ISI NEW
May 27, 2018 | Author: Chamelia Ghyta | Category: N/A
Short Description
uji efektivitas lotion ekstrak beras merah...
Description
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
Kulit adalah organ tubuh terluar dan terbesar oleh karena itu paling cenderung secara langsung terpapar sinar matahari. Ketika kulit terpapar radiasi UV dalam waktu yang lama, hal tersebut dapat meningkatkan radikal bebas yang dapat memacu terjadinya kanker kanker kulit (Afaq dan Mukhtar, Mukhtar, 2001). Respon Respon biologi pada kulit akibat paparan radiasi UV antara lain yaitu eritema, edema, penipisan lapisan dermis dan epidermis, tanning (pencoklatan pada kulit), imunosupresan, kerusakan DNA, photoaging (efek penuaan kulit oleh cahaya), fotodermatosis akut dan kronik dan melanogenesis (Walters, 2008 ). Meskipun secara alamiah kulit manusia sudah memiliki sistem perlindungan terhadap sinar matahari, tetapi tidak cukup efektif terhadap kontak radiasi, sehingga diperlukan perlindungan tambahan, baik secara fisis maupun memakai kosmetika tabir surya (Warsito, 1998). Tabir surya mengandung senyawa kimia yang dapat mengabsorpsi dan memantulkan sinar UV (Saroh,1998). Salah satu komoditas yang diduga dapat berkhasiat sebagai tabir surya adalah beras merah. Secara empiris beras merah telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu kosmetik tradisional khususnya di daerah Sukabumi, Jawa Barat yang dikenal sebagai salah satu penghasil beras merah. Di daerah tersebut beras merah dibuat menjadi bedak dingin berkhasiat sebagai anti jerawat dan penangkal sinar matahari alami sebab memiliki efek melembabkan (Siti, 2012). Berdasarkan penelitian sebelumnya, ekstrak beras merah berfungsi sebagai sunblock yang
1
dapat menyerap hampir semua sinar UV A dan UV B (Suda, 2013). Ekstrak beras merah telah diteliti memiliki kandungan senyawa yaitu antosianin, karbohidrat, protein, lemak, asam folat, tanin dan alkaloid (Adzkiya, 2011). Kandungan senyawa dalam ekstrak beras merah yang bermanfaat sebagai tabir surya adalah tanin dan antosianin. Tanin yang terkondensasi memiliki aktifitas sebagai antioksidan dan dapat melindungi kulit dari kerusakan yang ditimbulkan radiasi UV (Brandt,2000). Antosianin merupakan pigmen larut air secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan yang memberi warna pada beras merah. Selain itu antosianin memiliki manfaat antioksidan dengan berperan sebagai donor elektron atau transfer atom hidrogen pada radikal bebas. Antosianin dapat memberikan perlindungan UV atau mengatasi oksigen yang reaktif (Tisnadjaja dkk, 2012). Pada penelitian ini, ekstrak beras merah diformulasikan dalam bentuk sediaan lotion sebab menurut Lachman dkk (1994) sediaan lotion membentuk konsistensi yang cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan merata pada pada permukaan kulit. Selain itu lotion mudah menyebar dan dapat segera kering setelah pengolesan serta meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit. Sebelumnya, Zahid (2016) mengembangkan formula lotion tabir surya ekstrak beras merah formulasi sediaan lotion tabir surya dibuat dengan variasi konsentrasi ekstrak beras merah
2,5%, 5%, dan 10%. Hasil penelitiannya penelitiannya
menujukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, nilai SPF, persen (%) eritema dan persen (%) pigmentasi juga semakin tinggi, akan tetapi metode penentuan efektivitas tabir surya belum optimal dan dalam penelitian tersebut
2
dapat menyerap hampir semua sinar UV A dan UV B (Suda, 2013). Ekstrak beras merah telah diteliti memiliki kandungan senyawa yaitu antosianin, karbohidrat, protein, lemak, asam folat, tanin dan alkaloid (Adzkiya, 2011). Kandungan senyawa dalam ekstrak beras merah yang bermanfaat sebagai tabir surya adalah tanin dan antosianin. Tanin yang terkondensasi memiliki aktifitas sebagai antioksidan dan dapat melindungi kulit dari kerusakan yang ditimbulkan radiasi UV (Brandt,2000). Antosianin merupakan pigmen larut air secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan yang memberi warna pada beras merah. Selain itu antosianin memiliki manfaat antioksidan dengan berperan sebagai donor elektron atau transfer atom hidrogen pada radikal bebas. Antosianin dapat memberikan perlindungan UV atau mengatasi oksigen yang reaktif (Tisnadjaja dkk, 2012). Pada penelitian ini, ekstrak beras merah diformulasikan dalam bentuk sediaan lotion sebab menurut Lachman dkk (1994) sediaan lotion membentuk konsistensi yang cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan merata pada pada permukaan kulit. Selain itu lotion mudah menyebar dan dapat segera kering setelah pengolesan serta meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit. Sebelumnya, Zahid (2016) mengembangkan formula lotion tabir surya ekstrak beras merah formulasi sediaan lotion tabir surya dibuat dengan variasi konsentrasi ekstrak beras merah
2,5%, 5%, dan 10%. Hasil penelitiannya penelitiannya
menujukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, nilai SPF, persen (%) eritema dan persen (%) pigmentasi juga semakin tinggi, akan tetapi metode penentuan efektivitas tabir surya belum optimal dan dalam penelitian tersebut
2
hanya satu konsentrasi 10% yang yang memiliki kemampuan proteksi ekstra terhadap sinar UV dan berdasarkan hasil uji pigmentasi diperoleh nilai sebagai sunblock namun transmisi eritema pada penelitian tersebut tidak mencapai nilai efektif sebagai sawar surya ( sunblock ) sebab tidak kurang dari 1%. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melanjutkan penelitian penel itian tersebut dengan fokus f okus pada uji efektivitas tabir surya menggunakan metode yang berbeda sehingga dapat diperoleh konsentrasi yang memiliki nilai SPF tertinggi dan memiliki nilai efektif sebagai sawar surya ( sunblock ). ). Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
peneliti
tertarik
untuk
melakukan penelitian ini dengan judul “ UJI EFEKTIVITAS TABIR SURYA (Oryza nivara)”. LOTION EKSTRAK BERAS MERAH (Oryza B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan masalah masalah penelitian sebagai berikut : ”Berapakah ” Berapakah konsentrasi tabir surya ekstrak beras merah yang mempengaruhi nilai SPF, nilai transmisi pigmentasi dan nilai transmisi eritema?” eritema?” C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah konsentrasi tabir surya ekstrak beras merah mempengaruhi nilai SPF. 2. Untuk mengetahui apakah konsentrasi tabir surya ekstrak beras merah mempengaruhi nilai transmisi pigmentasi. 3. Untuk mengetahui apakah konsentrasi tabir surya ekstrak beras merah mempengaruhi nilai transmisi eritema.
3
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi kepada masyarakat
tentang pemanfaatan ekstrak
beras merah sebagai lotion tabir surya. 2. Menambah keterampilan peneliti di bidang formulasi tabir surya. 3. Sebagai sumber pustaka dalam penelitian formulasi lotion.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rujukan Penelitian
Penelitian yang menjadi rujukan atau referensi dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Zahid, (2016) membuat formula mengenai lotion tabir surya ekstrak beras merah (Oryza nivara) formulasi dengan variasi konsentrasi ekstrak beras merah 2,5%, 5%, dan 10%. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa pada uji organoleptik terjadi perubahan pada aroma setelah cyling test seluruh formula adalah homogen, hanya formula A yang memenuhi syarat nilai pH, tipe emulsi seluruh formula sudah minyak dalam air, formula yang memiliki daya sebar paling besar adalah formula C, nilai SPF, transmisi eritema dan viskositasnya menunjukan bahwa lotion tabir surya beras merah memenuhi persyaratan sebagai tabir surya tapi transmisi pigmentasi pada formula A tidak memenuhi persyaratan. Berdasarkan hasil uji SPF eritema, pigmentasi pada formula A dengan konsentrasi 2,5% peroleh nilai SPF 5.3 (proteksi sedang), transmisi eritema diperoleh nilai 5,3 (proteksi ultra) dan transmisi pigmentasi 2,5 (tidak memenuhi syarat), pada formula B dengan konsentrasi 5% diperoleh nilai SPF 6,3 (proteksi ekstra), transmisi eritema diperoleh nilai 5,2 (proteksi ultra), dan transmisi pigmentasi diperoleh nilai 3,5 ( sunblock ), dan pada formula C diperoleh nilai SPF 7,0 (proteksi ekstra), transmisi eritema diperoleh nilai 5,12 (proteksi ultra) dan pada transmisi pigmentasi diperoleh nilai 3,2 ( sunblock ).
5
2.
Suda, (2013) melakukan
penelitian dengan memanfaatkan ekstrak beras
merah (Oryza nivara) sebagai tabir surya. Ekstrak yang diteliti adalah ekstrak etanol 96%. Untuk mengetahui aktivitas ekstrak tersebut dilakukan uji aktivitas secara in vitro dengan cara mengukur absorbansi atau transmitansi larutannya pada tingkat konsentrasi tertentu pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5nm.
Selanjutnya
evaluasi
dilakukan
dengan
menghitung
persentase transmisi eritema dan pigmentasi. Berdasarkan hasil perhitungan persentase eritema dan pigmentasi, konsentrasi 100 bpj ekstrak etanol beras merah dapat memberikan perlindungan kulit dari radiasi UV dengan persen transmisi eritema 0,6681 dan persentase transmisi pigmentasi 0,7001 sehingga dikategorikan sebagai sunblock. Peningkatan konsentrasi ekstrak disertai dengan peningkatan efek penyerapan sinar UV yang ditandai dengan semakin kecilnya nilai persen eritema maupun pigmentasi 3. Novia, dkk (2013) melakukan penelitian penentuan nilai SPF secara in vitro krim tabir surya ekstrak etanol kulit alpukat (Persea Americana Mill) dibuat dengan konsentrasi ekstrak kulit alpukat 5%, 7,5% dan 10%. Pada penentuan nilai SPF secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer menghasilkan nilai SPF yang didapat pada konsentrasi 5%= 3.99, 7.5% =5.88, dan 10%= 6.81. Hal ini membuktikan bahwa krim tabir surya yang dibuat tidak berkhasiat sebagai tabir surya karena sekarang ini nilai SPF tabir surya yang baik lebih dari 15. Krim ekstrak kulit alpukat diencerkan 4000 ppm, caranya diambil sebanyak 0,1 gram masing-masing krim ekstrak kulit alpukat (5%, 7,5%, 10%) dilarutkan dalam etanol 95% sebanyak 25 mL kemudian
6
dicampur hingga homogen. Sebelumnya spektrofotometer dikalibrasi dengan menggunakan etanol 95%. Caranya etanol sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam kuvet kemudian kuvet tersebut dimasukkan dalam spektrofotometer UV-Vis untuk proses kalibrasi. Setelah itu dibuat kurva serapan uji dalam kuvet, dengan panjang gelombang antara 290-320 nm, dan etanol 95% sebagai blanko. Serapan rata-ratanya (Ar) ditetapkan dengan interval 5 nm. Hasil absorbansi dicatat kemudian dihitung nilai SPFnya. B. Landasan Teori 1. Beras Merah ( Oryza nivara)
a. Klasifikasi Regnum
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae
Genus
: Oryza
Species
: Oryza nivara (Suardi, 2005).
Gambar 1. Tanaman oryza nivara (Rantelino, 2015)
7
b. Morfologi beras merah Gabah adalah butir padi yang telah rontok dari malainya. Butir gabah terdiri dari satu bagian yang dapat dimakan disebut “Caryopsis”dan satu bagian lagi yang merupakan struktur kulit yang disebut sekam. Bagian sekam adalah 18 sampai 28 persen dari bobot gabah. Bagian butir beras terdiri dari lapisan pericarp, testa atau tegmen, lapisan aleuron, endosperm dan embrio. Struktur gabah dapat dilihat pada
Gambar 2. Struktur gabah (Kuswardani, 2013)
Berdasarkan bentuk selnya, pericarp dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu pericarp, mesocarp dan lapisan melintang (cross layer ). Pericarp dengan tebal dinding sel 2 μm banyak mengandung bu tir-butir protein dan lemak. Dibagian bawah pericarp terletak lapisan testa yang banyak mengandung lemak. Lapisan aleuron yang terdiri dari sel-sel parenkim merupakan pembungkus endosperm dan lembaga yang kaya protein, lemak dan vitamin. Bagian endosperm terdiri dari sel parenkim yang 8
terdiri dari granula pati dan matrik protein. Tebal lapisan dinding sel endosperm adalah 0.25 μm. Dinding sel pericarp, aleuron dan selulosa. Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman (Adzkiya, 2011). c. Kandungan kimia Beras merah merupakan beras dengan warna merah dikarenakan aleuronnya mengandung gen yang diduga memproduksi senyawa antosianin atau senyawa lain sehingga menyebabkan adanya warna merah atau ungu. Kadar karbohidrat tetap memiliki komposisi terbesar, protein dan lemak merupakan komposisi kedua dan ketiga terbesar pada beras. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Pati berkisar antara 85- 90% dari berat kering beras. Protein beras terdiri dari 5% fraksi albumin, 10% globulin, 5% prolamin, dan 80% glutein. Kandungan lemak berkisar antara 0.3-0.6 % pada beras kering giling dan 2.4-3.9% pada beras pecah kulit. Beras
merah
diduga
memiliki
beberapa
keunggulan.
Salah
satu
keunggulan itu adalah adanya senyawa fenolik yang banyak terdapat pada beras merah. Senyawa fenolik memiliki spektrum atau jenis yang sangat banyak, mulai dari senyawa fenolik sederhana hingga yang senyawa komplek yang berikatan dengan gugus glukosa sebagai glikon. Salah satu kelompok senyawa fenolik yang memiliki manfaat sebagai antioksidan adalah skelompok senyawa flavonoid. Kelompok senyawa ini dibagi
9
menjadi beberapa golongan diantaranya flavone, flavon-3-ol, flavonone, flavan-3-ol dan antocyanidin (Adzkiya, 2011). Kelompok senyawa flavanoid seperti antosianin (bentuk glikon dari antosianidin) merupakan salah satu kelompok bahan alam pada tumbuhan yang berperan sebagai antioksidan, antimikroba, fotoreseptor, visual attractors, feeding repellant , antialergi, antiviral dan anti inflamasi. Senyawa ini lah yang diduga bertanggung jawab sebagai zat yang memberikan warna pada beras merah. Beras merah kaya akan metabolit sekunder terutama asam fenolat dan quinoline alkaloid, dan juga mengandung tokol (tokoferol dan tokotrienol). Beragamnya senyawa atau kelompok senyawa hasil metabolit sekunder diyakini memiliki berbagai macam fungsi yang menguntungkan bagi kesehatan diantaranya efek psikologis,
pertahanan
terhadap
sitotoksisitas,
aktivitas
anti
neurogeneratif, inhibisi glikogen phosporilase dan aktivitas antioksidatif. (Adzkiya, 2011). 2. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan (Mukhriani, 2014). Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
10
a. Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah cara ekstraksi simplisia dengan merendam dalam pelarut pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi metabolit dapat diminimalisasi. Pada maserasi, terjadi proses keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel sehingga diperlukan penggantian pelarut secara berulang. Kinetik adalah cara ekstraksi, seperti maserasi yang dilakukan dengan pengadukan, sedangkan digesti adalah cara maserasi yang dilakukan dengan pengadukan, dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu 40-60 ℃ (Hanani, E. 2015). Beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014). 2. Perkolasi Perkolasi adalah cara ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan mengalirkan pelarut melalui simplisia hingga senyawa tersari sempurna. Cara ini memerlukan waktu lebih lama dan pelarut yang lebih banyak. Untuk meyakinkan perkolasi sudah sempurna, perkolat dapat diuji adanya metabolit dengan pereaksi yang spesifik (Hanani, E. 2015). Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran
11
pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu (Mukhriani, 2014). 3. Sokhletasi Sokhletasi adalah cara ekstraksi menggunakan pelarut organik pada suhu didih dengan alat soxhlet. Pada sokhletasi, simplisia dan ekstrak berada pada labu berbeda. Pemanasan mengakibatkan pelarut menguap, dan uap masuk dalam labu pendingin. Hasil kondensasi jatuh bagian simplisia sehingga ekstraksi berlangsung terus-menerus dengan jumlah pelarut relative konstan. Ekstraksi ini dikenal sebagai ekstraksi sinambung (Hanani, E. 2015). Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya
adalah
senyawa
yang
bersifat
termolabil
dapat
terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih (Mukhriani, 2014).
12
b. Cara panas 1. Refluks Refluks adalah cara ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin baik. Agar hasil penyarian lebih baik atau sempurna, refluks umumnya dilakukan berulang-ulang (3-6 kali) terhadap residu pertama. Cara ini memungkinkan terjadinya penguraian senyawa yang tidak tahan panas (Hanani, E. 2015). 2. Destilasi Destilasi merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau menyari senyawa yang ikut menguap dengan air sebagai pelarut. Pada proses pendingin, senyawa dan uap air akan terkondensasi dan terpisah menjadi destilat air dan senyawa yang diekstraksi. Cara ini umum digunakan untuk menyari atsiri dari tumbuhan (Hanani, E. 2015). Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Mukhriani, 2014).
13
3.
Kulit
a. Anatomi Kulit Kulit adalah organ terbesar dari tubuh, terhitung sekitar 15% dari total berat badan manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsinya masing – masing (Baumann dan Saghari, 2009; Kanitakis, 2002).
Gambar 2. Anatomi Kulit
1) Lapisan Epidermis Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit, terdiri dari epitel skuamosa bertingkat yang terutama terdiri dari dua jenis sel yaitu sel keratinosit dan sel dendritik. Epidermis dibagi menjadi empat lapisan sesuai dengan morfologi keratinosit yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu lapisan sel basal (stratum basale), lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), dan lapisan sel cornified (stratum korneum) (James dkk. 2006; Baumann dan Saghari, 2009).
14
2) Lapisan Dermis Lapisan dermis terletak antara epidermis dan lemak subkutan. Lapisan ini yang menentukan ketebalan kulit, dan juga memiliki peran penting pada penampilan kosmetik kulit. Ketebalan lapisan dermis bervariasi pada berbagai bagian tubuh. Pada penuaan, terjadi penurunan ketebalan dan kelembaban pada lapisan ini. Di dalam dermis terdapat syaraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan sebagian besar dermis terdiri dari kolagen. Bagian paling atas lapisan dermis yang dekat dengan epidermis disebut dermis pars papilare dan bagian bawah dari lapisan dermis yang dekat dengan lemak subkutan disebut dermis pars retikulare (Baumann dan Saghari, 2009). Karakteristik dari dermis pars papilare adalah terdapat bundel kolagen yang kecil, kepadatan yang tinggi dan terdapat elemen vaskular. Pada pars retikulare terdapat bundel kolagen yang lebih besar, elastin yang matang, pembuluh darah, saraf, otot, polisebasea, kelenjar apokrin dan ekrin (Baumann dan Saghari, 2009). 3) Lapisan Subkutis Lapisan subkutis atau hipodermis terletak di bawah dermis, sebagian besar terdiri dari lemak, yang merupakan sumber energi yang penting bagi tubuh. Pada lapisan ini juga terdapat kolagen tipe I, III, dan V. Lapisan subkutis menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda – beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu
15
(Baumann dan Saghari, 2009). b.
Jenis kulit wajah Ada 4 jenis kulit wajah, yakni kulit kering, berminyak, normal dan kombinasi: 1) Kulit kering yaitu pada jenis kulit kering, kelenjar sebasea dan keringat
hanya dalam jumlah sedikit. Jenis kulit kering mempunyai ciri-ciri penampakan kulit terlihat kusam. 2) Kulit berminyak yaitu pada jenis kulit berminyak, kelenjar sebasea dan
keringat terdapat dalam jumlah banyak. Jenis kulit berminyak mempunyai ciri kulit wajah mudah berjerawat. 3) Kulit normal yaitu pada jenis kulit normal, jumlah sebasea dan
keringat tidak terlalu banyak karena tersebar secara merata. Ciri jenis kulit normal antara lain, kulit tampak lembut, cerah dan jarang mengalami masalah. 4) Kulit kombinasi yaitu pada jenis kulit kombinasi, penyebaran kelenjar
sebasea dan keringat tidak merata. Jenis kulit kombinasi mempunyai ciri kulit dahi, hidung dan dagu tampak mengkilap, berjerawat, tetapi kulit dibagian pipi tampak lembut (Dwikarya, 2003).
16
c. Fungsi kulit Menurut Syaifuddin (2006), fungsi kulit yaitu: 1) Fungsi Protektif Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi. 2) Proteksi rangsangan kimia Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air. 3) Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap begitu juga yang larut dalam lemak. 4) Fungsi kulit sebagai pengatur panas Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan lingkungan. Hal ini dikarenakan adanya penyesuaian antara panas yang dihasilkan oleh pusat pengatur panas, medulla oblongata. 5) Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa metabolism dalam tubuh seperti NaCl urea, asam urat ammonim.
17
6) Fungsi persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik didermis dan subkutis. Respon terhadap rangsangan panas diperankan oleh dermis subkutis, terhadap dingin diperankan oleh dermis, perabaan diperankan oleh epidermis. Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik. 4.
Lotion a. Definisi lotion Lotion didefinisikan sebagai campuran 2 fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang (Schmitt, 1996). Lotion adalah berupa larutan, suspensi atau emulsi yang dimaksudkan untuk pemakaian kulit. Pembuatan lotion harus dilakukan dengan teknik aseptik, yaitu sedapat mungkin harus dihindarkan terjadinya cemaran jasad renik ke dalam lotion terutama jika lotion tidak mengandung pengawet (Departemen Kesehatan, 1978). a. Keuntungan dan kekurangan lotion (Voigt, 1995) a) Keuntungan lotion Lebih mudah digunakan (penyebaran lotion lebih merata dari pada krim), Lebih ekonomis lotion menyebar dalam lapisan tipis), umumnya dosis yang digunakan lebih rendah, dan Kerja sistemnya rendah.
18
b) Kekurangan lotion Bahaya alergi umumnya lebih besar, Penyimpanan lotion tidak tahan lama, sediaan lotion kurang praktis dibawa kemanamana. 5. Evaluasi Fisik Lotion
Untuk mengetahui kestabilan
lotion, perlu
dilakukan
beberapa
pengujian yakni (Voigt, 1995). a. Organoleptik Organoleptik merupakan pengujian sediaan dengan menggunakan panca indra untuk mendeskripsikan bentuk atau konsistensi (misalnya padat, serbuk, cair) warna (kuning, coklat) dan bau (aromatik, tidak berbau). b. Homogenitas Homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui tercampurnya bahan-bahan pada sediaan. Dilihat apakah ada gumpalan atau partikel partikel kecil pada sediaan. c. Uji pH Uji pH digunakan untuk mengetahui apakah pH lotion sesuai dengan pH kulit. Produk kosmetik yang mempunyai pH sangat tinggi atau sangat rendah dapat membahayakan daya absorpsi kulit, sehingga menyebabkan kulit ter iritasi oleh sebab itu pH dari produk-produk kosmetik sebaiknya dibuat dengan pH kulit yaitu sekitar 4,5 - 6,5 (Wasitatmadja, 1997).
19
d. Pengujian tipe emulsi Pengujian
tipe
emulsi
dapat
dilakukan
dengan
metode
pengenceran, yaitu dimasukkan sampel kedalam gelas kimia, jika dalam sampel ditambahkan sedikit air, dan jika pengocokan atau pe ngadukannya diperoleh kembali emulsi yang homogen, maka emulsi yang berjenis M/A. Jika sampel dicampur dengan minyak, maka hal ini akan menyebabkan pecahnya emulsi. Pada jenis A/M akan diperoleh hasil yang sebaliknya (Voigt, 1995). 6. Tabir Surya
Tabir surya adalah sediaan yang mengandung senyawa kimia aktif yang dapat meyerap, menghamburkan, atau memantulkan sinar surya yang mengenai kulit, sehinggas dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit manusia dari kerusakan akibat sinar surya (Hansersenfeld dan Gilchrest, 1999). Bahan-bahan kimia tabir surya dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe perlindungan yang diberikan baik sebagai penghalang fisik atau penyerap kimia (Lowe dan Shaath, 1990). a. Penghalang Fisik Bahan kimia tabir surya ini memantulkan atau menghamburkan radiasi UV. Contoh penghalang fisik terutama titanium dioksida (TiO2), sengoksida (ZnO), dan petrolatum merah. Tabir surya ini menahan rentang cahaya paling luas termasuk sinar UV, sinar tampak, dan sinar inframerah.
b. Penghalang Kimia
20
Bahan penyerap kimia mengabsorpsi/menyerap radiasi UV yang berbahaya. Bahan-bahan kimia ini terbagi atas dua bergantung pada tipe radiasi yang dilindungi : 1) Penyerapan UV A adalah bahan-bahan yang cenderung menyerap radiasi dalam daerah 320-360 nm dari spektrum (benzopenon, antranilat, dan dibenzol metana) 2) Penyerap UV B adalah bahan-bahan kimia yang menyerap radiasi dalam daerah 290-320 nm dari spektrum UV (turunan PABA, salisilat, dan turunan kamfer) Syarat bahan aktif untuk sediaan tabir surya yaitu (Lowe dan Shaath, 1990): 1) Efektif menyerap radiasi UV B tanpa perubahan kimiawi, karena jika tidak demikian akan mengurangi efisiensi, bahkan menjadi toksik atau menimbulkan iritasi 2) Meneruskan UV A untuk mendapatkan tanning (kulit kaukasia/ eropa). 3) Stabil, yaitu tahan keringat dan tidak menguap 4) Mempunyai
daya
larut
yang
cukup
untuk
mempermudah
formulasinya 5) Tidak beraroma atau beraroma ringan 6) Tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menyebabkan sensitisasi
21
14 7. Pengukuran Efektivitas Tabir Surya
Pengukuran efektifitas tabir surya seccara in vitro dapat ditentukan persen (%) transmisi eritema, persen (%) transmisi pigmentasi, serta nilai Faktor Perlindungan Matahari (FPM) atau dikenal juga dengan ‘Sun Protection Factor’
(SPF) secara spektrofotometri.
a. Nilai transmisi eritema dan nilai transmisi pigmentasi Efektifitas tabir surya dapat ditentukan dengan metde penentuan persen eritema dan persen pigmentasi dengan menggunakan instrumen spektrofotometer UV-Vis. Ekstrak yang diperoleh diukur absrbansinya pada panjang gelombang 292-372 nm. Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung nilai serapan dan nilai transmitannya dengan rumus A=-log T atau T = shift log A. Nilai transmisi eritema di hitung dengan cara mengalihkan nilai transmisi dengan faktor efektifitas eritema pada panjang gelombang 292-372 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan cara mengalihkan nilai transmisi (T) dengan faktor efektifitas pigmentasi pada panjang gelombang 292-372 nm. Selanjutnya nilai persen transmisi eritema di hitung dengan rumus : ( Mansyur, 1986) % Te = %Tp=
∑ ∑Fp
= =
∑( ) ∑
∑( ) ∑Fp
Keterangan : % Te : nilai persen transmisi eritema %Tp : nilai persen transmisi pigmentasi Ee
: ∑ ( T x Fe )
Ep
: ∑ ( T x Fp ) 22
Berikut ini merupakan nilai fluks eritema (Fe) dan fluks pigmentasi (Fp) untuk sediaan tabir surya. Tabel 1. Transmisi Eritema Sediaan Tabir Surya
Rentang Panjang Gelombang (nm)
Fluks Eritema
290 – 295 295 – 300 300 – 305 305 – 310 310 – 315 315 – 320 Total fluks eritema
0,1105 0,6720 1,0000 0,2008 0,1364 0,1125 2,2322
T abel 2. Transmisi Pigmentasi Sediaan Tabir Surya
Rentang panjang Gelombang (nm) 320 – 325 325 – 330 330 – 335 335 – 340 340 – 345 345 – 350 350 – 355 355 – 360 360 – 365 365 – 370 370 – 375 Fluks total pigmentasi, 290
Fluks pigmentasi 0,1079 0,102 0,0936 0,0798 0,0669 0,057 0,0488 0,0456 0,0356 0,031 0,026 0,6942
23
Suatu tabir surya mendapatkan kategori penilaian sebagai berikut : Tabel 3. Kategori Penilaian Tabir Surya
% Te
% Tp
Kategori penilaian tabir surya
View more...
Comments