Jenis hipersensitivitas
March 19, 2019 | Author: Bozong New | Category: N/A
Short Description
hipersensitif...
Description
1.
Jenis hipersensitivita h ipersensitivitass
Reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan m e ka n is m e i m un ya n g terja terjadi di,, yai yaitu tu tipe tipe I, I, II, II, III III dan dan IV. IV. Tabel. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas Jenis Tipe I
Mekanisme imun patologik IgE
Mekanisme kerusakan jaringan Sel mast dan mediatornya (amin
Hi ersensi ersensitivi tivitas tas Tipe II
IgM, IgG terhadap permukaan
vasoak vasoaktif tif,, mediato mediatorr li id, sitokin sitokin Opsonisasi dan fagositosis sel
Reaksi melalui
sel atau matriks antigen
Pengerahan leukosit (neutrofil,
antibodi
esktraselular
makrofag) atas pengaruh komplemen Kelainan fungsi selular (mis. dalam sinyal reseptor hormon)
Kompleks imun (antigen
Tipe III Kompleks imun Tipe IV (melalui sel Tipe IVa Tipe IVb
dalam,
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
sirkulasi dan IgM atau IgG)
pengaruh komplemen dan Fc-R
CD4+: DTH CD8+: CTL
1. 2.
1. Aktivasi makrofag, inflamasi acas pengaruh sitokin 2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin
Tabel. Penyakit hipersensitivitas pada kulit Penyakit kuht
Jenis hipersensitivitas
Mekanisme
Urtikaria
I
IgE, sel mast, histamin
Penyakit bulosa
II
Autoantibodi terhadap komponen kulit, komplemen
Vaskulitis
III
Kompleks imun; polimor fonuklear, komplemen
Dermatitis kontak alergi
IV
Sel T, sitokin
A. Reaksi hipers ensiti vitas Tipe I Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet, di arti kan se bagai "rea ksi pe jamu yang berubah" bila terpajan dengan bahan ya ng sama untuk kedua ka linya ata u lebih. Istilah an a be ra sal da ri ka ta Yunani. ya ng be rarti "j auh dari " dan phylaxis yang berarti "perlindungan". Istilah tersebut adalah sebaliknya dari profilaksis.
Gambar. 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I Pada reaksi Tipe I alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa p r o duk si IgE d a n p en ya k i t al e r gi s e p e r t i r i n i t i s a l e r g i , a s m a d a n dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut: 1.
Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FcE-R) pada permukaan sel mast dan basofil
2.
Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi
3.
Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator ya n g di l e pa s s e l m a s t de n ga n aktivitas farmakologik.
Gambar. 2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat dan fase lambat B.
Reaksi hipersenstivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R. Sel N K d a p a t b e r p e r a n s e b a g a i s e l efektor dan menimbulkan kerusakan me lalui ADCC. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan antibodi (tidak semua merupakan reaksi Tipe II).
Gambar. 3. Reaksi hipersensitivitas tipe II
C.
Reaksi hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Antibodi yang be rpe ra n
bi as an ya
jeni s
IgM
ata u
IgG. Komplemen yang diaktitkan melepas
anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Komplemen juga mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya. Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Gambar. 4. Reaksi hipersensitivitas tipe III. D. Reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe IV
Dewasa ini Reaksi hipersensitivtas Tipe IV telah dibagi dalam DTH ( Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4 + dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ .
1. Delayed Type Hypersensitivity
Pada DTH, sel CD4 + Thl mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. CD4 + Thl melepas sitokin (IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi sebagai respons terhadap bahan yang tidak ber baha ya da la m li ngkungan se pe rti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi hal sebaliknya. Antigen bahkan terlindung. Telur skistosoma dan mikobakterium iditutupi kapsul lipid. DTH kronis merangsang makrofag untuk melepas sitokin dan GF yang dapat menimbulkan
granuloma.
2. T Cell Mediated Cytolysis Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi ke- rusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. Sel CD8 + yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui +
+
mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4 maupun CD8 spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.
Gambar. 5. Reaksi hipersensitivitas tipe IV. Dapus: Bratawidjaya, KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: FKUI
II. Penegakan Diagnosis Penyakit alergi
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi,langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi.Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala. Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Banyak jenis uji diagnostik untuk menegakkan diagnosis alergi makanan, yang bisa dipilih mana yang murah dan mudah atau praktis untuk dilakukan: a. Riwayat Penyakit. didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi. b. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.Pemeriksa.an difokuskan pada manifestasi yang tirnbul. a. Pemeriksaan Laboratorium. Jika setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai adanya alergi, dilakukan skin prick test atau pemeriksaan IgE spesifik. Skin prick test sering dan
sudah dikerjakan (nilai prediksi positif 50%, nilai prediksi negatif
95%),.Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien. Dapus: Christanto, Anton. 2011. Manifestasi Alergi Makanan Pada Telinga, Hidung, Dan Tenggorok. Vol. 38 No. 6 Continuing Medical Education: IDI. Sudewi, Ni Putu. 2009. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Vol. 11, No. 3. Sari Pediatri.
III. Pencegahan Alergi
Bila diagnosis hipersensitivitas telah dite gakka n, maka alergen penye bab harus dihindari. Diagnosis alergi pada mass anak tidak bersifat menetap seumur hidup, dan dianjurkan untuk melaksanakan evaluasi ulang dengan uji kulit setiap 1-3 tahun. Keadaan ini tidak berlaku untuk dermatitis herpetiformis, sehingga pada penyakit ini penghindaran alergen berlaku seumur hidup. Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya.
Dapus: djunda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: FKUI.
IV. Anti Histamin
Definisi.
Antihistamin adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek histamin terhadap
tubuh
dengan
jalan
mengeblok
reseptor
histamin.
Secara
farmakologis reseptor histamine dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H, dan reseptor H2. Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor HI (singkatnya disebut H, blokers atau antihistamin ) antagonis reseptor H2 (H2 blokers atau zat penghambat asam). Dapus: Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: EMS.
View more...
Comments