JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

September 19, 2017 | Author: Bang My | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf...

Description

ISSN : 2089-1776

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) Vol. 2, No. 3, April 2014 Jurnal ini terbit 3 bulan sekali, pada bulan Januari, April, Juli dan Oktober serta berisi tulisan ilmiah hasil penelitian pendidikan sains Ketua Penyunting Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd.

Wakil Ketua Penyunting Z.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si

Penyunting Pelaksana Muhammad Asy'ari Mochammad Yasir Abdul Gani Ade San Putra Budiman Selly Candra Citra Murti Anik Sulistyorini Riska Permatasari Penyunting Ahli Prof. Drs. Soegimin WW. (Universitas Negeri Surabaya) Prof. Dr. dr. Tjandrakirana, M.S., Sp.And. (Universitas Negeri Surabaya) Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya) Z.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D. (Universitas Negeri Surabaya)

Pelaksana Tata Usaha Budi Jarwanto

Alamat Redaksi: Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Kampus Unesa Ketintang Gedung K.1 Surabaya Telepon / Faksimile : 0318293484 Email: [email protected]

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) menerima sumbangan tulisan (artikel) ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli. Penyunting dapat mengubah tulisan sesuai dengan gaya selingkung JPPS tanpa mengubah isinya. Biaya berlangganan Rp. 150.000,-/eksemplar. |i

ISSN: 2089-1776

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) Vol. 2, No. 3, April 2014 Ketentuan untuk Penulisan Naskah Ketentuan umum: 1. 2. 3.

4.

Artikel yang diterima hanya artikel dari hasil penelitian pendidikan sains. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan oleh JPPS Penulis menyerahkan 3 eksemplar artikel dalam bentuk print-out beserta 1 soft copy (dalam CD) kepada redaksi; 2 eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat, sedangkan 1 eksemplar lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirim kepada penyunting ahli (mitra bebestari). Artikel juga dapat dikirim sebagai attachment email JPPS ke: [email protected]. Artikel yang dikirim kepada redaksi adalah artikel yang belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis tertanda penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada artikel.

Standar Penulisan Artikel di JPPS 1. Artikel diketik menggunakan program Microsoft Word dengan huruf Times New Roman, ukuran 10 poin, kertas A4 berat 70 gram dengan menggunakan dua kolom spasing 0,63 spasi tulisan 1,15; batas kiri 2,5 cm, serta batas kanan 2, atas 1,93, dan bawah 2 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan (bottom of page, plain nuber 3). 3. Huruf dan angka pada keterangan gambar, grafik, dan tabel dicetak tebal (Bold), menggunakan huruf jenis Times News Roman berukuran 10 poin dengan spasi tunggal. 4. Artikel ditulis sebanyak 5-10 halaman (sudah termasuk gambar dan tabel) Sistematika Penulisan Artikel di JPPS 1.

2.

3.

4.

5.

Artikel hasil penelitian teridiri atas: judul, nama penulis, alamat penulis (disertai email), abstrak (dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), kata kunci (keyword), pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran, dan daftar pustaka. Judul ditulis singkat, spesifik, memiliki daya tarik (provokatif) dan informatif yang menggambarkan isi artikel. Panjang dalam Bahasa Indonesia maksimal 14 kata, dan dalam Bahasa Inggris maksimal 12 kata. Judul ditulis dengan huruf kapital berukuran 18 poin, spasi tunggal, dan terletak di tengah-tengah tanpa titik. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademik (profesional) disertai nama dan alamat lembaga asal; ditempatkan di bawah judul artikel. Penulis utama mencantumkan alamat email. Jika penulis artikel lebih dari 3 orang, yang dicantumkan hanya penulis utama, dilengkapi dkk; nama penulis lain dimuat di catatan kaki. Abstrak ditulis dalam satu paragraf antara 75-200 kata dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Abstrak berisi uraian secara singkat tentang masalah dan/atau tujuan penelitian, metode/pendekatan, hasil penelitian, dan simpulan. Abstrak bukan komentar atau pengantar dari penulis. Abstrak ditulis dengan huruf times new roman ukuran huruf 9, spasi tunggal, batas kiri 2,5, serta batas kanan 2, atas 1,93, dan bawah 2 cm. Kata kunci (keyword) ditulis miring (italic), 3-5 kata-kata kunci, satu spasi di bawah abstrak.

| ii

ISSN: 2089-1776

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) Vol. 2, No. 3, April 2014 6.

Pendahuluan berisi paparan ringkas tentang permasalahan penelitian, rencana pemecahan masalah, tujuan penelitian, dan terkadang harapan akan hasil penelitian. Ditulis tanpa sub judul di mana 15-20% dari panjang artikel. 7. Metode penelitian, berisi rancangan penelitian, teknik pengembangan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 8. Hasil dan pembahasan merupakan uraian hasil analisis data penelitian dan diskusi hasil penelitian. Pemakaian tabel, grafik, dan bagan sangat disarankan. 9. Simpulan dan saran berisi esensi hasil penelitian dan pembahasan. Disampaikan dalam butir- butir atau paragraf-paragraf pendek. 10. Daftar pustaka hanya memuat rujukan yang disebut dalam tubuh artikel. Daftar rujuan ditempatkan dihalaman terakhir artikel (bukan halaman baru). Sedapat mungkin sumber rujukan merupakan pustakapustaka mutakhir (maksimal 10 tahun terakhir) dan ditulis secara alfabetis. 11. Setiap naskah yang dimuat dikenakan biaya konstribusi sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dengan mendapat 2 (dua) eksemplar jurnal gratis. Kepastian pemuatan dapat menghubungi redaksi dengan alamat: Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Kampus Unesa Ketintang Gedung K.1 Surabaya Telepon / Faksimile : 0318293484 e-mail: [email protected]

| iii

ISSN: 2089-1776

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) Vol. 2, No. 3, April 2014 Terbit tiap 3 bulan sekali, pada bulan Januari, April, Juli dan Oktober

Daftar Isi

Halaman

01

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Sutrisno, Sri Poedjiastoeti, I Gusti Made Sanjaya

137 – 145

02

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaan dalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensitivitas Moral Irwan Syah Putra, Muslimin Ibrahim, ZA. Imam Supardi

146 – 151

03

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal Sunyono, Leny Yuanita, Muslimin Ibrahim

152 – 159

04

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Agus Sri Hono, Leny Yuanita, Suyono

160 – 167

05

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia Arif Imam Subagyo, Suyono, Tukiran

168 – 173

06

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep 174 – 183 dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA Herra Risdiana, Suyatno, Sri Poedjiastuti

07

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E untuk 184 – 193 Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMK pada Materi Pokok Laju Reaksi Erie Verawati, Suyatno, Wahono

08

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk 194 – 204 Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter Suwar, Wasis, Toeti Koestiari

09

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified 205 – 212 Inquiry Models Wahyu Juli Hastuti, Suyono, Sri Poedjiastoeti

10

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora 213 – 217 Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Zulkifli Zakaria, Wasis, Wahono Widodo

| iv

ISSN: 2089-1776

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) Vol. 2, No. 3, April 2014 11

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi 218 – 227 PhET untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA Mohammad Azis, Leny Yuanita, Yuni Sri Rahayu

|v

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BENTUK MOLEKUL DENGAN PEMODELAN REAL BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA Sutrisno 1) Sri Poedjiastoeti 2) I Gusti Made Sanjaya 2) 1)

SMA Negeri 10 Samarinda Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected]

2)

Abstract: This study aimed to describe the effectiveness of learning materials on shape of the molecule with the real modeling supported by PhET media-based on guided discovery to facilitate the students’ high-order-thinking skills at odd semester XI class of SMAN 10. This research is developmental research using 4D models. The test of the learning materials use one group pretestposttest design. The results of validity syllabus (3.87), lesson plans (3.71), students’ book (3.35), work sheet (3.63), and test of products (3.58) are categorized very good and reliability syllabus (99%), lesson plans (100%), students’ book (89%), work sheet (100%), and test of products (100%) are categorized reliable. The Achievement test of higher-order thinking skills showed that the individuals completeness an average score of 82.79, the average sensitivity of items was 0.74 and the average individual gain score of 0.82. Students' response to the learning and teaching activities in average were well-categorized. Based on the findings of the study, it can be concluded that the shape of molecule with the real modeling supported by PhET media based on guided discovery– was effective to train the students' higher-order thinking skills. Key Words: Shape of Molecule, Real Modeling, PhET Media, Guided Discovery, Higher-Order-Thinking Skills. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa kelas XI semester ganjil SMAN 10 Samarinda pada materi bentuk molekul. Perangkat pembelajaran yang digunakan dikembangkan dengan model 4D. Perangkat pembelajaran di uji cobakan menggunakan one group pretest-posttest design. Validitas Silabus (3,87), RPP (3,71), BAS (3,35), LKS (3,63), dan LP Produk (3,58) berkategori sangat baik dan reliabilitas Silabus (99%), RPP (100%), BAS (89), LKS (100%), LP Produk (100%) berkategori reliabel. Tes hasil belajar keterampilan berpikir tingkat tinggi menunjukkan ketuntasan individual rata-rata 82,79, sensitivitas butir soal rata-rata 0,74 dan gain score individual rata-rata 0,82. Respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan kegiatan pembelajaran rata-rata baik. Berdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis model penemuan terbimbing efektif untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Kata-kata Kunci: Bentuk Molekul, Pemodelan Real, Media PhET, Penemuan Terbimbing, Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi.

PENDAHULUAN Pemberlakuan KTSP menuntut siswa untuk memiliki kompetensi khusus dalam semua mata pelajaran setelah proses pembelajaran. Kompetensi merupakan kemampuan berpikir, bertindak, dan bersikap secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, keterampilan, dan nilai. Kompetensi ini sebagai bekal bagi siswa untuk menanggapi: isu lokal, nasional, dan global. (Depdiknas, 2004). Menurut Liliasari, (2005) agar dapat bersaing dan berperan aktif dalam era globalisasi harus dihasilkan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) sehingga muncul tenaga kerja yang berpikir kritis, berpikir kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh Partnership for 21 Century Skills di Amerika Serikat pada tahun 2006 tentang keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja di perusahaanperusahaan lima tahun mendatang menunjukkan, bahwa keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan kemampuan memecahkan masalah berada pada posisi pertama, diikuti kemampuan mengapilkasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, kemampuan bekerja sama,

kemampuan berkreasi/berinovasi, dan kemampuan memahami perbedaan. Faktanya berdasarkan hasil survei Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007, siswa Indonesia hanya 5% yang dapat mengerjakan soal-soal yang membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (analisis, evaluasi, kreasi), 17% level menengah (menerapkan) dan 78% level rendah (hanya memerlukan knowing, atau hafalan). Berdasarkan Programme for International Student Assesment (PISA) juga menunjukkan prestasi belajar anak-anak Indonesia yang berusia sekitar 15 tahun juga tergolong rendah. Pada PISA pada tahun 2009, sebagian besar siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 (pengetahuan, pemahaman, penerapan), sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6 (analisis, evaluasi dan kreasi). Hasil TIMSS dan PISA yang rendah disebabkan oleh banyak faktor. Faktor penyebabnya adalah siswa Indonesia kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal dengan karakteristik seperti soal-soal pada TIMSS dan PISA yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 137

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (Balitbang, 2011). Renstra Depdiknas (2005-2009), melaporkan bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa hanya mempelajari sains pada domain kognitif yang terendah dan tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya. Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah kecakapan, kemampuan, atau keterampilan yang meliputi keterampilan menganalisis, mengevaluasi dan keterampilan mengkreasi (Anderson dan Krathwohl, 2002). Menurut Nickerson (1985), keterampilan berpikir selalu berkembang dan dapat dipelajari. Hal ini juga didukung pendapat Klausner (1996), bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemahaman sains dan proses-proses sains yang merupakan perwujudan dari hakikat sains. Berdasarkan kenyataan tersebut untuk mengatasi masalah diperlukan perangkat pembelajaran yang mampu mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi siswa dalam memahami konsep-konsep sains secara benar. Perangkat pembelajaran yang menekankan pada produk, proses dan sikap, oleh karena itu model pembelajaran yang dianggap sesuai untuk siswa tingkat SMA adalah model pembelajaran penemuan terbimbing (Guide discovery). Model pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery) merupakan model pembelajaran yang bersifat student oriented di mana siswa diberi kebebasan mencoba-coba (trial and error), menerka, menggunaan intuisi, menyelidiki, dan menarik kesimpulan serta memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam membantu siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang mereka miliki untuk menemukan pengetahuan yang baru (Dahar 1989). Menurut Sudria (2003) pengajaran bentuk molekul saat ini umumnya dikenalkan dengan menggunakan model yang berupa gambar molekul, alat peraga tiga dimensi (seperti molimod) atau buatan sendiri, dan model visual lain baik statis maupun dinamis melalui tayangan komputer. Disamping itu pada beberapa tahun terakhir ini untuk membantu siswa meningkatkan pemahaman bentuk molekul telah dikembangkan model tiga dimensi (3D) dari dua dimensi (2D) (Gilbert, 2008; Seddon & Eniaiyeju, 1986,; Wu, Krajcik, & Soloway, 2001). University of Colorado berhasil mengembang-kan media pembelajaran Physics Education Technology (PhET) Interactive Simulations yang menyediakan simulasi pembelajaran fisika, kimia, biologi, dan matematik. Pada simulasi pembelajaran kimia terdapat media pembelajaran bentuk molekul berdasarkan teori VSEPR dalam model tiga dimensi yang memudahkan siswa memahami bentuk molekul yang abstrak atau tidak dapat dilihat oleh mata telanjang seolah-olah nyata. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadi, Sutrisno, Ulfa, (2008) menunjukkan bahwa jika

siswa terlibat aktif dalam mengkonstruksi bentuk molekul dengan pemodelan real dan dikombinasikan dengan penggunaan media komputasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pemodelan berasal dari kata dasar model, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia model berarti barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru. Phillips, Ravindran, dan Solberg (1976) dalam operation research, yang dimaksudkan dengan model adalah representasi sederhana dari sesuatu yang nyata. Menurut Ramdani (2011) pemodelan (modeling) merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Sedangkan real dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti nyata. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan pemodelan real adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang merupakan representasi sederhana dari sesuatu yang nyata, dapat ditiru dan diamati secara nyata (kongkret) oleh setiap siswa. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam upaya pengembangan perangkat pembelajaran Kimia, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul Dengan Pemodelan Real Ditunjang Media PhET Berbasis Penemuan Terbimbing Untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa” METODE PENELITIAN Penelitian ini menerapkan perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa SMA. Perangkat pembelajaran tersebut terdiri atas: Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), Buku Ajar Siswa (BAS), dan Lembar Penilaian (LP) yang dikembangkan dengan 4D diuji kelayakannya terlebih dahulu sebelum diterapkan dalam pembelajaran.. Perangkat pembelajaran di uji cobakan di SMAN 10 Samarinda pada kelas XI tahun ajaran 2013/2014 dengan melibatkan 22 siswa menggunakan model One Group Pretest-Posttest Design (Arikunto, 2010: 212) O1 X O 2 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kelayakan Perangkat Pembelajaran Yang Dikembangkan Hasil validasi Silabus, RPP, Buku Ajar Siswa, LKS dan Lembar Penilaian oleh pakar secara ringkas hasil validasi oleh Pakar dapat dilhat pada Tabel 1.

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 138

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Tabel 1 No 1 2 3 4 5

Hasil Validasi dan Reliabilitas Perangkat Pembelajaran Validitas

Jenis Perangkat

Nilai

Kategori

Silabus RPP BAS LKS LP Produk

3,87 3,71 3,35 3,63 3.58

Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik

Realibilitas Percentase of Agreement 99 100 89 100 100

Kategori Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan perangkat pembelajaran yang divalidasi oleh para ahli kategorinya sangat baik dan reliabel. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real yang ditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa layak digunakan. Kelayakan RPP dapat dilihat dari hasil kemampuan guru mengelola KBM yang mendapatkan nilai rata-rata 3,97 dengan kategori sangat baik dan keterlaksanaan RPP 100%. Hasil yang baik ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang diskenariokan berjalan dengan baik. Kesesuaian antara jenis kegiatan dan waktu yang diperlukan yang tepat pada kegiatan belajar mengajar memudahkan guru dalam menjalankan tahapan-tahapan kegiatan yang tertuang dalam RPP. Kelayakan RPP juga dapat dilihat berdasarkan aktivitas spesifik siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan model penemuan terbimbing. Aktivitas siswa yang menonjol yaitu bertanya 13%, membaca literatur, 12%, mengkonstruksi bentuk molekul (meramal) 10%. Hal ini sesuai dengan harapan Permediknas RI nomor 41 tahun 2007 yang menegaskan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan perkembangan fisik serta psikologis siswa (Depdiknas, 2007). Keaktifan siswa dalam bertanya dalam kegiatan KBM menunjukkan adanya rasa keingintahuan yang besar dari siswa. Hal ini sesuai dengan makna kegiatan pembelajaran yaitu adanya interaksi antara siswa, guru, dan sumber belajar dalam membangun pengetahuannya. Vygotsky dalam Slavin (2006) mengatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis dan melalui aktivitas interaksi sosial tersebut penciptaan makna terjadi. Aktivitas siswa dalam mencari informasi merupakan merupakan salah satu aktivitas siswa menggali informasi yang dibutuhkan untuk

menganalisis hasil eksperimen dan membanding-kan hasil ramalannya. Guru selaku fasilitator dan moderator mendorong siswa untuk mencari informasi yang sebanyak-banyaknya pada buku ajar siswa yang disediakan oleh guru. Hal ini sesuai pendapat Suherman (2001) bahwa pada model pembelajaran penemuan terbimbing siswa lebih banyak belajar sendiri. Aktivitas siswa ini sesuai dengan penelitian Akinbola dan Afalabi (2009) yang mengatakan bahwa pendekatan penmuan terbimbing mampu meningkatkan keterampilan hand-on dan mind-on. Menurut Ates' & Eryilmaz, (2011) hands-on activity adalah kegiatan eksperimen siswa untuk menemukan pengetahuan secara langsung melalui pengalaman sendiri, megkonstruksi pemahaman dan pengertian, sedangkan minds-on activity adalah aktivitas berpusat pada konsep inti, dalam hal ini siswa mengembangkan proses berpikir (secara mental) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk menemukan konsep pengetahuan dan memahaminya dalam kehidupan sehari-hari. Kelayakan BAS yang dikembangkan dapat dilihat dari Tabel 1 juga berdasarkan respon siswa terhadap BAS. Respon siswa terhadap BAS menunjukkan ketertarikan pada buku ajar siswa 91%, artinya siswa tertarik, keterbaruan buku ajar 86% artinya BAS yang dikembangkan baru bagi siswa, materi isi buku 69% artinya siswa mudah memahami isi BAS, contohcontoh soal 91% artinya siswa mudah memahami contoh-contoh yang terdapat pada BAS, hanya kemudahan memahami bahasa dalam BAS yang mendapatkan respon paling rendah yaitu 54% artinya siswa kurang mudah/ kesulitan memahami bahasa BAS. Adanya ketidak sesuaian antara penilaian validator dengan respon siswa bisa dipahami karena perbedaan kemampuan dalam memahami bahasa dan pengetahuan tentang materi pelajaran. Kesulitan siswa dalam memahami bahasa yang terdapat pada BAS disadari karena kelemahan peneliti dalam mengalihbahasakan sumber BAS yang bersumber dari bahasa Ingris ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi secara umum respon siswa terhadap BAS rata-rata baik sehingga menurut peneliti masih layak digunakan sebagai sumber belajar. Hasil posttest rata-rata siswa mendapatkan nilai 82,79, hal ini menunjukkan secara umum nilai yang diperoleh siswa mempunyai kriteria yang baik, Hasil rata-rata posttest yang baik menunjukkan bahwa BAS layak digunakan sebagai sumber belajar. Kelayakan LKS dapat dilihat pada Tabel 1 juga berdasarkan tingkat respon siswa terhadap LKS, ketertarikan pada LKS 81% artinya siswa tertarik,

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 139

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya keterbaruan LKS 100% artinya LKS yang dikembangkan peneliti baru bagi siswa, kemudahan memahami komponen bahasa LKS 100% artinya siswa mudah memahami bahasa LKS. LKS yang diimplementasikan lebih menekankan pada proses untuk menemukan konsep, melalui pemodelan real dan ditunjang media PhET, siswa terlibat aktif membangun konsep berdasarkan pengalamannya sendiri. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivis Piaget (dalam Slavin, 2006) yang menegaskan bahwa proses untuk menemukan teori atau pengetahuan dibangun dari realitas lapangan. Kegiatan pada LKS, seolah-olah siswa dihadapkan pada fakta tentang bentuk suatu molekul dan siswa membangun konsep berdasarkan fakta-fakta tersebut. Aktivitas siswa dalam mengkonstruksi bentuk molekul merupakan aktivitas siswa dalam meramalkan bentuk molekul melalui coba-coba (trial and error) dengan berpedoman pada teori VSEPR. Menurut teori VSEPR pasangan elektron yang terdapat di sekitar atom pusat akan saling tolak-menolak sedemikian rupa sehingga tolakannya seminimal mungkin yaitu dengan membentuk sudut yang sebesar-besarnya (Effendy 2006). Pada kegiatan ini siswa dituntut untuk menemukan sendiri bentuk suatu molekul jika diketahui PEI dan PEB nya. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivis Piaget yang menegaskan bahwa proses untuk menemukan teori atau pengetahuan dibangun dari realitas lapangan (Dahar, 1989). Piaget juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran, sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi, 1988). Aktivitas siswa yang tinggi dalam proses pembelajaran ini juga disebabkan karena tugas-tugas dalam LKS yang digunakan dalam proses pembelajaran masih dalam zone of proximal development (zpd) siswa, tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah sehingga siswa sangat termotivasi untuk mengerjakan (Vygotsky dalam Slavin 2006). Hal ini dikarenakan sebelum mempelajari bentuk molekul ada pelajaran prasyarat yang harus dikuasai siswa yaitu konfigurasi elektron, elektron valensi dan struktur Lewis yang merupakan dasar untuk belajar meteri berikutnya yaitu bentuk molekul. Kelayakan LP produk dapat dilihat pada Tabel 1 juga berdasarkan dapat dilihat pada respon siswa terhadap keterampilan berpikir yang dilatihkan. Respon tersebut menunjukkan bahwa keterampilan

berpikir tingkat tinggi yang dilatihkan mudah bagi siswa, hal ini juga didukung hasil posttest dengan nilai rata-rata 82,79. 2. Efektivitas Pembelajaran Efektivias pembelajaraan dapat ditinjau dari ketuntasan Individual, Gain Score, dan Sensitivitas Butir Soal. a. Ketuntasan Individual Ketuntasan Individu adalah ketuntasan siswa apabila telah mencapai Kreteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran Kimia di SMAN 10 Samarinda ditetapkan sebesar 75%. Hasil analisis ketuntasan hasil belajar LP Produk bentuk molekul keterampilan berpikir tingkat tinggi individual pada saat pretest dan posttest dapat dilihat pada Gambar 1 120 100 80

87 87 71

85 79 79 83

96

91 69

84 71

83 81

91

97

86 83 80 84 76 77

60 40 20 0

6 6

11

11 7 7 7 10 10 7 6 6 4 3 7 6 3 6 1 4 1 4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Pretest

Posttess

Gambar 1 Diagram Nilai Pretest dan Postest THB Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa skor yang diperoleh setiap individu sebelum pembelajaran penemuan terbimbing di bawah KKM (75) dengan rata-rata 6,10%, sehingga secara individual pada uji coba tidak ada siswa yang tuntas. Tiga indikator dengan enam jenis soal yang digunakan sebagai pretest tidak ada satupun siswa yang tuntas. Setelah dilakukan pembelajaran penemuan terbimbing ketuntasan belajar produk rata-rata secara individual sebesar 82,79% dan ada 3 siswa yang belum tuntas yaitu siswa no 1, 9 dan 12. Berdasarkan analisis ketuntasan indikator menunjukkan bahwa indikator menjelaskan pengaruh pasangan elektron bebas pada kulit valensi atom pusat terhadap sudut-sudut ikatan yang ada di sekitar atom pusat merupakan indikator dengan ketuntasan yang paling sedikit, dengan tujuan pembelajaran siswa dapat menjelaskan pengaruh pasangan elektron bebas terhadap perbedaan besarnya sudut ikatannya sesuai deskripsi yang tercantum pada kunci LP Produk Perbedaan rata-rata hasil pretest-posttest setelah adanya perlakuan terhadap siswa menunjukkan adanya pengaruh positif yang sangat besar terhadap terhadap hasil belajar siswa yang

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 140

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya memerlukan keterampilan berpikir tinggkat tinggi, sehingga dengan demikian perangkat pembelajaran penemuan terbimbing (Silabus, RPP, BAS, LKS dan LP) yang telah dikembangkan efektif melatihkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Akinbobola dan Afolabi (2009), yang mengatakan bahwa penemuan terbimbing paling efektif untuk meningkat-kan prestasi belajar siswa. Menurut Suherman (2001: 179) model penemuan mempunyai keunggulan 1) siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir; 2) siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat; 3) melatih siswa lebih banyak belajar sendiri. Hasil posttest yang baik ini juga sesuai dengan pendapat Haller, Monk, dan Tien (1993), yang mengatakan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak hanya dapat diberikan pada sekolah yang berada di perkotaan saja tetapi juga dapat diberikan pada siswa yang sekolah di pinggiran kota dan pedesaan dengan fasilitas yang minim. Pada pembelajaran bentuk molekul digunakan alat peraga yang sederhana yaitu dengan menggunakan plastisin sebagai model molekul yang bentuknya dikonstruksi sendiri oleh siswa dengan trial and error. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudria (2003) bahwa penggunaan model merupakan pilihan terbaik, karena bentuk molekul sangat kecil dan tidak dapat dilihat. Hasil posttest yang baik ini juga sesuai dengan hasil penelitian Hadi, Sutrisno, Ulfa, (2008) yaitu apabila siswa terlibat aktif dalam mengkonstruksi bentuk molekul dengan pemodelan real dan dikombinasi dengan penggunaan media komputasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. b. Gain Score Normalized gain score digunakan untuk mengetahui kenaikan rata-rata pretest dan posttest. Perhitungan normalized gain score menurut Hake dirumuskan sebagai berikut: −% 100 − % Tabel 2 Interpretasi Nilai G =

%

Nilai G G > 0.70 0.30 ≤ 0.70 G < 0.30

Interpretasi nilai G Tinggi Sedang Rendah

Rata-rata persentase score hasil pretest-posttest dan Gain Score rata-rata hasil belajar LP Produk bentuk molekul keterampilan berpikir tingkat tinggi individual dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Persentase score rata-rata pretest-posttest Individual dan Gain Score rata-rata Skor Pretest (%)

Skor Posttest (%)

Gain Score rata-rata

Kategori

6.10

82.79

0.82

Tinggi

Berdasarkan Tabel 3 Gain Score individual pretest dan posttest rata-ratanya 0,82 dengan kategori tinggi, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Indeks Gain Score yang tinggi menunjukkan bahwa perangkat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran memiliki kualifikasi valid, reliabel dan efektif sesuai penilaiaan validator. c. Sensitivitas Butir Soal Indeks sensitivitas butir soal digunakan rumus Cox & Vargas (Ratumanan dan Laurens (2011: 108). Indeks sensitivitas merupakan ukuran seberapa baik butir tersebut membedakan antara siswa yang telah dan yang belum mengikuti kegiatan belajar mengajar. = Keterangan: : proporsi yang menjawab butir soal secara benar pada post-test. : proporsi yang menjawab butir soal secara benar pada pre-test. Indeks sensitivitas butir yang efektif berada di antara 0,00 - 1,00. Semakin besar indeks sensitivitas butir menunjukkan semakin besar keberhasilan pembelajaran-nya. Butir soal dengan sensitivitas ≥ 0,3 memiliki kepekaan yang cukup terhadap efek-efek pembelajaran. Indeks sensitivitas butir soal rata-rata 0,74 jauh diatas ketentuan minimal indeks sensitivitas yaitu 0,3. Hal ini menunjukkan bahwa baik butir soal yang digunakan pada Tes Hasil Belajar dapat membedakan dengan sangat baik antara siswa yang belum diberikan perlakuan dan yang telah diberi perlakuan. Pada analisis ketuntasan individual menunjukkan adanya perubahan yang positif sebelum dan sesudah perlakuan yang ditandai dengan perbedaan nilai rata-

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 141

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya rata pretest dan posttest. Perubahan yang positif belum tentu signifikan, untuk menentukan perubahan tersebut signifikan atau tidak maka diuji dengan normalized gain score, hasilnya menunjukkan perbedaan dengan kategori tinggi. Hasil gain score yang tinggi menunjukkan butir soal yang memerlukan keteramplan berpikir tingkat tinggi yang digunakan sebagai alat evaluasi dapat membedakan antara siswa yang telah dan yang belum mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hal ini ditandai dengan nilai indeks sensitivitas sebesar 0,74 dengan kategori senstif. Berdasarkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pemebelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real yang ditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing efektif melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Respon Terhadap Pembelajaran Secara umum respon siswa terhadap pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 2. 84

85 80 75 70 65

77

75

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan secara umum siswa tertarik terhadap materi/isi pelajaran, BAS, LKS, suasana belajar dan cara guru mengajar. Persentase ketertarikan siswa tertinggi adalah pada materi/isi pelajaran dan terendah adalah suasana belajar. Hal ini menunjukan bahwa pembelajaran bentuk molekul merupakan pelajaran yang baru bagi siswa, oleh sebab itu sebagian besar siswa tertarik dengan isi pelajaran. b. Keterbaruan Keterbaruan siswa terhadap komponen materi/isi pelajaran, BAS, LKS, suasana belajar dan cara guru mengajar dapat dilihat pada Gambar 4. 80

40

81

80

4

60 40

a. Ketertarikan Ketertarikan siswa terhadap komponen materi/isi pelajaran, BAS, LKS, suasana belajar dan cara guru mengajar dapat dilihat pada Gambar 3. 82

80 60 40 20 0

68

59 36 5 0 Materi/ isi pelajaran

9

9

23 0

Buku ajar siswa

Sangat tertarik

59

9

0

Lembar Kerja Siswa

Tertarik

14

Suasana Belajar

Kurang Tertarik

32

27

41

18

14

5

5

0 0

18 5

Tidak Baru Suasana Belajar

Cara guru mengajar

68

Diagram Persentase Keterbaruan 59 59 50 Komponen Bagi Siswa

27

32

27

32 18

18

14 Berdasarkan 9 9Gambar 4 menunjukkan secara 5 5 5 5 0 0 umum siswa menyatakan baru terhadap materi/isi 0 Materi/ isi BAS, Buku ajarLKS, siswa Lembar Kerja Suasana Belajar dan Cara guru pelajaran, suasana belajar cara pelajaranSangat Baru Baru Siswa Kurang Baru Tidak Barumengajar guru mengajar. Persentase keterbaruan siswa tertinggi adalah pada LKS dan terendah adalah susana belajar. Hal ini menunjukan bahwa LKS yang digunakan pada pembelajaran bentuk molekul baru bagi siswa. 20

Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran rata-rata > 70 dengan kategori baik sampai sangat baik, dengan nilai respon terendah 72 yaitu kemudahan dalam memahami komponen pembelajaran dan respon tertinggi 84 yaitu kejelasan guru terhadap komponen pembelajaran. Berdasarkan Gambar 2 dapat diuraikan lebih rinci sebagai berikut:

100

9

32

Sangat Baru Kurang Kerja Baru Materi/ isi Baru Buku ajar siswa Lembar pelajaran Siswa

Gambar 59

Gambar 2 Rata-rata Respon Siswa Terhadap Komponen Pembelajaran

32

9

59

50

27 5

0

68

59

27

20

73

72

59

60

c. Kemudahan Kemudahan siswa terhadap komponen bahasa dalam BAS, materi BAS, contoh-contoh soal dan LKS dapat dilihat pada Gambar 5. 100 80 60 40 20 0

45 9

82

64 32

14

82

32 5

0

9

9

0

18

27

41

32

0 0

0

27

0

0 Cara guru mengajar

Tidak tertarik

Gambar 3 Persentase Ketertarikan Siswa Terhadap Komponen

Sangat mudah

Mudah

Kurang mudah

Tidak mudah

Gambar 5

Diagram Persentase Kemudahan Komponen Bagi Siswa Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan secara umum siswa menyatakan mudah terhadap bahasa dalam buku, materi/isi buku, contoh-contoh soal

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 142

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya LKS dan cara guru mengajar. Persentase ketertarikan siswa tertinggi adalah pada LKS dan terendah adalah bahasa dalam buku. Hal ini menunjukkan LKS yang dikembangkan mudah dipahami oleh siswa, sedangkan respon terendah adalah bahasa dalam buku, hal ini bisa di maklumi karena keterbatasan peneliti dalam pengalihbahasaan dari literatur berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. d. Minat Siswa Minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan model penemuan terbimbing pada kegiatan pembelajaran selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 6. 66

80

59

60 40

18

20 0

14

5

0

Pokok bahasan selanjutnya Sangat berminat

Berminat

23

18

Pelajaran lainnya Kurang bermiinat

Tidak berminat

Gambar 6 Diagram Persentase Minat Siswa Terhadap Komponen Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan secara umum siswa menyatakan berminat apabila model pembelajaran ini digunakan untuk pokok bahasan selanjutnya dan pelajaran lainnya. e. Kejelasan Penjelasan guru pada saat KBM dan bimbingan guru dapat dilihat pada Gambar 7. 60

41

50

50

41

40 20 0

9

Penjelasan guru pada saat KBM berlangsung

Sangat jelas

9

0

Jelas

0

Bimbingan guru pada saat Anda, menemukan konsep melalui eksperimen Kurang jelas

Tidak jelas

Gambar 7 Diagram Persentase Kejelasan Guru Terhadap Komponen Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan secara umum siswa menyatakan jelas terhadap penyampaian komponen-komponen oleh guru pada saat KBM berlangsung dan bimbingan guru pada saat menemukan konsep melalui eksperimen sangat jelas bagi siswa.

f. Kemudahan Dilatihkan 70 60 50 40 30 20 10 0

Keterampilan

Berpikir

yang

64

55

45 50

36

36

27 5 5

9

Sangat mudah

50

45 18

5 0

Mudah

50

36

36 14

0

Kurang mudah

14 0

0

Tidak mudah

Gambar 8 Diagram Persentase Kemudahan Siswa Terhadap Keterampilan Berpikir Berdasarkan Gambar 8 menunjukkan secara umum siswa menyatakan mudah terhadap keteerampilan berpikir tingkat tinggi yang dilatihkan. Hal ini tampak pada hasil posttest yang menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan sehingga ketuntasan individual rata-ratanya mencapai 82,79%. Berdasarkan respon-respon tersebut respon terendah adalah bahasa dalam buku ajar siswa yang menyatakan 9% sangat mudah,45% mudah, 32% kurang mudah, 14% tidak mudah. Hal ini karena buku ajar siswa yang disadur dari buku Effendy (2007) terjemahannya susah dipahami oleh siswa. Disamping itu BAS yang diberikan kepada siswa sebagai sumber belajar tidak dijelaskan sebagai mana guru mengajar secara konvesional, BAS sebagai buku pegangan siswa diharapkan secara mandiri menggali informasi sebanyak-banyaknya pada BAS sebagai bekal dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Siswa belum terbiasa dengan pembelajar-an model penemuan terbimbing hal ini bisa dilihat dari rata-rata ketertarikan dan keterbaruan suasana belajar yang mendapatkan respon 14% sangat tertarik, 59% tertarik, dan 27% kurang tertarik dan suasana belajar 14% sangat baru, 50% baru, 32% kurang baru 5% tidak baru. Selama ini siswa banyak menerima materi dengan sedikit kegiatan, sedangkan pada kegiatan belajar mengajar dengan model penemuan terbimbing aktivitas banyak dilakukan oleh siswa sedangkan materi pelajaran harus dibaca oleh siswa sendiri, dan siswa belum terbiasa melakukan, oleh sebab itu pembelajaran dengan model penemuan terbimbing perlu dilatihkan untuk melatih kemandirian siswa. Respon tertinggi dari siswa adalah bimbingan guru saat siswa menemukan konsep dengan persentase respon 50% sangat jelas, 41% jelas, 9% kurang jelas. Hal ini sesuai dengan model penemuan terbimbing dimana siswa dihadapkan kepada situasi bebas menyelidiki, terkaan, intuisi,

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 143

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya mencoba-coba (trial and error) dan menarik kesimpulan, sedangkan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Hasil respon yang postif terhadap perangkat dan proses pembelajaran penemuan terbimbing, serta keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dilatihkan dari siswa menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran penemuan terbimbing yang dikembangkan efektif melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi hal ini dapat dilihat dari hasil pretest dan posttest. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis model penemuan terbimbing efektif untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. UCAPAN TERIMAKASIH 1. Prof. Dr. Sri Poedjiastoeti. M.Si., dan Dr. I Gusti Made Sanjaya, M.Si. sebagai dosen pembimbing penulis. 2. Pemprov Kalimantan Timur yang telah memberikan bea siswa kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Unesa. 3. Pemkot Samarinda yang telah mengijinkan penulis untuk menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Unesa. 4. Kepala SMAN 10 Samarinda yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di sekolah yang bersangkutan. Wakil kepala sekolah dan guru-guru kimia yang banyak membantu penulis selama kegiatan penelitian DAFTAR PUSTAKA Akinbobola, A.O. & Afolabi, F. 2009. “Constructivist Practices Through Guided Discovery Approach: The Effect On Students’ Cognitive Achievements In Nigerian Senior Secondary School Physics”. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP), Volume3. Anderson & Krathwohl. 2002” Theory Into Practice” College of Education The Ohio State University Volume 41, Number 4. Arikunto, S. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Ates' Ö., & Eryilmaz, A. (2011). Effectiveness of handson and minds-on activities on students’ achievement

and attitudes towards physics. Asia-Pacific Forum on Science-Learning and Teaching. 12 (1) Balitbang. (2011) Laporan Hasil TIMSS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2007.

Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta:Erlangga. Depdiknas. (2004) Kurikulum tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetesi. Jakarta: Depdinas Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas Depdiknas. Depdiknas (2007). Panduan Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pelajaran. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen Effendy, 2006. Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya Antar Molekul. Malang: Bayu Media Publishing ISBN: 9793323-06-4 Effendy, (2007). A-Level Chemistry For Senior High School Students Volume 1B. Malang: Bayumedia Publishing. Gilbert, John K.; Reiner, Miriam; Nakhleh, Mary (Eds.). (2008). Visualization: Theory And Practice In Science Education. Series: Models and Modeling in Science Education, Vol. 3 ISBN: 978-1-4020-5266-8 Hadi, M.N., Sutrisno, Ulfa,S. 2008 "Pencerahan Siswa SMA Terhadap Bentuk Molekul Suatu Senyawa dan Ion Melalui Media Komputasi dan Pemodelan Real", Dikdatika, Volume 9, No 1. Hake. Richard R. Analyzing Change/Gain Scores Dept. of Physics, Indiana University 24245 Hatteras Street, Woodland Hills, CA, 91367 USA Haller, E.J., Monk, D.H., and Tien, L.T. 1993. "Small Schools and Higher-Order Thinking Skills", Journal of Research in Rural Education, Fall, Vol. 9, No.2, 66-73 http://21centuryedtech.wikispaces.com/21+Century+Info http://phet.colorado.edu/in/simulation/molecule-shapes _____,(2008) Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan Pertama Edisi IV Klausner, RD. (1996). National Science Education Standards. Washington DC : National Academy Pres Liliasari, (2005) Pengembangan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP Sebagai Dampak Lesson Study: Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Nickerson,R.S. (1985). The Teaching of Thinking, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 144

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Phillips,D.T., Ravindran.A., and Solberg.J., 1976, Operations Research Principles and Practice, John Wiley & Sons,Inc, Toronto, pp 1-11, 359-367

Sudria, I.B.N. 2003. “Model Visual Dalam Pembelajaran Aspek Partikulat Kimia”, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH.

Ramdani, Y. 2011. Pembelajaran Untuk Meninggkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Melalui Pendekatan Contextual Teaching And Learning. Prosiding SNaPP2011 Sains, Teknologi, dan Kesehatan , 449-458.

Suherman, (2001). Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.

Ratumanan dan Laurens. 2011. Penilaian Hasil Belajar pada Tingkat Satuan Pendidikan Edisi 2. Surabaya: Unesa University Press Ruseffendi, E.T.1988 Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.

TIMSS. (2011). International Results in Sciences. TIMSS & PIRLS International Study Center. USA Wu, H. K., Krajcik, J.S., & Soloway, E. (2001). Promoting conceptual understanding of chemical representations: students’ use of a visualization tool in the classroom. Journal of Research in Scien-ce Teaching, 38, 821-842

Slavin,(2006). Educational psychology; theory and practice. 8th ed. Pearson Education, Inc

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

| 145

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA BIOLOGI BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN PEMAKNAAN DALAM PEMBELAJARAN IPA DAN PENUMBUHAN SENSITIVITAS MORAL Irwan Syah Putra1) Muslimin Ibrahim2) ZA. Imam Supardi3) 1 Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 2 Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 3 Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstract: This research aims to develop devices based science learning biology teaching model in an effort to teach the meaning of science and foster moral sensitivity on the subject of human respiratory system. This study was classified as research development , ie developing syllabus , lesson plans , worksheets , BAS , and THB . Follow the development of the design of the 4- D models of Thiagarajan (1974 ) followed by the implementation phase of learning in the classroom using a pretest - posttest design. Device developed then validated by experts and tested first at 10 eighth grade students of SMP Negeri 1 Tarik. The results showed the validity of the RPP , BAS , and worksheets categorized very well , and the validity of test questions categorized invalid and valid enough. Readability level device includes worksheets for BAS and 77,2 % to the category of material is too easy , and a description of the difficulties include BAS and LKS was 22,1 % with a fairly easy category . The success of RPP during three meetings very well categorized ; activity levels of students categorized quite active ; better student learning outcomes tests of cognitive abilities , processes , psychomotor and moral sensitivity tests considered complete . Barriers in the PBM especially low student motivation in participating in learning . Based on the analysis of data, it can be concluded that the biology-based science learning learning model of meaning on the subject of the human respiratory system is able to teach science and junior high school students growing moral sensitivity. Key words: The Meaningfull Learning Model, Moral Sensitivity Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan perangkat pembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaran pemaknaan sebagai upaya mengajarkan IPA dan menumbuhkan sensitivitas moral pada pokok bahasan Sistem Pernapasan Manusia. Penelitian ini tergolong penelitian pengembangan, yaitu mengembangkan Silabus, RPP, LKS, BAS, dan THB. Pengembangan perangkat mengikuti rancangan 4-D model dari Thiagarajan (1974)dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan pembelajaran di kelas menggunakan rancangan pretest-posttest design.Perangkat yang dikembangkan kemudian divalidasi oleh pakar dan diuji coba I pada 10 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tarik. Hasil penelitian menunjukkan validitas RPP, BAS, dan LKS berkategori baik; dan validitas soal tes berkategori valid. Tingkat keterbacaan perangkat meliputi BAS dan LKS sebesar 77,2% dengan kategori materi mudah; dan deskripsi kesulitan perangkat meliputi BAS dan LKS sebesar 22,1% dengan kategori tidak sulit. Keterlaksanaan RPP selama tiga kali pertemuan berkategori sangat baik; tingkat aktivitas siswa berkategori cukup aktif; hasil tes belajar siswa baik kemampuan kognitif, proses, psikomotor dan tes sensitivitas moral berhasil melampaui KKM yang ditetapkan. Hambatan dalam PBM terutama siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran pemaknaan. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaran pemaknaan pada pokok bahasan sistem pernapasan manusia efektif membelajarkan IPA dan menumbuhkan sensitivitas moral siswa SMP. Kata-kata Kunci: Model Pembelajaran Pemaknaan, Sensitivitas Moral

PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa tergantung pada pengembangan sumber daya manusianya. Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan baik formal maupun nonformal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional,yang tercantum dalam tiga landasan hukum di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, di antaranya meliputi: 1) Bangsa yang cerdas, damai, merdeka, dan adil; 2) Memiliki daya saing dalam menghadapi globalisasi; 3) Kualifikasi mencakup sikap, pengetahuan,

dan keterampilan. 4) Memiliki dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; 5) Memiliki kecakapan hidup mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional (Ibrahim, 2008:2). Landasan hukum dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia tercantum dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 146

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Salah satu hasil belajar yang harus dicapai siswa adalah berkembangnya potensi peserta didik secara utuh. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Samani, 2011: 26). Pendidikan karakter termasuk pencapaian tujuan pembelajaran dalam ranah afektif yang implementasinya dirasakan masih kurang. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya perhatian guru dalam menilai hasil belajar afektif. Para guru lebih banyak menilai ranah kognitif semata-mata. Lemahnya pendidikan afektif di sekolah disebabkan sulitnya mengukur tujuan afektif dan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu diases. Pendidikan karakter sangat penting diajarkan dan dicontohkan secara sengaja dalam proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Kenyataan di lapangan bahwa karakter tidak diajarkan secara sengaja dalam pembelajaran, melainkan hanya sebagai efek penyerta saja. Hasil survei yang dilakukan di lapangan (Ibrahim, 2008:4) juga mendukung pendapat di atas. Ada dua hal pokok yang menjadi isu utama di atas: (a) Hasil belajar seperti yang dicantumkan di atas terutama sikap, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri belum diajarkan secara “sengaja” (by design). Hasil-hasil belajar seperti itu biasanya sebagai efek nurturans (efek penyerta); (b) Proses belajar mengajar belum dilakukan seperti harapan. Pembelajaran masih berpusat pada guru dan siswa sebagai objek, bersifat pasif dan kurang motivasi. Pengembangan karakter tidak tercapai disebabkan sebagian besar guru selama proses pembelajaran di kelas kurang memberikan tekanan pada nilai-nilai karakter/moral. Pembelajaran dilakukan hanya berlangsung dalam konteks “kulit luar” saja tanpa bisa menyentuh hati dan memaknai apa yang sedang dipelajarinya. Padahal, keshahian pendidikan sepenuhnya merupakan ikhtiar untuk memperoleh nilai hidup, bukan sekedar angka. Jadi pendidikan bukanlah sekedar untuk memperoleh pengetahuan semata, tetapi menghasilkan makna dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya.

Ukuran dari setiap proses pembelajaran adalah terjadinya pemerolehan makna (Mursidin, 2011:11) Penerapan model pembelajaran pemaknaan pada mata pelajaran IPA Biologi di SMP diharapkan dapat digunakan untuk menumbuhkan sensitivitas moral siswa yang pada akhirnya akan membentuk karakter siswa tersebut. Dalam IPA terdapat berbagai gejala/fenomena yang amat menarik dan berpotensi untuk menjadi model yang dapat mengajarkan sensitivitas moral, sikap positif dan karakter. Proses terbentuknya sikap moral melalui penanaman nilai-nilai moral oleh Freud disebut dengan proses internalisasi, sedangkan Blazi menyebutnya proses integrasi (Blazi, 1995).Proses internalisasi moral menurut Rest (1995) diawali oleh peningkatan sensitivitas moral dalam diri seseorang. Sensitivitas moral adalah suatu tingkat kepekaan seseorang akan adanyanilai-nilai moral dalam setiap fenomena yang ada di sekitarnya, atau yang dialami. Jika hal ini diaplikasikan dalam proses pembelajaran, maka sensitivitas moral siswa dapat diketahui dari tingkat kepekaannya akan nilai-nilai moral yang ada pada setiap mata pelajaran, bukan pendidikan moral atau pendidikan agama saja. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian pengembangan, karena mengembangkan perangkat pembelajaran dengan model pemaknaan pada materi pokok sistem pernapasan manusia pada siswa SMP kelasVIII. Perangkat yang dikembangkan adalah Silabus, RPP, BAS, LKS, dan THB produk, psikomotor, dan sensitivitas moral. Pengembangan perangkat dalam penelitian ini menggunakan model 4-D “four D models” (dalam Ibrahim, 2003). Model ini terdiri atas 4 tahap pengembangan, yaitu: Define, Design, Develop, and Disseminate atau diadaptasikan menjadi Model 4-P, yaitu Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran. Untuk keperluan guru sendiri, di mana hasil pengembangannya diterapkan di sekolah sendiri, maka tahap keempat yaitu penyebaran belum dilakukan. Maka model 4-P menjadi 3 tahap saja meliputi: (1) Tahap pendefinisian (Define), (2) Tahap perancangan (Design), dan (3) Tahap pengembangan (Develop). Desain uji coba perangkat pembelajaran dalam pengembangan perangkat ini menggunakan model one Group Pretest-Posttest Design. Sebelum menerapkan pembelajaran dengan model pemaknaan terlebih dahulu dilaksanakan tes awal (pretest) O1, dan setelah melaksanakan pembelajaran pemaknaan (X) dilakukan tes akhir (posttest) O2. Variabel yang diamati dalam penelitian adalah kelayakan perangkat yang terdiriatas: (1) validitas, (2) kepraktisan dan (3) keefektifan. Validitas meliputi:

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 147

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Validitasisi dari Silabus, RPP, BAS, LKS, THB produk, psikomotor, sensitivitas moral., tingkat keterbacaan BAS, tingkat kesulitan BAS. Variabel yang berkaitan dengan kepraktisan hasil uji coba perangkat pembelajaran meliputi: keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa. Variabel yang berkaitan dengan keefektifan meliputi: tingkat sensitivitas moral siswa, respon siswa, terhadap pembelajaran dan hambatan dalam penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen penilaian perangkat, instrumen pengamatan, instrumentes, dan instrumen angket. Data yang dianalisis adalah validitas perangkat, kepraktisan perangkat, dan keefektifitas perangkat dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan pada 36 siswa Kelas VIII A SMP Negeri 1 Tarik, Sidoarjo, pokok bahasan Sistem Pernapasan Manusia pada semester gasal tahun pelajaran 2013/2014. Adapun hasil validasi dari perangkat yang dikembangkan adalah: (a) Silabus, skor rata-rata 3,84 dengan kategori sangat baik, (b) RPP, skor rata-rata 3,75 dengan kategori sangat baik, (c) BAS, skor rata-rata 3,67 dengan kategori sangat baik, (d) LKS, skor rata-rata 3,78 dengan kategori sangat baik, (e) THB produk, psikomotor berkategori valid, sedangkanTHB sensitivitas moral yang terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral acting berkategori sangat baik.(f) Tingkat kesulitan BAS sebesar 27%, sedangkan LKS sebesar 20%, sehingga tingkat kesulitan rata-rata BAS dan LKS sebesar 23,5%. Menurut (Rudolph 1948, dan Robert 1944 dalam http://readbulityformula.com/freereadbulity-formula-assessment.php),persentase tingkat kesulitan LKS dan BAS berkategori cukup mudah karena berada pada level 20% sampai 30%. (g) Tingkat keterbacaan BAS sebesar 74%, sedangkan LKS sebesar 66%, sehingga tingkat keterbacaan rata-rata BAS dan LKS sebesar 70%. Menurut (Taylor 1953, dalamhttp://english.byu.edu/novelink/reading%20strategi es/Anthem/cloze%20general.htm), persentase keterbacaan dari hasil perangkat pembelajaran menunjukkan level bebas (di atas 60 %) termasuk dalam kategori materi terlalu mudah. Diskusi hasil kepraktisan perangkat pembelajaran meliputi: (a) Pelaksanaan RPP RPP disusun sesuai dengan jumlah tatap muka untuk proses pembelajaran yaitu tiga kali pertemuan. Setiap pertemuan dalam PBM pelaksanaan RPP diamati oleh dua pengamat yang mengamati berlangsungnya proses pembelajaran. Persentase rata-rata pelaksanaan RPP pada pertemuan pertama sebesar 93% dengan

reliabilitas 0,90, persentase rata-rata pelaksanaan RPP pada pertemuan kedua sebesar 93% dengan reliabilitas 0,90, dan persentase rata-rata pelaksanaan RPP pertemuan ketiga sebesar 100% dengan reliabilitas 1,00. Hasil pengamatan dari kedua pengamat berdasarkan nilai rata-rata tentang keterlaksanaan pembelajaran pada ketiga RPP dikategorikan sangat baik.Keterlaksanaan sintaks pembelajaran yang baik ini didukung dengan pola guru mengajar yang tercermin dalam tingkah laku pada waktu melaksanakan pengajaran (Ali, 2000). Pola mengajar dikenal dengan istilah gaya mengajar yang mencerminkan bagaimana pelaksanaan guru yang bersangkutan, yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang mengajar, konsep-konsep psikologi yang digunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan. (b) Aktivitas siswa Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar dinyatakan dalam bentuk angka atau dikuantitatifkan. Aktivitas siswa yang diamati meliputi membaca, mendiskusikan tugas, mencatat, mendengarkan penjelasan guru, melakukan pengamatan, eksperimen atau bekerja, bertanya kepada guru, menyampaikan pendapat atau informasi ke depan kelas, serta perilaku yang tidak relevan. Tabel 3.1 Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Rata-rata No Aktivitas yang Persentase Diamati Aktivitas Prt Prt Prt 1 2 3 1. Membaca. 15 14,5 14,4 2. Mendiskusikan 14 13,7 13,6 tugas Mencatat 14,6 12,9 14,6 3. 4. 5. 6. 7. 8

Mendengarkan penjelasan guru Melakukan eksperimen Bertanya kepada guru Mengkomunikasika n informasi Aktivitas tidak relevan

Ratarata (%)

14,6 13,8 14

10,7

11,4

11

11

16,4

16,5

15,3

16,1

14,3

14,8

14,4

14,7

13,4

14,9

15,2

14,6

1,6

1,3

1,5

1,5

Berdasarkan Tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata persentase aktivitas siswa yang relevan sebesar 98,5% dengan kategori aktif, sedangkan rata-rata persentase aktivitas siswa yang tidak relevan sebesar 1,5%. Hal ini berarti secara keseluruhan siswa beraktivitas relevan selama pembelajaran berlangsung dan pembelajaran lebih berpusat pada siswa ( student center). Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2008)

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 148

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

bahwa salah satu prinsip model pembelajaran pemaknaan adalah student center. (c) Ketuntasan hasil belajar siswa Ketuntasan hasil belajar siswadapat diamati dari grafik dibawah ini: Gambar 3.1 Grafik Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Diagram Ketuntasan Indikator

S k o r

94 93 100 91 93 91 92 88 85 86 83 83 81 78 82 82 K 90 77 75 e 80 63 t 70 u 60 n 50 t 40 a s 30 a n

TP

Aspek

3.2

Menilai Visi Misi

Proporsi Butir Soal U1 U2 0,44 0,93 0,42 0,90 0,41 0,82

Sensi tivitas

p TP

Ket.

0,49 0,48 0,41

0,93 0,90 0,82

Tuntas Tuntas Tuntas

10 1. Kognitif, 2. Psikomotor, 3. Moral Knowing, 4. Moral Feeling, 5. Moral Acting

Berdasarkan Gambar 3.1 ketuntasan hasil belajar siswa diperoleh berdasarkan tingkat ketuntasan indikator pada materi sistem pernapasan manusia. Terdapat 18 indikator, 17 indikator dinyatakan tuntas, dan hanya satu indikator yang tidak tuntas, yaitu indikator keempat dari THB kognitif PG. Rata-rata ketuntasan indikator mencapai 84. Diskusi hasil keefektifan perangkat pembelajaran meliputi: (a) Tingkat sensitivitas moral siswa; (b) Respon siswa terhadap pembelajaran (c) Hambatanhambatan penelitian. (a) Tingkat sensitivitas moral Tingkat sensitivitas moral siswa diukur dengan THB moral knowing, moral feeling, dan moral acting. 1. THB pengetahuan moral (moral knowing) digunakan untuk mengetahui pengetahuan siswa tentang nilai-nilai moral terkait konsep sistem pernapasan manusia.Data dan analisis THB pengetahuan moral (moral knowing) siswa dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini. Tabel 3.2 Ketuntasan THB moral knowing

8.1 8.2 9.1 9.2 8.1 8.2 5.1

Tabel 3.3 Ketuntasan THB moral feeling

20 0

TP

pada THB pengetahuan moral (moral knowing) siswa dari ketujuh butir soal yang ada, semua sensitif dengan rata-rata sensitivitasnya sebesar 0,35. 2. THB perasaan moral (moral feeling) siswa diperoleh dari hasil penilaian laporan diri siswa. Laporan diri siswa digunakan untuk mengetahui penilaian, perasaan, emosi, visi, dan misi siswa terkait konsep sistem pernapasan manusia.Data dan analisis THB perasaan moral (moral feeling) siswa dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini.

Proporsi Butir Soal U1 U2 0,60 0,90 0,54 0,92 0,58 0,94 0,52 0,91 0,63 0,95 0,54 0,93 0,61 0,93

Sensi Tivitas

pTP

Ket

0,30 0,38 0,36 0,39 0,32 0,39 0,32

0,90 0,92 0,94 0,91 0,95 0,93 0,93

Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas

Berdasarkan Tabel 3.2 diperoleh hasil THB pengetahuan moral (moral knowing) siswa dari ketujuh tujuan pembelajaran semuanya tuntas. Rata-rata proporsi tujuan pembelajaran sebesar 0,92. Sensitivitas butir soal

Tabel 3.3 memperlihatkan bahwa THB perasaan moral (moral feeling) dinyatakan tuntas. Rata-rata proporsi tujuan pembelajaran sebesar 0,88. Sensitivitas butir soal pada THB perasaan moral (moral feeling) siswa, dari 3 butir soal yang ada semua sensitif karena nilainya di atas 0,30. 3. THB tindakan moral (moral acting) digunakan untuk mengetahui kemajuan siswa dalam hal keterampilan sosial yang meliputi aspek 1) tanggung jawab, 2) peduli sosial, 3) sensitivitas moral. Ketuntasan dan Sensitivitas THB tindakan moral (moral acting)siswa dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut ini. Tabel 3.4 Ketuntasan THB moral acting Topik TP

6.1 6.1 2.1

Tanggung jawab Peduli Sosial Sensitivita s Moral

Proporsi Butir Soal U1 U2 0,49 0,81

Ket Sensi tivitas 0,32

p TP 0,81

Tuntas

0,50

0,86

0,36

0,86

Tuntas

0,51

0,88

0,37

0,88

Tuntas

Tabel 3.4 memperlihatkan bahwa THB tindakan moral (moral acting) dari tiga Tujuan Pembelajaran (TP) dinyatakan tuntas. Rata-rata proporsi tujuan pembelajaran sebesar 0,85. Sensitivitas butir soal pada THB tindakan moral (moral acting) siswa berada pada rentang 0,32-0,37. Butir soal THB tindakan moral (moral acting) semuanya berkategori sensitif karena nilai sensitivitasnya di atas 0,30. (b) Respon siswa terhadap Pembelajaran Deskripsi respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pemaknaan dalam pembelajaran IPA dan penumbuhan sensitivitas moraldiperoleh berdasarkan rekapitulasi hasil angket respon siswa. Hasil analisis respon siswa terhadap model pembelajaran pemaknaan

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 149

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

pada kelas penelitian dapat diuraikan pada Tabel 3.5 berikut ini.

Manusia efektif dalam membelajarkan IPA menumbuhkan sensitivitas moral siswa SMP.

Tabel 3.5 Respon Siswa Terhadap Pembelajaran

Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Berdasarkan proses internalisasi moral, kesensitifan seseorang akan nilai moral terhadap fenomena di sekitarnya sebenarnya tahap awal bagi penanaman moral dalam diri seseorang. Tahap-tahap yang lain adalah keputusan moral, motif moral, dan aplikasi moral. Diperlukan penelitian yang mendalam mengenai potensi model pembelajaran pemaknaan untuk mengajarkan aspek-aspek moral yang lainnya. 2. Peneliti menyarankan untuk lebih mendalami potensi model pembelajaran pemaknaan untuk mengajarkan nilai-nilai lainnya seperti budi pekerti, sikap positif, serta akhlak ulkarimah.

No

Uraian Pertanyaan

Respon Penilaian (%) (+)

1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Respon tertarik pada materi,BAS, LKS, Fase pemaknaan Respon baru pada materi, BAS, LKS, Fase pemaknaan, LP. Psikomotor Respon mudah pada bahasa BAS, materi dan LKS Respon mudah mengikuti sintaks pemaknaan Respon berminat pada penerapan model pemaknaan Respon kejelasan pada kegiatan Respon mudah pada THB kognitif, psikomotor, afektif Respon baru pada THB kognitif, psikomotor, afektif

( -)

89

11

87

13

92,4

7,6

85,5

14,5

88

12

97 92

3 8

94

6

dan

DAFTAR PUSTAKA

Data pada Tabel 3.5 menunjukkan bahwa respon siswa dalam pembelajaran IPA dengan model pembelajaran pemaknaan mendapatkan respon positif. (c) Hambatan-hambatanpenelitian Hambatan yang dihadapi selama proses pembelajaran berlangsung diantaranya, siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran pemaknaan, keterbatasan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum, yang kesemuanya berpengaruh terhadap proses pembelajaran pada penelitian ini. Solusi untuk hambatan berupasiswa belum terbiasa dengan model pembelajaran pemaknaan adalah dengan membiasakan siswa dengan sintaks model pembelajaran pemaknaan. Demikian juga dengan keterbatasan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum dapat diatasi dengan mengusahakan alat dan bahan yang belum lengkap. Menurut Purwanto (2002), berhasil atau tidaknya belajar dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dibedakan menjadi faktor individual dan faktor sosial. Salah satu faktor sosial yang mempengaruhi proses belajar adalah alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar. Sekolah yang memiliki peralatan dan perlengkapan yang diperlukan akan mempermudah dan mempercepat belajar anak-anak.

Ali, Muhammad. 2004. Guru dalam Proses Mengajar. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.

PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil dan diskusi yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan bahwa pengembangan perangkat pembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaran pemaknaan pada materi pokok Sistem Pernapasan

Taylor,W. 1953. Cloze Prosedure. Dalam http://english.byu.edu/novelinks/reading%20strate gies/anthemcloze%20general.htm).

Arends, I. Richard. 1997. Learning to Teach. New York: Mc. Graw Hill Companies, Inc. Blazi, Augusto. 1995. Moral Integration. DalamKurtines, W.M. &Gewirtz, J.L. Moral Development, an Introduction. Needham Heights: A Simons and Schuster Company. Ibrahim, Muslimin. 2008. Model Pembelajaran IPA InovatifmelaluiPemaknaan. Surabaya: Depdiknas Balitbang. Mursidin. 2011. Moral Sumber Pendidikan. Bogor: Ghalia Indonesia. Purwanto, Ngalim. 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rest, James. 1995. The Four Components of Acting Morally. dalamKurtines, W.M. &Gewirtz, J.L. Moral Development, an Introduction. Needham Heights: A Simons and Schuster Company. Samani, M dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tiagarajan, S., Dorothy S.Semmel & M.I, Semmel. 1974. Instructional Development for Training Center of Expectional Children. Blomington: Center for Innovation on Teaching The Handicapped.

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 150

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

http://readbulityformula.com/free-readbulity-formulaassessment.php, diakses pada tanggal 6 Nopember 2013)

Pengembangan Perangkat Pem belajaran IP A Biologi Berbasis Model P emb elajaran Pemaknaan dalam Pemb elajaran IP A dan Penumbuhan Sensitivitas Moral

| 151

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

MODEL MENTAL MAHASIWA BARU DALAM MEMAHAMI KONSEP STRUKTUR ATOM DITINJAU DARI PENGETAHUAN AWAL Sunyono1) Leny Yuanita2) Muslimin Ibrahim3) 1) Prodi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lampung 2) Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstract: Several studies have shown that mental models can affect a student's ability to perform reasoning on external representation faced. Student mental models are generally used to thinking in order to solve the problem. This study aims to look at the characteristics of mental models beginning of students in understand the concept of atomic structure. Samples were taken at random from the students of Department of Mathematics and Natural Sciences, class of 2012 with the grouping based on students' prior knowledge. The number of samples involved as many as 72 people consisting of students with the prior knowledge of high, medium, and low. Diagnostic tests are used to see the essays shaped the emergence of mental models. The results showed that for all groups of prior knowledge, mental models beginning of students in understand the concept of atomic structure is still dominated by verbal mental model with the category of "very bad" and "bad" or the characteristics of mental model "formless/not clear" and mental model "intermediates_1." These results imply that the mental models of students can be used as a reference in setting learning to help students in solving problems related to the three levels of chemical phenomenon. To build a mental models of students towards a better, should be designed study involving interconnected between the third-levels of chemical phenomenon (macro, submicro, and symbolic). Keywords: mental models, prior knowledge; atomic structure.

PENDAHULUAN Pembelajaran kimia pada dasarnya mencakup tiga jenis representasi kimia, yaitu makro, submikro, dan simbolik. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan menafsirkan representasi (terutama submikro) dalam membuat terjemahan di antara ketiga jenis representasi tersebut dan dalam membangun kemampuan representasional mereka (Johnstone, 1993; Treagust, et al., 2003; Chittleborough, and Treagust, 2007; Gkitzia, et al., 2011). Oleh sebab itu, dalam membangun pengetahuan konseptual yang lebih mendalam hendaknya pembelajaran kimia dilakukan dengan melibatkan ketiga jenis representasi tersebut. Pada kenyataannya, pembelajaran kimia yang berlangsung selama ini cenderung memprioritaskan hanya pada jenis representasi makroskopik dan simbolik secara verbal (Chittleborough and Treagust, 2007; Liliasari, 2007; Sunyono, dkk., 2011). Dalam pembelajaran, representasi submikroskopik umumnya hanya di represensikan secara verbal, dan model-model molekul kurang mendapatkan apresiasi, padahal model-model molekul tersebut dapat menjembatani pembelajaran kimia di antara ketiga jenis representasi kimia (makro, submikro, dan simbolis). Penelitian yang telah dilakukan oleh Tasker dan Dalton (2006) menunjukkan bahwa penggunaan model

konkrit, representasi gambar, animasi dan simulasi telah terbukti menguntungkan bagi proses pemahaman konsep kimia pembelajar khususnya pada konsep level molekul atau submikroskopik. Menurut Tasker dan Dalton (2006) bahwa “Chemistry involves interpreting observable changes in matter (eg. colour changes, smells, bubbles) at the concrete macroscopic or laboratory level and in terms of imperceptible changes in structure and processes at the imaginary sub-micro or molecular level.” Ilmu kimia selalu melibatkan proses-proses perubahan yang dapat diamati (misalnya perubahan warna, bau, gelembung) di tingkat makroskopik atau laboratorium, dan perubahan yang tidak dapat diamati dengan indera mata, seperti perubahan struktur atau proses di tingkat sub-mikro atau molekul imajiner. Perubahan-perubahan di tingkat molekuler ini kemudian digambarkan pada tingkat simbolik yang abstrak dalam dua cara, yaitu secara kualitatif: menggunakan notasi khusus, bahasa, diagram, dan simbolisme, dan secara kuantitatif dengan menggunakan matematika (persamaan dan grafik). Pernyataan Tasker & Dalton (2006) tersebut berkaitan dengan transformasi representasi eksternal ke dalam representasi internal (yang selanjutnya diekspresikan sebagai model mental). Pakar psikologi kognitif Johnson-Laird (dalam Solaz-Portolẻs and Lopez, 2007) merumuskan suatu definisi model mental dalam

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 152

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya upayanya untuk menjelaskan proses-proses penalaran seseorang dalam mengerjakan tugas silogisme dan membentuk representasi internal berupa model mental dalam suatu working memory (memori kerja = MK) tentang dunia dan mengkombinasikan informasi yang telah tersimpan dalam memori jangka panjang dengan informasi yang ada pada karakteristik dari tugas tersebut, kemudian diekstrak oleh proses-proses perseptual dalam memori. Senge (2004) mendefinisikan model mental sebagai berikut “Mental models are deeply held internal images of how the world works, images that limit us to familiar ways of thinking and acting. Very often, we are not consciously aware of our mental models or the effects they have on our behavior.” Definisi dari Senge tersebut dapat diartikan bahwa model mental merupakan image (gambaran) internal yang dipegang teguh tentang bagaimana dunia bekerja, gambaran yang membatasi kita untuk berpikir dan bertindak. Sering terjadi, kita tidak menyadari adanya model mental atau pengaruhnya terhadap perilaku kita. Beberapa penelitian tentang model mental telah menemukan bahwa banyak siswa memiliki model mental yang sangat sederhana tentang fenomena kimia, misalnya model-model atom dan model-model molekul yang digambarkan sebagai struktur diskrit dan konkrit, namun tidak memiliki keterampilan membangun model mental yang lebih komplek (Chittleborough and Treagust, 2007; Coll, 2008; Guzel & Adadan, 2013). Guzel & Adadan (2013) memanfaatkan beberapa representasi dalam pembelajaran untuk mengembangkan pemahaman kimia mahasiswa calon guru tentang struktur materi. Hasilnya, meskipun mahasiswa telah mampu mengembangkan kemampuan representasional, namun gambar struktur yang dibuat masih sangat sederhana. Coll (2008) melaporkan dalam penelitiannya tentang “mental models of chemical bonding” bahwa baik siswa sekolah menengah, sarjana, maupun pascasarjana lebih suka dengan model mental yang sederhana dan realistis. Chittleborough and Treagust (2007) dalam penelitiannya melaporkan bahwa model mental pembelajar dapat terbentuk melalui interpretasi, pemahaman, dan penjelasan terhadap fenomena representasi submikro, namun kebanyakan pembelajar lebih suka menggunakan model mentalnya pada fenomena representasi yang sederhana. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan visualisasi yang cocok untuk suatu topik pembelajaran. Studi yang dilakukan Sunyono, dkk (2011) melaporkan bahwa model mental mahasiswa masih cenderung berada pada level makroskopis dan simbolis, level submikroskopisnya masih belum terbangun dengan

Vol. 2 No. 3, April 2014

baik. Ini disebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat interpretasi terhadap fenomena sumikro. Merujuk pada hasil penelitian Sunyono, dkk (2009), pembelajaran topik struktur atom hendaknya dilakukan dengan melibatkan representasi submikroskopis, karena karakteristiknya yang bersifat abstrak dan teori atom atau sifat materi merupakan konsep utama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Gkitzia, et al., 2011). Park, et al (2009) menyatakan bahwa teori tentang atom adalah konsep yang utama dalam pembelajaran sains dan konsep-konsepnya bersifat abstrak, sehingga cara mengajar dan belajar tentang teori atom perlu diperhatikan dengan baik, terutama dalam memilih strategi dengan memanfaatkan visualisasi. Wang (2007) dalam disertasinya melaporkan bahwa pembelajaran tentang struktur atom, terutama kedudukan elektron dalam atom memerlukan model visualisasi yang dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat membantu mahasiswa dalam melakukan interpretasi terhadap fenomena elektron dalam atom dan model mental mahasiswa dapat terbangun dengan baik. Hilton & Nichols (2011) melaporkan bahwa pemahaman terhadap fenomena yang lebih kompleks dan abstrak seperti topik struktur atom, tidak dapat dicapai oleh pembelajar tanpa melibatkan representasi submikroskopik dan simbolik. Demikian pula, penelitian yang dilakukan oleh Guzel & Adadan (2013) melaporkan bahwa pembelajaran yang dirancang dengan mengembangkan pemahaman terhadap berbagai representasi (fenomena makro, submikro, dan simbolis) dapat menghasilkan pemahaman representasional yang lebih mendalam tentang struktur materi dan dapat dipertahankan hingga 17 bulan lamanya. Para peneliti mempelajari model mental seseorang dengan mengelompokkan ke dalam beberapa karakteristik, seperti: Norman (dalam Barsalou, 1992) membagi karakteristik model mental menjadi 2 bagian, yaitu model mental struktural dan model mental konseptual. Pada penelitian bidang pendidikan, umumnya para peneliti mempelajari model mental dengan memfokuskan pada model konseptual. Terkait dengan penelitian model mental dalam pendidikan, Wang (2007) dan Jaber & Boujaoude (2012) mengklasifikasi karakteristik model mental (konseptual) ke dalam tiga kategori berdasarkan skor perolehan jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan dalam tes model mental, yaitu: model mental “tinggi” (jawaban mahasiswa mencapai ≥ 70% benar), model mental “moderat” (jika 50% > jawaban mahasiswa benar < 70%), dan model mental “rendah” (jawaban mahasiswa yang benar ≤ 50%). Sedangkan Park, et al (2009) mengklasifikasi karakteristik model mental ke dalam 5 bagian, yaitu (1)

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 153

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya model mental awal yang tidak berbentuk atau tidak jelas adalah model mental yang sudah dibawa oleh seseorang sejak lahir dan muncul akibat informasi dari lingkungan yang salah atau konsep/penjelasan dan gambar struktur yang dibuat sama sekali tidak dapat diterima secara Program Studi

Pengetahuan Awal Mahasiswa Tinggi Sedang Rendah

Jumla h

Pendidikan 6 6 6 18 Matematika Pendidikan 6 6 6 18 Fisika Pendidikan 6 6 6 18 Kimia Pendidikan 6 6 6 18 Biologi 24 24 24 Jumlah 72 keilmuan atau pembelajar sama sekali tidak memiliki konsep; (2 ) model mental intermediet 1 adalah model mental yang sudah mulai terbentuk dan ditandai dengan konsep/penjelasan yang diberikan mendekati kebenaran keilmuan dan gambar struktur yang dibuat tidak dapat diterima atau sebaliknya; (3) model mental intermediet 2 adalah model mental pembelajar yang ditandai dengan konsep/penjelasan yang dimiliki pembelajar benar sebagian dan gambar struktur yang dibuat mendekati kebenaran keilmuan; (4) model mental intermediet 3 merupakan model mental yang dapat dikategorikan sebagai model mental konsensus, yaitu ditandai dengan konsep/penjelasan yang dimiliki pembelajar dapat diterima secara keilmuan dan gambar struktur yang dibuat mendekati kebenaran atau sebaliknya penjelasan/konsep yang dimiliki belum dapat diterima dengan baik secara keilmuan, tetapi gambar struktur yang dibuat tepat; dan (5) model mental target adalah model mental yang ditandai dengan konsep/penjelasan dan gambar struktur yang dibuat pembelajar tepat secara keilmuan. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: “bagaimana karakteristik model mental mahasiswa baru dalam memahami konsep struktur atom?” METODE PENELITIAN Desain Penelitian dan Sampel Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, sehingga dalam pelaksanaanya tidak memerlukan pengontrolan terhadap perlakuan. Fokus dalam penelitian adalah model mental mahasiswa baru dalam memahami struktur atom yang selanjutnya disebut sebagai model mental awal. Sampel dalam penelitian dipilih secara acak dengan teknik stratified random sampling dari mahasiswa Jurusan PMIPA angkatan 2012. Sampel diambil dengan cara dikelompokkan berdasarkan

Vol. 2 No. 3, April 2014

pengetahuan awal kimia mahasiswa melalui pretes terhadap tingkat penguasaan konsep struktur atom. Soal pretes untuk pengelompokan ini di ambil dari bank soal UN dan tes masuk perguruan tinggi berbentuk tes objektif 5 opsi. Berdasarkan hasil tes pengetahuan awal tersebut, mahasiswa di kelompokkan ke dalam kelompok berpengetahuan awal tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya masing-masing program studi dan kelompok diambil 6 orang mahasiswa, sehingga total sampel penelitian berjumlah 72 orang yang kemudian dijadikan 2 kelas. Hasil pemilihan sampel mahasiswa secara rinci dicantumkan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Jumlah Mahasiswa sebagai Sampel Penelitian Instrumen dan Analisis Data Model mental awal mahasiswa yang diukur dalam penelitian ini adalah model mental konseptual yang muncul sebagai respon terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam soal tes diagnostik pada topik struktur atom (terutama model atom Rutherford, Bohr, dan mekanika gelombang). Instrumen yang digunakan untuk mengetahui kemunculan model mental awal mahasiswa tersebut adalah berbentuk tes diagnostik model mental atau disebut tes model struktur atom (TMS). Instrumen tes diadaptasi dari model yang dikembangkan oleh Wang (2007) dan Park & Light (2009), yaitu berupa tes tertulis berbentuk essay yang dilengkapi dengan gambar submikro. Jumlah soal diagnostik dalam penelitian ini sebanyak 4 item tes. Selanjutnya dilakukan wawancara terhadap 3 (tiga) orang mahasiswa yang terpilih yang mewakili masing-masing kelompok pengetahuan awal. Wawancara terhadap mahasiswa ini dilakukan untuk mengetahui lebih mendalam tentang jawaban mahasiswa dan kesulitan-kesulitan yang muncul dalam menyelesaikan masalah. Data yang diperoleh dari hasil tes diagnostik dan wawancara tersebut selanjutnya dianalisis dengan cara ditranskripsi dan dikategorisasi, sehingga dapat diidentifikasi model mental awal mahasiswa dan kesulitan-kesulitan yang umum terjadi ketika berhadapan dengan repesentasi eksternal level submikroskopik, terutama dalam menyelesaikan masalah tentang konsep model atom. Untuk mengkategorisasi kemunculan model mental, terhadap jawaban mahasiswa atas soal tes diagnostik dilakukan dengan sistem penskoran. Teknik penskoran dilakukan dengan menggunakan rubrik, yaitu dengan cara menilai jawaban mahasiswa atas soal tes dengan uraian menggunakan label untuk menentukan tingkat pencapaian penyelesaian masalah. Tingkat pencapaian penyelesaian masalah tersebut selanjutnya di

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 154

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dikategorikan sebagai model mental “buruk sekali” (bila skor = 1), “buruk” (skor = 2), “sedang”atau “moderat” (skor = 3), “baik” (skor = 4), dan “baik sekali” (skor = 5). Berdasarkan hasil penskoran dan kategorisasi tersebut, selanjutnya model mental mahasiswa yang muncul dikarakterisasi ke dalam 5 karakter model mental (Park, et al., 2009), yaitu model yang tidak jelas, intermediet 1, intermediet 2, intermediet 3, dan target. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pertanyaan pada tes diagnostik untuk melihat kemunculan model mental awal mahasiswa dalam memahami topik struktur atom meliputi 4 pertanyaan tentang model atom inti (Rutherford), model atom Bohr, dan model mekanika gelombang. Pertanyaan yang diajukan mencakup interpretasi terhadap fenomena submikro melalui penjelasan verbal, gambar visual, dan simbolik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi, sedang, dan rendah memiliki kemampuan model mental yang sama, yaitu berada pada kategori “buruk” dan “buruk sekali.” Hasil analisis kemunculan model mental awal mahasiswa sebagai respon terhadap pertanyaan tes diagnostik model struktur atom (TMS) dicantumkan pada Gambar 1 berikut.

Keterangan: Pengetahuan Awal T = Tinggi; S = Sedang; dan R = Rendah Gambar 1 Persentase Mahasiswa dengan Model Mental Awal pada Karakteristik Tertentu untuk Tiap Item Tes Berdasarkan jawaban mahasiswa atas pertanyaan TMS_1 dapat dikatakan bahwa mahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi, sedang, dan rendah memberikan respon yang tidak berbeda, sehingga menghasilkan model mental awal yang sama, yaitu “buruk” dan “buruk sekali.” Mahasiswa dengan modal pengetahuan kimia dari sekolah

Vol. 2 No. 3, April 2014

menengah (SMA) masih belum mampu melakukan transformasi dari makroskopik (fenomena percobaan Thomson, Goldstein, Chadwick, dan Rutherford) ke fenomena submikroskopik dan simbolik, yaitu dengan melakukan imajinasi terhadap susunan partikel dalam atom kemudian menyusun gambar submikro tentang bagian-bagian dari atom dan menuliskan secara simbolik susunan elektron, proton, dan netron dalam suatu atom berdasarkan gambar visual. Gambar visual yang dibuat mahasiswa masih sangat sederhana dan sebagian besar (41,67%) nampak tidak dapat membedakan antara model atom Rutherford dan model atom Bohr. Kesulitan mahasiswa dapat disebabkan karena mahasiswa tidak biasa dilibatkan dengan fenomena sub-mikroskopik dalam pembelajaran. Hasil ini nampaknya sesuai dengan pernyataan beberapa peneliti bahwa pemahaman terhadap konsep kimia tidak saja pemahaman terhadap algoritmanya saja atau hapalan secara verbal saja, tetapi juga menuntut pemahaman terhadap fenomena representasi submikroskopik dari struktur molekul atau atom (Ben-Zvi, et al., 1987; Coll and Treagust, 2003; Davidowitz, et al., 2010). Penelitian lain, seperti Coll (2008) menyatakan bahwa kemampuan peserta didik untuk mengoperasikan atau menggunakan model mental mereka dalam rangka menjelaskan peristiwa-peristiwa yang melibatkan penggunaan representasi submikro sangat terbatas, sehingga perlu adanya latihan dalam menginterpretasikan gambar visual submikro melalui pembelajaran yang melibatkan 3 level fenomena kimia. Selanjutnya Devetak, et al. (2009) menemukan bahwa mahasiswa yang belum di latih dengan representasi eksternal akan mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan struktur submikro dari suatu molekul atau atom. Analisis terhadap jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan TMS_2 menunjukkan hasil yang sama dengan hasil analisis TMS_1. Untuk semua pengetahuan awal (tinggi, sedang, dan rendah) mayoritas mahasiswa (>66,00%) memiliki model mental awal dalam memahami model orbit Bohr berada pada kategori “buruk” dan “buruk sekali,” atau dengan karakteristik model mental “yang tidak berbentuk/tidak jelas” dan “intermediet 1. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan modal pengetahuan awal yang diperoleh dari bangku sekolah menengah, mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam membuat transformasi fenomena verbal ke visual tentang model atom Bohr. Kesulitan tersebut disebabkan mahasiswa tidak melakukan imajinasi dengan baik akibat belum dilatihnya dalam melakukan imajinasi representasi terhadap fenomena submikro tentang struktur atom model Bohr.

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 155

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Hasil analisis terhadap jawaban mahasiswa atas pertanyaan TMS_2 menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi dan sedang (25,00% dan 20,83%) sebenarnya mampu melakukan interpretasi dan membuat transformasi terhadap fenomena yang diberikan, namun ada kesalahan pemahaman dalam menggambarkan model atom flour dan natrium. Jawaban mahasiswa terinterferensi dengan model mekanika gelombang, yaitu dengan membuat konfigurasi elektron menggunakan orbital s dan p, padahal yang ditanyakan adalah model Bohr yang belum mengenal istilah orbital. Akibat adanya kesalahan interpretasi tersebut jawaban mahasiswa atas soal TMS_2 menghasilkan model mental awal dengan kategori “buruk” dan “buruk sekali.” Hasil wawancara mengindikasikan bahwa kemampuan melakukan interpretasi tersebut dalam membedakan model Bohr dan model mekanika gelombang memang tidak dilatihkan dalam pembelajaran sewaktu mereka duduk dibangku sekolah menengah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wang & Barrow (2013) bahwa pembelajaran yang tidak melibatkan integrasi antara representasi submikro dan simbolik menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam menggambarkan dan menjelaskan model atom Bohr secara rinci (dan tepat). Terhadap pertanyaan TMS_3 dan TMS_4 juga menunjukkan hal yang sama, di mana dengan pengetahuan awal kimia mahasiswa yang diperoleh sewaktu duduk di sekolah menengah masih belum mampu membangun model mental awal dengan baik. Mayoritas mahasiswa (>95,00%) memiliki kemampuan yang sangat rendah dalam menyelesaikan masalah tentang konfigurasi elektron model Bohr dan model mekanika gelombang, sehingga menghasilkan model mental awal yang berada pada kategori “buruk” dan “buruk sekali,” atau dengan karakteristik model mental “yang tidak berbentuk/tidak jelas” dan “intermediet 1.” Pertanyaan TMS_3 merupakan pertanyaan yang terkait dengan pernyataan visual, dimana mahasiswa diminta untuk membuat transformasi dari verbal ke visual (submikro) dan simbolik atau sebaliknya tentang penentuan orbit elektron menurut Bohr kemudian membuat gambaran visual melalui diagram tingkat energi. Untuk semua pengetahuan awal mahasiswa menunjukkan bahwa mayoritas (>95,00%) mengalami kesulitan dalam membuat transformasi yang diminta. Mahasiswa tidak mampu memberikan gambar orbit elektron yang sesuai dengan model Bohr dan diagram tingkat energi dengan baik. Analisis terhadap jawaban mahasiswa atas pertanyaan TMS_3 memberikan informasi bahwa baik mahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi, sedang, dan

Vol. 2 No. 3, April 2014

rendah, sama-sama belum mampu melakukan interpretasi terhadap energi elektron pada tingkat tertentu dan energi transisinya, serta belum mampu memberikan penjelasan bagaimana dengan energi kinetik dan energi potensial dari elektron dalam atom hidrogen pada orbit n = 1 dan n = 3. Mahasiswa juga belum mampu membuat interpretasi terhadap energi kinetik dan energi potensial dari elektron dalam atom hidrogen yang didasarkan pada logika matematik melalui perhitungan energi pada n = 1 dan n = 3, serta energi transisi ketika elektron melompat dari orbit n = 3 ke n = 1. Hasil yang sama juga terjadi pada jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan TMS_4. Pertanyaan pada TMS_4 merupakan pertanyaan yang terkait dengan hubungan antara tingkat energi dan konfigurasi elektron berdasarkan orbitalnya, di mana mahasiswa diminta untuk membuat transformasi dari verbal (makro) ke visual (submikro) dan simbolik atau sebaliknya tentang konfigurasi elektron berdasarkan diagram tingkat energi dari suatu atom dan keempat bilangan kuantumnya, kemudian membuat gambaran visual tentang diagram tingkat energi dari setiap orbital yang terisi oleh elektron. Pada jawaban mahasiswa nampak bahwa mahasiswa belum memiliki kemampuan dalam menentukan dan memberikan penjelasan tentang tingkat energi dari elektron pada orbital-orbital dari atom flour. Kesulitan dalam menentukan tingkat energi merupakan faktor penyebab mahasiswa tidak dapat membuat gambar visual tentang diagram tingkat energi dan menentukan keempat bilangan kunatum dari elektron atom flour dengan tepat. Dalam hal ini, mahasiswa lebih banyak menggunakan istilah-istilah kulit elektron yang merupakan konsep model atom Bohr bukan konsep mekanika gelombang. Mahasiswa terinterferensi dengan konsep model Bohr, padahal pada konsep mekanika gelombang istilah kulit elektron sebaiknya dihindari, karena kedudukan elektron tidak dapat ditentukan secara pasti, sehingga akan lebih sesuai bila digunakan istilah tingkat energi dan orbital. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa kesulitan dalam membedakan model atom Bohr dan model mekanika gelombang, karena menurut mahasiswa, model atom mekanika gelombang tidak dipelajari secara detail ketika mereka belajar di sekolah menengah. Hasil wawancara juga memberikan informasi bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapai mahasiswa disebabkan sewaktu mereka duduk dibangku sekolah menengah tidak mendapatkan pengalaman dalam melakukan interpretasi terhadap orbit elektron menurut Bohr dan energi yang menyertai pergerakan elektron tersebut, serta bagaimana model mekanika gelombang

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 156

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dalam memberikan penjelasan tentang kedudukan dan perilaku elektron di dalam atom. Hasil-hasil analisis tersebut di atas, nampaknya sejalan dengan temuan Park & Light (2009) bahwa kesulitan mahasiswa dalam memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak dapat disebabkan oleh pengalaman sehari-hari yang tidak mendukung dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan fenomena representasi submikro. Selanjutnya menurut Park, et al (2009), teori tentang atom adalah konsep utama dalam sains, sehingga cara mengajar dan cara belajar tentang teori atom melalui model-model atom perlu diperhatikan dengan baik dalam memilih strategi yang mampu meningkatkan kemampuan model mental mahasiswa dari model “inetrmediet 1” dengan kategori “buruk” ke model mental “intermediet 3” dan “target” dengan kategori “baik” dan “baik sekali.” Wang & Barrow (2013) melaporkan bahwa mahasiswa dengan skor model mental moderat (sedang) dan rendah sangat sulit dalam membuat visualisasi fenomena elektron dalam atom dan transisi energinya. Wang (2007) dalam disertasinya melaporkan bahwa mahasiswa dengan skor model mental tinggi, sedang, dan rendah sama-sama memiliki kesulitan dalam hal visualisasi elektron dalam atom. Demikian pula, Hilton & Nichols (2011) melaporkan bahwa pemahaman terhadap fenomena yang lebih kompleks dan abstrak tidak dapat dicapai tanpa penggunaan berbagai representasi, terutama integrasi antara representasi level submikroskopik dan simbolik. Berdasarkan temuan ini dan dukungan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pembelajaran yang tidak memberikan pengalaman dan latihan kepada mahasiswa dalam melakukan interpretasi, penjelasan konseptual, dan transformasi di antara ketiga level fenomena kimia akan menghasilkan penyelesaian masalah kimia yang rendah, sehingga sulit membangun model mental dengan kategori “baik” dan “baik sekali.” Implikasi dari penelitian ini adalah analisis terhadap model mental awal dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan strategi pembelajaran kimia dasar. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam membangun model mental adalah pembelajaran dengan melibatkan tiga jenis representasi kimia (fenomena makro, submikro, dan simbolik). Tujuannya agar mahasiswa mampu memberikan eksplanasi dan memperoleh pengetahuan konseptual yang mendalam, sehingga mahasiswa dapat lebih mudah dalam menyelesaikan masalah-masalah kimia yang terkait dengan konsep-konsep abstrak. Studi tentang model mental awal ini sangat diperlukan sebagai pijakan dalam

Vol. 2 No. 3, April 2014

menentukan strategi pembelajaran. Mengingat model mental merupakan suatu representasi internal yang dipakai oleh seseorang untuk berpikir dan dengan demikian mempengaruhi perkembangan kognitif pembelajar (Chittleborough, and Treagust, 2007; Tasker & Dalton, 2006; Senge, 2004; Ben-Zvi, et al., 1987). SIMPULAN 1. Model mental awal mahasiswa dalam memahami konsep struktur atom masih didominasi oleh model mental yang bersifat verbal dengan kategori “buruk sekali” dan “buruk” atau dengan karakteristik model mental “yang tidak jelas” dan model mental “intermediet 1,” baik untuk mahasiswa dengan pengetahuan awal kimia tinggi, sedang, dan rendah. 2. Kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam menginterpretasikan fenomena kimia antara lain: a. mengidentifikasi representasi eksternal (verbal dan visual) tentang kedudukan elektron, proton, dan netron dalam atom sesuai dengan masing-masing model atom (model partikel, model inti, dan mekanika gelombang).. b. mentransformasi representasi submikro (visual) ke verbal dan simbolik atau sebaliknya. c. belum terlatih dalam melakukan imajinasi terhadap fenomena representasi submikro. SARAN / REKOMENDASI 1. Model mental awal hasil penelitian ini merupakan gambaran awal kemampuan mahasiswa dalam berpikir tentang konsep struktur atom. Informasi tentang model mental awal dapat dijadikan pijakan dalam menentukan strategi pembelajaran kimia dasar untuk membangun pemahaman konsep yang bermakna. Membangun pemahaman konsep yang bermakna memerlukan pengembangan model mental dan pengemasan pembelajaran untuk menghasilkan keterampilan penalaran yang sistematis. 2. Model pembelajaran yang dapat mengembangkan model mental mahasiswa ke arah model mental “baik” dan “baik sekali” adalah model pembelajaran yang dikemas dengan melibatkan tiga level fenomena kimia (makro, submikro, dan simbolik) melalui strategi kooperatif dan imajinatif.

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 157

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

DAFTAR PUSTAKA Barsalou, L.W. (1992). “Cognitive Psychology: An Overview for Cognitive Scientist,” LEA (Lawrence Erlbaum Associates), Inc.Publisher. Hillsdale., New Jersey. 410 page. Ben-Zvi, R., Eylon B. and Silberstein, J. (1987). “Students’ Visualisation of A Chemical Reaction,” Educ. Chem., 24, 117-120. Chittleborough, G.D. and Treagust D. F. (2007). “The Modelling Ability Of Non-Major Chemistry Students And Their Understanding Of The SubMicroscopic Level,” Chem. Educ. Res. Pract., 8, 274-292. Coll, R.K. (2008). “Chemistry Learners’ Preferred Mental Models for Chemical Bonding,” Journal of Turkish Science Education, 5, (1), p. 22 – 47. Coll, R.K. and Treagust, D.F. (2003). “Investigation of Secondary School, Undergraduate and Graduate Learners’ Mental Models of Ionic Bonding,” Journal of Research in Science Teaching, 40, p. 464 – 486. Davidowitz, B., Chittleborough, G.D., and Eileen, M. (2010). “Student-Generated Submicro Diagrams: A Useful Tool for Teaching and Learning Chemical Equations and Stoichiometry. Chem. Educ. Res. Pract., 11, 154–164. Devetak, I., Erna, D.L., Mojca, J., and Glažar, S.A. (2009). “Comparing Slovenian Year 8 and Year 9 Elementary School Pupils’ Knowledge of Electrolyte Chemistry and Their Intrinsic Motivation. Chem. Educ. Res. Pract., 10, p. 281– 290. Gkitzia, V., Katerina S., and Chryssa T. (2011). “Development and Application of Suitable Criteria for the Evaluation of Chemical Representations in School Textbooks.” Chem. Educ. Res. Pract., 12, p. 5–14. Guzel, B.Y. & Adadan, E. (2013). “Use of Multiple Representations in Developing Preservice Chemistry Teachers’ Understanding of The Structure of Matter,” International Journal of Environmental & Science Education. 8, No. 1. p. 109-130. Hilton, A. & Nichols, K. (2011).“Representational Classroom Practices that Contribute to Students’ Conceptual and Representational Understanding of Chemical Bonding,” International Journal of Science Education. 33, No. 16. p. 2215–2246.

Vol. 2 No. 3, April 2014

Johnstone, A. H. (1993). “The development of Chemistry Teaching: A Changing Response to Changing Demand”. Journal of Chemical Education, 70. No. 9. p. 701-705. Jaber, L.Z. and Boujaoude, S. (2012. “A Macro–Micro– Symbolic Teaching to Promote Relational Understanding of Chemical Reactions,” International Journal of Science Education. 34, No. 7, p. 973–998. Liliasari, (2007). “Scientific Concepts and Generic Science Skills Relationship In The 21st Century Science Education,” dalam Proceeding of The First International Seminar of Science Education., 27 October 2007. Bandung. 13 – 18. Park, E.J. & Light, G. (2009). “Identifying Atomic Structure as a Threshold Concept: Student Mental Models and Troublesomeness,” International Journal of Science Education. 31, No. 2. p. 233– 258. Park, E.J., Light, G., Swarat, S., & Denise, D. (2009). “Understanding Learning Progression in Student Conceptualization of Atomic Structure by Variation Theory for Learing.” dalam Paper presented at the Learning Progressions in Science (LeaPS) Conference, June 2009. Iowa City, IA. Senge, P.M. (2004). “The Fifth Discipline. The Art and Practice of The Learning Organization.” Doubleday Dell Publishing Group, Inc. New York. 405 page. Solaz-Portolẻs, J.J., and Lopez, V.S. (2007). “Representations in Problem Solving in Science: Directions for Practice,” dalam Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, 8, No. 2. Article 4. Sunyono, Leny Y, & Muslimin I. (2011). “Model Mental Mahasiswa Tahun Pertama dalam Mengenal Konsep Stoikiometri (Studi pendahuluan pada mahasiswa PS. Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lampung,” dalam Prosiding Seminar Nasional V. 6 Juli 2011. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Sunyono, Wirya, I.W., Suyadi, G., dan Suyanto, E. (2009) “Pengembangan Model Pembelajaran Kimia Berorientasi Keterampilan Generik Sains pada Mahasiswa SMA di Propinsi Lampung,” dalam Laporan Penelitian Hibah BersaingTahun I – Dikti, Jakarta.

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 158

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

Tasker, R. & Dalton, R. (2006). “Research Into Practice: Visualization of The Molecular World Using Animations,” Chem. Educ. Res.Prac.7, p.141-159. Treagust, D. F., Chittleborough, G. D., & Mamiala, T. (2003), “The Role of Submicroscopic and Symbolic Representations in Chemical Explanations,” International Journal of Science Education., 25, No. 11, p. 1353–1368. Wang, C.Y. (2007). “The Role of Mental-Modeling Ability, Content Knowlwdge, and Mental Models in General Chemistry Students’ Understanding about Molecular Polari,” Dissertation for the Doctor Degree of Philosophy in the Graduate School of the University of Missouri. Columbia. Wang, C.Y. & Barrow, L.H. (2013). “Exploring Conceptual Frameworks of Models of Atomic Structures and Periodic Variations, Chemical Bonding, and Molecular Shape and Polarity”: A Comparison of Undergraduate General Chemistry Students with High and Low Levels of Content Knowledge. Chem. Educ. Res. Pract.,14. p. 130– 146.

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

| 159

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MEMPREVENSI TERJADINYA MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP REAKSI REDOKS Agus Sri Hono1) Leny Yuanita2) Suyono3) 1) Guru Bidang Studi Kimia SMA Yayasan Pupuk Kaltim Bontang 2) Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Implementasi sebuah model solutif dengan model belajar Learning Cycle 7E bertujuan untuk memprevensi (mencegah) terjadinya miskonsepsi siswa kelas X SMA khususnya pada konsep reaksi redoks. Subjek penelitian siswa kelas X-2, X-3, dan X-4 SMAN Model Terpadu Bojonegoro. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen dengan one group pretest-postest design dengan tindakan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan menerapkan model Learning Cycle 7E (Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluation, Extend). Identifikasi miskonsepsi menggunakan three tier diagnostic test. Variabel respon dalam penelitian ini adalah konsepsi dan hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran prevensi terjadinya miskonsepsi siswa dalam pembelajaran konsep redoks dengan menerapkan model Learning Cycle 7E. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan menerapkan model Learning Cycle 7E berhasil menambah proporsi siswa tahu konsep dan meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep reaksi redoks. Kata-kata Kunci: Miskonsepsi, Prevensi, Learning Cycle 7E Abstract: Implementation a model of solution using 7E Learning Cycle to prevent student’s misconceptions in grade X of Senior High School particularly on Redox Reaction concept. Research samples were grade X-2, X-3 and X-4 students of Integrated Model Senior High School in Bojonegoro. This study was pre-experiment study using One Group Pretest-Postest design. It was prevention learning of misconception by implementing 7E Learning Cycle Model (Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluation, Extend). Identification of misconceptions used three-tier diagnostic test. Respon variables in this research were conception and student’s achievement on Redox Reaction concept. Data analysis technique were descriptive and inferential analysis. Findings of this study show that prevention learning of misconception by implementing 7E Learning Cycle Model increased student’s proportion of ‘knowing concept’ and successfully student’s achievement of Redox Reaction concept. Keywords: Misconception, Prevention, 7E Learning Cycle Model

PENDAHULUAN Ilmu Kimia sebagai bagian dari sains berkaitan bagaimana memahami alam secara sistematis, sehingga diharapkan siswa mampu menguasai konsep-konsep kimia dengan baik, tanpa adanya miskonsepsi dalam pemikiran siswa. Mengacu pada Lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006 (standar isi mata pelajaran kimia), salah satu tujuan mata pelajaran kimia di SMA/MA adalah memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan seharihari dan teknologi, maka ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses, yaitu kerja ilmiah (Depdiknas, 2006). Simpulan, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Berkaitan karakteristik ilmu kimia sebagai proses, menurut Amien (1988) proses pembelajaran akan berkembang baik jika keterlibatan siswa semakin besar. Prinsip psikologi menyatakan, apabila pada proses belajar keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran semakin

besar, maka makin besar pula bagi siswa untuk mengalami proses belajar. Keterlibatan siswa yang besar dalam pembelajaran biasa disebut sebagai pembelajaran “student centered” atau pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sesuai dengan lampiran permendiknas nomor 22 tahun 2006, bahwa pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pembelajaran dengan proses inkuiri ilmiah yang menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui proses ilmiah. Pemahaman konsep yang baik pada diri siswa, tanpa adanya miskonsepsi merupakan harapan yang diinginkan setelah siswa banyak terlibat dalam pembelajaran. Miskonsepsi adalah pemahaman konsep oleh siswa yang tidak sesuai dengan konsep yang benar menurut para ahli (Suparno, 2005). Menurut Hasan et al. (1999) miskonsepsi adalah pemahaman yang dimiliki seseorang dengan struktur kognitif yang berbeda dengan pemahaman yang diterima secara umum dan yang dianggap mengganggu perolehan pengetahuan baru. Definisi yang hampir sama, Nakhleh (1992) bahwa miskonsepsi adalah setiap konsep yang berbeda dari pemahaman ilmiah yang diterima secara umum, dan menurut Ibrahim (2012) miskonsepsi adalah konsepsi yang dimiliki oleh seseorang yang jelas-jelas berbeda

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 160

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

bahkan seringkali berbeda dengan konsep ilmiah. Simpulannya, miskonsepsi adalah konsepsi yang dimiliki siswa yang bertentangan dengan konsep ilmiah dan yang dianggap menggangu perolehan pengetahuan baru. Miskonsepsi siswa sering ditemukan ketika siswa mempelajari ilmu kimia karena salah satu karakteristik ilmu kimia terdiri atas konsep-konsep yang bersifat abstrak. Penelitian yang mengungkap terjadinya miskonsepsi dalam pembelajaran kimia antara lain: Wahyuningrum dan Suyono (2013) menemukan miskonsepsi siswa pada pokok bahasan struktur atom dan SPU dan Yunianingsih dan Suyono (2013) menemukan miskonsepsi siswa pada pembelajaran ikatan kimia. Konsep-konsep struktur atom, sistem periodik unsur, dan ikatan ikatan kimia merupakan bagian dari konsep prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mempelajari konsep redoks, maka kemungkinan besar ditemukan juga miskonsepsi siswa di dalam pembelajaran reaksi redoks. Sehubungan banyak keterkaitan konsep redoks dengan konsep-konsep kimia yang dipelajari siswa di kelas berikutnya, maka peneliti sengaja melakukan penelitian kemungkinan adanya miskonsepsi siswa pada pokok bahasan reaksi redoks. Kemungkinan adanya miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks diidentifikasi dengan three tier diagnostic test. Menurut Gagne et al. (1988) bahwa kesulitan dalam pemahaman konsep prasyarat akan berpengaruh pada pemahaman konsep berikutnya, sesuai dengan Teori Learning Hierarchy, sebagai contoh untuk menentukan bilangan oksidasi suatu unsur, siswa harus bisa membedakan ciri-ciri molekul senyawa, molekul unsur, ion, dan unsur. Sesuai dengan Lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006, substansi materi kimia telah disusun sedemikian rupa sehingga konsep yang diajarkan lebih awal berfungsi sebagai konsep prasyarat pada konsep berikutnya. Konsep prasyarat pada reaksi redoks antara lain struktur atom, sistem periodik unsur dan ikatan kimia, sehingga dengan pemahaman siswa terhadap konsep prasyarat tersebut diharapkan memperkuat pemahaman terhadap konsep reaksi redoks. Berdasarkan pengertian miskonsepsi yang berarti konsepsi siswa yang bertentangan dengan konsep ilmiah, maka miskonsepsi dimungkinkan dapat dicegah dengan pembelajaran yang mengajarkan metode-metode ilmiah dalam memperoleh pengetahuan baru, yaitu pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E. Model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara langsung berhadapan dengan objek melalui fase ekspolarasi dalam pembelajaran. Model Learning Cycle 7E merupakan hasil penyempurnaan dari Learning Cycle 5E, yang diadaptasi dari Eisenkraf (2003). Learning Cycle 7E mempunyai 7 sintaks yang penting yaitu: (1) Elicit (mendatangkan pengetahuan awal siswa). (2) Engage (mengajak), (3)

Vol. 2 No. 3, April 2014

Explore (eksplorasi), (4) Explain (menjelaskan), (5) Elaborate (menerapkan), (6) Evaluate (mengevaluasi), dan (7) Extend (memperluas). Pembelajaran dengan learning cycle merupakan pembelajaran berbasis penyelidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, memberikan siswa dengan pengalaman ilmu yang lebih otentik seperti layaknya seorang ilmuwan sesuai dengan sifat ilmu dan dapat mendorong pemahaman konsep siswa (Turkmen, 2006). Polyiem et al. (2011) memperoleh temuan bahwa dengan menggunakan Learning Cycle 7E berhasil meningkatkan hasil belajar dan mengembangkan keterampilan berpikir, serta daya nalar siswa. Peneliti yang lain Sumarni (2010) berhasil memprevensi miskonsepsi mahasiswa melalui 3siklus pembelajaran dengan menerapkan model learning cycle. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang penerapan model Learning Cycle 7E untuk memprevensi terjadinya miskonsepsi siswa pada pokok bahasan reaksi redoks. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengimplementasikan sebuah model solutif untuk mengatasi miskonsepsi dengan cara mencegah miskonsepsi siswa kelas X SMA khususnya pada konsep reaksi redoks. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan sebuah tindakan pencegahan miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. Rancangan penelitian yaitu pra-eksperimen jenis one group pretest-posttest design. Penelitian ini dimulai dengan melakukan tes awal (pre-test) yang digunakan untuk mengetahui prakonsepsi siswa dan pembentukan kelompok kooperatif siswa di kelas. Penelitian dilanjutkan dengan pembelajaran model Learning Cycle 7E dengan materi reaksi redoks. Sesudah pembelajaran prevensi dilakukan post-test I untuk memetakan konsepsi siswa sesudah pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E dan mengetahui hasil belajar siswa pada konsep reaksi redoks. Terkait pemetaan konsepsi siswa, berdasarkan hasil post-test I dilakukan pengelompokan konsepsi siswa yang meliputi tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK, dan miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3) berdasarkan respon jawaban siswa pada three tier diagnostics test seperti yang disarankan oleh Arslan et al.(2012). Sasaran penelitian adalah siswa kelas X2, X-3, dan X-4. Teknik pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut: (1) Pengamatan, digunakan untuk menilai keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan sintaks yang telah dirancang oleh guru dalam RPP, menilai kompetensi psikomotorik dan afektif siswa, (2) Tes Pemahaman Konsep, dilakukan dalam dua tahap yaitu tes awal

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 161

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

(pretest), diberikan sebelum kegiatan belajar mengajar pertemuan pertama dan post-test I untuk memperoleh data konsepsi dan hasil belajar siswa setelah tindakan prevensi dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 7E, (3) Kuesioner, digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa setelah diberikan post-test I. Konsepsi siswa dianalisis secara deskriptif dan hasil belajar siswa, selain dianalisis secara deskriptif juga menggunakan statistik untuk membuat simpulan yang berlaku umum. Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 18.0. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: Mann-Whitney Test, Kruskal Wallis Test, Kolmogorov-Smirnov Test dan t-Test dengan uji satu sampel. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Prakonsepsi Siswa Sebelum Prevensi Miskonsepsi Siswa Tujuh buah konsep reaksi redoks yang tersebar dalam 21 butir soal yang dikerjakan siswa, semua berpotensi menyebabkan MK, namun yang terbesar pada konsep reaksi redoks ditinjau dari perubahan elektron. Konsep yang lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya MK adalah bilangan oksidasi, reaksi redoks ditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi. Istilah bilangan oksidasi memang belum pernah dipelajari secara formal di sekolah. Apalagi istilah tersebut tidak tampak dalam suatu unsur, ion, atau senyawa, namun dalam menentukannya perlu dihitung dengan mengikuti aturan tertentu, dan terkait dengan konsep-konsep yang lain. Karakteristik siswa yang berlaku pada kelas X-2, tidak persis sama dengan siswa kelas X-3 dan X-4, namun ada beberapa yang mirip, yaitu prakonsepsi siswa yang berupa TTK dominan pada semua konsep yang diujikan. Merupakan gambaran yang wajar, profil prakonsepsi siswa pada ketiga kelas tersebut dominan pada status TTK, hal ini memberikan gambaran bahwa siswa belum pernah mengikuti pembelajaran konsep reaksi redoks. Siswa belum dilibatkan pembelajaran yang melatihkan tahapan pembangunan konsep (menurut teori konstruktivis).

Vol. 2 No. 3, April 2014

Gambar 3 Diagram Batang Prakonsepsi Siswa Kelas X-4

Keterangan: Konsep A: reaksi redoks menurut tinjauan oksigen Konsep B: reaksi redoks ditinjau dari serah terima elektron Konsep C: Bilangan Oksidasi Konsep D: Redoks menurut tinjauan biloks Konsep E: tata nama senyawa anorganik menurut tinjauan biloks Konsep F: Reduktor dan oksidator Konsep G: Reaksi redoks Terapan

Ditemukan prakonsepsi siswa pada tingkatan MK1, MK2, atau MK3 yang menurut Suparno (2005) guru harus memberikan perhatian lebih pada individu-individu tersebut, sebab berpotensi menyebabkan terjadinya miskonsepsi dalam menerima konsep yang baru. Keberadaan yang wajar ditemukan siswa mempunyai konsepsi alternatif, hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2012) bahwa prakonsepsi (konsep awal) merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomena alam, dalam pembahasan ini adalah reaksi redoks yang belum dipelajari secara formal di sekolah. Sebagian dari konsep awal pada diri siswa ada yang sesuai dengan konsep ilmiah, namun ada yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah, yang disebut mempunyai konsepsi alternatif. Ketika pemahaman siswa atas konsep tertentu berbeda dengan konsep ilmiah, maka tidak boleh dihakimi sebagai miskonsepsi, namun dapat dinyatakan sebagai konsepsi altenatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Horton (2004) bahwa istilah “miskonsepsi” tampaknya terlalu menghakimi dalam pandangan dari sifat tentatif dari ilmu pengetahuan dan fakta bahwa banyak dari konsepsi pada diri anak telah berguna bagi siswa di masa lalu. Sifat tentatif ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kebenarannya dapat berubah jika ditemukan bukti lain yang lebih dipercaya secara ilmiah.

B. Keterlaksanaan Sintaks Model Prevensi Dengan Learning Cycle 7E Keterlaksanaan pembelajaran di dalam penelitian ini diamati oleh dua orang pengamat. Aspek yang diamati terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: keterlaksanaan sintaks yang terskenariokan dalam RPP, aktivitas siswa, dan Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Gambar 1 Diagram Batang Prakonsepsi Siswa Kelas X-2

Gambar 1 Diagram Batang Prakonsepsi Siswa Kelas X-3

| 162

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

penilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS). Ratarata hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran secara keseluruhan pada setiap kelas termasuk ke dalam kategori baik hingga sangat baik. Pelaksanaan pembelajaran prevensi dengan menerapkan model Learning Cycle 7E dilakukan tiga pertemuan untuk setiap kelas. Hasil uji Mann-Whitney yang membandingkan skor-skor penilain sintaks pada kedua pengamat dan untuk menilai kesamaan pandang pengamat terhadap pelaksanaan pembelajaran pada kelas X-2, X-3, dan X-4 pada setiap pertemuan diperoleh nilai p-value > 0,05. Artinya, tidak ada perbedaan signifikan sudut pandang kedua pengamat dalam mengamati keterlaksanaan pembelajaran. Untuk menguji keajegan guru mengajar pada setiap kelas dan setiap pertemuan dilakukan Uji Kruskal Wallis, dan pengajaran pada ketiga kelas diperoleh p-value > 0,05, artinya guru mampu menjaga konsistensi kualitas dalam melaksanakan pembelajaran pada setiap pertemuan pada semua kelas penelitian. Komponen sintaks pembelajaran yang dinilai terdiri dari tujuh fase dari Learning Cycle 7E yang diawali dengan fase elicit, yang mengungkap konsep prasyarat siswa, dilanjutkan fase engage untuk menarik perhatian siswa dengan menghadirkan fenomena. Kegiatan inti dari model pembelajaran Learning Cycle 7E, berupa fase explore, explain, dan elaborate. Fase explore kegiatan belajar mengajar melibatkan siswa dalam merumuskan masalah/pertanyaan penelitian, menjawab pertanyaan penelitian, melakukan penyelidikan, organisasi data, analisis data, menarik simpulan. Pada fase explain siswa menjelaskan hasil kerja selama fase explore, dan pada fase elaborate guru mengajak siswa untuk menggunakan istilah umum untuk mengembangkan pengetahuan baru. Sebagai penutup pengajaran adalah fase evaluate dan extend (memperlihatkan hubungan dengan konsep lain dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari) (Eisenkraf, 2003). Pengamatan terhadap aktivitas siswa dilakukan secara berkelompok. Hasil pengamatan aktivitas siswa yang merepresentasikan keterampilan psikomotorik, perilaku berkarakter, dan keterampilan sosial memperoleh kriteria penilaian baik hingga sangat baik di ketiga kelas penelitian. Hasil penilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS) hampir semua kelompok menunjukkan tanda-tanda kinerja yang positif pada komponen-komponen yang dinilai. Hal ini dapat diartikan bahwa skenario pembelajaran Learning Cycle 7E yang dibantu perangkat LKS telah berhasil mengkondisikan siswa untuk berlatih mengembangkan kognitif proses. Berkaitan dengan aktivitas siswa dalam pengerjaan LKS dan worksheet merupakan bagian dari kegiatan seperti seorang ilmuan yang bekerja dengan metode ilmiah.

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengintegrasian aspek psikomotorik, sikap (karakter), dan keterampilan sosial ke dalam pembelajaran telah dilaksanakan guru dengan baik. Pengintegrasian aspek-aspek tersebut ke dalam proses pembelajaran akan mendukung penguasan konsep yang dibelajarkan. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses, anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dari interaksi-interaksi yang dilakukan (Nur, 2008). Selanjutnya menurut Nur (2008) bahwa Vygotsky berpendapat seperti Piaget, belajar tidak terlepas dengan lingkungan, maka dalam belajar keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok belajar dengan anggota kelompok yang heterogen, sehingga memungkinkan adanya take and give dalam belajar. C. Konsepsi Siswa Sesudah Prevensi Miskonspsi Siswa Pembelajaran dengan model pembelajaran Learning Cycle yang dilakukan untuk mencegah terjadinya miskonsepsi siswa. Profil konsepsi siswa setelah pembelajaran menunjukkan bahwa bahwa pembelajaran dengan Learning Cycle 7E menunjukkan ada peningkatan siswa mengarah ke tahu konsep, namun masih menyisakan banyak beban siswa pada MK1, MK2, dan MK3. Sebagian besar siswa masih bertahan pada status prakonsepsinya. Pendapat ini diperkuat Ibrahim (2012) yang menyatakan bahwa walaupun konsep yang benar telah diperkenalkan kepada siswa, masih terdapat peluang kembali kepada prakonsepsinya sendiri yang salah (miskonsepsi).

Gambar 4. Diagram Pastel Konsepsi Siswa Kelas X2 Setelah Pembelajaran Prevensi

Gambar 6. Diagram Pastel Konsepsi Siswa Kelas X-4 Setelah Pembelajaran Prevensi

Gambar 5. Diagram Pastel Konsepsi Siswa Kelas X3 Setelah Pembelajaran Prevensi

Ket. Gambar

Sesuai dengan teori Piaget (di dalam Suparno, 2000) bahwa siswa yang mempunyai prakonsepsi tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang dimiliki siswa, karena pengalaman yang baru tidak sesuai dengan skema yang ada. Pada keadaan yang demikian siswa akan melakukan akomodasi. Jika

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 163

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

dibandingkan pada ketiga kelas tersebut, pada kelas X-2, justru yang dominan adalah siswa yang tidak tahu konsep (TTK), hal ini memberikan gambaran bahwa konsep reaksi redoks belum dipahami oleh siswa. Jika ditinjau dari keterlaksanaan pembelajaran dengan penerapan Learning Cycle 7E kegiatan belajar terlaksana dengan sangat baik dan siswa pun menjalankan aktivitas belajar sesuai dengan fase-fase Model Learning Cycle 7E. Hal yang agak aneh terlihat bahwa profil konsepsi siswa pada kelas X-2 dominan siswa tidak tahu konsep, berbeda dengan X-3 yang sedikit sekali ditemukan siswa berstatus TTK. Siswa yang berstatus TTK juga banyak ditemukan di kelas X-4, namun tidak sebanyak pada kelas X-2. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dari kedua pengamat bahwa pada kelas X-2 ada kekurangan waktu yang lebih banyak dibandingkan siswa pada kedua kelas lainnya. Karena siswa kurang waktu dalam memahami konsep reaksi redoks sehingga pada saat mengerjakan post-test I pada kedua kelas, yaitu kelas X-2 dan X-4 banyak yang memilih “tidak yakin” pada tier-3, sehingga banyak ditemukan siswa berstatus TTK. Melalui angket siswa, diperoleh pendapat siswa bahwa pemahaman konsep reaksi redoks perlu waktu yang cukup agar dapat memahaminya dengan baik. Sebagian kecil siswa merasa pengajaran guru terlalu cepat, siswa belum menguasai benar konsep pada petemuan sebelumnya, sudah dilanjutkan ke materi berikutnya. Apalagi bahwa siswa terbiasa dengan pembelajaran yang berpusat pada guru yang dibawa siswa sejak masih belajar di SMP, sehingga ketika siswa dilibatkan dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti Learning Cycle 7E maka dirasakan berat bagi siswa. Hal ini sesuai dengan kelemahan pembelajaran dengan Learning Cycle 7E bahwa waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena siswa diajak untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannya sendiri (Budiasih, 2003). Pemahaman konsep siswa memerlukan proses. Piaget (di dalam Dahar, 1988) menjelaskan bahwa tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap formal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengkonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu. Sebagai bahan pertimbangan, menurut Miller et al. (di dalam Dazhi and Inanc S., 2013) bahwa prevensi miskonsepsi dengan pembelajaran berbasis inkuiri tidak berhasil dilakukan di

Vol. 2 No. 3, April 2014

sekolah tingkat SLTP dan SLTA), dan baru berhasil pada tingkat universitas. D. Hasil Belajar Siswa Setelah Pembelajaran dengan Learning Cycle 7E Secara deskriptif dengan standar ketuntasan KD = 70, maka pada kelas X-2 hanya satu siswa yang tuntas. Pada kelas X-3 terdapat dua siswa yang tuntas, sedangkan pada kelas X-4 belum ada satu orang pun yang tuntas. Pembelajaran konsep reaksi redoks menggunakan Learning Cycle 7E belum mampu menghantarkan siswa mencapai ketuntasan baik secara individual maupun klasikal. Secara klasikal berarti siswa yang tuntas di kelas di atas 75%. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya tingkat prakonsepsi dan kemampuan prasyarat yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan penghitungan sumber-sumber miskonsepsi siswa yang diuraikan di subbab berikutnya yang diperoleh simpulan prakonsepsi merupakan sumber miskonsepsi terbesar dan disusul oleh kemampuan prasyarat di antara 3 faktor yang dihimpun datanya. Secara inferensial pembelajaran dengan model Learning Cycle 7E berdampak positip dalam peningkatan hasil belajar siswa secara signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%, namun jika ditinjau dari ketuntasan belajar model Learning Cycle 7E belum menunjukkan ada keberhasilan. Jika melihat kembali pada amanat Permendikanas nomor 22 tahun 2006, bahwa pengajaran di kelas adalah harus berbasis inkuiri, pembelajaran harus dihadapkan langsung dengan fenomena alam, bersifat induktif, pembelajaran dengan Learning Cycle 7E tetap dilanjutkan walaupun belum berhasil jika ditinjau dari ketuntasan belajar. Perlu adanya tahapan refleksi pada pembelajaran baik sisi dari guru maupun siswa. Guru perlu merefleksikan bagaimana respon siswa terhadap materi yang dibawakan dengan menggunakan model Learning Cycle 7E dan dari sisi siswa bagaimana kegiatan tindak lanjut pembelajaran siswa masing-masing di rumah dilakukan atau tidak. Jika belajar hanya mengandalkan pertemuan di kelas, maka konsep yang seharusnya harus direview lagi di rumah dan latihan soal pun tidak banyak dikerjakan. Materi redoks di kelas X banyak konsep yang perlu latihan soal, seperti pada penentuan bilangan oksidasi. Menurut Carrol dan Block (di dalam Ischak dan Warji, 1987) bahwa tidak semua siswa mempunyai kecepatan yang sama dalam memahami konsep-konsep tersebut, hal ini erat sekali hubungan antara tingkat penguasaan belajar siswa dengan waktu yang disediakan dan yang digunakan sungguh-sungguh oleh siswa tersebut. Terkait dengan waktu yang berbeda-beda yang diperlukan siswa untuk memahami suatu konsep, maka

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 164

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

dimungkinkan karakteristik siswa berpengaruh terhadap kecepatan siswa dalam pemahaman konsep. Berkaitan dengan belum tercapainya ketuntasan hampir semua siswa pada ketiga kelas, maka sangat perlu disiapkan pengajaran remedial. E. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Masih berdasarkan pada pemetaan konsepsi siswa setelah dilakukan pembelajaran prevensi dengan Learing Cycle 7E, ternyata siswa masih banyak mengalami miskonsepsi dan sebagian lagi tidak tahu konsep, maka peneliti meminta siswa untuk mengisi angket terkait kesulitan belajar yang dialami yang berpotensi melahirkan miskonsepsi dan tidak tahu konsep pada diri siswa. Sangatlah sulit mengamati pemikiran siswa dalam memahami suatu konsep, walaupun kegiatan pembelajaran telah berjalan dengan baik, namun setelah diberikan tes ternyata masih banyak ditemukan siswa yang mengalami miskonsepsi. Menurut Suparno (2005) banyak kemungkinan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi, secara garis besar penyebabnya adalah siswa, guru/pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar guru. Faktor-faktor tersebut masih ada jabarannya lebih banyak lagi. Sebagai upaya memperkuat pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian, maka peneliti mempertimbangkan perlunya diungkap faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa berdasarkan pada respon siswa setelah pembelajaran prevensi dilakukan dan kemungkinan adanya faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan dalam memahami redoks pada khususnya dan ilmu kimia pada umumnya. Data-data yang mungkin disimpulkan sebagai faktor-faktor miskonsepsi dikumpulkan berdasarkan pre-test konsep prasyarat redoks, pre-test pemahaman konsep redoks, dan berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa.

(a)

(b)

(c)

Berdasarkan data Faktor-faktor yang tersaji pada Miskonsepsi Gambar 4 Gambar 4 Diagram Pastel Penyebab Kelas X-2 (a), X-3 (b), X-4 (c) bahwa pada pada kelas X-2, X-3, dandanX-4 dapat ditarik simpulan bahwa di antara tiga faktor penyebab miskonsepsi yang diidentifikasi intensitasnya, maka faktor terbesar adalah prakonsepsi, diikuti konsep prasyarat, dan cara mengajar guru. Urutan tersebut

Vol. 2 No. 3, April 2014

berlaku pada semua kelas yang diteliti, kelas X-2, X-3, dan X-4. Keberadaan prakonsepsi siswa dan kemampuan prasyarat penting bagi siswa, karena keduanya merupakan batu loncatan untuk mencapai suatu pemahaman konsep tertentu. Ditinjau dari hirarki belajar dari Gagne et al., (1988) konsep awal sangat membantu dalam pembentukan struktur kognitif berikutnya, tetapi mengapa menjadi sumber miskonsepsi. Hal ini sama halnya air sangat bermanfaat bagi manusia, bahkan PDAM (perusahaan air minum daerah) mempunyai motto “Setetes air adalah kehidupan”, tetapi banyak juga kerugian karena air. Petani gagal panen karena menjelang panen, padinya kebanjiran, dan banyak kerugian lainnya akibat banjir. Jadi air mempunyai sisi positip sebagai sumber kehidupan, namun kebalikannya menjadi sisi negatif kalau jumlahnya berlebihan (banjir). Sama halnya prakonsepsi dan konsep prasyarat bermanfaat pada pembelajaran berikutnya jika penguasaan keduanya adalah benar, namun jika salah malahan menyulitkan untuk pemahaman konsep berikutnya (Gagne et al., 1988). Menurut Horton (2004) dari konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah malahan menyulitkan kepada pemahaman berikutnya dan yang menjadikan siswa mengalami miskonsepsi. Hal ini juga dibenarkan oleh Ibrahim (2012) bahwa dengan konsep awal dan prakonsepsi siswa yang salah akan menyebabkan miskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kewaspadaan dari guru, jika prakonsepsi siswa banyak yang mengarah ke miskonsepsi siswa maka guru perlu hati-hati dan senantiasa mengikuti pemikiran siswa, namun selalu mengarahkan untuk menuju status tahu konsep. Terkait pada cara mengajar guru sebagai faktor penyebab miskonsepsi adalah di antara siswa merasa guru yang menyebabkan siswa kurang memahami konsep yang dipelajari, beralasan guru terlalu cepat dalam mengajar. Ditinjau dari penguasaan konsep guru, tidak ada jawaban siswa yang mengarah pada alasan tersebut. Namun jika ditarik simpulan sebenarnya, karena siswa tersebut kurang waktu dalam memahami suatu konsep. Dengan demikian faktor cara mengajar guru tidak dominan faktor terjadinya miskonsepsi dalam penelitian ini, namun yang lebih besar adalah faktor prakonsepsi siswa.

PENUTUP 1. Simpulan Tindakan pembelajaran prevensi untuk meminimalisasi terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep reaksi oksidasi reduksi di SMA Negeri Model Terpadu Bojonegoro menggunakan model pembelajaran

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 165

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Learning Cycle 7E menghasilkan simpulan sebagai berikut: (1) tindakan prevensi yang dilakukan telah berhasil meningkatkan proporsi pemahaman siswa, namun masih menyisakan jumlah besar beban miskonsepsi dalam pada siswa, (2) pembelajaran konsep reaksi redoks dengan model Learning Cycle 7E yang digunakan untuk memprevensi miskonsepsi berdampak signifikan terhadap perubahan hasil belajar siswa, walau belum berdampak kepada pencapaian ketuntasan individual maupun klasikal. 2. Saran a. Sebelum memasuki pembelajaran guru sangat perlu untuk mengadakan pretest untuk mengungkap prakonsepsi siswa dan profil konsep prasyarat. b. Sebaiknya guru mengungkap profil konsepsi siswa setelah berakhir pembelajaran dan dapat menggunakan three tier diagnostic test ini dan merancang tes serupa sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan sebagai bahan refleksi dan perbaikan pada pembelajaran konsep berikutnya. c. Berdasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa walaupun pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis inkuiri masih menyisakan banyak beban miskonsepsi dan sebagaian besar siswa belum mencapai tingkat ketuntasan, maka sangat dipandang perlu untuk merencanakan pembelajaran remedial untuk mereduksi beban miskonsepsi siswa dan mengantarkan siswa untuk mencapai ketuntasan belajar pada konsep yang dipelajarinya. DAFTAR PUSTAKA Amien, Moh. 1988. Buku Pedoman Laboratorium dan Petunjuk Praktikum Pendidikan IPA Umum (General Science) untuk Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pedidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre-Service Teachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, and Acid Rain.Turkey: Education International Journal of Science Education, 34(11),1667–1686. Barthlow , Michelle J. 2011. The Effectiveness of Process Oriented Guided Inquiry Learning to Reduce Alternate Conceptions in Secondary Chemistry. Dissertation. Liberty University. Budiasih, E., Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.

Vol. 2 No. 3, April 2014

Dazhi and Inanc. S. 2013. The Search For Starategiies to Prevent Persisten Misconception. Atlanta: ASEE Annual Conference Exposition. Depdiknas. 2006. Silabus Mata Pelajaran Kimia. Direktorat Pembinaan SMA. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Eisenkraft Arthur. 2003. Expanding the 5E Model. The Science Teacher Volume 70 N0.6. New York: National Science Teachers Accosiation. Gagne, Robert M, Leslie J. Brigs and Walter W. Wager. 1988. Principles of Instructional Design. Florida. Holt, Rinehart and Winston. Inc. Horton, Christopher. 2004. “Student Conceptions in Chemistry”. Journal of Science Education 7(2): 2 (2004)

Alternatif

Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan Cara Mengatasinya. Surabaya: Unesa University Press. Ischak S.W. dan Warji R. 1987. Program Remedial dalam Proses Belajar Mengajar. Yogyakarta: Liberty. Nakhleh, M.B. 1992. “Why Some Student Don’t Learn Chemistry (Chemical Miscoception)”. International Journal of Chemical Education, 69: 191-196. Nur,

Muhammad. 2008. Teori-teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya: Unesa Press.

Polyiem, T., Nuangchalerm, P., and Wongchantra, P. (2011).” Learning Achievement, Science Prosess Sklls, and Moral Reasoning of Ninth Grade Students Learned by Learning Cycle and Socioscientific Issue-based Learning”. Australia: Australian Journal of Basic and Aplied Sciences, 5 (10): 257-564. Sumarni, W. 2010. Penerapan Learning Cycle Approuch Sebagai Upaya Meminimalisasi Miskonsepsi Mahasiswa pada Materi Struktur Molekul. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Suliman Wahid. 2002. Statistik Non Parametrik Contoh Kasus dan Pemecahannya dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit Andi. Suparno, Paul. 2000. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi & Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT.Grasindo. Wahyuningrum, S., dan Suyono. 2013. “Pola Pergeseran Konsepsi Siswa pada Struktur Atom setelah Pembelajaran dengan Strategi POGIL.” Surabaya: UNESA Journal of Chemical Education, 2(1), 4350. Yunianingsih, W, dan Suyono. 2013. “Tingkat Keterampilan Berpikir Siswa Saling Bergantung

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 166

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

(Dependen) dengan Tingkat Penguasaan Konsep Siswa.” Surabaya: UNESA Journal of Chemical Education, 2(1), 1-10.

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

| 167

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENERAPAN MODIFIED INQUIRY MODELS UNTUK MENCEGAH MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP KESETIMBANGAN KIMIA Arif Imam Subagyo1) Suyono2) Tukiran3) 1) Guru di SMA Negeri 10 Samarinda Kalimantan Timur 2) Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mencegah miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangan kimia. Pencegahan terjadinya miskonsepsi dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran modified inquiry. Sasaran penelitian adalah siswa kelas XI IPA di SMAN Kabuh Kabupaten Jombang. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen dengan one group pretest-posttest design. Identifikasi miskonsepsi menggunakan metode Three Tier Test. Teknik analisis data diskrit menggunakan deskriptif kualitatif dan data kontinyu menggunakan statistik inferensial yaitu: Mann-Whitney Test,t-Test, dan Wilcoxon’s Sign Rank Test. Pembelajaran menggunakan modified inquiry berhasil mencegah miskonsepsi siswa dan membuat siswa menjadi tahu konsep, tetapi masih menyisakan beban miskonsepsi siswa. Dengan menggunakan uji statistik inferensial pada taraf kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa pada kelas penelitian terjadi penurunan secara signifikan beban miskonsepsi siswa sebagai dampak pembelajaran menggunakan modified inquiry. Kata-kata kunci: modified inquiry, miskonsepsi, kesetimbangan kimia Abstract: This research aims prevent student’s misconception to the concept of chemical equilibrium. Misconceptions prevention performed was using a modified inquiry model. Subject in this research are students science grade XI in SMAN Kabuh Jombang. This research is pre-experiment with one group pretest - posttest design. Identification of misconceptions used Three Tier Test method. The resulted discrete data was analyzed using qualitative descriptive and continu data was analyzed using inferential statistics, namely the Mann-Whitney test, t-Test, and Wilcoxon’s Sign Rank Test. A modified inquiry learning models successfully prevented stuedent’s misconception but still remained the burden of misconceptions. Based on inferential statistical test with the significance level of 95% it can be concluded that the science classes decreased significantly the level of burden of misconceptions as the impact of learning a modified inquiry models. Keywords: modified inquiry, misconception. chemical equilibrium

PENDAHULUAN Tujuan pembelajaran sains termasuk di dalamnya ilmu kimia yang diamanatkan dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi adalah untuk memperoleh pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori melalui kerja ilmiah, oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Konsep adalah generalisasi faktafakta yang memiliki ciri-ciri yang sama (Ibrahim, 2012). Konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsipprinsip dan generalisasi (Dahar, 2011). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, dan prinsip yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Sagala, 2012). Siswa yang terlibat dalam kegiatan dan bekerja sama dengan orang lain untuk memperoleh konsep-konsep akan membantu mengatasi terjadinya miskonsepsi (Schunk, 2012). Miskonsepsi adalah pemahaman konsep oleh siswa yang tidak sesuai dengan konsep yang benar menurut para ahli (Suparno, 2005). Miskonsepsi merupakan penghambat dalam belajar sains, oleh

karena itu miskonsepsi sedapat mungkin diperbaiki (Dahar, 2011). Miskonsepsi siswa dapat diungkapkan dan digantikan dengan konsep yang benar menurut pengertian ilmiah dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri (Barthlow, 2011). Penggunaan model inkuiri mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya seperti seorang ilmuan. Siswa diharapkan bekerja dan berpikir seperti seorang ilmuan sehingga memperoleh pemahaman sesuai dengan yang dipahami ilmuan sehingga siswa tidak mengalami miskonsepsi (Sagala, 2012). Mata pelajaran kimia penuh dengan konsep abstrak yang tidak mudah dipahami kecuali dihubungkan dengan sesuatu dari pengalaman seharihari. Oleh karena itu siswa sering mengalami miskonsepsi pada mata pelajaran kimia (Barke et al., 2009). Konsep kesetim-bangan kimia termasuk konsep dasar (basic concepts) yang sangat penting dalam kimia karena memahami konsep kesetimbangan merupakan dasar untuk memahami konsep-konsep kimia yang lain, seperti sifat asam basa, reaksi oksidai-reduksi dan kelarutan (Barke et al., 2009). Pada penelitian ini merupakan upaya pencegahan terjadinya miskonsepsi siswa menggunakan modified inquiry.

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

| 168

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Prakonsepsi Siswa Sebelum Pencegahan Miskonsepsi Siswa. Profil prakonsepsi siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 yang berupa deskripsi jumlah beban prakonsepsi siswa pada masing-masing konsep kesetimbangan kimia disajikan pada Tabel 1 dan persentase prakonsepsi siswa secara keseluruhan (klasikal) disajikan pada Gambar 1, dan Gambar 2. Tabel 1 Data Prakonsepsi Siswa pada Konsep Kesetim-bangan Kimia di Kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3

MK3

MK2

MK1

TTK

TK

Kelas XI IPA 3 Profil Prakonsepsi MK3

MK2

MK1

TTK

Kelas XI IPA 1 Profil Prakonsepsi TK

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan sebuah tindakan pencegahan miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangan kimia. Rancangan penelitian yaitu pra-eksperimen jenis one group pretest-posttest design (Sugiyono, 2012). Penelitian ini dimulai dengan melakukan tes awal (pretest) yang digunakan untuk mengetahui prakonsepsi siswa dan pembentukan kelompok kooperatif siswa di kelas. Penelitian dilanjutkan dengan pembelajaran modified inquiry dengan materi kesetimbangan kimia. Sesudah pembelajaran modified inquiry dilakukan posttest untuk memetakan konsepsi siswa sesudah pembelajaran modified inquiry. Berdasarkan hasil posttest 1 dilakukan pengelompokan konsepsi siswa yang meliputi tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK, dan miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3). Sasaran penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3. Teknik pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut: (1) Pengamatan, digunakan untuk menilai keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan sintaks yang telah dirancang oleh guru dalam RPP, menilai kompetensi psikomotorik dan afektif siswa, (2) Tes Pemahaman Konsep, dilakukan dalam dua tahap yaitu tes awal (pretest), diberikan sebelum kegiatan belajar mengajar pertemuan pertama, posttest untuk memperoleh data konsepsi siswa setelah tindakan pencegahan dengan menerapkan model pembelajaran modified inquiry, (3) Kuesioner, digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa setelah diberikan posttest. Data hasil tes pemahaman konsep siswa dianalisis untuk pengelompokkan siswa ke dalam

kelompok tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK), dan miskonsepsi (MK). Kriteria pengelompokan siswa tergolong tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK), dan miskonsepsi (MK) berdasarkan respon jawaban siswa pada Three Tier Test seperti yang disarankan oleh Arslan et al.(2012). Statistik inferensial digunakan untuk menganalisis data dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 18.0. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian, yaitu: MannWhitney Test, Kolmogorov- Smirnov Test, t-Test, dan Wilcoxon’s Signed Rank Test (Djarwanto, 1991; Sudjana. 1996).

Konsep

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengimplementasikan sebuah model solutif untuk mencegah miskonsepsi siswa SMA, khususnya pada konsep kesetimbangan kimia. Masalah utama itu dijawab dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer sebagai berikut: 1. Bagaimana prakonsepsi siswa sebelum pencegahan miskonsepsi siswa dengan model pembelajaran modified inquiry pada konsep kesetimbangan kimia? 2. Bagaimana keterlaksanaan sintaks model pencegahan dengan modified inquiry? 3. Bagaimana konsepsi siswa sesudah pencegahan menggunakan model modified inquiry pada konsep kesetimbangan kimia? 4. Bagaimana perubahan hasil belajar siswa sesudah pembelajaran dengan model modified inquiry? 5. Apakah faktor penyebab miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangan kimia? Indikator ketercapaian tujuan itu disimpulkan berdasarkan data empiris yang diperoleh saat menjawab rumusan masalah tentang penurunan miskonsepsi siswa sesudah pencegahan dengan model pembelajaran modified inquiry pada konsep kesetimbangan kimia.

Vol. 2 No. 3, April 2014

A

25

42

10

8

43

18

43

14

8

37

B

9

35

3

4

45

9

39

3

4

35

C

5

40

1

4

46

8

43

0

4

35

D

4

25

7

0

28

6

28

6

2

18

E

4

21

6

9

24

4

28

6

6

16

F

6

29

3

5

21

3

21

2

5

29



53

192

30

30

207

48

202

31

29

170

Keterangan Tabel 1:  Konsep A: Kesetimbangan kimia (definisi).  Konsep B: Hukum kesetimbangan kimia.  Konsep C: Kesetimbangan homogen dan heterogen.  Konsep D: Pengaruh perubahan konsentrasi pada arah pergeseran kesetimbangan kimia.  Konsep E: Pengaruh perubahan tekanan dan volum. pada arah pergeseran kesetimbangan kimia  Konsep F: Pengaruh perubahan suhu pada arah pergeseran kesetimbangan kimia.

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

| 169

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Hasil pengamatan aktivitas siswa yang merepresentasikan keterampilan psikomotorik, perilaku berkarakter, dan keterampilan sosial memperoleh kriteria penilaian sangat baik di kedua kelas penelitian. Aktivitas siswa yang baik selama pelaksanaan sintaks pembela-jaran membantu siswa untuk lebih mudah memahami suatu konsep yang sedang dipelajari (Forgaty, 1991). Selain itu, belajar bersama dalam kelompok yang diwarnai hubungan sosial dan karakter yang baik akan berdampak positif bagi kemajuan belajar siswa (Vygotsky dalam Arends, 1991). Hasil penilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS) hampir semua kelompok menunjukkan tanda-tanda kinerja yang positif pada komponenkomponen yang dinilai. Artinya skenario pembelajaran modified inquiry yang dibantu perangkat LKS telah berhasil mengkondisikan siswa untuk berlatih dan mencapai kinerja proses sains yang baik. Sintaks model pembelajaran yang dilaksanakanya dengan sangat baik, yang di dalamnya diintegrasikan keterampilan psikomotorik, perilaku berkarakter, dan keterampilan sosial akan menjadikan pembelajaran lebih bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan mengha-silkan pemahaman konsepkonsep kesetimbangan kimia yang utuh, dipahami secara baik, tidak mudah dilupakan, dan mencegah terjadinya miskonsepsi siswa. C. Konsepsi Siswa Sesudah Pencegahan Miskonspsi Siswa Profil konsepsi siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 yang berupa deskripsi jumlah beban konsepsi siswa pada masing-masing konsep kesetimbangan kimia disajikan pada Tabel 2 dan persentase konsepsi siswa secara klasikal disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pembelajaran dengan model pembelajaran modified inquiry dilakukan untuk mencegah terjadinya miskonsepsi siswa. Profil konsepsi siswa setelah pembelajaran menunjukan bahwa jumlah tahu konsep lebih banyak dibandingkan dengan beban miskonsepsi baik pada status MK1, MK2, maupun MK3 (Gambar 3 dan Gambar 4) sebagai dampak pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran modified inquiry.

Tabel 2 Data Konsepsi Siswa Setelah Pencegahan pada Konsep Kesetimbangan Kimia di Kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3

MK3

MK2

MK1

TTK

TK

MK3

Kelas XI IPA 3 Profil Konsepsi MK2

MK1

TTK

Kelas XI IPA 1 Profil Konsepsi TK

Konsep

Prakonsepsi siswa menunjukkan bahwa siswa berpotensi mengalami miskonsepsi. Fenomena terjadinya miskonsepsi pada prakonsepsi siswa sesuai dengan pernyataan Suparno (2005) bahwa prakonsepsi siswa mengalami kesalahan karena prakonsepsi dibentuk sebelum siswa mendapatkan pelajaran formal tentang konsep yang dimaksud. Siswa mengasosisasikan keadaan kesetimbangan dengan fenomena yang sudah dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, siswa yang belum diajarkan tentang kesetimbangan, tetapi siswa telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksi yang setimbang memiliki massa yang sama. Jika konsepsi siswa sebagai hasil konstruksi tentang alam sekitarnya berbeda (dengan konsepsi ilmiah, maka dikatakan siswa mengalami miskonsepsi (Dahar, 2011). Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan terjadinya miskonsepsi. Profil prakonsepsi masingmasing siswa dijadikan bahan pertimbangan untuk pengelolaan pembelajaran yang akan dilakukan, seperti pembentukan kelompok belajar yang akan dibangun saat melaksanakan sintaks dari sebuah model pembelajaran yang dipilih. Pembelajaran kelompok memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan dan bekerja sama dengan orang dalam memperoleh konsep-konsep sehingga dapat mencegah terjadinya miskonsepsi (Schunk, 2012). B. Keterlaksanaan Sintaks Model Pencegahan Dengan Modified Inquiry Keterlaksanaan pembelajaran di dalam penelitian ini diamati oleh dua orang pengamat (observer). Aspek yang diamati terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu : keterlaksanaan sintaks yang terskenariokan dalam RPP, aktivitas siswa, dan penilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS). Rata-rata hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran secara keseluruhan pada setiap kelas termasuk ke dalam kategori sangat baik. Hasil uji MannWhitney yang membandingkan skor-skor penilain sintaks pada kedua pengamat dan untuk menilai konsistensi menjaga kualitas pembelajaran pada dua kelas penelitian yang berbeda diperoleh nilai p-value > 0,05. Artinya, tidak ada perbedaan signifikan atas penilaian keterlaksa-naan sintaks pada setiap tatap muka dari kedua pengamat dan peneliti mampu menjaga konsistensi kualitas dalam melaksanakan pembelajaran pada semua kelas penelitian. Komponen sintaks pembelajaran yang dinilai terdiri dari lima kegiatan utama, yaitu pendahuluan, kegiatan inti, penutup, pengelolaan waktu, dan antusiasme. Kegiatan inti dari model pembelajaran modified inquiry meliputi: menjelaskan proses inkuiri, menyajikan masalah, merumuskan hipotesis, melakukan penyelidikan, organisasi data, analisis data, menarik simpulan, dan merefleksikan proses inkuiri (Arends, 2012).

Vol. 2 No. 3, April 2014

A

68

21

3

24

12

43

20

4

17

34

B

65

20

0

7

4

57

7

2

14

10

C

61

25

2

7

1

65

9

1

9

6

9

38

9

2

5

| 170 6

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan D 25 23 2 Kimia 5 E

29

19

3

9

4

35

8

7

8

2

F

30

17

11

1

5

20

7

15

1

17

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Keterangan Tabel 2:  Konsep A: Kesetimbangan kimia (definisi).  Konsep B: Hukum kesetimbangan kimia.  Konsep C: Kesetimbangan homogen dan heterogen.  Konsep D: Pengaruh perubahan konsentrasi pada arah pergeseran kesetimbangan kimia.  Konsep E: Pengaruh perubahan tekanan dan volum. pada arah pergeseran kesetimbangan kimia  Konsep F: Pengaruh perubahan suhu pada arah pergeseran kesetimbangan kimia.

Fakta ini menunjukkan bahwa pembelajaran konsep kesetimbangan kimia menggunakan model pembelajaran modified inquiry telah berhasil mencegah terjadinya miskonsepsi siswa yang lebih besar meskipun masih menyisakan siswa yang miskonsepsi. Temuan penelitian ini sejalan dengan pendapat Barthlow (2011), bahwa miskonsepsi siswa dapat diungkapkan dan digantikan dengan konsep yang benar menurut pengertian ilmiah dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran yang menggunakan sejumlah keterampilan metodologi ilmiah seperti merumuskan masalah, mengemukakan pertanyaan, melakukan penelitian, analisis, berdiskusi, bekerja secara kolaboratif, dan melakukan presentasi. Pendapat ini dudukung oleh Schunk (2012) yang menyatakan bahwa model pembelajaran yang melibatkan siswa saling bekerjasama untuk memecahkan suatu masalah sehingga memperoleh konsep-konsep baru terbukti dapat mencegah terjadinya miskonsepsi siswa yang lebih besar. Model pembelajaran modified inquiry berhasil mencegah untuk tidak terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangan kimia, meskipun belum secara total menghilangkan beban miskonsepsi siswa. Beban miskonsepsi yang masih tersisa setelah tindakan pencegahan dengan model pembelajaran modified inquiry dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Hasil analisis terhadap isian Lembar Kerja Siswa, ditemukan terdapat kelompok siswa yang masih gagal dalam menyusun hipotesis, menganalisis data, dan menarik simpulan. Menyusun hipotesis, menganalisis data, dan

Vol. 2 No. 3, April 2014 menarik simpulan menurut Eggen (1979) adalah diantara tahap-tahap yang harus dilalui dalam pembentukan konsep. Kegagalan dalam tahap-tahap tersebut dapat menjadi penyebab masih adanya miskonsepsi siswa, (2) Pelaksanaan sintaks pembelajaran tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk menuliskan non contoh dari konsep-konsep kesetimbangan kimia. Akibatnya, siswa kurang memahami atribut atau ciri-ciri esensial yang terkandung di dalam konsep-konsep kesetimbangan kimia. Siswa tidak dapat membedakan antara contoh konsep, dan bukan konsep sehingga menimbulkan miskonsepsi (Ibrahim, 2012), dan (3) Karakter konsep kesetimbangan kimia yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata atau abstrak. Siswa tidak dapat melihat langsung terjadinya pergeseran kesetimbangan, sehingga siswa tidak dapat membedakan konsep dengan bukan konsep melalui pengamatan ciri esensial dari sebuah konsep. Ketika atribut khusus dari konsep kesetimbangan kimia yang diketahui siswa dengan keyakinan yang rendah, maka pemikiran siswa berpeluang untuk kembali mengalami miskonsepsi (Ibrahim, 2012). D. Perubahan Hasil Belajar Siswa Sesudah Pembelajaran dengan Model Modified Inquiry Pembelajaran konsep kesetimbangan kimia menggunakan model modified inquiry mampu meningkatkan rata-rata nilai pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kesetimbangan kimia. Secara deskriptif dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 75, maka pada kelas XI IPA 1 terdapat 15 (lima belas) siswa dari 32 siswa yang tuntas atau 47%. Pada kelas XI IPA 3 terdapat 7 (tujuh) siswa dari 30 siswa yang tuntas atau 23%. Analisis secara inferensial menggunakan t-Test satu arah seperti pada Tabel 3. Tabel 3

Hasil t-Test Beda Rata-rata Pemahaman Konsep Kesetimbangan Kimia Sebelum dan Sesudah Pembelajaran ttabel

No.

Kelas

df

thitung

1.

XI IPA 1

31

21,175

1,697

0,000

2.

XI IPA 3

29

19,133

1,699

0,000

uji satu arah

p-value

Berdasarkan Tabel 1, nilai p-value/2 < 0,05 dan nilai t hitung > nilai t tabel satu arah, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata pemahaman konsep kesetimbangan kimia sesudah pembelajaran meningkat secara signifikan. Artinya, pembelajaran menggunakan model modified inquiry terbukti mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kesetimbangan kimia. Temuan ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran modified inquiry mampu mendorong siswa untuk mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya. Pembelajaran dengan modified inquiry berhasil melatih siswa cara berfikir yang ilmiah. Selain

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

| 171

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya itu, pembelajaran modified inquiry yang menekankan pada keterampilan proses membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa (Sagala, 2012). Informasi baru yang diperoleh selama proses pembelajaran dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Hasil proses pembelajaran itu membuat pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari menjadi lebih baik. Kunci keberhasilan model modified inquiry yang mengacu kepada sintaks yang dibuat oleh Arends (2012), yaitu penekanannya pada hakikat interaksi sosial dari siswa. Model pembelajaran yang menekankan pada interaksi sosial siswa dengan teman sebaya yang lebih mampu/pintar. Menurut teori belajar konstruktivis dari Vygotsky, siswa belajar konsepkonsep dalam zona perkembangan terdekat atau zone of proximal develop-ment (zpd) mereka. Siswa mencapai zona perkembangan potensialnya dengan bantuan guru/orang dewasa atau teman yang lebih pintar dengan melakukan scaffolding. Melalui scaffolding, siswa menerima sejumlah besar bantuan dari guru/orang dewasa atau teman sebaya yang lebih pintar. Secara bertahap kemudian bantuan tersebut dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab sesudah siswa mampu mengerjakan tugas sendiri. E. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia Berdasarkan hasil kuesioner siswa yang mengalami miskonsepsi pada posttest 1, diperoleh informasi tentang intensitas faktor penyebab miskonsepsi yang meliputi faktor pemikiran siswa sendiri, faktor buku/ sumber belajar, dan faktor cara mengajar guru. Faktor pemikiran siswa sendiri menempati urutan pertama diikuti oleh faktor buku/sumber belajar dan faktor cara mengajar menempati urutan terakhir. Pemikiran siswa sendiri menjadi faktor penyebab terjadinya miskonsepsi siswa yang dominan karena siswa masih dalam proses belajar, pemikiran siswa terus mengalami perubahan struktur konseptual. Terjadinya miskonsepsi akibat pemikiran siswa sendiri ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) prakonsepsi atau konsep awal siswa yang dibentuk sebelum siswa mendapatkan pelajaran formal tentang konsep kesetimbangan kimia, (2) pemikiran asosiatif siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari, (3) pemikiran humanistik yang memandang semua benda di sekitarnya sesuai dengan nalurinya sebagai manusia atau bersifat manusiawi, (4) penalaran (reasoning) yang tidak lengkap atau salah akibat dari kesalahan logika berpikir yang digunakan untuk menarik simpulan, (5) intuisi yang salah akibat kegiatan berpikir yang didasarkan pada perasaan yang muncul secara tiba-tiba tanpa melalui penalaran, (6) tahap perkembangan

Vol. 2 No. 3, April 2014 kognitif siswa yang tidak sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan kepada siswa, (7) kecerdasan dan bakat siswa sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan siswa dalam memahami materi ajar, khususnya menghubungkan antar konsep, dan (8) minat belajar memiliki pengaruh terhadap perhatian yang lebih besar pada materi ajar yang dipelajari (Suparno, 2005). Miskonsepsi karena buku teks pelajaran terjadi karena penjelasan yang keliru dalam buku tersebut, kesalahan penulisan yang tidak diikuti dengan ralat, penggunaan bahasa yang terlalu tinggi untuk level siswa yang dituju, banyak siswa yang membaca buku teks sepotong-sepotong sehingga memberikan pemahaman yang tidak utuh dan benar, pemberian ilustrasi gambar yang diambil dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan makna konsep yang sesungguhnya, penggunaan gambar kartun yang sering mengandung miskonsepsi. Sebagai contoh, pada sebuah buku teks kimia SMA kelas XI dipaparkan ilustrasi gambar untuk menganalogikan keadaan kesetimbangan dinamis berupa permainan jungkat-jungkit mengakibatkan terjadinya miskonsepsi karena keadaan kesetimbangan dinamis tercapai jika beratnya sama. Miskonsepsi karena guru terjadi karena guru tidak menguasai materi secara utuh dan benar (tidak memiliki kompetensi profesional dan pedagogik), guru tidak berlatar belakang sarjana bidang ilmu yang diajarkan (misal sarjana pendidikan matematika tetapi mengajar kimia), guru tidak melakukan aktivitas untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi siswa secara dini dan guru tidak menjalin hubungan baik dengan siswa sehingga siswa mengalami kesulitan dalam pemahaman suatu konsep tidak berani bertanya. PENUTUP Simpulan Tindakan pencegahan miskonsepsi siswa dengan model pembelajaran modified inquiry pada konsep kese-timbangan kimia menghasilkan simpulan bahwa tindakan pencegahan telah berhasil menekan terjadinya miskonsepsi siswa, meskipun masih menyisakan sejumlah siswa miskonsepsi. Saran 1.Guru kimia perlu memperhatikan prakonsepsi siswa sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran agar potensi terjadinya miskonsepsi dapat diketahui secara dini. 2.Tindakan pencegahan dengan model pembelajaran modified inquiry untuk mencegah terjadinya miskonsepsi siswa perlu mengintegrasikan keterampilan psiko-motorik, perilaku karakter, keterampilan sosial, dan melatihkankan siswa memberi contoh konsep dan bukan konsep agar memberikan dampak yang maksimal.

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

| 172

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

3.Beban miskonsepsi yang masih tersisa setelah pembelajaran dengan model pembelajaran modified inquiry perlu diremediasi untuk mereduksi beban miskonsepsi pada setiap siswa. DAFTAR PUSTAKA Akbas, Yavuz. 2012. “High School 9th Grade Students’ Understanding Level and Misconceptions About Temperature and Factors Affecting It”. Educational Research And Reviews. 7(30): 670-677. Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach. 9st Edition. New York: McGraw-Hill. Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Managemen. New York: MC Grew-Hiil. Arslan, Harika Ozge, Ceyhan Cigdemoglu, dan Christine Moseley, 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre-Service Teachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, and Acid Rain”, International Journal of Science Education, 34 (11): 1667–1686. Barke, Hans Dieter,Al Hazaril and Sileshi Yitbarek. 2009. Misconception in Chemistry: Addressing Perception in Chemical Education.Verlag Berlin: Springer. Barthlow , Michelle J. 2011. “The Effectiveness of Process Oriented Guided Inquiry Learning to Reduce Alternate Conceptions in Secondary Chemistry”. Doctoral Dissertation. University of Liberty. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2006. Standar Penilaian Untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar SMA/MA. Jakarta: Depdiknas. Bodner, G.M, 1986. “Constructivism: A Theory of Knowledge”. Journal of Chemical Education, 63(10): 1-15. Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Djarwanto, 1991. Statistik Nonparametrik. Yogyakarta: BPFE. Forgaty, Robin. 1991. The Mindful School: How to Interate The Curicula. USA: Skylight Publishing, Inc

Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan Cara Mengatasinya. Surabaya: Unesa University Press. Eggen Paul D, Donald P. Kauchack, and Robert J. Harder. 1979. Strategies for Teacher: Information Processing Nur, M. 2008. Pengajaran Berpusata kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah. Universitas Negeri Surabaya. Teaching Volume 2. Prentice Hall Series in Educational Innovation. Halaman 90-105. Sagala, Syaiful. 2012. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories: An Educational Perspective, 6th Edition, Boston: Pearson Education. Sudjana. 1996. Metoda Statistik. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuntitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suparno, Paul 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: Grasindo.

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

| 173

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

IMPLEMENTASI MODEL 5E LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA Herra Risdiana1) Suyatno2) Sri Poedjiastuti3) 1)

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] 2)

Abstract: The purposes of this study were to describe students’ concept mastery, creative thinking ability, profile of creative attitudes, and the correlation between creative thinking ability and concept mastery after implementing 5E Learning Cycle model. This research was the mixing of the quasy experiment with one group pre test-post test design and correlational study, which initiated by teaching materials development using the Dick & Carey model. The research was conducted at SMAN 1 Mojosari involving students of IPA-2 grade XI as subject. Instruments used in the research were teaching materials’ validation sheets, leson plan activity observation sheet, mastery concept sheet, creative thinking ability sheet, creative attitude observation sheet, and students’response questionaire. The data analyses of students’ concept mastery, creative thinking ability, and profile of creative attitudes were descriptively done, while analysis of correlation between creative thinking ability and concept mastery were using Pearson’s product moment correlation technique. Based on the data analysis, it could be described that results of the reasearch were (1) the students’ concept mastery and creative thinking ability on the salt hydrolysis topic after implementing 5E Learning Cycle model had reached high gains, (2) the creative attitudes appeared during the implementation of 5E Learning Cycle model including curiosity in engagement phase, complexity in exploration phase, curiosity in explanation phase, risktaking in elaboration phase, and risk-taking in evaluation phase were good, each had frequency more than 75%, and (3) there was a very strong and significant correlation between creative thinking ability and concept mastery. The conclusion of the research was chemistry learning on the salt hydrolysis topic using 5E Learning Cycle model had improved the students’ concept mastery and creative thinking ability. Keywords: 5E Learning Cycle, creative thinking, concept mastery Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, profil sikap kreatif dan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model 5E Learning Cycle. Penelitian ini merupakan gabungan dari penelitian eksperimen semu jenis one group pre test-post test design dan penelitian korelasional, yang diawali pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Dick & Carey. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Mojosari dengan subyek siswa kelas XI IPA-2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket respon siswa. Analisis data tentang penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikap kreatif siswa dilakukan secara deskriptif, sedangkan analisis hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep dilakukan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1) penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa pada topik hidrolisis garam setelah mengimplikasikan model 5E Learning Cycle telah mencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa pada implementasi model 5E Learning Cycle yaitu curiosity pada fase engagement, complexity pada fase exploration, curiosity pada fase explanation, risk-taking pada fase elaboration dan risk-taking pada fase evaluation adalah baik, masing-masing mempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) ada hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara berpikir kreatif dan penguasaan konsep. Kesimpulan penelitian ini adalah pembelajaran kimia pada materi pokok hidrolisis garam dengan model 5E Learning Cycle telah meningkatkan penguasaan konsep dan berpikir kreatif siswa. Kata-kata kunci: 5E Learning Cycle, berpikir kreatif, penguasaan konsep

PENDAHULUAN Kreativitas merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan pembangunan pribadi seseorang. Berdasarkan Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, lulusan SMA harus memiliki

kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri. Berpikir kreatif adalah kemampuan melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah (Guilford, 1967). Menurut Williams

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 174

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (Munandar, 2009), ciri kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan unsur aptitude (berhubungan dengan kognitif atau proses berpikir) maupun ciri non-aptitute (berhubungan dengan sikap dan perasaan). Ciri aptitude dalam kemampuan berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat aspek yakni berpikir lancar (fluency), berpikir luwes (flexibility), berpikir orisinil (originality), dan memerinci atau mengelaborasi (elaboration). Sementara itu, ciri non-aptitute yang paling sering teramati adalah rasa ingin tahu (curiosity), keberanian mengambil resiko (taking-risk), dan kecenderungan mengkombinasikan pemikiran dan tindakan (complexity) (Munandar, 2009). Kebutuhan berpikir kreatif dalam masyarakat modern semakin meningkat karena adanya revolusi teknologi. Sekolah sebagai miniatur masyarakat, seharusnya mampu membudayakan kemampuan berpikir kreatif siswa, sebab para siswa merupakan generasi penerus yang akan mengambil alih dunia dengan penemuan-penemuannya dalam bidang sains, bisnis, seni, dan bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, sangat perlu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada anak-anak di sekolah (Rao & Prasad, 2009). Para pendidik memerlukan suatu strategi belajar mengajar yang dapat membantu siswa untuk memperkaya informasi, mengembangkan kemampuan mental dan melatih mereka menjadi kreatif dan inovatif. Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkan dengan cara memberikan siswa kesempatan untuk mengungkapkan, membentuk dan menguji ide-idenya dengan menyediakan sumber-sumber pembelajaran yang sesuai, membangkitkan ketertarikan, dan memicu pemikiran mendalam siswa melalui strategi dan metode pembelajaran yang terbimbing dan bervariasi (Qarareh, 2012). Model 5E Learning Cycle merupakan model pembelajaran berbasis konstruktivis yang sesuai untuk mencapai standar kompetensi lulusan SMA sebagaimana yang disebutkan dalam Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013. Model yang terdiri dari 5 fase yaitu Engagement (menarik minat siswa), Exploration (menyelidiki), Elaboration (merinci), dan Evaluation (menilai) (Trowbridge & Bybee, 1996) ini menawarkan suatu struktur yang menyediakan aktivitas yang menekankan pada peningkatan kemampuan belajar dan berpikir siswa, di mana siswa didorong untuk lebih dari sekedar menghafal fakta, tetapi juga menggabungkan pembelajarannya dengan kehidupan sehari-hari (Kolin, 2011). Siklus belajar ini melibatkan siswa secara langsung dalam aktivitas membangun pengetahuannya dengan menghadapi fenomena atau suatu permasalahan kemudian memahami (minds-on) dan menyelidikinya (hands-on) hingga menemukan bagaimana

Vol. 2 No. 3, April 2014 memecahkan permasalahan tersebut. Aktivitas itu sangat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kreatifnya. Empat ciri aptitute kemampuan berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi dalam proses pembelajaran model 5E Learning Cycle, terutama pada fase exploration, explanation, dan elaboration. Pada fase exploration, siswa didorong untuk memikirkan cara-cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah (fluency), mengkaji cara-cara tersebut dari beberapa sudut pandang (flexibility), merancang langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut secara detil (elaboration) dan unik (originality). Fase ini membawa siswa pada tahap asimilasi Piaget. Pada fase explanation, siswa dituntut untuk mempresentasikan hasil kerja serta pengetahuan yang ditemukannya, sementara itu guru memperkenalkan siswa pada kosakata sains yang relevan (Ergin, 2012). Siswa merasa bangga bila hasil kerjanya bagus dan berbeda dengan kelompok lainnya (originality). Fase ini menggambarkan tahap akomodasi Piaget, tahap encoding dalam teori pemrosesan informasi, dan implementasi scaffolding dalam teori Vygotsky. Pada fase elaboration, siswa diminta untuk menerapkan dan merinci (elaboration) pengetahuan yang diperolehnya dalam menghadapi situasi yang berbeda tetapi serupa agar terbentuk pemahaman sains yang lebih dalam dan lebih luas (Ergin, 2012). Fase ini, sesuai dengan teori Piaget, digunakan sebagai pemantapan akomodasi informasi baru. Menurut teori pemrosesan informasi, fase ini dapat dikatakan sebagai tahap tindak lanjut dan respon untuk memfasilitasi penyimpanan informasi baru dalam memori jangka panjang. Proses belajar ini tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir siswa sehingga pengetahuan menjadi bermakna dan penguasaan konsep akan tercapai dengan baik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Piaget (Slavin, 2006) bahwa belajar dapat diartikan sebagai tindakan kreatif pembentukan konsep dan bayangan melalui kegiatan berpikir tentang benda dan peristiwa serta kejadian-kejadian yang mereka alami. Siswa yang terlatih untuk berpikir kreatif cenderung lebih mampu menguasai suatu konsep tertentu. Artinya, ada hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep, yaitu siswa dengan kemampuan berpikir kreatif yang tinggi akan mempunyai kemampuan penguasaan konsep yang baik. Penelitian mengenai model 5E Learning Cycle telah dilakukan oleh beberapa orang. Seyhan dan Morgin (2007) serta Yalḉin & Bayrakḉeke (2010) menunjukkan bahwa siswa yang belajar menggunakan model ini memperlihatkan sikap yang lebih positif

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 175

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya terhadap kimia, lebih berhasil dalam pemahaman konsep dibandingkan siswa dalam kelompok kontrol, dan terjadi peningkatan aktivitas pembelajaran bermakna. Rahinawati (2011) dan Alfi (2012) membuktikan bahwa model ini mampu meningkatkan hasil belajar, kemampuan berpikir kreatif, aktivitas pembelajaran, dan motivasi siswa dalam belajar sains. Qarareh (2012) juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada pencapaian akademik kelas eksperimen yang belajar sains menggunakan model ini dibandingkan dengan kelas kontrol yang belajar menggunakan metode tradisional (berpusat pada guru). Implementasi 5E Learning Cycle dalam pembelajaran terbukti dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses sains siswa, didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Akar (2005) dan Coulson dalam Bybee et al. (2006). Penelitian mengenai hubungan kreativitas, kemampuan berpikir kreatif, dan kemampuan akademik telah dilaporkan oleh Torrance (1959), Getzels & Jackson (1962), dan Yamamoto (1964) yang menunjukkan bahwa kelompok siswa yang kreativitasnya tinggi tidak berbeda dengan prestasi sekolah dari kelompok siswa yang inteligensinya relatif lebih tinggi. Palaniappan (2007) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kreativitas dan prestasi akademik siswa yang mempunyai IQ sampai 140. Penelitian tentang hubungan sikap dan kemampuan berpikir kreatif telah dilakukan oleh Guilford (1959) yang menunjukkan korelasi signifikan walaupun rendah antara ciri-ciri non-aptitude dengan empat ciri-ciri aptitude kreatif. Lee (2005) dalam penelitiannya juga melaporkan bahwa sikap kreatif terkait dengan kemampuan berpikir kreatif. Survey yang dilakukan peneliti terhadap para siswa kelas XI dan XII (tahun ajaran 2012-2013) di SMA Negeri 1 Mojosari, menunjukkan pendapat siswa bahwa materi hidrolisis garam merupakan materi yang sulit dipahami. Hasil wawancara dengan para guru kimia di SMA Negeri 1 Mojosari juga menunjukkan bahwa materi ini sulit dipahami oleh siswa. Setiap tahun rata-rata hanya 25% siswa yang mampu menguasai konsep hidrolisis garam dengan baik. Hidrolisis garam adalah reaksi antara suatu garam dengan air yang menghasilkan ion hidronium atau ion hidroksida atau keduanya (Stoker, 2012). Menurut tingkat penjenjangan berpikir kreatif oleh Siswono (2007), analisis tes berpikir kreatif yang dilakukan peneliti terhadap sampel 100 siswa kelas XI dan XII SMA Negeri 1 Mojosari dengan materi hidrolisis garam tahun ajaran 2012/2013 menunjukkan kemampuan berpikir kreatif para siswa pada kategori sangat kreatif 5%, kreatif 20%, kurang kreatif 30%,

Vol. 2 No. 3, April 2014 dan tidak kreatif 45%. Hasil ini menunjukkan kemampuan berpikir sebagian besar siswa SMA Negeri 1 Mojosari masih mengacu pada satu jawaban benar saja. Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkan kepada siswa melalui pembelajaran berbasis konstruktivis, di mana siswa belajar menyelesaikan masalah sains berdasarkan pengetahuan yang mereka bangun sendiri melalui aktivitas pembelajarannya. Sesuai dengan teori konstruktivis, model 5E Learning Cycle mampu menggabungkan aktivitas hands-on dan mind-on dalam fase-fase pembelajarannya. Materi hidrolisis garam merupakan materi yang sarat dengan perhitungan, sehingga kurang menarik bagi siswa. Oleh karena itu, penyajian materi ini menggunakan model 5E Learning Cycle diharapkan dapat lebih menarik, menantang, memacu kemampuan berpikir siswa, dan tidak akan hanya membahas tentang rumus beserta soal-soal hitungannya, tetapi juga melibatkan siswa dalam penyelidikan untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan dan dipaparkan di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai implementasi model 5E Learning Cycle untuk meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran kimia materi hidrolisis garam siswa kelas XI SMA Negeri I Mojosari. Pembelajaran menggunakan model ini diharapkan mampu meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. METODE Penelitian ini terdiri atas dua jenis yakni penelitian eksperimen semu dengan rancangan One Group Pretest-Posttest Design dan penelitian korelasional (Sugiyono, 2007). Penelitian eksperimen semu ditujukan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikap kreatif pada implementasi model 5E Learning Cycle, sedangkan penelitian korelasional ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa. Penelitian ini diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), handout, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), dan lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), yang dikembangkan menggunakan model Dick & Carey (2009). Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Mojosari pada semester genap Tahun Pelajaran 2013/2014. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Mojosari Tahun Pelajaran 2013/2014.

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 176

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri dari lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket respon siswa. Data hasil validasi perangkat pembelajaran, pengamatan keterlaksanaan RPP, respon siswa, penguasaan konsep, dan kemampuan berpikir kreatif dianalisis secara deskriptif. Besarnya peningkatan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif dianalisis dengan n-gain (gain ternormalisasi) (Hake, 2009). Korelasi antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep dianalisis secara inferensial menggunakan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Validitas Perangkat Pembelajaran Perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian yakni RPP, handout, LKS, LPPK, dan LPKBK, dilakukan validasi oleh pakar sebelum diimplentasikan dalam pembelajaran. Skor validitas perangkat pembelajaran ditunjukkan pada Tabel 1. RPP mendapatkan skor validitas sangat baik karena telah dirancang secara rinci dalam mengikuti fase-fase model 5E Learning Cycle. Handout mempunyai validitas sangat baik karena dikembangkan berdasarkan dua sumber buku yang digunakan untuk materi lanjutan SMA, yaitu yang ditulis oleh Effendy (2008) dan Russo (2003), serta tiga lainnya direkomendasikan untuk pembelajaran tingkat universitas, yang ditulis oleh Stoker (2012), Chang (2007), dan Mittal & Mittal (2002). Handout ini juga dilengkapi gambar yang menarik dan menunjang pemahaman siswa mengenai materi hidrolisis garam. Tabel 1. Validitas Perangkat Pembelajaran Nama Aspek Skor Kete- Reliabil Perang Validit rang i-tas -kat as an (%) Kompon 4,70 SB en RPP Perencan 81,44 4,87 SB a-an Bahasa 4,33 SB Kelayaka 5,00 SB n Isi Hando Akurasi 4,67 SB 83,50 ut Materi Kebahas 4,42 SB a-an LKS 4,00 – SB 87,31

Vol. 2 No. 3, April 2014 Nama Perang -kat

Aspek

LPPK

Isi Bahasa/ penulisan Isi Bahasa/ penulisan

LPKB K

Skor Validit as 5,00 4,67

Keterang an

Reliabil i-tas (%)

SB

81,14

4,69

SB

83,50

4,80

SB

86,80

4,87

SB

86,80

Keterangan: SB= sangat baik LKS mendapatkan nilai yang sangat baik, karena telah memuat rincian kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar, mudah dipahami, serta ajeg dalam pemakaian simbol dan istilah, juga mencerminkan rincian fase-fase dalam model 5E Learning Cycle. Penulisan setiap butir soal pada LPPK telah disusun dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dirumuskan sebelumnya serta menunjukkan tingkatan kemampuan kognitif yang jelas sebagaimana yang dirumuskan oleh Anderson (2008), sehingga diperoleh kategori penilaian sangat baik. Lembar PKBK telah disusun sesuai dengan standar penilaian kemampuan berpikir kreatif sebagaimana yang dikembangkan oleh Torrance (1975) dalam Torrance Test of Creative Thinking (TTCT) dan penilaian kreatif produk yang digagas oleh Guilford (1967) dalam Structure of Intelect Test, yaitu fluency (kelancaran), flexibility (kelenturan), elaboration (memerinci), dan originality (keaslian), sehingga mendapatkan skor penilaian sangant baik. Dengan demikian perangkat pembelajaran yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran. Keterlaksanaan RPP Pembelajaran kimia berbasis model 5E Learning Cycle pada pokok bahasan hidrolisis garam ini dilaksanakan selama tiga kali pertemuan. Topik yang dibahas pada pertemuan pertama sampai pertemuan ketiga secara berurutan adalah (1) Pengertian Hidrolisis Garam, (2) Persamaan Reaksi Hidrolisis Garam, dan (3) pH Larutan Garam. Jumlah aspek keterlaksanaan RPP yang diamati sebanyak 25, terdiri dari 19 butir pengamatan KBM yang dirinci menjadi lima aspek kegiatan pendahuluan, dua belas aspek kegiatan inti, serta dua aspek kegiatan penutup, dan 6 butir

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 177

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya pengelolaan kelas dan waktu. Keterlaksanaan RPP pada kegiatan pembelajaran dengan model 5E Learning Cycle, skor yang dicapai pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga berkisar pada kategori baik dan sangat baik (skor 4-5). Pada pertemuan ketiga, nilai keterlaksanaan RPP secara keseluruhan semakin meningkat dibandingkan dua pertemuan sebelumnya. Skor yang diperoleh dalam pertemuan ini baik dan sangat baik. Hal ini disebabkan guru mampu memperbaiki praktik yang kurang baik pada dua pertemuan sebelumnya dan siswa semakin mahir dalam melaksanakan fase-fase model 5E Learning Cycle. Pada fase engagement, siswa telah mampu menanggapi fenomena tentang pH sabun dan pH kulit yang disajikan guru dengan melontarkan apa yang diketahuinya. Ketika guru selesai mengemukakan permasalahan untuk diselidiki, yaitu bagaimana cara menentukan pH larutan garam, siswa dengan sigap segera beralih ke fase exploration dan membagi tugas kelompok untuk melaksanakan penyelidikan penentuan pH larutan garam secara teoretis melalui handout dan secara empiris melalui percobaan. Pada fase explanation, masing-masing kelompok menyajikan hasil penyelidikan, kesimpulan sementara, dan skema rumus perhitungan pH. Diskusi kelas berlangsung sangat efektif, karena masing-masing kelompok mampu saling memberi dan menerima pendapat orang lain untuk mengklarifikasi hasil penyelidikannya, hingga diperoleh kesimpulan akhir. Pada fase elaboration, siswa dalam kelompoknya mampu mengaplikasikan cara menghitung pH larutan garam amonium sulfat, natrium sianida, amonium bromida, dan amonium sianida yang terdapat pada empat soal latihan. Pada fase evaluation, siswa benar-benar mengerjakan empat soal pilihan ganda perhitungan pH larutan garam secara individu. Fase ini mendapatkan skor 5 (sangat baik), karena siswa semakin efektif dalam melaksanakan pengecekan diri. Reliabilitas instrumen keterlaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga berturut-turut adalah 90,1%; 83,5%; dan 87,9%. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen keterlaksanaan pembelajaran dengan model ini dalam kategori reliabel dan dapat digunakan untuk mengukur keterlaksanaan pembelajaran, sebab mempunyai koefisien reliabilitas instrumen (r) >75% (Borich, 1994). Ditinjau dari segi pengelolaan kelas dan waktu, pertemuan pertama, kedua maupun ketiga, telah memperoleh skor keterlaksanaan mendekati 5 (sangat baik). Meskipun demikian, pengelolaan

Vol. 2 No. 3, April 2014 waktu memperoleh nilai terendah di antara aspek penilaian pengelolaan lainnya. Hal ini disebabkan oleh antusias siswa yang sangat tinggi ketika mereka berada pada fase explanation, yaitu mengkomunikasikan hasil penyelidikan mereka dan mencari klarifikasi. Pada fase itu mereka melakukan diskusi dan brainstorming sampai hampir lupa waktu. Dalam hal ini, peran guru dalam mengorganisasi waktu sangat penting. Dalam angket respon siswa, 90% siswa merasa tertarik dengan suasana belajar pada model ini dan 100% siswa juga berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran materi lainnya menggunakan model ini. Rasa tertarik dan minat siswa dalam pembelajaran ini dapat menimbulkan motivasi untuk belajar. Menurut Mayer (2008), motivasi belajar mampu membawa siswa pada pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Munandar (2009) juga menyatakan bahwa jika motivasi siswa meningkat maka kemampuan untuk berpikir kreatif juga meningkat. Dengan demikian model ini mempunyai potensi untuk meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Penguasaan Konsep Siswa Penguasaan konsep siswa pada materi hidrolisis garam diukur menggunakan LPPK. LPPK yang dikembangkan berupa soal uraian yang terdiri dari 14 butir soal. LPPK diujikan sebelum pembelajaran (pretest) dan setelah pembelajaran (posttest). Skor yang diperoleh siswa dari sebelum dan setelah pembelajaran secara visual disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil Penilaian Penguasaan Konsep Sebelum dan Setelah Pembelajaran Berdasarkan Gambar 1 dapat dinyatakan bahwa tidak ada siswa yang tuntas pada saat pretest (ketuntasan = 0%) dan 100% siswa tuntas pada saat posttest. Data tersebut juga didukung oleh ketuntasan indikator pembelajaran yang mencapai 100%. Dari hasil analisis peningkatan skor hasil PPK pada pretest (skor rata-rata = 20,83) dan

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 178

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya posttest (skor rata-rata = 81,70) diperoleh skor peningkatan (gain score) penguasaan konsep yang tinggi yakni 77%. Ketidaktuntasan individual maupun klasikal siswa pada pretest disebabkan karena siswa belum pernah mendapatkan pembelajaran tentang materi hidrolisis garam, sehingga siswa tidak dapat menjawab soal pretest dengan benar. Ketika dilakukan posttest, siswa telah terlibat dalam pembelajaran tentang hidrolisis garam melalui model 5E Learning Cycle, sehingga penguasaan konsep siswa menjadi meningkat dan ketuntasan klasikal mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan teori Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari tindakan (Slavin, 2006). Keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama pada bagian exploration, explanation, dan elaboration dalam model ini, telah membantu terjadinya proses asimilasi dan akomodasi materi hidrolisis garam dalam struktur kognitif mereka. Menurut Vygotsky (Slavin, 2006), interaksi sosial dengan teman sebaya maupun orang yang lebih ahli mengenai tugas yang kompleks pada zona perkembangan terdekat siswa, akan mampu membuat siswa belajar lebih baik. Pada model pembelajaran ini, interaksi sosial telah dilakukan siswa dalam kelompok belajarnya ketika mereka berada dalam fase exploration, explanation, dan elaboration. Tingginya gain score menunjukkan bahwa model 5E Learning Cycle yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar siswa yang terjadi disebabkan oleh adanya pemrosesan informasi yang efektif. Gagne (1977) dengan teori pemrosesan informasinya, menegaskan bahwa informasi ditransfer secara keseluruhan dari lingkungan ke panca indera, kemudian masuk ke dalam suatu sensory register otak kita sebagai stimulus atau rangsangan. Pada model pembelajaran ini, stimulus diterima pada fase engagement, untuk dilakukan pengkodean melalui exploration dan explanation. Fase elaboration dan evaluation digunakan untuk menindaklanjuti informasi baru tersebut hingga dapat disimpan sebagai memori jangka panjang. Sementara itu respon siswa menunjukkan bahwa seluruh siswa tertarik terhadap materi pelajaran, lembar kerja siswa, cara guru mengajar dan suasana belajar, dengan nilai persentase berturut-turut sebesar 90%, 100%, 100%, dan 100%. Siswa juga berminat mengikuti pembelajaran pokok bahasan hidrolisis garam dengan menggunakan model 5E Learning Cycle (persentase 100%). Sebagian besar siswa merasa

Vol. 2 No. 3, April 2014 mudah dalam memahami materi hidrolisis garam, lembar kerja siswa, dan cara guru mengajar, yang ditunjukkan dengan nilai persentase masing-masing 80%, 100% dan 100%. Penyajian materi pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk berpikir dan bekerja dalam seting model 5E Learning Cycle telah memotivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Hal ini mendukung terjadinya peningkatan skor penguasaan konsep siswa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mayer (2008) bahwa motivasi belajar mampu membawa siswa pada pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Kemampuan Berpikir Kreatif Kemampuan berpikir kreatif siswa diukur menggunakan LPKBK. Tes tersebut terdiri dari 5 butir soal berbentuk uraian (essay). Indikator Kemampuan berpikir kreatif yang diukur adalah fluency (kelancaran), flexibility (kelenturan), originality (keaslian), dan elaboration (kerincian) (Guilford, 1967; Torrance, 1975; Munandar, 2009). Seperti halnya LPPK, LPKBK juga diberikan sebelum pembelajaran (pretest) dan setelah pembelajaran (posttest). Skor hasil LPKBK sebelum dan setelah pembelajaran disajikan secara visual pada Gambar 2. Dari hasil analisis skor TKBK diketahui bahwa skor rata-rata pre test dan post test masingmasing sebesar 39,41 dan 83,81. Dengan demikian skor peningkatan (gain score) yang diperoleh sebesar 73% dengan kategori tinggi.

Gambar 2. Hasil Penilaian Kemampuan Berpikir Kreatif Sebelum dan Setelah Pembelajaran Dalam penelitian ini berarti model 5E Learning Cycle dipadu dengan perangkat yang dikembangkan dapat digunakan untuk merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa. Feldhusen dan Treffinger (Tan, 2007) menyatakan bahwa lingkungan yang kondusif untuk merangsang berpikir kreatif adalah ketika siswa diberi kesempatan dan didukung untuk

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 179

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya mengungkapkan dan mengembangkan ide-idenya dalam menyelesaikan suatu masalah atau proyek pembelajaran. Lingkungan yang demikian terdapat dalam fase exploration dan explanation model 5E Learning Cycle, dimana siswa menggali pengetahuannya melalui penyelidikan kelompok yaitu ketika mereka harus menyelidiki sifat larutan garam, memprediksi sifat larutan garam melalui persamaan reaksi hidrolisisnya, dan menentukan pH larutan garam secara teoretis dan empiris; merancang prosedur percobaan untuk membuktikan hipotesis maupun teorinya, dan mengkomunikasikan temuannya untuk mendapatkan klarifikasi. Proses inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa. Peningkatan skor pada aspek berpikir kreatif terendah dicapai oleh aspek flexibility. Dalam berpikir kreatif, aspek flexibility memang paling sulit dicapai. Menurut Munandar (2009), aspek ini menuntut siswa untuk dapat menggolongkan halhal menurut kategori yang berbeda-beda serta mampu mengubah arah berpikir secara spontan. Spontanitas berpikir ini perlu dilatihkan secara kontinyu untuk mendapatkan aspek flexibility dari berpikir kreatif. Demikian pula halnya dengan aspek fluency, elaboration, dan originality, yang hanya mencapai peningkatan sedang. Hal ini disebabkan selama ini siswa belum pernah dibiasakan untuk secara kreatif. Department for Children, Schools, and Families of UK (2008) menyatakan bahwa setiap orang mampu berpikir kreatif pada lingkungan aktivitas yang berbedabeda bila kondisinya tepat dan mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang relevan. Wilks (Ergin, 2012) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini berpikir kreatif, dapat diajarkan dan dilatihkan kepada siswa semua usia. Dengan demikian model 5E Learning Cycle dapat digunakan untuk memfasilitasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5E Learning Cycle Sikap kreatif yang diamati dalam 5E Learning Cycle ini mencakup tiga aspek, yaitu curiosity, risktaking, dan complexity. Sikap curiosity meliputi ketertarikan yang luas, ketertarikan untuk mencoba, ketertarikan untuk mendengarkan ide-ide orang lain, terbuka terhadap hal-hal yang tidak biasa, dan mencari situasi yang menarik. Sikap risk-taking mencakup keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru, keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk berbeda. Sementara itu sikap complexity mengacu

Vol. 2 No. 3, April 2014 pada kecenderungan untuk mengkombinasikan pemikiran dengan tindakan yang mana sebagian orang memisahkannya (Stenberg, 1999; Tan, 2007, Munandar, 2009).

120 100 80 60 40 20 0

Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3

Gambar 3. Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5E Learning Cycle Data pengamatan sikap kreatif yang terdapat pada Gambar 3 menunjukkan bahwa frekuensi sikap kreatif curiosity pada fase engagement yang muncul pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga mengalami kenaikan, yaitu berturut-turut adalah 66,67%; 83,33%; dan 83,33%. Pada fase exploration, explanation, dan evaluation, persentase sikap kreatif yang muncul dalam masing-masing fase pertemuan pertama, kedua, dan ketiga, berturut-turut yaitu complexity, curiosity, dan risk-taking, adalah sebesar 100%. Sikap kreatif risk-taking yang muncul dalam fase elaboration pada pertemuan pertama adalah sebesar 83,33%, kemudian naik pada pertemuan kedua dan ketiga menjadi 100%. Pada fase engagement, guru menyajikan fenomena kehidupan sehari-hari seperti keberadaan tawas untuk menyerap deodoran, petani menggunakan prinsip hidrolisis garam dalam memupuk tanaman, dan pH kosmetik yang dibuat mendekati pH kulit, yang mengundang rasa ingin tahu, rasa tertarik, dan pertanyaan dari siswa. Guru mengharapkan siswa merespon dengan mengungkapkan apa yang mereka pikirkan mengenai fenomena tersebut, sehingga sikap kreatif curiosity (rasa ingin tahu) dominan muncul pada fase ini. Peningkatan frekuensi munculnya sikap curiosity dari pertemuan pertama sampai ketiga tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa berpikir kreatif makin baik. Meskipun demikian, pada fase ini masih terdapat beberapa siswa yang masih pasif dan belum menunjukkan respon

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 180

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya terhadap fenomena yang disajikan guru. Hal ini disebabkan siswa belum terbiasa menerima informasi baru yang menuntut siswa untuk berpikir dan menggali pengetahuan awal mereka. Pada fase exploration, frekuensi sikap kreatif complexity yang muncul tetap tinggi sejak pertemuan pertama sampai ketiga. Hal ini dikarenakan dalam fase ini siswa diberi kesempatan untuk berpikir secara bebas (tetapi masih dalam batasan konteks hidrolisis garam, persamaan reaksi hidrolisis garam, dan pH larutan garam), kemudian berdasarkan rumusan masalah yang ada, siswa menuangkan hasil pemikirannya ke dalam hipotesis. Selanjutnya, siswa dituntut untuk menguji hipotesis yang dibuatnya dan membuat prosedur pengujiannya. Siswa merancang percobaan untuk membuktikan sifat asam-basa dari garam-garam yang tersedia. Siswa juga diberi kesempatan untuk mencoba alternatif-alternatif penyelesaian masalah dan mendiskusikannya dengan teman satu kelompok. Keseluruhan aktivitas berpikir dan bekerja tersebut mempunyai kecenderungan untuk mengkombinasikan pemikiran dengan tindakan yang mengacu pada sikap kreatif complexity. Pada fase explanation, sikap kreatif yang diamati adalah curiosity. Frekuensi munculnya sikap ini relatif tinggi dan konstan selama pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Fase explanation memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan klarifikasi melalui debat dan diskusi, mendengarkan ide-ide orang lain, serta mempertanyakan umpan balik yang diberikan oleh guru yang menunjukkan sikap curiosity. Misalnya pada pertemuan kedua, ketika salah satu kelompok siswa mempresentasikan data temuan hubungan antara persamaan reaksi hidrolisis garam secara teoretis mapun empiris beserta kesimpulannya di depan kelas, kelompok-kelompok lainnya dengan rasa ingin tahu (curiosity) mengajukan pertanyaan seperti, “Mengapa hasil persamaan reaksi hidrolisis garam bisa sama dengan hasil pengujian sifat asambasa larutan garam?”. Pada fase elaboration frekuensi munculnya sikap kreatif risk-taking mengalami kenaikan dari pertemuan pertama ke kedua, kemudian konstan sampai pertemuan ketiga. Fase ini menuntut siswa berani menggunakan informasi yang diperoleh sebelumnya untuk diterapkan dalam situasi baru yang mengacu pada sikap risk-taking. Pada pertemuan pertama terdapat beberapa siswa yang kurang berani dalam mengambil resiko gagal atau salah dalam menerapkan pengetahuan tentang sifat garam yang terhidrolisis berkaitan dengan jenis

Vol. 2 No. 3, April 2014 hidrolisis garam yang telah dibahas pada fase explanantion, untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang disajikan pada fase ini. Hal ini dapat diatasi oleh guru dengan memberikan banyak masukan dan umpan balik pada kelompok tersebut pada fase explanation pertemuan kedua dan ketiga, sehingga kelompok tersebut lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan menunjukkan sikap kreatif risk-taking. Pada fase evaluation, siswa hanya dituntut untuk mengerjakan soal pemahaman diri secara individual, sehingga muncul keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru, keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk berbeda yang mengacu pada sikap kreatif risk-taking (berani mengambil resiko). Frekuensi sikap kreatif ini tetap tinggi dari pertemuan pertama sampai ketiga, artinya berdasarkan bekal pengetahuan yang diperoleh dari keempat fase sebelumnya, situasi evaluation mampu memacu kemampuan berpikir siswa. Dengan demikian dapat dikatakankan bahwa model 5E Learning Cycle mampu mendorong munculnya sikap kreatif siswa. Hubungan antara Kemampuan Berpikir Kreatif dan Penguasaan Konsep Dalam penelitian ini terdapat sebuah hipotesis yang akan diuji kebenarannya yaitu “Ada hubungan yang signifikan antara kemampuaan berpikir kreatif dengan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model 5E Learning Cycle”. Sebelum menghitung korelasi antara dua variabel (kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep), terlebih dahulu harus dipastikan bahwa data masing-masing variabel itu terdistribusi normal (Fraenkel, 2009). Uji normalitas berupa uji Kolmogorov-Smirnov (KS) dan uji Shapiro-Wilk terhadap distribusi skor kemampuan berpikir kreatif siswa (variabel X) dan skor penguasaan konsep siswa (variabel Y) menyatakan bahwa data skor kemampuan berpikir kreatif dan data skor penguasaan konsep berdistribusi normal. Perhitungan koefisien Korelasi-Pearson antara kemampuan berpikir kreatif (variabel X) dengan penguasaan konsep siswa (variabel Y) menggunakan program SPSS, menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,839 (lebih besar dari 0,799) artinya terdapat korelasi yang sangat kuat antara variabel X dan variabel Y (Sugiyono, 2007). Pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan uji t menghasilkan harga t hitung= 8,16. Untuk kesalahan 5% uji dua pihak dengan dk 29, maka diperoleh t tabel = 2,045. Mengingat t

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 181

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya hitung lebih besar dari t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model pembelajaran 5E Learning Cycle” dapat diterima. Diterimanya hipotesis tersebut dapat diterjemahkan bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir kreatif siswa, maka semakin tinggi pula tingkat penguasaan konsepnya. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1) penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa pada topik hidrolisis garam setelah mengimplikasikan model 5E Learning Cycle telah mencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa pada implementasi model 5E Learning Cycle yaitu curiosity pada fase engagement, complexity pada fase exploration, curiosity pada fase explanation, risk-taking pada fase elaboration dan risk-taking pada fase evaluation adalah baik, masing-masing mempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) ada hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara berpikir kreatif dan penguasaan konsep. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah dipaparkan maka dapat simpulan bahwa pembelajaran kimia menggunakan model 5E Learning Cycle pada pokok bahasan hidrolisis garam telah meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. DAFTAR PUSTAKA Akar, E. 2005. “Effectiveness of 5E Learning Cycle Model on Students’ Understanding of AcidBase Concept”. Diunduh dari http://www.ifets.info/journals/12_4/29.pdf pada tanggal 8 Juli 2012. Alfi,

I.R. 2012. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Siklus Belajar 5E dengan Strategi PBMP untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa”. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.

Anderson, L.W. and Krathwohl, D.R.. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. New York: McMillan Publishing Company. Bybee, R.W., Taylor, J.A. Gardner, Van Scotter, P., Powell, J.C., Westbrook, A., and Landes, N. 2006. "The BSCS 5E Instructional Model:

Vol. 2 No. 3, April 2014 Origins, Effectiveness, and Applications." Colorado Springs, CO: BSCS. Diunduh dari http://www.bscs.org/pdf/bscs5eexecsummary. pdf pada tanggal 14 Agustus 2012. Department for Children, Schools, and Families of UK. 2008. Developing Critical and Creative Thinking in Science. London: Department of Education. Dick, W. and Carey, L. 2009. The Systematic Design of Instruction. USA: HarperCollinsPublisher. Effendy. 2008. A-Level Chemistry for High School Students Volume 2B. Malang: Bayumedia Publishing. Ergin, I. 2012. “Constructivist Approach Based 5E Model and Usability Instructional Physics”. Latin American Journal of Physics Education. Vol. 6 No. 1 March 2012, pp. 14-20. Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 2009. How to Design and Evaluate Research in Education. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Gagne, R.M. 1977. The Condition of Learning. Third Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston. Getzels, J. W. & Jackson, P. J. (1962). Creativity and Intelligence: Explorations with Gifted Students. New York: John Wiley and Sons, Inc. Guilford, J.P. 1967. The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw–Hill. Hake, R.R. 1999. “Analyzing Change/Gain Score”. AERA-D-American Educational Research Association’s Division. Measurement and Reasearch Methodology. Tersedia di http://www.physics.indiana.edu/~sdi/Analyzin gChange-Gain.pdf Kolin, M., Krusack, E.B., Stombaugh, A., Stow, R., and Brenner, G.H. 2011. “Designing “Learning” Lessons for the University Classroom.” Diunduh dari www.worcestes.edu/Currents/Archieves/Volu me_4_Number_1/CURRENTSV4N1KolisP34 .pdf. pada tanggal 3 Juli 2013. Lee, K. 2005.” The relationship between creative thinking ability and creative personality of preschoolers”. International Education Journal 2005, p. 194-199. Seoul: Shannon Research Press. Mayer, R.E. 2008. Learning and Instruction. Second Edition. USA: Pearson. Mittal, A. and Mittal, J. 2002. Objective Chemistry For lit Entrance. New Delhi: New Age International (P) Ltd. Publishers. Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Palaniappan, A.K. 2007. “ Academic Achievement of Groups Formed Based on Creativity and Intelligence”. Diunduh dari

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 182

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya http://www.ep.liu.se/ecp/021/vol1/020/exp210 7020.pdf pada 13 Nopember 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013. “Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah”. Jakarta: Depdikbud. Qarareh, A.O. 2012. “The Effect of Using the Learning Cycle Method in Teaching Science on the Educational Achievement of the Sixth Graders”. International Journal of Educational Science, Vol. 4 No. 2, pp. 123132. Rahinawati, Y. 2011. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model Siklus Belajar dengan Strategi Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) pada Pembelajaran Kimia”. Makalah Komprehensif, Universitas Negeri Surabaya.

Vol. 2 No. 3, April 2014 J.W. Getzels (Eds.), Perspectives Creativity. Chicago: Aldine.

in

Trowbridge, L.W. and Bybee, R.W. 1996. Teaching Secondary School Science. Sixth Edition. New Jersey: Prentice – Hall, Inc. Yalcin, F.A. and Bayrakceke, S. 2010. “The Effect of 5E Learning Model on Pre-service Science Teachers’ Achievement of Acids-Bases Subject”. International Online Journal of Educational Sciences, Vol. 2 No. 2: pp. 508531. Yamamoto, K. (1964). “A further analysis of the role of creative thinking in High-School Achievement”. The Journal of Psychology, 58, 277-283.

Rao, D.B and Prasad, S.S. 2009. Creative Thinking of School Students. New Delhi: Discovery Publishing House Pvt. Ltd. Russo, T. 2003. Chemistry Concepts and Applications. Laboratory Manual. Student Edition. Ohio: Glencoe/McGraw-Hill Companies. Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. USA: Allyn and Bacon. Seyhan, H.G. and Morgin I. 2007. “The Effect of 5E Learning Model on Teaching of Acid-base Topic in Chemistry Education”. Journal of Science Education, ProQuest Education Journal, 8(2), pg. 120. Siswono, T.Y.E. 2007. “Penjenjangan Kemampuan Proses Berpikir dan Identifikasi Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika”. Disertasi. Surabaya: Unesa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika. Stenberg, R.J. 1999. Handbook of Creativity. New York: Cambridge University Press. Stoker, H.S. 2012. General, Organic, and Biological Chemistry. 6th Edition. USA: Cengage Learning. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan Ketiga. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tan, A., and Wong, S. 2007. “Constructive Creativity in Education”. In Ai-Girl Tan (Ed.). Creativity A Handbook for Teachers, 485-506. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Torrance, E. P. 1959. Explorations in Creative Thinking in the Early School Year: VI. Highly Intelligent and Highly Creative Children in a Laboratory School. Minneapolis: Bur. Edu. Res. University of Minnesota. Torrance, E.P. 1975. “Creativity Research in Education: Still Alive”. In I.A. Taylor and Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 183

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL LEARNING CYCLE 5E UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMK PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI Erie Verawati1) Suyatno2) Wahono3) 1) Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya 2) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa kelas XI semester genap SMKN 2 Tarakan pada materi pokok laju reaksi. Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan perangkat pembelajaran. Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model 4D, tetapi hanya sampai tahap pengembangan (develop). Uji coba perangkat pembelajaran di dalam kelas menggunakan rancangan one group pretest-postest design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RPP, Handout, dan LKS berkategori baik. Tes penguasaan konsep dan tes keterampilan berpikir kritis berkategori valid. Keterbacaan handout dan LKS tergolong baik. Keterlaksanaan RPP tergolong baik. Aktivitas siswa yang menonjol adalah membaca (mencari informasi dan sebagainya) (15%), melakukan percobaan untuk menguji hipotesis secara berkelompok (13%), dan menyampaikan pendapat atau mengkomunikasikan informasi kepada kelas dan guru dalam diskusi kelas (13%). Respon siswa terhadap pembelajaran sangat baik. Ketuntasan klasikal penguasaan konsep adalah 91% dengan skor rata-rata 79,61 dan skor rata-rata peningkatan (gain) 0,8 (kategori tinggi). Rata-rata skor keterampilan berpikir kritis sebesar 82,44 dengan skor peningkatan 0,8 (kategori tinggi). Kendala dalam pembelajaran berbasis learning cycle 5E adalah jumlah siswa yang cukup besar dan pengelolaan kelas kurang efektif sehingga masih ada siswa yang kurang terperhatikan, kurangnya alat-alat praktikum yang dibutuhkan, serta kendala dalam waktu pembelajaran, dengan cukup banyaknya siswa sehingga waktu yang diperlukan menjadi lebih banyak untuk membagi alat, bahan praktikum, handout, LKS, soal tes, serta angket. Berdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E yang dihasilkan telah layak dan dapat digunakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa. Kata Kunci: Model Learning Cycle 5E, Penguasaan Konsep, Keterampilan Berpikir Kritis.

Abstract: The aim of this research is to describe the feasibility of learning materials based on 5E learning cycle model to improve student concept mastery and critical thinking skills of grade XI even semester SMKN 2 Tarakan on rate of reaction topic. This research is development research using 4D models as instructional design. The test design of the implementation of the teaching materials use one group pretest-posttest design. The result of this research is Lesson Plan (RPP), Handout, and Student Worksheets (LKS) categorized good. Concept Mastery Test and Critical Thinking Skills Test categorized valid. Handouts and student worksheets have high legibility. Implementation of RPP is good. Prominent student activity in learning based on 5E learning cycle model are reading (looking for information, etc.) (15%), do an experiment to test the hypothesis in groups (13%), and express opinions or communicate information in discussion (13%). Students’ response to learning were very good. Classical completeness concept mastery is 91% with an average score 79.61 and improvement average score (gain) is 0.8 (high category). The average score of critical thinking skills is 82.44 and improvement average score (gain) is 0.8 (high category). Obstacles in the learning based 5E learning cycle model are the number of students are many and less effective of classroom management so there are students who are less attention; lack of lab tools; and obstacles in the learning time, because the number of students are many so it take a lot of time to divide lab tools, lab materials, handouts, worksheets, test questions, and questionnaires. Based on the result of the analysis data can be concluded that learning materials based on 5E learning cycle model produced is feasible so it can be used in learning to improve student concept mastery and critical thinking skills. Keywords: 5E Learning Cycle Model, Concept Mastery, Critical Thinking Skills.

PENDAHULUAN Pendidikan kimia sebagai bagian dari pendidikan sains berperan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan kimia berkembang seiring perkembangan sains dan teknologi di abad ke-21. Pendidikan abad ke-21 menghendaki dihasilkannya siswa yang mempunyai keterampilan berpikir, salah satunya adalah keterampilan berpikir kritis, agar dapat bertahan

menghadapi persaingan pada era globalisasi saat ini (Partnership for 21st Century Skills, 2008). Sebagaimana menurut Wagner (2008), siswa saat ini perlu menguasai tujuh keterampilan bertahan hidup agar berhasil di dunia kerja baru. Keterampilanketerampilan ini memungkinkan siswa menjadi warga negara yang produktif, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam memecahkan beberapa masalah penting di abad ke-21. Tujuh keterampilan bertahan

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 184

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya hidup tersebut meliputi berpikir kritis dan pemecahan masalah. Menurut IMLS keterampilan belajar dan keterampilan inovasi abad ke-21 yang harus dikuasai meliputi: berpikir kritis dan pemecahan masalah, kreativitas dan inovasi, komunikasi dan kolaborasi, literasi visual, literasi ilmiah dan numerik, berpikir lintas disiplin, dan literasi dasar (Institute of Museum and Library Services, 2009). Pemerintah Indonesia melalui Permendiknas No. 23 Tahun 2006 menghendaki lulusan SMK/MAK untuk mampu membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif serta dapat menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan secara mandiri (Permendiknas, 2006). Siswa lulusan SMK diharapkan mampu berpikir kritis secara mandiri, karena siswa SMK diharapkan siap memasuki dunia kerja setelah lulus sekolah, sehingga cara berpikirnya akan sangat menentukan keberhasilannya. Kurikulum 2013, melalui Permendikbud No. 70 Tahun 2013 mengamanatkan siswa kelas X dan XI SMK untuk mampu menunjukkan perilaku ilmiah (salah satunya kritis) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan percobaan dan diskusi (Permendikbud, 2013). Keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan di masa mendatang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Salah satu dari fungsi sekolah adalah menyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan siap dengan berbagai masalah yang ada, maka penting pembelajaran berpikir dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Selama ini, kemampuan berpikir kritis masih belum terjiwai oleh siswa sehingga hasil belajar siswa belum maksimal. Hal ini disebabkan kebanyakan guru hanya mengejar ketuntasan materi, kurang memikirkan bagaimana siswa belajar dan mengembangkan kemampuannya, termasuk kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan hasil observasi awal uji berpikir kritis pada materi faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi di kelas XII TKJ di SMKN 2 Tarakan, dari sepuluh indikator yang diobservasi menghasilkan lima indikator dengan hasil terendah, yaitu: (1) Menjawab pertanyaan mengapa, (2) Kemampuan memberikan alasan, (3) Membuat generalisasi, kesimpulan dan hipotesis, (4) Merumuskan alternatif yang memungkinkan untuk memecahkan masalah, dan (5) Mengaplikasikan prinsip yang diterima. Hal ini

Vol. 2 No. 3, April 2014 menunjukkan keterampilan berpikir siswa, terutama pada lima indikator tersebut masih cukup rendah sehingga masih perlu ditingkatkan. Sementara data nilai ulangan harian pokok bahasan laju reaksi yang diajarkan dengan metode konvensional di SMKN 2 Tarakan, 45% siswa masih belum tuntas, sehingga penguasaan konsep siswa terhadap materi laju reaksi juga masih perlu perbaikan. Kondisi pendidikan sains, yang di dalamnya terdapat pendidikan kimia, di Indonesia saat ini masih belum berkembang secara optimal dan masih tergolong rendah. Hal ini berarti peningkatan dan pengembangan mutu pembelajaran sains harus menjadi prioritas dan mutlak dilakukan. Fakta yang dapat dijadikan indikator masih rendahnya mutu pembelajaran sains di Indonesia adalah data hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). TIMSS yang merupakan studi internasional tentang prestasi matematika dan sains siswa SLTP menguji kemampuan siswa dalam domain kognitif yang terdiri dari pengetahuan, penerapan, dan penalaran. Indonesia untuk bidang sains berdasarkan hasil survey TIMSS 2007 berada pada peringkat 35 dari 46 negara peserta dan pada tahun 2011 peringkat Indonesia semakin menurun (Balitbang Kemendikbud, 2011). Hal ini menunjukkan kemampuan sains siswa Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya kemampuan sains siswa tentunya bukan karena faktor pengetahuan yang bersifat hafalan, melainkan pada faktor penerapan dan penalaran yang masih cukup rendah sehingga perlu usaha yang keras untuk meningkatkannya. Penerapan dan penalaran ini merupakan bagian dari indikator keterampilan berpikir kritis sehingga rendahnya kemampuan penerapan dan penalaran dapat digunakan sebagai indikator rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa. Jika siswa pada SLTP memiliki keterampilan berpikir kritis yang rendah tentu saja mengindikasikan bahwa SLTA, terutama kelas X dan XI, juga cenderung memiliki keterampilan berpikir kritis yang masih rendah. Di SMK, kimia merupakan salah satu mata pelajaran adaptif yang merupakan penunjang untuk mata pelajaran produktif (kejuruan). Mata pelajaran adaptif menuntut siswa mampu memahami dan menguasai konsep serta prinsip dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan melandasi kompetensi untuk bekerja. Pembelajaran kimia diharapkan tidak sekedar mengajarkan konsep kimia, tetapi mampu memberikan dasar bagi siswa disaat memerlukan konsep-konsep tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada mata pelajaran produktifnya (Yulianti, 2010). Salah satu cara untuk membantu siswa menghubungkan antara ilmu pengetahuan yang

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 185

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dipelajari di kelas dengan pengalaman pribadi siswa adalah model pembelajaran learning cycle 5E. Menurut Llewellyn (2007) sebagaimana dikutip Hokkanen (2011: 5) bahwa model 5E dapat membantu “siswa bergerak dari pengalaman konkret, untuk pengembangan pemahaman, dengan penerapan prinsipprinsip.” Model learning cycle 5E direkomendasikan untuk mengajar dalam teori belajar konstruktivis karena model learning cycle 5E dikenal sebagai model yang lebih baik daripada pembelajaran tradisional (Ergin et. al., 2008). Meskipun model-model konstruktivis seperti 3E, 4E, 5E, dan 7E memiliki langkah-langkah yang serupa, 5E adalah versi yang paling popular (Turk & Calik, 2008). Kegiatan pembelajaran model learning cycle 5E berusaha untuk membangkitkan minat siswa pada pelajaran kimia (engagement), memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan panca indera mereka semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan telaah literatur atau percobaan (exploration), memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan yang mereka miliki melalui kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka dapatkan dengan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah (elaboration) dan menyelesaikan tes akhir untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation). Aydin & Yilmas (2010) menunjukkan bahwa model pembelajaran learning cycle 5E lebih berpengaruh dalam meningkatkan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa dalam materi asam basa, daripada pembelajaran tradisional, serta mempengaruhi sikap siswa yang menjadi lebih positif terhadap mata pelajaran kimia di sekolah. Soeprodjo (2008) menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif penggunaan model learning cycle terhadap hasil belajar siswa kelas XI semester 2 SMA Negeri 1 Temanggung pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan. Upaya perbaikan kualitas pembelajaran dapat diawali dengan perencanaan pembelajaran. Perangkat pembelajaran merupakan salah satu wujud persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum mereka melakukan proses pembelajaran (Hudha dkk., 2011). Penelitian terhadap pengembangan perangkat pembelajaran learning cycle 5E untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir siswa pada materi laju reaksi belum pernah dilakukan sehingga peneliti menganggap perlu untuk mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan

Vol. 2 No. 3, April 2014 berpikir kritis siswa SMK pada materi pokok laju reaksi yang dikembangkan oleh peneliti. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan karena ditujukan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E pada materi laju reaksi. Subyek dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E yang diterapkan pada siswa kelas XI SMKN 2 Tarakan. Kelas uji coba dipilih secara pengundian yang akhirnya diterapkan pada kelas XI Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) yang terdiri dari 32 siswa. Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model 4D (four D model) dari Thiagarajan (1974), yang terdiri dari 4 tahap, yaitu pendefinisian (Define), perancangan (Design), pengembangan (Develop), dan penyebaran (Dessiminate). Namun dalam penelitian ini hanya dibatasi sampai tahap pengembangan.

Gambar 1. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4D (Diadaptasi dari Ibrahim, 2002). Kegiatan uji coba dilakukan dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah implementasi model pembelajaran learning cycle 5E hanya pada satu kelas, tanpa kelas kontrol menggunakan rancangan one group pretest–postets design (Fraenkel, 2012) sebagai berikut: O1

X

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

O2 | 186

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Keterangan: O1 : Pengujian awal (pre test) sebelum pemberian perlakuan O2 : Pengujian akhir (post test) setelah pemberian perlakuan X : Perlakuan dengan penerapan model learning cycle 5E

Teknik Analisis Data 1. Validitas RPP, Handout, dan LKS RPP, Handout, dan LKS yang telah divalidasi dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan kriteria: Sangat Baik : 5 (kualitas sangat baik, mudah dipahami, sangat sesuai dengan konteks penjelasan) Baik : 4 (kualitas baik, mudah dipahami, sesuai dengan konteks penjelasan) Cukup Baik : 3 (kualitas baik, mudah dipahami, perlu disempurnakan konteks penjelasan) Kurang Baik : 2 (kualitas baik, sulit dipahami, perlu disempurnakan konteks penjelasan) Tidak Baik : 1 (kualitas tidak baik, sulit dipahami, perlu disempurnakan konteks penjelasan) Hasil penilaian dari para validator ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh peneliti sesuai dengan saran dan komentar dari validator. Tingkat reliabilitas data antara tiga orang validator dihitung menggunakan interobserver agreement dengan menggunakan analisis statistik percentage of agreement (Watkins, 2001).

Keterangan: R (Percentage of Agreement) = Reliabilitas instrumen A (Agreement) = Frekuensi kecocokan antara penilai D (Disagreement) = Frekuensi ketidakcocokan antara penilai

Kriteria penentuan reliabilitas persen kecocokan menurut Watkins (2001) adalah sebagai berikut: R < 40% = Tidak Baik 40% < R < 60% = Cukup Baik 60% < R < 75% = Baik R > 75% = Sangat Baik Sementara itu menurut Borich (1994), instrumen dikatakan reliabel bila reliabilitas ≥ 0,75 atau 75%. 2. Validitas Butir Soal Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang valid mempunyai validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid mempunyai validitas yang rendah (Arikunto, 2010). Penilaian tes penguasaan konsep dan penilaian tes keterampilan berpikir kritis ini meliputi validasi isi, validasi bahasa, dan penulisan soal. Kriteria penilaian validasi isi: 5 = Sangat Valid, jika semua kriteria terpenuhi. 4 = Valid, jika empat dari lima kriteria terpenuhi. 3 = Cukup Valid, jika tiga dari lima kriteria terpenuhi. 2 = Kurang Valid, jika dua dari lima kriteria terpenuhi. 1 = Tidak Valid, jika hanya satu dari lima kriteria terpenuhi. Kriteria validasi bahasa dan penulisan soal:

Vol. 2 No. 3, April 2014 5 = Sangat dapat dipahami maksudnya, jika semua kriteria terpenuhi. 4 = Dapat dipahami maksudnya, jika empat dari lima kriteria terpenuhi. 3 = Cukup dapat dipahami maksudnya, jika tiga dari lima kriteria terpenuhi. 2 = Kurang dapat dipahami maksudnya, jika dua dari lima kriteria terpenuhi. 1 = Tidak dapat dipahami maksudnya, jika hanya satu dari lima kriteria terpenuhi. Kelayakan butir soal disimpulkan dengan kriteria: Rata-rata 4 – 5 = Tidak Revisi (Valid) Rata-rata 3 – 3,9 = Revisi Kecil (Cukup Valid) Rata-rata 1 – 2,9 = Revisi Besar (Tidak Valid) 3. Sensitivitas Butir Soal Penentuan sensitivitas butir tes pilihan ganda (tes penguasaan konsep) digunakan rumus: Gronlund (1985); Okonkwo & Osuji (2006).

Keterangan: = Indeks sensitivitas butir soal = = =

Jumlah siswa yang menjawab dengan benar soal post test Jumlah siswa yang menjawab dengan benar soal pre test Jumlah siswa yang mengikuti tes

Sementara sensitivitas butir tes esai (tes keterampilan berpikir kritis) digunakan rumus: (Gronlund, 1985)

Keterangan: = Indeks sensitivitas butir soal = = = = =

Banyaknya siswa yang mengikuti tes awal dan akhir Jumlah skor subyek setelah proses pembelajaran Jumlah skor subyek sebelum proses pembelajaran Skor maksimal yang dicapai siswa Skor minimal yang dicapai siswa

Kriteria indeks sensitivitas adalah sebagai berikut:  Butir soal yang ideal menghasilkan nilai indeks 1,00.  Butir soal yang efektif mempunyai indeks antara 0,00 sampai 1,00, semakin bernilai positif, semakin sensitif butir soal tersebut terhadap pembelajaran, dan  Butir soal dengan nilai nol dan negatif tidak peka atau sensitif terhadap pembelajaran (Okonkwo & Osuji, 2006). 4. Analisis Keterbacaan Handout dan LKS Keterbacaan Handout dan LKS dianalisis secara statistik deskriptif berdasarkan penilaian dan koreksi siswa yang mengisi instrumen. Selanjutnya dihitung persentase hasil jawaban siswa dan divisualisasikan dalam bentuk diagram batang. 5. Analisis Keterlaksanaan RPP Keterlaksanaan RPP dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan membandingkan rata-rata skala penilaian yang diberikan kedua pengamat dengan kriteria penilaian sebagai berikut: (Arikunto, 2010) 1,00 – 1,49 : Tidak baik

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 187

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 1,50 – 2,49 : Kurang Baik 2,50 – 3,49 : Cukup Baik 3,50 – 4,49 : Baik 4,50 – 5,00 : Sangat baik Tingkat reliabilitas data antara dua orang pengamat dihitung menggunakan interobserver agreement (Watkins, 2001). 6. Analisis Pengamatan Aktivitas Siswa Aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran dianalisis secara statistik deskriptif berdasarkan ratarata hasil pengamatan dari dua pengamat. Selanjutnya dihitung persentase hasil pengamatan aktivitas siswa tersebut dan divisualisasikan dalam bentuk diagram batang. Tingkat reliabilitas data antara dua orang pengamat dihitung menggunakan nilai kecocokan antarpengamat (Percentage of Agreement) menurut Emmer & Millet (dalam Borich, 1994).

Keterangan: R (Percentage of Agreement) = Reliabilitas instrumen A dan B = Frekuensi aktivitas siswa oleh pengamat 1 dan 2 (A nilai frekuensi yang lebih besar)

Kriteria penentuan reliabilitas persen kecocokan menurut Watkins (2001: 209) dan Borich (1994: 385). 7. Analisis Respon Siswa Angket respon siswa dinilai berdasarkan skala Likert dalam Sukmadinata (2012); Sugiyono (2012): 1) Sangat Setuju (SS) diberi nilai : 4 2) Setuju (S) diberi nilai : 3 3) Tidak Setuju (TS) diberi nilai : 2 4) Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai : 1 Data angket respon siswa dianalisis dengan rumus: Kriteria persentase respon siswa adalah: 0% – 20% : Kurang sekali 21% – 40% : Kurang 41% – 60% : Cukup 61% – 80% : Kuat 81% – 100% : Sangat kuat 8. Analisis Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Penguasaan konsep siswa dianalisis dengan menghitung persen ketuntasan penguasaan konsep secara individual dan klasikal: (Trianto, 2010).

Vol. 2 No. 3, April 2014 setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar antara 0 – 100%. Kriteria ideal ketuntasan setiap indikator adalah 75% (BSNP, 2006). Peningkatan skor penguasaan konsep, keterampilan berpikir kritis siswa dan ketuntasan indikator dihitung dengan gain score (skor peningkatan) Hake (1999) ˂g˃ = (%˂Sf˃ – %˂Si˃) / (100 – %˂Si˃) Keterangan: ˂g˃ = Gain score average (skor peningkatan ratarata) ˂Sf˃ = Rata-rata nilai final (post test) ˂Si˃ = Rata-rata nilai initial (pre test) Klasifikasi gain adalah sebagai berikut: ˂g˃ ˃ 0,7 : gain tinggi 0,7 ˃ ˂g˃ ˃ 0,3 : gain sedang ˂g˃ ˂ 0,3 : gain rendah 9. Analisis Kendala dan Hambatan Kendala atau hambatan yang terjadi selama proses pembelajaran yang dicatat oleh pengamat dianalisis secara deskriptif kualitatif, selanjutnya ditindaklanjuti dengan merevisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penilaian Kualitas Perangkat Pembelajaran 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran Hasil validasi perangkat pembelajaran oleh para pakar adalah sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran No 1. 2. 3.

Perangkat Pembelajaran RPP Handout LKS

Rata-rata Penilaian 4,29 4,57 4,42

Kategori Baik Sangat Baik Baik

No

Perangkat Pembelajaran

Penilaian Kelayakan

Kategori Sensitivitas

4.

Tes Penilaian Penguasaan Konsep

21 Butir soal yang valid

Sensitif

5.

Tes Keterampilan Berpikir Kritis

12 Butir soal yang valid 1 Butir soal yang cukup valid

Sensitif

Berdasarkan analisis data kriteria kelayakan RPP berbasis model learning cycle 5E, menunjukkan bahwa RPP sudah dapat digunakan langsung dengan mudah oleh orang lain untuk mengajarkan materi yang sama. Hal ini dapat ditinjau dari segi isi yang menunjukkan Jumlah skor maksimal = jumlah item x skor maksimal kegiatan guru dan kegiatan siswa dirumuskan secara tiap item. jelas dan operasional, sehingga mudah dilaksanakan dalam proses pembelajaran di kelas dan orang lain mudah memahaminya. Untuk format RPP sudah menunjukkan adanya kejelasan pembagian materi dan Siswa dikatakan tuntas (kompeten) jika siswa secara sistem penomoran. ditinjau dari segi komponen bahasa, individu memperoleh nilai ≥ 75 (sesuai KKM) dan bahasa yang digunakan dalam RPP menunjukkan sifat pembelajaran dikatakan tuntas secara klasikal jika komunikatif, struktur kalimat yang sederhana, serta terdapat 75% mencapai nilai ≥ 75. Ketuntasan belajar adanya kejelasan petunjuk dan arahan. RPP sudah | 188 Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

ganda yang valid dan sensitif terhadap pembelajaran dan layak digunakan sebagai perangkat pembelajaran karena sudah memenuhi standar validitas. Hasil analisis validasi perangkat tes keterampilan berpikir kritis menunjukkan bahwa penilaian kelayakan tes keterampilan berpikir kritis dari validator terhadap aspek validitas isi, serta bahasa dan penulisan soal menghasilkan 12 butir soal valid dan bahasanya dapat dipahami. Hasil analisis sensitivitas butir soal tes keterampilan berpikir kritis menunjukkan bahwa setiap indeks sensitivitas butir soal bernilai positif. Indeks sensitivitas butir soal tes keterampilan berpikir kritis seluruhnya berkategori sensitif, sehingga butir-butir soal tersebut dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir siswa dan sesuai dengan indikator yang diukur. 2. Hasil Penilaian Keterbacaan Perangkat Pembelajaran Keterbacaan merupakan tingkat pemahaman siswa terhadap susunan kalimat dalam Handout dan LKS. Keterbacaan Handout dan LKS 100% 100%

97%

100%

Tampilan LKS menarik

Isi LKS menarik

56% Gambar handout mudah dipahami…

Ada sedikit penjelasan yang…

Tampilan Handout menarik

56%

Handout

Gambar LKS mudah dipahami…

100%

Tidak ada penjelasan yang…

97%

Isi Handout menarik

mencantumkan pengalokasian waktu untuk setiap kegiatan pembelajaran sehingga memudahkan bagi orang lain untuk mengontrol kegiatan selama pembelajaran. Berdasarkan diskusi hasil penelitian tentang validasi RPP dapat disimpulkan bahwa RPP yang dikembangkan layak untuk digunakan sebagai perangkat pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis data kriteria kelayakan handout, menunjukkan bahwa handout yang dikembangkan mempunyai kelebihan daripada bukubuku yang telah digunakan oleh siswa selama ini. Kelebihannya adalah handout yang dikembangkan peneliti penuh warna sehingga menarik, gambargambar yang digunakan mudah dipahami dan sangat menunjang pemahaman materi yang ada dalam handout, diawali dengan tampilan fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang menarik keingintahuan siswa untuk mempelajari fenomena tersebut serta mendorong siswa untuk mencari informasi lebih lanjut, dan handout disusun sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, sehingga dapat disimpulkan bahwa handout yang dikembangkan layak digunakan sebagai perangkat pembelajaran karena sudah memenuhi standar validitas. Berdasarkan hasil analisis data kriteria kelayakan LKS, menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan mempunyai kelebihan daripada LKS-LKS yang telah digunakan oleh siswa selama ini. Kelebihannya adalah LKS yang dikembangkan peneliti penuh warna sehingga menarik, gambar-gambar yang digunakan mudah dipahami dan sangat menunjang pemahaman materi yang ada dalam LKS, diawali dengan tampilan fenomena dan pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupan sehari-hari yang menarik keingintahuan siswa untuk mempelajari dan mencari informasi lebih lanjut tentang fenomena tersebut serta melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa, dan LKS disusun sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, sehingga dapat disimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan layak digunakan sebagai perangkat pembelajaran karena sudah memenuhi standar validitas. Hasil analisis validasi perangkat tes penguasaan konsep menunjukkan bahwa penilaian kelayakan tes penguasaan konsep dari validator menghasilkan 21 butir soal yang valid, bahasanya dapat dipahami, dan mendapat kesimpulan tanpa revisi atau layak, sehingga dapat digunakan dalam uji coba pembelajaran di kelas. Hasil analisis sensitivitas butir soal tes penguasaan konsep menunjukkan bahwa setiap indeks sensitivitas butir soal bernilai positif, maka butir soal tersebut dapat dikatakan lebih sensitif dan mempunyai efek besar dalam pembelajaran (Okonkwo dan Osuji, 2006), sehingga dapat disimpulkan bahwa tes penguasaan konsep yang dikembangkan mempunyai 21 soal pilihan

Vol. 2 No. 3, April 2014

LKS

Gambar 2. Grafik Hasil Penilaian Keterbacaan Siswa terhadap Handout dan LKS Berdasarkan data di atas dapat ditentukan bahwa perangkat handout dan LKS memiliki tingkat keterbacaan yang baik sehingga memenuhi syarat kualitas sebagai perangkat pembelajaran. B. Hasil Implementasi Perangkat Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E 1. Keterlaksanaan RPP Tabel 2. Hasil Analisis Keterlaksanaan RPP Pertemuan Pertama, Kedua, dan Ketiga No

Rata-rata Rata-rata Aspek yang Keterlaksanaan KatePenilaian Rata-rata Diamati gori RPP RPP RPP RPP RPP RPP RPP RPP 1.1/I 1.2/I 1/II 1/III 1.1/I 1.2/I 1/II 1/III

A. Pendahuluan 1. Engagement B. Kegiatan Inti 2. Exploration 3. Explanation 4. Elaboration 5. Evaluation C. Penutup Suasana Kelas Alokasi Waktu Rata-rata

Ya Ya Ya Ya 4,8 4,7 4,7 4,3 Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

4,3 4,8 4,0 4,0 4,0 4,2 3,5 4,2

4,8 4,0 4,5 4,0 5,0 4,3 4,0 4,4

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

4,3 4,8 4,0 4,5 5,0 4,2 3,5 4,4

4,3 4,8 4,0 4,0 5,0 3,9 3,5 4,2

4,61 4,61 4,30 4,38 4,56 4,13 4,13 4,75 4,16 3,63 4,29

SB SB B B SB B B SB B CB

| 189

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Rata-rata Rata-rata Aspek yang Keterlaksanaan Penilaian KateNo Rata-rata Diamati gori RPP RPP RPP RPP RPP RPP RPP RPP 1.1/I 1.2/I 1/II 1/III 1.1/I 1.2/I 1/II 1/III

Reliabilitas (%)

80,6 84,2 84,2 81,6

82,64

Rata-rata seluruh langkah pembelajaran yang tertulis dalam RPP telah terlaksana. Rata-rata penilaian keterlaksanaan RPP adalah 4,29 dengan kategori baik yang menunjukkan bahwa RPP yang dikembangkan telah disusun dengan baik sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dalam pembelajaran. Rata-rata reliabilitas yang dihasilkan adalah 82,64%, hal ini menunjukkan bahwa persentase kecocokan penilaian antara dua pengamat adalah sangat baik. Perhitungan relibilitas instrumen yang digunakan menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan dapat dipercaya karena memiliki reliabilitas melebihi 75% Borich (1994) dan Watkins (2001). Hasil tiga kali pelaksanaan RPP dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan RPP dikategorikan baik dengan reliabilitas kecocokan antar pengamat sangat baik. 2. Aktivitas Siswa Pengamatan aktivitas siswa dilakukan oleh dua orang pengamat di SMKN 2 Tarakan.

Vol. 2 No. 3, April 2014 dengan teori belajar bermakna Ausubel, yang inti pokoknya sangat dekat dengan konstruktivisme, yang menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah siswa miliki serta menekankan pentingnya siswa aktif dalam proses belajar. Berdasarkan pandangan teori belajar konstruktivis menurut Slavin (2009) menganjurkan peranan yang lebih aktif dari siswa dalam pembelajaran mereka sendiri (student-centered instruction). Belajar lebih dari sekedar mengingat, untuk benarbenar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, siswa harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa (Piaget dalam Cook, 2005). Pengetahuan yang tertanam kuat dalam memori jangka panjang siswa tentunya akan dapat mempermudah siswa ingat dan pada akhirnya akan membantu meningkatkan penguasaan konsep serta kemampuannya dalam memecahkan masalah. Perhitungan reliabilitas kecocokan antara dua orang pengamat menunjukkan bahwa instrumen pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran learning cycle 5E dapat dikatakan sangat baik, dengan reliabilitas ratarata sebesar 89,67%. Hal ini sesuai dengan ketentuan Watkins (2001) bahwa reliabilitas > 75% dikatakan sangat baik, dan Borich (1994), bahwa jika nilai reliabilitas instrumen ≥ 75% dikategorikan instrumen yang baik. 3. Respon Siswa Hasil penilaian respon siswa terhadap model pembelajaran berbasis learning cycle 5E adalah seperti dalam Gambar 4.

Gambar 3. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E. Aktivitas siswa yang menonjol adalah membaca (mencari informasi dan sebagainya) (15%), melakukan percobaan untuk menguji hipotesis secara berkelompok (13%), dan menyampaikan pendapat atau mengkomunikasikan informasi kepada kelas dan guru dalam diskusi kelas (13%). Secara umum aktivitas siswa selama proses pembelajaran menunjukkan frekuensi yang relatif stabil, hal ini disebabkan karena proses pembelajaran selalu mengikuti skenario yang terdapat pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dikembangkan dan menggunakan perangkat pembelajaran termasuk media/alat yang sama selama kegiatan pembelajaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa model learning cycle 5E dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu membuat siswa belajar secara aktif (Hudojo, 2001 dalam Fajaroh, 2007), serta sesuai

Gambar 4. Respon Siswa terhadap Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E. Rata-rata penilaian respon siswa adalah 3,4 dengan kategori setuju, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa setuju model learning cycle 5E dapat membuat siswa: (1) lebih senang belajar dengan langsung mengaplikasikan pelajaran atau materi yang didapat; (2) lebih berani untuk mengemukakan pendapat-

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 190

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya pendapat yang ada dalam pikirannya, sehingga lebih cepat paham terhadap materi yang pelajarinya; (3) lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran; (4) meningkatkan motivasi belajarnya; (5) lebih mudah mengerjakan soalsoal; (6) tertarik dan tidak bosan; (7) melatih keterampilan berpikir kritisnya; dan (8) meningkatkan penguasaan kosepnya. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2001) dalam Fajaroh (2007) bahwa ditinjau dari dimensi siswa, penerapan model learning cycle 5E memberi keuntungan dapat meningkatkan motivasi belajar karena siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. Demikian juga menurut Fish (dalam Ergin, 2012) bahwa pendekatan model 5E dapat menghasilkan: (1) prestasi yang lebih baik, (2) penyimpanan konsep dengan baik, (3) peningkatan sikap terhadap mata pelajaran, (4) peningkatan sikap terhadap pembelajaran, (5) peningkatan kemampuan penalaran, dan (6) keterampilan proses yang unggul. 4. Penguasaan Konsep Siswa Penguasaan konsep merupakan salah satu indikator efektivitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa 29 siswa dari 32 siswa telah mendapatkan nilai post test yang mencapai bahkan melampaui KKM, dengan rata-rata skor 79,61, sehingga ketuntasan klasikalnya dapat mencapai 91%. Tiga orang siswa yang belum tuntas selanjutnya diberikan remedial hingga tuntas. Ketidaktuntasan ini didukung dengan data aktivitas siswa yang tidak relevan selama pembelajaran berlangsung. Setiap siswa dalam penelitian ini juga mengalami peningkatan penguasaan konsep dengan nilai rata-rata gain adalah tinggi yaitu 0,8. Menurut Hake (1999) nilai gain > 0,7 diklasifikasikan sebagai gain tinggi. Penguasaan konsep yang tinggi menunjukkan bahwa tahap-tahap dalam pembelajaran model learning cycle 5E mampu membantu siswa dalam proses konstruksi konsep sehingga meningkatkan daya akomodasi konsepnya serta berpusat pada siswa. Keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran menyebabkan penyimpanan informasi ke memori jangka panjang (Slavin, 2009). Sejalan dengan teori pemrosesan informasi, bahwa belajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Ausubel: 1968). Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa pengetahuan ditata di dalam struktur kognitif secara hirarkhis, sehingga pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu dapat mempermudah perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci. Tingginya nilai gain menunjukkan pembelajaran learning cycle 5E dapat meningkatkan penguasaan

Vol. 2 No. 3, April 2014 konsep siswa pada materi pokok laju reaksi. Senada dengan hasil penelitian Soeprodjo (2008) bahwa ada pengaruh positif penggunaan model learning cycle terhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan; Qarareh (2012) dan Fish (1999) mengungkapkan efektivitas learning cycle 5E pada hasil pendidikan seperti prestasi dan penyimpanan konsep dengan baik; Sihaloho dkk. (2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran learning cycle 5E lebih efektif dalam meningkatkan motivasi dan penguasaaan konsep siswa daripada pembelajaran konvensional; serta Bell (2012) bahwa learning cycle 5E mendorong pembelajaran bermakna, hal ini tentu saja akan membuat penguasaan konsep siswa akan meningkat. Tabel 3. Ketuntasan Indikator Tes Penguasaan Konsep dan Skor Peningkatan (Gain) No Indikator

Skor Pre Test (%)

Skor Ketun- Skor Post Ketuntasan tasan Pening- KateTest Indikator Keselu- katan gori (%) ruhan (Gain)

Produk 1. 2. 3. 4. 5.

1

2 3 4 5 Proses 6. 6 7. 7 8. 8 9. 9 10. 10 11. 11 Rata-rata

0

50

Tdk Tuntas

0,5

Sedang

3 0 3 25

75 75 78 75

Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas

0,7 0,8 0,8 0,7

Sedang Tinggi Tinggi Sedang

25 6 13 19 16 25 12,27

75 75 78 75 81 78 74,09

Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas

0,7 0,7 0,7 0,7 0,8 0,7 0,8

Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang 0,7

100%

Ketuntasan setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu KD berkisar antara 0 – 100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator adalah 75% (BSNP, 2006). 10 Dari 11 indikator pada KD menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi telah dapat dicapai siswa ≥ 75%, sehingga indikator produk dan proses dapat dikatakan 91% tuntas. Hampir setiap indikator mengalami peningkatan skor, dengan rata-rata gain adalah 0,7 yang kategorinya sedang. Tingginya nilai gain membuktikan bahwa model learning cycle 5E dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mencapai ketuntasan indikator dalam KD menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. 5. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Keterampilan berpikir kritis siswa adalah keterampilan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang tercermin melalui indikator (1) menjawab pertanyaan mengapa; (2) kemampuan memberikan alasan; (3) membuat generalisasi, kesimpulan dan hipotesis; (4) mengaplikasikan prinsip yang diterima;

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 191

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya serta (5) merumuskan alternatif yang memungkinkan untuk memecahkan masalah. Tabel 4. Skor Gain Keterampilan Berpikir Kritis Siswa No

Siswa

1. 01 2. 02 3. 03 4. 04 5. 05 6. 06 7. 07 8. 08 9. 09 10. 10 11. 11 12. 12 13. 13 14. 14 15. 15 16. 16 17. 17 18. 18 19. 19 20. 20 21. 21 22. 22 23. 23 24. 24 25. 25 26. 26 27. 27 28. 28 29. 29 30. 30 31. 31 32. 32 Rata-rata

Skor Pre Test (%) 19 19 10 9 12 14 18 4 22 22 15 18 19 12 13 10 20 4 6 41 15 9 14 12 27 8 12 9 0 16 44 20 15,41

Skor Post Test (%) 91 76 75 51 81 94 81 77 63 100 78 89 85 78 87 89 85 100 86 86 88 77 67 83 91 83 81 80 76 77 89 94 82,44

Skor Gain 0,9 0,7 0,7 0,5 0,8 0,9 0,8 0,8 0,5 1,0 0,7 0,9 0,8 0,8 0,9 0,9 0,8 1,0 0,9 0,8 0,9 0,7 0,6 0,8 0,9 0,8 0,8 0,8 0,8 0,7 0,8 0,9 0,8

Kategori Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Tingginya nilai gain menunjukkan pembelajaran model learning cycle 5E beserta perangkat pembelajaran yang dikembangkan ini dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aydin dan Yilmas (2010); juga Fish (dalam Ergin, 2012) yang telah membuktikan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan penalaran pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model learning cycle 5E dibandingkan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional. Tabel 5. Persentase Ketuntasan Indikator Tes Keterampilan Berpikir Kritis dan Skor Peningkatan No. Indikator 1. 1 2. 2 3. 3 4. 4 5. 5 Rata-rata

Skor Pre Test (%) 3 0 3 0 0 1,20

Skor Post Test (%) 78 81 72 81 47 71,80

Skor Gain 0,8 0,8 0,7 0,8 0,5 0,7

Kategori Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang

Tingginya persentase ketuntasan indikator berpikir kritis terutama pada kemampuan memberikan alasan dan mengaplikasikan prinsip yang diterima, dimungkinkan karena tahapan model pembelajaran

Vol. 2 No. 3, April 2014 learning cycle 5E memberikan kesempatan yang lebih besar dalam melakukan tanya jawab, terutama pada tahap engagement, exploration, explanation, dan elaboration. Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran learning cycle 5E sesuai untuk mengajarkan indikator-indikator keterampilan berpikir kritis yang diteliti. Adanya peningkatan skor pada kategori sedang, dimungkinkan karena adanya siswa yang tidak serius atau aktivitas siswa yang tidak relevan selama pembelajaran berlangsung, seperti percakapan yang tidak perlu, mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan proses pembelajaran, atau mengganggu teman. Setelah implementasi dapat disimpulkan bahwa model learning cycle 5E beserta perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. 6. Kendala atau Hambatan selama Pembelajaran Tabel 6. Kendala dan Hambatan dalam Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E No 1.

Kendala atau Hambatan Jumlah siswa yang cukup besar dan pengelolaan kelas kurang efektif sehingga masih ada siswa yang kurang terperhatikan. Kurangnya alat-alat praktikum yang

2. dibutuhkan.

3.

Kendala dalam waktu pembelajaran, dengan cukup banyaknya siswa sehingga waktu yang diperlukan menjadi lebih banyak untuk membagi alat, bahan praktikum, handout, LKS, soal tes, serta angket.

Solusi Guru hendaknya melakukan pengelolaan kelas dengan lebih efektif. Membentuk kelompok dengan jumlah siswa yang lebih banyak. Mengalokasikan waktu secara lebih tepat dan membagikan handout, LKS, serta angket sebelum pembelajaran.

Kendala ini sejalan dengan pendapat Soebagio (2000) dalam Fajaroh (2007) yang menyatakan bahwa dalam model pembelajaran learning cycle 5E: (1) Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran; (2) Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran; (3) Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi; serta (4) Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran. Hal ini seharusnya diantisipasi oleh guru agar pembelajaran menjadi lebih efektif. PENUTUP Simpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E pada materi pokok laju reaksi yang dihasilkan layak digunakan dalam pembelajaran kimia di SMK. Saran

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 192

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Perangkat pembelajaran kimia berbasis model learning cycle 5E pada materi laju reaksi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai acuan bagi guru kimia untuk mengembangkan perangkat pembelajaran sejenis pada materi pokok yang lain. Guru hendaknya menguasai materi, menguasai langkah-langkah pembelajaran, mempersiapkan pembelajaran, serta dapat mengelola kelas dengan baik agar pembelajaran model learning cycle 5E lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Ausubel, D. P. 1968. Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart & Winston. Aydin, N. & Yilmas, A. 2010. “The Effect of Constructivist Approach in Chemistry Education on Students’ Higher Order Cognitive Skills” Hacettepe Üniversitesi Journal of Education. 39. 57 – 68. Balitbang Kemendikbud. 2011. Survei Internasional TIMSS.http://litbang.kemdikbud.go.id/detail.php?id=214 Diakses pada tanggal 26 Nopember 2012. Bell, C. V. & Odom, A. L. 2012. “Reflections on Discourse Practices During Professional Development on the Learning Cycle”. Journal Science Teacher Education. 23 (6). Borich, G. D. 1994. Observation Skill for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP. Cook, J. L. & Cook, G. 2005. Child Development: Principles & Perspectives. Boston: Allyn & Bacon. Ergin, I, Kanli, U & Unsal, Y. 2008. “An Example for the Effect of the 5E Model on the Academic Success and Attitude Levels of Students’: Inclined Projectile Motion.” Journal of Turkish Science Education, 5 (3) 47 – 59. Fajaroh, F. & Dasna, I. W. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20/pembelajar an-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle/. Diakses pada tanggal 31 Desember 2012. Fish, L. 1999. “Why Use the 5E Model for Teaching Science?”. In Ergin, I. 2012. “Constructivist Approach Based 5E Model and Usability Instructional Physics.” Latin American Journal of Physics Education, 6 (1) 14 – 20. Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Gronlund, N. E. 1985. Constructing Achievement Test. 5th Edition. New York: Prentice Hall Inc. Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. USA: Department of Physics, Indiana University. Hokkanen, S. L. 2011. “Improving Student in Science Through the Implementation of the 5E Learning Cycle in the Middle Grades of an Urban School”. Thesis Masters of Science in Science Education, Montana State University. Hudha, A.M., Husamah, & Hadi, S. 2011. “Pendampingan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Laboratorium untuk Menunjang Pelaksanaan KTSP Bagi Guru IPA Biologi SMP Muhammadiyah 1 Malang.” Jurnal Dedikasi, 8 p. 43 – 51.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Ibrahim, M. 2002. Modul Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Institute of Museum and Library Services. 2009. Museums, Libraries and 21st Century Skills. Washington: IMLS Office of Strategic Partnerships. Okonkwo & Osuji. 2006. EDU 403: Measurement and Evaluation. Victoria Island: National Open University of Nigeria. Partnership for 21st Century Skills. 2008. 21st Century Skills, Education & Competitiveness: A Resource and Policy Guide. Partnership for 21st Century Skills. Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Permendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Qarareh, A. O. 2012. “The Effect of Using the Learning Cycle Method in Teaching Science on the Educational Achievement of the Sixth Graders.” International Journal Education Science. 4 (2) 123 – 132. Reigeluth, C.M., & Stein, F. 1983. “The Elaboration Theory of Instruction”. In Reigeluth, C.M. Instructional Design Theories and Models: An Overview of the Current Status. Hillsdale, New York: Lawrence Erlbaum Associates. Sihaloho, L. M., Rudibyani, R. B., & Efkar, T. 2013. “Peningkatan Motivasi dan Penguasaan Konsep Melalui Model Learning Cycle 5E”. Jurnal Pendidikan Kimia. 1 (7). Slavin, R. E. 2009. Educational Psychology: Theory and Practice. 9th Edition. Boston: Allyn & Bacon. Soeprodjo, P. S., & Sariana, E. Y. 2008. “Pengaruh Model Learning Cycle terhadap Hasil Belajar Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan”. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 2 (1) 224 – 229. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, N. S. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children: A Sourcebook. Bloomington: Indiana University. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran InovatifProgresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Turk, F. & Calik, M. 2008. “Using Different Conceptual Change Methods Embedded Within 5E Model: A Sample Teaching of Endothermic – Exothermic Reactions.” AsiaPacific Forum on Science Learning and Teaching, 9 (1). Wagner, Tony. 2008. “Expecting Excellence: Rigor Redefined”. Educational Leadership, 66 (2) 20 – 25. Watkins, M. W. & Pacheco, M. 2001. “Interobserver Agreement in Behavioral Research: Importance and Calculation.”Journal of Behavioral Education, 10 (4). Yulianti. 2010. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Peluang Berbasis Reciprocal Teaching untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMK Negeri 3 Lubuklinggau.” Jurnal Pendidikan Matematika, 4 (1).

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA

| 193

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA BERBASIS MODEL PEMAKNAAN UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN MENANAMKAN KARAKTER Suwar1) Wasis2) Toeti Koestiari3) 1)

Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. 3) Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. e-mail: [email protected] 2)

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis model pemaknaan untuk melatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter pada pokok bahasan Induksi Elektromagnetik. Tujuan tersebut dicapai melalui proses mendiskripsikan kelayakan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan, yaitu mengembangkan perangkat pembelajaran meliputi Silabus, RPP, LKS, BAS, dan LPHB. Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model pengembangan 4-D, sedangkan dalam uji coba perangkat digunakan rancangan One Group Pretest – Posttest Design. Subjek dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran yang diujicobakan pada siswa SMP Negeri 2 Mojokerto. Pengambilan data dilakukan dalam tiga kali pertemuan. Analisis data penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan berkategori layak, praktis, dan efektif. Kelayakan ditinjau dari keterbacaan BAS 90% dan hasil validitasi yang menyatakan perangkat pembelajaran valid. Kepraktisan ditunjukkan dari keterlaksanaan RPP rata-rata 97,6%, aktivitas siswa 76,7%. Keefektifan perangkat pembelajaran ditunjukkan dengan hasil belajar kognitif 82,4%, psikomotor 94,6%, keterampilan proses sains 97,3%, dan afektif rata-rata 95,8% (moral knowing 100%, moral feeling 100%, moral acting 87,5%), serta respon positif siswa 92,1 % (100% merespon positif terhadap fase pemaknaan, ciri khas model pemaknaan). Berdasarkan hasil analisis data di atas disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis model pembelajaran pemaknaan pada materi pokok induksi elektromagnet layak, praktis, dan efektif digunakan dalam pembelajaran untuk melatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter siswa SMP. Kata-kata kunci: Model Pemaknaan, Karakter, Keterampilan Proses Sains. Abstract: The research was aimed to produce a science physics learning package based on the Model Pemaknaan to facilitate science process skills and cultivate character on the subject of Electromagnetic Induction. The object is achieved through the process of describing the feasibility, practicality, and effectiveness of learning package are developed. This type of research is the development of research, to develop a learning package including syllabus, lesson plans, worksheets, student textbooks, and learning outcomes assessment sheet. The researcher developed the learning package using 4-D and used One Group Pre Test – Post Test Design during the implementation. The subjects in this research is learning package, were tested on students of SMP Negeri 2 Mojokerto. Data collection was conducted in three sessions. Analysis of experimental data showed that the developed learning package categorized feasible, practical, and effective. Feasibility in terms of legibility student textbooks was 90%, and validation results were expressed valid. Demonstrated the practicality of enforceability lesson plan average of 97.6%, 76.7% student's activity. The effectiveness of the learning package is shown with 82.4% cognitive learning outcomes, 94.6% psychomotor, 97.3% science process skills, and 95.8% affective average (100% moral knowing, 100% moral feeling, 87.5% acting morally), and 92.1% the positive response of students (100 % respond positively to the interpretation phase, characteristic of Model Pemaknaan. Based on the results of data analysis concluded that the science physics learning package based Model Pemaknaan in the subject matter of electromagnetic induction feasible, practical, and effective to use in learning tofacilitate science process skills and cultivate character of junior high school students. Keywords: Model Pemaknaan, Character , Science Process Skills

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 194

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya PENDAHULUAN Pendidikan merupakan bentuk usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan (Munib, 2009). Mendidik berarti membantu anak dengan sengaja (dengan jalan membimbing, membantu, dan memberi pertolongan) agar ia menjadi manusia dewasa, susila, bertanggung jawab, dan mandiri. Dewasa yang dimaksud adalah dewasa pedagogis (menyadari dan mengenali diri sendiri atas tanggung jawab sendiri), dewasa biologis (mampu mengadakan keturunan), dewasa psikologis (fungsi kejiwaan telah matang), dan dewasa sosiologis (telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan masyarakat) (Santrock, 2002). Pendidikan tidak hanya bermakna transfer of knowledge. Lebih dari itu pendidikan didedikasikan untuk mengembangkan potensi diri peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Ada tiga dimensi besar yang diharapkan tumbuh pada diri peserta didik setelah melalui proses pendidikan, yakni ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Ranah kognitif bertujuan untuk membentuk peserta didik yang cerdas, berpengetahuan, berilmu, cakap, dan kreatif. Ranah psikomotorik bertujuan membentuk peserta didik yang terampil baik soft skill maupun hard skill. Ranah afektif membentuk peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, sehat, demokratis, dan bertanggung jawab. Pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan afektif pada hakekatnya adalah pendidikan karakter. Indonesia sedang berikhtiar keras guna mencapai keberhasilan pembangunan karakter bangsa. Pemerintah RI telah mengeluarkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menindaklanjutinya dengan menerbitkan Desain Induk Pendidikan Karakter (2010). Hal ini menunjukkan penting dan mendesaknya pendidikan karakter bagi Bangsa Indonesia, terutama implementasinya di dunia pendidikan. Kenyataannya, peran penting dan urgensinya pendidikan karakter justru belum dirasakan oleh sebagian guru. Hal ini terlihat dari pembelajaran di kelas selama ini lebih condong ke ranah kognitif yang diikuti ranah psikomotorik. Sementara itu ranah afektif yang merupakan dasar pembentukan karakter, kurang mendapat sentuhan dari semua guru mata pelajaran. Keadaan demikian diperparah oleh berkembangnya produk-produk ICT (Information and Communication Technologi) modern yang memudahkan peserta didik mengakses informasi bagaimanapun bentuknya dan dari manapun asalnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak kejadian yang menimpa sebagian peserta didik mengindikasikan adanya penurunan kualitas karakter mereka. SMPN 2 Mojokerto sebagai salah satu satuan pendidikan di Kota Mojokerto wajib mengamankan

Vol. 2 No. 3, April 2014 visi/misi kota, khususnya dalam bidang pendidikan, yakni cerdas dan bermoral. Bermoral dalam arti berakhlak mulia dan berkarakter. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis berpendapat bahwa pendidikan karakter mendesak untuk diimplementasikan di SMPN 2 Kota Mojokerto. Menanamkan karakter positif kepada siswa dibutuhkan teladan bagaimana karakter positif itu dilakukan. Sementara itu IPA Fisika mengandung gejala atau fenomena yang berpotensi dapat dijadikan contoh. Pengembangan karakter melalui fisika dapat dilakukan dengan cara memaknai fenomena fisika lalu dianalogikan dengan karakter positif. Analogi dari konsep itu bisa dijadikan model perilaku yang bisa diteladani. Model pembelajaran yang mengemas pendidikan karakter melalui pemaknaan fenomena alam untuk dijadikan model perilaku adalah Model Pembelajaran Pemaknaan. Model pembelajaran pemaknaan memfasilitasi guru untuk menanamkan karakter melalui mekanisme instructional effect daripada hanya sekedar nurturant effect. Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini penulis tertarik untuk mengimplementasikan Model Pembelajaran Inovatif IPA melalui Pemaknaan untuk menanamkan karakter dan melatihkan keterampilan proses sains. Hal itu juga dikuatkan oleh bukti-bukti ilmiah dari penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa model pembelajaran ini mampu menanamkan karakter kepada siswa. I. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Produk yang dikembangkan berupa perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis Model Pembelajaran Pemaknaan pada materi Induksi Elektromagnetik untuk melatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter siswa SMP. Model pengembangan yang digunakan mengacu pada model 4-D (four D models), yaitu Define (pendefinisian), Design (perancangan), Develop (pengembangan), and Disseminate (penyebaran). Tahap disseminate tidak dilakukan karena penelitian ini untuk keperluan guru sendiri, dimana hasil pengembangannya diterapkan di sekolah sendiri. Rancangan penelitian pada uji coba I dan uji coba II menggunakan One Group Pretest – Postest Design yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Tes Awal

1. KBM tiap RPP 2. Guru mengajar menggunakan perangkat pembelajaran model pemaknaan 3. Pengamatan aktivitas siswa, respon siswa keterampilan proses sains dan sensitivitas moral

Tes Akhir

Bagan Rancangan Penelitian One Group Pretest – Postest Design.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 195

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) Variabel-variabel yang terkait dengan kualitas perangkat pembelajaran, yaitu (a) validitas perangkat, (b) tingkat keterbacaan perangkat, dan (2) Variabel-variabel terkait proses dan hasil belajar siswa, yaitu (a) keterlaksanaan pembelajaran, (b) aktivitas siswa, (c) hasil belajar, (d) keterampilan proses sains, dan (e) respon siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Instrumen Penilaian Kualitas Perangkat Pembelajaran, yaitu (a) Instrumen Lembar Validasi perangkat, (b) Instrumen Keterbacaan BAS, dan (2) Instrumen Penilaian Proses dan Hasil Belajar, yaitu (a) Instrumen Lembar Pengamatan Keterlaksanaan RPP, (b) Instrumen Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa, (c) Instrumen Lembar Pengamatan Keterampilan Proses Sains Siswa, (d) Instrumen Lembar Respon Siswa, (e). Instrumen Tes Hasil Belajar, serta (f) Instrumen Lembar Penilaian Sensitivitas Moral II. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 2 Kota Mojokerto, Jawa Timur, di kelas 9I, 9A, dan 9H, dibantu empat observer yaitu Eny Trisiawati S.Pd, Nanik Zubaidah S.Pd, Anik Yuli Widyastuti S.Pd dan Poedji Rahajoe S.Pd. Hasil dan diskusi dari ketiga tahap penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut. A. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah perangkat pembelajaran berorientasikan Model Pembelajaran Pemaknaan untuk melatihkan keterampilan proses sains dan mengembangan karakter pada siswa SMP. Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan dalam penelitian ini meliputi: (1) Silabus, (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (3) Buku Ajar Siswa (BAS), (4) Lembar Kegiatan Siswa (LKS), (6) Lembar Penilaian Hasil Belajar (LPHB), dan (7) Lembar Penilaian Keterampilan Proses Sains. Hasil Validasi dan Uji Keterbacaan Perangkat Pembelajaran No Nama Perangkat Kategori 1 Silabus Sangat Baik 2 RPP 3 LKS 4 BAS Validasi Keterbacaan 5 THB Kognitif Cukup Valid Afektif Moral Knowing Afektif Moral Feeling Psikomotor KEPROS Valid Hasil penilaian validator menunjukkan bahwa semua perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan layak untuk diimplementasikan dalam kelas uji coba. B. Keterlaksanaan Perangkat Pembelajaran (RPP) Data keterlaksanaan pembelajaran disajikan dalam tabel berikut.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Hasil observasi keterlaksanaan RPP Persentase Kategori Keterlaksanaan 9I 9A 9H Pendahuluan 97,2 100,0 100,0 Sangat Baik Kegiatan Inti 97,6 99,4 98,6 Penutup 97,9 95,8 100,0 Berdasarkan tabel tersebut bahwa fase-fase pada ketiga RPP terlaksana dengan sangat baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang dikembangkan untuk pengamatan keterlaksanaan RPP dikategorikan sangat baik karena berada di atas 75%. Keterlaksanaan pembelajaran mencerminkan bahwa rencana pembelajaran telah dirancang dengan baik. Salah satu peran guru yang intensional ialah berfungsi sebagai perancang pengajaran, yang dengan hati-hati merencanakan kemampuan baru apa saja yang akan diperoleh pembelajar (Slavin, 2011). Pelaksanaan pembelajaran di kelas adalah bentuk miniatur pelaksanaan kurikulum. Akbar Sa'dun (2013) menyatakan bahwa keterlaksanaan kurikulum (competency based) dalam pembelajaran di dalam kelas sangat ditentukan oleh kemampuan guru untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yakni pengembangan silabus, buku ajar, sumber dan media pembelajaran, model pembelajaran, instrumen asesmen, dan RPP. C. Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran Aktivitas siswa adalah tingkah laku pedagogiskonstruktif siswa yang muncul dan teramati selama kegiatan belajar mengajar. Aktivitas siswa diukur dengan tujuan untuk mendeskripsikan perilaku visual siswa selama mengikuti pembelajaran IPA Fisika berbasis model pembelajaran pemaknaan. Hasil pengamatan aktivitas per komponen dapat dilihat pada tabel berikut Aktivitas 1.Mendengar penjelasan guru 2.Membaca LKS/ materi ajar 3.Berdiskusi antar siswa/guru 4.Melakukan pengamatan 5.Mengerjakan LKS 6.Merumuskan kesimpulan

Persentase

93 68 78 73 75 80

93 68 75 75 75 80

93 70 70 73 73 78

Katego ri Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif

Rata-rata Berdasarkan skor pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan komponen aktivitas diikuti siswa dengan aktif selama pembelajaran berlangsung. Aktivitas siswa menggambarkan tingkat motivasi siswa selama pembelajaran. Semakin aktif siswa mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran, menunjukkan semakin tinggi motivasi siswa terhadap model pembelajaran yang digunakan. Skor pengamatan aktivitas yang cukup tinggi tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran model pemaknaan menyenangkan siswa. Siswa berada dalam suasana joyfull learning selama pembelajaran. Menurut Model SPICES hybrid curricula (Ibrahim, 2008), salah satu ciri inovasi pembelajaran adalah bila terjadi perubahan paradigma pembelajaran dari teacher centered mengarah ke student centered.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 196

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Aktivitas siswa dalam berdiskusi, melakukan praktikum, melakukan pengamatan, dan seterusnya selama pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa model pembelajaran pemaknaan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif. D. Ketuntasan Hasil Belajar 1. Ketuntasan hasil belajar kognitif Tes hasil belajar kognitif dilakukan untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa ranah kognitif sesuai dengan indikator. Tabel Hasil Penilaian Kognitif 9I 9A 9H Keterangan U1

U2

U1

U2

U1

U2

45 88 38 86 37 88 Nilai Rata-rata Nilai Minimal 23 67 20 67 17 67 Nilai Maks 67 100 67 97 57 100 Jml Tidak 37 4 35 4 36 4 Tuntas 0 33 0 31 0 32 Jml Tuntas 0 89 0 89 0 86 Ketuntasan Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada peningkatan rata-rata hasil belajar yang signifikan pada tiap-tiap kelas. Ketuntasan klasikal lebih dari 75%. Hal itu menunjukkan bahwa secara klasikal pembelajaran dikategorikan tuntas karena ketuntasan klasikalnya lebih dari 75%. Terdapat masing-masing 4 siswa yang belum mencapai ketuntasan individual pada Uji Coba II maupun pada Replikasi. Siswa yang belum mencapai ketuntasan memperoleh nilai pada kisaran 67 sampai 73, nilai yang tidak terlalu jauh dari KKM (75). Setelah melalui penelusuran lebih lanjut, mereka masih mengalami kesulitan pada soal-soal hitungan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa semua butir soal memiliki sensitivitas di atas 0,3. Indikator yang mencapai ketuntasan mencapai 82,4%. Indikator yang mencapai ketuntasan adalah indikator 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 14, 15, 16, dan 17. Indikator yang belum mencapai ketuntasan adalah indikator 9, 12, dan 13. Hasil penilaian di kelas IX A menunjukkan bahwa semua butir soal memiliki sensitivitas di atas 0,3. Indikator yang mencapai ketuntasan mencapai 88,2%. Indikator yang mencapai ketuntasan adalah indikator 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 14, 15, 16, dan 17. Indikator yang belum mencapai ketuntasan adalah indikator 12, dan 13. Ditinjau dari ranahnya, soal yang tidak tuntas dalam kategori C2-C3 dan termasuk jenis pengetahuan konseptual. Ketidaktuntasan indikator nomor 9 (soal nomor 18) karena siswa masih kesulitan membaca soal yang bersifat kompleks, kalimat soal terlalu panjang dan adanya kata negasi "tidak" (meskipun kata "tidak" sudah digaris bawahi dan ditebalkan). Ketidaktuntasan indikator nomor 12 (soal nomor 22) karena sebagian siswa belum bisa menterjemahkan soal-soal dengan stem panjang. Sebagian siswa masih sulit merangkum maksud pertanyaan. Siswa juga masih terkendala memahami istilah step up dan step down pada transformator bila dikaitkan dengan arus listrik. Kendala tambahan dalam soal ini adalah istilah Kp dan Ks untuk menyatakan kumparan primer dan kumparan sekunder. Pada pembahasan di buku ajar digunakan istilah Np dan Ns untuk menyatakan jumlah lilitan

Vol. 2 No. 3, April 2014 primer dan sekunder. Sebagian siswa belum mengerti jika pada umumnya gambar transformator, lilitan primer selalu digambar di sebelah kiri dan lilitan sekunder digambar di sebelah kanan. Jadi seharusnya meskipun singkatan Np-Ns diganti Kp-Ks, siswa mengerti bagian-bagian lilitan itu dari posisinya, kiri untuk bagian primer dan kanan untuk bagian sekunder. Ketidaktuntasan indikator nomor 13 (soal no 23) karena sebagian siswa mempunyai kecenderungan lebih mudah menghafal rumus perbandingan lilitan transformator dengan soal berbentuk hitungan tetapi kurang memahami konsep dasar perbandingan lilitan transformator. Secara klasikal indikator pencapaian KD dalam kategori tuntas karena ketuntasan klasikalnya lebih dari 75 %. Ketuntasan kompetensi dasar yang tercermin dari ketuntasan indikator menunjukkan bahwa model pembelajaran pemaknaan berhasil menuntaskan KD yang dibelajarkan. Salah satu kontributor keberhasilan pembelajaran adalah model pembelajaran sebagai kerangka berfikir dalam mengembangkan perangkat pembelajaran. Hal itu sesuai dengan pendapat (Arends, 1997) bahwa model pembelajaran adalah kerangka berfikir yang menuntun perancang pembelajaran dan guru merencanakan pembelajaran serta mengimplementasikannya di kelas dalam bentuk proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar (kompetensi) yang telah dirumuskan. Model pembelajaran pemaknaan sebagai acuan peneliti dalam mengembangkan perangkat pembelajaran berhasil diimplementasikan dalam pembelajaran. Model pemaknaan membawa siswa belajar dalam zona belajarnya. Guru berhasil memberikan bimbingan sehingga siswa mencapai ketuntasan belajar. Hal ini mengkonfirmasi bahwa model pemaknaan didukung oleh teori belajar sosial dari Vygotsky. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Vigotsky bahwa anak akan berhasil dalam belajar bila ia berada dalam Zone of Proximal Development. Fase ketiga model pemaknaan, yakni guru membimbing penyelidikan merupakan proses scaffolding yang diberikan guru sehingga siswa beranjak dari kemampuan potensialnya menuju kemampuan aktualnya. 2. Ketuntasan Hasil Belajar Psikomotor Lembar pengamatan psikomotor siswa diisi oleh pengamat ketika siswa melakukan eksperimen. Penilaian kemampuan psikomotor siswa dinilai secara individu. Skala penilaian antara 1-4, dengan kriteria 4 bila dilakukan dengan benar dan tepat, 3 bila dilakukan dengan benar tetapi lambat, 2 bila dilakukan tetapi belum benar, dan 1 bila tidak dilakukan. Kegiatan eksperimen pada pertemuan pertama tentang GGL Induksi, aspek psikomotorik yang dinilai adalah cek kuatan magnet, merangkai alat, merangkai galvanometer, menggerakkan magnet dan membaca galvanometer. kegiatan eksperimen pada pertemuan ketiga tentang transformator, aspek psikomotorik yang dinilai adalah merangkai transformator, merangkai voltmeter, memilih transformator dan merangkai voltmeter. Pertemuan kedua menggunakan eksperimen virtuil berbasis PhET sehingga penilaian psikomotorik

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 197

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya tidak dapat dilakukan. Rangkuman hasil penilaian psikomotorik dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel Ketuntasan Individual Psikomotorik Keterangan 9I 9A 85,4 84,3 Nilai Rata-rata 72 66 Nilai Minimal 94 94 Nilai Maksimal 2 2 Jml Tidak Tuntas 35 33 Jml Tuntas 94,6 91,4 Ketuntasan

9H 84,9 69 94 2 34 94,4

Tabel Hasil Penilaian Aspek Psikomotorik Aspek Yang diamati

9I 89 82 84 84 78 78 86 96 90

Nilai 9A 89 79 83 83 78 77 86 93 89

9H 89 81 83 83 78 78 86 94 90

Ket

T Cek Kekuatan Magnet T Merangkai Alat T Merangkai Galvanometer T Menggerakkan Magnet T Membaca Galvanometer T Merangkai Transformator T Merangkai Voltmeter T Memilih Tegangan Input T Membaca Voltmeter Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ketuntasan klasikal kompetensi psikomotorik tiap-tiap kelas uji coba lebih dari 75%. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran pemaknaan dapat membelajarkan kompetensi ranah psikomotorik. Kompetensi ranah psikomotor meliputi kompetensi yang dapat diraih dengan aktivitas yang memerlukan gerak tubuh atau perbuatan, kinerja (performance), imajinasi, kreativitas, dan karya-karya intelektual. Menurut Ibrahim (2004), hasil belajar psikomotor adalah suatu keterampilan yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan melibatkan koordinasi antara indera dan otot. Aspek utama belajar motorik adalah tercapainya otomatisasi melakukan gerakan (Sudjana, 2005). 3. Ketuntasan Hasil Belajar Afektif (Sensitivitas Moral) Siswa Tes hasil belajar afektif (sensitivitas moral) siswa meliputi THB pengetahuan moral (moral knowing), THB perasaan moral (moral feeling), dan THB pengetahuan moral (moral acting). Pembahasan hasil ketiga THB tersebut diuraikan sebagai berikut. a. THB Pengetahuan Moral (moral knowing) THB moral knowing bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan siswa tentang nilai-nilai moral. Tes berbentuk soal pilihan ganda sebanyak 10 butir soal. Jawaban siswa tidak dinilai benar-salah. Jawaban siswa dinilai secara gradual, skor 4 bila siswa memilih option paling mendekati pemaknaan konsep fisika dan skor 1 bila siswa memilih option yang tidak berhubungan dengan pemaknaan. Tes tersebut dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pretest dan postest, masing-masing di kelas 9I, 9A, dan 9H. Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Knowing Keterangan 9I 9A 9H Nilai Rata-rata 90,5 92,3 90,5 Nilai Minimal 80 85 80

Vol. 2 No. 3, April 2014 Nilai Maksimal 100 100 100 Jml Tidak Tuntas 0 0 0 Jml Tuntas 37 35 36 Ketuntasan 100 100 100 Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa hasil tes pengetahuan moral siswa mencapai 100 % atau dengan kata lain semuanya tuntas. Nilai rata-ratanya menunjukkan skor yang tinggi, lebih dari 90. Tabel Ketuntasan Indikator Penilaian Moral Knowing Proporsi Indikator Ket No Indikator 9I 0,87 0,83 0,86 0,91 0,87

9A 0,94 0,91 0,89 0,94 0,92

9H 0,92 0,89 0,85 0,99 0,91

1.1 T 1.2 T 1.3 T 1.4 T Rata-rata Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil THB moral knowing siswa dari 4 indikator pencapaian tujuan pembelajaran semuanya tuntas. Rata-rata proporsi tujuan pembelajaran sebesar 0,87; 0,92; dan 0,91. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran pemaknaan yang menjadi basis pada penelitian ini mampu digunakan untuk membelajarkan pengetahuan moral (moral knowing). Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa 8 dari 10 soal moral knowing memperoleh skor sensitivitas lebih dari 0,3. Hal ini berarti soal tersebut sensitif terhadap efek pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan karakter. Soal nomor 7 dan 8 sensitifitasnya kurang dari 0,3, artinya soal tidak sensitif terhadap efek pembelajaran. Ada beberapa argumen yang menyebabkan sensitivitas butir soal tersebut rendah. Siswa sebagai makhluk sosial yang selama ini berinteraksi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat pasti telah menyerap nilai-nilai moral dari lingkungan sosialnya. Siswa telah belajar dari lingkungannya nilai-nilai perilaku baik tidak-baik. Pengetahuan awal siswa tentang nilai-nilai moral tersebut menyebabkan mereka memperoleh skor relatif baik pada pretest. Meskipun sensitivitas butir soal rendah, tetapi ada peningkatan proporsi jawaban tepat pada uji awal dan uji akhir. Peningkatan proporsi jawaban tersebut menunjukkan bahwa siswa telah belajar pengetahuan nilai-nilai moral selama mengikuti pembelajaran dengan model pemaknaan. Pendidikan karakter melalui tiga tahapan yaitu moral knowing, moral feeling dan moral acting. Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge) (Kilpatrick, William dalam Megawangi, 2004). Keenam unsur adalah komponenkomponen yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah kognitif mereka. Dalam penelitian ini jenis moral knowing yang dibelajarkan adalah pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values). Pengetahuan nilai-nilai

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 198

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya moral tersebut dikaitkan dengan pemaknaan konsep induksi elektromagnetik. Ketuntasan THB moral knowing pada penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan telah berhasil menginternalisasikan pengetahuan nilai-nilai moral siswa melalui pemaknaan konsep-konsep fisika. Namun demikian ketuntasan THB moral knowing belum cukup sebagai tanda keberhasilan pendidikan karakter. Sebagaimana pendapat Rest (1995) bahwa kemampuan seseorang akan nilai-nilai moral terhadap berbagai fenomena di sekelilingnya, sebenarnya masih merupakan tahap awal bagi penanaman moral bagi diri seseorang. Oleh karena itu penilaian dilanjutkan dengan moral feeling dan moral acting. b. THB Perasaan Moral (moral feeling) THB perasaan moral (moral feeling) bertujuan untuk mengetahui sikap, perasaan, dan komitmen diri siswa terkait nilai-nilai moral dari hasil pemaknaan. Tes ini berusaha menggali perasaan siswa terhadap suatu kisah kehidupan sehari-hari berkaitan dengan nilainilai moral yang mereka peroleh dari pemaknaan fisika. Disajikan cerita kehidupan, siswa diminta menuliskan sikap mereka terhadap tokoh-tokoh cerita, menuliskan nilai-nilai moral dalam cerita itu dan menuliskan komitmen diri-mereka sendiri untuk melakukannya. Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Feeling Keterangan 9I 9A 9H Nilai Rata-rata 96,5 96,9 94,9 Nilai Minimal 88 79 75 Nilai Maksimal 100 100 100 Tidak Tuntas 0 0 0 Jml Tuntas 37 35 36 Ketuntasan 100 100 100 Berdasarkan rangkuman hasil penilaian moral feeling pada tabel di atas terlihat bahwa semua siswa mencapai ketuntasan. Nilai THB moral feeling berupa laporan diri menunjukkan nilai lebih dari 75 yang berarti di atas KKM 75. Tabel Hasil Penilaian Aspek Moral Feeling 9I 9A 9H Ket Aspek Yang Dinilai Sikap/penilaian terhadap 96 99 98 T suatu kisah kehidupan Menangkap nilai moral dari 97 99 96 T suatu kisah kehidupan Komitmen diri pada nilai 97 93 90 T moral yang diperoleh Tabel tersebut menunjukkan semua aspek penilaian dinyatakan tuntas. Aspek sikap/penilaian terhadap suatu kisah kehidupan tampak pada baris pertama tabel dan semuanya tuntas. Aspek menangkap nilai moral dari suatu kisah kehidupan pada baris kedua tabel dan semuanya tuntas. Aspek komitmen diri pada nilai moral yang diperoleh pada baris ketiga tabel dan semuanya tuntas. Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter setelah mereka menguasai moral knowing. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the

Vol. 2 No. 3, April 2014

good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility) (Kilpatrick, William dalam Megawangi, 2004). Pada penelitian ini, moral feeling yang dikondisikan pada siswa selama pembelajaran adalah percaya diri (self esteem) dan kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty). Hasil tes THB moral feeling menunjukkan bahwa hati siswa telah tersentuh untuk mencintai nilai-nilai moral yang telah mereka pelajari. Cerita kehidupan yang disajikan telah berhasil mengetuk hati siswa sehingga mereka menuliskan laporan diri yang berisi komitmen untuk melaksanakan nilai-nilai moral. Ketuntasan THB moral feeling membuktikan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model pemaknaan berhasil meningkatkan kecintaan siswa akan nilai-nilai moral yang telah mereka ketahui. c. Hasil Penilaian Afektif Moral Acting Penilaian ranah afektif sensitivitas moral jenis moral acting bertujuan mengukur sejauh mana siswa mempraktikkan nilai-nilai moral yang mereka peroleh selama pembelajaran. Aspek yang diamati meliputi jujur, peduli, tanggung jawab, bertanya, menyumbang ide, pendengar yang baik, berkomunikasi, dan sensitivitas moral. Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Acting Keterangan 9I 9A 9H Nilai Rata-rata 83,0 85,2 83,9 Nilai Minimal 65 65 56 Nilai Maksimal 94 96 98 Tidak Tuntas 3 2 5 Jml Tuntas 34 33 31 Ketuntasan 92,9 94,3 88,6 Berdasarkan rangkuman hasil penilaian moral acting pada tabel tersebut terlihat bahwa ketuntasan klasikal lebih dari 75%. Pada masing-masing kelas uji coba terdapat 3, 2, dan 5 anak yang belum mencapai ketuntasan. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (90%) anak yang bagus moral kowing dan moral feeling-nya menunjukkan sikap moral yang positif dan teraktualisaikan dalam bentuk moral acting. Hal ini sesuai pendapat Azwar (2000) yang mengajukan postulat konsistensi, dimana sikap moral merupakan hasil evaluasi dari pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Tabel Hasil Penilaian Aspek Moral Acting 9I 9A 9H Ket Aspek Yang Dinilai 100 100 100 T Jujur 82 85 84 T Peduli 82 85 81 T Tanggung Jawab 74 79 74 TT Bertanya 77 85 76 T Menyumbang Ide 81 83 82 T Pendengar yang Baik 85 86 87 T Berkomunikasi 83 79 87 T Sensitivitas Moral 87,5 Berdasarkan tabel di atas sebagian besar aspek yang diamati tuntas atau memperoleh skor diatas 75. Aspek yang belum menunjukkan ketuntasan adalah | 199 Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya aspek bertanya. Meskipun aspek tersebut belum tuntas, namun skor yang ditunjukkan sudah mendekati KKM 75. Sehingga boleh dikatakan bahwa tujuan pembelajaran terkait aspek bertanya sudah cukup berhasil. Moral Acting adalah outcome dari pendidikan karakter setelah melalui fase moral knowing dan moral feeling. Ketuntasan THP penilaian afektif sensitivitas moral menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model pemaknaan berhasil menanamkan karakter positif pada siswa. Hal ini sesuai pendapat Blazi (1995), bahwa proses integrasi nilainilai moral selain selain terjadi secara alami juga dapat ditanamkan (cultivated). Schulz, L.H., Barr, D.J., & Selman, R.L., 2001 menyebutkan bahwa perubahan tingkah laku bisa dilakukan melalui proses belajar. Penelitian ini membuktikan secara empiris bahwa perubahan tingkah laku dapat ditanamkan melalui pembelajaran menggunakan model pemaknaan. Model pembelajaran pemaknaan menanamkan karakter dengan cara yang logis karena didasari pemaknaan fakta sains. Sebagaimana pendapat Megawangi (2004), bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan moral knowing, moral feeling, dan moral acting perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional, dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter dan bukan topeng. Hal ini menjadi penting karena karakter yang merupakan bagian dari soft skill merupakan penentu penting bagi kesuksesan anak dikemudian hari. Berkowiwiz dan Goleman (1995) telah melakukan penelitian bahwa keberhasilan seseorang ditentukan hanya 20% kecerdasan intelektualnya sedangkan 80% ditentukan faktor lain (diantaranya soft skill). E. Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains. Penilaian keterampilan proses sains pada materi induksi elektromagnetik dilakukan oleh pengamat selama pembelajaran menggunakan lembar penilaian ketrampilan proses. Aspek keterampilan proses sains yang dinilai meliputi merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, identifikasi variabel (kontrol, manipulasi, dan respon), melakukan percobaan, melakukan analisis, dan menarik kesimpulan. Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Ketrampilan Proses Keterangan 9I 9A 9H Nilai Rata-rata 85,1 81,3 85,2 Nilai Minimal 60 76 74 Nilai Maksiml 93 93 93 Tidak Tuntas 1 0 1 Jml Tuntas 36 35 35 Ketuntasan 97,3 100 97,2 Berdasar tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa secara klasikal siswa dinyatakan tuntas, karena ketuntasan klasikalnya lebih dari 75%. Masih terdapat siswa yang tidak tuntas, satu siswa kelas 9I dan satu siswa kelas 9H. Kedua siswa tersebut cenderung pasif pada saat kegiatan pembelajaran, terutama pada saat praktikum dan menganalisis hasil percobaan. Diperlukan motivasi lebih kuat lagi untuk mendorong keduanya agar lebih aktif.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Tabel Rangkuman Keterampilan Proses Kegiatan Yang Diamati

Hasil

Penilaian Nilai

9I 98 98 78

9A 91 91 76

9H 97 97 79

Aspek Ket

T Merumuskan maslah T Mengajukan Hipotesis T Identivikasi V kontrol Identifikasi V 87 78 88 T Manipulasi 77 76 79 T Identifikasi V Respon 76 75 76 T Melakukan Percobaan 76 73 75 T Melakukan Analisis 98 91 97 T Menarik Kesimpulan 86 81 86 Rata-rata 100 Ketuntasan Klasikal (%) Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa kemampuan keterampilan proses sains lebih dari atau sama dengan 75%. Artinya ditinjau dari KKM 75, maka kedelapan aspek keterampilan proses tersebut dapat dikatakan tuntas. Rata-rata ketercapaian tujuan pembelajaran pada tiap-tiap kelas sebesar 86,0 % ; 81,4 % dan 86,0 % Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran pemaknaan juga dapat mengembangkan keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains penting dibelajarkan karena dapat mengembangkan sikap ilmiah layaknya karakter saintis pada diri siswa. Menurut Dahar (1985:11), Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan, dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru/ mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. Diagram kesesuaian ketuntasan kognitif, psikomotor, afektif (sensitivits moral), dan keterampilan proses sains pada uji Coba II digambarkan seperti gambar berikut.

Grafik Kesesuaian Ketuntasan Kognitif, Psikomotor, Afektif (Sensitivits Moral) dan KPS pada Uji Coba II. Berdasarkan grafik di atas bahwa secara individual hasil penilaian pembelajaran ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik pada Uji Coba II mencapai ketuntasan (97,3%). Secara klasikal, pembelajaran dapat disimpulkan tuntas, karena ketuntasan klasikalnya melebihi 80%. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model pemaknaan telah berhasil mengantarkan siswa mencapai kompetensi yang direncanakan.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 200

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya F. Respon Siswa Terhadap Proses Pembelajaran Hasil angket respon siswa terhadap seluruh komponen pembelajaran disajikan pada Tabel 4.54, Tabel 4.55, dan Tabel 4.56 di Bab IV. Rangkuman terhadap hasil angket respon siswa terhadap pembelajaran disajikan pada tabel berikut ini. Tabel Rangkuman Hasil Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Aspek yang direspon 9I 9A 9H 1. Perasaan senang terhadap perangkat pembelajaran 96,9 97,1 95,8 2. Pendapat baru terhadap perangkat pembelajaran 88,8 88,1 86,1 3. Minat mengikuti KBM berikutnya dengan model pembelajaran yang sama 89,2 97,1 94,4 4. Pendapat tentang LKS 92,6 85,7 85,4 5. Perasaan senang terhadap 91,9 100,0 91,7 suasana pembelajaran Persentase 92,1 91,7 90,0 Pada tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata lebih dari 90% siswa memberikan respon positif terhadap pelaksanaan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Uraian respon siswa per aspek terhadap proses dan perangkat pembelajaran di kelas 9I dapat dipaparkan sebagai berikut. Rata-rata sebesar 96,9% siswa merasa senang tehadap materi pelajaran, lembar kegiatan, siswa buku ajar siswa, suasana belajar, cara guru mengajar, dan fase pemaknaan. Fakta menarik bahwa, sebanyak 97,3% siswa senang terhadap fase pemaknaan, meskipun fase pembelajaran itu merupakan sesuatu yang baru bagi siswa. Fase pemaknaan yang merupakan ciri khas dari model pembelajaran ini direspon positif oleh hampir semua siswa. Rata-rata sebesar 88,8% siswa merasa baru tehadap materi pelajaran, lembar kegiatan, buku ajar siswa, suasana belajar, cara guru mengajar, dan fase pemaknaan. Respon yang persentasenya agak rendah (75,7%) diberikan kepada siswa terhadap kebaruan cara mengajar guru. Hal ini disebabkan oleh peneliti yang yang meneliti di kelas yang selama ini diajarnya. Sintaks model pembelajaran pemaknaan yang berbasis konstruktivistik sebagian besar sudah diterapkan guru dalam praktik pembelajaran sehari-hari jauh sebelum penelitian ini dilakukan, sehingga sebagian siswa menganggapnya cara guru mengajar bukan sebagai hal baru. Secara garis besar respon yang diberikan siswa terhadap pembelajaran ini adalah siswa merasa senang terhadap cara mengajar guru, suasana belajar, model pembelajaran yang diterapkan, dan perangkat pembelajaran yang digunakan. Siswa setuju bila model pembelajaran pemaknaan digunakan untuk membelajrkan materi-materi berikutnya. Sebagian siswa menganggap bahwa cara mengajar dan suasana belajar yang diterapkan guru bukan hal yang baru karena hal itu sudah diterapkan guru pada pembelajaran-pembelajaran sebelum penelitian. Respon positif siswa terhadap model pemaknaan pada penelitian ini, yakni lebih dari 90%, menguatkan

Vol. 2 No. 3, April 2014 hasil penelitian sebelumnya, Habibi (2009) yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Universitas Wiraraja Sumenep bahwa persentase respon positif siswa terhadap Model Pemaknaan sebesar 94%. G. Temuan Penelitian Tujuan akhir penelitian ini adalah menghasilkan produk perangkat pembelajaran yang berkualitas pada mata pelajaran IPA Fisika, pokok bahasan Induksi Elektromagnetik mengacu Model Pembelajaran Inovatif IPA Melalui Pemaknaan (Model Pemaknaan). Produk perangkat pembelajaran yang dihasilkan adalah (1) Silabus, (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sebanyak 4 eksemplar RPP mengacu model pembelajaran pemaknaan untuk melatihkan sensitivitas moral dan keterampilan proses sains, (3) Lembar Kerja Siswa sebanyak 3 eksemplar yang didesain sesuai tahapan keterampilan proses sains, (4) Buku Ajar Siswa (BAS) yang didesain untuk melatihkan sensitivitas moral siswa melalui pemaknaan konsep fisika pada tiap-tiap sub bab. Kualitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan didasarkan pada hasil uji kelayakan, uji kepraktisan dan uji keefektifan terhadap perangkat tersebut. Berdasarkan analisis data penelitian, dapat disimpulkan kelayakan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran sebagai berikut. 1. Kelayakan Perangkat Pembelajaran. Ditinjau dari validitas dan keterbacaannya dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran. Bukti kelayakannya adalah: a. Validitas perangkat pembelajaran. Kelayakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dinyatakan dengan penilaian validasi oleh validator. Berdasarkan penilaian validator bahwa silabus, RPP, LKS, BAS, dan instrumen penilaian dinyatakan layak dan bisa digunakan dalam pembelajaran. Skor masing-masing perangkat pembelajaran adalah, silabus: 4,00 dengan kategori sangat baik; RPP: 3,96 dengan kategori sangat baik; BAS: 3,92 dengan kategori sangat baik, LKS: 3,96 dengan kategori sangat baik; THB Kognitif produk: 3,43 dengan kategori cukup valid, THB Psikomotor: 3,00 dengan kategori cukup valid; THB Afektif moral knowing: 3,00 dengan kategori cukup valid; THB moral feeling: 3,00 dengan kriteria cukup valid; THB Keterampilan proses: 4,00 dengan kategori valid. b. Keterbacaan Buku Ajar Keterbacaan BAS sebesar 90%, artinya dari 50 rumpang pada BAS rata-rata 45 rumpang diisi sampel siswa dengan kata yang benar. Hal ini dapat disimpulkan bahwa BAS cukup mudah dipahami oleh siswa. 2. Kepraktisan Perangkat Pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat disimpulkan bersifat praktis. Kepraktisannya dibuktikan dari keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa dan minimnya hambatan selama imlementasi perangkat tersebut dalam pembelajaran. Secara empiris bukti kepraktisannya disimpulkan sebagai berikut. a. Keterlaksanaan perangkat pembelajaran

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 201

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Kualitas keterlaksanaan fase-fase model pembelajaran pemaknaan pada pertemuan pertama 96,9%, pertemuan kedua 99,0%, dan pertemuan ketiga 96,9%. Hal itu menunjukkan bahwa fase-fase pada ketiga RPP tersebut terlaksana dengan sangat baik. Reliabilitas instrumen pengamatan keterlaksanaan RPP tersebut masing-masing sebesar 0,9; 0,9; dan 0,9 atau rata-rata 0,90 (907%). Hasil keterlaksanaan pembelajaran pada Replikasi I dan Replikasi II menunjukkan persentase yang hampir sama dengan hasil keterlaksanaan pada Uji Coba II. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang dikembangkan untuk pengamatan keterlaksanaan RPP dikategorikan sangat baik karena berada di atas 75%. b. Aktivitas siswa selama penerapan pembelajaran Berdasarkan hasil pengamatan pada Uji Coba II diperoleh kesimpulan bahwa semua siswa selama pembelajaran berkategori aktif dan keseluruhan siswa beraktivitas relefan selama pembelajaran berlangsung. Semua aspek aktivitas meliputi: merespon informasi guru, membaca LKS/materi ajar, berdiskusi, mengamati, mengerjakan LKS, dan merumuskan kesimpulan diikuti siswa dengan aktif. Hasil yang tidak jauh berbeda tentang aktivitas siswa selama pembelajaran diperoleh pada Replikasi I dan Replikasi II. c. Hambatan yang dialami selama penerapan pembelajaran Hambatan dan kesulitan yang dialami peneliti selama penerapan pembelajaran hampir tidak ada. Ada beberapa hambatan terkait dengan kemampuan awal siswa dan keterbatasan alat praktikum tetapi bisa dicari solusinya dengan seksama. 3. Keefektifan perangkat pembelajaran Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan disimpulkan berhasil mengantarkan siswa mencapai ketuntasan tujuan pembelajaran. Hal itu mengkonfirmasikan bahwa perangkat pembelajaran tersebut efektif. Bukti empiris keefektifan perangkat pembelajaran tersebut adalah: a. Hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran Hasil THB kognitif produk menunjukkan 82,4% indikator mencapai ketuntasan dan 100% butir soal sensitifitasnya di atas 0,3 yang berarti peka terhadap efek pembelajaran. Hasil THB psikomotor menunjukkan 94,6% siswa mencapai ketuntasan. Hasil THB keterampilan proses mencapai 97,3% mencapai ketuntasan. Hasil yang hampir sama tentang hasil belajar siswa diperoleh pada Replikasi I dan Replikasi II. b. Hasil penilaian penanaman karakter siswa Penanaman karakter siswa telah mencapai keberhasilan. Hal itu dibuktikan dengan hasil THB moral knowing 100% tuntas dengan nilai rata-rata 90,5. Hasil THB moral feeling mencapai 100% tuntas individual dengan nilai rata-rata 96,5%. Hasil THB moral acting mencapai 92,9% ketuntasan individual dengan 87,5% aspek yang diamati mencapai ketuntasan. Hasil yang hampir sama tentang hasil penanaman siswa diperoleh pada Replikasi I dan Replikasi II. c. Respon siswa terhadap penerapan model

Vol. 2 No. 3, April 2014 pembelajaran pemaknaan Respon siswa menunjukkan bahwa siswa menyenangi dan menerima proses pembelajaran menggunakan model pemaknaan beserta perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Sebanyak 92,1% siswa memberikan respon positif terhadap pelaksanaan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Sebanyak 100% siswa senang terhadap fase pemaknaan, yang merupakan ciri khas dari model pembelajaran pemaknaan. Respon serupa diperoleh pada Replikasi I dan Replikasi II. IV. PENUTUP A. Simpulan Sesuai dengan hasil dalam penelitian ini disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Fisika dengan Model Pemaknaan layak, praktis, dan efektif untuk melatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter pada siswa SMP . B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan masukan demi menyempurnakan perangkat pembelajaran IPA Fisika pokok bahasan induksi elektromagnetik dengan model belajar pemaknaan untuk menanamkan karakter dan melatihkan keterampilan proses sains. 2. Perlu dilakukan lebih banyak lagi penelitian yang mengacu pada model pembelajaran pemaknaan untuk melatihkan kepekaan siswa dalam memaknai fenomena alam guna memeroleh hikmah demi membentuk pribadi yang berkarakter. Sebagaimana Allah perintahkan "Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir" (QS. Al-Ankabut ayat 20), yang mengandung makna bahwa manusia harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena kealaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya. Hal itu terkait bahwa "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta peredaran malam dan siang merupakan tandatanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)" (QS. Ali Imran (3);190). DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. 2012. "Model Penilaian Otentik dalam Pelajaran Membaca Pemahaman Berorientasi Karakter" Jurnal Pendidikan Karakter, Vol II, No 2 pp 164-177. Abidinsyah, 2011. "Urgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa yang Bermartabat " Socioscientia Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Vol III No 1. Abruscato, J & DeRosa, D. A. 2010. Teaching children science-a discovery approach-7ed. Boston: Allyn & Bacon. Adisusilo, S. 2011. Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Afandi, R. 2011. "Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar " Pedagogia

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 202

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Jurnal Pendidikan, Vol I, No 7 pp 65-98. Akbar, S. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Arends, I. Richard. 1997. Learning to Teach. New York: Mc. Graw Hill Companies, Inc. Azwar, S. 2013. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Bassioury, A dan Aish, EMA. 2008. "The Impotance Character Education for Tweens as Consumers" Journals of Research in Character Education, Vol 6, No2, PP 37-61. Bell-Gredler, Margaret E. 1994. Learning and Instruction: Theory into Practice. New York: Mac Milan Publishing Company. Benninga, J & Marvin, W. 2003. "The Relationship of Character Education Implementation and Academic Achievement in Elementary Schools" Journal of Research in Character Educations, Vol 1, No I pp 19-32. Berkowitz, M. 2007. "What Work in Character Education"Journal of Research in Character Education, Vol 5, No 1 pp 29-48. Bier M.C & Berkovitz, M.W. 2005. "What Work in Character Education" Pro Quest Education Journals Vol 34, No 2 PP 7-13. Carin, A. W. 1993. Teaching science through discovery-7ed. New York: Macmillan Publishing Company. Cekdim, C. & Barlian, T. 2013. Transmisi Daya Listrik. Jogjakarta: Andi Offset. Chiappetta, E. L & Koballa, T. R., Jr. 2010. Science instruction in the middle and secondary schools. Boston: Allyn & Bacon. Collette, A. T. & Chiappetta, E. L. 1994. Science instruction in the middle and secondary schools. NewYork: Macmillan. Depdiknas. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta. Fadillah, S, 2013. "Pembentukan Karakter Siswa Melalui Pembelajaran Matematika" Jurnal Pendidikan Matematika Paradikma, Vol 6, No 2 PP 142-148. Good. Carter.V. 1973. Dictionary of Education. McGraw-Hill Book Company. Hacket, J. K. et al. 2008. Science-A closer look. New York. Macmillan/Mcgraw-Hill. Hasanah, 2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi dengan Model Inkuiri di SMA Nahdatul Ulama I Gresik. Tesis Magister Pendidikan, tidak dipublikasikan. Surabaya: Pascasarjana UNESA. Howe, A. C & Jones, L. 1993. Engaging children in science. New York: Macmillan Publishing Company. Habibi, 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berorientasi Model Pembelajaran Pemaknaan Untuk Mengajarkan Kemampuan Akademik dan Sensitivitas Moral. Tesis Magister Pendidikan, tidak dipublikasikan. Surabaya: Pascasarjana UNESA. Ibrahim, M. 2002. Assesmen Berkelanjutan. Surabaya: Unesa University Press.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Ibrahim, M. 2008. Model Pembelajaran IPA Inovatif Melalui Pemaknaan, Jakarta: Tim Peneliti Balitbang. Ibrahim, M. Tanpa tahun. Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Kardi, S. dan Nur, M. 2001. Pengajaran Langsung. Surabaya: Unesa-University Press. Kemendikbud. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Lembaran Negara. Kendall/Hunt. Rezba, R. J. et al. 2007. Learning and assessing science process skills. Iowa: Kendall/Hunt. Kneller, George F. 1971. Foundation of Education. United State of America: John Wiley & Sons, Inc. Martin, R. et al. 2005. Teaching science for all children-inquiry methods for constructing understanding. Boston: Pearson. Megawangi, R. 2009. Pendidikan Karakter: Solusi Yang Tepat Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation Mulyasa, 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara. Munib, A. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press Naim, Ng. 2012. Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu & Pembentukan Karakter Bangsa. Jogjakarta: ArRuzz Media. Nucci, P. Larry. 2008. Handbook of Moral and Character Education. Chicago: University of Illionis. Nur, M. & Budayasa, K. (1998). Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Belajar Perilaku. Surabaya: PPS Unesa. Nurhadi 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas. Petruzella, D.F. 2001. Elektronik Industri (terjemahan). Jogjakarta: Andi. Prabowo, 2013. "Pendidikan Fisika dalam Upaya Membentuk Manusia Indonesia Seutuhnya" Makalah Seminar Nasional, Lontar Physics Forum, ISBN 978-602-8047-80-7. Rezba, R. J. 1995. Learning and assessing science process skills. Iowa: Kendall/ Hunt Publishing.Co Runes, D, D., ed., Dictionary of Philosophy, Philisophical Library, New York, 1942. Sartika, S.B. 2011. "Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Berorientasi Model Pembelajaran Pemaknaan untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan sensitivitas Moral" Pedagogia Jurnal Pendidikan, Vol I, No 6 PP 64-84. Santrock. J. W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima). Jakarta: Erlangga. Silaban, Pr. 2011. Artikel Tempo: Perilaku Korupsi Bertentangan dengan Hukum Fisika.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 203

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

http://www.tempo.co diakses tanggal 6 Mei 2013. Slavin, E. 1994. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik (terjemahan). Bandung: Nusa Media. Teguh, B. 2009. Sifat Satria Utama dan Hasta Brata. Magelang: Penerbit Pustaka Wong Songo.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan Karakter

| 204

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PREVENSI MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP REAKSI REDOKS MELALUI MODIFIED INQUIRY MODELS Wahyu Juli Hastuti1) Suyono2) Sri Poedjiastoeti3) 1)

SMK Negeri 1 Bontang, Kalimantan Timur

2)

Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Implementasi model modified inquiry bertujuan memprevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA 3, X IPA 5, dan X IPA 7 SMA Negeri 1 Sidoarjo. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan one group pretest posttest design. Instrumen yang digunakan adalah three-tier diagnostic test untuk menentukan miskonsepsi siswa. Data diskrit dianalisis secara deskriptif, sedangkan data ordinal, dan interval dianalisis secara inferensial. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan model modified inquiry telah berhasil memprevensi miskonsepsi siswa sebanyak 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), 64% (X IPA 7), dan telah meningkatkan hasil belajar secara signifikan meskipun masih memerlukan pembelajaran remedial. Kata Kunci: prevensi, miskonsepsi, reaksi redoks, modified inquiry. Abstract: Implementation of a Modified Inquiry Model for is prevent students’ misconceptions on Redox Reactions. Research participants were students of Science Class at grade X at SMAN 1 Sidoarjo. This study was conducted using One Group Pretest and Posttest research design. The instrument used is Three-tier Diagnostic Test to determine of students’ misconceptions. Discreate data was descriptively analyzed while ordinal and interval data was inferentially analyzed. Findings of this study show that learning process using Modified Inquiry could successfully prevent 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), 64% (X IPA 7), student’s misconceptions and increase student’s learning achievement significantly, but still require remedial learning. Keywords: prevention, misconception, redox reaction, modified inquiry.

PENDAHULUAN Harapan peneliti sebagai seorang guru adalah siswa mampu memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu kimia, penyebab fenomena dan kejadian, serta siswa mampu menerapkan pengetahuan prosedural pada ilmu kimia untuk memecahkan masalah. Harapan tersebut dapat tercapai apabila guru dalam proses belajar mengajar menggunakan metode, model maupun strategi yang berbasis penyingkapan (discovery) atau penelitian (inquiry) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Menurut Wenning (2012) discovery dan inquiry merupakan bagian dari Level of Inquiry Model of Science Teaching, yaitu serangkaian siklus pembelajaran dalam konteks siklus besar yang mencakup berbagai tingkat penelitian. Inkuiri mendorong siswa untuk berpikir keras, yaitu guru mendorong siswa untuk bertindak seperti ilmuwan dalam setting eksperimen yang lebih formal untuk menentukan suatu sistem. Siswa dilatih mengkonstruksi sendiri konsep-konsep kimia dalam pemikirannya, melalui pembelajaran berbasis penelitian atau inkuiri. Siswa tidak dapat memahami konsep-konsep kimia, apabila siswa tidak dapat mengkonstruksinya secara benar, atau bahkan siswa mengalami miskonsepsi.

Kenyataan adanya miskonsepsi pada siswa, telah dibuktikan dalam banyak penelitian antara lain Horton (2004), Wahyuningrum dan Suyono (2013), serta Yunianingsih dan Suyono (2013). Horton (2004) mengungkapkan miskonsepsi siswa hampir terjadi pada setiap konsep dalam kimia, yaitu struktur atom, stokiometri, larutan, reaksi kimia, energi dalam reaksi kimia, kesetimbangan kimia, pembakaran, reaksi asam basa, reaksi oksidasi-reduksi (redoks), elektrokimia, model molekul, termodinamika dan ikatan kimia. Wahyuningrum dan Suyono (2013) mengungkapkan bahwa miskonsepsi siswa pada konsep struktur atom berhasil diprevensi dengan strategi Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL), meskipun masih menyisakan miskonsepsi sebanyak 24,24%. Penelitian Yunianingsih dan Suyono (2013) mengungkapkan miskonsepsi siswa pada konsep ikatan kimia yang berhasil diprevensi dengan strategi POGIL, namun masih ditemukan miskonsepsi siswa sebanyak 44%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa miskonsepsi siswa dapat terjadi dalam mata pelajaran kimia. Mata pelajaran kimia di kelas X SMA/MA merupakan kelanjutan materi kimia yang terintregrasi dalam mata pelajaran IPA di SMP/MTs yang terdiri dari 4 kompetensi inti. Khusus untuk kompetensi inti yang berorientasi pada pengetahuan, terdiri dari 11 kompetensi dasar (Kementerian Pendidikan dan

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 205

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Kebudayaan, 2013). Menurut Horton (2004), Chiu (2005), Reid (2008), Barke (2012), dan Al-Balushi et al. (2012), salah satu kompetensi dasar yang sulit pada mata pelajaran kimia SMA adalah menganalisis perkembangan konsep reaksi oksidasi-reduksi serta menentukan bilangan oksidasi atom dalam molekul atau ion, sehingga dimungkinkan terjadi miskonsepsi pada konsep reaksi redoks. Prevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks, dilaksanakan dengan menggunakan inkuiri seperti yang disarankan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dalam Kurikulum 2013. Menurut Brown et al. (dalam Opara and Oguzor, 2011) model pembelajaran dalam bidang science dengan menggunakan inkuiri, dibedakan menjadi tiga yaitu free inquiry, modified inquiry dan guided inquiry. Kelemahan model pembelajaran guided inquiry adalah kurang berhasil dalam kelas besar, karena sebagian waktu hilang untuk membantu siswa menemukan teori-teori atau siswa menunggu giliran untuk memperoleh bantuan guru (Sund and Trowbridge,1973). Kelemahan model pembelajaran free inquiry adalah kurang memungkinkan topik yang dipilih oleh siswa di luar konteks kurikulum (Suryobroto, 2009). Mengingat kelemahan masingmasing model pembelajaran free inquiry dan guided inquiry tersebut, maka peneliti memilih model pembelajaran modified inquiry. Menurut Sund and Thorbridge (1973) model pembelajaran modified inquiry mempunyai arti modifikasi antara free inquiry dan guided inquiry. Model pembelajaran modified inquiry adalah model pembelajaran dengan cara guru memberi masalah, meminta siswa untuk melaksanakan penyelidikan, dan guru berperan sebagai narasumber. Perbedaan antara ketiganya terletak pada peranan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Peranan guru dan siswa pada saat proses kegiatan belajar mengajar diperjelas dengan menggunakan serangkaian sintaks model pembelajaran. National Science Education Standards (NSES) mengungkapkan sintaks yang sangat jelas pada model pembelajaran inkuiri yang dimulai dengan pengungkapan fenomena oleh guru. Mengacu pada sebuah fenomena tersebut, maka timbulah sebuah masalah, dengan demikian diharapkan siswa dapat membuat pertanyaan penelitian, memberikan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian, melaksanakan penelitian, menganalisis data yang diperoleh dan membuat simpulannya. Sintaks dalam model pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh NSES sejalan dengan model pembelajaran modified inquiry yang dikemukan oleh Brown et al. (dalam Opara and Oguzor, 2011).

Vol. 2 No. 3, April 2014 Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran modified inquiry dilanjutkan dengan evaluasi pemahaman konsep yang diadopsi dari Dhindsa dan Treagust (2009), Barke et al. (2009) dan Barke (2012). Evaluasi pemahaman diharapkan dapat mengidentifikasi keberadaan miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks, sehingga peneliti menggunakan three-tier diagnostic test yang dikembangkan pertama kali oleh Eryilmaz dan Sumery pada tahun 2002. Threetier diagnostic test merupakan suatu instrumen yang khusus untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa, sebab selain siswa menjawab soal yang telah dibuat, siswa juga harus memberikan alasan yang menjelaskan atas jawaban yang telah dipilihnya, serta keyakinan siswa atas jawaban dan alasan yang telah dipilihnya. Alasan yang diberikan siswa dapat memberikan gambaran pada guru tentang miskonsepsi yang dialami siswa (Arslan et al., 2012). Berdasarkan uraian kelebihan model pembelajaran modified inquiry tersebut, maka peneliti melaksanakan penelitian tentang prevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks melalui model pembelajaran modified inquiry. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah praeksperimental, yaitu eksperimen yang dilakukan hanya pada satu kelompok saja, tanpa adanya kelompok pembanding. Desain penelitian ini menggunakan rancangan One Group Pretest-Posttest Design. Sasaran penelitian adalah siswa kelas siswa kelas X IPA 3 dengan replikasi tindakan diberlakukan terhadap siswa yang duduk di kelas X IPA 5, dan X IPA 7 adalah populasi lain yang merupakan sumber data yang digunakan untuk memverifikasi fakta yang diperoleh dari fakta yang diperoleh dari kelas pertama (X IPA 3). Seluruh (total) siswa yang ada di kelas-kelas itu diposisikan sebagai sampel penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, antara lain: 1) Observasi dan dokumentasi untuk memperoleh data penelitian selama proses pembelajaran berlangsung yang dilakukan oleh tiga orang pengamat yang sudah dilatih dalam menggunakan lembar pengamatan dengan benar, 2) Tes pemahaman konsep berupa three-tier diagnostic test yang diadopsi dari Arslan et al. (2012) dengan kriteria sesuai pada Tabel 1, dan 3) Angket yang terdiri dari dua jenis, yaitu angket faktor penyebab miskonsepsi, dan angket penilaian diri untuk mendapatkan data mengenai kompotensi inti sikap spiritual masing-masing siswa. Tabel 1 Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan Three-tier Diagnostic Test

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 206

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Teknik analisis data yang digunakan adalah data diskrit dianalisis secara deskriptif, sedangkan data ordinal dan interval dianalisis secara inferensial dengan menggunakan Wilcoxon’s Signed Rank Test untuk profil prakonsepsi, dan profil konsepsi, serta KruskalWallis Test dan Mann-Whitney Test untuk keterlaksanaan pembelajaran, dan One Sampel T-Test untuk hasil belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Prakonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Pada data yang terdapat pada profil prakonsepsi siswa setelah pretest yang disajikan pada Gambar 1, ditemukan persentase siswa TTK yang paling dominan di ketiga kelas, hal ini dimungkinkan sesuai dengan pendapat Hakim et al. (2012) yang menyatakan budaya siswa-siswa Indonesia yang sering menjawab tidak yakin untuk sesuatu yang baru. Kenyataan ini menggambarkan keadaan yang wajar bagi siswa sebelum mengikuti pembelajaran reaksi redoks. Pada Gambar 1 selain ditemukan TTK, juga ditemukan MK1, MK2, dan MK3. Menurut Ibrahim (2012) miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3) yang terjadi pada siswa adalah sebuah kewajaran, karena pada dasarnya miskonsepsi tersebut adalah sebuah prakonsepsi (konsepsi awal) yang merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomena alam (dalam hal ini konsep reaksi redoks) sebelum mempelajarinya secara formal di sekolah. Sebagian dari pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman yang dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh para ilmuwan (sesuai dengan konsep ilmiah), namun banyak juga diantara pemahaman tersebut yang sama sekali berbeda dengan konsep ilmiah yang diakui kebenarannya. Prakonsepsi pada seseorang akan hilang ketika diberikan pelajaran konsep yang sebenarnya.

Vol. 2 No. 3, April 2014

(a) (b) (c) Gambar 1 Diagram Pastel Prakonsepsi Siswa Kelas (a) X IPA 3, (b) X IPA 5, dan (c) X IPA 7 Suatu prakonsepsi dapat memicu terjadinya miskonsepsi, sebab apabila suatu prakonsepsi tidak mudah berubah, dan siswa yang memiliki prakonsepsi tersebut selalu kembali pada prakonsepsinya sendiri, meskipun telah diperkenalkan dengan konsep yang benar, maka dapat disimpulkan siswa tersebut mengalami miskonsepsi. Mengingat prakonsepsi merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomena alam, sehingga dalam profil konsepsi hasil pretest belum tepat apabila siswa dikatakan mengalami miskonsepsi, namun lebih tepatnya adalah alternative conceptions (Horton, 2004). Pendapat ini sesuai dengan pendapat Piaget (dalam Suparno, 2001), yang menyatakan setiap siswa mempunyai struktur pengetahuan awal (skema), walaupun terkadang skema tersebut tidak cocok untuk tahap pemikiran pakar. Skema siswa tersebut tidak dapat dikatakan salah karena skema tersebut merupakan pemahaman akan suatu kejadian sesuai dengan perkembangan pemikirannya. B. Keterlaksanaan Sintaks Prevensi Miskonsepsi dengan Menggunakan Model Pembelajaran Modified Inquiry Sesuai dengan nasehat Gagne et al. (1988) dalam teori learning hierarchi, guru sebelum masuk dalam proses belajar-mengajar sebaiknya mengetahui kemampuan siswa dalam konsep prasyarat. Kemampuan prasyarat tersebut dapat diketahui oleh guru dengan cara terlebih dahulu melaksanakan tes prasyarat, dengan menggunakan three-tier diagnostic test pada kemampuan yang mengambil jenis-jenis miskonsepsi yang ditemukan Horton (2004) dan Dhindsa dan Treagust (2009). Mengingat tes prasyarat merupakan tes yang berfungsi untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 207

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya diperlukan untuk dapat mengikuti pelajaran berikutnya, maka tes prasyarat tersebut harus diberikan pada awal serangkaian pelajaran (Ischak dan Warji, 1987). Konsep-konsep prasyarat untuk belajar konsep reaksi redoks menurut Sukarmin (2004) adalah struktur atom, sistem periodik unsur dan ikatan kimia. Hasil three-tier diagnostic test pada konsep prasyarat di ketiga kelas adalah persentase siswa TK mendominasi pada ketiga konsep prasyarat, meskipun masih terdapat siswa MK pada konsep struktur atom, sistem periodik unsur dan ikatan kimia. Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti berusaha untuk meluruskan konsep prasyarat siswa melalui kegiatan pendahuluan pada sintaks yang terskenariokan dalam RPP, seperti yang disarankan oleh Gagne et al. (1988) tentang sebuah solusi alternatif untuk belajar prasyarat adalah dengan cara review. Piaget (dalam Suparno, 2001) membedakan pengetahuan menjadi tiga macam , yaitu 1) pengetahuan fisis (physical experience), 2) pengetahuan matematis-logis (logico-mathematical knowledge), dan 3) pengetahuan sosial (social knowledge). Mengadopsi dari pernyataan Piaget (dalam Suparno, 2001) yang menyatakan pengetahuan yang akurat tidak dapat diturunkan langsung dari membaca atau dari mendengarkan guru berbicara, serta pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial diperoleh langsung dari konstruksi siswa sendiri, maka pada peneliti menggunakan model pembelajaran modified inquiry secara berkelompok. Pembelajaran secara berkelompok memiliki efek positif pada minat siswa, sikap bahkan prestasi dalam bidang sains, sebab siswa yang kurang mampu dapat memiliki kesempatan mencari bantuan temannya dalam menemukan konsep (Opara and Oguzor, 2011). Pendapat ini sesuai dengan Suparno (1997) yang menyatakan pembelajaran secara berkelompok dapat membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Kedua pendapat tersebut, juga sesuai dengan pendapat Saleh (2012) yang menyatakan dalam pembelajaran secara berkelompok memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan teman sebayanya dalam mencapai tujuan. Kerja kelompok dapat juga bermanfaat untuk mengatasi atau mengurangi kefakuman, karena siswa yang mampu diharapkan dapat membimbing temannya yang kurang mampu. Selain dapat meningkatkan kompetensi inti pengetahuan, pembelajaran modified inquiry secara berkelompok diharapkan juga meningkatkan salah satu kompetensi inti sikap sosial yaitu demokratis, sebagaimana pernyataan Piaget (dalam Suparno, 2001) yaitu belajar bersama memungkinkan sikap kritis dan saling menukarkan perbedaan akan menantang siswa

Vol. 2 No. 3, April 2014 untuk semakin mengoreksi dan mengembangkan pengetahuan yang telah dibentuknya. Uraian tersebut didukung oleh hasil penilaian ketiga pengamat yang menyatakan sintaks pembelajaran modified inquiry telah berkualifikasi sangat baik pada kedua pertemuan di ketiga kelas, dan hasil analisis terhadap skor dari ketiga pengamat dengan menggunakan Kruskal-Wallis Test memperoleh p-value lebih besar daripada nilai kritik baik pada pertemuan I, maupun pertemuan II di ketiga kelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengamat mempunyai pandangan yang sama mengenai keterlaksanaan pembelajaran modified inquiry. Kenyataan ini juga didukung oleh hasil MannWhitney Test yang menghasilkan p-value lebih besar dari nilai kritik, sehingga dapat disimpulkan bahwa guru mampu mempertahankan kualitas pengajaran dengan menggunakan model modified inquiry baik pada pertemuan I maupun pertemuan II di ketiga kelas. Berdasarkan uraian keterlaksanaan sintaks dalam pembelajaran pertemuan I dan II dapat disimpulkan bahwa semua sintaks model pembelajaran modified inquiry yang mengadopsi dari National Science Education Standart telah terlaksana dengan sangat baik di ketiga kelas. C. Profil Konsepsi Siswa Sesudah Pembelajaran dengan Menggunakan Model Modified Inquiry Profil konsepsi siswa yang dihasilkan setelah pembelajaran modified inquiry disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 memberikan hasil bahwa secara klasikal siswa telah memahami konsep reaksi redoks mencapai 60% di kelas X IPA 3, 48% di kelas X IPA 5, dan 64% di kelas X IPA 3. Penjelasan yang dapat diberikan pada kenyataan ini adalah bermula dari model modified inquiry yang diterapkan. Siswa dilibatkan secara aktif (student centered) di dalam model pembelajaran modified inquiry, dengan cara menuntut siswa untuk menggali informasi untuk memahami suatu konsep melalui sebuah fenomena kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan konsep yang dipelajari, sehingga fenomena atau gejala-gejala fisis tersebut dapat dijelaskan secara konseptual. Pada proses tersebut siswa belajar mengalami dan mengaitkan pengetahuan sebelumnya kedalam materi yang sedang dipelajari, serta siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diprediksi bahwa peningkatan yang tajam pada siswa TK, dikarenakan siswa tersebut telah berhasil mengkonstruksi sendiri pengetahuan fisis, dan pengetahuan logiko-matematisnya. Pengetahuan tersebut dapat dikonstruksi siswa dengan cara mengaitkan pengetahuan prasyarat dengan konsep

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 208

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya reaksi redoks atau siswa berhasil melaksanakan proses asimilasi dalam skemanya (Suparno, 2001). Kenyataan masih ditemukan adanya siswa TTK pada konsep reaksi redoks, dimungkinkan karena selain melibatkan konstruksi pengetahuan fisis, dalam konsep ini juga harus melibatkan konstruksi pengetahuan matematis-logis. Menurut Piaget dalam The Psychology of Inteligence (dalam Suparno, 2001) menyatakan bahwa struktur matematis-logis, bukanlah sesuatu yang menetap pada siswa, melainkan sesuatu yang terbentuk secara perlahan-lahan dalam perkembangannya. Pada siswa yang masih TTK dimungkinkan konstruksi pengetahuan siswa tersebut belum tercapai atau tidak mempunyai waktu yang cukup pada proses pengkonstruksian tersebut. Pendapat Piaget ini sesuai dengan pendapat Opara and Oguzor (2011), yang menyatakan pada dasarnya pembelajaran modified inquiry memerlukan waktu yang lama.

(a) (b) (c) Gambar 2 Diagram Pastel Konsepsi Siswa Sebelum Pembelajaran Remedial di Kelas (a) X IPA 3, (b) X IPA 5, dan (c) X IPA 7 Selain faktor waktu, ada alasan lain yang mendasari masih ditemukannya miskonsepsi baik MK1, MK2, maupun MK3. Kemungkinan besar siswa tersebut salah mengkonstruksi pemahamannya yang bermula dari miskonsepsi pada konsep prasyarat, atau alternative conceptions yang kembali meskipun sudah diberikan pengetahuan yang benar. Sesuai dengan pendapat Fowler (dalam Suparno, 2005) yang menjelaskan bahwa penggunaan konsep yang salah pada prasyarat, akan menyebabkan terjadinya kekacauan konsep-konsep dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar antara konsep prasyarat dengan konsep reaksi redoks, sehingga mengakibatkan siswa mengalami miskonsepsi yang berkelanjutan. Kenyataan tersebut sesuai dengan pendapat Horton (2004) yang menyatakan apabila siswa

Vol. 2 No. 3, April 2014 membangun pemahaman baru yang keluar dari konsepkonsep yang sudah mereka miliki (miskonsepsi pada konsep prasyarat dan prakonsepsi yang telah dimilikinya), maka tidak dapat dihindari bahwa siswa akan mengalami miskonsepsi pada bagian tersebut. Akibat miskonsepsi pada konsep prasyarat dan prakonsepsi yang kembali lagi, maka pengalaman baru diinterpretasikan siswa melalui pemahaman yang salah, sehingga mengganggu siswa menangkap pengalaman baru (Barke et al.,2009). Kenyataan ini dimungkinkan pula siswa belum sempurna dalam melaksanakan proses akomodasi dalam skemanya. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori Piaget (dalam Suparno, 2001) yang menyatakan apabila skema yang lama tidak cocok lagi untuk berhadapan dengan pengalaman yang baru, maka skema yang lama tersebut diubah sampai ada kesetimbangan lagi dengan proses akomodasi. Selain kegagalan dalam proses akomodasi, kenyataan tersebut juga dimungkinkan siswa tidak mengkonstruksi pengetahuan secara utuh, seperti yang diungkapkan oleh Suparno (2001). Kemungkinan lain adalah alternative conceptions siswa yang masih melekat. Alternative conceptions tersebut tidak berubah, dan siswa selalu kembali meskipun telah diperkenalkan dengan konsep yang benar, sehingga siswa mengalami miskonsepsi (Ibrahim, 2012). Barke et al. (2009) juga berpendapat miskonsepsi dapat terjadi pada beberapa konsep sangat sulit untuk dipahami yang disebabkan oleh sifat dari konsep tersebut yaitu abstrak, kontra-intuitif atau kompleks, sehingga pemahaman terhadap konsep tersebut tidak utuh, sebab Chiu (2005), Horton (2004), Reid (2008), Barke (2012), dan AlBalushi et al. (2012) mengungkapkan konsep reaksi redoks merupakan konsep yang sulit. Keberhasilan sebuah model pembelajaran dalam memprevensi miskonsepsi perlu dibandingkan dengan hasil prevensi miskonsepsi dari penelitian lainnya. Penelitian Miller et al. (dalam Dazhi and Inanc, 2013) dalam memprevensi miskonsepsi siswa dengan menggunakan inquiry-based approach pada konsep transfer energi, memberikan simpulan yang tidak efektif. Penelitian Bartlow (2011) dalam memprevensi miskonsepsi siswa pada mata pelajaran kimia selama 3 semester dengan menggunakan Process Oriented Guided Inquiry Learning, hanya memperoleh hasil sebesar 14,8%. Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model modified inquiry telah berhasil memprevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. D. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Berdasarkan hasil angket, akumulasi sumber penyebab miskonsepsi yang terbesar adalah

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 209

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya prakonsepsi siswa. Prakonsepsi siswa terbesar terjadi di kelas X IPA 5, hal ini sesuai dengan persentase pemahaman konsep siswa kelas X IPA 5 paling kecil dibandingkan kelas X IPA 6, dan X IPA 7. Kurang maksimalnya persentase pemahaman konsep siswa bukan disebabkan oleh pembelajaran dengan model modified inquiry yang dilaksanakan guru. Kurang maksimalnya model pembelajaran modified inquiry dalam memprevensi miskonsepsi siswa disebabkan oleh faktor lain, sebab pada dasarnya pembelajaran yang konsisten menggunakan inkuiri cenderung mampu mengubah konsep lama yang miskonsepsi dengan konsep baru (Horton, 2004). Pernyataan ini juga didukung hasil penilaian ketiga pengamat, yang menggambarkan model pembelajaran modified inquiry sudah terlaksana dengan kualifikasi sangat baik. Keberhasilan model modified inquiry juga tampak pada hasil learning task (analisis deskritif) yang berkualifikasi sangat baik. Simpulan dari uraian sumber penyebab miskonsepsi yang mendominasi pada penelitian ini adalah prakonsepsi (konsepsi awal) siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Barke et al. (2009) bahwa miskonsepsi bersifat resisten atau sulit diubah dan cenderung bertahan. Horton (2004) juga berpendapat bahwa miskonsepsi memiliki potensi untuk memblokir atau menghalangi kemajuan lebih lanjut (Horton, 2004). E. Perubahan Hasil Belajar Siswa Sesudah Pembelajaran dengan Menggunakan Model Modified Inquiry Perubahan hasil belajar siswa setelah prevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks dengan menggunakan modified inquiry disimpulkan dengan dua teknik analisis, yaitu teknik analisis deskriptif dan teknik analisis inferensial. Kedua teknik analisis hanya memperhitungkan skor jawaban benar tanpa tier-3 antara sesudah dan sebelum pembelajaran. Analisis deskriptif lebih ditujukan untuk menguji pencapaian target KKM siswa, sedangkan analisis inferensial lebih ditujukan untuk menguji efektivitas model modified inquiry dalam meningkatkan pemahaman siswa. Secara deskriptif dengan KKM 80%, maka pada kelas X IPA 3 hanya 18 siswa yang tuntas (46%), pada kelas X IPA 5 hanya 8 siswa yang tuntas (24%), dan pada kelas X IPA 7 hanya 17 siswa yang tuntas (42%). Keadaan yang berbeda-beda pada setiap kelas tersebut, sesuai dengan hasil penelitian John Carol (dalam Arifin, 1995) yang menemukan bahwa siswa memiliki kecepatan yang berbeda dalam memahami suatu konsep, siswa dapat mencapai tujuan belajar dengan baik apabila diberi waktu yang sesuai

Vol. 2 No. 3, April 2014 kebutuhannya. Kecepatan yang berbeda dalam memahami konsep reaksi redoks, membuat siswa di kelas X IPA 5 mempunyai persentase pemahaman konsep yang paling rendah dibandingkan dengan siswa di kelas X IPA 3, maupun kelas X IPA 7. Selain analisis deskriptif, juga dilaksanakan analisis inferensial untuk menguji efektivitas model modified inquiry dalam meningkatkan pemahaman siswa pada konsep reaksi redoks. Analisis inferensial diputuskan menggunakan One Sampel T-Test, sebab data yang diperoleh adalah berupa data interval dan populasi berdistribusi normal (Sugiyono, 2008). Hasil One Sampel T-Test tersebut adalah ketiga kelas mempunyai thitung > ttabel dengan derajat kepercayaan 95% seperti yang tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil One Sampel T-Test Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Reaksi Redoks

Simpulan yang diperoleh dari hasil analisis inferensial adalah model modified inqury telah efektif meningkatkan pemahaman siswa pada konsep reaksi redoks secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dari keterlaksanaan model pembelajaran modified inquiry pada kedua pertemuan yang mendapatkan nilai dengan kualifikasi sangat baik, sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep reaksi redoks pada siswa. Kenyataan ini sesuai dengan Arends (2012) bahwa sintaks dalam sebuah model pembelajaran harus dilaksanakan dengan sangat baik oleh guru untuk menjamin kualitas proses pembelajaran. Kenyataan ini juga didukung oleh penelitian Widowati (2008), Khanafiah dan Rusilowati (2010), dan Widodo (2012) yang menyatakan model pembelajaran modified inquiry secara signifikan efektif meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut, maka dapat disimpulkan pembelajaran menggunakan model modified inquiry terbukti mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep reaksi redoks secara signifikan walaupun belum mampu mencapai target KKM, sehingga sangat diperlukan pembelajaran remedial. SIMPULAN Tindakan prevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks di SMA Negeri 1 Sidoarjo dengan menggunakan model pembelajaran modified inquiry

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 210

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya menghasilkan simpulan tindakan prevensi yang dilakukan sudah berhasil membentuk siswa tahu konsep sebanyak 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), dan 64% (X IPA 7). DAFTAR PUSTAKA Al-Balushi, S.M., Ambusaidi, A.K., Al-Shuaili, A.H., and Taylor, N. 2012. “Omani Twelefth Grade Students’ Most Common Misconceptions in Chemistry”. Muscat: Journal of Science Education International, 23(3), 221-240. Arends, R.I. 2012. Learning to Teach.9st Edition. New York: McGraw-Hill. Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test to Assess PreServiceTeachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, andAcid Rain”. San Antonio: Education International Journal of Science Education, 34(11),1 667–1686. Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga University Press. Barke, H.D., Al Hazari, and Yitbarek, S. 2009. Misconceptions in Chemistry. Springer Link. Barke, H.D. 2012. “Two Ideas of The Redox Reaction: Misconceptions and Their Challenge in Chemistry Education”. Atlanta: Atlanta Journal Chemistry Education, 2(2), 32-50. Barthlow, M.J. 2011. “The Effectiveness of Process Oriented Guided Inquiry Learning to Reduce Alternate Conceptions in Secondary”. Liberty University: Chemistry Disertation. Chiu, M.H. 2005. “A National Survey of Student’ Conceptions in Chemistry in Taiwan”. Istanbul: Journal of Chemical Education International, 6(1),1-8. Dazhi, Y., and Inanc, S. 2013. “The Search for Strategies to Prevent Persistent Miconceptions”. Atlanta: 120th ASEE Annual Conference & Eksposition. Dhindsa, H.S., and Treagust, D.F. 2009. “Conceptual Understanding of Bruneian Tertiary Students: Chemical Bonding and Structure”. Universiti Brunei Darussalam: Brunei International Journal of Science and Mathematic Education, 1(1), 33-51. Gagne, R.M., Briggs, L.J., and Wager, W.W. 1988. Principle of Instructional Design. Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Hakim, A., Liliasari., and Kadarohman. A. 2012. “Student Concep Understanding of Natural Products Chemistry in Primary and Secondary Metabolis Using the Data Collecting Technique of Modified CRI”. Mataram: International Online Journal of Educational Sciences. Horton, C. 2004. “Student Alternative Conception in Chemistry”. California: California Journal of Science Education, 7(2), 1-78. Ibrahim, M. 2012. Konsep Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya: Unesa University Press. Ischak, S.W., dan Warji. R. 1998. Program Remedial dalam Proses Belajar Mengajar. Yogyakarta: Liberty. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Khanafiyah, S., dan Rusilowati, A. 2010. “Penerapan Pendekatan Modified Free Inquiry sebagai Upaya Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa Calon Guru dalam Mengembangkan Jenis Eksperimen dan Pemahaman terhadap Materi Fisika”. Semarang: Jurnal Universitas Negeri Semarang (Edisi Khusus), 13(2), E7- E14. Opara, J.A., and Oguzor, N.S. 2011. “Inquiry Instructional Method and the Scholl Science Curriculum”. Nigeria: Current Research Journal of Social Science 3(3):188-198 Reid, N. 2008. “A Scientific Approach to The Teaching of Chemistry”. Glasgow: Journal of The Royal Society of Chemistry, 9, 51-59. Saleh, M. 2012. “Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Matematika Realistic. Banda Aceh: Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, 13(2), 51-59. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Sukarmin.2004. Reaksi Oksidasi Reduksi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sund, Robert B., and Leslie W. Trowbridge. 1973. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School. Colombus: Merrill. Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 211

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

Wahyuningrum, S., dan Suyono. 2013. “Pola Pergeseran Konsepsi Siswa pada Struktur Atom setelah Pembelajaran dengan Strategi POGIL”. Surabaya:UNESA Journal of Chemical Education, 2(1), 43-50. Widowati, A. 2008. “Impoving The divergent Thinking Skill Using The Modified Free Inquiry Approach to Teaching Science”. Yogyakarta: Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Nomor 1, Tahun XI, 118-127.

Yunianingsih, W., dan Suyono. 2013. “Tingkat Keterampilan Berpikir Siswa Saling Bergantung (Dependen) dengan Tingkat Penguasaan Konsep Siswa”. Surabaya: UNESA Journal of Chemical Education, 2(1), 1-10.

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

| 212

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MODEL TPS DENGAN MEDIA LECTORA INSPIRE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA Zulkifli Zakaria1) Wasis2) Wahono Widodo3) 1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 2) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire pada pokok bahasan hukum Newton untuk siswa SMA. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model 4-D. Ujicoba II dilakukan pada 90 siswa, dengan desain one group pretest-posttest dan dilakukan replikasi pada kelas X-1, X-2, dan X-3 SMA Negeri Mojoagung. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: RPP, buku siswa, LKS, media Lectora Inspire, dan tes hasil belajar berkategori layak dengan skor penilaian 3,9-4,0 dengan reliabilitas 81%-93%. (2) Perangkat pembelajaran yang dikembangkan tergolong praktis, hal ini ditunjukkan oleh: (a) Keterlaksanaan RPP berkategori baik, dan terlaksana 100% dengan reliabilitas 94%, (b) Aktivitas siswa paling menonjol adalah mengajukan/menjawab pertanyaan yang ada dalam Lectora Inspire, (c) respon siswa terhadap pembelajaran dengan media Lectora Inspire adalah positif, dan (3) Hasil belajar siswa mengalami peningkatan, hal ini ditunjukkan oleh peningkatan skor rata-rata pretest 34,7-43,0 dan untuk skor rata-rata postest 79,8-85,5 dengan normalized-gain 0,68-0,74, (4) kendala yang dihadapi adalah siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran TPS, siswa belum terbiasa untuk menghubungkan antara motivasi belajar berupa video dengan materi yang akan dipelajari. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Hukum Newton. Kata-kata Kunci: media Lectora Inspire, pembelajaran think-pair-share (TPS), hasil belajar. Abstract: This study aimed to develop learning material of TPS Model by using Lectora Inspire Media on the main subject of Newton’s Law for Senior High School students. The Learning material development uses 4-D Model. Tryout II had been done to 90 students, by using one group pretest-posttest design and the replication to class X-1, X-2, and X-3 in SMA Negeri Mojoagung. The result of study shows: (1) The learning material that developed consists of: Lesson Plan, Students’ Book, Students’ Work Sheets, Lectora Inspire media, and the learning result assessment with worthy category are 3,9 – 4,0 and the reliability are 81% - 93%. (2) The developed learning material is relatively practicable, it is showed by: (a) the Lesson plan implementation is well categorized, and 100% implemented with 94% reliability, (b) the most dominant of students’ activity are asking and answering the questions in Lectora Inspire Media, (c) The students’ response toward the lesson using Lectora Inspire Media is positive, and (3) The students’ learning result is increase, it is shown by the increasing of pretest average score is 34,7 – 43,0 and the posttest average score is 79,8 – 85,5 with normalized-gain 0,68 – 0.74, (4) the constrains that faced are the students are not familiar with TPS model, the students are not familiar to connect between the video of motivation to learn with the material that will be learned. Based on the study, it can be concluded that Learning material of TPS Model with Lectora Inspire Media which developed is effective to increase the students learning result of Newton’s Law material. Keywords: lectora inspire media, think-pair-share (TPS) lesson, learning result.

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dan informasi begitu pesat. Perkembangan tersebut membawa masyarakat memasuki era globalisasi. Teknologi merupakan suatu penemuan penting yang memiliki peranan penting bagi kehidupan. Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Saat ini teknologi berkembang pesat di segala bidang, salah satunya di bidang pendidikan. Salah satu contoh perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan adalah pembelajaran berbasis multimedia (Daryanto, 2010). Tuntutan layanan profesional di berbagai sektor kehidupan dan kualitas sumber daya manusia yang memenuhi harapan masyarakat terus diperlukan. Tuntutan layanan profesionalisme ini juga muncul di dunia pendidikan. Pelayanan pendidikan yang efektif

dan tepat sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Berdasarkan tuntutan layanan tersebut, maka guru dituntut untuk menguasai IT serta mempunyai kemampuan untuk memanfaatkannya dalam pembelajaran. Berdasarkan data hasil belajar Fisika pada ulangan harian maupun ulangan tengah semester ganjil untuk materi Hukum Newton di SMAN Mojoagung tahun pelajaran 2012/2013, jumlah siswa yang tuntas 35%, dan tidak tuntas 65%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman siswa terhadap materi pelajaran belum optimal yang berakibat pada rendahnya jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkan hasil ulangan harian dan ulangan tengah semester ganjil tersebut, maka kurangnya pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dapat disebabkan oleh berbagai faktor

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

| 213

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya yang sangat kompleks. Salah satunya adalah lemahnya metode yang digunakan guru dalam menyampaikan materi Hukum Newton. Peningkatkan mutu pendidikan juga perlu ditunjang adanya pembaharuan di bidang pendidikan itu sendiri. Salah satu caranya adalah melalui peningkatan kualitas pembelajaran yaitu dengan pembaharuan pendekatan atau peningkatan relevansi metode mengajar guru. Metode mengajar dikatakan relevan jika dalam prosesnya mampu mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan melalui pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran tersebut dapat dibantu oleh penggunaan media pembelajaran yang relevan pula. Berdasarkan paradigma kontruktivisme penggunaan media menempati posisi yang cukup strategis dalam mewujudkan kegiatan pembelajaran yang optimal (Palupi, 2011). Tetapi peran media tidak bermaksud untuk menggantikan pengamatan secara langsung. SMAN Mojoagung adalah SMA yang telah menerapkan pembelajaran dan administrasi berbasis IT. Sistem pembelajaran yang telah digunakan berbasis IT adalah: (1) Simajest (sistem penilaian berbasis web), (2) Sistem koreksi LJK, (3) Exsys (Examination System). Sistem administrasi berbasis IT yang telah digunakan berbasis IT adalah: (1) PAS (paket aplikasi sekolah – Nasional), (2) Sistem pendataan alumni, (3) PDSS (pusat data siswa dan sekolah – Nasional), (3) DAPODIKMEN (data pokok pendidikan menengah), (4) Padamu Negeri (data guru – Nasional). Berdasarkan hal tersebut, maka tepatlah kiranya pembelajaran di SMAN Mojoagung diterapkan dengan menggunakan media pembelajaran berbasis IT. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan kualitas pembelajaran, peningkatan mutu tenaga pengajar, serta lingkungan belajar yang kondusif dan memadai. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan belajar yang kondusif dan menarik adalah penggunaan media Lectora Inspire. Sudjana dan Rivai (1997) mengidentifikasi, dengan memilih perpaduan media yang sesuai, hasil belajar seseorang dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar akan diperoleh banyak manfaat, diantaranya pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa dan materi pengajaran akan lebih dipahami oleh para siswa. Lectora Inspire dapat memudahkan guru dalam pembuatan media pembelajaran berbasis IT. Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 20 guru di SMAN Mojoagung, 16 guru (80%) menyatakan bahwa Lectora Inspire memiliki lebih banyak fitur khususnya terkait web, karena Lectora Inspire berbasis web bila dibandingkan dengan media powerpoint yang selama ini digunakan. Berdasarkan angket tersebut, maka media pembelajaran Lectora Inspire dipilih guru untuk menyampaikan materi pelajaran di kelas. Dengan media pembelajaran ini guru dapat membuat materi uji yang interaktif dan menyenangkan. Guru juga dapat menambah beberapa program tambahan agar dapat menampilkan fitur secara optimal sehingga informasi

Vol. 2 No. 3, April 2014 yang berupa tulisan, animasi serta suara yang ditampilkan sehingga membuat siswa lebih tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Erlin (2013) menunjukkan bahwa melalui penggunaan media pembelajaran berbasis ICT dengan aplikasi Lectora Inspire ternyata banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain: (a) media pembelajaran Lectora Inspire bila dirancang dengan baik, merupakan media pembelajaran yang efektif, dapat memudahkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran, (b) mendukung pembelajaran individual sesuai kemampuan siswa, serta dapat digunakan sebagai penyampai balikan langsung, (c) materi dapat diulang-ulang sesuai keperluan, tanpa menimbulkan rasa jenuh, (d) hambatan dalam pemanfaatan media pembelajaran berbasis ICT dengan aplikasi Lectora Inspire adalah sumber daya manusia, (e) penggunaan media pembelajaran berbasis ICT dengan aplikasi Lectora Inspire mampu meningkatkan kualitas pembelajaran IPA, hal ini disebabkan karena melalui penggunaan media pembelajaran berbasis ICT dengan aplikasi Lectora Inspire siswa lebih tertarik, selain itu siswa yang lamban dalam daya penerimaan dapat menyesuaikan diri. Pelaksanaan PBM dalam penelitian ini adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe think-pairshare. Think-pair-share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2000). Dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Model pembelajaran kooperatif tipe thinkpair-share ini digunakan karena memiliki kelebihan: a) memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan b) siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah, c) siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang, d) siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar, e) memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah keefektifan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire untuk meningkatkan hasil belajar siswa? Rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kelayakan perangkat pembelajaran model TPS yang meliputi: RPP, buku siswa, LKS, media Lectora Inspire dan tes hasil belajar yang dikembangkan?, (2) Bagaimanakah kepraktisan perangkat pembelajaran model TPS dengan menggunakan media Lectora Inspire yang

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

| 214

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dikembangkan?, (a) Bagaimanakah keterlaksanaan RPP yang dikembangkan?, (b) Bagaimanakah aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar?, (c) Bagaimanakah respon siswa terhadap setelah mengikuti pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran dengan media Lectora Inspire?, (3) Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa setelah dilakukan implementasi pembelajaran dengan media Lectora Inspire?, dan (4) Kendala-kendala apa sajakah yang terjadi selama proses pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran dengan media Lectora Inspire serta bagaimana solusinya? Tujuan umum penilitian ini adalah “Mengembangkan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire untuk meningkatkan hasil belajar siswa”. Tujuan khusus, meliputi: (1) Mendesksripsikan validitas perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire yang dikembangkan berdasarkan kelayakan RPP, buku siswa, LKS, dan media Lectora Inspire, (2) Mendeskripsikan keterlaksanaan perangkat pembelajaran model TPS dengan menggunakan media Lectora Inspire, (3) Mendeskripsikan aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang menggunakan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire, (4) Mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa setelah proses pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire, (5) Mendeskripsikan respon siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire, (6) Mendeskripsikan kendala-kendala yang terjadi selama proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMAN Mojoagung – Jombang pada tanggal 12 – 25 November 2013. subyek dalam penelitian ini adalah media Lectora Inspire yang digunakan dalam pembelajaran siswa kelas X-1 (laki-laki 13, perempuan 17), X-2 (laki-laki 13, perempuan 17), X-3 (laki-laki 10, perempuan 20) tahun pelajaran 2013/2014. Rancangan penelitian ini mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran 4-D Thiagarajan dengan 3 kali replikasi. Bagan rancangan penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Prabowo, 2011): 1 2 3

U1 U1 U1

L L L

U2 U2 U2

Keterangan: U1 adalah pretest untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sebelum pembelajaran berlangsung U2 adalah posttest untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran setelah pembelajaran berlangsung

Vol. 2 No. 3, April 2014 L

adalah perlakuan melalui penerapan media pembelajaran Lectora Inspire. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara, antara lain: (1) Validasi perangkat untuk mengetahui kualitas perangkat pembelajaran dengan menggunakan lembar validasi perangkat oleh validator yang terdiri dari pakar, (2) Observasi/Pengamatan dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data tentang keterlaksanaan pembelajaran, respon siswa, dan kendala-kendala yang ditemui selama pembelajaran berlangsung, (3) Angket digunakan untuk mengumpulkan data penelitian mengenai respon siswa. Angket ini diberikan pada akhir penelitian, pengisian angket dilakukan siswa tanpa ada tekanan dari pihak manapun, (4) Tes hasi belajar Tes terdiri dari pretest-postest yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Pretest diberikan sebelum pembelajaran dengan media Lectora Inspire diberikan dengan tujuan mengidentifikasi kemampuan awal siswa. Postest diberikan pada akhir penelitian setelah pembelajaran dengan media Lectora Inspire bertujuan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa. Tes hasil belajar berupa 10 soal pilihan ganda. Data kualitatif yang telah digambarkan dengan kata-kata, dipisahkan menurut kategori kemudian dilakukan analisis dengan dua cara, yaitu: (1) Dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan kemudian dideskripsikan dengan membandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, seperti yang dilakukan pada data hasil belajar dan keterlaksanaan RPP, (2) Dijumlahkan dan diklasifikasikan kemudian dideskripsikan kesimpulannya, seperti yang dilakukan pada data respon siswa. Adanya peningkatan hasil belajar siswa dapat diketahui melalui analisis Normalized-Gain (NGain). Siswa mengalami peningkatan hasil belajar tinggi apabila N-Gain ≥ 0,7, 0,3 ≤ N-Gain ≥ 0,7 = sedang, dan N-Gain < 0,3 rendah (Hake, 1998). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka didapatkan temuan hasil penelitian sebagai berikut: (1) Perangkat pembelajaran yang dikembangkan baik dan layak digunakan dalam pembelajaran karena hasil penelitian menunjukkan: (a) Hasil Validasi RPP, Hasil penilaian RPP oleh pakar yang meliputi aspek tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, waktu, perangkat pembelajaran, metode sajian, dan bahasa mendapatkan nilai rata-rata 3,9 dengan reliabilitas 83%, hal ini berarti RPP yang dikembangkan layak dan reliabel dijadikan panduan guru dalam mengelola pembelajaran, (b) Hasil Validasi Buku Siswa, Penilaian buku siswa yang meliputi aspek komponen kelayakan, komponen kebahasaan, dan komponen penyajian masing-masing memperoleh nilai 3,9; 3,9; dan 4,0 dengan rata-rata 3,9 dengan reliabilitas 86%. Artinya buku siswa yang dikembangkan layak dijadikan buku panduan bagi siswa dalam pembelajaran, (c) Hasil Validasi LKS, Hasil penilaian LKS memperoleh nilai rata-rata 4,0 dengan reliabilitas 93%. Hal ini menunjukkan bahwa

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

| 215

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya LKS yang dikembangkan layak digunakan oleh siswa dalam pembelajaran. Hasil Validasi Media Lectora Inspire, (d) Penilaian yang diperoleh terhadap media Lectora Inspire memperoleh nilai rata-rata 3,9 dengan reliabilitas 88%. Hal ini berarti media pembelajaran Lectora Inspire layak digunakan dalaam pembelajaran, (e) Hasil Validasi Tes Hasil Belajar (THB), Hasil penilaian terhadap tes hasil belajar diperoleh nilai 3,9 dengan reliabilitas 81%. Artinya bahwa tes hasil belajar ini layak digunakan siswa dan guru dalam pembelajaran. (2) Keterlaksanaan RPP, (a) Keterlaksanaan RPP pada ujicoba II dapat terlaksana 100%, dengan reliabilitas sebesar 94%. Rata-rata skor untuk 3 replikasi kegiatan pendahuluan rata-rata skor 3,9 berarti baik, kegiatan inti rata-rata skor 3,8 yang berarti baik, dan penutup rata-rata skor 3,9 yang berarti baik. Hal ini menunjukkan RPP terlaksana dengan baik dan reliable, (b) Aktvitas siswa paling banyak dalam kegiatan belajar mengajar dengan media Lectora Inspire adalah siswa mengajukan/menjawab pertanyaan yang ada dalam Lectora Inspire dengan rata-rata 17,3% untuk 3 replikasi, (c) Respon positif siswa terhadap materi ajar, media Lectora Inspire, buku siswa, LKS, suasana belajar, dan cara guru mengajar adalah 96%98% merasa tertarik dan 89%-92% merasa baru terhadap komponen tersebut. Untuk respon siswa terhadap bahasa dalam buku, materi atau isi buku, LKS, contoh soal, dan cara guru mengajar adalah 91%-93% merasa mudah memahami. Respon siswa jika pembelajaran selanjutnya atau pelajaran lain menggunakan media Lectora Inspire sebesar 93%-97%. Siswa merasa jelas untuk respon terhadap penjelasan guru pada saat KBM sebesar 90%-97%. Respon siswa terhadap kemudahan menjawab butir soal sebesar 77%83%. (3) Adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran dengan media Lectora Inspire, hal ini dikarenakan hasil penelitian menunjukkan: Hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan dari skor rata-rata untuk replika 1, 2, 3 (34,7; 43,0; 42,9) untuk pretest dan (79,8; 83,5; 85,5) untuk skor rata-rata untuk replika 1, 2, 3 posttest dengan ketuntasan untuk replika 1, 2, 3 (90%, 93%, 100%). Peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini tidak terlepas dari media pembelajaran Lectora Inspire, karena sebelum perlakuan dengan menggunakan media Lectora Inspire nilai hasil belajar siswa hanya mencapai nilai rata-rata 34,7. Menurut Sunyoto (2006) bila seseorang terus menerus melihat dan mengamati suatu objek/gambar bergerak dengan penyajian yang menarik, maka dapat dipastikan seseorang akan termotivasi untuk memperhatikan dan mempelajarinya sehingga seseorang itu hafal dan paham dan berpengaruh terhadap prestasinya. Hasil penelitian yang menyatakan hasil positif pembelajaran menggunakan media animasi ini diperkuat peneliti lain seperti O’day (2007) yang menyatakan bahwa animasi menyediakan suatu cara untuk berkomunikasi yang melibatkan urutan komplek secara jelas dan efisien. Stith (2004) mengemukakan bahwa penggunaan animasi dan simulasi akan berdampak dalam peningkatan belajar. Sankar (2010) menyatakan

Vol. 2 No. 3, April 2014 pembelajaran berbasis multimedia dapat memudahkan siswa dalam memahami materi, karena dapat menghadirkan kejadian-kejadian alam secara nyata di ruang kelas.

Gambar 1. Hasil Pretest-Posttest Dengan Normalized Gain (0,68 sedang; 0,70 tinggi; 0,74 tinggi).

Gambar 2. N-Gain

Gambar 3. Psikomotor Siswa Psikomotor siswa juga mengalami peningkatan dari tiga replikasi dengan presentase rata-rata tiap replikasi 83, 82, 84. Hal ini menunjukkan kemampuan psikomotor siswa meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan dapt meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Ketuntasan Indikator sebesar 100% yang berarti seluruh indikator mengalami ketuntasan, dan siswa mampu menguasai seluruh indikator. Sensitivitas butir soal didapatkan rata-rata 0,35-0,47, hal ini berarti butir soal yang digunakan memiliki nilai sensitivitas yang baik dan peka.(4) Kendala-kendala yang ditemui selama pembelajaran dengan media Lectora Inspire adalah: (1) siswa belum terbiasa menggunakan model pembelajaran kooperatif TPS sehingga guru harus menyediakan waktu untuk menjelaskan tahapan-tahapan TPS sebelum memulai

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

| 216

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya pembelajaran, (2) beberapa siswa belum terbiasa menghubungkan antara motivasi berupa video dengan materi yang akan dipelajari, siswa diharapkan lebih banyak menggalih informasi dari buku siswa dan media yang lain sebelum KBM berlangsung. PENUTUP SIMPULAN Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan: (1) Pengembangan perangkat pembelajaran model TPS dengan media pembelajaran Lectora Inspire ini perlu persiapan yang matang dari segi alat maupun kemampuan guru dalam mengorganisir pembelajaran. Untuk itu guru harus bisa menentukan media apa yang paling cocok digunakan untuk tiap pokok bahasan. (2) Perangkat pembelajaran model Think-Pair-Share dengan media Lectora Inspire yang dikembangkan ini dapat dijadikan alternatif dalam menerapkan kurikulum 2013.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Sankar, Chetan, dkk. 2010. A Multi-Experimental Study on The Use of Multimedia Instructional Materials to Teach Technical Subject. Journal of STEM Education. Special Edition. 24-37. Diunduh Kamis, 9 Januari 2014, pukul 10.15 Sudjana, Nana, Rivai, Ahmad. pembelajaran. Bandung: Bandung.

(1997). Sinar

Media Baru

Sunyoto. 2006. Efektivitas Penggunaan Modul Pembelajaran Interaktif Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa SMK Bidang Keahlian Teknik Mesin. Jurnal ATM (online). Diunduh Kamis, 9 Januari 2014, pukul 11.20. Stith, Bradley, J. 2004. Use od Animation in Teaching Cell Biology. A Journal of Life Science Education (online). 3.3. 181-188. Diunduh Jumat, 10 Januari 2014, pukul 09.05.

DAFTAR PUSTAKA Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. Erlin, W. 2013. Penerapan Media Pembelajaran Berbasis ICT dengan Aplikasi Lectora Inspire dalam Pembelajaran IPA. Jurnal Program Pascasarjana UNS Solo. Hake. R.R. 1998. Analyzing Change Scores (online). Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/sdi/AnalyzingCha nge-Gain.pdf. Diunduh Rabu, 8 Januari 2014, pukul 10.00. Ibrahim, Muslimin, Fida R, M.Nur, Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press Universitas Negeri Surabaya. O’day, Danton, H. 2007. The Value of Animations in Biology Teaching: A Study of Long Term Memory Retention. A Journal of Life Science Education (online). 6.3.217-223. Diunduh Rabu, 8 Januari 2014, pukul 10.45. Palupi, Hesti. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kooperatif STAD pada Pokok Bahasan Hukum Newton. Makalah Komprehensif. Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Prabowo, 2011. Metodologi Pendidikan (Sains dan Pendidikan Sains). Surabaya: Unesa University Press.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

| 217

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN INKUIRI BERBANTUAN PROGRAM SIMULASI PhET UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN PROSES DAN PEMAHAMAN KONSEP IPA Mohammad Azis1) Leny Yuanita2) Yuni Sri Rahayu3) 1) Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 2) Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET untuk melatihkan keterampilan proses sains dan pemahaman konsep IPA pada materi asam, basa dan garam di kelas VII SMP Negeri 3 Sugio Lamongan. Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Model 4-D dari Thiagarajan, yang terdiri dari tahap-tahap pengembangan, yaitu: define, design, develop, tanpa menggunakan tahap disseminate. Hasil penelitian menunjukkan: (1) validitas isi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Buku Ajar Siswa, Lembar Kegiatan Siswa, instrumen tes pemahaman konsep, dan instrumen tes keterampilan proses berkategori baik dan layak digunakan; tingkat keterbacaan Buku Ajar Siswa dan Lembar Kegiatan Siswa tinggi dan mudah dipahami, (2) keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sangat baik, aktivitas siswa dalam pembelajaran baik, dan respon siswa terhadap perangkat yang dikembangkan dan pembelajaran yang dilakukan sangat baik, dan (3) keefektifan perangkat pembelajaran sangat baik, yang diindikasikan dengan dicapainya ketuntasan hasil belajar keterampilan proses sains dan pemahaman konsep IPA. Berdasarkan temuan penelitian, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET memiliki kelayakan, kepraktisan dan keefektifan yang baik sehingga dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di SMP kelas VII. Kata-kata Kunci: Keterampilan Proses, Pemahaman Konsep, Inkuiri, dan PhET. Abstract: This research aims to develop inquiry learning materials using PhET simulation program to facilitate science process skills and science concepts understanding in the junior grade VII in SMP Negeri 3 Sugio Lamongan.The development of learning materials in the research carried out using 4-D model of Thiagarajan, which consists of stages of development, namely: define, design, develop, without using disseminate stage. The results were obtained: (1) the validity of the content of the lesson plan, textbook, worksheets, concepts comprehension test instrument, and process skills test instrument categorized well and fit for use, readability of textbook and worksheets have high level/easy to understand, (2) adherence to the lesson plan is very good, students activity is good in learning, and the students' response to the learning materialss developed and performed very well, and (3) the effectiveness of the learning materials so good, that indicated by mastery of learning outcomes of science process skills and science concepts understanding are exceeded. Based on the research results, it can be concluded that the inquiry learning materials with PhET simulation program has feasibility, enforceability and effectiveness of the good category that can be applied in learning activities in grade VII of SMP. Keywords: Skills of Process, Understanding of Concepts, Inquiry, and PhET

PENDAHULUAN Berbagai inovasi di bidang pendidikan yang dilakukan selama ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Dalam konteks pembelajaran, peningkatan kualitas ini ditunjukkan dalam bentuk penguasaan kompetensi tertentu sebagai target dan indikator keberhasilan belajar siswa pada satuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan desain kurikulum yang saat ini digunakan, yaitu kurikulum yang bercirikan: (1) penekanan pada pencapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil (learning outcomes) dan keberagaman, (3) proses pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) sumber belajar tidak terbatas pada guru tetapi dapat dilengkapi dengan berbagai sumber lain yang relevan, dan (5) penilaian lebih ditekankan pada proses dan hasil belajar ke arah pencapaian kompetensi tertentu. Sains merupakan suatu kesatuan produk, proses, dan sikap, sehingga tujuan pembelajaran IPA pada aspek kimia harus pula mengacu pada ketiga aspek

esensial tersebut, yaitu: (1) pengetahuan, berupa pemahaman konsep, hukum, dan teori serta penerapannya; (2) kemampuan melakukan proses, yaitu proses pemecahan masalah melalui metode ilmiah yang meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) sikap keilmuan, antara lain berupa kecenderungan keilmuan, berpikir kritis, berpikir analitis, tanggung jawab, perhatian pada masalah-masalah sains, dan penghargaan pada hal-hal yang bersifat sains (Toharuddin, dkk, 2011: 28). Karena itu, pembelajaran IPA pada aspek kimia seyogyanya dilakukan dengan pendekatan yang tepat, yaitu memadukan antara pengalaman proses sains dengan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung, baik berupa kegiatan laboratorium maupun kegiatan lapangan. Pada tingkat SMP/MTs, pembelajaran IPA ditekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses sains dan sikap ilmiah. Oleh

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 218

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya karena itu pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006). Pentingnya keterampilan proses ini dikembangkan menurut Ibrahim, dkk (2010), karena dengan keterampilan proses itu seseorang akan mampu belajar mandiri, mengembangkan diri sendiri, dan belajar sepanjang hayat. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang diperlukan dalam melakukan penelitian dan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu kecakapan hidup (life skills) yang perlu dimiliki siswa sebagai bekal dalam meneruskan kehidupannya. Oleh karena itu, pembelajaran IPA pada aspek kimia perlu membekali siswa dengan keterampilan proses sains. Observasi terhadap perencanaan pembelajaran dan wawancara langsung dengan guru-guru IPA di SMP Negeri 3 Sugio Lamongan menunjukkan bahwa keterampilan proses sains sebagai salah satu aspek penting yang perlu dilatihkan kepada siswa dalam pembelajaran IPA, kurang mendapat perhatian guru. Hal ini dibuktikan dengan beberapa fakta sebagai berikut: (1) RPP yang dikembangkan guru belum sepenuhnya menerapkan model pembelajaran inovatif, khususnya model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered instruction), (2) dalam mengembangkan RPP, belum terlihat adanya upaya yang terencana untuk mengembangkan keterampilan proses sains siswa melalui perancangan dan pelaksanaan kegiatan eksperimen, (3) pembelajaran IPA yang dilakukan selama ini kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan proses sains melalui aktivitas eksperimen atau percobaan di laboratorium, (4) guru-guru jarang melatihkan keterampilan proses sains kepada siswa, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman guru bagaimana mengembangkan LKS untuk melatihkan keterampilan proses sains kepada siswa, (5) guru tidak mengetahui adanya alternatif lain, misalnya program aplikasi simulasi PhET, yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen atau percobaan melalui laboratorium virtual, dan (6) evaluasi hasil belajar yang dilakukan guru lebih menekankan pada aspek produk, tetapi kurang memberikan perhatian pada aspek proses dan kinerja siswa. Pembelajaran IPA pada aspek kimia, khususnya materi asam, basa, dan garam di SMP Negeri 3 Sugio Lamongan selama ini dilaksanakan hanya pada identifikasi asam basa menggunakan indikator alami karena bahannya mudah didapatkan di lingkungan sekitar siswa, sedangkan pembelajaran inkuiri untuk melatihkan keterampilan proses sains tidak dilaksanakan dengan alasan guru tidak mengetahui cara mengembangkan RPP dan LKS inkuiri yang dapat melatihkan keterampilan proses sains kepada siswa, sehingga dapat dipahami bahwa dengan pembelajaran semacam itu, keterampilan proses sains tidak dilatihkan dengan baik pada materi asam, basa, dan garam.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Demikian pula bahwa pembelajaran alternatif menggunakan media berupa program simulasi PhET untuk melatihkan keterampilan sains tidak dilakukan guru, karena guru belum mengetahui adanya alternatif pembelajaran tersebut, yang dapat diterapkan untuk mengatasi berbagai kesulitan. Menurut Nur (1998) pembelajaran keterampilan proses adalah proses belajar mnegajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, dan teori-teori dengan keterampilan proses ilmiah siswa sendiri. Pendekatan pembelajaran keterampilan proses dapat berjalan jika siswa telah memiliki keterampilan proses yang diperlukan dalam pembelajaran. Hal ini berarti bahwa agar siswa memiliki keterampilan proses sebagai hasil dari pembelajaran, maka keterampilan proses tersebut perlu dilatihkan kepada siswa. Rusmiyati dan Yulianto (2009) menyatakan bahwa kegiatan penyelidikan dan percobaan dapat melatih siswa untuk memperoleh keterampilan proses sains. Menurut Collete dan Chiapetta (1994), keterampilan proses sains adalah kemampuan dalam melaksanakan tahap-tahap percobaan, yang merupakan keterampilan proses terpadu meliputi keterampilan merumuskan masalah, menyusun hipotesis, menentukan variabel percobaan, merancang percobaan, mengumpulkan data, menganalisis data, dan merumuskan kesimpulan. Hal ini kemudian diperkuat oleh Gulo (2002) yang menyatakan bahwa keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Dengan demikian, untuk melatihkan keterampilan proses sains, dapat digunakan model pembelajaran inkuiri, dimana Staver dan Bay (dalam Vajoczki, dkk 2011) dan Bell, dkk (2005) membedakan tiga jenis inkuiri menurut tujuannya, yaitu: inkuiri terstruktur (Structured Inquiry), inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dan inkuiri terbuka (Open Inquiry). Pavelich dan Abraham (1979) membagi pembelajaran inkuiri menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu Kelas Bebas (free inquiry) dan inkuiri terbimbing (guided inquiry). Dalam Inkuiri Terbimbing (GI) sebagai model inkuiri yang dipilih dan digunakan dalam penelitian ini, guru memberikan materi dan isuisu, yang berfungsi sebagai sarana investigasi, tetapi peserta didik merancang prosedur mereka sendiri untuk memecahkan masalah. GI digunakan untuk menantang pemahaman konseptual siswa dan keterampilan, mengembangkan kreativitas, untuk menemukan pemahaman yang lebih dalam dan lebih luas dari materi pembelajaran, dan untuk memperoleh beberapa keterampilan penelitian. Suchman (dalam Collete dan Chiapetta, 1994) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri merupakan suatu pendekatan yang menempatkan siswa pada posisi find out dan explain how, dan pembelajaran berpusat pada siswa. Sementara Gulo (2002) mendefinisikan strategi inkuiri sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis sehingga mereka dapat

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 219

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya merumuskan sendiri penemuannya dengan percaya diri. Dengan demikian, sasaran utama pembelajaran Kelas Adalah: (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, dan (3) mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Sejalan dengan hal ini, Rustaman (2011) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri memberi peluang kepada peserta didik untuk terus mengembangkan potensi diri secara optimal, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Melalui inkuiri, konsep-konsep sains ditemukan sendiri oleh peserta didik, peserta didik juga dilatih untuk mengembangkan keterampilan proses sains, membekali peserta didik dengan kemampuankemampuan seperti yang dimiliki para ilmuwan sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Keterampilan-keterampilan ini akan dapat dicapai apabila siswa mengalami sendiri kegiatan percobaan atau eksperimen dalam laboratorium riil dengan menggunakan alat dan bahan praktikum yang sebenarnya. Namun seringkali kegiatan praktikum dalam laboratorium riil semacam itu tidak dapat terlaksana, baik karena tidak tersedianya ruang lab, maupun karena keterbatasan alat dan bahan praktikum. Dalam kondisi seperti ini, guru dituntut memiliki alternatif pembelajaran agar tetap dapat melatihkan keterampilan proses sains melalui kegiatan eksperimen. Keterbatasan pembelajaran dengan eksperimen dalam laboratorium juga dapat disimulasikan dengan menggunakan program multimedia komputer, misalnya berupa program simulasi. Wellington (2004) menyatakan bahwa multimedia memiliki keunggulan yang cukup besar dibandingkan dengan sumber daya lainnya (misalnya, buku dan bahan cetak lainnya) dalam pembelajaran, terutama bahwa multimedia dapat memberikan banyak kemungkinan untuk kerja praktek atau aktivitas lapangan dimana sumber daya lain tidak bisa melakukannya, misalnya: eksperimen virtual, simulasi, situasi kehidupan nyata untuk belajar, dan demonstrasi. Menurut Thoman dan Jolls (2004), meskipun multimedia sebagai alat tidak dapat menggantikan pembelajaran dengan tangan (hand-on learning), tetapi dapat meningkatkan dan memperkuat dampak dari kegiatan di lapangan dan di kelas sains. Taylor, dkk (1994) menyatakan bahwa ada manfaat nyata yang dapat diperoleh dari pemanfaatan multimedia. Beberapa di antaranya berasal dari cara memberikan pengalaman yang dilakukan. Dengan demikian, penggunaan multimedia dalam pembelajaran juga dapat digunakan untuk melatihkan keterampilan proses sains. Simulasi PhET misalnya, dirancang sedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah merangkai dan menggunakan alat yang sebenarnya dalam laboratorium. Dengan sifatnya yang demikian, simulasi PhET dapat difungsikan sebagai laboratorium virtual. Menurut Eggen dan Kauchak (2012), meskipun simulasi tidak memberikan pengalaman langsung bagi siswa, tetapi simulasi lebih fleksibel dan interaktif sehingga dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri yang dipadukan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi memberikan hasil yang cukup baik. Liliasari (2010) mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri menggunakan laboratorium berbasis teknologi informasi dan komunikasi disukai siswa karena dapat mengaktifkan siswa, mendukung teori dan praktikum di laboratorium, membangkitkan motivasi siswa, meningkatkan pengetahuan konsep, serta melatih siswa berpikir kreatif karena harus memahami teks, tabel, atau grafik. Senada dengan hal tersebut, Baser (2010) melaporkan bahwa pembelajaran Kelas Berbasis virtual laboratory lebih efektif daripada menggunakan real laboratory, karena dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep abstrak pada materi listrik dinamis, serta dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Dalam penelitian yang lain, Darmawati (2012) menyimpulkan bahwa (1) hasil belajar siswa setelah diberikan pembelajaran model Kelas Berbasis program simulasi PhET lebih baik daripada pembelajaran Kelas Berbasis KIT Listrik Dinamis, (2) tidak ada perbedaan keterampilan proses sains siswa setelah diberikan pembelajaran model Kelas Berbasis program simulasi PhET dan pembelajaran Kelas Berbasis KIT Listrik Dinamis. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian pengembangan (development research) karena mengembangkan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program Simulasi PhET pada materi pokok Asam, Basa, dan Garam SMP kelas VII. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah RPP, BAS, LKS, Tes Pemahaman Konsep, dan Tes Keterampilan Proses. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sugio Lamongan sebanyak 86 orang, untuk materi asam, basa, dan garam pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014. Pengembangan perangkat dalam penelitian ini menggunakan model 4-D (Thiagarajan, 1974), yaitu: (1) tahap pendefinisian atau define, (2) tahap perancangan perangkat atau design, dan (3) tahap pengembangan perangkat atau develop, tanpa tahap keempat yaitu pendiseminasian (disseminate). Desain ujicoba perangkat pembelajaran dalam pengembangan perangkat ini menggunakan model pre eksperimen One Group Pretest-Posttest Design. Sebelum melaksanakan pembelajaran dilaksanakan tes awal (pretest, U1), dan setelah melaksanakan pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET (X) dilakukan tes akhir (posttest, U2). Variabel atau karakteristik yang diamati dalam penelitian adalah (1) kelayakan perangkat pembelajaran, meliputi: validitas RPP, BAS, LKS, Tes Pemahaman Konsep dan Tes Keterampilan Proses; dan keterbacaan BAS dan LKS, (2) keterlaksanaan RPP, (3) efektifitas perangkat pembelajaran, yaitu: hasil belajar pemahaman konsep dan keterampilan proses, aktivitas siswa, dan respons siswa, dan (4) hambatan-hambatan selama kegiatan belajar mengajar.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 220

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen validitas perangkat, instrumen pengamatan, instrumen tes, dan instrumen angket. Data yang dianalisis adalah kelayakan perangkat, keterlaksanaan pembelajaran, dan keefektifitas perangkat dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan statistik inferensial HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengembangan Perangkat Perangkat yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi: (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Ajar Siswa, (3) Lembar Kegiatan Siswa, (4) Tes Pemahaman Konsep, dan (5) Tes Keterampilan proses sains. RPP yang dikembangkan mengacu pada PP nomor 19 tahun 2005 tentang standar proses, bab IV pasal 20 bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Depdiknas, 2005) dan mengadaptasi fase-fase kegiatan pembelajaran inkuiri terbimbing untuk membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan penyelidikan (inquiry) sehingga siswa dapat menemukan sendiri pengetahuannya melalui interaksi siswa dalam pembelajaran, baik interaksi dengan guru, interaksi dengan sesama siswa, interaksi dengan media pembelajaran, maupun interaksi dengan berbagai sumber belajar. Adaptasi sintaks-sintaks pembelajaran inkuiri terbimbing ke dalam RPP secara simultan juga dimaksudkan untuk melatihkan keterampilan proses sains, yaitu keterampilan-keterampilan yang dipelajari siswa pada saat mereka melakukan inkuiri ilmiah (Nur, 2003). Hal ini mengacu kepada pernyataan Dewey (dalam Arends, 2007) bahwa guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang ditandai oleh prosedurprosedur yang demokratis dan proses-proses ilmiah dimana tanggung jawab utama guru adalah melibatkan siswa dalam penyelidikan (inquiry). Hasil validasi menunjukkan bahwa keseluruhan RPP yang dikembangkan oleh peneliti memiliki kategori validasi baik dengan rata-rata skor sebesar 3,49, sehingga dapat digunakan dengan sedikit revisi dan reliabilitas perangkat sebesar 82,6% atau reliabel. Buku Ajar Siswa (BAS) yang dikembangkan peneliti memiliki kategori baik dengan skor validasi ratarata 3,44, sehingga dapat digunakan dengan sedikit revisi atau perbaikan, dengan reliabilitas sebesar 79,2% menunjukkan bahwa BAS adalah reliabel. Buku Ajar Siswa (BAS) untuk konsep asam, basa, dan garam ini dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, dilakukan dengan memperhatikan bekal awal dan karakteristik siswa (Richterich dalam Sodiq, 2009) dan mempertimbangkan bahwa interaksi siswa dengan sumber belajar (buku ajar siswa) merupakan hal yang penting dalam mengkonstruksi pengetahuan baru, namun penyajian informasi dalam buku siswa hendaknya bukanlah dalam bentuk pengetahuan jadi (ready made). Implikasi penting teori Piaget dalam

Vol. 2 No. 3, April 2014 pembelajaran adalah bahwa penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan, sebaliknya anak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery atau inquiry) melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu, guru dituntut untuk mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Piaget (dalm Slavin, 1994) menyatakan bahwa perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Sehingga, dengan meningkatnya aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan sumber belajar (buku ajar siswa) akan terjadi perubahan pada diri siswa dalam bentuk penguasaan pengetahuan baru, dimana siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan pengetahuan baru yang diperolehnya dari sumber belajar (buku ajar siswa) dengan pengetahuan yang disimpan dan telah diperoleh sebelumnya. LKS yang dikembangkan memiliki kategori validasi sangat baik, dengan skor rata-rata 3,63 sehingga dapat digunakan tanpa revisi dan memiliki reliabilitas yang baik, yaitu sebesar 75,0%. LKS yang dikembangkan bertujuan melatihkan keterampilan proses sains terpadu (integrated science process skills), yaitu kecakapan ilmiah untuk menemukan konsep atau prinsip IPA. Collete dan Chiapetta (1994) menyatakan bahwa keterampilan proses sains merupakan kemampuan dalam melaksanakan tahap-tahap percobaan, yang merupakan keterampilan proses terpadu, meliputi kemampuan-kemampuan merumuskan masalah, menyusun hipotesis, menentukan variabel percobaan, merancang percobaan, mengumpulkan data, menganalisis data, dan merumuskan kesimpulan. Oleh karena itu maka LKS inkuiri yang dikembangkan memuat tahap-tahap kegiatan untuk melatihkan keterampilan proses sains tersebut. Menurut Vygotsky, bahwa perkembangan seseorang dapat dibedakan menjadi dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial (Arends, 2007). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan berbagai masalah secara mandiri, sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibimbing orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Dengan demikian, belajar dapat berlangsung melalui interaksi dengan guru atau teman sebaya yang lebih mampu. Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka untuk tahap awal pembelajaran inkuiri, dikembangkan LKS Pra Eksperimen sebagai bentuk scaffolding atau bimbingan guru kepada siswa untuk memahami kecakapan-kecakapan ilmiah atau keterampilan proses yang akan dilatihkan. Bimbingan secara terbatas dan berjenjang pada tahap selanjutnya dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dalam LKS Eksperimen (LKS 1 s.d. LKS 4) yang dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih aktif dalam berinteraksi

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 221

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dan berkolaborasi dengan siswa lainnya, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang lebih maksimal. Tes pemahaman konsep yang dikembangkan memiliki validitas yang baik, dimana 10 (sepuluh) butir soal dinyatakan valid sehingga dapat digunakan tanpa revisi, sedangkan 10 (sepuluh) butir soal lainnya dinyatakan valid tetapi perlu adanya revisi. Ditinjau dari aspek reliabilitasnya, instrumen tes pemahaman konsep yang dikembangkan telah memiliki reliabilitas yang baik karena memiliki Percentage of Agreement sebesar 80,0%. Tes ini dikembangkan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa pada aspek pemahaman konsep. Dalam versi revisi taksonomi Bloom (Krathwohl, 2002), pemahaman merupakan hasil belajar siswa pada ranah kognitif yang dicirikan oleh kemampuan-kemampuan menafsirkan (interpreting), memberi contoh (examplifying), mengklasifikasi (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining). Menurut Ibrahim (2005), seseorang dapat dikatakan memahami bila dia mampu membangun pengertian dari pesan pembelajaran dalam bentuk, komunikasi lisan, tertulis maupun gambar. Menurut Rustaman (2010), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman merupakan hasil proses belajar mengajar yang menunjukkan bahwa individu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu unit informasi dengan kata-kata sendiri. Siswa tidak hanya mengingat kembali pelajaran, namun siswa telah memahami materi pelajaran meskipun dalam bentuk kalimat yang berbeda, tetapi kandungan maksudnya tidak berubah. Tes keterampilan proses merupakan alat evaluasi yang dikembangkan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa berupa keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains adalah keterampilanketerampilan yang dipelajari siswa pada saat mereka melakukan inkuiri ilmiah (Nur, 2003), mereka menggunakan berbagai macam keterampilan proses, bukan hanya satu metode ilmiah tunggal. Keterampilanketerampilan proses tersebut adalah perumusan hipotesis, pengontrolan variabel, melakukan eksperimen, pengklasifikasian, penginferensian, peramalan, pengkomunikasian, pengukuran, penggunaan bilangan, penginterpretasian data, pendefinisian secara operasional, dan perumusan model (Nur, 2003). Instrumen tes ini dikembangkan dalam bentuk soal uraian berdasarkan indikator atau tujuan hasil belajar yang telah dirumuskan sebelumnya. Tes keterampilan proses yang dikembangkan sebanyak 7 (tujuh) butir soal uraian memiliki validitas yang sangat baik, karena ketujuh butir soal tersebut dinyatakan valid sehingga dapat digunakan tanpa revisi. Ditinjau dari aspek reliabilitasnya, instrumen tes keterampilan proses juga telah memenuhi syarat karena memiliki reliabilitas (Percentage of Agreement) sebesar 100%. Hasil Implementasi Perangkat Pembelajaran

Vol. 2 No. 3, April 2014 rata-rata keterlaksanaan pembelajaran inkuiri pada masing-masing kelas implementasi adalah sebesar 97,5% (Kelas A), 95,5% (Kelas B), dan 96,5% (Kelas C). Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, maka tingkat keterlaksanaan RPP secara keseluruhan berada pada kriteria sangat baik, karena persentase keterlaksanaannya ≥ 81% (Borich, 1994).

Gambar 1 Grafik Keterlaksanaan RPP Keterlaksanaan pembelajaran yang sangat baik ini dapat dicapai karena beberapa hal, yaitu: (1) adanya perencanaan yang baik mulai dari perencanaan materi, pengelolaan kelas, sumber belajar, hingga dukungan media pembelajaran yang akan digunakan, (2) ketersediaan perangkat pembelajaran (buku ajar, LKS, dan instrumen penilaian), alat dan bahan praktikum, serta perangkat TIK dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, (3) bimbingan terbatas yang diberikan guru (scaffolding) dalam bentuk kegiatan pra eksperimen memudahkan siswa dalam memahami jenis-jenis keterampilan proses yang akan dilatihkan, dan (4) peran guru dalam pembelajaran berupa penguasaan terhadap materi pembelajaran maupun pengelolaan kelas, termasuk dalam mengimplementasikan sintaks-sintaks pembelajaran inkuiri. Penguasaan guru ini ditunjang pula dengan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan, sehingga dapat menciptakan suasana pembelajaran yang mendukung aktivitas siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan penyelidikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Collete dan Chiapetta (1994) bahwa pendekatan pembelajaran inkuiri membutuhkan guru yang dapat menumbuhkan lingkungan belajar yang dapat merangsang rasa ingin tahu siswa untuk melakukan penyelidikan. (2) Keterbacaan Buku Ajar Siswa dan LKS Hasil analisis keterbacaan Buku Ajar Siswa dan LKS pada Gambar 2 menunjukkan bahwa untuk Buku Ajar Siswa tingkat keterbacaannya mencapai 89,15% dan untuk LKS tingkat keterbacaannya mencapai 86,00%, dengan kategori mudah karena persentase keterbacaannya  61% (Ridwan, 2012).

(1) Keterlaksanaan Pembelajaran Keterlaksanaan RPP berada pada kriteria sangat baik. Sebagaimana disajikan pada Gambar 1, persentase Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 222

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014 Pengukuran pemahaman konsep siswa dengan menggunakan instrumen tes pemahaman konsep pada ketiga kelas implementasi sebelum dan sesudah dilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Perolehan nilai rata-rata siswa pada setiap kelas implementasi sebesar 83,10 (Kelas A), 81,25 (Kelas B), dan 83,45 (Kelas C). Perolehan ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan perolehan sebelum pembelajaran (Gambar 3).

Gambar 2 Grafik Keterbacaan BAS dan LKS Keterbacaan Buku Ajar Siswa dengan persentase 89,15% diperoleh dari rata-rata persentase keterbacaan pada masing-masing kelas implementasi, yaitu 87,59% pada Kelas A, 90,54% pada Kelas B, dan 89,31% pada Kelas C. Demikian pula dengan keterbacaan LKS sebesar 86,00% diperoleh dari rata-rata persentase keterbacaan pada masing-masing kelas implementasi, yaitu 85,00% pada Kelas A, 89,00% pada Kelas B, dan 84,00% pada Kelas C. Keterbacaan semacam ini menunjukkkan bahwa buku ajar siswa dan LKS yang dikembangkan peneliti mudah dipahami isinya oleh pembaca (siswa). Kemudahan memahami buku ajar dan LKS tersebut dapat memotivasi siswa untuk lebih tertarik membaca buku siswa tersebut, sehingga dengan tingkat keterbacaan yang tinggi akan menunjang tercapainya mutu pendidikan (Suryadi, 2007). Dengan membaca buku ajar siswa dan LKS tersebut berarti telah terjadi interaksi siswa dengan sumber belajar, dimana siswa dapat menggali dan menemukan informasi atau pengetahuannya dari materi buku ajar dan LKS yang dibacanya. Dalam perspektif kognitifkonstruktivis, Piaget (dalam Slavin, 1994) menyatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dimana perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Tersedianya buku ajar dan LKS dengan tingkat keterbacaan yang tinggi berarti membuka ruang yang lebih luas bagi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan belajarnya dan membantu siswa untuk mengkomunikasikan pengetahuan baru yang diperoleh dari membaca buku ajar siswa dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Bruner dalam hal ini mengemukakan dua asumsi tentang siswa belajar, bahwa (1) perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif dengan lingkungannya, dimana Bruner meyakini bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu, dan (2) orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan dan diperoleh sebelumnya.

Gambar 3 Grafik Ketuntasan Individual Hasil Belajar Pemahaman Konsep b. Ketuntasan klasikal terlampaui, karena 93,10% siswa tuntas pada Kelas A, 92,86% pada Kelas B, dan 89,66% pada Kelas C , masing-masing  85%. Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan sebelum dilakukannya pembelajaran (Gambar 4)

Gambar 4 Grafik Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Pemahaman Konsep (3) 100% indikator mencapai ketuntasan dengan persentase ketercapaian indikator pada masing-masing kelas adalah 83,10% (Kelas A), 81,15% (Kelas B), dan 83,40% (Kelas C). Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan sebelum dilakukannya pembelajaran (Gambar 5).

(3) Pemahaman Konsep Siswa

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 223

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014 secara signifikan jika dibandingkan dengan perolehan sebelum pembelajaran (Gambar 7).

Gambar 5 Grafik Ketuntasan Indikator Tes Pemahaman Konsep Pencapaian pemahaman konsep yang baik ini merupakan implikasi dari penerapan pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET, yang dibuktikan dengan hasil analisis perbedaan hasil belajar dan sensitivitas soal. Dari hasil uji beda menggunakan dependent t-test (paired sample t test) melalui program SPSS pada taraf signifikansi = 0,05 diperoleh P value = 0,000 atau < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar sebelum dan sesudah dilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET. Perbedaan hasil belajar yang signifikan pada masing-masing kelas implementasi ini merupakan efek dari perlakuan yang diberikan kepada siswa berupa pembelajaran yang menerapkan perangkat pembelajaran Kelas Berbantuan paket simulasi PhET, dimana 20 (dua puluh) butir soal yang digunakan mengukur hasil belajar pemahaman konsep siswa memiliki sensitivitas yang baik ( 0,30). Dari Gambar 6 diketahui bahwa rata-rata nilai sensitivitas soal yang diperoleh dari ketiga kelas implementasi adalah 0,56.

Gambar 7 Grafik Ketuntasan Individual Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains b. Ketuntasan klasikal terlampaui, karena 86,21% siswa tuntas pada Kelas A, 89,29% pada Kelas B, dan 86,21% pada Kelas C , masing-masing  85%. Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan sebelum dilakukannya pembelajaran (Gambar 8)

Gambar 8 Grafik Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains

Gambar 6 Grafik Sensitivitas Soal Tes Pemahaman Konsep (4) Keterampilan Proses Sains Pengukuran hasil belajar keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan instrumen tes keterampilan proses sains pada ketiga kelas implementasi sebelum dan sesudah dilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Perolehan nilai rata-rata siswa pada setiap kelas implementasi sebesar 82,87 (Kelas A), 82,14 (Kelas B), dan 81,79 (Kelas C). Perolehan ini meningkat

c. 85,71% indikator mencapai ketuntasan. Terdapat satu indikator yang masih belum mencapai ketuntasan yaitu indikator 4 (merumuskan definisi operasional variabel) karena persentase ketercapaiannya  75%, yaitu 58% (Kelas A), 65% (Kelas B), dan 63% (Kelas C). Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan sebelum dilakukannya pembelajaran (Gambar 9).

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 224

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014 PhET (Gambar 11). Keterlibatan siswa yang tinggi tersebut misalnya: melibatkan diri dalam kelompok untuk merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, dan merumuskan definisi operasional variabel rata-rata sebesar 17,16%, melibatkan diri secara aktif di dalam kelompok untuk mengumpulkan data dengan menggunakan prosedur percobaan yang diberikan guru pada LKS rata-rata sebesar 17,57%, melibatkan diri secara aktif di dalam kelompok untuk menganalisis data rata-rata sebesar 5,70% dan melibatkan diri secara aktif di dalam kelompok untuk merumuskan kesimpulan percobaan/eksperimen rata-rata sebesar 5,64%.

Gambar 9 Grafik Ketuntasan Indikator Tes Keterampilan Proses Sains Pencapaian hasil belajar keterampilan proses sains yang baik ini merupakan implikasi dari penerapan pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET, yang dibuktikan dengan hasil analisis perbedaan hasil belajar dan sensitivitas soal. Dari hasil uji beda menggunakan dependent t-test (paired sample t test) melalui program SPSS pada taraf signifikansi = 0,05 diperoleh P value = 0,000 atau < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar sebelum dan sesudah dilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET. Perbedaan hasil belajar yang signifikan pada masing-masing kelas implementasi ini merupakan efek dari perlakuan yang diberikan kepada siswa berupa pembelajaran yang menerapkan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET, dimana 7 (tujuh) butir soal yang digunakan mengukur hasil belajar keterampilan proses sains memiliki sensitivitas yang baik ( 0,30). Dari Gambar 10 diketahui bahwa rata-rata nilai sensitivitas soal yang diperoleh dari ketiga kelas implementasi adalah 0,73.

Gambar 10 Grafik Sensitivitas Soal Tes Keterampilan Proses Sains

(5) Aktivitas Siswa Secara umum siswa memiliki keterlibatan yang cukup tinggi dalam kegiatan pembelajaran pada ketiga kelas implementasi yang menggunakan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi

Gambar 11 Grafik Aktivitas Siswa Keterlibatan siswa juga cukup baik pada aktivitas lainnya, misalnya: menyimak dan memperhatikan penjelasan guru rata-rata sebesar 11,79%, melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan diskusi kelas rata-rata sebesar 11,59%, dan melibatkan diri dalam penyelesaian soal atau masalah untuk menerapkan konsep/prinsip/hukum /teori dalam situasi yang lain rata-rata sebesar 10,93% , sedangkan aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran relative rendah yaitu 0,17%. (6) Respon Siswa Secara keseluruhan, respon siswa terhadap pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET adalah positip, baik terhadap mataeri atau isi pelajaran, pendekatan pembelajaran inkuiri yang digunakan, keterampilan proses sains yang dilatihkan, perangkat pembelajaran yang digunakan, pengelolaan pembela-jaran, maupun terhadap tes hasil belajar pemahaman konsep dan keterampilan proses yang dilakukan. Rata-rata respon siswa untuk setiap aspek yang ditanyakan pada ketiga kelas implementasi, berkisar 77% - 100%, kecuali pada aspek kemudahan dalam mengikuti komponen-komponen keterampilan proses sains yang dilatihkan guru terdapat 39% siswa pada kelas Kelas A, 39% siswa pada kelas Kelas B, dan 35% siswa pada kelas Kelas C memberikan respon bahwa merumuskan definisi operasional variabel merupakan hal yang sulit bagi siswa. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Nur (2010) yang menyatakan bahwa siswa SMP dan SMA tampak asing dengan tugas perumusan definisi operasional variabel, bahkan guru sendiri ternyata juga belum menguasai cara merumuskan definisi operasional variabel. Hal ini dapat terjadi karena kemampuan merumuskan definisi

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 225

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Vol. 2 No. 3, April 2014

operasional variabel adalah keterampilan proses sains yang level kognitifnya berada pada level mencipta atau mengkreasi (C6), sehingga jika siswa belum terlatih untuk keterampilan ini, maka sulit baginya untuk dapat melakukannya.

konsep IPA memiliki kelayakan, keterlaksanaan, dan keefektifan yang baik sehingga layak untuk diimplementasikan pada pembelajaran IPA di kelas VII untuk materi asam, basa, dan garam.

(7) Kendala-kendala Pembelajaran Kendala utama yang dihadapi selama dilaksanakannya implementasi terhadap perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET adalah siswa masih merasa sulit dalam merumuskan definisi operasional variabel sebagaimana diidentifikasi oleh para pengamat. Kendala atau permasalahan tersebut dapat terjadi karena siswa memang belum terbiasa menyelesaikan masalah percobaan/eksperimen dengan keterampilan proses sains. Adanya kendala tersebut menjadi penyebab tidak tercapainya ketuntasan hasil belajar keterampilan proses pada indikator 4, yaitu merumuskan definisi operasional variabel, Menyikapi kendala itu, langkahlangkah yang perlu dilakukan adalah: (1) melatihkan keterampilan proses sains secara berkelanjutan pada setiap pembelajaran IPA oleh semua guru IPA yang ada di sekolah, sehingga dapat membiasakan siswa dengan berbagai jenis keterampilan proses sains yang perlu dikuasai, khususnya dalam merumuskan definisi operasional variabel, (2) mengalokasikan waktu di luar jadwal kegiatan pembelajaran, misalnya melalui kegiatan KIR untuk melatih siswa merancang percobaan dalam rangka melatihkan keterampilan proses, dan (3) menyediakan panduan keterampilan proses yang mudah dipahami oleh siswa, sebagai petunjuk bagi siswa dalam melaksanakan penyelidikan ilmiah dalam pembelajaran IPA. Hasil-hasil yang diperoleh sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET yang dikembangkan dapat diterapkan sebagai solusi dalam mengatasi masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi, yaitu untuk: (1) melatihkan keterampilan proses sains kepada siswa yang selama ini jarang dilakukan, (2) memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan proses sains melalui aktivitas eksperimen atau percobaan di laboratorium, dan (3) sebagai alternatif solusi bagi guru yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen atau percobaan melalui laboratorium virtual menggunakan program simulasi PhET jika terkendala karena keterbatasan peralatan lab. Hal ini dapat dipahami karena simulasi PhET dirancang sedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah merangkai dan menggunakan alat yang sebenarnya dalam laboratorium. Dengan sifatnya yang demikian, simulasi PhET dapat difungsikan sebagai laboratorium virtual.

Saran-saran (1) Pengorganisasian waktu dalam kegiatan pembe-lajaran perlu lebih diefektifkan agar seluruh tahapan kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan secara utuh, (2) Keterampilan proses sains perlu dilatihkan secara berkelanjutan pada setiap pembelajaran IPA oleh semua guru IPA yang ada di sekolah, sehingga dapat membiasakan siswa dengan berbagai jenis keterampilan proses sains yang perlu dikuasai, dan (3) Perlu dialokasikan waktu di luar jadwal kegiatan pembelajaran, misalnya melalui kegiatan KIR untuk memfasilitasi siswa melakukan kegiatan penyelidikan ilmiah dalam rangka melatihkan keterampilan proses, sehingga dapat mengatasi kesulitan yang dialami siswa dalam merumuskan definisi operasional variabel. DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 2007. Learning To Teach. New York: McGraw Hill Companies, Inc. Baser, M., Durmus, Soner. 2010. “The Effectiveness of Computer Supported Versus Real Laboratory Inquiry Learning Environtments on The Understanding of Direct Current Electricity among Pre-Service Elementary School Teachers”. Eurasia Journal of Mathematics, Science, and Technology Education. Vol. 6 No. 2. pp 47 - 61 Bell, Randi L., Smetana, L., Binns, I. 2005. “Simplifying Inquiry Instruction: Assesing The Inquiry Level of Classroom Activities”. The Science Teacher. Vol. 72 No. 7 . pp 30 – 33 Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing Company Collette, A.T. dan Chiapetta, E.L. 1994. Science Instruction in The Middle and Secondary Schools. New York: Macmillan Publishing Company Darmawati. 2012. “Model Pembelajaran Kelas Berbasis Paket Program Simulasi PhET untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains Siswa pada Konsep Listrik Dinamis. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

PENUTUP Simpulan Berdasarkan temuan-temuan dari pelaksanaan implementasi perangkat pembelajaran yang dikembangkan, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET untuk melatihkan keterampilan proses sains dan pemahaman

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas Eggen, Paul D. dan Kauchak, D.P. 2012. Strategies and Models for Teachers: Teaching Content and

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 226

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Thinking Skills, 6th Edition. Boston: Pearson Education Inc Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grasindo Ibrahim, M. 2005. Assesmen Berkelanjutan. Surabaya: Unesa University Press. Ibrahim, M. 2010. Pengembangan Pembelajaran Berbasis Inkuiri, Modeling, dan Eksperimen. Makalah Seminar Yayasan Beasiswa Tunas Bangsa Surabaya Krathwohl, D. R. 2002. “A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview”. Theory Into Practice. Vol 41 No. 4 Autumn 2002. pp. 212 – 218. Liliasari, Iriany, dan Setiabudi, A. 2010. Model Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Berbasis Teknologi Informasi pada Konsep Laju Reaksi untuk Meningkatkan Keterampilan Generik Sains dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMU. Penelitian Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung Nur, M. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya: University Press Nur, M., Rahayu, Y.S., Wasis, Isna, dan Subekti, H. 2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaran untuk Memberi Kemudahan Guru Mengajar dan Siswa Belajar IPA dan Keterampilan Berpikir. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi. Surabaya: Unesa. Nur, M. 2011. Modul Keterampilan-keterampilan Proses Sains. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Pavelich, M.J., dan Abraham, M.R. 1979. “An Inquiry Format Laboratory Program for General Chemistry”. Journal of Chemical Education. Vol 56. pp 100 – 103.

Vol. 2 No. 3, April 2014 Sodiq, S. 2009. Pengembangan Materi Kecakapan Hidup pada Buku Pelajaran Bahasa Indonesia dengan Model Pembelajaran Literasi. Disertasi Universitas Negeri Surabaya. Suryadi, A. 2007. “Tingkat Keterbacaan Wacana Sains dengan Teknik Klos”. Jurnal Sosioteknologi. Edisi 10 Tahun 6. Hal 196 – 200 Taylor, J., Scanlon, E., and Hodgson, B. 1997. “Multimedia and Science Education”. Education Research and Perspectives, Special Issue on Multimedia Technologies and Education, Vol. 23, No. pp 48 - 59 Thiagarajan, S. 1974. Instructional Development for Training Center of Exceptional Children. Minepolish: Indiana University. Thoman, E., dan Jolls, T. 2004. “Media Literacy: A National Priority for a Changing World. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 1, pp 18 - 29 Toharuddin, U., Hendrawati, S., dan Rustaman, A. 2011. Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung: Humaniora University of Colorado. 2011. PhET Interactive Science Simulations. http://phet.colorado.edu/en/getphet/full-install diunduh 19 Desember 2012 Vajoczki, S., Watt, S., Vine, M.M., dan Liao, X. 2011. “Inquiry Learning: Level, Dicipline, Class Size, What Matter?”. International Journal for The Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 5 No. 1, pp 1 – 11 Wellington, J. 2004. “Multimedia in Science Teaching”. Barton, R. (Ed). Teaching Secondary Science with ICT. Berkshire, England: Open University Press

Ridwan, M. 2012. “Keterbacaan wacana dalam buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP / MTs kelas VIII Karangan Wahono Terbitan CV Gita Perdana Tahun 2010”. Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya). Vol. 1 No. 2. Hal 14 – 27 Rustaman. 2010. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Rusmiyati dan Yulianto. 2009. “Peningkatan Keterampilan Proses Sains dengan Menerapkan Model Problem Based Instruction”. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. Vol 7 No. 5. Hal. 75 – 78. http://journal.unnes.ac.id/ nju/index.php/ JPFI/article/view/1013 . diakses 29 Maret 2013. Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology: Theory and Practise. Massachusetts: Allyn and Bacon.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPA

| 227

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF