i'Jaz Al-qur'an Tambahan

December 14, 2018 | Author: Al- Karnabie | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download i'Jaz Al-qur'an Tambahan...

Description

MUQODIMAH Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan bahasan tentang salah satu cabang pokok   bahasan Ulumul Qur'an di antara cabang pokok bahasan Ulumul Qur'an adalah sebagai berikut: Ilmu Adab Tilawat Al-Qur'an, Ilmu tajwid, Ilmu Muwathim An Nuzul, Ilmu Towarih An Nuzul, Ilmu Ashab An Nuzul, Ilmu Qiroat, Ilmu Ghaib Al-Qur'an, Ilmu I’rab Al-Qur'an, Ilmu Wiyahwa An Nazhair, Ilmu Ma’rifat Al Muhkam Wa Al-Mutasyabih, Ilmu Nasik wa Al Mansuk, ilmu Badai’u Al-Qur'an, ilmu Ijaz Al-Qur'an, Ilmu Tawasub Ayat Al-Qur'an, Ilmu Aqsam Al-Qur'an, Amtsal Al-Qur'an, Ilmu Jadal Al-Qur’an. Dari kesekian ilmu-ilmu Al-Qur'an penulis akan mencoba mengemukakan bahasan tentang I’jaz Al-Qur'an A.Pengertian I’jaz Al-Qur'an Kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak  mampu. Ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berbunyi. َ َ ‫ر‬ُ َ‫ب ف‬ َ ْ  31 :‫لمائدة‬) ‫ي‬ َ‫ذ‬َ‫ ه‬   ‫ث‬ِ ‫ن‬ َ ْ‫و‬ُ‫ك‬َ‫ن أ‬ ْ َ‫ت أ‬ ُ ‫ز‬َ ‫ج‬َ ْ‫ع‬َ‫)أ‬ ْ ‫خ‬ِ ‫ أ‬َ‫ة‬َ‫وء‬ْ ‫س‬ َ ِ َ ِ   َ ُ‫غ‬ْ‫ل‬‫ذ‬ Artinya: “…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31) Lebih jauh Al-Qaththan mendefinisikan I’jaz dengan:

‫س‬ َ‫ص‬    ِ‫ ف‬   َ َ‫ ع‬   ‫ل‬     ‫ل‬ ‫ق‬ ِ ِ‫ز‬َ ‫ج‬ِ   ِ   ِ ‫ر‬ُ‫َا‬ْ ‫ظ‬ِ‫إ‬ َ ُ   َْ‫ل‬ ِ‫جز‬ْ َ‫ر ع‬ِ ‫َا‬ ‫ِاظ‬ ِ َ‫سال‬ ْ   َ    َ  َ   َ   ُ ‫ل‬ ِ   ِ   َ ‫ي‬ ْ َ‫ع‬َ ‫ب‬ َ   ّ ‫ل‬ ‫وى‬َ ْ‫ع‬َ‫د‬ ‫ف‬ ِّ   ِ ْ‫صد‬     ْ ْ ِ ‫ج‬ْ َ‫ع‬ َ ‫ن‬ ُ‫ل‬ْ ‫ي‬ ْ َ ِ ‫ا‬َ  ُ   ْ ُ‫ه‬َ‫د‬   ْ   َ ِ‫ه‬ َ ِ‫ة‬َ‫د‬ِ‫ال‬َ  ‫ل‬ْ.

Artinya: “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.” Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif). Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar   biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak  melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Atau Manna’ Al-Qhathan mendefinisikannya demikian: َ ْ ِ‫ ل‬ٌ‫ق‬ِ‫خار‬َ     ْَ ِ‫ة‬َ‫ا‬َ   ِ ‫ض‬ ‫ال‬ِ ‫ن‬ َ ‫ر‬َ‫ا‬َ‫م‬ ُ ‫ل‬ْ   ٌ ْ   َ ْّ‫حد‬َ   ٌ ِ‫سال‬ ُ   ُ ْ ‫أ‬. ِ َ‫ ع‬  Artinya: “Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.” Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah: 1.Hal atau peristiwa yang luar biasa

Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan , tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas. 2.Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi. Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatannya. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi). Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini  bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini. 3.Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu  berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj 4.Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar  dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiaptiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya. B.Dasar Dan Urgensi Pembahasan I’jaz Al-Qur'an 1.Dasar Pembahasan I’jaz Al-Qur'an Di antara faktor yang mendasari urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an adalah kenyataan bahwa  persoalan ini merupakan salah satu di antara cabang-cabang pokok bahasan ulumul Al-Qur'an (ilmu tafsir). 2.Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran: 1.Tataran Teologis Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang muslim. Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah satu aspek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan. 2.Tataran Akademis Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir) C.Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qur'an Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masanya

dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam tiga tahapan: 1.Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat AlIsra (17) ayat 88: ْ ُ ) 88 :‫ء‬‫س‬)   ِْ‫مث‬ِ ِ ‫ن‬ ِَ‫ ل‬  ِ    َ ْ    ْ ِ َ‫ ظ‬  ْ   َِ‫ ل‬  ُ    ْ َ ‫ن‬ َ ‫كا‬َ ْ‫و‬َ ‫ل‬َ   َ ْ‫و‬ َْ  ََْ   َ ‫م‬َ   ْ   ُ   ً   ٍ    ِ   Artinya: “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa AlQur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88) 2.Mendatangkan satu surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23:

ََ‫اع‬َْ ‫زل‬َ َ ‫ما‬ ِ   ُ ‫و‬ْ ُ‫ ع‬ْَ   ‫ن‬  ‫ل‬ ‫ن‬ِ ْ ُ   ‫إ‬َ ِْ ‫ث‬ِ   ُ ْ ُ‫ن ك‬ ْ ِ‫ إ‬ِ  ْَ‫ ع‬  ْ ِ  ُ  ِ‫و‬ْ ُْ َ‫ا ف‬َ ِ‫د‬   ْ ُ‫ ك‬‫َء‬‫د‬َ   ْ   َ ‫ش‬ ٍ  ْ‫ر‬َ ‫ف‬ِ   ْ ِ   ْ ّ ٍ‫رة‬َْ‫و‬    ُ 23 :‫ة‬‫ل‬) .  ُ ْ ‫)ك‬ ْ ِِ‫صد‬   ْ   َ  

Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong penolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23) Sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Arab ternyata gagal menandingi Al-Qur'an. Inilah beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu: 1.Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan ulung yang tiada  bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid  berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar  kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa. 2.Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur'an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur'an itu adalah antara lain: ُ َ    ‫س‬ْ َ  ‫أ‬َ ‫ماِء‬َ ‫ل‬ْ ‫ف‬ِ  ّَ   ْ‫ض‬ِ   ْ‫ض‬ِ ‫ا‬َ. َ ُ‫ا‬َ ‫ي‬ ْ ِ ُَ‫د‬   ْّ‫لط‬ ‫ف‬ِ   ِ   ِ َ ْ‫ع‬َ‫ أ‬  ْ ِ    ْَ‫ع‬َ‫د‬   ُ    َ   ْ    ِ   ِ   Artinya: “Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”. Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia mengucapkan kata-katanya yang masyhur:

َ    ‫ل‬َ‫ذ‬َ ‫ه‬ ِْ‫مث‬ِ ِ ‫و‬ْ ُْ  َ ‫ن‬   ِ   َ   ْ َ‫ أ‬  َ‫ل‬ْ   ُ   ْِ‫ط‬   ْ  َ‫ا‬َ ِ  ُ  

Artinya: “Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama dengan Al-Qur'an.” D.Mukjizat Al-Qur'an Berupa Gaya Bahasa Susunan gaya bahasa Al-Qur'an tidak sama dengan gaya bahasa karya manusia yang dikenal

masyarakat Arab saat itu. Al-Qur'an tidaklah berbentuk syair, tidak pula berbentuk puisi. Sehubungan dengan itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ciri-ciri gaya bahasa Al-Qur'an dapat dilihat pada tiga point: 1.Susunan Kata dan Kalimat Al-Qur'an Poin ini menyangkut: a.Nada dan langgamnya yang unik  Ayat-ayat Al-Qur'an walaupun sebagaimana telah ditegaskan Allah bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal itu diakui pula oleh cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickhall, dalam The Meaning of Glorious Qur'an. Pickhall  berkata, “Al-Qur'an mempunyai simfoni yang tiada taranya sehingga nada-nadanya dapat menggerakan manusia untuk menangis dan bersuka cita.” Hal ini karena huruf dari kata-kata dalam Al-Qur'an melahirkan keserasian bunyi dan kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama. Bacalah misalnya, Surat An-Nazilat (79): 1-4 ً    ْ َ   4-1 :‫عات‬‫ا‬‫ل‬).‫ا‬ًْ  ‫س‬   ‫ل‬َ .‫طا‬ ِ    ِ ‫ح‬ِ   ِ ‫ط‬ ِ     ‫ل‬َ .‫ا‬ً   ِ ‫زع‬ِ   ‫ل‬َ) ْ ‫س‬ َ    ‫فال‬َ .‫حا‬ً   َ   ِ   ْ َ    b.Singkat dan padat Contohnya simaklah surat Al-Baqarah (2) ayat 212 َ َ    ......... 212 :‫ة‬‫ل‬) .‫ب‬ ْَ‫غ‬ ِ ‫آء‬ َ   ِ   ُ ‫ل‬َ) ٍ ‫ا‬ ْ َ ُ‫ق‬ ُ   ْ َ   ِ   Ayat ini dapat berarti: 1.Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki tanpa ada yang berhak  mempertanyakan mengapa Dia memperluas rezeki seseorang dan mempersempit yang lain. 2.Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan  pemberian itu (karena Dia Maha Kaya, sama dengan seorang yang tidak memperdulikan  pengeluarannya) 3.Allah memberikan rizki kepada seseorang yang tidak menduga rezeki tersebut 4.Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa menghitung terlebih dahulu secara detil amal-amal orang itu. 5.Allah memberikan rezeki kepada seseorang dalam jumlah yang amat banyak sehingga yang  bersangkutan tidak mampu menghitungnya. c.Memuaskan Para Pemikir dan Orang Awam Seorang awam akan merasa puas karena memahami ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan keterbatasannya. Akan tetapi, ayat yang sama d apat dipahami dengan luas oleh filosof alam  pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang awam. d.Memuaskan Akal dan Jiwa Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa atau akal dan kalbu. Daya pikirnya memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan ayat-ayat Al-Qur'an dan mengembangkan imajinasinya. Dalam berbahasa, kedua daya tersebut sukar dipadamkan pada saat yang sama.  Namun, Al-Qur'an mampu menggabungkan keduanya pada saat yang bersamaan. e.Keindahan dan Ketepatan Maknanya Sebagai contoh, pada surat Az-Zumar (39) terdapat uraian tentang orang-orang kafir dan mukmin yang diantar oleh para Malaikat ke neraka dan surga. Bacalah ayat-ayat berikut:

ُ ِْ  َ   ٌ ‫س‬ َ َ َ ‫ا‬َ ُ ‫و‬ْَ‫ أ‬    َ‫ك‬َ   ِُ‫ها ف‬َ ْ ‫اُء‬َ َِ   ُ َ‫ز‬َ ‫خ‬َ    َ    َ  َ ‫ل‬ِ   ْ ‫س‬ ُ ‫ر‬ُ   َ  َ ْ   ْ َ‫ل‬َ‫اأ‬َ   ْ   ْ ‫ح‬َ   َ   ُَ‫ ل‬  ً َ ُ   ُ   َ ْِ‫ذ‬‫ل‬ َ    ُ ْ  َ   ُ ّ‫ر‬َ   ٌ   ٌ   71 :‫لز‬) ....   ِ     ْ ِ ) ْ َ َ‫ن ع‬ َ ْ‫و‬   ْ   ْ   ْ  

Artinya: “Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombong. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga penjaganya, “Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-Rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhan…” E.Perbedaan Pendapat Tentang Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Qur'an Pada ulama telah berbeda pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur'an. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat pada uraian berikut: 1.Menurut Golongan Sharfah Hingga menjelang abad 3 H., term I’jaz masih dipahami oleh para ulama sebagai keunikan AlQur'an yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, term itu lebih dispesifikasikan pada gaya retorika Al-Qur’an. pada perkembangan selanjutnya, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq An Nazhzham (w. 231 H.), dan tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha, berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur'an itu disebabkan karena adanya sharfah (pemalingan), yakni Allah sebagaimana didefinisikan An-Nazhzham telah memalingkan manusia untuk menantang Al-Qur'an dengan cara menciptakan kelemahan  padanya sehingga tidak dapat mendatangkan sesuatu yang sama dengan Al-Qur'an. Seandainya Allah tidak memalingkan manusia, demikian kata An-Nazhzham, niscaya manusia mampu menandingi Al-Qur'an. Adapun Al-Murtadha menjelaskan bahwa Allah telah mencabut ilmu yang dibutuhkan dalam bertanding. Pandangan seperti ini mendapat dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya, seperti Hisyam Al-Fuwatiti (w. 218 H) Abbad bin Ibn Hazm A l-Andalusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibnu Hazm lebih jauh berpendapat bahwa ketika berfirman, Allah memberikan daya yang melemahkan manusia untuk menandingi Al-Qur'an. Sementara itu, Ali bin Isa Ar-Rummani melihat lebih jauh lagi, yakni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga mereka tidak mempunyai keinginan untuk menyusun suatu karya untuk menandingi Al-Qur'an. Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini merupakan suatu yang luar biasa. Pendapat tokoh-tokoh besar Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal manusia. Akan tetapi, pendapat mereka kemudian dikritik oleh para ulama di luar Mu’tazilah, dan juga sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang melihat kemukjizatan AlQur'an dari sudut ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya. Pada ulama membantah paham sharfah tersebut, mereka menjelaskan bahwa paham itu telah menuduh Tuhan menantang seseorang untuk berbicara, tetapi Dia memotong atau melemahkan lidah orang itu terlebih dahulu. Padahal jika dirunut dari latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tatanan) Al-Qur'an, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada wa ktu saat itu merasa mampu mendatangkan kitab serupa Al-Qur'an meskipun kenyataannya mereka tidak berdaya atau tidak   berhasil. Pandangan sharfah ini, kata mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemukjizatan Al-Qur'an bukan karena esensi (dzat)-nya, tetapi karena ada faktor lain, yakni  pemalingan potensi manusia oleh Tuhan. Dengan kata lain, paham ini menjelaskan bahwa AlQur'an bukan mu’jiz bi dzatihi tetapi mu’jiz bi ghairihi. Secara rinci Az-Zakarsyi mengemukakan kelemahan argumentasi An-Nazhzham dan ArRummani sebagai berikut: a.Firman Allah pada surat Al-Isra (17) ayat 88 memperlihatkan kelemahan bangsa Arab menyusun karya besar yang sejajar dengan Al-Qur'an. Dan kalau Allah yang melarang mereka,

maka mu’jiz (kelemahan) itu bukan Al-Qur'an, tetapi justru Allah sendiri. Padahal ayat yang menantang mereka menyusun karya yang sejajar dengan Al-Qur'an, bukan untuk menandingi kebesaran Tuhan.  b.Masyarakat Arab pada saat itu mungkin saja mampu membuat karya spesifik yang  pembahasannya sama dengan Al-Qur'an, tetapi mereka mengalami kesukaran untuk menandingi isi dan ilustrasinya c.Al-Qur'an mengemukakan hal-hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang dalam kehidupan ini, di samping berita-berita alam akhirat yang akan dialami manusia kelak. Segala yang dikemukakan Al-Qur'an tersebut kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia ini. Misalnya, Allah memberikan dalam surat An-Nur (24) ayat 55 bah wa umat Islam akan menjadi adikuasa di dunia ini. Hal itu benar-benar telah terjadi ketika dinasti Abbasiyah berada da lam masa kejayaannya dan ketika muncul tiga kerajaan besar, yaitu Mughal di India, Safawi di Persia, dan Turki Usmani di Turki antara abad 15-17 M. Al-Qur'an juga memberitahukan pada surat Ar-Rum (30) ayat 1-2 bahwa Kerajaan Romawi Timur akan hancur. Ini terbukti pada abad ke 14 M., Pasca Abbasiyah, pada masa kekuasaan Turki Utsmani d.Al-Qur'an mengemukakan kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam cerita-cerita Arab, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Luth, dan Nabi Harun, serta kisah Nabi lain dan perlawanan masyarakatnya terhadap dakwah mereka dan akibat-akibat perlawanan tersebut. Beberapa karakter inilah yang memperkuat alasan bahwa kemukjizatan Al-Qur'an bukan terletak   pada kekuasaan Allah, tetapi justru Al-Qur'an sendiri yang memiliki kekuatan yang sedemikian rupa sehingga masyarakat Arab tidak mampu menciptakan karya yang setara. Oleh sebab itu,  pernyataan, orang-orang Mu’tazilah yang menyetarakan Al-Qur'an dengan buku Ad-Dirar dan At-Talamiyah karya ibnu Al-Muqaffa adalah pernyataan yang sangat keliru dan sesat. Kedua karya tersebut, menurut Al-Baqilani, amat jauh dibandingkan dengan Al-Qur'an dari segi isi, ilustrasi dan pembahasannya. 2.Menurut Imam Fakhruddin Aspek kemukjizatan Al-Qur'an terletak kepada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek  kemukjizatan terletak pada penyusunan yang spesifik. 3.Menurut ibnu Athiyyah Aspek kemukjizatan Al-Qur'an yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama diantaranya Al-Haddad- terletak pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal tersebut karena Al-Qur'an merupakan firman Allah Dzat Yang Maha Mengetahui. AlQur'an sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Begitulah yang terdapat pada Al-Qur'an, mulai dari pembuka sampai penutupnya. Manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan sehingga tidak mungkin dapat melakukan hal yang menyerupai Al-Qur'an. 4.Menurut Sebagian Ulama Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan Al-Qur'an terkandung dalam Al-Qur'an itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun  bentuk prosanya, baik dalam permulaan, suku kalimatnya maupun dalam pengutuasinya

5.Menurut Sebagian Ulama Lagi Sebagian ulama lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan itu terkandung dalam kata-katanya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah. Nilai sastra yang terkandung dalam Al-Qur'an itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya. 6.Menurut Ash-Sahabuni Ash-Shabuni mengemukakan segi-segi kemukjizatan Al-Qur'an seperti sebagai berikut: a.Susunannya yang indah dan berbeda dengan karya-karya yang ada dalam bahasa orang-orang Arab  b.Adanya uslub (style) yang berbeda dengan uslub-uslub bahasa Arab c.Sifat keagungannya yang tak memungkinkan seseorang untuk mendatangkan yang serupa dengannya d.Bentuk undang-undang di dalamnya sangat rinci dan sempurna melebihi undang-undang  buatan manusia. e.Mengabarkan hal-hal gaib yang tidak dapat diketahui, kecuali melalui wahyu f.Uraiannya tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya g.Janji dan ancaman yang dikabarkan benar-benar terjadi h.Memenuhi segala kebutuhan manusia i.Berpengaruh bagi hati pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya 7.Menurut Quraish Shihab Quraish Shihab memandang segi-segi kemukjizatan Al-Qur'an dalam tiga aspek, yaitu: a.Aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya Dalam Al-Qur'an dijumpai sekian banyak contoh tentang keseimbangan yang serasi antara katakata yang digunakan yaitu: 1.Keseimbangan antara jumlah kata dan anonimnya 2.Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya 3.Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukan akibatnya 4.Di samping keseimbangan tersebut, juga keseimbangan khusus lainnya  b.Berita tentang hal-hal yang gaib Sebagaimana ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur'an itu adalah berita gaib. Salah satu contohnya adalah Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini, diceritakan dalam surat Yunus (10) ayat 92: ُ ِ ‫لغ‬َ‫ا‬َ ِ  ‫أ‬   ُ   َ    َ  ِَ‫د‬   َ   ‫ن‬ ‫إ‬َ   َْ  ‫خ‬َ   ً ََ‫ أ‬  َِ‫ ل‬  ْ ُ َ ْ‫و‬   َ ْ‫و‬   ْِ‫ث‬َ‫ن ك‬  ِ  َ ْ‫و‬   َ ِ   ْ‫ج‬ِ   َ‫ال‬ْَ‫ف‬. ْ َ‫ ع‬ َ ِ   ً   ْ ‫م‬َ ِ‫ن ل‬ ِ ‫ا‬ ‫ل‬   Artinya “Maka pada hari Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orangorang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”

KESIMPULAN

Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi. Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiaptiap Nabi, setiap mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut. Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Aceh Abu Bakar. Sejarah Al-Qur'an. Ramadhani, Solo.1989 Ash Shiddiqy TM Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Bulan Bintang Jakarta. 1994 Baldan nasrudin. Metodologi Penafsiran Al-Qur'an. Pustaka pelajar, Yogyakarta. 1998 Ismail Muhammad Bokar. Dirosat fi Ulum Al-Qur'an, Dar Al-Manar, Kairo 1991 Marjuki Kamaludin, Ulum Al-Qur'an. Rosda Karya, Bandung. 1992 Munawar Said Agil Husain. Al-I’jaz Al-Qur'an Dan Metodologi Tafsir. Rafiqi Mustofa Shadiq. Al-I’jaz Al-Qur'an. Dar Al-Kitab. Al-Arabi, Beriut. 1990. Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir. Pustaka Setia, Bandung. 200 0 Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur'an. Pustaka Setia, Bandung . 2000

Macam” I’jaz alqur’an I’jaz AI-Quran terdiri dari beberapa macam. Sebagian di antaranya telah kami jelaskan. Dengan kehendak Allah, pada masa akan datang mudah-mudahan akan terus terungkap i’jaz-i’jaz yang lain, karena keajaiban-keajaiban Al-Quran itu tidak akan pernah habis. Di antara macam i’jaz AlQuran yang telah kami jelaskan ialah i’jaz balaghi, i’jaz mengenai berita gaib, i’jaz tasyri’i (perundang-undangan) dan i’jaz ‘ilmi. I’jaz dengan berbagai macamnya, seperti i’jaz al-thibbi (kedokteran), i’jaz al-falaki (astronomi), i’jaz al-jughrafi (geografi), i’jaz al-thabi’i (fisika), i’jaz adadi (jumlah), i’jaz i’lami (informasi), dan i’jaz-i’jaz lainnya. Macammacam i’jaz tersebut telah kami bahas pada buku Al-I’jaz Al-Quraniy fi Wujuhih Al-Muktasyifah (Macam-macam I’jaz AlQuran yang Terungkap). Adapun buku yang ada ditangan anda adalah hanya merupakan salah satu bagian dari buku tersebut. Atas dasar usulan sebagian pembaca, karena pentingnya  persoalan ini, maka pembahasan mengenainya saya pisahkan dalam buku yang ada pada tangan  pembaca ini dengan beberapa tambahan agar bisa lebih menambah manfaatnya. Salah satu i’jaz Al-Quran adalah perhatiannya yang besar terhadap setiap hubungan yang terjadi di dalamnya. Tidak ada satu Kitab Sammawi pun, lebih-lebih Kitab Ardhi, yang memberikan  perhatian begitu rupa seperti yang dilakukan oleh AI-Quran. Sejak Al-Quran mulai diturunkan, ayat-ayat dan surat-suratnya sudah dihafalkan oleh banyak kaum Muslimin. Begitu juga tafsir-

tafsirnya, penafsiran-penafsiran Rasulullah mengenainya, dan pendapatpendapat para ulama tafsir sehingga dengan berlalunya waktu telah lahir thabaqat al-mufassirin (tingkatan-tingkatan  para mufassir), dan pada setiap tingkatan tersebut telah banyak buku tafsir yang ditulis. Banyaknya para mufassir dan besarnya perhatian mereka tidak lain adalah karena besarnya peran Al-Quran. Al-Quran tidak hanya mereka tafsirkan, akan tetapi juga dari AI-Quran telah muncul  berbagai ilmu yang mereka tulis. Di antaranya studi tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, asbab al-nuzul, pembagian ayat kepada makiah dan madaniah, ilmu tajwid, ilmu qiraat, i’jaz AIQuran, i’rab Al-Quran, ilmu rasm AI-Quran dan buku-buku yang ditulis mengenai penghitungan ayat-ayat AlQuran, pembagiannya kepada juz, hizb, anshaf al-ahzab dan rub’ di samping karyakarya mengenai nasikh-mansukh, linguistik AlQuran, balaghah, n udzhum (struktur bahasa AlQuran), bayan (kejelasan) dan ma’ani (makna-makna) kata dan kosa katanya, bahasa kabilah, keutamaan surat-suratnya, pahala membaca AlQuran, etika tilawah, sampai-sampai perhatian terhadap Al-Quran pun telah mendorong perhatian terhadap penghitungan jumlah kata-kata, lafaz-lafaz, huruf-huruf dan hubungannya antara kata, huruf, ayat dan surat di dalamnya. Dengan kebetulan, di perpustakaan ‘Arif Hikmat, di Madinah AI-Munawarah, saya mendapatkan sebuah makhtuthat (buku yang masih ditulis tangan) yang ditulis kira-kira pada abad ketiga hijriah, yaitu pada masa kekuasaan Abdul Malik bin Marwan. Di dalam makhthuthat tersebut terdapat kutipan dari banyak orang mengenai bagaimana cara mereka menghitung huruf-huruf  AIQuran dengan menggunakan biji gandum. Penghitungan-penghitungan tersebut telah mereka susun dalam sebuah risalah kecil yang kebetulan saya temukan. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai jumlah ayat, huruf dan jumlah masing-masing huruf dalam Al-Quran dan seterusnya. Di bawah ini adalah salah satu kutipan dari makhthuthat tersebut: Diriwayatkan oleh sebagian mereka bahwasanya ia ditanya: “Bagaimana kalian menghitung huruf-huruf AI-Quran?” Dia menjawab: “Dengan gandum.” Diriwayatkan juga bahwa mereka menghitungnya selama empat bulan. Menurut penduduk Madinah pertengahan Al-Quran itu  pada surat AI-Kahfi, ketika Allah berfirman: maa lam tastati’, alaihi shabra (apa yang telah membuat engkau tidak sabar itu) (Al-Kahfi: 78). Al-Hajjaj bertanya kepada mereka: “Beritahu aku huruf AI-Quran mana yang merupakan tengah-tengah Al-Quran?” Lantas mereka menghitung dan sepakat bahwa huruf tengah-tengahnya pada surat Al-Kahfi, yaitu pada firman Allah: wa alyatalaththaf. Huruf “ta” pada setengah pertama Al-Quran dan huruf “lam” pada setengah terakhir AI-Quran. Wallahu a’lam bi al-shawab .. . Inilah hitungan surat, kata dan huruf  Al-Quran. Sudahkah pembaca yang budiman memberikan perhatian sejauh itu? Coba renungkan, adakah sebuah Kitab yang mendapatkan perhatian sedemikian atau minimal mendekatinya? Inilah AlQuran, yang pada masa modern ini, telah bisa dihitung dengan bantuan alat hitung elektronik  sehingga telah melahirkan banyak karya dalam hal i’jaz ‘Adadi Al-Quran. Perhatian yang demikian besar terhadap kalamullah ini menjadi bukti i’jaz dalam menjaga Kitab yang mulia ini, yang Allah telah menjanjikan untuk menjaganya. Sesungguhnya telah Kami turunkan AI-Quran dan sesungguhnya Kami akan menjaganya. (AlHijr: 9) Allah berfirman:

Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagaan-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar, jika kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang mulsa terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seru sekalian alam. (AI-Waqiah: 75-80) Allah berfirman: Bahkan yang didustakan mereka ini ialah Al-Quran yang mulia, yang tersimpan di Lauh AlMahfudzh. (AI-Buruj: 21-22) Saya ingin tegaskan kepada pembaca bahwa AI-Quran dijaga bukan karena ia merupakan Kitab Allah. Karena apabila itu yang menjadi sebab, maka seluruh kitab samawi pun seharusnya dijaga  pula dari tahrif (distorsi) dan tabdiI (pengubahan). Sebab keterjagaan Al-Quran adalah kembali kepada persoalan-persoalan berikut: Pertama, Allah SWT berjanji dan menjamin akan menjaganya. Kedua, karena risalah Islam merupakan risalah terakhir sehingga perundang-undangannya harus abaditidak boleh diubah, terdistorsi dan diganti. Karena sekiranya pengubahan, pendistorsian dan  penggantian itu boleh dilakukan, maka manusia memerlukan sebuah kitab dan seorang rasul yang baru, padahal AI-Quran akan tetap sampai hari kiamat dan Muhammad saw. adalah  penutup para nabi dan rasul. Bukanlah Muhammad itu ayah seseorang di antara lelaki kalian, melainkan ia rasulullah dan  penutup para nabi. (Al-Ahzab: 40) Dengan demikian, maka Al-Quran wajib terjaga dari tahrif. Sekiranya kita asumsikan bahwa ayat yang menjanjikan akan menjaga Al-Quran, yaitu: “Sesungguhnya telah Kami turunkan AI-Quran dan sesungguhnya Kami akan menjaganya”, tidak ada, maka akal sendiri akan menghukumi tentang wajibnya keterjagaan AI-Quran dari tahrif dan tabdil. Ketiga, karena AI-Quran merupakan penutup kitab samawi, dan bahwa mukjizat para nabi terdahulu pun tetap dinukil, maka hal itu mengharuskan adanya mukjizat abadi yang membenarkan pengakuan penutup para nabi dan kebenaran para nabi dan risalah-risalah samawi sebelumnya. Allah berfirman: Dan kitab yang Kami wahyukan kepadamu ialah kitab yang benar, yang membenarkan apa yang (disebutkan di dalam kitab-kitab) sebelumnya; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Melihat hamba-hamba-Nya. (Fathir: 31) Keempat, Allah SWT berjanji bahwa ayat-ayat-Nya tidak akan terputus, melainkan akan  berlanjut. Allah berfirman: Akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami di sekitar jagat raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar. Dan

apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushshilat: 53) Ayat ini sendiri, pada hakikatnya, merupakan mukjizat. Ia menegaskan keberlanjutan munculnya ayat-ayat bagi manusia dan ayat-ayat yang muncul di jagat raya (afaq), pada diri kita, dan pada tujuan masing-masing. Ini semua merupakan bukti atas k ebenaran risalah Islam dan Al-Quran sebagai kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. Dengan demikian, kendatipun dengan keterpecahan umat Islam ke dalam berbagai firqah (kelompok) dan dihadapkannya kepada tipu daya musuh serta dengan tidak adanya alat-alat cetak dan perekam yang canggih sebagaimana yang bisa kita saksikan pada saat ini, Al-Quran tetap terjaga dari tahrif dan tabdil. Adalah merupakan kehendak Allah bahwa seluruh kebatilan yang akan merusak AI-Quran harus musnah. Al-Quran adalah Kitab yang tidak akan dikenai kebatilan baik dari Al-Quran itu sendiri maupun d ari luar Al-Quran. Atas dasar itu semua, AlQuran adalah sebuah Kitab yang tidak pemah mengalami tahrif dan kehilangan, sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab samawi yang lain. Allah berfirman: Bahkan ia merupakan ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu ….. (AIAnkabut: 49) Oleh karena itu pula maka Allah SWT telah menjaga AIQuran, di samping juga telah menjaga  pendahulu-pendahulunya. Sehingga Ia menjaga Bahasa Arab dari kepunahan yang merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang tidak mengalami perubahan, pergantian, kepunahan dan keterbelakangan sebagaimana yang dialami oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Dengan asumsi  bahwa bahasa adalah seperti wujud yang hidup dan berkembang secara bertahap dan berjalan seperti berkembangnya manusia, dimulai masa kanak-kanak, berkembang sampai masa remaja dan masa tua untuk selanjutnya lanjut usia dan mati. Berdasarkan teori ini, maka perjalanan akhir  setiap bahasa di dunia adalah kematian. Ini merupakan persoalan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau kita membaca sejarah bahasa di dunia, kita tidak akan mendapatkan satu bahasa klasik pun  pemah digunakan oleh manusia yang masih hidup sebagaimana asalnya. Namun demikian teori ini tidak berlaku bagi bahasa Arab. Apa rahasianya? Bukankah bahasa Arab sama seperti bahasa yang lain? Pada dasarnya memang bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia, hanya saja rahasia ketidakrelevanan teori diatasterhadap bahasa Arab adalah bukan terletak pada bahasa itu send’tri, melainkan pada mukjizat besar, yaitu Al-Quran Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa tersebut, sehingga bahasa tersebut harus terjaga demi keteqagaan AIQuran; karena Al-Quran menggunakan “bahasa Arab yang terang” (AI-Syu’ara: 195). Dengan demikian tegaklah mukjizat besar ini dan terombaklah adat kebiasaan punahnya, bahasa dengan tidak punahnya bahasa Arab, yaitu untuk menjaga Al-Quran. Sepanjang sejarah didunia tidak ada satu nash pun yang terjaga dari tahrif, pengurangan dan penambahan seperti Al-Quran. Ini merupakan persoalan yang merombak adat kebiasaan, di samping sebagai mukjizat yang mendorong jiwa untuk membenarkannya. Ringkasnya, apabila AI-Quran merupakan kebenaran mutlak, realitasnya menegaskan hal demikian dan ia sendiri merupakan mukjizat, maka AI-Quran merupakan ayat yang jelas dan

 petunjuk bahwa mukjizat ini dari sisi Allah SWT. Betapa kebenaran dan mukjizat itu semerbak   baunya ketika Allah SWT berfirman: Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. (Al-Insyirah: 4) Ayat tersebut ditujukan kepada Rasulullah saw., seorang manusia di antara sekian banyak  manusia di sepanjang sejarah yang diistimewakan oleh wahyu. Ia diseru oleh Al-’Aliyy Al-A’la SWT bahwa Ia akan meninggikan sebutannya. Apakah anda pernah mendapati seorang manusia di antara para tiran, raja, ulama, ahli pikir, baik yang berbudi maupun yang jahat, yang namanya ditinggikan seperti nama Rasulullah saw.? Apakah anda pernah mendapati atau mendengar  seseorang yang namanya dipanggil pada setiap hari dan di setiap penjuru alam, serta tidak  disebut namanya kecuali diikuti dengan mendoakan kesejahteraan dan keselamatannya, selain Muhammad bin Abdillah saw.? Baik mereka itu Nabi atau Rasul, jin atau manusia, raja atau makhluk Allah SWT lainnya. Allah berfirman; Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. (AI-Kautsar: 1) Allah juga berfirman: Sesungguhnya orang-arang yang membencimu dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3) Apakah anda pernah melihat satu keturunan yang lebih banyak dari keturunan Rasulullah saw.? Pernah saya diberitahu oleh sebagian orang bahwa turunan keluarga suci (‘ithrah thahirah) itu sudah mencapai 15 juta orang yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Ini merupakan kebenaran mengenai banyaknya turunan Rasulullah saw. Pertanyaannya sekarang, di mana keturunan para  pembenci Rasulullah saw.? Apakah engkau dapati seseorang dari mereka atau engkau dengar  suara mereka? (Maryam: 98). Kalimat-kalimat pada AI-Quran adalah kalimat-kalimat yang menakjubkan, yang berbeda sekali dengan kalimat-kalimat di luar Al-Quran. Ia mampu mengeluarkan suatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga di dalamnya dapat dirasakan ruh dinamika. Adapun huruf tidak lain hanyalah simbol makna-makna, sementara lafaz memiliki petunjuk-petunjuk  etimologis yang berkaitan dengan makna-makna tersebut. Menuangkan makna-makna yang abstrak tersebut kepada batin seseorang dan kepada hal-hal yang bisa dirasakan (al-mahsusat) yang bergerak di dalam imajinasi dan perasaan, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ia diumpamakan jarum suntik yang ditusukkan ke dalam tubuh untuk mengobati penyakit penyakitnya, untuk mengangkat spiritualitas-spiritualitasnya, mendekatkannya kepada Allah SWT, untuk merajut sebuah kisah dari lataz-lafaznya yang kaku sehingga temuan-temuan dan  pasal-pasalnya berjalan di atas panggung yang menambah dinamika kehidupan yang dapat dirasakan. Termasuk kesulitan seseorang ialah menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Sementara Al-Quran tidak berbicara dengan sebuah kata kecuali sejalan dengan makna yang dikehendaki dan pada tingkat kedalaman  paling tinggi. Ketika anda merenungkan sebuah ayat yang akan menjelaskan kepada anda cara  penciptaan alam, misalnya dengan dasar sistem yang teratur dan pengaturan yang tidak   bertentangan satu sama lain dan tidak rusak, maka anda akan mendapati ayat tersebut menjelaskan makna tersebut dengan fenomena gerakan yang dapat dirasakan, yang berputar di

depan kedua mata anda sendiri; seakan-akan anda sedang berada di hadapan laboratorium dengan bergerak sangat cepat pada sistem yang berkelanjutan: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi selama enam masa, lalu Ia bersemayam di atas ‘Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan pula oleh-Nya) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan seru sekalian alam. (Al-A’raf: 54) Perhatikanlah firman Allah ‘ Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat” dan anda bayangkan gerakan apa yang terbayang pada pikiran anda? Sungguh anda akan mendapati gambaran gerak yang bergerak dengan cara lain seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT: Tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)

I’jaz al-Qur’an dari Aspek Bahasa dan Qiro’ah

Oleh: Ahda Sabiela Al quran yang kita kenal merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini kebenaranya bebas dari tahrif, yaitu perubahan berupa penambahan dan pengurangan sejak diturunkanya pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW, tidak seperti kitab samawi lainya seperti taurat dan injil. Al qur’an tidak hanya berbicara masalah tauhid atau syairah saja akan tetapi lebih dari itu, Al qur an  juga berbicara tentang sains diantaranya mencakup berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yaitu ilmu kosmos alam jagat raya atau ilmu falaq , ilmu biologi mencakup manusia, tumbuhan dan hewan, ilmu kedokteran, ilmu bahasa, dan ilmu sejarah. Ijazul qur’an mempunyai pengertian sebagai berikut: Kata ijaz diambil dari ajaza ( ‫ ) عجز‬artinya lemah, sedang yang dimaksud disini ialah mukjizat, yaitu sesuatu diluar kebiasa’an yang menunjukkan kepada kebaikan dan kebahagian sesuai dengan misi da’wah nabi yang bertujuan untuk menunjukkan bahwasanya dia adalah utusan Allah dan mukjizat tersebut terbebas dari saingan yang mampu menandinginya. Sedangkan Al qur’an yaitu Kalamullah baik secara lafadz dan makna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Jadi ijazul qur an merupakan kandungan Al qur’an mencakup dalil- dalil yang kuat dan petunjuk yang tak  terbantahkan menunjukan bahwasanya Al qur an adalah mukjizat terbesar dan merupakan

kalamullah yang abadi hingga akhir zaman. Al qur an begitu istimewa dibandingkan dengan mukjizat nabi yang lain, mengapa demikian? Karena Al qur an lintas ruang dan waktu hingga akhir zaman nanti sedangkan selainnya hanya terbatas zaman akan hilang seiring waktu dan kematian nabi itu sendiri, mukjizat nabi yang lain hanya bisa disaksikan dari kejauhan sedangkan Al quran dapat kita lihat sendiri dari dekat  bahkan memilikinya secara pribadi. Untuk menunjukan bahwasanya Al qur an adalah kalamullah, Allah sendiri menantang bagi yang meragukan untuk membuat Al qur an tandingan. Dalam surat At Thur misalnya ayat 33, 34 Ataukah mereka mengatakan: “ dia (Muhammad) membuat-buatnya”. Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendakah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang - orang yang benar . Dalam surat Huud ayat 13, 14 Allah menantang untuk membuat 10 surat Bahkan mereka mengatakan “ Muhammad telah membuat-buat Al Qur’an itu”, katakanlah : “(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibut-buat yang menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memamggilnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika yang kamu seru itu tidak  menerima seruanmu (ajakanmu) maka (katakanlah olehmu) : “ ketahuilah, sesunguhnya Al qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah) ? . Dan bahkan jika masih meragukan, Allah mengultimatum untuk membuat satu surat saja semisalnya dan agar mengajak yang dapat membantu selain Allah, (Al-Baqaroh ayat 23 , 24) bahkan jika segenap manusia dan jin  bersatupun tidak akan mampu mendatangkan seperti Al qur’an ( Al-Isro ayat 88). Apa yang difirmankan oleh Allah ternyata ben ar adanya, sejarah mencatat Aba Alaa Al ma’ri, Aba Toyyib Almutanabbi, dan Ibnu Makfa’ yang berkeyakinan bahwasanya mereka telah memahami dalamnya balaghoh (salah satu ilmu sastra arab) A l qur’an, akan tetapi apa yang mereka kerjakan hanya berakhir dengan sia-sia belaka karena ketidakmampuan dalam menandingi keagungan kalam Allah. Selain mereka bertiga Musailamah Al Khazzab, seorang nabi palsu pernah membuat surat tandingan yang hanya menjiplak dari surat Al Kaustar dengan tata bahasa dan irama sajak yang hampir mirip, ini menunjukkan bahwasanya Al qur an adalah  bukan perkatan Nabi Muhammad tetapi memang benar-benar dari Allah. Allah menjadikan agama Islam sebagai penutup dan pelengkap syariah yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad, oleh karena itu mukjizat yang dibawa haruslah abadi hingga akhir  zaman. Bahasa arab dipilih sebagai bahasa Al qur an karena pada waktu Rosul diutus untuk  kaum arab mereka telah memiliki citra rasa sastra yang begitu tinggi bahkan terjadi perang syair  antar qobilah (suku) demi mendapatkan prestice sebagai yang terbaik di tanah arab, oleh karena itu bahasa Al quran harus melebihi bahasa kaum arab tersebut demi membuktikan bahwasanya  Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Pada waktu sebelum Al qur an turun para utusan qobilah saling menyerang dalam melantunkan syair mereka untuk mendapatkan kehormatan sebagai yang terbaik di jazirah arab, akan tetapi setelah Al qur an turun maka tidak ada lagi perang syair  diantara mereka. Walid ibn Mughiroh ( 95 sebelum Hijriah – 1 Hijriyah/ 530- 622 M ) pemimpin Bani Makhzum salah satu pembesar arab yang dikenal adil, mengakui kehebatan Al qur’an ketika Rosul membaca surat Al ghofir didalam masjid, d iantara perkatanya “ Demi allah aku telah mendengarkan perkata’an yang bukan perkata’an manusia dan jin, demi allah itu bukan sihir dan telah kusaksikan penyihir dan itu memang bukan perkata an penyihir dan juga bukan sajak , demi allah itu juga bukan perkatan orang gila, demi allah itu bukan syair …… ” Al qur’an diturunkan dengan lisan arab, berbeda dengan kitab samawi lainya yang diturunkan dengan bahasa selain arab lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa arab, sedangkan Al qur’an meskipun diterjemahkan ke berbagai bahasa diseluruh penjuru dunia, selalu

dan tetap disampingnya terdapat bahasa arab karena terjemahan Al qur an bukanlah Al qur’an dan Al quran yang berbahasa arab itulah yang disebut Al quran. Keindahan Al quran sungguh terasa ketika mendengar tilawatil qur’an dibaca d engan makhorijil huruf yang benar, disatu huruf  dibaca dengan jelas dan dihuruf yang lain dibaca samar-samar semua itu tedapat dalam ilmu tersendiri yaitu ilmu tajwid. Diantara yang dipelajari ialah tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyah dari ujing bibir sampai ujung tenggorokan, ketika dibaca diantara kombinasi dari berbagai huruf  tersebut maka keindahan akan muncul diantara bacan yang lembut dan syadid yang tipis dan tebal yang jelas dan samar-samar tentu saja dengan hukum baca’an yang telah ditetapkan dan tidak akan pernah bosan mendengarkannya, mampu mengobati jiwa yang goncang serta menentramkan hati meskipun tidak tahu artinya. Terdapat lebih dari 6000 ayat dalam Al quran diberbagai topik, diantaranya mengenai masalah tauhid, hukum syari’ah, sejarah, pencipta’an, dan sains akan tetapi tidak ada satupun diantara ayat-ayat tersebut kontradiksi, hal tersebut telah ditetapkan didalam ayat Al quran surat An-Nisa ayat 82 ‘’ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al quran? Kalau kiranya Al qur an itu  bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya”. Dalam ََ‫ع‬َ‫مو‬ْ ِ‫ه‬ِ‫ار‬ َ  ِ ٌ‫ ة‬  surat Al Baqaroh ayat 7 Allah berfirman :   ِ ‫م‬ْ ‫س‬ ِ َ‫ع‬ ٌ ‫ذ‬َ َ‫ ع‬  َ   ْ   ْ   ٌ   َ  ْ َ‫ أ‬َ‫ا‬ ُَ ‫ل‬َ ٌ‫ب ة‬ ِ     َ  ُ  َ   َ‫خ‬َ   َ   ُ  ‫ل‬  َ‫ ع‬  ْ   ِ ِ‫و‬ ُ   َ‫ع‬ َ artinya “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” Mengapa Allah mendahulukan pendengaran daripada penglihatan? Sedangkan dengan mata kita dapat merasakan keindahan warna warni dunia, dapat melakukan berbagai hal dengan benar bahkan kita dapat melihat kenyatan yang benar. Begitu juga kebanyakan ayat jika pendengaran dan penglihatan  bertemu maka yang didahulukan adalah pendengaran. Diantara penyebab hal tersebut yang  pertama ialah telinga sebagai indra pendengaran manusia diciptakan sebelum mata pada fase  pembentukan anggota tubuh saat didalam rahim, hal ini telah dibenaran oleh dokter ahli. Penyebab kedua adalah telinga lebih mulia dan lebih luas jangkaunya daripada mata, karana dengan telinga dapat mengetahui kebenaran Nabi Muhammad utusan Allah, mematuhi segala  perintah dan larangan Nya dan mata lebih sempit daya jelajahnya daripada telinga. Qiro’ah berarti baca’an, sedangkan yang dimaksud disini ialah ilmu tentang bagaimana membaca Al qur’an sesuai dengan riwayat dan jalan periwayatan tersebut, ilmu qiroah merupakan displin ilmu yan telah berdiri sendiri serta mendapat perhatian dari para ulama tafsir. Untuk membaca Al qur an tidak sembarangan, ada ilmu dan seni tersendiri dalam melafadzkanya, dan ilmu ini turun temurun diwariskan sejak zaman nabi muhammad 1400 tahun yang lalu melalui sistem sanad yaitu pembelajaran secara turun temurun dengan cara murid berguru langsung kepada para imam yang telah mendapat lisensi kebenaran akan baca’anya hingga nabi Muhammad, cara ini biasa disebut talaqi atau sorogan sehingga Al qur’an dan baca’annya terbebas dari kesalahan yang disengaja atapun tidak, karena pada waktu ditulis Al qur an tanpa tanda baca lafadz atau harokah dan tanda baca huruf atau titik pada huruf hijaiyah sehingga memngkinkan untuk dibaca dengan  berbagai macam baca’an. Sistem Talaqi bukan hanya berlaku dizaman dahulu saja sebelum Abu Aswad Ad-Duwali meletakkan tanda baca pada Al quran bahkan, hingga hari inipun sesudah dilengkapinya hal tersebut pembelajaran talaqi masih berlangsung demi menjaga keotentikan Al qur an. Untuk mendapatkan sanad tidak ada jalan lain kecuali seorang murid diharuskan berguru langsung kepada para qori atau imam yang telah medapatkan lisensi. Dalam hukum qiro’ah ada berbagai macam tingkatan hukum, akan tetapi yang paling benar  adalah qiro’ah mutawatir dan mashur. Qiro’ah Mutawwatir ialah baca an yang telah disepakati  para imam dan tidak mungkin dituduh berbohong serta mempunyai jalan sanad yang satu dari 7 imam, mereka biasa disebut qiro’ah sab’ah al mutawatir, sedangkan mashur ialah baca’an yang

mempunyai sanad benar yang diriwayatkan oleh perowi adil sesuai dengan bahasa arab yang  benar dan sesuai dengan salah satu baca’an yang tertera dalam mushaf ustmani, baik bacaan tersebut dari 7 imam mutawatir atau dari 10 imam mashur ataupun imam selain mereka yang dianggap benar, baca an tersebut harus sudah mashur dikalangan imam dan tidak dituduh salah  bahkan sesat. Derajat mashur dibawah mutawatir dikeranakan perbedaan jalan sanad yang diambil dari 7 imam tersebut. Saat ini yang dipelajari oleh para pelajar dalam ilmu qiro’ah merujuk pada 7 imam mutawatir dan 10 imam mashur. Mereka ialah Abu Rim Nafi’ bin Naim Almadani meninggal di Madinah tahun 169 H, Abdulllah bin Katsir meninggal di Mekkah tahun 120 H, Abu Umar Hamzah bin Habib Az-ziyat Alkufi meninggal di Irak tahun 156 H, Ziyad bin Ala Al-bisr, meninggal di Kufah tahun 154 H, Abdullah bin Umar meninggal di Damaskus tahun 117 H. Abu Bakar Asim bin Abi najwad Al asadi meninggal di Kufah tahun 127 H, Abu Hasan Ali bin Hamzah Alkasai meniggal di Re tahun 189 H. untuk imam 10 yang mashur ialah 7 imam diatas ditambah 3 imam lagi yaitu: Yazid bin Qo’qo Almadani atau yang lebih dikenal Abu’Ja’far meninggal di Madinah tahun 132 H, Ishaq Abu Muhammad Alhadori atau yang sering dikenal Ya’qub meniggal di Bagdad tahun 229 H, Ibnu Hisyan Albazari Abu Muhammad meniggal di Bagdad tahun 229 H. Melalui sistem sanad inilah maka baca’an Al qur’an masih terjaga hingga saat ini sekaligus memupus tuduhan Goldziher seorang orientalis yang meyakini bahwa perpedaan bacaan Al quran adalah akibat kekeliruan dalam penulisan bahasa arab zaman dulu, karena Mushaf  Ustmani tidak dilengkapi tanda baca dan tanda titik pada huruf hijaiyah sehingga memungkinkan menciptakan keberagaman baca’an, bahkan Arthur Jeffery orientalis yang mengabdikan hampir  seluruh hidupnya untuk meneliti Al qur’an menuduh bahwasanya kekurangan tanda baca dan titik tersebut merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna yang dia pahami. Sejarah pembukuan Al qur’an tidak hanya bersandar kepada teks manuskrip yang ada akan tetapi juga bersandarkan kepada hafalan yang termaktub di dalam hati para sahabat, penggabungan kedua hal tersebut terjadi ketika pengumpulan mushaf-mushaf  Al quran di zaman khalifah Abu Bakar As shiddiq yang diketuai Zaid bin Tsabit dan  pengumpulan tersebut dilaksanakan karena para Hafidz banyak meninggal dunia ketika memerangi orang-orang murtad ditakutkan Al qur’an akan hilang bersama para hafidz yang meninggal. Begitu pula penulisan kembali dizaman khalifah Ustman Bin Affan dikarenakan  perbedaan bacaan antar bangsa karena ekspansi islam yang begitu luas ditakutkan terjadi kontradiksi antar umat sehingga menjadikan Al qur’an ini tidak asli sebagaimana yang terjadi Dalam injil dan Taurat.

Referensi : 1. Manahilul irfan fi ulumil qur’an , Muhammad Abdul Azim Azzarqoni. 2. Al burhan fi Ulumil Qur ‘an, Imam Badruddin Muhammad Abdullah Az Zarkasyi. 3. Haqoiq wa Subhat Haula Quranil karim , Prof. Dr. Muhammad Imaroh. 4. Dalailul I’jaz fu quranil karim, Dr. Toriq Abdullah Diyyab. 5. Al Mursyid Al hadi fi ushulil fiqh, Prof. Dr. Romadhon Muhammad Haitami. 6. Al Mausu’ah Ad Zahabiyah fi I’jazil Quranulkarim wa Sunnatun An bawiyyah, Dr. Ahmad Mustofa. 7. The History The Quranic Text, Prof. Dr, M.M Al A’’zami. 8. Menjawab Kritikan Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an, Adian Husaini, Insisnet.com. 9. Al qur’an dan tarjamah.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF