Intervensi Trauma dan Krisis

March 4, 2019 | Author: farah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

PERCERAIAN, DITINGGAL MATI PASANGAN, DAN HIDUP SENDIRI (KRISIS SITUASIONAL)...

Description

MAKALAH INTERVENSI TRAUMA DAN KRISIS PERCERAIAN, DITINGGAL MATI PASANGAN, DAN HIDUP SENDIRI (KRISIS SITUASIONAL)

Disusun untuk memenuhi tugas presentasi Mata Kuliah Intervensi Trauma Krisis yang diampu oleh : Ns. Abdul Wakhid, M.Kep.,Sp.Kep.Jiwa.

DISUSUN OLEH: Kelompok 3

Yuliana Santi

(010115a002)

 Nurul Amalina

(010115a088)

Krisna Wardani

(010115a065)

RA. Fatimah Farah

(010115a097)

Dimas Agil Yosa

(010115a032)

Putu Novi Ernawati

(010115a141)

Dwi Setiawati

(010115a035)

Yusi Lindiya Wati

(010115a139)

Farah Mahdiyyah M. (010115a040)

Sri Ulan Fatmaningsih (010115a124)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2018

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena  berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Intervensi Krisis dan Trauma Program Studi Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo. Makalah berisikan tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan krisis situasional, ini merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan Dosen dalam mata kuliah Intervensi Krisis dan Trauma, sekaligus salah satu syarat untuk memenuhi nilai kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Intervensi Krisis dan Trauma serta rekan rekan yang telah banyak membantu dalam membuat makalah ini. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari  bahwa dalam menyusun makalah ini masih mempunyai kekurangan,oleh sebab itu dengan dada lapang serta tangan dan hati terbuka kami mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Ungaran, 6 Maret 2018

Penyusun

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2 DAFTAR ISI ................................................ ..................................................... ................................................................ ........... 3 BAB I PENDAHULUAN a.

Latar Belakang ........................................................................ .................... 5

b.

Tujuan ................................................. .................................................... ....................................................... ... 5

c.

Rumusan Masalah .................................................................................... ... 6

BAB II KRISIS SITUASIONAL a.

Definisi ....................................................................................................... 7

 b.

Jenis Krisis Krisis .................................................. ............................................... 8

c.

Tahapan Krisis ............................................................................................ 9

d.

Mengatasi Krisis ....................................................................................... 10

BAB III PERCERAIAN a.

Definsi ...................................................................................................... 14

 b.

Faktor-faktor Penyebab Perceraian ................................................... ........ 14

c.

Jenis-Jenis dan tahapan perceraian............................................................ 17

d.

Kondisi Menjelang Perceraian Pe rceraian ................................................ .................. 19

e.

Dampak Perceraian ................................................................................... 20

f.

Mencegah Perceraian .............................................................. .................. 24

BAB IV DITINGGAL MATI PASANGAN DAN HIDUP SENDIRI a.

Ditinggal Mati Pasangan .......................................................................... 29

 b.

Hidup Sendiri .................................................................................... ........ 34

BAB V PENUTUP a. Kesimpulan ..................................................... ................................................................................................. ............................................ 43 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 44

3

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari hubungannya dengan orang lain.Sebagai makhluk sosial kita memerlukan hubungan interpersonal secara mendalam dengan seseorang sehingga dapat memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya. Hubungan yang demikian akan meningkat terus sehingga sampai pada suatu perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perkembangan ketika kita meningkat dewasa. Menurut Husein (2006) perkawinan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi fisik, asuhan keluarga,  pergaulan, cara berpikir (mental), pendidikan dan lain hal. Kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan Medan  pada tahun 2005 dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%. sedangkan jumlah duda karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah janda lebih banyak dibanding  jumlah duda, yaitu karena perempuan hidup lebih lama daripada laki-laki,  perempuan umumnya menikahi laki-laki yang lebih tua dari mereka sendiri, adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang perempuan menikahi laki-laki yang lebih muda, adanya norma-norma yang menentang perempuan yang telah menjanda menikah lagi (Ollenburger & Moore, 1996).

B. TUJUAN

1. Untuk mengetahui definisi krisis situasional 2. Untuk mengetahui jenis krisis situasional 3. Untuk mengetahui tahapan krisis situasional 4. Untuk mengetahui cara mengatasi krisis situasional 5. Untuk mengetahui definsi perceraian

4

6. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian 7. Untuk mengetahui kondisi menjelang perceraian 8. Untuk mengetahui dampak perceraian 9. Untuk mengetahui mencegah perceraian 10. Untuk mengetahui ditinggal mati pasangan 11. Untuk mengetahui hidup sendiri

C. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah definisi krisis situasional? 2. Apa saja jenis krisis situasional? 3. Apa tahapan krisis situasional? 4. Bagaimana cara mengatasi krisis situasional? 5. Apakah definsi perceraian? 6. Apa saja faktor-faktor penyebab perceraian? 7. Apa saja kondisi menjelang perceraian? 8. Apa dampak perceraian? 9. Bagaimana cara mencegah perceraian? 10. Bagaimana dampak ditinggal mati pasangan? 11. Apa arti hidup sendiri?

5

BAB II KRISIS SITUASIONAL

A. PENGERTIAN

Krisis merupakan suatu keadaan yang berbahaya / parah sekali / genting / suram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008. Webster’s New World (1996) mendefinisikan krisis sebagai “a turning point in the course of anything” artinya “suatu titik balik dalam sesuatu”. Para dokter membicarakan krisis yang mereka maksud ialah saat-saat terjadi perubahan dalam suatu penyakit baik  perubahan menjadi baik atau perubahan menjadi lebih parah. Dalam bahasa Yunani, Krisis berati keputusan (Nova, 2009), krisis tidak dianggap sebagai petaka yang menghentikan atau mematikan momentum untuk  perbaikan dan mencari peluang dibaliknya. Krisis merupakan suatu reaksi dari dalam diri seseorang terhadap suatu  bahaya dari luar. Suatu krisis biasanya meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi masalah selama sementara waktu, kehilangan orang terdekat dan masalah-masalah lainnya. Jika seseorang mengalami masalah secara efektif maka ia dapat kembali berfungsi sebagai keadaan sebelum krisis. Dengan kata lain, krisis dapat menjadi titik balik bisa menuju ke arah perbaikan atau kehancuran tanpa penyelesaian, karena keadaan tidak seimbang menghadapi peristiwa yang terjadi, seseorang akan mengalami krisis. Suatu krisis dapat bermula dari empat sumber yaitu: diri sendiri, orang lain, iblis dan Tuhan (Seng, 2008). Adapun penjelasan dari empat hal tersebut antara lain: a) Diri sendiri, lebih disebabkan karena keegoisan manusia sehingga ditindas oleh keinginan implusif.  b) Orang lain, dapat menjadi sumber terbesar dalam mendorong timbulnya krisis, baik itu istri, anak, teman, orangtua atau sanak saudara.

6

c) Iblis, merupakan

sumber yang terhebat dalam mempenagruhi manusia

untuk mengikuti godaannya sehingga menimbulkan peperangan rohani yang akan berdampak pada krisis. d) Tuhan, Tuhan memberikan krisis kepada manusia yang tidak taat padanya agar lebih dekat dan taat padanya.

B. JENIS KRISIS

Collins (2000) menyebutkan ada tiga jenis krisis antara lain: 1. Krisis Situasional.

Krisis ini tiba-tiba dan tak terduga, misalnya : kematian orang yang dicintainya, diketahuinya sutau penyakit yang kronis, pengalaman akan pemerkosaan atau penganiayaan, kehamilan diluar nikah, gangguan sosial seperti perang atau depresi ekonomi, kehilangan  pekerjaan atau penghasilan, kehilangan kehormatan dan status, semua itu adalah tekanan situasional yang dapat mempengaruhi baik individu yang bersangkutan maupun keluarga. Dampak krisis yang datang dari luar keluarga berupa panganiayaan,  bencana alam, kebakaran, sering kali dapat lebih meyakinkan keluarga sehingga anggota-anggota keluarga lainnya saling bekerjasama memecahkan krisis. Jika berasal dari dalam keluarga itu sendiri seperti usaha-usaha bunuh diri, ketidaksetiaan, penganiayaan anak, kecanduan alkohol, krisis akan terasa lebih menganggu dan cenderung membuat keluarga yang mengalaminya menjadi terpecah belah. Akan tetapi krisis akan lebih berbahaya jika krisis situasional itu datang silih  berganti secara kontinue. 2. Krisis development.

Krisis ini merupakan krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal seseorang dalam kehidupannya. Waktu seseorang mulai  bersekolah, masuk ke perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan  perkawinan dan peran sebagai oarang tua baru, menghadapi kritikan,

7

menghadapi pensiun atau kesehatan yang menurun, atau menerima kematian sahabat-sahabatnya. Semua krisis ini adalah krisis yang menuntut

pendekatan-pendekatan

baru

supaya

orang

dapat

menghadapi dan memecahkan masalah. 3. Krisis Eksistensial.

Krisis ini merupakan perpaduan krisis situasional dan development. Ada saatnya dalam hidup yang ada didalamnya manusia dihadapkan dengan kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri. Untuk membuat seseorang sadar akan kenyataan hidupnya itu  butuh waktu yang cukup dan usaha pribadi untuk menerimanya. Manusia dapat menyangkalnya untuk sementara waktu, namun pada suatu saat juga harus menghadapinya secara realistis. Krisis

ini

membentuk

dapat

memberikan

karakter,

pengalaman-pengalaman

memberikan

pengetahuan,

untuk

menambah

 pengalaman hidup, dan menstimulasi pertumbahan iman. Alasan dari suatu krisis hidup tidak pernah diketahui sesama manusia masih ada didunia.

C. TAHAPAN KRISIS

Menurut Nova (2009 : 110) ada lima tahapan dalam siklus hidup yang perlu dikenali. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pre-crisis (sebelum krisis), merupakan kondisi yang terjadi sebelum sebuah krisis muncul atau dengan kata lain benih krisis. 2. Warning (peringatan), yaitu tahap yang perlu dikenali sekaligus jalan keluar pemecahannya dan jika dibiarkan akan sangat merusak. Krisis dapat dengan mudah muncul pada tahap ini, dapat disebabkan ketakutan ataupun menganggap sepele. Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah kaget, meyangkal dan pura-pura merasa aman. 3. Acute crisis (krisis parah), yaitu krisis mulai terbentuk dan tidak dapat  berdiam diri karena sudah menimbulkan kerugian. Pada tahap ini

8

segala kemampuan dan kekuatan yang dimiliki akan diuji baik  pengetahuan, logika berfikir, pengalaman mengatasi krisis, maupun hubungan sosial dengan sesama untuk dapat memberikan masukanmasukan jalan keluarnya. 4. Tahap clean up (pembersihan). Saat melewati tahap warning jika tidak diselesaikan sesegera kerusakan pasti timbul dan pada tahap ini adalah tahap untuk memulihkan atas kerusakan dari tahap warning. Saat  pemulihan ini akan banyak tekanan yang akan dialaminya. Namun akan timbul hikmah dibalik itu semua, bagaimana menghadapi krisis serta dampaknya masalah yang sama tidak akan pernah terulang lagi. 5. Tahap Post Crisis (sesudah krisis). Jika sejak tahap warning tidak segera diatasi maka akan menimbulkan krisis yang sesungguhnya yang  pada akhirnya akan menimbulkan trauma, kekalahan, kehancuran dan sulit bangkit. Namun jika berhasil ditangani saat pada tahap warning krisis tidak akan terjadi secara berkelanjutan dan dari krisis tersebut kita bisa bangkit kembali karena mengambil hikmah yang terjadi.

D. MENGATASI KRISIS

1. Krisis pada kehidupan orang lain Menurut

Wright (2009), ada beberapa langkah yang diterapkan untuk

menolong seseorang yang sedang menghadapi krisis, antara lain : a. Intervensi langsung dengan konselor (orang yang memberi konseling). Krisis sering dianggap oleh konselir sebagai hal yang sangat menakutkan.Sehingga mereka harus segera ditolong/diintervensi oleh konselor agar mereka tidak menghancurkan diri mereka sendiri dan dapat segera meringankan krisis yang dialaminya. Apalagi jika orang yang sedang mengalami krisis tersebut dikenal. Hubungi dan temuilah orang tersebut karena perhatian yang diberikan dapat memberikan kelegaan dan penghiburan bagi konselir.

9

Intervensi langsung ini sering digunakan dalam konseling krisis dengan tahap permulaan menompang atau memberi dorongan semangat

untuk

mengurangi

kegelisahan,

rasa

bersalah,

dan

ketegangan serta untuk mengatasi perasaan tak berdaya dan keputusannya. Jika terlambat, akibat paling

hebat akan terjadi,

misalnya: bunuh diri, pembunuhan, melarikan diri, menyakiti diri sendiri ataupun kehancuran keluarga.  b. Mengambil tindakan. Dengan segera konselor perlu mengingatkan konseli untuk menyikapi krisis secara positif. Pertemuan pertama konseling merupakan awal penting bagi konselor. Arahkan konseli agar partisipasi aktif untuk keberhasilan konseling. Dalam interaksi, konselor diharapkan mendengarkan dengan seksama semua respon konseli. Ketahuilah apa yang sebenarnya terjadi dengan diri konseli, orang-orang yang terlibat, waktu yang terjadi. Kumpulkan semua informasi dan masalah untuk menentukan masalah-masalah penting untuk diselesaikan dengan segera dan masalah-masalah yang dapat ditunda. Konselor harus menjadi pendengar yang baik, sabar dan tidak terburu-buru. Dalam mengambil tindakan seorang konselor harus memperhatikan etika dan norma-norma yang berlaku agar tidak menyimpang. c. Mencegah resiko kehancuran. Sasaran utama dalam konseling krisis yaitu mencegah kehancuran atau memulihkan orang tersebut pada keadaan yang seimbang. Konselor harus menolong orang tersebut untuk

mencapai

sasaran

walau

ada

sedikit

tantangan

untk

mencapainya. Seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan perlu  bantuan konselor dengan harapan konseli mampu menyusun suatu daftar tentang kualifikasi, kemampuan dan pengalaman kerjanya untuk memulai mencari pekerjaan baru. Jika terlaksana dengan baik, konseli akan memberikan perasaan lega dan mendorong semangat positif.

10

d. Membangun harapan positif akan masa depan. Orang yang sedang mengalami krisis pasti mengalami perasaan putus asa sehingga perlu untuk membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang  positif. Memberikan dorongan untuk menyelesaikan masalah mereka, untuk menolong seseorang mencapai ke seimbangannya adalah dengan interaksi dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang dia  butuhkan. e. Memberi dukungan. Dukungan sosial, dukungan dari saudara, teman, atau orang terdekatnya yang bersedia mendengarkan keluhannya, membicarakan masalah bersama. f.

Pemecahan masalah yang terfokus. Mencari jalan keluar untuk memecahkan maasalah krisis. Konselor akan mengarahkan konseli untuk memilih salah satu cara bertindak dan dorongan dia untuk melakukannya. Lakukan tahapan proses untuk mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan salah mengambil langkah sehingga akan merusak dirinya sendiri.

g. Membangun harga diri. Melindungi dan meningkatkan citra diri konseli untuk mengurangi rasa gelisah karena harga diri yang rendah. Menguatkan

konseli

bahwa

mereka

memiliki

kekuatan

dan

kemampuan untuk menghadapi krisis. Konseli harus optimis terhadap kemampuannya

menyelesaikan

kerjasama

kebersamaan

dan

masalahnya memikirkan,

sendiri.

Ciptakan

merencanakan

dan

mendoakan semua langkah yang mau diambil bersama untuk memecahkan masalah bersama. h. Menanamkan rasa percaya diri. Memberikan dorongan agar konseli melakukan sesuatu dengan berhasil walau mungkin hanya langkahlangkah kecil. Percaya diri akan terbangun dalam diri konseli ketika ia mau

terlibat

dalam

perencanaan

dan

usaha

menyelesaikan

 permasalahannya sendiri.

11

2. Krisis pada diri sendiri a. Tetapkan kebutuhan  b. Bedakan antara keinginan dan kebutuhan c. Mendapatkan hal yang kita butuhkan d. Tidak hidup melampaui kemampuan. Hidup sesuai kemampaun dan  bertanggung jawab untuk melakukan

yang telah kita putuskan.

Jauhkan kesombongan dari pada menjadi miskin. e. Menarik diri dari hal-hal yang tidak penting. f.

Menunda proyek-proyek besar.

g. Menghargai barang-barang milik pribadi. h. Selalu bersyukur atas pemberian Tuhan.

12

BAB III PERCERAIAN A. DEFINISI

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah  psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson &DeFrain, 2003). Di sisi lain, mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri, akan diikut sertakan kepada salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya (Olson & DeFrain, 2003).

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

Perceraian sebagai sebuah cara yang harus ditempuh oleh pasangan suamiistri ketika ada masalah-masalah dalam huhungan perkawinan mereka takdapat diselesaikan dengan baik. Perceraian bukanlah tujuan akhir dari suatu perkawinan, akan tetapi sebuah bencana yang melanda mahligai  perkawinan

antara

pasangan

suami-istri. Menurut

para

ahli,

seperti

 Nakamura(1989), Turner & Helms (1995), LusianaSudarto & Henny E. Wirawan (2001), ada beberapa faktor penyebab perceraian yaitu : a) Kekerasan Verbal Kekerasan verbal (verbal violence) merupakan sebuah penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pasangan terhadap pasangan lainnya, dengan menggunakan kata-kata, ungkapan kalimat yang kasar, tidak menghargai, mengejek, mencaci-maki, menghina, menyakiti perasaan dan

merendahkan

harkat-martabat.

Akibat

mendengarkan

dan

13

menghadapi perilaku pasangan hidup yang demikian, membuat seseorang merasa terhina, kecewa, terluka batinnya dan tidak betah untuk hidup berdampingan dalam perkawinan.

 b) Masalah atau Kekerasan Ekonomi Salah

satu

faktor

keberlangsungan

dan

kebahagiaan

sebuah

 perkawinan sangat dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi-finansialnya. Kebutuhan-kebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila  pasangan suami-istri memiliki sumber finansial yang memadai. Dalam masyarakat

tradisional

maupun

modern,

seorang

suami

tetap

memegang peran besar untuk menopang ekonomi keluarga, sehingga mau tidak mau seorang suami harus bekerja agar dapat memiliki  penghasilan. Oleh karena itu, dengan keuangan tersebut akan dapat menegakkan kebutuhan ekonomi keluarganya. Sebaliknya dengan adanya kondisi masalah keuangan atau ekonomi akan berakibat buruk seperti kebutuhan-kebutuhan keluarga tidak dapat terpenuhi dengan baik, anak-anak mengalami kelaparan, mudah sakit, mudah menimbulkan konfliks pertengkaran suami-istri, akhirnya  berdampak buruk dengan munculnya perceraian (Nakamura, 1990). Di sisi lain, ada keluarga yang berkecukupan secara finansial, namun suami memiliki perilaku buruk yaitu berupaya membatasi sumber keuangan kepada istrinya. Hal ini dinamakan kekerasan ekonomi. Yang dimaksud dengan kekerasan ekonomi yaitu suatu kondisi kehidupan finansial yang sulit dalam melangsungkan kegiatan rumah tangga, akibat perlakuan sengaja dari pasangan hidupnya, terutama suami. Walaupun seorang suami berpenghasilan secara memadai, akan tetapi ia membatasi pemberian uang untuk kegiatan ekonomi rumah tangga, sehingga keluarga merasa kekurangan dan menderita secara finansial.

14

c) Keterlibatan dalam Perjudian Perjudian (gambling) merupakan aktivitas seseorang untuk memperoleh keberuntungan yang lebih besar dengan mempertaruhkan sejumlah uang tertentu. Seorang suami seharusnya menganggarkan kebutuhan finansial untuk keperluan keluarga secara bijaksana. Penghasilan yang diperoleh melalui usaha atau bekerja, dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan sebagian lagi ditabung (investasi) untuk keperluan masa depan, seperti keperluan membeli rumah, mobil atau, pendidikan anak-anak.  Namun ketika seorang suami melupakan atau mengabaikan kebutuhan keluarga, sehingga semua penghasilan dipertaruhkan untuk kegiatan perjudian, maka hal ini sangat mengecewakan bagi istri maupun anak-anak. Mereka tidak dapat menikmati kehidupan yang sejahtera dan selalu menderita secara finansial. Oleh karena itu, mereka protes dan menggugat untuk bercerai dari suami, daripada hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Sebab judi tak akan  pernah menyebabkan seseorang menjadi kaya-raya, tetapi selalu membawa kesengsaraan hidup.

d) Keterlibatan dalam Penyalahgunaan Minuman Keras / Narkoba Banyak orang yang memiliki perilaku temperamental, agresif, kasardan tidak bisa mengendalikan emosi, akibat penyalah-gunaan dan ketergantungan

terhadap

minum-minuman

keras

atau

narkoba

(narkotika dan obat-obatan terlarang). Sebagai suami, seharusnya dapat bersikap bijaksana, sabar dan membimbing istrinya. Demikian pula, ketika berperan sebagai ayah, maka perilaku seorang laki-laki dewasa dapat menunjukkan pribadi yang matang untuk membina, mendidik dan mengarahkan anak-anak untuk tumbuh dewasa. Namun akibat pengaruh ketergantungan alkohol atau obatobatan, sehingga gambaran suami dan ayah yang bijaksana tak dapat

15

dipenuhi dengan baik, tetapi justru berperangai sangat buruk. Hal ini tentu menyebabkan penderitaan dan tekanan batin bagi istri maupun anak-anaknya. Dengan dasar pemikiran tersebut, akhirnya seorang istri dapat menggunggat untuk bercerai dari suaminya.

e) Perselingkuhan Perzinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang syah, padahal ia telah terikat dalam perkawinan secara resmi dengan pasangan hidupnya. Jadi perselingkuhan sebagai aktivitas hubungan sexual di luar  perkawinan

(extra-marital

sexual

relationship)

(Soesmaliyah

Soewondo, 2001) dan mungkin semula tidak diketahui oleh pasangan hidupnya,

akan

tetapi

lama

kelamaan

diketahui

secara

pasti

(Satiadarma, 2001). Oleh karena itu, seseorang akan merasa sangat kecewa, sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah mengetahui bahwa pasangan hidupnya melakukan parselingkuhan, sebab dirinya telah dikianati secara diam-diam. Akibat semua itu, kemungkinan seseorang memilih untuk bercerai dari pasangan hidupnya (Lusiana Sudarto & Henny E. Wirawan, 2001). Perselingkuhan dapat dilakukan oleh siapa saja yaitu tergantung siapa yang melakukannya apakah dilakukan oleh seorang suami atauseorang istri (Satiadarma, 2001)

C. JENIS  –  JENIS DAN TAHAPAN PERCERAIAN

Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu : 1) Cerai hidup Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan karena tidak tercapainya kata

16

kesepakatan mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka. 2) Cerai mati Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang dicintai. Perceraian menjadi salah satu persoalan yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan pengambilan keputusan yang penting. Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu : 1) Perceraian Emosional merupakan awal persoalan dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk perceraian ini adalah tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul. Perilaku perilaku yang muncul diantanya adalah konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan kebencian. 2) Perceraian

Legal

memerlukan

lembaga

pengaduan

untuk

memutuskan ikatan perkawinan. Pasangan biasanya mengalami kelegaan, jika perceraiannya telah diputuskan secara legal dimana  berbagai ekspresi emosional akan muncul pada tahap ini. 3) Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap dimana pasangan telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka masing-masing. Pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang  penengah karena biasanya Kedua pasangan menunjukkan reaksi

17

kebencian,

kemarahan,

dan

permusuhan

berkaitan

dengan

 pembagian harta kekayaan. 4) Perceraian antar orang tua merupakan tahapan keempat yang  berkenan dengan persoalan pengasuhan anak. Ke khawatiran dan  perhaatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali muncul dalam tahap ini. 5) Perceraian Komunitas menunjukkan bahwa status individu dalam hubungan sosial menjadi berubah. Banyak individu yang bercerai merasa bahwa mereka terisolasi dan kesepain. 6) Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi individu yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali  peran-peran dan penyesuaian mental. Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu saat menghadapi  perceraian umumnya adalah reaksi – reaksi yang bersifat emosional. Rekasi tersebut

tampak

dengan

wujud

penyangkalan

terhadap

kenyataan

 perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada akhirnya setuju untuk bercerai, hanya ketika melihat kenyataan bahwa  perceraian merupakan keputusan yang terbaik dari pada mempertahankan  perkawinan yang sudah tidak harmonis.

D. KONDISI MENJELANG PERCERAIAN

Situasi dan kondisi menjelang perceraian yang diawali dengan proses negosiasi antara pasangan suami istri yang berakibat pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masingmasing pihak. Mereka seolah-olah tidak dapat lagi mencari jalan keluar yang  baik bagi mereka berdua. Perasaan tersebut kemudian menimbulkan  permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak yang membuat hubungan antara suami istri menjadi semakin jauh.

18

Kondisi ini semakin menghilangkan pujian serta penghargaan yang diberikan kepada suami ataupun istri pada hal pujian dan penghargaan tersebut merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu  perkawinan. Hal ini mengakibatkan hubungan suami istri semakin jauh dan memburuk. Mereka semakin sulit untuk berbicara dan berdiskusi bersama serta merundingkan segala masalah-masalah yang perlu dicari jalan keluarnya. Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai orang lain. Akibatnya akan terjadilah perceraian (Scanzoni dan Scanzoni, 1981).

E. DAMPAK PERCERAIAN

1) Traumatik Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam

dan

butuh

waktu

bertahun-tahun

untuk

penyembuhan

(Tomlinson & Keasey, 1985). Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih  besar dari pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial. Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki

dan

perempuan

yang

bercerai

memiliki

tingkat

kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang dewasa yang sudah menikah. Hurlock (1996)

19

Dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.

2) Perubahan Peran dan Status Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum  bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami. Hal ini karena orangorang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan

perkawinan

dengan

definisi

personal

mereka

tentang

maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak. Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya. Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang  bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka

20

dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orangorang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.

3) Sulitnya Penyesuaian Diri Kehilangan

pasangan

karena

kematian

maupun

perceraian

menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya.

Namun jika pria

yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996). Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan  perceraian.

Individu

itu

bereaksi

terhadap

perceraiannya

dengan

mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya. Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu o

Menyangkal bahwa ada perceraian,

o

Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,

21

o

Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,

o

Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap kelurga,

o

Dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai.

Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak  bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi

perceraian ini, khususnya jika anak-anak memandang bahwa

kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang

mengacaukan

kognitifnya.

Masa

ketika

perceraian

terjadi

merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi. Namun banyak wanita dan pria yang merasa  beruntung

dengan

adanya

perceraian,

dengan

pengertian

bahwa

 perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan  bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian  pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama  pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi  penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.

22

F. MENCEGAH PERCERAIAN

Ada beberapa cara yang dapat dipertimbangkan, saat rumah tangga berada diambang perceraian. Berikut adalah beberapa diantaranya: 1. Cari Sumbernya Ada asap pasti ada api. Demikian juga halnya dengan kehidupan rumah tangga. Keputusan untuk bercerai tentunya bukan tanpa sebab. Karena itu, carilah sumber dari hal ini. Jika sumber permasalahannya sudah dapat ditemukan, cobalah untuk menyelesaikan dengan baik-baik. Sebab setiap masalah tentu mempunyai jalan keluar. Apapun masalah yang menjadi sumber dari keputusan cerai yang akan diambil, sebaiknya pertimbangkan dengan matang. Sebab, jika kita sudah menemukan sumber permasalahannya, maka keputusan yang tepat akan dapat diambil, apakah akan meneruskan keputusan untuk bercerai, atau tidak. 2. Introspeksi Bilasudah mengetahui penyebab kenapa ingin bercerai, cobalah untuk  berintropeksi. Ini yang seringkali sulit dilakukan. Pasalnya, masingmasing pasangan pasti merasa dirinyalah yang benar. Mereka tak bakal  bisa menerima kenyataan bahwa merekalah pangkal sebab munculnya niat cerai. Mungkin,seseorang malu mengakui secara jujur kekurangannya, tapi coba menjawab dengan jujur pada diri sendiri bahwa yang dikatakan  pasangan ada benarnya. 3. Jangan membesarkan masalah Jika sudah tahu sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya jangan memperbesar masalah. Juga, jangan mencari masalah  baru. Pasalnya, ini justru akan memperkeruh suasana. Cobalah untuk mencari solusi sebaik-baiknya.

23

4. Pisah sementara Meski sepertinya sangat tak enak, cara ini bisa menjadi jalan terbaik untuk menghindari perceraian. Pisah untuk sementara waktu akan membantu suami-istri untuk menenteramkan diri sekaligus menilai, keputusan apa yang sebaiknya ditempuh. Kenapa harus pisah rumah? Pasalnya, dua hati yang sama-sama sedang panas, sebaiknya tak bertemu setiap hari. Jika setiap hari bertemu, yang terjadi bukan membaik, malah  justru bakal semakin panas. Bisa-bisa ribut terus dan tidak ada titik temu. Yang dibahas setiap hari pasti akan balik ke masalah yang itu-itu saja. Anda bisa misalnya “mengungsi” dulu ke rumah orang tua, sementara suami pindah dulu sementara ke rumah orang tuanya. Pisah rumah akan membantu mendinginkan hati yang sedang memanas, sehingga Anda dan suami dapat berpikir jernih. 5. Komunikasi Apapun, komunikasi merupakan fondasi sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam perkawinan. Tanpa komunikasi, hubungan tak bakal bisa  bertahan. Jadi, seberat apapun situasi yang tengah Anda hadapi, sebaiknya tetap lakukan komunikasi dengan pasangan. Bahkan setelah Anda dan suami sama-sama hidup terpisah, cobalah untuk tetap berkomunikasi. Coba diskusikan bersama, langkah terbaik apa yang bisa Anda berdua lakukan untuk menghindari perceraian, untuk mempertahankan mahligai rumahtangga. Tak mudah memang, tapi jika Anda berdua sudah berpisah untuk sementara waktu, situasi panas barangkali sudah lewat, sehingga Anda berdua sudah siap untuk berkomunikasi. Jangan merasa malu atau gengsi untuk saling menghubungi. 6. Libatkan keluarga Jika kenyataannya, pasangan sudah tidak dapat diajak berkomunikasi atau selalu berusaha menghindar, cobalah libatkan anggota keluarga yang

24

memang dekat dengannya. Orang tua, kakak atau pamannya misalnya. Pokoknya, siapa saja yang bisadiajak berbicara. Jangan pernah menutupi akar permasalahan yang ada kepada mereka, tetapi berterus teranglah. Katakan juga, apa sebetulnya kekurangan Anda maupun kekurangan suami. Siapa tahu, mediator ini dapat melunakkan hati Anda dan  pasangan, sekaligus mencarikan solusi untuk kembali bersatu. 7. Cari teman curhat Menghadapi

perceraian

tentu

akan

membuat

pikiran

runyam,

 pekerjaan terbengkalai dan bingung harus berbuat apa. Kondisi tidak nyaman ini bisa Anda atasi bila Anda bisa berbagi dengan orang terdekat, sahabat misalnya. Dengan berbagi, beban pikiran Anda akan terasa lebih ringan. Yang harus dicermati, jangan mencari teman curhat yang lawan  jenis. Carilah teman curhat sesama jenis. Pasalnya, bila Anda bercerita, mengungkapkan uneg-uneg Anda pada teman pria, belum tentu sepenuhnya ia akan mendukung Anda untuk kembali bersatu dengan suami. Bisa jadi ia malah menggoda Anda, dan jika Anda akhirnya benar benar tergoda, yang muncul akhirnya malah masalah baru. 8. Ingat anak Anak biasanya menjadi senjata terampuh untuk meredam konflik antara suami-istri. Jadi, bila ternyata antara Anda dan suami sama¬sama menginginkan perceraian, cobalah ingat anak-anak Anda, buah cinta kasih Anda dan suami. Ingatlah bahwa mereka masih sangat membutuhkan Anda dan suami. Apakah mereka harus menjadi korban perceraian karena keegoisan orang tuanya? Lantas, setelah bercerai, kemana dan kepada siapa mereka harus ikut, istri atau suami?

25

9. Kesampingkan ego pribadi Jika memang masih menginginkan keutuhan rumahtangga, segera  buang jauh-jauh ego yang ada dalam diri. Jangan merasa diri selalu benar dan selalu menyudutkan pasangan, begitu pula sebaiknya. Sadarilah  bahwa apa yang terjadi sekarang adalah kesalahan Anda dan suami. Kalaupun selama ini ada sakit hati yang terselip, cobalah untuk saling memberi maaf. 10. Jujur pada diri sendiri Jujurlah pada diri sendiri, apakah sudah siap mental untuk berpisah selamanya? Perceraian tidaklah semudah yang dibayangkan. Berpisah lalu hidup tenang. Tidak selamanya perceraian membuat kehidupan menjadi  bahagia. Bisa jadi justru sebaliknya, lebih hancur. Banyak masalahmasalah di kemudian hari yang berbuntut panjang. Mulai anak, harta gono-gini sampai hubungan antar-keluarga yang ikut tidak harmonis. Pertimbangkan benar, apa dampaknya bagi Anda dan keluarga jika  perceraian itu benar-benar terjadi. 11. Banyak berdoa Banyak berdoa dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dapat membantu permasalahan Anda. Mintalah petunjuk dari-Nya. Dengan semakin bertekun dan mendekat kan diri, insya Allah doa Anda akan terjawab 12. Buka lembaran baru Jika Anda dan suami akhirnya bisa kembali rukun, maka Anda harus siap membuka lembaran baru bersama suami. Jangan pernah mengungkitungkit persoalan dan penyebab Anda berdua pernah berniat untuk  bercerai. Sekali Anda mengungkit-ungkit, bisa jadi Anda akhirnya akan  benar-benar bercerai. Yang paling penting adalah saling mengingatkan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.

26

BAB IV DITINGGAL MATI PASANGAN DAN HIDUP SENDIRI

A. DITINGGAL MATI PASANGAN

Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri adalah pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam Lemme, 1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting dalam hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan,  pertengahan pernikahan, maupun ketika usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang suami atau istri kehilangan pasangannya adalah kematian. Menurut Dayakisni (2003), diantara orang-orang yang tidak menikah (yang  belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian  pasangannya. Selain itu, dari hasil penelitian Holmes dan Rahe (dalam Calhoun & Acocella, 1990) terlihat bahwa tingkat kesulitan penyesuaian diri yang paling  besar adalah penyesuaian diri terhadap kematian suami atau istri. Hal ini berarti kehilangan pasangan karena kematian merupakan hal yang paling menyebabkan seseorang mengalami stres. Kematian suami menyebabkan seorang istri menjadi  janda sedangkan kematian istri menyebabkan suami menjadi duda. Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa dimensi masalah. Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi 1.  perubahan terhadap konsep diri.

Peran penting perempuan sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti

27

kehilangan orang yang mendukung definisi diri yang dimilikinya (Nock, 1987). 2. Kesulitan Ekonomi

Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999). Ketidakhadiran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah  bagi keluarga menyebabkan seorang janda harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001). 3. Perubahan Fisik 

Dari segi fisik, kematian pasangan menyebabkan peningkatan konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). Rosenbloom & Whitington (dalam Scannell-Desch, 2003) menemukan  bahwa gizi buruk berhubungan dengan perubahan kebiasaan makan pada  janda. Selain kehilangan teman saat makan, dia juga tidak merasakan lagi suasana yang menyenangkan saat makan bersama suami, dia menjadi tidak  peduli terhadap pemilihan makanan dan kualitas nutrisi. Mereka juga dilaporkan tidak makan sebanyak tiga kali sehari dan makanan mereka adalah makanan yang tinggi kalori dan rendah lemak. 4. Perubahan Kehidupan Sosial Kehidupan sosial mereka juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001).

28

Masalah yang sering muncul adalah tentang hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Perempuan yang menjanda juga mengatakan bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi dimana dia harus  bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004). Perempuan yang menjanda mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman dalam situasi sosial dimana dulunya dia diterima. Hubungan dengan teman mungkin akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Dia harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru (Barrow, 1996). 5. Dukungan Emosional Secara emosional, janda yang telah kehilangan suaminya juga kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996). Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan tanda dan gejala terakhir dari penyakit suaminya, ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya, dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann dalam Nock,1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun. Mereka merasa marah pada suaminya karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987).

29

DUKUNGAN SOSIAL

Kehilangan

pasangan

serta

banyaknya

masalah

yang

muncul

menyebabkan masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan social (Lemme, 1995). Kehilangan

pasangan

serta

banyaknya

masalah

yang

muncul

menyebabkan masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan social (Lemme, 1995). Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun  bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 2002). Dukungan sosial yang dibutuhkan seseorang dapat berasal dari keluarga, teman, perkumpulan di tempat kerja, dan dari anggota kegiatankegiatan yang diikutinya (Lopata dalam Craig, 1996). Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu (Sarafino, 2002)., yaitu : 1. Dukungan emosional 2. Penghargaan 3. Instrumental 4. Informasi 5. Dukungan kelompok Kelima bentuk dukungan social inilah yang nanti digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang diterima individu. Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki teman berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Kematian pasangan yang dialami seorang janda menyebabkannya harus mengatasi masalah seorang diri. Penyesuaian kehilangan pasangan merupakan tugas berkembangan yang paling membuat trauma. Wanita lansia lebih menderita akibat

30

kehilangan pasangannya jika dibandingkan pria. Dalam perbandingan dengan kelompok usia muda, lansia menyadari bahwa kematian adalah bagian dari  proses kehidupan yang normal. Sebagian lansia lebih sedikit takut akan kematian dibandingkan individu yang lebih muda dan lebih khawatir akan kematian individu yang dicintainya dari pada diri mereka sendiri. Akan tetapi kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang

telah

ditinggal

pasangannya

menemukan

kemudahan

dalam

menyesuaikan diri terhadap kehilangan. Kehilangan pasangan menimbulkan efek yang merugikan wanita meninggal lebih awal dari pada pasangan  barunya, dan kehidupan lebih cenderung memiliki masalah kesehatan yang serius seperti : isolasi social, bunuh diri atau gangguan jiwa). Selain itu kehilangan pasangan menuntut reorganisasi total fungsi keluarga. Hal ini terutama

sulit

untuk

mencapai

kepuasan

,karena

kehilangan

telah

menghilangkan sumber emosional dan ekonomiyang dibutuhkan untuk  beradaptasi terhadap perubahan. Bagi wanita, hal ini berrati perpindahan dari saling ketergantungan dan aktivitas kehidupan keluarga bersama-sama menjadi sendiri-sendiri atau berhubungan dengan sekelompok lansia yang tidak terikat. Sementara bagi pria, kehilangan pasangan berarti kehilangan  pendamping, secara umum seperti kehilangan penghubung ke keraba, keluarga, dan dunia social. Adapaun akibat dari pria yang ditinggalkan pasangan antara lain: 1. Bunuh diri 2. Kehilangan kemandirian mobilitas 3. Kesepian 4. Isolasi social 5. Kehilangan kontrol 6. Depresi 7. Bingung 8. Perasaan hampa

31

B. HIDUP SENDIRI

Seseorang yang hidup sendiri dalam waktu yang lama tentu akan merasakan kesepian. Kesepian merupakan suatu pengalaman subyektif dan tergantung  pada interpretasi individu terhadap hubungan sosial yang dimilikinya. Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003) kesepian dapat berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kesepian timbul ketika seseorang memiliki hubungan interpersonal yang lebih sedikit dibanding yang diinginkannya atau ketika hubungan interpersonalnya tidak memuaskan keinginannya (Weiten & Llyod, 2006). Orang yang merasa kesepian akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orangorang di sekelilingnya (Beck & Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996). Selain itu, individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999). Barg et al . (2006) menemukan bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya kesepian umumnya lebih tertekan, ketakutan dan putus asa serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk merasakan kesedihan dan sulit untuk bersenang-senang dibandingkan dengan orang yang tidak kesepian. Kesepian yang terjadi akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan juga pada dirinya sendiri (Sears dkk., 1999). Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979 dalam Brehm, 2002), ada 4 jenis perasaan yang dirasakan ketika seseorang kesepian yaitu putus asa, depresi, impatient boredom, meyalahkan diri. Keempat perasaan inilah yang akan digunakan untuk mengukur kesepian pada janda.

32

Menurut Brehm (2002), kesepian yang dialami oleh janda disebabkan oleh keinginan-keinginan seperti keinginan untuk bersama dengan suaminya, keinginan untuk dicintai oleh seseorang, keinginan untuk berbagi pengalaman sehari-hari dengan seseorang, membutuhkan seseorang untuk berbagi beban dan pekerjaan, keinginan untuk mencintai dan merawat seseorang, kerinduan terhadap masa lalu ketika bersama suami, merasa kehilangan status, ketakutan akan ketidakmampuannya untuk membangun hubungan pertemanan yang  baru. Perasaan-perasaan ini akan menyebabkan janda mengalami kesepian (Brehm, 2002). 1. Dampak dari Kelamaan Hidup Sendiri Manusia tak bisa hidup sendiri, itu sudah sering kita baca di buku  pelajaran ilmu sosial. Iya, manusia memang makhluk sosial yang membutuhkan orang lain sebagai teman di kehidupannya. Jika kebutuhan itu tidak dipenuhi, atau Seseorang hidup sendirian dalam jangka waktu lama, maka kesehatan fisik dan mental Seseorang bisa terganggu. Sebuah studi yang dilakukan oleh Psychological Science dan dilansir oleh laman news.health.com, terungkap bahwa manusia yang dalam kehidupannya lama menghabiskan waktu sendiri, tak bersosialisasi, maka akan memseseorangng wajah boneka seperti layaknya manusia. Jika seseorang sering merasa kesepian sebaiknya jangan dianggap sepele. Sebab, efek  buruk dari kesepian, menurut ahli fisiologi Amerika, setara dengan kerugian akibat kebiasaan merokok atau mengonsumsi minuman  beralkohol. Ikatan emosional dari keluarga dan para sahabat yang kuat dapat

meningkatkan

kualitas

kesehatan

manusia.

Bahkan,

ikatan

emosional semacam ini lebih efektif memberikan kesehatan ketimbang latihan fisik dan menghindari kebiasaan yang berbahaya. Serangkaian penelitian itu dilakukan dalam kurun waktu tujuh tahun. Mereka meriset hampir 400 orang yang ikut berpartisipasi dalam proyek ini.

Hasilnya, orang yang sering berinteraksi sosial (dengan tetangga,

teman, keluarga) ternyata lebih kecil risiko terserang berbagai penyakit

33

dibandingkan dengan mereka yang jarang berhubungan dengan orang lain. Hasil penelitian itu kemudian meyakinkan para ahli bahwa pengaruh kesepian sama dengan dampak rokok dan alkohol. Jadi, dalam hal dampak negatif terhadap kesehatan, kesepian itu identik dengan merokok 15 batang sehari. Orang-orang yang merasa kesepian cenderung mengalami lebih banyak problem kesehatan fisik maupun mental daripada mereka yang jarang kesepian dan sering berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dikemukakan oleh Bruce Rabin, seorang direktur Program Lifestyle di University of Pittsburgh Medical Center. Mereka juga rentan mengalami masalah lain, yang tak dialami oleh orang yang terhubung dengan orang lain setiap harinya, seperti misalnya yang tercatat di bawah ini. Berikut dampak bahaya terlalu lama sendirian: a) Sering sedih dan stress Berdasarkan

penelitian

dari

University

of

Chicago,

semakin

Seseorang merasa kesepian dan sendiri maka kemungkinan Seseorang mengalami sedih dan stres akan makin besar. Resiko depresi juga makin terbuka lebar. Hormon kortisol pada seseorang yang kesepian cenderung makin meningkat dan aktif. Ini adalah hormon pemicu stres dan depresi. Yang mengejutkan, ternyata interaksi dengan  banyak orang ternyata bisa lebih efektif mengurangi gejala depresi daripada obat antidepresan.  b) Malas mengurus diri Sebuah studi menyebutkan jika resiko kematian disebabkan oleh  penyakit jantung dapat meningkat apabila seseorang hidup sebatang kara.

Ini

disebabkan

karena

ia

enggan

mengurus

diri

dan

kesehatannya. Namun jika ia memiliki orang lain atau mempunyai kegiatan interaksi dengan orang lain, maka kemungkinan kematian akan berkurang. Ini karena dukungan sosial akibat interaksi yang ia lakukan. Ia juga lebih mengurus kesehatannya jika berada dalam lingkungan sosial yang baik.

34

c) Daya tahan tubuh lemah Daya tahan orang yang hidup menyendiri lebih lemah dari pada orang yang rajin bersosialisasi. Ini bahkan berlaku jika Seseorang rajin mengonsumsi berbagai vitamin dan vitamin C. Bagaimana bisa terjadi? Rahasianya ada di hormon endorfin atau dopamin yang keluar saat seseorang merasa bahagia saat berkumpul dengan keluarga dan sahabat. Lucunya, meskipun seseorang makan banyak makanan bernutrisi dan vitamin C, namun jika Seseorang tidak mengimbanginya dengan bersosialisasi dengan orang di sekitar seseorang, seseorang mungkin sekali memiliki sistem imun yang lemah. Ini karena tubuh tidak mengeluarkan hormon endorfin atau dopamin sehingga seseorang tidak bahagia. Hal inilah yang melemahkan tubuh seseorang dari serangan penyakit. Penelitian tahun 2013 oleh Ohio State University memperlihatkan bahwa seseorang yang kesepian cenderung memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih lemah. Mereka jadi lebih rentan mengalami peradangan yang terkait dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, artritis, diabetes tipe 2, serta penyakit alzheimer. Kesepian bisa bikin cepat meninggal. Rasa kesepian yang berlarut-larut memang berdampak  buruk bagi kesehatan Seseorang. Bahkan hal itu dapat mempercepat kematian Seseorang! Berbagai riset menunjukkan bahwa orang-orang yang sendirian dan merasa kesepian memiliki peningkatan risiko kematian dini sebesar 30 persen. d) Cendrung malas mengatasi diri sendiri Sebuah penelitian menunjukkan bahwa risiko kematian akibat  penyakit jantung bisa meningkat jika seseorang hidup sendirian dalam usia paruh baya, dan risiko akan meningkat jika seseorang tidak pernah menjalin interaksi dengan orang di sekitar seseorang hingga seseorang merasa kesepian sendiri. Hal ini dikarenakan seseorang tidak memiliki teman untuk berbagi dan mendapat

35

dukungan sosial dari sekitar. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang makan sendirian, makan lebih sedikit sayuran tiap harinya dibandingkan orang-orang yang hidup bersama orang lain. Berbeda dengan orang yang hidup bersama keluarga, menurut Rabin, apa yang dimasak akan cenderung disiapkan makanan sehat. e) Mudah terserang penyakit Ilustrasi : Perasaan kesepian bisa menurunkan produksi leukosit alias sel darah putih. Kalau leukosit menurun, tubuh akan mudah terserang virus maupun bakteri yang menyebabkan kita akan mudah terserang  penyakit, karena fungsi leukosit sebagai benteng yang melawan  penyakit. Kesepian menjadi kondisi emosi yang kompleks karena  berpengaruh pada kepribadian, kesehatan, dan kehidupan sosial. Sebuah riset di Harvard pada tahun 2012 memperlihatkan bahwa orang dewasa yang hidup sendirian dan merasa kesepian memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung sebanyak 24 persen. Rabin mengatakan bahwa orang yang tidak mendapatkan dukungan sosial seringkali gampang stres dan hal tersebut meningkatkan risikonya untuk terserang penyakit jantung. Penumpukan hormon stres di dalam tubuh juga dapat turut menaikkan penumpukan endapan kolesterol  pada organ hati. Orang-orang yang kesepian juga cenderung kurang minat untuk berolahraga dan biasanya tidak aktif bergerak. f) Menyebabkan masalah social Ilustrasi : Bagi anak-anak, perasaan kesepian bisa menimbulkan masalah-masalah lain seperti perasaan nggak betah di sekolah karena tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Orang dewasa yang merasa kesepian bisa mengalami stres, depresi, hingga terjerumus pada halhal negatif. Bahkan orang dewasa maupun anak muda yang tidak bisa mengatasi dan tidak tahan dengan rasa kesepiannya bisa berujung  pada bunuh diri.

36

g) Mengganggu kualitas tidur Kesepian bisa menganggu kualitas waktu tidur. Orang yang kesepian akan susah tidur, sering terbangun di malam hari, dan kekurangan waktu tidur. h) Depresi Rasa kesepian rentan membuat seseorang merasa pedih hati. Semakin ia larut dalam keadaan bersedih, semakin besar juga kemungkinannya mengalami depresi. Bruce Rabin mengungkapkan bahwa keadaan kesepian memicu pengaktifan hormon otak yang berkaitan dengan stres, misalnya kortisol, sehingga sanggup menimbulkan depresi. Salah satu cara mengatasi depresi ialah dengan aktif berinteraksi sosial dengan orang lain.

2. Beberapa Cara Untuk Menghadapi Kesepian Memang ada waktunya seseorang merasa butuh waktu untuk sendirian di tempat yang sunyi, entah itu untuk menyalurkan hobi seperti membaca  buku, atau supaya bisa berpikir dengan jernih. Tetapi menghabiskan terlalu  banyak waktu sendiri dapat menimbulkan rasa kesepian. Dan rasa kesepian  bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental maupun fisik Seseorang. Kabar  baiknya, Seseorang bisa menghindarinya dengan cara mengatasi kesepian  berikut ini : a) Dibalik penyebab kesepian 1) Kesendirian dan kesepian bukanlah dua hal yang sama. Dari segi  pengertian menurut kamus, kesendirian memaksudkan situasi saat seseorang tidak berinteraksi dengan orang lain atas keinginannya sendiri. Sedangkan kata kesepian seringkali menyiratkan rasa keterasingan yang dibarengi dengan keinginan yang besar untuk memiliki teman. Bisa disimpulkan, kesendirian bisa jadi situasi yang menyenangkan dan bermanfaat. Misalnya ketika Seseorang memang  butuh waktu untuk menenangkan diri atau merenung. Namun

37

sebaliknya, kesepian merupakan bentuk perasaan yang menyakitkan. Apa yang jadi penyebab kesepian? 2) Hubungan tanpa emosi. Teknologi seakan sudah menggantikan keinginan orang-orang untuk saling bertemu dan bercakap-cakap. Banyak orang merasa sudah cukup berkomunikasi hanya dengan mengirim SMS atau chatting dan malas untuk bertemu langsung.  Namun, hubungan komunikasi yang tanpa emosi tersebut justru bisa membuat Seseorang semakin kesepian. 3) Berpindah-pindah rumah. Krisis ekonomi telah memaksa banyak orang untuk pindah tempat tinggal akibat pindah pekerjaan. Karena  pindah pekerjaan, mereka terpaksa harus meninggalkan sekolah, tetangga, sahabat, dan bahkan keluarga mereka. Keadaan lebih parah harus dirasakan mereka yang pindah ke tempat yang berbeda bahasa,  budaya, dan iklim. Seringkali mereka sulit menyesuaikan diri dan tidak punya teman akrab. 4) Kematian orang yang dicintai. Kematian seorang teman hidup meninggalkan luka dan perasaan hampa yang mendalam bagi  pasangan hidupnya, terlebih apabila mereka sudah hidup bersama untuk waktu yang lama. Perasaan kesepian yang kuat akan sering muncul. 5) Kelajangan yang terpaksa. Rasa kesepian kadang kala dialami oleh mereka yang belum menikah karena belum menemukan pasangan yang cocok. Perasaaan kesepian bisa semakin kuat ketika ada yang mengajukan pertanyaan yang kedengarannya menyakitkan, misalnya “kenapa kamu belum menikah juga?” 6) Usia muda. Tak sedikit anak remaja yang mengaku merasa kesepian. Banyak dari mereka yang ketagihan hiburan yang bisa dilakukan sendirian, misalnya bermain game elektronik, menghabiskan berjam jam untuk surfing di internet, atau menonton TV. Karena keseringan

38

menghabiskan waktu sendirian, mereka tidak punya teman akrab dan kerap merasa kesepian. 7) Usia tua. Para lansia mungkin sering kesepian, meskipun anggota keluarganya tidak mengabaikan mereka. Kerabat dan sahabat mereka mungkin datang berkunjung di waktu-waktu tertentu, namun ada waktu-waktu

lain — adakalanya

berhari-hari

bahkan

berminggu-

minggu ketika tidak ada satupun yang mengunjunginya. Siapapun dapat mengalami kesepian, dan tampaknya problem ini semakin banyak dirasakan bahkan oleh orang-orang yang kelihatannya punya  banyak teman. Bagaimana caranya kesepian bisa diatasi?

3. Bagaimana Cara Mengatasi Kesepian? a) Apakah Seseorang Kesepian? Sebelum berpasrah pada keadaan, ada baiknya menanyai diri sendiri  pertanyaan-pertanyaan berikut yang bisa membantu evaluasi pribadi dan menemukan solusi mengatasi perasaan kesepian.  b) “Perlukah Saya Mengubah Sudut Seseorang?” Semua orang bisa kesepian, dan itu wajar. Tetapi yang jadi masalah adalah ketika Seseorang terus-menerus merasa kesepian. Mungkin itu tseseorang ada yang perlu disesuaikan dari cara pseseorangng Seseorang terhadap kehidupan. Masalah bisa muncul dari cara Seseorang  bersikap saat bersama orang lain. Ada yang seolah menaruh pagar kawat  berduri di sekitarnya sehingga orang lain tidak mau berteman. Untuk mengatasinya,

adakalanya

hanya

diperlukan

mengubah

sudut

 pseseorangng. Ada pengalaman dari Sabine yang berimigrasi ke Inggris. “Butuh waktu agar kepercayaan tumbuh diantara teman-teman baru supaya bisa nyaman dan percaya diri ketika bergaul bersama. Cobalah tanya latar belakang mereka. Kita bisa mencari sesuatu yang baik dari orang lain dan belajar kebudayaan mereka.”

39

c) “Apakah Saya Menarik Diri dari Orang Lain?” Tanyailah diri sendiri, “Apakah saya menjauhi orang lain? Mungkinkah orang lain jadi lebih ramah k alau saya juga lebih ramah?” Kalau Seseorang merasa itu penyebab dijauhi orang, cobalah untuk lebih supel. Berinisiatiflah mengajak bicara orang lain yang tampaknya kesepian juga. Bisa jadi satu pertanyaan saja menjadi awal dari persahabatan seumur hidup. Banyak orang yang kesepian berusaha mengatasinya dengan  berlama-lama bermain video game, surfing internet, atau menonton TV.  Namun justru kegiatan-kegiatan mengasingkan diri ini dapat membuat mereka merasa kesepian lagi. Televisi dan game elektronik dapat membuat seseorang jadi begitu kecanduan sampai-sampai tidak berminat lagi menjalin pertemanan. d) “Apakah Saya Sering Berpikiran Negatif?” Pesimistis dan perasaan rendah diri seringkali jadi penghalang terciptanya suatu persahabatan. Seorang remaja 15 tahun asal Ghana, Abigail, mengatakan, “Adakalanya pikiran negatif bikin saya merasa kesepian. Saya jadi merasa tidak berguna dan tidak disayangi.” Jadi, yakinkan diri  bahwa dengan berinisiatif mendekati dan membantu orang lain yang membutuhkan, orang tersebut tidak akan menganggap Seseorang tidak  berguna. Mungkin ia akan membalasnya dengan menjadi sahabat Seseorang. Tidak ada cara kilat untuk mengatasi kesepian. Namun Seseorang bisa berhasil mengatasinya dengan menerapkan prinsip ini, “perlakukan orang lain sebagaimana Seseorang ingin diperlakukan orang lain.” Dekatilah orang-orang yang bisa dijadikan sahabat untuk berbagi cerita dan melepas kesepian. Jika ingin orang lain ramah, Seseorang mesti terlebih dulu ramah kepadanya. Jika ingin orang lain berteman dengan Seseorang, terlebih dulu jadilah teman baginya Cara mengatasi kesepian lain yang praktis ialah dengan keluar dari rumah dan lakukan sesuatu yang berguna. Misalnya dengan berjalan-jalan ke taman atau ke luar kota, jika mungkin. Dan ketika tiba saatnya

40

sendirian di rumah, jangan ratapi kesendirian Seseorang. Sebaliknya lakukanlah pekerjaan yang kreatif, misalnya menjahit, menggambar, memperbaiki sesuatu, atau membaca. Dengan mengasah kreatifitas dan membuat diri sibuk, Seseorang bisa menghilangkan rasa kesepian yang sering datang di kala sendirian. Berikut cara praktis mengatasi kesepian : a) Pertama, meminimalisasi rasa sepi. Orang yang merasakan kesepian harus meredakan kesepiannya. Berhenti untuk membesar-besarkannya dan jangan lagi membahasnya berulang-ulang. Sebisa mungkin jangan membiarkan kesepian membuat kita pahit, dan jangan membiarkan kemarahan berkembang dalam hidup.  b) Kedua, mengakuinya. Carilah orang yang dapat dipercaya atau  profesional seperti konselor atau psikolog. Bila belum menemukan orang yang cocok, berbicaralah kepada Yang Maha Kuasa. Selama kita mengerti hal itu, kita tidak akan pernah benar-benar merasa sendiri. Doa adalah jembatan penenang yang dapat digunakan dalam masa-masa sepi. c) Ketiga, perhatikan orang lain. Jangan berfokus kepada diri sendiri, tetapi berfokuslah juga kepada orang lain. Mulailah membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Menolong orang lain dapat mengikis rasa kesepian dalam diri. Itu juga berarti berhenti membangun tembok antara kita dan orang lain dan mulai membangun  jembatan-jembatan. Yang perlu diingat bila kita sedang mengalami rasa kesepian adalah tunjukan kasih. Kasih adalah obat penawar bagi kesepian. Jangan menunggu untuk dikasihi, kita perlu memberikan kasih, dan kemudian kasih akan diberikan kembali kepada kita dalam ukuran yang melimpah. Kemudian ingatlah pepatah lama ini, jika kehidupan memberi seseorang sebuah lemon, buatlah segelas jus lemon. Kalau dalam bahasa saya, jika kehidupan memberi seseorang terasi, buatlah

41

sambal terasi yang nikmat biar seseorang dan orang lain juga bisa merasakan nikmatnya.

42

BAB PENUTUP

A. KESIMPULAN

Krisis merupakan suatu keadaan yang berbahaya / parah sekali / genting / suram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008. Webster’s New World (1996) mendefinisikan krisis sebagai “a turning point in the course of anything” artinya “suatu titik balik dalam sesuatu”. Dalam bahasa Yunani, Krisis berati keputusan (Nova, 2009), krisis tidak dianggap sebagai petaka yang menghentikan atau mematikan momentum untuk  perbaikan dan mencari peluang dibaliknya. Selain krisis situasional adapun kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005 dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%. sedangkan jumlah duda karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Oleh karena itu kehilangan pasanga akan menyebabkan mereka merasa kesepian dimana akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh orangorang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah  pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya (Beck & Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996).

43

DAFTAR PUSTAKA

Dariyo, Agoes. 2004.

“ Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan

 Keluarga” DalamJurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 hal 94-100. Universitas Esa Unggul: Jakarta. Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. 5th edition. Illinois : The Dorsey Press. Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall International. friedman, M Marylin, Bowden dan Jones. 2014 Buku Ajar Keperawatan Keluarga : EGC Gunarsa, S. D. (1999). Psikologi untuk Keluarga. Cetakan ke-13. Jakarta : Gunung Agung Mulia. Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.  Newman, B. M. & Newman, P. R. (1984). Development through Life : A Psychological Approach. 3rd edition. Chicago : The Dorsey Press.  Nova, Firsan. 2009. Crisis Public Relations (Bagaimana PR Menangani Krisis  Perusahaan). Jakarta: Grasido Papalia, Diane E. (2001). Human Development. 8th edition. New York : Mc Graw Hill. Turner, J. S. & Helms, D. B. (1983). Lifespan Development. 2nd edition. New York : CBS College Publishing. Lemme, B.H. 1995. Development In Adulthood. USA : Allyn & Baccon Brehm, S.S. 2002. Intimate Relationship 2nd . New York : McGrawl-Hill Di Matteo, M. R. 1991. The Psycology Of Health, Illness, and Medical care. Pasific Grove, California : Brooks/Cole Publishing Company

44

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF