan Paulus, atau setidaknya beberapa elemen sentral dalam teologinya. Meskipun para sarjana yang tergolong kelompok “new perspective” tentu saja berbeda dalam detil mereka, namun Carson dan Moo melihat setidaknya ada tiga tendensi yang menandai gerakan ini. 25 (1) Banyak kategori teologis, yang secara tradisional ditafsirkan secara individu, diubah menjadi sebuah pengalaman korporat Israel dan umat Allah. Jadi, pembacaan Roma tidak lagi berfokus pada individu melainkan kelompok orang dan covenantal nomism. (2) Sebagai konsekuensi dari poin pertama, kontras antara “iman” dan “perbuatan” direduksi atau bahkan dieliminasi. Kontras utama Paulus bukan lagi bagaimana seorang manusia diselamatkan tetapi bagaimana orang non-Yahudi diperhitungkan sebagai umat Allah dalam era baru keselamatan. (3) Pengajaran tentang pembenaran diubah haluan dari vertikal (soal relasi dengan Tuhan) menjadi horizontal (orang non-Yahudi sebagai rekanan bangsa Yahudi dalam umat Allah). Beberapa pemikir mazhab ini membaca “pembenaran” dalam tulisan Paulus, maupun dalam Perjanjian Lama sebagai latar belakangnya, berarti menjadi anggota umat Allah. Sehingga, “In these ways, the “new perspective”—at least in

Meresponi “New Perspective on Paul”

35

certain of its manifestations—tends to offer a serious and potentially damaging challenge to a hallmark of Reformation theology: justification before God by faith alone, by grace alone. RESPON TERHADAP NEW PERSPECTIVE Kemunculan new perspective – yang kini menjadi pandangan populer 26 dan dominan di kalangan sarjana Paulus – telah menjadi tantangan tersendiri bagi pemahaman tradisional tentang Paulus dan tulisannya. Meskipun ada cukup banyak keberatan yang nantiya bisa diajukan terhadap pandangan ini, namun ada baiknya lebih dulu melihat nilai-nilai positif yang dibawa Sanders dan pengikutnya. Harus diakui bahwa dalam beberapa hal pandangan ini membawa koreksi yang berarti terhadap pandangan tradisional, misalnya koreksi soal metodologi. Kritik Sanders mengenai penggunaan sumber yang lebih kemudian untuk memahami Yudaisme abad pertama tentu saja benar. Ini sama seperti berusaha memahami kehidupan Pangeran Diponegoro dengan menggunakan koran Jawa Pos: hasilnya tentu saja absurd. Selain itu, karya Sanders juga mengingatkan penafsir untuk tidak mengabaikan aspek anugerah dan perjanjian dalam Yudaisme: Yudaisme tidaklah selegalistik yang mereka kira selama ini. Dengan demikian, “dosa” tafsiran Strack-Billerbeck Kommentar yang cenderung mengarikaturkan Yudaisme abad pertama, dengan memakai sumber yang lebih kemudian, menjadi sebuah agama yang sangat legalistik perlu segera ditinggalkan. Meski begitu, poin-poin argumen new perspective tetap perlu dikritisi dalam beberapa hal, antara lain: (1) Klaim Sanders bahwa covenantal nomism merupakan satu-satunya paradigma soteriologi dalam Yudaisme abad pertama perlu dipertanyakan. Dalam hal ini Sanders nampaknya jatuh dalam reduksionisme yang serius. Sanders sendiri mengakui bahwa 1 Henokh, kitab apokaliptik Yahudi akhir 27 abad pertama, tidak sesuai dengan kategori covenantal nomism. Selain itu,beberapa sarjana telah menunjukkan bahwa covenantal nomism bukanlah common pattern Yudaisme Bait Allah kedua seperti yang dikatakan Sanders. Misalnya, Daniel Falk menunjukkan bahwa pola ini tidak sesuai dengan Hodayot, koleksi doa dan pujian dari Qumran, maupun 28 dengan Mazmur Salomo. Craig Evans juga mengatakan bahwa beberapa elemen dari tulisan pseudepigrafa (ia meneliti Kemartiran dan Kenaikan Yesaya, Yusuf dan Asnat, Kisah Adam dan Hawa, dan Kisah Para Nabi) mencerminkan bentuk perbuatan kebenaran (work-righteousness) yang 29 ditentang oleh Paulus. Meskipun pola ini memang terlihat dalam 4 Ezra, namun Bauckham mengingatkan, “ … 4 Ezra does rather than importantly illustrate how the basic and very flexible pattern of covenantal nomism could

36

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

take forms in which the emphasis is overwhelmingly on meriting salvation by works of obedience to the Law, with the result that achievement takes center-stage and God's grace, while presupposed, is effectively marginalized.”30 Bauckham juga mencontohkan, “With respect to 2 Baruch, it would be more accurate to say not simply that God bestows mercy on the righteous, but that God has mercy on the righteous because of their 31 goodworks.” Kugler membuktikan bahwa dalam Perjanjian Musa, seseorang “get in” memang melalui anugerah, seperti halnya yang diungkapkan Sanders. Namun, tidak seperti covenantal nomism Sanders, orang tersebut tetap “stay in” bukan karena ketaatannya, melainkan karena 32 penentuan anugerah Allah yang berdaulat. Witherington menambahkan bahwa covenantal nomism juga inkompatibel dengan tulisan-tulisan lain, seperti 2 Henokh, Jubilee 15:3-4; Yesus Ben Sira 44:19-21, CD 3:2 maupun tulisan Philo dan Josephus.33 Ia pun menyimpulkan, “The net effect of these various discussions is that it becomes clear that Sanders's umbrella concept of covenantal nomism has some holes in it, if it is meant to rule out the fact that various early Jews did indeed take a line which Paul could have critiqued under the banner of “works of the Law”=works righteousness, especially in regard to the matter of final salvation.”34 Teologi dan soteriologi Yudaisme Bait Allah kedua bersifat sangat variatif sehingga mengklasifikasikannya ke dalam sebuah sub-unit, seperti halnya yang 35 dilakukan Sanders, merupakan tindakan yang gegabah. (2) Namun, terhadap teks-teks yang defektif ini, Sanders mengatakan bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya sama sekali tidak meruntuhkan eksistensi covenantal nomism dikarenakan (a) struktur besar perjanjian dan pemilihan pasti diasumsikan oleh penulisnya atau karena (b) teks-teks tersebut, secara natur, bersifat kotbah. Sayangnya, argumen Sanders ini pun tidak bisa dipertahankan karena dua hal: 1.

Carson dan Moo36 mengatakan bahwa cukup banyak studi teks-teks Rabinik yang belakangan menunjukkan bahwa memang ada dua konsep soteriologis yang berjalan berdampingan pada masa itu, yakni keselamatan karena pemilihan dan keselamatan sebagai imbalan perbuatan. Philip Alexander, misalnya, menunjukkan bahwa literatur Tanaitik dipenuhi dengan konsep teologi yang berlawanan dengan 37 konsep anugerah, yakni merit theology. Ini berarti tidak semua teks Yudaisme mengasumsikan struktur perjanjian dan pemilihan seperti 38 yang diungkapkan Sanders. Mengingkari fakta ini berarti kembali terjebak dalam bentuk lain reduksionisme.

2.

Teks-teks homili seringkali lebih merefleksikan konsep teologi seseorang tinimbang pengakuan imannya. Sebab itu, teks-teks kotbah tidak bisa dikesampingkan begitu saja hanya karena secara natur merupakan kotbah.

Meresponi “New Perspective on Paul”

37

Pendeknya, seperti yang ditulis Carson, “one conclusion to be drawn, then, is not that Sanders is wrong everywhere, but he is wrong when he tries to 39 establish that his category is right everywhere” (3) Studi yang dilakukan beberapa sarjana menunjukkan bahwa agama Yudaisme merupakan agama yang sinergistik.40 Sanders sendiri menyatakan bahwa seseorang “get in” dalam covenant karena anugerah,41 tetapi ia tetap “stay in” karena perbuatannya. Yang menjadi persoalan, pada hari penghakiman nanti, kualitas dan konsistensi ketaatan kepada Taurat akan menjadi pemisah antara seorang dengan yang lain. Sehingga meskipun pemilihan untuk masuk ke dalam perjanjian memang soal korporat, tetapi partisipasi dalam perjanjian tersebut tetap bersifat 42 individual. Dengan demikian, praktisnya, orang Yahudi diselamatkan baik melalui anugerah maupun perbuatan (sinergisme). Dan menurut Carson dan Moo nampaknya sinergime inilah yang Paulus kritisi dalam sejumlah nas.43 Dari sini bisa disimpukan bahwa kategori yang Sanders sebutkan (covenantal nomism) tidak bisa mencapai apa yang Sanders ingin capai, yakni sebagai benteng pertahanan terhadap tuduhan bahwa beberapa literatur Yudaisme abad pertama mengandung unsur perbuatan kebenaran dan merit theology, tepatnya karena covenantal nomism sendiri mengandung fenomena yang sama.44 Jadi, Yudaisme abad pertama bukanlah murni agama anugerah (Sanders pun mengakuinya), melainkan, seperti yang diungkapkan Seyoon Kim, “Judaism was a covenantal nomism 45 with an element of works-righteousness.” (4) Upaya redefinisi “pembenaran” (dikaio,w dan turunannya) menjadi bahasa deklaratif atau identitas perjanjian, seperti yang dilakukan Wright, juga perlu dipertanyakan. Carson dan Moo menyebut bahwa upaya ini membalikkan 46 posisi antara yang sekunder dan primer. Meskipun sarjana modern cenderung meremehkan elemen Perjanjian Lama dari istilah “pembenaran,” namun untuk memahami bahasa Paulus tentang “pembenaran,” seseorang harus menelusurinya dari Perjanjian Lama.47 Paulus memakai bahasa “pembenaran” tersebut dari Perjanjian lama, meskipun dia menggunakannya dalam arahan yang berbeda, dengan cara menguniversalkan kondisi manusia. Istilah ini, pertama-tama, merujuk pada keberadaan manusia di hadapan Allah; sehingga dibenarkan berarti ada dalam relasi yang benar dengan Allah, dan konsekuensinya, tentu saja, seseorang masuk sebagai umat Allah. Memahami istilah “pembenaran” hanya sebagai bahasa deklaratif berarti melewatkan penekanan Paulus terhadap keberadaan manusia yang berdosa di hadapan Allah yang murka. (5) Demikianpun redefinisi “perbuatan Taurat” menjadi sekadar nasionalisme, seperti yang diusulkan Dunn, menyebabkan pertanyaan serius. Istilah ini muncul hanya delapan kali dalam surat Paulus, yakni hanya di surat Roma dan Galatia. Konteks pembicaraan Paulus dalam

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

38

Roma 1-3 menunjukkan bahwa diskusinya tentang perbuatan Taurat tidak bersifat horizontal tetapi vertikal, yakni terkait dengan pelanggaran terhadap Allah. Kesimpulan Paulus dalam Roma 3:20 juga mendukung bahwa perbuatan di sana merujuk pada tuntutan Taurat bukan etnisitas (ay. 26; bnd. 22-23, 25, 27). Karena itu, Roma 3:20 tidak berkaitan dengan apakah identitas Yahudi bisa membenarkan, tetapi apakah ketaatan orang Yahudi bisa membenarkan. Menjadi orang Yahudi tidak membuatnya menjadi benar sebab tidak ada orang Yahudi yang melakukan Taurat dengan baik sehingga bisa menimbulkan kuasa keselamatan. (6) Selain itu, Paulus menegaskan dalam Roma 2:1-29 bahwa bukan ketaatan pada Taurat yang membuat orang Yahudi harus bertanggung jawab saat penghakiman tetapi ketidaktaatan mereka terhadap Taurat. Jadi, yang dikritisi Paulus bukan ketaatan mereka (nasionalisme) yang dianggap menyelamatkan tetapi ketidaktaatan mereka. Alur ini jelas tidak sesuai dengan proposal yang diajukan oleh Dunn. KONKLUSI Apa yang yang bisa disimpulkan di sini? Cara baru membaca tulisan Paulus, dengan covenantal nomism sebagai kerangkanya, dalam beberapa hal memang memberikan sumbangsih positif bagi studi Paulinisme. Akan tetapi, dalam banyak hal, pembacaan ini terlalu redusionistik dan tidak sesuai dengan konteks. Meskipun cara membaca Reformator pun perlu dikritisi dalam banyak hal, namun pembacaan mereka tentang kritikan Paulus terhadap peran perbuatan dalam keselamatan dan ketidakmampuan manusia untuk selamat nampak lebih baik daripada yang ditawarkan new perspective. Setidaknya dalam poin penting ini, para Reformator memahami Paulus dengan tepat. REFERENSI Allman, James E., “Gaining Perspective on the New Perspective on Paul,” Bibilotheca Sacra 170(January-March 2013) Carson, D. A. and Douglas Moo, An Introduction to the New Testament (Grand Rapids: Zondervan,2005). Carson, D. A. (et.al), Justification and Variegated Nomism Vol. 1(Grand Rapids: Baker, 2001) Dunn, James D.G., “New Perspective on Paul,” Buletin of the John Rylands University Library 65 (1983) , The Theology of Paul the Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) Dunn, James D.G. (ed), Paul and the Mosaic Law (Grand Rapids: Eerdmans, 2000 [1996])

Meresponi “New Perspective on Paul”

39

Elliot, Mark A., The Survivors of Israel: A Reconsideration of the Theology of Pre-Christian Judaism (Grand Rapids: Eerdmans, 2000) Gager, J. G., The Origins of Anti-Semitism: Attitudes toward Judaism in Pagan and Christian Antiquity (New York: OUP, 1983) Gaston, L., Paul and the Torah (Vancouver: University of British Columbia, 1987). Gundry, Robert H., “Grace, Works, and Staying Saved” Biblica 60 (1985) Kim, Seyoon, Paul and the New Perspective: Second Thoughts on the Origin of Paul's Gospel (Grand Rapids:Eerdmans, 2002) Longenecker, Richard, Introducing Romans: Critical Issues in Paul's Most Famous Letter (Grand Rapids:Eerdmans, 2011) Montefiore, C., Judaism and St. Paul (London: Goschen, 1976) Moo, Douglas J., The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1996) Moore, G.F., “Christian Writers on Judaism,” Harvard Theological Review 14 (1921) , Judaism (3 Vols; Cambridge: Harvard, 1927-30) Newman, Carey C. (ed),Jesus and the Restoration of Israel: A Critical Assesment of N.T. Wright's Jesus and the Victory of God (Downers Grove: IVP, 1999). Oxford Advanced American Dictionary (Oxford: OUP, 2011) Piper, John, The Future of Justification: A Response to N. T. Wright (Wheaton: Good News/Crossway,2007). Quarles, Charles L., “The Soteriology of R. Akiba and E. P. Sanders' Paul and Palestinian Judaism,”New Testament Studies 42 (1996) Raisanen, Heikki, Paul and the Law (Tubingen: Mohr, 1983). Sanders, Ed Parish, Paul and Palestinian Judaism: A Comparison of Patterns of Religion (Philadelphia:Fortress, 1977). ,“Pattern of Religion in Paul and Judaism,” Harvard Theological Review 66(1973) Seifrid, Mark, “Justification by Faith: The Origin and Development of a Central Pauline Theme,” Novum Testamentum Supplement Series 68 (Leiden: Brill, 1992) Stendahl, Krister, “The Apostle Paul and the Introspective Conscience of the West,” Harvard Theological Review 56 (1963) , Paul Among Jews and Gentiles (Philadelphia: Fortress, 1976). Thurén, Lauri, Derhetorizing Paul: A Dynamic Perspective on Pauline Theology and the Law (WUNT 124:Tübingen: Mohr-Siebeck, 2000) Waters, Guy Prentiss, Justification and the New Perspective on Paul: A Review and Response (Phillipsburg:P&R Publishing, 2004) Westerholm, Stephen, Israel's Law and the Church's Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1988) Witherington III, Ben with Darlene Hyatt, Paul Letter to the Romans: A SocioRhetorical Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2004) Wright, N.T., What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) , Justification: God's Plan and Paul's Vision (Downers Grove: IVP, 2009).

Endnote 1.

Konsensus ini bisa ditemukan dalam beragam karya, mulai dari artikel, studi akademis (mis. Ernst Kasemann, Deue Neue Testament als Kanon [Gottingen: Vandendhoek, 1970]) hingga tafsiran monumental berbahasa Jerman, Strack-Billerbeck Kommentar. Bahkan, menarik untuk dicatat, beberapa sarjana Katolik (mis. Hans Kung, Justification [London: Burns and Oates, 1964]) juga melihat dengan cara yang sama seperti para Reformator, meskipun mereka masih mempertahankan pembedaan antara “pembenaran oleh iman” dan “pembenaran oleh iman saja.” Lihat juga agreed statement by the second Anglican-Roman Catholic International Comission, Salvation and the Church (Anglican Consultative Council and the Secretariat for Promoting Christian Unity, 1987)

2. 3.

Harvard Theological Review 56 [1963]: 199–215. Paul and Palestinian Judaism: A Comparison of Patterns of Religion (Philadelphia: Fortress Press, 1977). Carson menulis bahwa Sanders sebenarnya telah mengantisipasi bukunya melalui esainya “Pattern of Religion in Paul and Judaism,” Harvard Theological Review 66(1973): 455-78. Lihat D. A. Carson, “Introduction,” Justification and Variegated Nomism Vol. 1 (ed. D.A. Carson et.al; Grand Rapids: Baker, 2001), 1. Karya yang disebut terakhir merupakan karya masif dan paling komprehensif yang meresponi new perspective, khususnya tesis Sanders tentang covenantal nomism. Sekuel kedua dari karya ini meresponi kaitan Paulus dan covenantal nomism.

4.

Konsep ini mengajarkan bahwa di akhir jaman perbuatan baik dan jahat seseorang akan ditimbang, dan mana yang lebih berat akan menentukan kemana orang tersebut akan pergi. Konsep ini mirip dengan doktrin keselamatan dalam Islam.

5.

Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 422.

6.

Mungkin ini sebabnya Longenecker menuliskan bahwa Sanders sebenarnya lebih tepat disebut sebagai penggagas New Perspective on Palestinian Judaism tinimbang New Perspective on Paul. Lihat Richard Longenecker, Introducing Romans: Critical Issues in Paul's Most Famous Letter (Grand Rapids: Eerdmans, 2011), 324-7.

7.

Judaism and St. Paul (London: Goschen, 1976)

8.

“Christian Writers on Judaism,” Harvard Theological Review 14 (1921): 197-254; juga

9.

Selain esai yang sudah disebutkan sebelumnya, lihat juga Paul Among Jews and Gentiles

Judaism (3 Vols; Cambridge: Harvard, 1927-30)

(Philadelphia: Fortress, 1976). 10. Dalam satu sesi ceramahnya di Reformed Theological Seminary mengenai topik New Perspective on Paul ini, D. A. Carson menyebut bahwa terjadinya holocaust beberapa puluh tahun sebelumnya berperan mendorong populernya karya Sanders. Holocaust membuat pembicaraan atau studi yang menyinggung bangsa Yahudi atau Yudaisme menjadi topik yang menarik pada masa itu. Rekaman audio ceramah Don Carson ini bisa diunduh di situs: w w w. m o n e r g i s m . c o m / t h e t h r e s h o l d / b o o k s / l e c t u r e % 2 0 1 % 2 0 - % 2 0 n p p % 2 0 %20da%20carson.mp3 11. The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 212-3. 12. Oxford Advanced American Dictionary mendefinisikan straw-man sebagai “a weak, imaginary

Meresponi “New Perspective on Paul”

41

opponent or argument that is set up in order to be defeated easily” ([Oxford: OUP, 2011], 1473) 13. Paul and the Law (Tubingen: Mohr, 1983). 14. J. G. Gager, The Origins of Anti-Semitism: Attitudes toward Judaism in Pagan and Christian Antiquity (New York: OUP, 1983); L. Gaston, Paul and the Torah (Vancouver: University of British Columbia, 1987). 15. D. A. Carson dan Douglas Moo menulis, “What is attractive about Dunn's proposal is that it offers a comprehensive interpretation of Paul that fits neatly with the covenantal nomism that so many scholars are now persuaded was the actual Judaism with which Paul wrestled.” Lihat An Introduction to the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2005), 377. 16. “New Perspective on Paul,” Bulletin of the John Rylands University Library 65 (1983): 95-122; dicetak ulang dalam Jesus, Paul and the Law: Studies in Mark and Galatians (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 183-214. 17. Tempat terbaik untuk memelajari argumen Dunn ialah karyanya, The Theology of Paul the Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), khususnya 334-89. 18. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 377. 19. Lihat Theology of Paul, 354-9. 20. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378. 21. Argumen Wright terutama bisa ditemukan dalam karyanya What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) dan Justification: God's Plan and Paul's Vision (Downers Grove: IVP, 2009). Untuk versi singkatnya bisa dilihat di http://ntwrightpage.com/Wright_New_Perspectives.htm. Wright mempertanyakan pengaitan Sanders, Dunn dan dirinya sebagai tokoh utama new perspective. Ia menambahkan juga Richard Hays, Douglas Campbell, Terry Donaldson dan Bruce Longenecker (Wright, Justification, 28). 22. Untuk kritik terhadap konsep pembuangan Wright, lihat Steven M. Bryan, Jesus and Israel Traditions of Judgement and Restoration (Unpublished dissertation; submitted to the University of Cambridge, 19990, 9-12; dikutip dalam Carson, “Summaries and Conclusions,” Justification and Variegated Nomism, 546 n. 158. Lihat juga Carey C. Newman (ed), Jesus and the Restoration of Israel: A Critical Assesment of N.T. Wright's Jesus and the Victory of God (Downers Grove: IVP, 1999). 23. Wright bahkan menganggap bahwa doktrin imputasi ialah kategori yang salah (Wright, Saint Paul, 98). 24. Detil konsep pembenaran Wright tidak akan dibahas di sini, namun beberapa karya telah dibuat untuk meresponi pemikiran Wright ini, misalnya Guy Prentiss Waters, Justification and the New Perspective on Paul: A Review and Response (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2004), dan yang cukup menarik ialah karya John Piper, The Future of Justification: A Response to N. T. Wright (Wheaton: Good News/Crossway, 2007). Buku Wright yang disebut sebelumnya, yang berjudul Justification and Paul's Vision merupakan respon Wright terhadap karya Piper ini. 25. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378. 26. Carson menulis, “This new perspective … is now so strong, especially in the world of English-

42

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013 languages biblical scholarship, that only the rare major work on Paul does not interact with it, whether primarily by agreement, qualification, or disagreement.” Lihat D. A. Carson, “Introduction,” Justification and Variegated Nomism Vol. 1, 1. 27. Ia menyebutnya “defective” (Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 423). 28. Daniel Falk, “Psalms and Prayer,” Justification and Variegated Nomism 1, 34.a 29. Craig Evans, “Scripture Based Stories in the Pseudepigrapha,” Justification and Variegated Nomism 1, 57-72. 30. Richard Bauckham, “Apocalypses,” Justification and Variegated Nomism Vol. 1, 174 31. Ibid, 182. 32. Lihat Robert A. Kugler, “Testament,” Justification and Variegated Nomism 1, 189-213. 33. Ben Witherington III with Darlene Hyatt, Paul Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 103; Lihat juga James E. Allman, “Gaining Perspective on the New Perspective on Paul,” Bibliotheca Sacra 170 (January-March 2013): 66. 34. Witherington, Romans, 103. 35. Lihat juga evaluasi Longenecker, Romans, 329. 36. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 381. 37. Philip S. Alexander, “Torah and Salvation in Tannaitic Literature,” Justification and Variegated Nomism 1, 261–301. Dan lihat juga, tentang teks mishnaik tertentu, Charles L. Quarles, “The Soteriology of R. Akiba and E. P. Sanders' Paul and Palestinian Judaism,” New Testament Studies 42 (1996): 185–95. Lihat juga Graham N. Stanton, “The Law of Moses and the Law of Christ,” Paul and the Mosaic Law (ed. James D. G. Dunn; Grand Rapids: Eerdmans, 2000 [1996]), 105–6. 38. Carson dan Moo (An Introduction to the New Testament,. 381-2) menambahkan bahwa bukti lain perihal adanya legalisme dalam Yudaisme abad pertama yang sering diabaikan, namun yang seharusnya diperhitungkan, ialah Perjanjian Baru. Meskipun Dunn mencoba menginterpretasi ulang nas-nas legalistik menjadi nasionalistik, namun hampir semua sarjana setuju bahwa beberapa bagian Perjanjian Baru dengan jelas menunjukkan atau menyiratkan bahwa beberapa orang Yahudi memang mendasarkan keselamatan mereka pada Taurat. Mereka yang menolak penggunaan Perjanjian Baru, biasanya beranggapan bahwa kitabkitab tersebut ditulis dalam sudut pandang oposisi, sehingga gambaran yang diberikan cenderung bias. Namun, penulis Perjanjian Baru bukanlah musuh Yudaisme. Keduanya terlibat dalam dialog ekstensif tentang siapakah suksesor kepercayaan Perjanjian Lama yang absah. Oleh sebab itu, dalam memahami Yudaisme abad pertama, peran Perjanjian Baru tidak bisa dikesampingkan begitu saja, terlebih bagi mereka yang memiliki penghargaan tinggi terhadap akurasi Perjanjian Baru. 39. D. A. Carson, “Summaries and Conclusions,” Justification and Variegated Nomism, 543. 40. Lihat misalnya Robert H. Gundry, “Grace, Works, and Staying Saved” Biblica 60 (1985): 19–20, 35–36; Stephen Westerholm, Israel's Law and the Church's Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 143–50; Mark Seifrid, “Justification by Faith: The Origin and Development of a Central Pauline Theme,” Novum Testamentum Supplement Series 68 (Leiden: Brill, 1992),

Meresponi “New Perspective on Paul”

43

56–57, 71–81; Lauri Thurén, Derhetorizing Paul: A Dynamic Perspective on Pauline Theology and the Law (WUNT 124; Tübingen: Mohr-Siebeck, 2000), 146–48. 41. Bnd. juga disertasi Mark A. Elliot yang dibukukan, The Survivors of Israel: A Reconsideration of the Theology of Pre-Christian Judaism (Grand Rapids: Eerdmans, 2000). Ada beberapa hal yang ia bahas salah satunya ia mengatakan bahwa pandangan nasionalistik tidak secara akurat merefleksikan beberapa kelompok Yahudi pra-Kristen. Ia mengatakan bahwa ada beberapa pemilihan yang khusus (special election) yang nampak jauh sebelum periode Perjanjian Baru. Dengan demikian klaim Sanders soal “get in” atas dasar kebangsaan juga perlu dikaji lagi. 42. Alexander, “Torah and Salvation in Tannaitic Literature,” Justification and Variegated Nomism 1, 261–301. 43. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 383. 44. Ibid. Bnd Moo, Romans, 215-6. 45. Seyoon Kim, Paul and the New Perspective: Second Thoughts on the Origin of Paul's Gospel (Grand Rapids: Eerdmans, 2002), 83–84. 46. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 385. 47. Lihat Mark A. Seifrid, “Righteousness Language in the Hebrew Scriptures and Early Judaism,” Justification and Variegated Nomism 1, 415–42.

PLURALISME OIKUMENIS DAN IMPLIKASI PELAYANAN PASTORAL Marthen Nainupu ABSTRAKSI Hadirnya milenium ketiga dengan kecanggihan teknologinya, sudah menyatukan berbagai belahan bumi yang sebelumnya terasa sangat berjauhan, kini sudah sangat dekat bahkan telah menjadi sebuah kampung kecil. Seiring dengan hal itu telah lahir pula suatu kesadaran baru akan pluralisme, terutama pluralisme agama-agama dalam masyarakat postmodern ini dan secara lebih khusus lagi pluralisme oikumenis. Kehadiran pluralisme mendorong untuk melakukan pendekatanpendekatan baru terhadap pelayanan pastoral, tetapi sekaligus melahirkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat gereja. Artikel ini mencoba untuk menelusuri akar-akar pluralisme serta beberapa problem yang ditimbulkan olehnya. Fakta pluralitas di tengah kalangan masyarakat gereja menuntut suatu sikap bijak dalam merespon pluralisme oikumenis , guna membangun dan mengembangkan suatu semangat kerja sama di antara para pelayan pastoral bagi keluasan kerajaan Allah. Kata kunci: Pluralisme, Ekskulivisme, Inklusivisme, Pluralisme oikumenis, Pelayanan pastoral yang berpusat pada Alkitab dan tradisi pelayanan pastoral. PENGANTAR Sadar atau tidak, saat ini kita (gereja) hidup dan berkarya di tengah semangat pemikiran pluralisme. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, hampir semua pemikiran “besar” saat itu telah di kuasai oleh pemikiran tunggal dari agama, khususnya agama Kristen. Selama milenium pertama dan kedua dimana pemikiran tunggal dikuasai oleh pemikiran kristen. Sejarah telah mencatat bahwa pada masa milenium pertama maupun kedua telah terjadi suatu masa yang sadis, banyak kematian yang terjadi demi mempertahankan suatu pemikiran tunggal, 1 yang oleh Sumartana disebut “Theological killing” . Akan tetapi dengan datangnya milenium ketiga ini, semangat pemikiran pluralis, semakin bergema dimana-mana dan dapat dirasakan bahwa kebenarankebenaran tunggal dalam agama Kristen sudah mulai kehilangan kekuatan dan pengaruhnya. Semangat pluralisme ini mula-mula disadari dan digalakkan oleh para pemikir kristen sendiri seperti Hans Kung, John Hick dan Paul F. Knitter. Kini pengaruh semangat pemikiran pluralism sudah merambah ke mana-mana.

45

46

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Sebenarnya semangat pemikiran pluralisme bukanlah hal yang baru, bagi gereja atau jika kita mau melihat lebih jauh kebelakang, maka semangat pluralisme itu kita akan segera temukan juga di dalam kelahiran 2 agama Yahudi . Sedangkan kalau kita berbicara tentang kehadiran agama Kristen di Indoneia, memang agama kristen hadir di tengah-tengah agama lainnya. Sebab realitas Indonesia sejak awalnya memang terdiri dari kemajemukan dalam banyak hal. Hal tersebut kita semua tahu manakala para pendiri negeri kita sudah mendeklarasikan keberagaman itu, dalam suatu kalimat yang pendek: “Bhineka Tunggal Ika”. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya pemikiran tersebut mengalami berbagai kebekuan dan bahkan terkesan kecenderungan untuk melupakannya. Bilamana kita mau menengok sedikit jauh ke belakang, kita akan segera menemukan akar-akar pemikiran pluralisme dalam tradisi pemikiran Yunani kuno. Istilah pluralitas – maupun pluralism, yang belakangan ini sangat popular, sebenarnya bukanlah suatu istilah yang baru, melainkan itu merupakan suatu istilah yang sudah usang. Hal itu kita dapat melacaknya dari para ahli pikir jaman Yunani kuno. Pada jaman pra Sokrates misalnya, gagasan pemikiran pluralisme sudah dirintis oleh Protagoras dengan slogannya yang terkenal “Manusia adalah satu-satunya ukuran bagi segala 3 sesuatu ”(Man is the measure of all things). Dari pernyataan Protagoras tersebut telah terlihat dengan jelas semangat dan benih pluralism. Tetapi kalau kita mundur sedikit ke belakang sebelum Protagoras, di sana kita menemukan Herakletus, filosof dari Efesus, ia sudah menggagas ide awal dari pemikiran pluralism. Filsafat Herakletus sering disebut dengan nama “filsafat menjadi”. Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di dalam perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden Menei” yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam”.4 Ia mengakui bahwa realitas itu satu tetapi pada saat yang sama ia banyak dan itu bukan soal aksidental melainkan essensial. Dalam perjalanannya, pemikiran pluralis kurang memperoleh tempat dalam kancah perdebatan filosofis. Sokrates sendiri adalah penentang utama aliran berpikir pluralis. Pemikiran pluralis semakin hilang pengaruhnya ketika dunia peradaban filsafat dikuasai oleh pemikiran filsafat dan teologi Kristen. Dalam era filsafat dan teologi Kristen, semua faham pemikiran politeisme Yunani dihapus dan diganti dengan pemikiran monoteisme Kristen. Selama masa tersebut, pemikiran pluralism boleh dikatakan hilang kekuatannya dalam berbagai diskusi filsafat. Dalam tidur panjangnya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan hadirnya jaman Renaisanse yang menempatkan manusia sebagai pusat pemikiran

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

47

segala filsafat. Selama era ini pemikiran pluralis kembali bergema dan menjadi pokok diskusi para filosof, terutama para pemikir dari aliran empirisme. Pemikiran-pemikiran dengan aliran pluralism terus bergulir sejak era modern dan boleh dikatakan telah mencapai puncaknya di era postmodern ini. Semangat postmodern dan demokratisasi telah membuka peluang yang sangat besar bagi hadirnya pluralism di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Memang harus diakui bahwa pluralism itu merupakan bagian integral dari kehidupan umat manusia, akan tetapi pada masa sebelum era kita hari ini, gerak pluralism itu masih sangat lambat dan hanya dapat hidup dan bertahan secara local. Namun dengan datangnya era paska modern ini, maka kekuatan pluralism semakin tampil mengemuka di mana-mana. Hampir dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi batasbatas antara berbagai bagian dari kehidupan ini. Semangat pluralism telah menghapus semua pemikiran tunggal dan menggantikannya dengan pemikiran pluralism. Dalam bahasa Nietzsche, kebenaran adalah selalu bersifat perspektifal. Artinya kebenaran selalu berada dalam perspektifperspektif tertentu. Di sini terlihat dengan jelas semangat pluralism yang berujung kepada semangat relativisme, kekosongan dan kehampaan. Ekses-ekses seperti inilah yang memunculkan berbagai reaksi terhadap pemikiran-pemikiran pluralism. Kalau kita mau melacak lebih jauh lagi soal pro dan kontra tentang pluralisme, kita bisa membuat buka dengan beratusratus halaman, sebab yang mendukung maupun yang menolak sangat banyak, baik teolog, filosof, maupun awam. Pluralisme telah memecah keseragaman berpikir dalam kelompok, misalnya para teolog dari gerejagereja Timur lebih senang dengan pluralisme, sedangkan teolog dari 5 gereja-gereja barat lebih cenderung menolak pimikiran pluralisme . Memang memperdebatkan soal apa itu pluralisme, tidak akan pernah habis-habisnya. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk memahami pluralisme dalam kaitannya dengan pelayanan pastoral. Dengan demikian, percakapan ini hanya akan menampilkan sekilas beberapa pemikiran pro maupun kontra. Tetapi yang lebih utama ialah bagaimana para pelayan pastoral mengembangkan suatu sikap penuh empati untuk memanfaatkan semangat pluralisme ini bagi keutuhan pelayanan. APA ITU PLURALISME Memahami pluralisme Dari percakapan sebelumnya kita sudah melihat sekilas mengenai akar-akar pemikiran pluralisme dari pemikiran filsafat, tetapi apakah

48

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

pluralisme itu? Ada baiknya, sebelum kita pahami bersama apa itu pluralisme, dijelaskan lebih dahulu istilah pluralitas dan pluralisme yang kedua istilah itu berasal dari akar kata yang sama. Kedua istilah tersebut (pluralitas dan pluralism) berasal dari akar kata yang sama yaitu kata 6 “pluralis” dari bahasa Latin atau kata “plural” dari bahasa Inggris. Diharapkan dengan adanya distingsi antara pluralitas dan pluralisme akan terlihat semakin jelas apa itu pluralisme. Sebab sering kali kedua istilah ini dipakai secara tumpang tindih dengan pengertian dan makna yang sama saja. Di samping itu perjelasan tersebut dimaksudkan agar kita memiliki pemahaman yang sama mengenai kedua istilah tersebut dan secara khusus kata pluralisme yang saya gunakan dalam paper ini. Pluralitas diterjemahkah dari kata “plurality” yang termaknai sebagai keberagaman, kemajemukkan, kejamakkan. Kata pluralitas itu hampir sama maknanya dengan kata “kebhinekaan”. Kebhinekaan atau keberagaman seperti itu, memang adalah suatu realitas universal yang kita dapat temui di mana-mana di seluruh dunia. Di Indonesia saja, kejamakkan sebagai realitas sosial adalah merupakan suatu kenyataan, misalnya kemajemukan suku, bahasa, budaya, adat istiadat, agama. Jadi pluralitas adalah suatu deskripsi objektif atas atau terhadap realitas manusia dan alam yang terdiri dari banyak hal yang beragam. Jadi kalau dalam percakapan sehari-hari dan kita gunakan kata “pluralisme agama” ini salah kaprah. Karena yang dimaksud dengan “pluralisme agama” dalam percakapan tersebut adalah pluralitas agama yaitu bahwa memang di Indonesia terdapat lima atau enam agama. Jadi sekali lagi, istilah pluralitas lebih menunjuk kepada jumlah atau banyaknya agama, bahasa, budaya dari pada perbedaan yang satu dengan yang lainnya. Pluralisme sering diartikan sebagai sebuah paham (isme) suatu perspektif ideologis – filosofis dalam memahami realitas. Pluralisme bukan sekedar soal kepelbagaian, bukan hanya soal jumlah, banyak atau sedikit, majemuk atau tunggal, melainkan ia merupakan suatu paham (isme.) Pluralism sebagai paham, mencoba untuk merangkul realitas pluralis dalam suatu kesetaraan. Terhadap pluralisme agama atau keselamatan yang disediakan agama, pluralisme berkeyakinan bahwa ada banyak jalan menuju ke keselamatan. Tekanannya ada pada Allah sebagai pusat, atau realitas tertinggi dan realitas tersebut dapat dipahami melalui berbagai 7 persepsi yang berhubungan dengan kebenaran. Upaya-upaya semacam ini dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan berbagai pergesekan dan perbedaan yang sering kali terjadi dan memicu berbagai konflik sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu paham pluralism mencoba untuk mencari solusi terhadap berbagai konflik dengan meniadakan klaim-klaim kebenaran. Pluralisme memberi tekanan pada kualitas keberagaman sebagai realitas. Dengan paham pluralism, maka setiap keunikkan yang terdapat pada suatu pandangan atau agama, direlatifkan makna dan kebenarannya. Paham pluralis mencoba untuk menghapus kebenaran-

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

49

kebenaran tunggal dan menggantikannya dengan kebenaran-kebenaran pluralis-relatif. Pemikiran semacam ini kita dapat melihatnya di dalam 8 pandangan dari Knitter . Dari perspektif tersebut di atas, maka pluralisme yang dibicarakan bukan lagi penyajian suatu data deskriptif terhadap realitas, melainkan suatu sikap pandang dalam memahami dan memaknai realitas yang majemuk. Sikap pandang terhadap realitas tersebut didorong oleh berbagai peristiwa berdarah yang terjadi belakangan ini. Dalam berbagai analisis, terutama analisis sosiolgis, ditemukan bahwa berbagai konflik sosial dan peristiwa berdarah yang terjadi di berbagai tempat telah dipicu oleh klaim9 klaim kebenaran . Klaim-klaim kebenaran itu misalnya budaya, adat istiadat dan terutama klaim kebenaran agama. Lahirnya ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatas namakan agama baru akan bisa sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Maka para penganut semangat pluralism mengajukan solusi yaitu harus dihapuskannya berbagai klaim kebenaran, maka di situ akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai. Sebenarnya pluralisme itu sendiri masih dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama disebut pluralism tradisional. Mengenai pluralisme tradisional ini Wahono10 menyebutnya sebagai tahap Ignorant, dimana masing-masing penganut agama tahu bahwa ada agama lain di sampaing agama saya, tetapi masing-masing penganut agama berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling mengganggu dan tidak saling mempedulikan satu sama lain. Mereka menerima saja perbedaanperbedaan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat alamiah. Kedua ialah kelompok pluralism terbatas, dimana masing-masing penganut agama berjuang untuk menemukan kebenaran menurut agamanya sendiri yang bersifat eksklusif. Di sinilah sebenarnya awal mula klaim-klaim kebenaran muncul kepermukaan. Pluralisme ketiga ialah apa yang kita kenal dewasa ini yaitu pluralism “ekstrim” sebagai sebuah paham. Pluralisme dewasa ini sudah menjadi ciri utama dari kehidupan sosial. Sesungguhnya dunia kita dewasa ini sudah menjadi sebuah kampung kecil yang sangat heterogen di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Bukan hanya hidup bersama tetapi tiap-tiap orang sudah mengalami proses emansipasi, dan sadar akan hak-haknya untuk berpendapat. Sadar akan kenyataan semacam ini, munculkan semangat pluralisme hari ini. Skeptisisme. Sekilas, banyak orang mempunyai anggapan bahwa pluralism sama artinya dengan skeptisisme atau sebaliknya. Namun kalau kita perhatikan dengan lebih teliti, kita akan segera tahu bahwa kedua istilah tersebut tidaklah sama artinya. Skeptisisme adalah sebuah paham yang

50

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

mengatakan bahwa manusia dengan akal budinya tidak akan pernah mencapai kebenaran sejati. Maka kebenaran satu-satunya ialah meragukan semua kebenaran11. Skeptisisme mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui persesuaian antara pengetahuan dengan kenyataan. Budi manusia tidak dapat mengenal realitas seperti dalam dirinya sendiri. Skeptisisme semacam ini muncul dalam bentuk relativisme dan individualisme12. Bagi penganut skeptisisme mereka mengatakan bahwa segala kebenaran hanya berlaku bagi subjek tertentu dalam situasi tertentu pula. Jadi ada perbedaan yang mendasar antara pluralisme dan skeptisisme. Di dalam pluralisme kita masih bisa menemukan kebenaran, meskipun menurut paham ini, kebenaran itu terbatas, tidak lengkap. Sedangkan di dalam skeptisisme kita tidak akan pernah menemukan kebenaran, karena pencari kebenaran itu sendiri pada dasarnya adalah terbatas. Memang ada beberapa pemikir seperti Alan Race yang menggolongkan pluralisme ke dalam varian relativisme, tetapi beberapa pengamat lain lagi seperti Knitter melihat bahwa pluralisme dan relativisme 13 sebagai dua cara pandang yang berbeda, meskipun kadang berdekatan . Pluralisme sebagaimana dijelaskan di atas, sebenarnya bukanlah pluralisme yang mengalir dari pemikiran filsafat, melainan lahir dari realitas sosial yang memang plural dan keadaan itu terus berkembang dengan begitu cepat di era kita ini, serta membawa beberapa dampak negatif seperti konflik-konflik sosial. Maka pluralisme ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk meredam berbagai konflik sosial. Pluralisme semacam ini juga merupakan kelanjutan dari sikap-sikap masyarakat agama terhadap realitas plural. Beberapa Sikap Terhadap Pluralisme Setelah kita melihat apa itu pluralisme, kini kita mencoba lagi untuk melihat beberapa sikap terhadap pemikiran pluralisme. Secara deskriptif dapat diklasifikasikan menjadi tiga sikap utama. Pertama paradigma eksklusive Paradigma eksklusivisme merupakan pandangan yang dominan di sepanjang sejarah agama-agama dan tetap dianut pemeluk agama sampai saat ini. Inti pandangan eksklusivisme ialah bahwa agama yang dianut seseorang adalah satusatunya jalan yang sah, benar menuju keselamatan dan Sorga. Pandangan ini menyebar di semua agama wahyu di seantero dunia ini. Di kalangan agama kristen, Yesus dipahami dan diyakini sebagai satu-satunya jalan menuju ke keselamatan ( Yohanes 6 : 14, Kisah Para Rasul 4 : 12) Pandangan ini merupakan pandangan yang sangat klasik dan dipegang teguh oleh hampir semua orang kristen dari berbagai aliran dan denominasi. Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap lagi. Sikap

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

51

pertama dari paradigma eksklusif adalah sikap menarik diri. Dari segi sosiologis, apabila dalam suatu komunitas dimana penganut agama tertentu merasa dirinya lebih kecil dari segi jumlah dan pengaruh, maka ia akan lebih cenderung menarik diri dari realitas sosial yang majemuk dan membentuk komunitas eksklusif, tertutup dalam pergaulan. Dalam keadaan tertentu, mereka cenderung “menjauhkan diri dari pengaruh mayoritas ke 14 daerah yang terpencil” Sikap kedua dari paradigma eksklusif ialah sikap menyangkal kehadiran agama lain dengan melakukan tindakan depresif. Lagi-lagi dari segi sosiologis, apabila dalam suatu wilayah tertentu dan terdapat suatu golongan agama tertentu yang merasa lebih besar dalam jumlah maupun pengaruh maka ia akan melakukan protes-protes terbuka terhadap kelompok agama lainnya yang menurut golongan tersebut agama merekalah yang benar dan agama lainnya adalah salah bahkan sesat. Kelompok mayorits menciptakan suatu mitos bahwa merekalah yang dipanggil untuk berkuasa dan menentukan jalannya masyarakat. Semua minoritas harus ditundukkan kepada keinginan mayoritas15. Oleh karena itu agama dengan penganut minoritas harus dikuasai dan ditaklukkan, baik dengan secara paksa maupun dengan cara-cara yang lebih halus. Kedua Paradigma “Inclusive”. Paradigma ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa semua agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas Allah dalam tradisi agama-agama lain. Maka di dalam perjumpaan antar umat beragama yang bebeda-beda, hampir kurang terjadi konflik sosial, karena masing-masing mengakui dan menghargai perbedaan agama. Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap. Sikap pertama dari paradigma inklusif ialah sikap akomodatif. Sikap akomodatif ini lebih mementingkan keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Oleh karena itu kebersamaan dan kerukunan menjadi pusat perhatian mereka dan tidak mempersoalkan ajaran-ajaran agama dimana terdapat perbedaanperbedaan. Agama, dengan segala ajarannya itu urusan interen agama masing-masing orang atau soal agama itu adalah urusan hati tiap orang dengan Tuhan. maka biarlah urusan masing-masing orang dengan Tuhan dan biarlah Tuhan yang tahu. Terkadang sikap ini jatuh kepada sinkritisme. Sikap kedua dari paradiga inklusif ialah inklusif kritis. Model ini sadar akan perbedaan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu masingmasing umat penganut agama tertentu, berusaha untuk berpegang teguh pada ajaran agamanya. Ciri pokok dari semangat inklusif kritis ialah: Hadir di tengah masyarakat pluralis, melihat, menimbang, memutuskan dan bertindak. Pandangan inklusif kritis bisa juga disebut sebagai inklusif

52

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

transformatif. Ia hadir di tengah pluralitas agama dan berjuang untuk membawa transformasi atau perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Ada semacam kesadaran bahwa sebagai sesama umat manusia, kita harus hidup dan saling menghidupkan di antara sesama umat beragama sehingga tercipta suatu masyarakat damai sejahtera. Jadi inklusif kritis mengembangkan sikap saling menghargai kepelbagaian masing-masing penganut umat beragama dengan semangat saling menghormati dan saling memberdayakan menuju masyarakat sejahtera. Sikap menarik diri (ekslusif)?sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adalah sikap yang tidak sesuai dengan mandat “menjadi garam dan terang” (Matius 5 : 13 – 16) di dunia. Selanjutnya sikap mengikuti arus pluralisme tanpa sikap kritis (akomodatif), juga merupakan sikap yang bertentangan dengan Roma 12 : 2. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia” (Sekuler) atau Sinkritisme. Maka sikap inklusif kritis dengan kesadarannya untuk menjadi garam dan terang dunia dan tidak menjadi serupa dengan dunia ini, maka ia hadir, memperhatikan, memahami, menimbang, memutuskan dan bertindak adalah sikap yang tepat16. Sikap inklusif kritis dengan kehadirannya dam kemampuan memahami akan dapat mengendalikan semangat pluralisme ke suatu tatanan hidup yang lebih memuliakan Tuhan. Usaha untuk membangun sikap saling pengertian, yang dilakukan melalui dialog, sangat membutuhkan sikap kritis. Sebab semangat dialog bukan untuk menyelaraskan semua keyakinan dari tiap-tiap agama, melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak dan bahwa keyakinan-keyakinan ini berbeda. Dialog menurut pemikiran saya, bukan soal mencari-cari kesamaan pandangan untuk membangun saling pengertian, melainkan dalam dialog itu kita saling menyadarkan bahwa manusia itu sudah teralienasi dari Allah karena dosa. Dosa membawa kematian spiritual. “Kematian spiritual terebut tidak lain merupakan alienasi jiwa dari Tuhan”17 Atas kesadaran tersebut, maka dialog itu sendiri hendaknya menghantar setiap orang kepada peristiwa dan Pribadi Yesus Kristus.18Mengapa setiap orang perlu bertemu dengan peristiwa dan pribadi Yesus Kristus? Karena Injil bukan untuk sekelompok orang melainkan untuk semua umat manusia yang sudah mengalami keterasingan [alienasi] dari Tuhan.

Ketiga Pandangan Pluralisme. Pandangan ini mengatakan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itulah semua klaim bahwa hanya agamanyalah adalah satu-satunya yang sah dan benar, harus ditinggalkan. Dengan kata lain pluralisme agama menghendaki agar setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui perbedaan dan hak agama lain, tetapi harus terlibat di dalam usaha

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

53

memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Bahasa populernya di tanah air kita ialah toleransi dan dialog. Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap yaitu, pertama adalah sikap pluralisme eksistensial. Gerakan ini berjuang untuk menyadarkan semua umat beragama bahwa secara kodrati realitas itu plural. Artinya kita harus mengakui dan menerima bahwa realitas kosmos ini memang banyak ragamnya dan untuk itu tidak perlu dipertentangkan satu sama lainnya. Contoh dari pandangan ini ialah pelangi. Pelangi itu indah, menarik bahkan mempesona kita, karena keragaman warnanya. Sikap kedua ialah pluralisme relativisme. Pandangan ini bergerak dari asumsi bahwa realitas mutlak itu adalah relatif. Tidak ada suatu kebenaran apapun di dalam apapun. Ini pengaruh dari filsafat Kant yang meradikalkan perbedaan antara fenomena dan noumena. Semua agama sedang dalam pencaharian akan kebenaran dan kita hanya menangkap fenomenanya saja sedangkan yang sesungguhnya tidak seorangpun yang tahu. Sikap semacam ini sangat melemahkan kebenaran yang diakui dan diyakini oleh setiap agama selama ini. Apabila kebenaran yang diyakini oleh tiap agama direlatifkan, maka kemanakah kita harus mencari dan membangun lagi kebenaran? BEBERAPA PROBLEM UMUM DARI PLURALISME Dari percakapan sebelumnya, sebenarnya sudah terlihat di sana-sini adanya maslaha-masalah yang ditimbulkan oleh semangat pluralisme tersebut. Atau adanya keberatan-keberatan tertentu mengenai paham pluralisme. Para penganut pluralisme berupaya untuk mendorong kekristenan bergerak keluar sehubungan dengan agama-agama lain di dunia. Akan tetapi upaya tersebut telah menjumpai perlawanan yang tidak kecil jumlahnya, sebagian berasal dari luar dan sebagian lagi berada di dalam diri kita sendiri.19 Kita tidak akan membicarakan semua masalah pluralisme di sini, tetapi saya hanya ingin melihat beberapa masalah yang secara khusus berkenaan dengan implikasi pastoral. Pluralisme sebagai problem sosiologis (keluarga) Jika kita ikuti alur pemikiran dari kaum pluralisme, maka pluralisme diusung sebagai solusi terhadap berbagai konflik dan kekacauan dalam masyarakat. Secara teoritis, maksud baik tersebut dapat meredam berbagai konflik sosial dalam masyarakat, namun dalam kenyataan empiris, saya justru melihat bahwa dengan hadirnya pluralisme tersebut justru menghadirkan sekaligus persoalan dalam keluarga. Yang saya maksud dengan pluralisme sebagai problem sosiologis atau keluarga ialah

54

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

bahwa pluralisme selalu mengadung potensi konflik sosial atau kekaburan identitas. Pluralisme oikumenis yang bersifat denominasional dengan keterbukaan pikiran dan pendapat, justru menyebabkan kebingungan. Sulit bagi kita untuk melihat dan menperoleh kepastian, sebab banyak pilihan dan banyak alternatif. Sekedar contoh, mengenai liturgi ibadah, persekutuan-persekutuan dengan nyanyian-nyanyian, terlalu banyak pilihan dan kemungkinan. Dalam konteks gereja-gereja di Indonesia, pemandangan seperti ini tidak jarang kita jumpai bahwa dalam sebuah keluarga, bahwa anggota keluarganya memiliki atau menganut sekaligus beberapa agama. Dikalangan agama Kristen sendiri, tidak jarang kita temui bahwa dalam satu keluarga anggota keluarganya menganut berbagai aliran denominasi gereja. Keberadaan mereka dalam sebuah keluarga dengan bermacammacam denominasi gereja mengandung potensi konflik dalam keluarga. Dalam keluarga dengan kepelbagaian denominasi gereja, akan melahirkan pluralisme behavioristik. Menurut para ahli sosiologi, pluralisme behavioristik merupakan inti permasalahan sosiologis. Permasalahan itu berawal dari keyakinan atau hasrat dengan nama dogma yang berbeda, aturan dan keinginan yang berbeda pula. Padahal keluarga sebagai persekutuan yang paling asli, yang membentuk seluruh keyakinan dan kewajiban moral. Pluralisme behavioristik bisa menjadi pokok permasalahan, hal tersebut bisa terjadi karena tiap-tiap aliran denominasi gereja memberi tekanan tertentu pada satu pokok ajaran atau doktrin. Dengan memberi tekanan hanya pada satu pokok ajaran, saya rasa bahwa itu adalah suatu bentuk kekaburan identitas sebagai orang kristen. Sebab orang kristen percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, tetapi mengapa hanya menekankan satu pokok saja sebagai satu-satunya doktrin? Pada umumnya masing-masing anggota keluarga mempertahankan dokrtin dari aliran atau denominasi gerejanya. Inilah yang saya sebut sebagai kekaburan identitas. Tetapi di sisi lain mungkin mereka mengembangkan suatu sikap toleransi, saling membiarkan, masing-masing bertumbuh dengan atau menurut doktrin dari gerejanya. Bila hal ini yang dianut, maka mereka akan segera jatuh kepada kekaburan identitas yang lebih serius lagi karena akan menimbulkan kebingunan dari masyarakat sekitarnya. Dalam percakapan saya dengan beberapa keluarga yang semacam ini, biasanya mereka menyebut dirinya dengan nama keluarga “keluarga Indonesia, agama Pancasila”. Dalam suasana normal, barangkali pluralisme agama atau aliran denominasi gereja dalam keluarga boleh jadi aman-aman saja. Akan tetapi manakala terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terutama yang berkaitan dengan masalah agama atau aliran denominasi, maka di situlah akan muncul berbagai masalah. Hal-hal semacam ini bisa menyeret para anggota keluarga itu sendiri terjatuh ke dalam konflik dan pertengkaran.

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

55

Keluarga sebagai unit paling kecil dalam masyarakat tetapi sekaligus sebagai fondasi persatuan, ternyata dengan adanya pluralisme aliran denominasi gereja sudah menjadi benih perselisihan di anatra anggota keluarga. Konsekuensi yang lebih jauh dari pluralisme aliran denominasi gereja ialah terlepasnya anggota keluarga dari ikatan akar komunitas keluarga, sebab masing-masing mengembangkan kediriannya (semangat individualisme) sendiri. Nah jika benar hal ini yang terjadi, maka menurut analisis dari Durkheim tentang masalah bunuh diri, ia menemukan bahwa salah satu sebab bunuh diri ialah karena seseorang tercabut dari ikatan akar komunitas keluarga. Bunuh diri sebagai akibat dari tercabutnya seseorang dari akar kumunitas keluarga, lebih banyak ditemukan di antara orang kristen Protestan jika dibandingkan dengan orang Katolik. Dalam analisisnya lebih jauh ia menemukan bahwa orang protestan itu lebih 20 individual, sedangkan orang Katolik itu semangat komunalnya lebih tinggi . Jadi bagi seseorang dengan semangat individual, ternyata tidak kuat menghadapi tantangan, karena ia tidak memiliki dukungan sosial, manakala ia berada dalam berbagai persoalan hidup. Selanjutnya masyarakat (keluarga) seperti yang disebutkan Durkheim ialah masyarakat “Sui Generis” yang memiliki solidaritas yang didasarkan pada prinsip21 prinsip moral . Keluarga sebagai unit persekutuan yang paling asli hendaknya terus mengembangkan kesadaran kolektif sebagai suatu kesatuan komunitas keluarga. Hal tersebut dapat terwujud manakala anggota keluarga secara bersama-sama memiliki satu kepastian panduan. Pluralisme Sebagai Problem Psikologis Dalam sebuah keluarga perlu ada sistim tata nilai yang harus dianut bersama. Pada umumnya sistim tata nilai dalam keluarga-keluarga kristen di Indonesia adalah sistim tata nilai dari orang tua, khususnya bagi anakanak yang masih dibawah asuhan mereka. Sistim tata nilai itu bisa berupa nilai-nilai agama, budaya ataupun tradisi-tradisi lainnya yang dianut oleh orang tua selama itu. Sistim tata nilai tersebut sebagai batasan dan bila mana batasan-batasan itu dilanggar maka di situ akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam keluarga. Sistim tata nilai tersebut perlu diinternalisasikan ke dalam anggota keluarga sedini mungkin, sehingga anggota keluarga mempunyai batasan yang jelas. Apabila anggota keluarga yang kehidupan dunia moralnya terbentuk dengan baik, ia akan membangun kesadaran kebersamaan secara lebih baik, sedangkan anggota keluarga yang orientasi hidupnya di dorong oleh hawa nafsu, maka orang tersebut akan lebih cenderung untuk mengabaikan nilai-nilai moral. Apabila tidak ada batasan-batasan yang jelas dalam keluarga, maka disitu pula akan menimbulkan banyak kesulitan. Batasan dalam keluarga diperlukan untuk mengatur berfungsinya keluarga secara utuh. Oleh karena itu baik indivudi maupun seluruh anggota keluarga, mereka dibatasi oleh batasan-batasan hubungan antar pribadi. Batasan-batasan ini berfungsi untuk menjaga otonomi keluarga.

56

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Apabila dalam sebuah keluarga dengan semangat pluralisme aliran denominasi gereja dan tentu dengan sendirinya sudah berlaku nilai-nilai pluralis, maka hal tersebut akan segera menimbulkan kebingungan di antara anggota keluarga. Keluarga akan terpecah-pecah oleh pandangan yang saling berbeda dan bahkan saling bertentangan, terutama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ajaran iman bersifat prinsip. Bilamana sebuah keluarga mengalami kebingungan acuan moral maka kehidupan di dalam keluarga tersebut tidak akan tenang. Keluarga yang mengalami kebingungan seperti itu, sangat sukar untuk bisa menciptakan suasana damai sejahtera dan tenang. Manakah yang harus dipegang dan manakah yang benar, sebab semua diakui kebenarannya. Maka dari pandangan psikologis, Potensi kekaburan jati diri keluarga akan memicu lahirnya stress personal maupun komunal. Komunikasi akan menjadi terhambat, dan suasana kebersamaan dalam keluarga akan menjadi sangat terganggu. Di sini akan tercipta suatu pola baru yang disebut sebagai “budaya bisu” dalam keluarga, dimana komunikasi tidak akan berjalan dengan sehat. Mempertahankan diri dalam ketertutupan tanpa komunikasi akan menyengsarakan diri sendiri. Keluarga yang hidup bersama dengan tanpa komunikasi yang sehat, akan menimbulkan rasa frustrasi dan jengkel di dalam jiwa anggota keluarga22. Pluralisme Sebagai Masalah Teologi Pastoral Problem pastoral di sini ialah potensi akomodatif / sinkritisme dan bahaya dogmatism. Para pelayan pastoral dalam mensikapi pluralisme selalu ada kecenderungan untuk memilih satu sikap ektrim dari dua kemungkinan. Sikap ekstrim pertama ialah menyambut dengan semangat pandangan-pandangan pluralis tanpa sikap kritis dan menolak dengan tegas-tegas apa-apa yang dimilikinya selama ini tanpa suatu pertimbangan yang matang. Barangkali ada keluarga yang menganut paham akomodatif akan mencoba untuk menetralisir semua pandangan yang dianut dalam keluarga untuk saling menerima dan mengakui dan bisa menciptakan suatu suasana yang harmonis. Namun kalau usaha tersebut tidak dilakukan dengan sikap kritis, maka usaha itu akan segera menghantar keluarga tersebut kepada sikap sinkritsme. Jadi upaya untuk menyelamatkan keluarga dengan semangat pluralis akan jatuh ke dalam bahaya sinkritisme. Ini juga sangat berbahaya. Bagi keluarga yang mengambil sikap tersebut, “Segala suatu dianggap seperti “mode” yang diciptakan menurut selera musim, lantas 23 disingkirkan untuk diganti dengan mode yang lain”. Sikap semacam ini sangat terbuka peluang untuk jatuh ke dalam bahaya sinkritisme. Sinkritisme yang saya maksud ialah bukan soal-soal yang hanya sematamata berhubungan dengan hal-hal mistis atau penyembahan berhala, melainkan penggunaan istilah-istilah dari disiplin ilmu sosial misalnya soal dosa disamakan begitu saja dengan istilah “id” dari psikoanalisa Freud. Penyamaan istilah-istilah teologi dengan istilah-istilah non teologi, menurut

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

57

saya, adalah suatu bentuk sikritisme baru, karena setiap disiplin ilmu, ia mempunyai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula dan tidak bisa disamakan begitu saja. Ketercabutan dari akar tradisi pastoral gereja. Dalam pelayanan pastoral, referensi yang dipakai adalah referensi ilmu-ilmu social seperti psikologi, sosiologi atau ilmu kedokteran, dll. meskipun para pelayan pastoral itu tidak memiliki pengetahuan dasar yang memadai untuk bidang yang direfrensi tersebut. Pola-pola tradisi dari pastoral telah ditinggalkan. Pola-pola tradisi yang saya maksud ialah Alkitab, sejarah pelayanan pastoral dari gereja di masa lampau, teologi pastoral dan sejenisnya. Tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh para pelayan pastoral hari ini. Meninggalkan Alkitab. Hal tersebut dapat kita saksikan di dalam berbagai khotbah dewasa ini. Dalam sebuah khotbah bukan lagi pesan Alkitab yang mau disampaikan tetapi para pelayan pastoral mengembangkan cerita-cerita pengalaman dari berbagai macam suku dan budaya maupun pengalaman dirinya sendiri. Pembiasaan seperti ini sadar atau tidak sadar akan segera membentuk suatu persepsi baru yaitu bahwa cerita-cerita besar dari berbagai suku bangsa tersebut, sama nilainya dengan cerita-cerita besar dalam Alkitab. Jika hal ini yang terjadi, maka gereja telah menjadi agen untuk paham pluralism, yaitu menghapus metanarasi dan menggantikannya dengan cerita-cerita rakyat dari berbagai budaya dan agama. Tanpa disadari bahwa dengan cara tersebut para pelayan pastoral telah menciptakan “Alkitab baru” yang penuh dengan kisah-kisah pengalaman dari masing-masing individu. Sikap ekstrim lainnya ialah bahaya dogmatisme. Berseberangan dengan kelompok akomodatif ialah kelompok yang mencoba menutup diri dengan nama dogma. Bagi kelompok ini bila berhadapan dengan paham pluralisme, mereka segera “menutup diri, membuat kepompong baja, seraya memperkuat sikap mengagung-agungkan serta memutlakkan apa yang dipunyai dan merelatifkan apa yang tidak dipunyai”. Hal tersebut dapat dipahami oleh karena keyakinan agama selalu bersifat dogmatis yang tidak pernah memberi tempat pada keraguan dan pertanyaan. IMPLIKASI PASTORAL Di tengah silang pendapat dan pandangan dari para teolog di sanasini mengenai pluralisme, para petugas pastoral sebaiknya tidak usah terjebak dalam perdebatan yang melelahkan itu. Para pelayan pastoral harus tetap setia pada komitmentnya untuk memelihara jemaat Tuhan (2 Korintus 11 : 28) Kadang para pelayan pastoral tergoda untuk melakukan tindakan konfrontasi dan mengeluarkan anggota gereja yang sangat mendukung semangat pluralism. Sikap ini tidak perlu diambil, sebab mereka yang senang dengan paham pluralisme itu bukanlah musuh kita (2

58

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Tesalonika 3 : 15). Terkadang pula para pelayan pastoral tergoda untuk bertindak masa bodoh terhadap apa yang sedang terjadi. Sikap inipun tidak perlu diambil, sebab memang tugas pastoral ialah berusaha untuk selalu mengingatkan (1 Timotius 4 : 6) jemaat akan segala hal yang membawa mereka kepada kesempurnaan hidup. Jika demikian sikap seperti apakah yang perlu diambil oleh para pelayan pastoral? Pada bagian-bagian sebelumnya saya sudah menyinggung bahwa Alkitab dan tradisi pastoral sudah ditinggalkan dalam pelayanan pastoral, maka di bawah ini saya akan memperjelas apa yang saya maksud dengan pernyataan tersebut. Kembali Kepada Alkitab Kita tentu masih ingat akan semangat Martin Luther dengan “Sola Scriptura”nya yang menggoncangkan dunia. Ketika itu dunia hampir dapat dikatakan sudah dan sedang dikuasai oleh semangat filsafat dan teologi abad pertengahan. Keadaan itu membuat gereja lupa akan firman Tuhan, para pemimpin gereja terjebak ke dalam diskusi yang tak pernah selesai tentang filsafat, teologi dan ilmu pengetahuan. Tentu diskusi-diskusi semacam itu tidak salah tetapi apa yang salah ialah bahwa diskusi itu sudah semakin jauh meninggalkan alkitab. Maka di sanalah Martin Luther hadir dan menyerukan untuk kembali kepada Alkitab. Apa yang saya mau sampaikan dengan kalimat kembali kepada Alkitab? Yang saya mau katakan ialah bahwa para pelayan pastoral hendaknya membaca ulang Alkitab dengan teliti dan perlahan-lahan. Sebab hanya dengan sikap membaca yang demikian kita akan menemukan bahwa Alkitab sudah menyajikan kepada kita berbagai kemungkinan untuk kepentingan kebersamaan kita. Alkitab sebagai sumber bagi pelayanan pastoral sudah menyediakan kepada kita berbagai cara dengan segala kekayaannya untuk kepentingan pemeliharaan domba-domba milik Tuhan. Kalau kita perhatikan dengan teliti dan tidak tergesa-gesa, kita akan segera menemukan kepelbagaian yang sangat kaya di dalam Alkitab. Membaca dengan teliti membutuhkan kemauan untuk mendengarkan. Kitab suci yang tidak didengar akan menjadi tidak menarik, tidak akan memberi inspirasi. Mendengarkan artinya bersedia membuka hati, membuka diri, bersedia menerima, berpikir dan merenungkan serta mengelola apa yang didengar. Jadi sebagai pelayan pastoral janganlah kita terjebak ke dalam satu pandangan yang ekstrim, apakah pandangan eksklusif, inklusif ataupun pluralis. Janganlah kita melihat padangan-pandangan itu sebagai yang saling bertentangan dan saling meniadakan. Pandangan-pandangan tersebut hendaknya dilihat sebagai kekayaan kecerdasan manusia dalam merumuskan pengalamannya dengan Tuhan. Di dalam Alkitab kita bisa menemukan pandangan eksklusif, misalnya dalam Perjanjian lama Allah menyuruh umatNya untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa Kanaan, atau dalam perjanjian baru Tuhan berbicara melalui rasul Paulus bahwa orang percaya tidak boleh menjadi serupa dengan dunia ini. Ini adalah sikap

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

59

eksklusif. Tetapi pada kesempatan lain, baik di dalam perjanjian lama maupun Perjanjian baru, Tuhan memerintahkan kepada umatNya untuk masuk ke dalam dunia dan menjadi terang dan saksi kepada dunia. Ini sikap inklusif. Pada kesempatan lain lagi Alkitab menyodorkan kepada kita bahwa pandangan dari dunia (mereka yang tidak beriman Yahudi atau Kristen) bahwa Tuhan pakai mereka untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia, misalnya Yitro mertua Musa, ia adalah seorang imam di Median, (Keluaran 18) toh Tuhan pakai dia untuk memberikan suatu pencerahan kepada Musa. Ini pandangan pluralis. Artinya disamping pandangan-pandangan khas kelompok Israel, ada juga pandangan lain yang sangat berguna untuk memperkaya kekayaan kaum Israel. Masih banyak contoh-contoh lain di dalam Alkitab. Maka bagi saya, sebagai pelayan pastoral marilah kita membaca ulang Alkitab kita dengan teliti dan perlahan-lahan sehingga kita menemukan mutiara-mutiara yang berhamburan di sana-sini. Membaca ulang di sana bukan untuk kembali kepada cara-cara tempo dulu, melainkan melihat pesan pelayanan pastoral dan makna pemeliharaan umat seperti yang disampaikan di dalam Alkitab. Dengan demikian panggilan pastoral untuk memelihara kawanan domba milik Allah tetap terlaksana dengan baik dan mendatangkan damai sejahtera bagi kita semua. Jangan Mengabaikan Tradisi Dari pengamatan saya belakangan ini, saya memperoleh kesan bahwa ada kecenderungan dari para pelayan pastoral untuk mengabaikan dan melupakan tradisi. Fenomena ini tidak saja terjadi di wilayah pelayanan pastoral, tetapi sudah merambah ke mana-mana, banyak contoh yang bisa kita temui di masyarakat. Melupakan tradisi adalah penyakit masyarakat paska modern. Memang tradisi bisa bersifat negatif, apabila tradisi dipakai sebagai ukuran untuk menentukan segala sesuatu, tetapi lebih lanjut dapat dikatakan bahwa orang tidak bisa maju ke depan dengan tetap terikat pada 25 masa lalu (Filipi 3 : 13) sebab bagimanapun kita dibentuk oleh tradisi . Ketika berbicara tentang tradisi yang saya mau katakan ialah soal cara-cara atau kebiasaan dalam pelayanan pastoral. Di dalam Alkitab kita menemukan berbagai cara untuk memelihara iman umat, misalnya dalam tradisi para imam, mereka melakukan tugas pemeliharaan dengan ritualritual dan dalam ritual tersebut hal simbol memainkan peranan yang sangat penting. Pembatinan nilai-nilai religius ditanamkan melalui ritus-ritus. Ritusritus sebagai sistem simbol-simbol sakral yang berfungsi untuk mensintesiskan suatu etos kerja seperti kualitas kehidupan, moral, gaya estetis, suasana batin manusia. Sistem simbol-simbol sakral juga memberikan gambaran tentang pandangan dunia (world view) suatu bangsa seperti, gambaran yang komprehensif mengenai tatanan hidup

60

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

sebagai bangsa. Simbol merupakan sumber informasi ekstrinsik. Simbol ekstrinsik menyediakan cetak biru yang olehnya proses-proses kehidupan spiritual dapat dibangun dan dibentuk. Sistem simbol menetapkan suasana batin. Orang tidak melihat konsep tentang Tuhan, malaikat, dosa, pengampunan. Tetapi dengan sistem simbol-simbol sakral, manusia diangkat, terbentuk hati nuraninya, untuk mengenal Tuhan, dosa dan pengampunan. Sistem simbol-simbol sakral membentuk iklim hati, menarik si penyembah ke disposisi khusus tertentu serta memberi suatu ciri tetap pada kualitas pengalaman rohani. Suasana hati itu misalnya khikmad, sahdu, kegembiraan yang meluap-luap, kesedihan yang mendalam, penyesalan yangmendalam, keyakinan yang makin teguh ….dst. Sistem Simbol-simbol keagamaan yang sakral membuat orang untuk sanggup menanggung: Situasi-situasi tekanan emosional. Membuka jalan keluar dari situasi tersebut. dan jalan-jalan buntu, dengan ritus-ritus keagamaan dan kepercayaan yang menghantar orang untuk masuk ke dalam dunia supranatural. Sistem Simbol keagamaan sangat berperan kuat dalam mengatasi situasi krisis dalam kehidupan. Ritual-ritual atau upacaraapacara yang diselenggarakan oleh para imam atas perintah Tuhan, merupakan suatu ungkapan simbolis yang hendak menyatakan bahwa dalam bentuk yang kelihatan realitas persekutuan rohani dengan Allah. Gerak-gerik Imam pada ucapara hari penebusan merupakan ungkapan sesungguhnya dari umat kepada Tuhan dan itu diperkenankan oleh Tuhan dalam kemurahanNya. Dalam tradisi pastoral lainnya, para pelayan pastoral menggunakan pengurapan dengan minyak dan penumpangan tangan atas mereka yang sakit, pengusiran setan dengan doa-doa dan nyanyian-nyanyian, doa-doa penyembuhan bagi yang sakit, dll. Ekspresi palayanan pastoral dalam tradisi ternyata sangat kaya dan kita bisa menggunakan salah satu atau beberapa cara untuk pelayanan pastoral hari ini. Penggunaan cara-cara seperti disebutkan di atas sudah dipraktekkan dalam tradisi Yudaisme sebelum era kekristenan, kemudian di awal kekristenan cara-cara tersebut masih dipakai dalam pelayanan pemulihan. Dewasa ini gereja-gereja protestan liberal sudah tidak percaya lagi akan hal-hal atau kuasa roh jahat dan tidak lagi menggunakan cara-cara pelayanan pemulihan dengan pengusiran. Sementara di gereja-gereja pentakosta, hal ini masih dilakukan. Dalam sejarah tradisi Katolik dan Ortodoks, masih mempraktekkkan cara – cara tersebut namun dengan pengawasan ketat 27 dari gereja . Dengan mengatakan demikian, saya bermaksud agar janganlah para pelayan pastoral saling ”bertengkar” atau mempertentangkan cara-cara penanganan suatu kasus dalam pelayanan pastoral. Hal yang penting ialah bahwa semuanya itu dilaksanakan dengan hati nurani yang murni untuk melayani Tuhan dan bukan untuk mencari popularitas pribadi. Sebab seluruh pelayanan pastoral selalu berkisar di

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

61

sekitar keterbukaan di dalam menghadapi kepelbagaian28. Sebagimana kita ketahui bahwa teologia yang sangat dinamis adalah teologi pastoral, sebab ia selalu berada dan hidup di tengah perubahan yang terus terjadi. Dari antara sekian banyak teologi kristen yang berkembang dalam gereja, tampaknya teologia pastoral adalah teologi yang sangat dinamis. Dinamis oleh karena teologi pastoral sebagai suatu cabang teologi yang secara sistimatis mengadakan refleksi tentang kehidupan gereja di tengah dunia. Kehidupan gereja dan tugasnya tidak akan pernah selesai sebelum Sang kepala gereja itu datang kembali, maka disini perlunya keterbukaan. Keterbukaan tersebut perlu diiringi dengan kemauan untuk mendengarkan sehingga dapat menangkap perasaan yang terdalam dari berbagai perbedaan. Bahasa manusia selalu berbeda, tetapi perasaan-perasaan manusia selalu sama. Oleh karena itu dalam pelayanan pastoral yang berhubungan dengan manusia dalam konteksnya para pelayan pastoral perlu belajar untuk menangkap pesan-pesan terdalam dari berbagai perasaannya. Maka disana kita tidak hanya berbicara dengan otak atau pengetahuan semata tetapi berbicara dengan hati yang penuh empati dan hati nurani yang murni. Dengan mengambil sikap yang demikian, saya rasa bahwa para pelayan pastoral yang sedang bergumul dengan banyak permasalahan pastoral di lapangan, tidak akan terjebak ke dalam sikap saling menyerang dan mempersalahkan, tetapi justru akan mengembangkan suatu semangat kerja sama bagi keluasan kerajaan Allah. PENUTUP Dewasa ini pelayan pastoral berlangsung di tengah-tengah semangat pluralisme. Semangat ini jauh lebih hebat dari masa-masa pelayanan pastoral yang lalu. Akar-akar pemikiran pluralisme sesungguhnya berasal dari perenungan yang lama dan panjang para ahli filsafat sejak jaman Yunani kuno. Tetapi pluralisme yang tengah populer dewasa ini sebenarnya tidak mengalir dari aliran filsafat melainkan dari analisis sosial yang mengasumsikan bahwa konflik sosial yang tengah marak terjadi dipicu oleh pluralisme agama terutama klaim-klaim kebenaran. Maka pluralisme disodorkan sebagai solusi terhadap berbagai konflik sosial yang mengatas namakan kebenaran agama, maka semangat pluralisme sebagai sebuah paham hendaklah kita tanggapi secara kritis. Berbagai sikap dan reaksi dan tanggapan terhadap pluralisme, namun secara umum dapat dideskripsikan dalam tiga sikap. Pertama, paradigma eksklusivisme merupakan pandangan yang dominan di sepanjang sejarah agama-agama dan tetap dianut pemeluk agama sampai saat ini. Inti pandangan eksklusivisme ialah bahwa agama yang dianut seseorang adalah satu-satunya jalan yang sah, benar menuju keselamatan dan Sorga. Pandangan ini menyebar di semua agama wahyu di seantero dunia ini. Kedua, paradigma “inclusive”. Paradigma ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa semua agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan

62

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketiga, Pandangan ketiga Pluralisme. Pandangan ini mengatakan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itulah semua klaim kebenaran bahwa hanya agamakulah adalah satu-satunya yang agama sah dan benar, harus ditinggalkan. Semangat pluralisme telah menghadirkan pula kesadaran pluralisme oikumenis di tengah masyarakat gereja. Dalam perjalannya pluralisme oikumenis telah melahirkan konflik baru bagi pelayanan pastoral. Pluralisme oikumenis menjadi problem sosiologis, psikologis dan teologis, khususnya yang berkenaan dengan pelayanan pastoral. Dalam menghadapi persoalan yang demikian, para pelayan pastoral diminta untuk membangun kembali semangat cinta kepada Alkitab maupun tradisi pelayanan pastoral, sehingga menemukan kembali pesan-pesan pastoral dan makna pelayanan yang lebih mensejahterakan kehidupan rohani umat. DAFTAR PUSTAKA Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama: Etika Global Dalam kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002. Bactiar, Wardi. Sosiologi Klasik: Dari Comte hingga Parsons. Bandung: Remaja Rosda, 2006. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1967. Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981. Claeke, Andrew D. dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002. Copleston Fredrick. A History of Philosophy : Volume I Grece & Rome, Part 1. New York: Image Books, 1962. Coward, Harold. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Driver, Tom F. “Masalah Seputar Pluralisme” dalam & Paul F. Knitter. Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001. Durkheim, Emile. Suicide: An Study In Sociology. New York: The Free Press, 1967. Durness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1992. Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia. Jakaarta: BPK. Gunung Mulia, 1993.

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

Hadiwijono, Harun. Kanisius, 1980.

63

Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. Yogyakarta:

Hardiyanto, Soegeng. (ed) Agama dalam Dialog. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999. Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1991. Hommes, Tjaard & E. Gerrit Singgih. (ed) Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992. Hunter, Rodney J. (ed) Dictionary of Pastoral Care and Counseling. Nashville: Abingdon Press, 1990. Mulyono, Bambang Y. Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan: Sosiologis, Psikologis, Teologis. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986. Prent, K. C. M. Kamus Latin – Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1969. Sairin, Weinata. Visi Gereja Memasuki Mileniun Baru. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002. Schacht, Richard. Alienasi: Suatu Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2005. Sia Hok Gwan. “Paul Knitter” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994. Singgih, E. G. “Eeuwout Klootwijk” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994. Snijders, Adelbert Manusia Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Sumartana, Th. “Theologia Religionum” dalam Tim Litbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999. Veeger, K. J. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedi Pustaka Utama, 1990. Vos, Gerhardus. Biblical Theology: Old and New Testaments. Grand Rappids: Eerdmans, 1948. Wahono, Wismoady S. Pro Eksistensi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001. Snijders, Adelbert Manusia Kebenaran, ( Yogyakarta: Kanisius, 2006) h. 133-134.

EndNote 1.

Th. Sumartana, “Theologia Religionum” dalam Tim Litbang PGI, Meretas Jalan Teologi AgamaAgama di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 26.

2.

Andrew D. Claeke dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 15 - 19

64 3.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013 Fredrick Copleston, A History of Philosophy : Volume I Grece & Rome, Part 1, ( New York: Image Books, 1962) hal 108. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta: Kanisius, 1980) hal 33

4.

Soegeng Hardiyanto, (ed) Agama dalam Dialog ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 309

5.

Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 53

6.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1967) h. 853. Lihat juga K. Prent C. M. Kamus Latin – Indonesia ( Yogyakarta: Kanisius, 1969) h. 650.

7.

E. G. Singgih, “Eeuwout Klootwijk” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994, h.123

8.

Sia Hok Gwan, “Paul Knitter” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994, h. 138

9.

Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) h. 151-152

10. S. Wismoady Wahono, Pro Eksistensi ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001) h. 5 11.

K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1981) h. 17

12. Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran, ( Yogyakarta: Kanisius, 2006) h. 133-134. 13. Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersasama: Etika Global Dalam kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 74 14. Hendropuspito, Sosiologi Agama, ...h. 167 15. Ibid. h. 166 16.

Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi pastoral, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992) h. 33

17.

Richard Schacht, Alienasi: Suatu Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005) h.19

18. . Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993) h. 221 19. Tom F. Driver, “Masalah Seputar Pluralisme” dalam & Paul F. Knitter, Mitos Keunikkan Agama Kristen, 2001) h. 313 20.

Emile Durkheim, Suicide: An Study In Sociology, ( New York: The Free Press, 1967) h. 152 - 160. Lihat juga

K. J. Veeger,

Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-

Masyarakat Dalam cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedi Pustaka Utama, 1990) h. 153 154 21. Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 86 22. Y. Bambang Mulyono, Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan: Sosiologis, Psikologis, Teologis, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986) h. 45 23. Tjaard G. Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan.... h. 163 24. Ibid, h. 163 25. Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan.... h. 182 26. Gerhardus Vos, Biblical Theology: Old and New Testaments, (Grand Rappids: Eerdmans, 1948) pp 161 -164. Lihat juga William Durness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1992) h. 125 27.

Rodney J. Hunter (ed) Dictionary of Pasroral Care and Counseling, ( Nashville: Abingdon Press, 1990) h. 387 – 388

28. Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan … h. 188.

“KAU BUKAN SEPERTI YANG DULU LAGI”: SEBUAH REFLEKSI TEOLOGIS-ETIS PERCERAIAN Amos Winarto ABSTRAKSI Artikel ini bertujuan meninjau secara teologis-etis perceraian.Secara khusus di dalam Perjanjian Baru ada bagian yang menunjukkan bahwa perceraian itu diijinkan. Bagaimana kita menyikapi hal demikian? Apakah ada pertentangan dalam Alkitab? Bukankah dikatakan TUHAN itu membenci perceraian? Namun mengapa Yesus dan Paulus sepertinya mengijinkan perceraian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan menganalisa Matius 5:32 (lihat juga Matius 19:9) dan 1 Korintus 7:15. Dari analisa itu saya akan menunjukkan bahwa TUHAN melarang orang Kristen ketika masih hidup untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi itu adalah karenadua alasan berikut. Pertama, perceraian bisa terjadi karena untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman mati. Kedua, perceraian bisa terjadi karena yang menceraikan adalah suami atau isteri bukan Kristen. Kata kunci: pernikahan, perceraian, perzinahan, hukuman mati PENDAHULUAN Perjanjian Baru menggambarkan Kristus sebagai mempelai laki-laki bagi gereja-Nya (Efesus 5:21-33, Wahyu 19:7; 21:2, 9 dan 22:17). Perjanjian Lama juga menyatakan Allah sebagai Suami Israel (Yeremia 3:15; Yehezkiel 16:23; Hosea 1-3 dan Maleakhi 2:13-16).1Tidaklah mengherankan jika di dalam kekristenan pernikahan adalah sebuah refleksi hubungan di antara Allah dan umat-Nya yang diilustrasikan oleh kebersamaan di antara suami dan isteri. Di dalam refleksi hubungan ini terdapat perbedaan dan persamaan.Hubungan di antara Allah dan umat-Nya didasarkan atas kasih Allah yang sempurna, hikmat-Nya yang tidak pernah salah dan kesetiaanNya yang tidak berubah.Sedangkan kebersamaan di antara suami dan isteri dalam sebuah pernikahan didasari oleh kasih yang tidak sempurna, hikmat yang terbatas dan kesetiaan yang tidak terjamin. Selain itu, “pernikahan” antara Allah dan umat-Nya adalah sebuah hubungan di antara sosok pribadi “suami” ilahi yang berkedudukan lebih tinggi daripada “isteri” umat-Nya yang adalah manusia ciptaan. Pernikahan 65

66

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

antara seorang laki dan seorang wanita adalah sebuah hubungan di antara dua manusia yang berkedudukan sama di hadapan Penciptanya (Kejadian 1:27). Bahkan di dalam Yesus segala penghalang yang bertujuan membuat laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari wanita telah diruntuhkan (Galatia 3:28). Walaupun memiliki perbedaan dan persamaan di dalam refleksi ini, analogi yang terdapat di dalam Alkitab mengenai hubungan Allah dan umatNya dengan pernikahan suami isteri setidaknya menunjukkan satu hal pasti. Yaitu, pernikahan yang berkenan di hadapan Tuhan adalah pernikahan yang monogami. Dan ciri utama pernikahan monogami tersebut adalah kesetiaan. Dari analogi soal hubungan Allah dan umat-Nya, Alkitab mendemonstrasikan bahwa Allah adalah sosok suami yang setia baik dalam keadaan suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit, kesedihan dan kesukacitaan, kegagalan dan kesuksesan, bahkan dalam maut seperti dalam hidup. Ketika umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia (lihat 2 Timotius 2:13). Meskipun umat-Nya tidak layak untuk menerima kasih-Nya, Allah tetap mengasihi dan tidak menolak. Inilah yang menjadi alasan bahwa pernikahan Kristen memiliki sebuah komitmen dan bertujuan untuk tetap menikah bukan hanya ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, ketika segalanya masih menyenangkan, ketika semuanya masih saling menghargai dan ketika teman hidupnya masih setia dan masih layak untuk dikasihi.Bukanlah demikian saja. Melainkan ketika segala sesuatu berjalan dengan kacau, ketika segalanya menyesakkan, ketika semuanya tidak saling menghargai dan ketika teman hidupnya tidak setia dan tidak layak untuk dikasihi, pernikahan Kristen tetaplah sebuah pernikahan di hadapan Allah sampai maut memisahkan pasangan yang menikah tersebut. Berdasarkan sekilas pemahaman teologis pernikahan ini apakah jawaban terhadap seorang Kristen ketika dia mungkin sampai pada sebuah kesimpulan bahwa dia telah salah memilih teman hidupnya. Apakah dia boleh bercerai ketika dia melihat bahwa teman hidupnya bukanlah seperti yang dulu lagi? Jawabannya sudah jelas.Sebuah pernikahan Kristen adalah sebuah pernikahan yang bertujuan tetap menjadi sebuah pernikahan yang permanen, bukan sebuah pernikahan yang bersifat masa percobaan atau eksperimen. Pernikahan Kristen bukanlah pernikahan yang memiliki syarat sejauh itu menyenangkan kedua belah pihak atau memuaskan kedua belah pihak.Pernikahan Kristen adalah sebuah pernikahan yang dimeteraikan oleh kesetiaan, bahkan ketika yang tetap setia itu hanyalah salah satu pihak dan bukan kedua belah pihak. Maleakhi 2:16 mencatat, “Sebab Aku

“Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi” Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

67

membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel” dan juga Yesus di dalam Markus 10:9 menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Artikel ini bertujuan meninjau secara teologis-etis perceraian.Secara khusus bahwa di dalam Perjanjian Baru ada bagian yang menunjukkan bahwa perceraian itu diijinkan. Bagaimana kita menyikapi hal demikian? Apakah ada pertentangan dalam Alkitab? Bukankah dikatakan TUHAN itu membenci perceraian? Namun mengapa Yesus dan Paulus sepertinya mengijinkan perceraian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan menganalisa Matius 5:32 (lihat juga Matius 19:9) dan 1 Korintus 7:15. Dari analisa itu saya akan menunjukkan bahwa TUHAN melarang orang Kristen ketika masih hidup untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi itu adalah karenadua alasan berikut. Pertama, perceraian bisa terjadi karena untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman mati.Kedua, perceraian bisa terjadi karena yang menceraikan adalah suami atau isteri bukan Kristen. Menyikapi ungkapan “kecuali karena zinah” di dalam Matius 5:32 dan 19:92 Adanya kata “kecuali karena zinah” seringkali menimbulkan pemahaman bahwa orang Kristen boleh bercerai sejauh itu dilakukan dengan alasan salah satu pasangannya telah berbuat zinah.Namun apakah pemahaman ini adalah sesederhana demikian?Di dalam eksegesis-eksegesis yang telah dilakukan sampai sekarang ternyata tidaklah sesederhana seperti itu. D. A Carson dalam tafsirannya melakukan penelitian dan mendapati ada 7 cara untuk memahami ungkapan “kecuali karena zinah” ini.3Di antaranya adalah ada yang menganggap perkecualian tersebut bukanlah sebuah perkecualian melainkan sebuah penekanan: “bahkan karena zinah.” Namun penafsiran demikian harus mengabaikan dan mengubah makna asli bahasa Yunani (“kecuali”) yang dipakai.Lalu ada juga yang menafsirkan bahwa perkecualian itu tidak bertujuan untuk hidup bercerai antara suami isteri melainkan hanyalah hidup yang terpisah di antara suami isteri jika salah salah satu pihak berzinah. Tetapi penafsiran demikian mengabaikan juga makna asli bahasa Yunani (“cerai”) yang dipakai baik dalam Matius 5:32 dan ayat sebelumnya, ayat 31. Carson sendiri memilih untuk menafsirkan bahwa Matius 5:32 benar-benar bicara soal perceraian dengan alasan yang diberikan oleh Yesus sendiri (“kecuali karena zinah”). Penelitian Carson itu membuktikan bahwa Yesus memberikan sebuah perkecualian yang mengijinkan adanya perceraian dalam sebuah pernikahan. Jika seseorang memahami ungkapan “kecuali karena zinah”

68

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013 4

itu secara demikian, maka ada 3 macam kemungkinan. Pertama, perkecualian itu diberikan untuk menunjukkan pernikahan itu sendiri sebetulnya memang bukan pernikahandengan alasan larangan pernikahan antara kerabat dekat seperti dalam Imamat 18:6-18. Jadi karena memang pasangan itu sebetulnya belum menikah di hadapan TUHAN, perceraian dimungkinkan. Kedua, Yesus memang mengijinkan adanya perceraian dengan alasan perzinahan sehingga pada jaman sekarang alasan itu tetap bisa dipakai untuk perceraian tetapi tidak dengan alasan-alasan lain. Ketiga, perkecualian “kecuali karena zinah” merupakan sebuah contoh dari perkecualian-perkecualian lain yang memungkinkan sebuah perceraian, seperti perlakukan kejam terus menerus oleh salah satu pasangan, pertikaian yang tidak kunjung berhenti oleh kedua belah pihak, atau alasanalasan lain semacam itu. Bagaimana sebaiknya kita memahaminya di tengah segala macam tawaran penafsiran yang ada? Saya mengusulkan kita kembali pada konteks jaman dimana Yesus menyampaikan ajarannya itu. Di dalam Yohanes 8:5 ditunjukkan bahwa pada jaman Yesus perempuan yang ditemukan berzinah harus dihukum mati dengan dirajam batu (lihat juga Ulangan 22:23-24). Yesus memilih membiarkan perempuan itu tetap hidup.Mengapa?Karena penghukuman mati dirajam batu memiliki sebuah dampak final tak terelakkan yaitu kematian seseorang. Yesus lebih menghargai kehidupan orang berdosa daripada kematian mereka sebab keselamatan jiwalah taruhannya (bdk. Matius 10:28 atau Lukas 12:4-5). Ketika mereka masih hidup, mereka masih ada kesempatan untuk bertobat. Tidak heran dalam Yohanes 8:11 Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan menghukum mati perempuan itu melainkan menasehatinya untuk tidak berzinah lagi. Belas kasihan yang Yesus nyatakan adalah untuk menggiatkan ucapan syukur dan ketaatan dari wanita itu. Ketika Matius mencatat ucapan Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9, dia tetap memakai ungkapan “kecuali karena zinah” untuk menunjukkan bahwa Yesus menghargai hidup wanita yang berzinah itu supaya tetap ada kesempatan bertobat. Karena itulahYesus mengajarkan seorang suami untuk memilih bercerai dengan isterinya karena perzinahan yang dilakukan daripada memilih untuk mencemarkan nama isterinya di muka umum dan sebagai akibat perzinahannya harus menerima hukuman mati rajam batu. Di dalam Perjanjian Baru sebelum Yesus mengajarkan soal ini sebetulnya sudah ada seorang tokoh yang mempraktekkan ajaran Yesus yang menghargai kehidupan daripada penghukuman mati seorang berdosa.Tokoh itu adalah Yusuf, suami Maria, ibu Yesus (Matius 1:19). Karena dia adalah seorang yang tulus hati, Yusuf tidak bisa mengingkari hati nuraninya dengan menikahi Maria yang dia kira saat itu sudah tidak setia karena hamil di luar nikah.Demikian juga karena tidak ingin mempermalukan Maria di depan umum yang berdasarkan ketentuan

“Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi” Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

69

hukum pada jaman itu berakibat hukuman mati rajam batu, Yusuf memilih jalan tidak ribut-ribut yang memang mempunyai hukumnya juga. Hukum Yahudi itu, yang merupakan perkembangan aturan yang diberikan oleh Musa dalam Bilangan 5:11-31, adalah perceraian secara empat mata di hadapan dua saksi.5Inilah yang pada mulanya direncanakan oleh Yusuf sebelum malaikat menjumpai dia di dalam mimpi karena dengan melakukan demikian ketaatannya pada hukum dan kemurahan hatinya menjadi nyata. Jadi “kecuali karena zinah” di dalam Matius 5:32 dan 19:9 sangat mengena dengan konteks jaman Yesus dan juga bagi para pembaca Yahudi jaman itu yang adalah target Matius dalam menulis kitabnya. Yesus memang menggenapi hukum Taurat dengan menghilangkan aturan-aturan perceraian yang tercatat dalam Ulangan 24:1 yang diberikan oleh Musa karena “ketegaran hati,” dosa, manusia (Matius 19:8).Dan pengecualian perceraian karena zinah tidaklah bertentangan dengan usaha Yesus itu. Hal ini dikarenakan walaupun tanpa diceraikan pun, isteri yang berzinah itu pasti sudah “diceraikan” secara hukum, yaitu, dihukum mati rajam batu. Orang-orang Yahudi menyadari fakta yang demikian sehingga tidaklah mengherankan Matius menuliskan “kecuali karena zinah” dalam kitabnya.Yesus memperlunak hukum yang menyatakan bahwa berzinah harus “diceraikan” oleh hukum mati rajam batu menjadi hukum yang menyatakan bahwa pihak yang berzinah bisa diceraikan tanpa hukuman mati.6 Sehingga bagi para pendengar Yesus pada jaman itu, yang mereka tangkap pada ajaran itu, yang juga dikehendaki oleh Matius supaya mereka pahami, adalah bahwa Yesus sedang tidak memberikan aturan bahwa seseorang boleh bercerai kalau pasangannya itu berzinah. Yesus tidak saja menolak aliran Hillel pada jaman-Nya yang mengijinkan perceraian dengan berbagai alasan melainkan juga mempertajam aliran Shammai di masa-Nya yang mengajarkan bahwa perceraian hanya boleh terjadi jika ada salah satu pasangan melakukan perzinahan. Bagi Yesus seseorang bercerai bukan sekedar karena alasan bahwa pasangannya telah melakukan perzinahan.Yang Yesus ajarkan adalah bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian.Hanya saja pada jaman Yesus, orang menikah yang melakukan perzinahan harus diceraikan oleh hukum mati rajam batu.Aturan inilah yang diganti oleh Yesus karena Dia lebih menghargai kehidupan seorang berdosa supaya ada kesempatan untuk bertobat daripada kematiannya. Seseorang boleh tercerai adalah demi menghindari hukuman mati terhadap pasangannya yang telah berzinah bukan semata-mata karena perzinahannya. Dengan pemahaman demikian kita bisa menyimpulkan bahwa perkecualian yang Yesus berikan dalam Matius 5:32 dan 19:9 tidak bisa diaplikasikan pada jaman dan budaya yang tidak menghukum mati orang

70

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

menikah yang berzinah. Perkecualian itu berlaku jika masih ada sebuah negara atau tempat yang mempunyai hukum bahwa orang berzinah harus dihukum mati. Pada jaman sekarang ini boleh dikatakan jarang sekali, kalau bukan tidak ada,masih terdapat tempat yang memberlakukan hukum demikian. Oleh sebab itu memakai Matius 5:32 dan 19:9 semata-mata untuk mengijinkan perceraian oleh karena perzinahan pada jaman sekarang adalah tidak tepat karena mengabaikan konteks jaman dimana perkecualian itu diberikan oleh Yesus. Menyikapi perceraian oleh orang tidak beriman dalam 1 Korintus 7:15 Bagaimana dengan 1 Korintus 7:15? Bukankah Paulus mengijinkan perceraian jika itu dikehendaki oleh orang tidak beriman? Apakah Paulus menentang ajaran bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian? Jawabannya adalah tidak. Paulus tetap menaati perintah Tuhan bahwa apa yang dipersatukan oleh Allah janganlah diceraikan oleh manusia. Masalahnya adalah jika karena ketegaran hati, yaitu dosa, perceraian itu terjadi, maka manusialah yang melanggar perintah Allah. Itulah yang Paulus sebenarnya ungkapan dalam 1 Korintus 7:15. Jika seorang yang tidak mengenal Tuhan bertegar hati untuk bercerai maka orang yang sudah mengenal Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Arti dari “tidak terikat” dalam 1 Korintus 7:15 adalah bahwa ketika orang percaya sudah berusaha hidup mengasihi pasangannya yang tidak percaya, namun kemudian pasangannya itu justru semakin mengeraskan hati untuk meninggalkan orang percaya itu, maka orang percaya itu tidak perlu merasa harus berusaha “mengubah” hati dan hidup pasangannya yang tidak percaya itu. Paulus mengatakan orang yang menjadi percaya Tuhan Yesus setelah menikah, maka orang yang menjadi percaya itu jangan bercerai melainkan justru mengasihi, menjadi teladan dan menyaksikan Yesus kepada pasangannya yang tidak percaya (1 Korintus 7:12-14).Salah satu akibat yang mungkin terjadi adalah pasangannya yang tidak percaya justru menjadi benci kepada orang percaya itu oleh sebab imannya kepada Yesus sehingga ingin menceraikannya.Agustinus dalam hal ini berpendapat serupa bahwa Paulus mengijinkan perceraian karena memang kekerasan hati pasangan yang tidak percaya yang menolak iman Kristen sehingga kalau orang percaya tetap berusaha mempertahankan pernikahan maka yang menjadi taruhan adalah imannya(1.14-18).7Pasangannya yang tidak percaya seakan-akan memperhadapkan kepada orang yang percaya itu sebuah pilihan, “Yesus atau saya (pasangan yang tidak percaya).” Kalau orang percaya itu memilih ikut Yesus, maka pasangannya yang tidak percaya mengancam akan menceraikan. Jika itu terjadi, orang percaya itu “tidak terikat” yaitu tidak perlu memaksakan diri untuk mempertahankan pernikahannya.Lain soalnya kalau pasangan tidak percaya itu minta bercerai karena karakter yang tidak baik dan kesaksian yang buruk dari orang yang percaya itu sendiri.Orang yang percaya itu tetap “terikat” pada

“Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi” Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

71

pernikahannya yaitu perlu menjalani bimbingan pastoral supaya dapat menjadi teladan dan memberikan kesaksian tentang Yesus kepada pasangannya yang tidak percaya. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa ajaran Paulus tidaklah bertentangan dengan ajaran Yesus soal perceraian.Masing-masing tetap menjunjung tinggi kehendak Allah dari semula bahwa apa yang dipersatukan oleh Allah dalam pernikahan janganlah diceraikan oleh manusia. Bedanya adalah sebagai berikut. Kalau pada jaman Yesus perceraian bisa terjadi oleh sebab perzinahan adalah demi menghindari hukuman mati rajam batu dan memberi kesempatan untuk bertobat kepada orang yang berzinah, maka pada jaman Paulus perceraian bisa terjadi oleh karena pasangan yang tidak percaya mengeraskan hati untuk meninggalkan pasangan yang percaya gara-gara soal iman kepada Yesus. KESIMPULAN Memahami Matius 5:32 (juga 19:9) dan 1 Korintus 7:15 sesuai konteks jamannya menunjukkan bahwa ayat-ayat itu bukanlah mengajarkan syarat yang boleh dipakai oleh seseorang pada jaman sekarang untuk bercerai. Misalnya, perceraian boleh dilakukan oleh pihak suami jika isterinya berzinah (demikian sebaliknya),titik. Ataupun perceraian boleh dilakukan jika salah satu pasangan adalah orang bukan Kristen,titik. Maksud ayat-ayat itu bukanlah demikian, melainkan untuk mengajarkan bahwa Allah tidak menghendaki perceraian dalam pernikahan. Hanya saja karena orang percaya masih hidup di dalam dunia yang berdosa ini, ada konteks-konteks dimana perceraian itu terjadi. Dan jika konteks pada jaman Yesus dan Paulus terulang kembali pada jaman kita sekarang, maka perceraian itu mau tidak mau jugaakan terjadi. Kalau sebuah keluarga Kristen tinggal di sebuah tempat dimana hukum menitahkan bahwa orang berzinah dihukum mati, maka seorang suami atau isteri mungkin harus menceraikan pasangannya yang melakukan zinah dengan diam-diam supaya pihak yang berzinah itu tetap hidup dan memiliki kesempatan untuk bertobat.Demikian juga, jika pada jaman sekarang ada seorang yang tidak percaya mengancam untuk menceraikan pasangannya yang percaya kalau pasangannya itu tetap ikut Yesus, maka pasangan yang percaya tidaklah harus mempertahankan pernikahannya. Di luar dua konteks ini (yang mana perceraian mau tidak mau pasti terjadi), kehendak Tuhan tetaplah sama bagi orang-orang Kristen bahwa sekali menikah tidak boleh bercerai. Akhirnya, jika memang TUHAN melarang orang Kristen untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi adalah karena untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman mati dan karena yang menceraikan adalah suami atau isteri bukan Kristen,

72

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

maka di hadapan TUHAN sekali menikah status orang Kristen adalah tetap menikah sampai orang itu meninggal dunia. Implikasinya adalah bahwa selain perceraian karena kematian salah satu pasangan, orang Kristen yang sudah menikah kemudian bercerai tidaklah diperkenankan untuk menikah lagi selama pasangannya yang terceraikan itu masih hidup. Agustinus mengingatkan bahwa keadaan seseorang yang bercerai itu tidak ada bedanya dengan seorang menikah tidak bercerai namun pasangannya sakit keras bertahun-tahun ataupun mungkin yang pasangannya menjadi narapidana untuk waktu yang sangat lama: penguasaan diri dibutuhkan sampai pasangannya itu meninggal dunia (2.10.9). Janganlah seseorang yang sudah bercerai menjadi sangat kuatir soal ekonomi (penghidupan sehari-hari) dan psikis (kebersamaan) sehingga memaksa untuk menikah lagi. Alasan yang sering dipakai untuk menikah lagi seperti soal ekonomi dan merasa kesepian tidaklah dapat dibenarkan.Yesus sendiri sudah menjanjikan bahwa dalam kondisi apapun (menikah, tidak menikah atau menikah kemudian kehilangan pasangannya karena perceraian), orang tersebut akan “dikaruniai” untuk menguasai diri (Matius 19:11).Di sinilah juga gereja sebagai agen Kerajaan Allah seharusnya menunjukkan perannya dalam memelihara dan mendampingi para janda (termasuk duda) dan anak-anak yatim piatu (Yakobus 1:27) dan jangan hanya mencari gampang meninggalkan tanggung jawabnya dengan membiarkan orang yang bercerai itu menikah lagi. DAFTAR PUSTAKA Carson, D. A. "Matthew", dalam The Expositor's Bible Commentary, Volume 8: Matthew, Mark, Luke, ed. Frank E. Gaebelein. Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1984. House, H. Wayne, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views. Downers Grove: InterVarsitiy Press, 1990. Hill, David. “A Note on Matthew i. 19,” Expository Times 76 (January 1965) no. 4: 132–34. Tosato, A. “Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19),” Catholic Biblical Quarterly 41 (1979): 547-51. Hurley, James B. Man and Woman in Biblical Perspective. Leicester: InterVarsity Press, 1981. Agustinus, “De adulterinis conjugiis” (419-420 AD) dalam Corpus Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum 41, ed. J. Zycha. Vienna: Tempsky, 1900: 347-410. Terjemahan bahasa Inggris: “On Adulterous Marriages,” dalam The Works of Saint Augustine: A st Translation for the 21 Century, ed. J. E. Rotelle. New York: New York City Press, 1999: 144-87.

“Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi” Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

73

End Note: 1.

2.

3. 4. 5. 6.

7.

Hosea 2:15 menunjukkan bahwa isteri memanggil suaminya, “Suamiku” dan bukan “Tuanku.” Perjanjian Lama telah menyatakan hubungan suami dan isteri dalam sebuah pernikahan bukanlah seperti hubungan tuan dan pelayannya melainkan hubungan yang dilandasi oleh saling mengasihi dan sukacita bersama. Mengingat artikel ini tidak secara khusus meninjau secara eksegesis, maka saya tidak akan menjabarkan detail-detail pendekatan linguistik bahasa Yunani. Para pembaca yang berminat dapat menemukan berbagai pendekatan eksegesis dalam bermacam-macam tafsiran kitab-kitab yang bersangkutan.Di dalam artikel ini saya menganalisa secara sistematis eksegesis-eksegesis yang telah dilakukan dan mencoba menarik kesimpulan teologis-etis yang terbaik menurut saya. D. A. Carson, "Matthew", in The Expositor's Bible Commentary, Volume 8: Matthew, Mark, Luke, ed. Frank E. Gaebelein (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1984), 414-18. Bandingkan dengan H. Wayne House, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views (Downers Grove: InterVarsitiy Press, 1990). David Hill, “A Note on Matthew i. 19,” Expository Times 76 (January 1965) no. 4: 133–34. Hal serupa jugadikemukakan oleh A. Tosato, “Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19),” Catholic Biblical Quarterly 41 (1979): 547-51. Bandingkan dengan James B. Hurleyyang mengungkapkan hal serupa, “In the absence of stoning, the termination of the relationship might appropriately be effected by divorce” (Dengan tidak adanya perajaman batu, kesudahan hubungan pernikahan dapat secara wajar diakibatkan oleh perceraian). James B. Hurley,Man and Woman in Biblical Perspective (Leicester: InterVarsity Press, 1981), 104. Agustinus, “De adulterinis conjugiis” (419-420 AD), Corpus Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum 41, ed. J. Zycha (Vienna: Tempsky, 1900): 347-410. Terjemahan Inggris, “On Adulterous Marriages,” The Works of Saint Augustine: A Translation for the 21st Century, ed. J. E. Rotelle (New York: New York City Press, 1999): 144-87. Saya akan cenderung menggunakan terjemahan bahasa Inggrisnya dan dimana dibutuhkan saya akan memperbaiki terjemahannya berdasarkan teks asli bahasa Latinnya. Dalam artikel ini kutipan-kutipan yang diambil tidak akan direferensikan secara langsung pada catatan kaki melainkan hanya ditunjukkan di akhir kutipan itu di dalam kurung penomoran teks bahasa Latinnya.

RESENSI BUKU : The Story of Israel: A Biblical Theology : C. Marvin Pate, J. Scott Duvall, J. Daniel Hays, E. Randolph Richards, W. Dennis Tucker Jr. and Preben Vang Penerbit : Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press Tahun : 2004 Halaman : 320 halaman Judul Penulis

Menulis sebuah buku tentang Teologi Perjanjian Lama ataupun Teologi Perjanjian bukanlah sesuatu yang sederhana, apalagi menulis sebuah buku tentang Teologi Biblika. Mereka yang telah mempelajari baik Teologi Perjanjian Lama ataupun Teologi Perjanjian, menyadari betapa kompleksnya problematika dalam kedua bidang itu, sehingga tidak banyak ahli dapat menghasilkan buku tentang Teologi Perjanjian Lama ataupun Teologi Perjanjian Baru. Oleh karena itu buku The Story of Israel. A Biblical Theology dapat dikatakan merupakan suatu proyek atau karya yang ambisius. Buku ini lahir dari pendapat beberapa dosen Biblika dari Ouachita Baptist University yang menyatakan adanya kebutuhan satu jilid buku yang baik dalam bidang Teologi Biblika (p.9). Buku ini bukanlah karya satu orang, tetapi merupakan karya bersama dari 6 dosen Biblika. Dalam buku ini para penulis berpendapat bahwa Kisah Israel (Story of Israel) adalah suatu tema utama yang mengalir dalam seluruh Alkitab (PL dan PB) dan mempersatukan kedua Perjanjian itu secara teologis. (p.9). Bab 1 menguraikan tentang asal muasal Teologi Biblika yang bertumbuh menjadi suatu disiplin ilmu yang terpisah dari Teologi Sistematika. J.P. Gabler (1787) dianggap sebagai ahli yang meletakkan dasar pemisah antara Teologi Biblika dan Teologi Sistematika. Bab ini menguraikan secara ringkas perjalanan perkembangan disiplin ilmu Teologi Biblika sampai menjadi suatu disiplin yang mandiri setelah melalui liku liku keilmuan yang panjang. Perkembangan Teologi Biblika dibagi menjadi 2 periode, yaitu: 1. The first period, 1787 to 1878: No to biblical theology. Pada periode ini perkembangan metode pendekatan historis menyebabkan Teologi Biblika belum menemukan bentuknya. Periode ini didominasi oleh pendekatan sejarah agama-agama (the history of religions approach) yang menghancurkan keyakinan adanya kesatuan antara PL dan PB. 2. The second period, post-World I to 1960s: Yes to biblical theology. Pada periode ini muncul gerakan baru Teologi Biblika dengan dihasilnya karya Teologia PL oleh Walter Eichrodt dan Gerhard von Rad. Memang 75

76

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

gerakan ini merosot pada tahun 1960an dengan munculnya kritik terhadap metodologi yang digunakan dan munculnya minat baru, yaitu pendekatan sosiologi agama. Di tengah-tengah perdebatan yang tak terselesaikan tentang metodologi Teologi Biblika, minat terhadap Teologi Biblika sewaktu-waktu masih muncul di sana-sini hingga sekarang. Para penulis buku ini memilih Kisah Israel (The Story of Israel) sebagai tema utama yang mempersatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam menyusun suatu Teologi Biblika.(p. 18, 23). Selanjutnya kisah Israel itu dibagi dalam 5 bagian: -

Israel's perpetual disobedience to God Israel and the prophets Israel's rejection of the prophets Israel and the Deuteronomic curses The restoration of Israel and the Deuteronomic blessings (pp. 18-22)

Dalam mengamati kelima bagian kisah Israel itu mereka menemukan suatu pola yaitu dosa-pembuangan-pemulihan (sin-exile-restoration). Pola ini merupakan pola dalam Perjanjian Lama sampai Yudaisme awal. (p. 22). Para penulis juga menyakini bahwa pola ini dapat diketemukan dalam Perjanjian Baru. Selanjutnya dalam membangun suatu Teologi Biblika, para penulis membagi uraian mereka dalam bagian, yaitu: 1. Pentateukh: Kehendak Ilahi dan Tanggung Jawab Manusia (Bab 2) 2. Kitab-kitab Sejarah (Sejarah Deuteronomis): Dosa dan Pembuangan (Bab 3) 3. Mazmur dan Literatur Hikmat: Kisah Yang Diperdebatkan (Bab 4) 4. Nabi-nabi: Dosa, Pembuangan dan Pemulihan (Bab 5) 5. Yudaisme era Bait Allah kedua: Unitas dan Diversitas dalam Tradisi Deuteronomis (Bab 6) 6. Injil Sinoptis: Kisah Injil dan Kisah Israel (Bab 7) 7. Injil Yohanes: Tanda-tanda Pemulihan (Bab 8) 8. Kisah Para Rasul: Bangsa-bangsa Akan Mendengar (Bab 9) 9. Surat-surat Paulus: Pembalikan Kutuk (Bab 10) 10. Surat-surat Umum dan Surat Ibrani: Dalam Pembuangan, Namun Di Ujung Pemulihan (Bab 11) 11. Kitab Wahyu: Visi Transformasi (Bab 12) Bab 2 membahas Pentateukh yang mana penulis mengungkapkan adanya keterkaitan antara kehendak Ilahi dan tanggung jawab manusia.Ketika manusia gagal bertanggung jawab, hubungan itu terganggu dan ada konsekwensi yang harus ditanggung. Sejarah dalam Pentateukh mengungkapkan adanya koneksi antara dosa dan pembuangan serta

Resensi Buku

77

pengharapan. Kejadian 1-11 yang merupakan pendahuluan telah menunjukkan adanya paradigma dosa-pembuangan-pemulihan dalam sejarah manusia sejak mula. Kemudian dengan lahirnya sebuah bangsa yang baru (Kej. 12) relasi antara kehendak Ilahi dan tanggung jawab manusia ditandai dengan tuntutan (stipulasi) yang spesifik. Stipulasi ini mendefinisikan dosa dengan konsekwensinya dan juga berisikan harapan akan pemulihan. Kitab Ulangan menyimpulkan bahwa ketaatan kepada firman Allah merupakan sentral untuk menjadi umat Allah yang ditandai dengan berkat dan kutuk.(p. 23) Dalam ketaatan ada hidup. Dalam ketidaktaatan ada maut dan pembuangan. Bab 3 berkaitan dengan kitab-kitab Sejarah, khususnya sejarah Deuteronomis yang meliputi Yosua, Hakim-hakim, I-II Samuel dan I-II Rajaraja. Isu utama adalah ketaatan Israel kepada Allah dan perjanjian-Nya. Oleh karena ketidaktaatan Israel mereka harus meninggalkan tanah perjanjian, dari berkat berganti kutuk dan pembuangan. Di balik ketidaktaatan Israel nampak anugerah dan kesabaran Allah yang memungkinkan adanya berita pemulihan di balik pembuangan. (p. 24) Bab 4 membahas kitab Mazmur dan kitab-kitab Hikmat. Bagian ini mengungkapkan kisah Israel dari sudut yang berbeda. Kitab Amsal menguraikan adanya tata cara atau aturan dalam kehidupan dengan prinsip retribusi. Kitab Ayub dan Pengkhotbah melihat kehidupan dari aspek yang berbeda. Bab ini juga menyinggung kitab Sirakh yang bukan bagian dari kanon PL. (p. 24). Bab 5 membahas kitab Nabi-nabi yang mengungkapkan kisah Israel dalam konteks Perjanjian sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Ulangan. Berita kepada Israel atau Yehuda memiliki 3 pokok utama, yaitu: Kalian telah mematahkan perjanjian, bertobatlah dan kembalilah kepada Allah. Kalau tidak bertobat, penghakiman dan penghukuman akan segera terjadi (melalui Asyur dan Babel),tetapi melampaui penghakiman, tersedia pengharapan untuk pemulihan yang mulia pada masa yang akan datang dan cara baru dalam berhubungan dengan Allah (perjanjian baru). Konsep perjanjian baru ('new covenant') ini mengubah hubungan yang bersifat nasional menjadi hubungan bersifat individu yang menyertakan bangsa-bangsa non-Israel dan janji pencurahan Roh-Nya yang terkait langsung dengan Perjanjian Baru ('New Testament'). Situasi pasca pembuangan bukanlah kondisi pemulihan yang mulia, karena ketidaktaatan masih berlangsung dan masih menantikan pemenuhan pemulihan yang dijanjikan.(p. 24). Bab 6 berkaitkan dengan karya sastra Yudaisme pada era Bait Suci kedua (era antar perjanjian). Israel telah kembali ke tanahnya, tetapi mereka masih hidup dalam “pembuangan”, oleh karena mereka masih

78

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Pada era ini timbul kerinduan untuk memperhatikan hukum Musa lebih serius dengan harapan mereka akan mengalami kebebasan penuh. Penulis buku ini membahas karya sastra pada era ini, karena era ini merupakan jembatan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. (p. 25) Bab 7 membahas Injil Sinoptis. Titik klimaks karya Allah yang hadir kembali dalam kehidupan Israel melalui Yesus Kristus. Injil Sinoptis menguraikan tentang Kerajaan Allah dalam bahasa dan penekanan yang sejajar dengan kisah Allah dan Israel dalam Perjanjian Lama. Injil Sinoptis ini menguraikan tentang penggenapan janji-janji Allah dan menjelaskan bagaimana seharusnya Israel memahami sejarah Allah bersama umat-Nya dan bangsa-bangsa lainnya. (p. 25) Bab 8 menguraikan Injil Yohanes yang memberikan kontribusi yang unik dengan menyejajarkan Yesus dengan hikmat dalam kitab Amsal dan tradisi hikmat Yudaisme. Hikmat tak berdiam di antara orang Yahudi dalam wujud Taurat, tetapi Hikmat menjadi daging dan berdiam di antara kita (Yoh. 1:14). Dalam PL Allah berdiam di tabernakel dengan pelbagai tanda, begitu juga dalam PB Allah berdiam di tengah umat dalam Yesus yang melakukan pelbagai tanda. (pp. 25-26). Bab 9 membahas Kisah Para Rasul yang mengungkapkan pengajaran dan pelayanan Yesus Kristus yang berlanjut pada gereja awal melalui Roh Kudus. Rencana Allah melalui Israel dalam proses penggenapannya melalui pencurahan Roh Kudus kepada semua orang yang percaya. Bab 10 membahas konsep Paulus yang mengungkapkan peranan Kristus yang menghapus kutuk dan memberikan berkat dan pemulihan bagi Israel. Bab 11 menguraikan bagian surat-surat Umum dan Ibrani yang mengungkapkan bahwa orang Kristen hidup dalam paradoks. Walaupun Mesias yang telah dijanjikan itu telah datang di dunia, namun orang percaya masih hidup dalam penderitaan. Pemulihan masih sementara dan masih menanti penggenapan yang segera. Bab 12 membahas kitab Wahyu yang menggunakan bahasa nubuatan apokaliptis untuk menguraikan rencana Allah dalam membalikkan kutuk dosa, memulihkan ciptaan-Nya dan hidup di tengahtengah umat-Nya selama-lamanya. Bab 13 merupakan kesimpulan buku ini yang mengikhtisarkan kerangka kisah Israel dalam paradigma dosa-pembuangan-pemulihan. Para penulis buku ini berpendapat bahwa kisah Israel merupakan tema utama kanon Alkitab yang hadir dalam kesatuan dan kepelbagaiannya.

Resensi Buku

79

TANGGAPAN Pemilihan kisah Israel sebagai tema utama dalam menulis suatu Teologia Biblika bukanlah tak bebas dari masalah. Kisah Israel dapat dikatakan bukanlah tema utama dalam Kejadian 1-11, karena keberadaan Israel belumlah ada dan nampak. Begitu juga Perjanjian Baru yang lebih banyak berfokus kepada Gereja. Gereja bukanlah sepenuhnya Israel, karena dalam konsep Gereja terdapat kesinambungan dan ketidaksinambungan konsep Israel. Gereja memang sering kali dikaitkan dengan Israel dalam Perjanjian Lama yang mana hal itu dapat menunjukkan adanya kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi Gereja tak dapat diidentikkan dengan Israel dalam Perjanjian Baru. Ada halhal yang baru dalam eksistensi Gereja, yang mana hal itu menunjukkan adanya ketidaksinambungan antara Israel dalam Perjanjian Lama dan Gereja dalam Perjanjian Baru. Gereja bukanlah Israel versi Perjanjian Baru, karena eksistensi Israel tetap ada dan seringkali dalam posisi kontra dengan Gereja. Kisah Israel memang lebih mudah untuk dijadikan tema utama Teologia Perjanjian Lama (terlepas Kej. 1-11), karena memang Perjanjian Lama berfokus pada kisah Allah dan umat-Nya, yaitu Israel. Sedangkan menjadikannya sebagai tema utama Perjanjian Baru, akan menimbulkan pelbagai kesulitan. Memang Yesus Kristus yang merupakan tokoh utama dalam Perjanjian Baru seringkali dikaitkan dengan bagian-bagian Perjanjian Lama. Kehidupan dan pengajaran-Nya seringkali diakui sebagai pengenapan dari bagian-bagian tertentu Perjanjian Lama. Namun kehadiran Yesus Kristus juga menghadirkan hal-hal yang baru atau bahkan radikal dengan apa yang ada dalam Perjanjian Lama. Pembahasan tentang Teologia Biblika yang meliputi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak hanya perlu menyadari adanya kesatuan dan kepelbagaian dalam dua bagian ini, tetapi juga adanya kesinambungan dan ketidaksinambungan di antara kedua bagian ini. Hal ini menimbulkan kesulitan besar untuk menemukan suatu tema utama yang sungguh dapat merangkumkan kedua Perjanjian ini. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan buku ini, kita harus menghargai buku ini sebagai suatu upaya menghadirkan suatu Teologia Biblika dalam satu buku yang tak terlalu tebal dan bertele-tele. Buku ini menolong seseorang untuk memahami garis besar konsep penting yang mengalir dari Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru. Sia Kok Sin

RESENSI BUKU Judul

Penulis Penerbit Tahun Halaman

: The Lost History of Christianity: The Thousand-Year Golden Age of the Church in the Middle East, Africa, and Asia-and How It Died : John Philip Jenkins : New York: HarperColllins Publishers : 2008 : xi + 320 halaman

Pada umumnya orang-orang cenderung memandang sejarah Kekristenan melalui kacamata daratan Eropa. Paradigma demikian berpendapat bahwa Kekristenan berasal dari Eropa dan berkembang ke seluruh dunia melalui expansi dan kolonialisasi. Bagi Jenkins paradigma ini adalah sebuah paradigma yang sangat sempit dan mengabaikan sejarah panjang iman Kristen di Afrika dan Asia. Ia hendak mengoreksi paradigm yang tidak tepat ini melalui bukunya (43). Jenkins berhasil dalam bukunya untuk membunyikan “suara yang hilang” dalam sejarah Kekristenan di luar daratan Eropa. Pada awal bukunya dia menggambarkan penyebaran Kekristenan sampai ke Cina dan Jepang. Catatan-catatan kaki dari bapa-bapa Gereja yang sering dipandang sesat pada jaman sekarang (kaum Nestorian dan Jacobites) mendukung argumentasi-argumentasinya. Secara khusus dia meyakinkan saya berkaitan dengan argumentasinya soal cara gereja-gereja Kristen dari kota-kota metropolitan berpindah ke desa-desa untuk menghindari penganiayaan. Misalnya, Agustinus pernah memimpin sebuah gereja yang berkembang pesat di kota besar Carthage, namun gereja ini hancur ketika Islam masuk dan menguasai kota itu. Berbeda dengan gereja-gereja Koptik di Mesir di daerah pedesaan yang masih bisa bertahan hidup lebih dari 1000 tahun kekuasaan Islam di daerah itu. Saya sekarang hendak mengkaji lebih lanjut empat pokok penting terkait dengan tulisan Jenkins ini. Pertama, saya setuju dengan Jenkins yang menolak argumentasi para sarjana seperti Elaine Pagels dan Bart Ehrmann yang berusaha memasukkan tulisan-tulisan Gnostik pada awal sejarah Kekristenan seperti kitab Yudas sebagai bagian dari kanon Alkitab. Dia membuktikan melalui penelitiannya yang ekstensif bahwa gerejagereja di Afrika dan Asia pada awal perkembangan Kekristenan pun sudah tidak menjadikan tulisan-tulisan itu sebagai bagian dari kanon Alkitab (halaman 88). Pandangan Pagels dan Ehrmann yang menganggap tulisantulisan itu tidak bisa menjadi kanon gara-gara penindasan oleh gerejagereja Eropa terhadap sekte-sekte Kristen yang menjunjung tinggi tulisantulisan itu pun tidak bisa dipertahankan lagi. Gereja-gereja Kristen di Afrika 81

82

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

dan Asia yang tidak di bawah kontrol dan kekuasaan gereja-gereja di Eropa itu ternyata sudah dari awal tidak pernah menjadikan tulisan-tulisan Gnostik itu sebagai bagian dari kanon Alkitab. Kedua, Jenkins secara umum berhasil menyeimbangkan antara kekejaman dan toleransi dalam sejarah Islam. Menurutnya, setiap agama, bukan hanya Islam, dalam sejarahnya bisa melakukan kekejaman dan toleransi terhadap agama lainnya (33, 99). Terkait dengan ini, Jenkins juga menunjukkan bahwa betapa sering justru faktor-faktor non-agama seperti politik, sumber daya alam, dan perebutan wilayah, memberikan kontribusi pada peningkatan perlakukan yang kejam terhadap kelompok agamaagama lain. Sayangnya, di dalam buku ini Jenkins kurang meneliti kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam (32). Bagaimanakah kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam dibandingkan dengan kontribusi Alkitab di dalam sejarah kekerasan Kekristenan? Jenkins condong untuk berasumsi bahwa sejarah kekerasan Islam tidaklah inheren di dalam kitab suci mereka (242). Ketiga, Jenkins berhasil membuka mata saya berkaitan dengan pengaruh dan dampak gereja-gereja di Asia dan Afrika atas agama-agama lain seperti Islam dan Budha. Jenkins menunjukkan bahwa misionaris Kristen di daratan Cinalah yang menolong misionaris Budha dalam penterjemahan kitab-kitab suci mereka ketika mereka hendak masuk ke daratan Cina (15-16). Di samping itu, sesungguhnya banyak orang Kristen (di bawah kekuasaan Islam) yang menterjemahkan karya-karya filsafat dan intelektual bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (19). Studi Jenkins ini sangat berharga karena bidang sejarah seperti ini kurang dicermati dan ditelusuri. Dengan kata lain, studi Jenkins ini mengimplikasikan ketika kita mempelajari asal mula Islam, kita akan dapat menggali kembali peninggalan-peninggalan gereja-gereja kuno di Asia dan Afrika ini, demikian juga sebaliknya. Keempat, jika kita bisa mengabaikan kecondongan Jenkins untuk menolak konsep Alkitab bahwa umat Allah bisa menderita karena penghakiman Allah sendiri (252), maka kita akan mendapatkan beberapa refleksi teologis yang berguna. Di antaranya adalah Jenkins menentang paham yang tidak Alkitabiah Injil kemakmuran karena Yesus sendiri mengingatkan bagi orang-orang Kristen untuk memikul salib. Selain itu, orang-orang Kristen harus menyadari “kebodohan mengkaitkan iman dengan sebuah negara atau tatanan sosial tertentu” (262). Ini berimplikasi studi Jenkins dalam bukunya mengingatkan orang-orang Kristen bahwa teologi penderitaan tidak boleh diabaikan di dalam kehidupan orang percaya. Teologi ini harus dikaitkan dengan teologi kebangkitan yang mana orang-orang Kristen menantikan kedatangan Tuhan kedua kalinya.

Resensi Buku

83

Akhir kata, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku ini memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha memahami lebih utuh dan lengkap sejarah Kekristenan di dunia ini. Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh orang-orang Kristen. Amos Winarto

RESENSI BUKU Judul Penulis Penerbit Tahun Halaman

: Building A Strong Youth Ministry : Mark DeVries : Intervarsity Press, : 2008. Terj. ANDI Ofset, 2011. : 330 halaman

Perkembangan dan perubahan dalam dunia berlangsung begitu cepat. Sementara pelayanan gereja terhadap orang muda hari ini menghdapi kendala yang besar. Hal ini disebabkan tidak ada banyak hamba Tuhan yang melayani dikalangan orang muda tidak bisa bertahan lama. Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pelayan kaum muda penulis buku ini menunjukkan masalah-masalah yang selama ini adalah akibat dari gagalnya para pelayan kaum muda memecahkan jalan buntu. Penulis menyajikan paling tidak lima pertanyaan yang menimbulkan jalan buntu dalam pelayanan kaum muda yaitu: - Tidak mampukah anda melontarkan gagasan yang baik walaupun hanya sedikit? – Mampukah anda mencegah kami dari kegagalan? – Bersediakah anda membantu gereja saya agar mengerti bahwa dalam pelayanan jumlah tidaklah penting? – Mampukah anda mengeluarkan saya dari permainan politik ini? (hal 19-28) Salah satu kritik yang dilontarkan penulis ialah tenang kecenderungan pelayanan kaum muda dalam gereja hari ini ialah gereja ingin mencapai hasil yang bersifat instan, dengan tidak sabar menanti pembangunan pelayanan kaum muda yang bertahan lama.(hal 4) menurut penulis upayaupaya heroik untuk membangun pelayanan kaum muda secara instan dan berkembang ke segala arah biasanya tidak pernah akan berhasil dan bertahan lama. Menurut penulis mereka yang sungguh-sungguh berhasil adalah mereka yang telah membangun pelayanan kaum muda yang berkembang pesat adalah mereka yang berani memberitahu gereja sejak awal bahwa mereka tidak akan meladeni harapan-harapan yang sifatnya instant dan mencari solusi yang mudah. Karena pelayanan kaum muda yang berkelanjutan dan berdaya guna baik adalah pelayanan yang direncanakan dengan baik dan untuk itu membutuhkan waktu yang lama pula. Penulis menggunakan istilah “Berjudi” untuk upaya yang instan, dan “Berinvestasi” untuk upaya yang bertujuan tetap dan bertahan lama. Dalam bab-bab selanjutnya akan ditemukan bahwa gereja yang telah mencoba melakukan keduanya “Berjudi” maupun “Berinvestasi” pada saat membuka halaman terakrhir kita tidak saja yakin bahwa ini dapat dilakukan, namun juga dibekali dengan perangkat yang dibutuhkan untuk membangun 85

86

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

pelayanan kaum muda yang sustainable. Anda akan belajar dari gereja yang telah menjalankan langkah-langkah secara jelas, tenang dan hatihati, yang membangun pelayanan kaum muda sedikit demi sedikit menjadi baik. hingga suatu hari bertahun tahun kedepan, investasi yang dilakukan sedikit demi sedikit akan membuahkan hasil yang berlipat ganda. Di samping itu penulis kemudian menyediakan perangkat praktis dan struktur yang dibutuhkan untuk meletakan dasar yang kuat bagi pelayanan yang bukan hanya diletakkan atas dasar satu orang saja tetapi kepada sebuah tim yang solid, sebuah sistem yang baik dan kuat pula. Untuk diperlukan dua hal penting yang dalam bahasa penulis disebutkan sebagai “Arsitektur” : yang terdiri dari struktur daya tahan yang lama, dan “Atmosfer”: yang terdiri dari kultur, iklim, dan etos yang mampu mendukung organisasi yang sehat dan kuat hal 68-9). Karena itu menurut penulis buku ini hal yang sangat penting bagi pelayanan kaum muda dalam gereja adalah: a) Membuat keputusan yang bijak dalam perekrutan, b) membantu pelayan kaum muda untuk membangun tim voluntir yang kuat, c) membantu pelayanan kaum muda menetapkan dan menjaga batasan, d) membuat peta guna menjelajahi dunia politik gereja. KELEBIHAN DARI BUKU INI ADALAH: 1. Penulis buku ini menggunakan bahasa agak lain dari bahasa yang biasa dipakai sebagai judul dari beberapa bab yang sangat menarik sehingga itu membuat kita penasaran untuk tahu apasih yang ia maksudkan, hal ini dapat dilihat dari bab 1 diberi judul “Memecah kata Sandi, ” Bab 4 “Lantai tempat menari.” Dan Bab 8 “Kera, Katak, dan Balkon.” Serta sub-judul yang berbunyi “Periksalah gereja anda untuk melihat jika ada virus superstar (hal 56). 2. Penulis dalam uraiannya bayak menceritakan pengalaman diri dan gereja gereja yang mngalami pergumulan dalam memamujkan dan mengembangkan pelayanan orang muda. 3. Penulis memberikan criteria yang sangat spesifik dari orang orang yang akan terlibat dalam tim pelayanan orang muda di gereja (hal. 56-58). 4. Penulis memberikan langkah-langkah praktis dalam membangun dan mengembangkan pelayanan dikalangan kaum muda. Mengingat sangat terbatasnya buku yang ditulis berkaitan dengan pelayanan kaum muda dalam gereja saat ini, maka buku ini sangatlah penting dan seharusnya menjadi bacaan wajib terutama bagi mahasiswa teologi atau para aktifis pelayanan orang muda dalam gereja, serta bagi semua pelayan Tuhan terkhusus para pelayan kaum muda digereja saat ini. Karena buku memberikan sebuah paradigma baru dalam pelayanan kaum muda yang selama ini menghadapi berbagai kendala kalau tidak lesu dan monoton dan tidak bertahan lama. Alfius Areng Mutak

PENULIS ARTIKEL DAN RESENSI BUKU AGUNG GUNAWAN meraih gelar Doktor dalam jurusan Bimbingan dan Konseling dari Universitas Negri Malang pada tahun 2011. Saat ini menjabat sebagai Pembantu Ketua III dan dosen tetap di Sekolah Tinggi Theologi Aletheia Lawang yang mengajar bidang konseling. SIA KOK SIN meraih gelar D.Th. dalam bidang Perjanjian Lama dari SEAGST di UKDW Yogyakarta pada tahun 2008. Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Pasca Sarjana dan juga merupakan dosen tetap di Sekolah Tinggi Theologi Aletheia Lawang yang mengajar bidang Perjanjian Lama STEFANUS KRISTIANTO adalah Alumni STT Aletheia Lawang program Magister Divinitas. Saat ini melayani sebagai Hamba Tuhan di GKT Hosana Surabaya dan dosen paro waktu di STT Aletheia Lawang untuk mata kuliah Perjanjian Baru MARTHEN NAINUPU meraih gelar Magister Teologi (M.Th.) bidang Pastoral Konseling dari Universitas Kristen Duta Wacana, yogyakarta pada tahun 1998. Saat ini menjabat sebagai Pembantu ketua II dan sekaligus sebagai dosen tetap di STT Aletheia yang mengajar matakuliah bidang konseling dan Filsafat. AMOS WINARTO meraih gelar Ph.D. dalam bidang Teologi Moral dari Calvin Theological Seminary, U.S.A. Saat ini menjadi dosen tetap di STT Aletheia mengajar matakuliah bidang Etika. ALFIUS ARENG MUTAK meraih gelar Ed.D. dalam bidang Pendidikan dari AGST, Philliphine pada tahun 2008. Saat ini menjabat sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Theologi Aletheia Lawang yang mengajar bidang Pendidikan Kristen.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF