Insomnia Pada Ansietas
April 16, 2018 | Author: Monica Desy Ratnasari | Category: N/A
Short Description
Insomnia Pada Ansietas...
Description
BAB I PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki kebutuhan khusus yang harus dipenuhi, baik secara fisiologis maupun psikologis. Terdapat banyak kebutuhan fisiologis manusia, salah satunya adalah istirahat dan tidur. Tidur merupakan kebutuhan penting bagi setiap orang, karena dengan tidur seseorang dapat memulihkan stamina tubuh dan pembentukan daya tahan tubuh. Kebutuhan tidur bervariasi pada setiap individu, umumnya dibutuhkan 6-8 jam perhari untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas tidur yang efektif. 1 Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut.2 Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dialami oleh seluruh orang di dunia. Insomnia dapat didefinisikan sebagai gangguan maupun gejala. Insomnia sebagai gangguan merupakan keadaan di mana seseorang mengalami kesulitan tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur maupun kualitas tidur buruk dan disertai keadaan penyulit. 3 Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi
yang
sewajarnya.4 Cemas
didefinisikan
sebagai
suatu
sinyal
yang
menyadarkan
ia
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah. Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal
1
umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga. Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri. Dari beberapa jenis gangguan cemas, gangguan panic adalah yang seringkali dijumpai di masyarakat. Rasa cemas dapat dikonsepkan sebagai respon normal dan adaptif terhadap
ancaman
yang
megharuskan
seseorang
untuk
lari
ataupun
melawan.Orang yang tampak cemas patologis mengenai hampir semua hal cenderung di golongkan memiliki gangguan cemas. Dari sekian banyak penyebab dari insomnia salah satunya diantaranya adalah kecemasan, dimana seseorang merasa gelisah yang mendalam karena memikirkan masalah yang sedang dihadapinya. Hal tersebut juga dikemukakan di beberapa buku bahwa orang yang mudah cemas sering mengalami keluhan
insomnia. Dampak buruk dari kecemasan salah satunya menyebabkan kesulitan tidur (insomnia), ini dikarenakan orang yang mengalami kecemasan akan membawa rasa cemasnya itu ke tempat tidur sehingga akan membuatnya sulit tidur. Insomnia dapat menyebabkan kecemasan dan kecemasan dapat menyebabkan insomnia. Bagi sebagian orang, masalah tidur bisa menyebabkan atau meningkatkan gejala kecemasan. Bagi yang lain, kecemasanyang konstan dapat membuat mereka terjaga di malam hari, mengakibatkan peningkatan tingkat kecemasan dan masalah kesehatan lainnya. Hal ini dapat menjadi lingkaran setan. Dalam referat ini, penulis ingin membahas hubungan antara insomnia dan kecemasan.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GANGGUAN TIDUR 2.1.1. DEFINISI
Tidur merupakan salah satu komponen penting untuk menjaga kesehatan individu. Tanpa tidur, manusia akan mengalami gangguan dalam kualitas hidup. Manusia tidur selama sepertiga dari kehidupan mereka. Bagi sebagian besar orang, tidur adalah hal yang mudah, namun bagi beberapa orang tidur merupakan suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Kondisi sulit tidur saat ini disebut sebagai insomnia.5 Insomnia
didefinisikan
sebagai
kesusahan
dalam
memulai,
atau
mempertahankan tidur. Gangguan ini paling tidak pernah diderita oleh seseorang, paling tidak sekali dalam hidupnya ataupun ada yang menderita hampir sepanjang hidupnya dan hal yang inilah yang dapat mempengaruhi kwalitas hidup seseorang. Seseorang yang terganggu dalam tidurnya akan dapat terjadi bermacam-macam gangguan seperti hilang semangat, kesulitan dalam berkonsentrasi, selalu merasa mengantuk dan gelisah, mudah marah atau temperamental menjadi tinggi, tekanan darah menjadi tinggi dari biasanya/normal sampai berujung pada terjadinya penyakit-penyakit tertentu yang bersifat kronis.3,6 Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3,7
2.1.2
EPIDEMIOLOGI
Sebuah artikel menyatakan Riset internasional yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004 terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 28,035
3
juta jiwa (11,7%) terjangkit insomnia. Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi insomnia berdasarkan definisinya. Ketika insomnia didefinisikan berdasarkan rekuensi tidur (gejala muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka angkanya menjadi 17%. Bila definisinya mengarah pada kesulitan dalam mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%. Dengan menggunakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. 8
2.1.3. ETIOLOGI
Penyebab insomnia dapat diasumsikan paling banyak karena gangguan psikis sekunder, dari hasil survei epidemiologi memperlihatkan kurangnya relasi ke gangguan psikis primer. Diagnosis insomnia lebih mengarah dengan adanya keluhan berupa depresi atau rasa cemas. Insomnia dapat berupa keadaan primer maupun insomnia sekunder.7 Adapun beberapa penyebab insomnia diantaranya karena adanya masalah internal pada individu tersebut :
a.
Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.7,9
b.
Kecemasan dan de presi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi. 7,9
c.
Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid. 7,9
4
d.
Kafein, nikotin dan alkohol.
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.7,9
e.
Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia
akibat
artritis,
kanker,
gagal
jantung,
penyakit
paru-paru,
gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer. 7,9
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
f.
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
g.
7,9
'Belajar' insomnia
Dapat terjadi ketika anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.7,9
2.1.4. PATOFISIOLOGI
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya berhubungan dengan interaksi di dalam sistem aktivasi retikular. Contoh adalah bila dilakukan perangsangan daerah formasioretikularisakan menyebabkan kondisi jaga/waspada pada hewan di laboratorium. Sedangkan perusakan pada daerah itu menyebabkan hewan mengalami kondisi koma menetap. Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas retikular bekerjanya diatur oleh kontrol
5
dan nukleus raphe dan locuscoeruleus. Di mana sel-sel dan nucleus raphe mensekresiserotonin dan locus coeruleusmensekresi epinephrine. Jika nukleus
raphe dirusak atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak tidur/berkurangnya jam tidur pada hewan percobaan yang mirip dengan kejadian insomnia. Sedangkan bila locus coeruleusyang rusak, akan terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM tak berubah. Sistem limbic sebagai pusat emosi, juga berhubungan dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia.10 Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan terjaga.Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam
keadaan
tidur.
Aktifitas
ARAS
ini
sangat
dipengaruhi
oleh
aktifitasneurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik.2
a.
Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitasserotonisdinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
b.
2
Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus cereleus di batang otak.Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergikakan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga. 2
c. Sistem Kolinergik Asetilkolin berperan dalam transmisi neurohormonal pada beberapa bagian otak dan sebagai transmitter dalam SSP. Stimulasi jalur kolinergik dapat
6
mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitaskolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. 2 d.
Sistem histaminergik
Walaupun histamin dikeluarkan oleh sel mast dalam reaksi alergi diperifer, pada otak histamin terlibat dalam perhatian dan waspada.Kebanyakan dari bodi sel memulai dari nucleus tuberomammilari hipotalamus posterior. Ketika binatang dalam bahaya, histamin akan meningkat, dan berkurang saat tidur.
2
2.2 ANSIETAS 2.2.1. DEFINISI
Cemas
didefinisikan
sebagai
suatu
sinyal
yang
menyadarkan
ia
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah. Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga. Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri.1,2
2.2.2. TANDA DAN GEJALA GANGGUAN CEMAS
Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni, kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan lainnya. Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.2
7
2.2.3. PATOFISIOLOGI
Teori PsikoanalitikSigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “ 1926 Inhibitons, Symptoms, Anxiety” bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal, ia akan timbul sebagai serangan panik. 2
Teori Perilaku Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya semena-mena, akan segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.2
Teori E ksistensi Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang bersifat kronis.Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan arti. Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari timbulnya cemas yang patologis antara lain:
Sistem saraf otonom
Neurotransmiter.2
Neurotransmiter 1. Norepinephrine Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine
pada
gangguan
cemas,
adalah
pasien
tersebut
memiliki
kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergikterlokalisasi secara
8
primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteksserebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primate menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor
-adrenergik (
Isoproterenol ) dan antagonis reseptor -2 adrenergik dapat mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan gejala cemas. 2
2. Serotonin Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran serotonin
dalam
gangguan
cemas.
Berbagai
stress
dapat
menimbulkan
peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.2
3. GABA Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik. Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan ukuran ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga menunjukan adanya penemuan abnormal pada
9
hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri.fMRI, SPECT, dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada amygdala. 2
Sistem Saraf Otonom Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat stimulus terhadap sistem saraf otonom adalah:
sistemkardiovaskuler (palpitasi)
muskuloskeletal (nyeri kepala)
gastrointestinal (diare)
respirasi (takipneu)
Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan cemas, terutama pada pasien dengan gangguan serangan panik, mempertunjukan peningkatan tonus simpatetik, yang beradaptasi lambat pada stimuli repetitif dan berlebih pada stimuli yang sedang. Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik dan korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam proses 2
terjadinya cemas.
Korteks Serebri Korteks
serebri
bagian
frontal
berhubungan
dengan
region
parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks temporal juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan EEG pada pasien dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.
Sistem Limbik Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan
10
stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal, yang diduga berkaitan dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif. 2.2.4. KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), gangguan cemas terdiri dari : (1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia (2) Agoraphobia dengan atau tanpa serangan panik (3) Fobia spesifik (4) Fobia sosial (5) Gangguan Obsesif-Kompulsif (6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD ) (7) Gangguan Stress Akut (8)Gangguan
Cemas
Menyeluruh
(Generalized
Anxiety
Disorder).
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan stress (F40-48).
2.3 HUBUNGAN INSOMNIA DAN ANSIETAS
Insomnia sangat umum terjadi pada gangguan kejiwaan, dan memiliki implikasi
yang
signifikan.
Prevalensi
insomnia
komorbiditas
gangguan
kecemasan ditujukan dan implikasi klinis yang terkait dengan insomnia dibahas serta kapan dan bagaimana memperlakukan komorbiditas penting ini. Insomnia
dapat
menyebabkan
kecemasan
dan
kecemasan
dapat
menyebabkan insomnia. Bagi sebagian orang, masalah tidur bisa menyebabkan atau meningkatkan gejala kecemasan. Bagi yang lain, kecemasan yang konstan dapat membuat mereka terjaga di malam hari, mengakibatkan peningkatan tingkat kecemasan dan masalah kesehatan lainnya. Hal ini dapat menjadi lingkaran setan.
11
Dari sekian banyak penyebab dari insomnia salah satunya diantaranya adalah kecemasan, dimana seseorang merasa gelisah yang mendalam karena memikirkan masalah yang sedang dihadapinya, bahwa orang yang mudah cemas sering mengalami keluhan insomnia. Dampak buruk dari kecemasan salah satunya menyebabkan kesulitan tidur (insomnia), ini dikarenakan orang yang mengalami kecemasan akan membawa rasa cemasnya itu ke tempat tidur sehingga akan membuatnya sulit tidur. Susah tidur kemungkinan besar mempengaruhi gangguan kecemasan, didukung dengan fakta bahwa insomnia merupakan salah satu kriteria yang menentukan dalam sejumlah gangguan kecemasan. Misalnya, kesulitan dalam tidur atau tetap tertidur adalah kriteria untuk PTSD, gangguan stres akut, dan gangguan kecemasan umum (GAD). Hubungan insomnia dengan gangguan kecemasan juga dipengaruhi oleh komorbiditas depresi mayor. Keparahan insomnia meningkat ketika gangguan kecemasan komorbiditas dengan gangguan depresi mayor, ini sangat relevan karena 58% dari pasien gangguan depresi mayor memiliki gangguan kecemasan. Kehadiran insomnia memiliki efek merusak pada fungsi siang hari dan efek negatif pada kualitas hidup, termasuk hubungan sosial dan pekerjaan. Juga ada bukti jelas bahwa kehadiran
insomnia pada gangguan
kecemasan
berhubungan dengan peningkatan morbiditas. Misalnya, pada pasien dengan PTSD, insomnia dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan perilaku bunuh diri, depresi, dan penyalahgunaan zat serta tidak adanya respon terhadap terapi. Selain itu, insomnia sebagai gejala awal pada pasien yang trauma dapat meningkatkan risiko terjadinya PTSD 1 tahun kemudian. (file download) Komorbiditas GAD dan insomnia lebih sering terjadi dibandingkan semua gangguan ansietas lainnya.15 Gejala utama dari GAD adalah kecemasan berlebihan, khawatir, dan ketegangan selama minimal 6 bulan dengan ketidakmampuan untuk mengontrol kekhawatiran tersebut, dan 3 dari 6 kriteria tambahan yang termasuk kesulitan memulai atau mempertahankan tidur atau tidur 16
gelisah dan tidak memuaskan. Keluhan ini dibuktikan oleh penelitian objektif yang mengungkapkan latensi tidur lebih lama dan peningkatan frekuensi terbangun pada pasien dengan GAD.17 Namun, tidak seperti pada pasien dengan
12
depresi berat, pasien dengan GAD tampaknya memiliki rapid eye movement (REM) yang normal. Insomnia umumnya komorbid dengan gangguan kecemasan dan khususnya dengan GAD, PTSD, dan gangguan panik. Selain itu, kecemasan itu sendiri dapat komorbid dengan gangguan susah tidur seperti insomnia primer. Insomnia Persisten dikaitkan dengan risiko peningkatan untuk munculnya gangguan kecemasan. Oleh karena itu Insomnia dan kecemasan memiliki hubungan yang rumit terjalin. Insomnia primer berhubungan dengan peningkatan fisiologis, kognitif, dan emosional arousal, hal tersebut juga ada pada gejala utama gangguan kecemasan. Dalam kasus insomnia primer, fokus kecemasan adalah proses tidur itu sendiri, sebagai orang-orang dengan insomnia primer merasakan ketegangan yang lebih besar yang teraktivasi pada siang hari setelah berpikir tentang kemungkinan untuk tidur malam nanti, atau saat dekat waktu tidur, atau saat sedang berbaring di tempat tidur. Kecemasan dan arousal dapat terwujud secara kognitif dalam bentuk pikiran mengganggu atau ketidakmampuan untuk menghentikan aktivitas mental yang mencegah tidur. Kecemasan dan arousal juga dapat terwujud secara fisik sebagai ketidakmampuan untuk bersantai dan perasaan tegang secara somatisasi.10
2.3.1. EPIDEMIOLOGI
Gangguan tidur umum terjadi pada pasien dengan gangguan kecemasan, terutama pada gangguan cemas menyeluruh atau Generalized Anxiety Disorder (GAD), serta pada orang dewasa yang lebih tua. Dalam konteks GAD, gangguan tidur didefinisikan sebagai kesulitan tidur, kesulitan untuk tetap tidur, atau tidur gelisah. Hal ini tidak mengherankan bila didapatkan hasil bahwa hingga 75% dari pasien dengan GAD memiliki insomnia. Sebuah laporan dari gangguan tidur diantara pasien GAD telah didukung oleh bukti polysomnographic (multiparametrik). Pasien dengan GAD dan insomnia memiliki gangguan inisiasi tidur dan untuk tetap tidur, ini mungkin merupakan hasil dari hipervigilance (waspada yang berlebihan) dari sistem nervus sentral dan hyperarousal yang disebabkan oleh GAD sendiri. Di antara pasien dengan gangguan kecemasan, 39% insomnia
13
terjadi pada waktu yang bersamaan dengan episode kecemasan, 44% terjadi setelah awal episode kecemasan, dan sementara hanya 18% dari orang melaporkan gejala susah tidur sebelum episode pertama dari episode kecemasan. Temuan yang serupa juga telah dilaporkan dalam sampel remaja. Meskipun demikian, insomnia juga telah ditemukan sebagai faktor risiko untuk gangguan kecemasan, karena pasien dengan insomnia memiliki kemungkinan 6 kali lebih besar untuk memiliki gangguan kecemasan daripada pasien tanpa insomnia.18
2.3.2. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS ( ascending reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur.11 Penyebab insomnia dapat diasumsikan paling banyak karena gangguan psikis sekunder, dari hasil survei epidemiologi memperlihatkan kurangnya relasi ke gangguan psikis primer. Diagnosis insomnia lebih mengarah dengan adanya keluhan berupa depresi atau rasa cemas.7 Ciri utama sindrom ansietas terdiri atas meningkatnya keterjagaan (hiperarousal), meningkatnya aktivitas simpatik dan perasaan subjektif ketakutan serta kecemasan.12 Gangguan tidur sangat lazim terjadi pada gangguan kecemasan, keluhannya dapat berupa insomnia atau mimpi buruk bahkan keluhan tersebut telah dimasukkan dalam beberapa definisi gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan menyeluruh dan gangguan stres pasca trauma. Hubungan antara tidur dan kecemasan terkait dalam hal respon adaptif terhadap stres. Studi menunjukkan bahwa sistem corticotropin-releasing hormone dan sistem saraf lokus seruleus-otonom mungkin memainkan peran utama dalam respon araousal terhadap stres. Sistem ini mungkin sangat rentan terhadap stres berkepanjangan
14
atau berulang-ulang, lebih lanjut mengarah ke keadaan hiperarousal dan kecemasan yang patologis. Jaras
saraf
asendens
yang
mengandung
noreadrenalin
dan
5-
hidroksitriptamin menginervasi lobus limbic dan neokorteks. Meningkatnya aktivitas saraf noreadrenergikakan menimbulkan mengingkatnyaketerjagaan; meningkatnya aktivitas saraf 5-hidroksitriptamin akan meningkatkan responrespon terhadap stimulus yang bersifat aversif.12 Sistem
limbik
sebagai
pusat
emosi,
juga
berhubungan
dengan
kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia.10 Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary Activity System).Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan terjaga.Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam
keadaan
tidur.
Aktifitas
ARAS
ini
sangat
dipengaruhi
oleh
aktifitasneurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik.2
2.3.3. INSOMNIA KRONIK
Kecemasan dan stress dapat menyebabkan insomnia kronik. Anda dianggap memiliki insomnia kronis jika Anda sulit tidur, tetap tidur, bangun terlalu dini atau memiliki kualitas tidur yang buruk hampir setiap malam selama satu bulan atau lebih. Ada beberapa penelitian menunjukkan bahwa insomnia mungkin turun-temurun dengan 35% dari orang-orang dengan insomnia kronis memiliki riwayat keluarga kesulitan tidur. Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal yang merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergic.2 2.3.4. PENATALAKSANAAN INSOMNIA DALAM ANSIETAS
Insomnia biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya, seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia. Kesukaran untuk memulai tidur biasanya terdapat
15
pada nerosa (depresi atau cemas).Terdapat juga pasien yang takut tertidur karena takut mimpi-mimpi buruk.12 Dalam pengobatan gangguan kecemasan yang komorbid dengan insomnia, keduanya harus diterapi bersamaan namun dengan terapi independen dari kecemasan maupun insomnia. Gagasan bahwa seseorang harus menunggu untuk melihat apakah insomnia terselesaikan dengan hanya pengobatan gangguan kecemasan tidak berlaku lagi. Pengalaman klinis telah menunjukkan bahwa tanpa pengobatan insomnia yang ditargetkan, insomnia akan tetap ada. Pengobatan insomnia pada pasien dengan gangguan kecemasan untuk sebagian
besar,
sama
seperti
pengobatan
insomnia,
baik
farmakologis,
nonfarmakologi, atau kombinasi dari keduanya. Pengobatan utama insomnia adalah farmakologi karena onset cepat (misalnya, hipnotik biasanya efektif dalam beberapa hari sampai 1 minggu penggunaan). Non farmakoterapi paling umum, terapi perilaku-kognitif untuk insomnia (CBT-I) memberikan efek yang lebih panjang.
2.3.4.1. Terapi Farmakologi
Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia: 1) memiliki efek samping yang minimal; 2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan 3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu. Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep
promoting agent. 1 1)
Benzodiazepine
Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) postsynaptic,dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan
16
melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah :triazolam, temazepam, dan lorazepam.4 Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi.Oleh sebab itu harus hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti PPOK. Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun kerja singkat. 4
2)
Non-benzodiazepine
Golongan
non-benzodiazepine
mempunyai
efektifitas
yang
mirip denganbenzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan, seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensiortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang
banyak digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif
-1 subunit GABA-Areseptor dapat mempercepat onset
tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita. Pada setengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.
4
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur) Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting).Misalnya pada gangguan anxietas.
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali keproses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong
latent
phase
Anti-Insomnia”,
yaitu
golongan
heterosiklik 13
antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi. Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecahpecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).13
17
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres psikososial. 13
Tabel. 1 Sediaan Obat Anti-Insomnia dan Dosis Anjuran (yang beredar di Indonesia menurut MIMS Edisi 2013/2014) No
1
Golongan
Benzodiazepin
Nama Generik
Nitrazepam
Nama Dagang
DUMOLID
Sediaan
Tab 5 mg
(Actavis) 2
Non-
Zolpidem
Benzodiazepin
Dosis Anjuran
5-10 mg/malam
STILNOX
Tab. 10
10-20
(Sanofi-
mg
mg/malam
Aventis) ZOLMIA
Tab. 10
(Fahrenheit)
mg
ZOLTA (Novel Pharma)
Tab. 10 mg
3
Benzodiazepin
Estazolam
ESILGAN
Tab. 1 mg
1-2
(Takeda)
Tab. 2 mg
mg/malam
ESTALIN
Tab. 1 mg
(Novell
Tab. 2 mg
Pharma) 4
Non Benzodiazepin
Ramelteon
ROZEREM (Takeda)
Tab. 8 mg
8-16 mg/malam
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
18
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut. 13
Lama Pemberian
Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan
pemberhetian
obat
oleh
karena
“Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi. 13
Efek Samping Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur Efek samping yang terjadi sehubungan dengan farmakokinetik anti-insomnia (waktu paruh) :
Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)
gejala rebound
lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang
over”pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”. 13
Kontraindikasi :
Sleep apneu syndrome
Congestive Heart Failure
Chronic Respiratory Disease Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic
effect”
(e.g.cleft-palate
abnormalities)
khususnya pada trimester pertama.Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP). 13
19
3)
Miscellaneous sleep promoting agent
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum mempunyai dibuktikan secara signifikan.4
(a)
Melatonin
Tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melatonin menstimulasi
tidur
dengan
menekan
signal
bangun
tidur
pada
suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Efek samping antara lain pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan
pada
penderita.
Dengan
pemberian
megadose(300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovarium. Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui. 4
(b)
Antihistamin
Adalah bahan utama dalam obat tidur.
Dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivatyang telah mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan.4
(c)
Alkohol
Sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Data terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia 18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk mengatasi gangguan tidur, namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu diengah tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM, dan dapat menyebabkan ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan.4
20
(d)
Antidepresan
Dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine,dan mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangat murah. 4
(e)
Kava-kava
Suatu pengobatan alternatif yang diesktrak dari akar pohon Polynesian,
Piper methysticum sp. Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktifyang mengeksitasi tingkat selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropa karena bersifat hepatotoksik.4
(f)
Valenrian
Berasal dari Valerianaofficinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas 4
zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti .
(g)
Aromaterapi
Membantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dankondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi
2.3.4.2. Terapi Non-Farmakologi
i) Sleep Hygine Sleep hygine adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk
21
insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi :Mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur sebanyak yang dibutuhkan, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alkohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur, hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur kecuali hanya untuk sex dan tidur.12
ii) Sleep Retriction Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur.Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk tidur.Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam sebelumnya.12
Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah kontraproduktif sehingga mendorong siklus insomnia. Maka tujuannya adalah untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85% . Awalnya pasien disarankan ke tempat tidur hanya pada saat tidur. Kemudian mereka diijinkan untuk meningkatkan waktu terjaga di tempat tidur 15 – 20 menit permalam setiap minggu, asalkan efisiensi tidur melebihi 90%. Waktu di tempat tidur berkurang sebesar 15 - 20 menit jika efisiensi tidur dibawah 90%.12
iii) Relaxation Therapy Relaxation therapy meliputi relaksasi otot progresif, latihan pernafasan dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif melatih pasien untuk mengenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan , pada latihan perrnafasan dalam maka pasien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam perlahan – lahan.12
22
iv) Stimulus Control Therapy Stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah sederhana yang dapat membantu pasien dengan gejala insomnia, dengan pergi ke tempat tidur saat merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di tempat tidur. tempat tidur hanya digunakan untuk tidur dan aktivitas seksual. jika tidak tertidur 30 menit setelah berbaring, bangun dan pergi ke ruangan lain dan melanjutkan teknik relaksasi, mengatur jam alarm untuk bangun pada waktu tertentu setiap pagi, bahkan pada akhir pecan, hindari bangun kesiangan, hindari tidur siang panjang di siang hari.12
23
BAB III KESIMPULAN
Insomnia
dapat
menyebabkan
kecemasan
dan
kecemasan
dapat
menyebabkan insomnia. Bagi sebagian orang, masalah tidur bisa menyebabkan atau meningkatkan gejala kecemasan. Bagi yang lain, kecemasan yang konstan dapat membuat mereka terjaga di malam hari, mengakibatkan peningkatan tingkat kecemasan dan masalah kesehatan lainnya. Ciri utama sindrom
ansietas terdiri atas meningkatnya keterjagaan
(hiperarousal). Keadaan hiperarousal inilah yang menghubungkan dengan insomnia.Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Insomnia didefinisikan sebagai kesusahan dalam memulai, atau mempertahankan tidur. Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya, seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia. Dalam pengobatan gangguan kecemasan yang komorbid dengan insomnia, keduanya harus diterapi bersamaan namun dengan terapi independen dari kecemasan maupun insomnia. Gagasan bahwa seseorang harus menunggu untuk melihat apakah insomnia terselesaikan dengan hanya pengobatan gangguan kecemasan tidak berlaku lagi. Pengalaman klinis telah menunjukkan bahwa tanpa pengobatan insomnia yang ditargetkan, insomnia akan tetap ada.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dewi, P.A., Ardani, I.G. (2013). Angka Kejadian serta Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Gangguan tidur (Insomnia) Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar Bali Tahun 2013 , Denpasar: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Udayana. 2.
Japardi, I. (2002). Gangguan Tidur. Medan: Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
3.
Sayekti, N.W. &Hendrati, L.Y. (2015). Risk Analysis of Depression, Sleep
HygieneLevel and Chronic Disease with Insomnia in Elderly . Surabaya: DepartemenEpidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 4.
Ghaddafi, M. (2013). Tatalaksana Insomnia dengan Farmakologi atau Non-Farmakologi. Denpasar: Bagian SMF Ilmu Psikiatri Fakultas KedokteranUniversitasUdayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
5.
Susanti, L. (2015). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Insomnia
di Poliklinik Saraf RS DR. M Djamil Padang , Padang: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran UNAND. 6.
Larayanthi,
C.I.
(2014).
Penatalaksanaan Insomnia pada Pasien
Geriatri. Denpasar: Bagian SMF Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 7. Chawla
J.M.
(2016).
Insomnia.
Didapat
dari
website:
http://emedicine.medscape.-com/article/1187829-overview. Diakses pada tanggal 24 Juli 2016 8. Permana, M.G. (2014). Insomnia dan Hubungannya Terhadap Faktor
Psikososialpada Pelayanan Kesehatan Primer. Denpasar: Bagian SMF Ilmu PsikiatriFakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 9.
Nabili, S.N., Stöppler, M.C. (2016). Insomnia. Didapat dari website: http://www.emedicine-health.com/insomnia/article_em.html. Diakses pada tanggal 24 Juli 2016.
25
10. Schenck, C.H., Mahowald, M., Sack, R. (2003). Assesment and Management
ofInsomnia. JAMA. 289(19): 2475-9. 11. Insomnia", Reviewed 2007, March 14, Reviewed by Greg Juhn, M.T.P.W., David R. Eltz, Kelli A. Stacy, A.D.A.M. 12. Willy F. Maramis, Albert A. Maramis (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, Surabaya. Airlangga University Press,2009. 13. Sylvia D. Elvira, Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI. 2010. H; 235-241. 14. Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. Jakarta: ECG, 2010. H; 233-241. 15. Ohayon M, Caulet M, Lemoine P. Comorbidity of mental and insomnia disorders in the general population. Compr Psychiatry. 1998;39:185197. 16. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. Arlington, Va: American Psychiatric Publishing, Inc.; 2008. 17. Saletu-Zyhlarz G, Saletu B, Anderer P, et al. Nonorganic insomnia in generalized anxiety disorder. Controlled studies on sleep, awakening and daytime vigilance utilizing polysomnography and EEG mapping. Neuropsychobiology. 1997;36:117-129. 18. Vincent N, Walker J. Anxiety sensitivity: predictor of sleep-related impairment and medication use in chronic insomnia. Depress Anxiety. 2001;14:238-243.
26
View more...
Comments