Inkontinensia Urin Dalam Kehamilan
October 10, 2017 | Author: Marson Rubianto Eka Putra | Category: N/A
Short Description
referat...
Description
INKONTINENSIA URIN DALAM KEHAMILAN I. PENDAHULUAN Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan untuk diceritakan. Pada wanita perubahan fisik akibat kehamilan, melahirkan dan menopause sering menyebabkan stres inkontinensia. Pada wanita menurunnya kadar estrogen dapat menyebabkan tekanan otot disekitar urethra lebih menurun sehingga meningkatkan kemungkinan kebocoran. Insiden inkontinensia stres meningkat pada wanita yang menopause.1,2 Inkontinensia urin dapat mengenai perempuan pada semua usia dengan derajat dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Walaupun jarang mengancam jiwa inkontinensia urin dapat memberikan dampak serius pada kesehatan fisik, psikologi dan sosial pasien. Inkontinensia urin sering ditemukan pada kondisi hamil maupun postpartum dikarenakan kehamilan sendiri dapat menginduksi perubahan anatomi dan fisiologi traktus urinarius. Pembesaran ginjal biasanya dikarenakan
dilatasi pelvis akibat hydro-ureter yang
biasanya terjadi pada kehamilan 7 minggu. Pada traktus urinarius bagian bawah, kandung kemih dan uretra menjadi hiperemis serta bengkak akibat otot detrusor yang hipertropi dibawah efek estrogen namun dengan demikian kandung kemih menjadi hipotonik. Peningkatan frekuensi miksi dan nokturi seringkali ditemukan sebagai gejala pada ibu hamil. Normalnya pada ibu yang tidak hamil miksi dapat terjadi empat hingga enam kali dan jarang pada malam hari. Penigkatan frekuensi miksi meningkat pada kehamilan yang ke-7 minggu. Kesulitan pengosongan kandung kemih meningkat pula pada kehamilan, inkontinensia urgensi cenderung meningkat pada kehamilan akibat ketidakstabilan otot detrusor. Inkontinensia urin stress meningkat pula pada kehamilan, akibat beban myogenik atau neurogenik spingter uretra.3,4 II. DEFINISI Inkontinensia urin disebut juga ketidakmampuan menahan air kencing. Berdasarkan International Continence Society, inkontinensia urin adalah keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) akibat gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah
1
yang dipicu oleh sejumlah penyakit sehingga menyebabkan pasien berkemih pada situasi yang berbeda.4,5 Inkontinensia Urine merupakan symptom storage. Dengan definisi sebagai berikut: 5
Keluhan setiap keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan (definisi ini untuk
keperluan studi epidemiologi)
Keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan yang menyebabkan problem
sosial dan hygiene. III. EPIDEMIOLOGI Inkontinensia urine adalah masalah kesehatan yang signifikan di seluruh dunia dengan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomis pada individu dan lingkungannya. Hu dan rekan memperkirakan biaya total dari inkontinensia di Amerika Serikat pada tahun 2000 adalah sekitar 19,5 juta dollar. Inkontinensia memiliki pengaruh ekonomis yang lebih besar daripada penyakit kronis lainnya.6 Inkontinensia urine lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat banyak penelitian epidemiologis mengenai inkontinensia pada wanita, tetapi berbeda dalam hal definisi, pengukuran inkontinensia, metodologi survei, dan pemilihan kohort membuatnya sulit untuk melakukan perbandingan. Terdapat penelitian epidemiologis di Amerika mengidentifikasi angka prevalensi sebesar 10-40% wanita tua yang mengalami inkontinensia. Hunskaar dan rekan (2005) meringkas data epidemiologis yang tersedia dan menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urine pada wanita tua mengalami peningkatan yang stabil (30% hingga 50%). Pada wanita tua inkontinensia yang sering terjadi adalah inkontinensia tipe campuran. Seperti yang telah disinggung diatas, resiko inkontinensia urine meningkat seiring dengan peningkatan usia. Telah lama dicurigai bahwa terdapat hubungan antara inkontinensia dengan menopause. Puncak prevalensi inkontinensia adalah pada wanita yang telah menopause.
6,7
Inkotinensia urin sering terjadi pada wanita hamil maupun postpartum. Banyak artikel yang menerbitkan tentang inkotinensia urin dalam kehamilan, namun tidak banyak ulasan yang memfokuskan pada insiden dan prevalensi inkotinensia urin pada kehamilan. Inkotinensia urin biasanya terjadi pada wanita yang belum pernah melahirkan (nulipara). Pada sebuah studi norwegia mengemukakan bahwa prevalensi inkotinensia urin terjadi pada wanita berusia 20-34 tahun dan 35-44 tahun masing-masing 8% dan 15%. Insiden inkotinensia urin menurun pada trimester satu, meningkat pesat pada trimester kedua dan
2
terus meningkat hingga trimester berikutnya. Beberapa penelitian melibatkan populasi yang besar berbasis kohort telah diterbitkan selama beberapa tahun terakhir. Sebuah studi kohort spanyol pada tahun 2012 yang terdiri dari 1.128 wanita nulipara sebelum kehamilan memiliki kuisioner tentang data tiap trimester, artikel ini mengemukakan bahwa kejadian kumulatif inkotinensia urin pada kehamilan sebesar 39%. Sebuah studi diaustralia pada tahun 2009 yang terdiri dari 1.507 wanita nulipara yang diwawancara dari awal kehamilan hingga akhir kehamilan menemukan bahwa prevalensi inkotinensia dalam kehamilan sebesar 45%. Tahun 2001 dari hasil penelitian di norwegia pada 43.279 wanita hamil menunjukan inkotinensia urin pada kehamilan 30 minggu antara nulipara dan para masing-masing 39% dan 49%. Inkotinensia stress merupakan inkotinensia yang peling sering terjadi.7
IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN KEMIH BAWAH IV.I. ANATOMI Sistem urinarius terbagi atas 2 sistem bagian, yaitu traktus urinarius atas dan traktus urinarius bawah8 1. Traktus urinarius atas terdiri atas ginjal dan ureter. Berfungsi untuk menyaring darah dan memproduksi urin. 2. Traktus urinarius bawah terdiri atas kandung kemih (blader), uretra dan spingter uretra. Berfungsi menyimpan dan mengeluarkan urin
Gambar 1. Struktur Saluran Kemih Bagian Bawah (diambil dari kepustakaan 8)
3
KANDUNG KEMIH Kandung kemih adalah organ berongga berotot yang biasanya terletak dibelakang simpisis pubis dan tertutup peritoneum dibagian superior dan anterior. Kandung kemih terdiri dari sincitium serat otot polos yang kenal sebagai otot detrusor. Kontraksi dari otot detrusor ini mengakibatkan penurunan diameter kandung kemih. Sel-sel otot polos dalam detrusor secara signifikan memiliki jumlah asetilkolin yang banyak, yang mana mewakili suplai saraf kolenergik parasimpatis.9 Vesika urinaria (kandung kemih) umumnya mudah menampung 350 ml, akan tetapi dapat pula terisi cairan 600ml atau lebih. Struktur kandung kemih berbentuk piramid. Apeks piramid ini arahnya kedepan dan dari situ terdapat suatu korda fibrosa yaitu urakus, yang berjalan keatas menuju umbilikus menjadi ligamentum umbilikale media. Basis (permukaan posterior) kandung kemih berbentuk segitiga. Pada wanita diantara kandung kemih dan rektum ada vagina. Permukaan inferolateral vagina di inferior berbatasan dengan dasar panggul dan dianterior dengan lapisan lemak retropubis dan os pubis. Leher kandung kemih menyatu dengan prostat pada pria sedangkan pada wanita langsung melekat kefasia pelvis. Membrana mukosa kandung kemih membentuk lipatan bila kandung kemih kosong kecuali membrana yang melapisi basis (disebut trigonum) yang tetap halus. Angulus superior trigonum menendai pintu masuk orifisium ureter. Terdapat peninggian muskularis, yaitu lipatan intereureterika, yang berjalan diantara orifisium ureter. Angulus inferior dari trigonum ini berbatasan dengan meatus uretra interna. Lapisan otot kandung kemih terdiri dari tiga lapisan otot polos membentuk trabekula yang disebut (otot) detrusor. Detrusor menebal dileher kandung kemih dan membentuk sfingter vesika.5,10 Arteria vesicalis superior dan arteria vesicalis inferior dipercabangkan oleh arteria iliaca interna. Aliran darah venous dari daerah muara ureter dan dari collum vesicae bergabung dengan pembuluh vena dari prostat dan uretra dan bersama-sama bermuara kedalam vena iliaca interna. Plexus vesicalis dibentuk oleh serabut-serabut sympathis dan parasympathis, mengandung komponen motoris dan sensibel. Serabut efferent parasympathis (= nervus erigentis ) berasal dari medulla spinalis segmen sacralis 2 – 4 menuju ke m.detrusor, berganti neuron pada dinding vesica urinaria. Berfungsi pula sebagai penghambat (inhibitory fibers) bagi otot polos vesicae dan m.sphincter urethrae. Stimulus parasympathis menimbulkan kontraksi dinding vesica urinaria dan relaksasi
4
sphincter urethrae. Stimulus sympathis menyebabkan kontraksi otot-otot trigonum vesicae, muara ureter dan sphincter urethrae, dan disertai relaksasi otot dinding vesica. Serabut sensibel membawa stimulus nyeri dan stimulus pembesaran vesica (distension, vesica terisi penuh). Stimulus nyeri dibawa oleh serabut-serabut sympathis dan parasympathis. Nyeri pada vesica dapat menyebar pada regio hypogastrica ( referr`ed pain ), sedangkan nyeri pada daerah trigonum vesicae dapat menyebar sampai ke ujung penis atau clitoris.11 SFINGTER URETRA Dalam tubuh manusia, sfingter uretra internal dan eksternal adalah otot yang membantu mengontrol aliran urin dari tubuh. Manusia memiliki sfingter uretra internal dan eksternal. Sfingter uretra eksterna pada wanita hanya berfungsi untuk mencegah urin kelur, tetapi otot-otot yang sama pada pria juga membantu dalam ejakulasi dan mencegah air mani masuk ke vesica urinaria. Inkontinensia urin dapat terjadi ketika salah satu dari otot-otot sfingter yang rusak. Sfingter uretra internal terletak di dalam tubuh, di luar vesica urinaria. Sfingter uretra internal ditemukan setelah bagian bawah vesica urinaria. Sfingter ini merupakan lanjutan dari oto-otot polos vesica urinaria yang dikenal sebagai muskulus sfingter vesisae internus atau muskulus lisosfingter. Kontraksi otot sfingter ini adalah secara autonom, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat mengendalikannya. Sfingter uretra eksterna adalah otot lurik yang dapat dikendalikan atau disebut juga voluter. Sfingter ini disebut juga muskulus rabdosfingter eksternus.13 URETRA - Saluran terakhir dari sistem urinarius mulai dari orificium internum urethra sampai ke orificium urethra externa(tempat keluarnya urin). - Urethra laki-laki lebih panjang dari wanita karena pada laki-laki ada penis dan kelenjar prostat sedangkan pada wanita tidak ada. - Panjang Urethra laki-laki 18-20 cm sedangkan pada wanita hanya 5-8 cm - Terbagi 3 daerah pada pria ,yaitu: Urethra Protica yang dimulai dari orificium urethra internum sampai ke uretra yang ditutupi oleh kelenjar prostat dan berada dalam rongga panggul. Cairan mani ditambah dengan sperma masuk ke dalam urethra pars prostatica kemudian keluar melalui orificium urethra externa. Daerah yang kedua yaitu urethra pars membranacea yaitu dari pars prostatica sampai bulbus penis pars caverhosa
5
(urethra ini paling pendek sekitar 1-2 cm). Daerah urethra yang terakhir adalah urethra pars cavernosa (Spongiosa), dari daerah bulbus penis sampai orificium urethra externum. Berjalan dalam corpus cavernosa urethra (penis) panjang 12-15 cm dan bermuara pada 2 macam kelenjar yaitu kelenjar para urethralis dan kelenjar bulbo urethalis. - Vascularisasi urethra : A. dorsalis penis dan A. bulbo urethalis. - Persarafan urethra : N. Pudendus -> N. Dorsalis Penis.13 IV.II. FISIOLOGI Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang mengawali reflek kontraksi adalah 150 - 200 ml, namun volume ini masih bisa dikontrol oleh otak. Didalam otak terdapat daerah perangsangan untuk berkemih di pons dan daerah penghambatan di mesensefalon. Kandung kemih dapat dibuat berkontraksi walau hanya mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan volunter reflek pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga membantu pengeluaran urine dengan menaikkan tekanan intra abdomen. Pada saat kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan apabila dikehendaki atas kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu relaksasi spingter (internus dan eksternus) bersamaan itu terjadi kontraksi otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun (spingter) mendekati 0 cmH2O sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai 40 cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui uretra.6,11 Proses berkemih dibagi atas 2 fase, yaitu fase pengisian dan fase pengosongan, 1. Fase Pengisian Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral, longitudinal dan sirkuler, tetapi batas yang jelas dari lapisan otot ini tidak terlihat. Kontraksi peristalitik yang reguler terjadi 1-5 kali permenit yang menggerakkan urine dari pelvis ginjal ke kandung kemih, dimana urine masuk dengan cepat dan sinkron sesuai dengan gerakan gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding kandung kemih dan walaupun disini tidak terdapat alat seperti spingter uretra, jalannya yang miring cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali sewaktu gelombang peristaltik guna mencegah refluk urine dari kandung kemih. 13 Mekanisme miksi dipengaruhi oleh lantai pelvis, dinding abdomen dan diafragma thoracis. Sebelum miksi berlangsung, terjadi kontraksi otot-otot dinding abdomen dan
6
diafragma thoracis sehingga tekanan intrabdominal meningkat dan diikuti oleh relaksasi m.pubococcygeus. selanjutnya collum vesicae bergerak turun dengan segera diikuit oleh kontraksi detrusor. Pada saat yang sama terjadi kontraksi serabut-serabut longitudinal otot dinding uretra (berhubungan dengan m.detrusor) yang membuat uretra menjadi lebih pendek serta membuka ostium uretra internum, lalu urine mengalir keluar. Apabila m.pubococcygeus berkontraksi maka collum vesika terangkat kembali kekranial, diikuit oleh relaksasi m.detrusor dan serabut longitudinal otot dinding uretra, dengan demikian uretra menjadi penjang kembali (bentuk semula), ostium uretra internum menutup dan urin berhenti mengalir keluar. 13 2. Fase Pengosongan Pengosongan kandung kemih melibatkan banyak faktor, tetapi faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter. Selama berkemih otot-otot perineal dan muskulus spingter uretra eksternus mengalami relaksasi, sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi yang menyebabkan urin keluar melalui uretra.14 Pada awal mikturisi, aktivitas aferen kandung kemih mengaktifkan pusat mikturisi pontine, yang menghambat refleks spinal. Relaksasi otot uretra dimediasi oleh aktivasi jalur parasimpatis pada uretra yang memicu pelepasan neutrotransmiter inhibitor nitrat oksida dan dengan penghapusan input ekstitatori adrenergic dan kolinergik somatik leeher kandung kemih dan uretra akan terbuka sehingga terjadilah proses mikturisi.6,11
V. FAKTOR RESIKO DAN PATOFISIOLOGI V.I. FAKTOR RISIKO Kehamilan dan persalinan pervaginam merupakan faktor risiko yang signifikan, namun menjadi kurang penting dengan usia. Berlawanan dengan kepercayaan populer sebelumnya, menopause tampaknya tidak menjadi faktor risiko untuk inkontinensia urin dan ada bukti yang bertentangan mengenai histerektomi. Diabetes mellitus merupakan faktor risiko pada kebanyakan studi. Penelitian juga menunjukkan bahwa estrogen substitusi oral dan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko penting dimodifikasi untuk Inkontinensia urin. Meskipun hilangnya fungsi kognitif ringan bukan merupakan faktor risiko untuk inkontinensia urin, sehingga meningkatkan dampak dari inkontinensia urin.14
7
USIA Pada tahun 1998 berdasarkan rapat National Institutes of Health mengungkapkan bahwa meningkatnya usia meningkatkan faktor resiko terjadinya inkotinensia urin. Beberapa studi melaporkan bahwa peningkatan prevalensi dan beratnya inkontinensia urin berhubungan dengan umur. Peningkatan prevalensi pada wanita dewasa berhubungan dengan kelemahan struktur otot pelvic dan jaringan penyokong uretra. Sebagai tambahan faktor-faktor pada orang tua seperti kurangnya pergerakan dan penurunan status mental dapat meningkatkan resiko terjadinya inkotinensia urin.15
HEREDITER Beberapa penelitian telah menjelaskan bagaimana dasar-dasar genetik pada atropi dan kelemahan jaringan penunjang memberikan kontribusi pada inkotinensia urin stress. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mushkat and colleagues pada penelitiannya menyatakan bahwa bahwa transmisi pembawaan dari keluarga dapat meningkatkan insiden inkotinensia urin stress.15
OBESITAS Beberapa studi melaporkan bahwa resiko inkotinensia urin pada wanita meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh (IMT). Pada suatu studi prospektif pada wanita yang menjalani operasi untuk menurunkan berat badannya mengemukakan bahwa penurunan angka inkotinensia setelah berat badannya turun.15
KEHAMILAN DAN PARITAS Beberapa studi menghubungkan paritas sebagai faktor resiko untuk inkotinensia urin. Peneliti mendokumentasikan insiden inkotinensia urin meningkat pada kehamilan sekitar 26%, selain itu wanita dapat mendapatkan inkotinensia kembali seiring jalannya waktu. Kemungkinan hubungan ini semua berhubungan dengan dinding panggul mengalami kompresi selama kehamilan dan perenggangan atau robekan jaringan ikat dinding panggul selama kehamilan serta melahirkan.15 Efek kehamilan dan partus pervaginam menyebabkan inkotinensia urin masih diperdebatkan. Salah satu studi dengan menggunakan pemeriksaan fisik dan catatan medis pada 189 wanita untuk melihat gejala menopaus di klinik genokologi, didapatkan 98 pasien menderita inkotinensia urin dan pada multivarietas analisis terungkap bahwa inkotinensia urin hampir lima kali lebih tinggi pada wanita yang setidaknya satu kali
8
hamil dibandingkan wanita yang belum pernah hamil. Resiko inkotinensia urin meningkat tiga kali labih tinggi pada wanita yang menjalani seksio sesar saja dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil. Data ini menunjukkan bahwa kehamilan merupakan faktor resiko terjadinya inkotinensia urin.15
MEROKOK Beberapa penelitian menghubungkan inkotinensia urin stress dan inkotinensia urin urgensi dengan merokok pada wanita. Bump dan McClish meniliti pada 606 wanita yang memiliki riwayat merokok (sering, kadang-kadang atau tidak pernah) dan setelah dilakukan serangkaian test didapatkan bahwa 322 wanita mengalami inkotinensia urin. Inkotinensia urin secara signifikan meningkat pada kelompok yang sering dan kadang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Bump dan McClish menemukan bahwa pada perokok terjadi peningkatan resiko terjadinya inkotinensia meskipun spingter uretranya masih kuat. Mereka berspekulasi peningkatan dan lebih kuatnya kekuatan batuk berhubungan dengan merokok.15
RAS Beberapa penelitian mengemukakan bahwa pada wanita afrika-amerika mempunyai prevalensi yang lebih rendah mendapatkan inkotinensia urin dibandingkan wanita kaukasia. Distudi berbasis populasi pada orang tua (>70 tahun) noninstitutionalized Americans, didapatkan 16% wanita Afrika-Amerika dilaporkan mengalami inkotinensia urin pada tahun sebelumnya sedangkan secara statistik ada perbedaan signifikan pada wanita kaukasia yaitu 23%.15
V.II. PATOFISIOLOGI Kemajuan dan keberhasilan tatalaksana inkontinensia urin tentu saja tidak akan lepas dari pemahaman akan patofisiologi inkontinensia uri yang lebih mendalam. Sejumlah penelitian, diawali oleh penelitian Marshall et al, richardson dan McGuire, melaporkan bahwa inkontinensia urin ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong uretra tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak adekuat dan gangguan pada sistem kendali inkontinensia urin (neuromuskular). Pemahaman
itu
memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan inkotinensia urin harus disesuaikan dengan jenis inkotinensia urin dan penyebab kerusakan.4
9
Gambar 2. Pendesakan fasia endopelvis menuju fasia arkus tendineus pelvis dan otot levator ani (diambil dari kepustakaan 4)
Irisan lateral organ panggul pada gambar diatas menujukan anatomi yang berkaitan dengan sistem kendali miksi. Beberapa komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang berjalan dari tulang pubis menuju kesfingter ani dibalik rektum untuk menyokong organ pelvis. Otot itu berjalan disebelah lateral fasia arkus tendineus pelvis yang merupakan fasia endopelvis yang menghubungkan tulang pubis dengan spina isciadika. Fasia tersebut cenderung berperanan pasif dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fasia itu dengan otot levator ani merupakan elemen penting dalam sistem kendali ini. Hubungan tersebut memungkinkan kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika dan relaksasinya menyebabkan penurunan leher vesika.4 Pada model konseptual dijelaskan bahwa stabilitas lapisan penyokong cenderung lebih mempengaruhi terjadinya miksi dibandingkan dengan tinggi uretra. Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan seseorang dapat menghentikan aliran air melalui selang taman dengan menginjak selang dan menekan kearah lantai keras yang mendasari. Jika lapisan dibawah uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap tekanan abdominal yang menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan akan menyebabkan hilangnya penutupan dan kerja oklusi akan berkurang. Kondisi yang terjadi selanjutnya dapat diibaratkan seperti saat seorang mencoba menghentikan aliran air melalui selang taman dengan menginjak selang yang berada diatas tanah liat.4 Kelemahan otot dasar panggul akibat mobilitas dari leher kandung kemih dan uretra, dapat menyebabkan ketidakmampuan spingter uretra mencekik. Ketika ibu hamil batuk, bersin, tertawa atau mengedan dapat meningkatkan tekanan intraabdominal dan
10
tekanan tersebut akan ditransmisikan ke kandung kemih. Ketika tekanan didalam kandung kemih lebih tinggi daripada tekanan penutupan diuretra, dapat menyebabkan kelemahan pada spingter uretra sehingga terjadilah inkotinensia urin. Kehamilan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya inkotinensia urin pada wanita. Studi yang dilakukan pada wanita hamil secara signifikan ditemukan kelemahan otot dasar panggul pada wanita hamil tersebut. Kehamilan mungkin berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dasar panggul yang mana nantinya dapat menyebabkan inkotinensia urin stress, namun bagaimapun juga penyebab pasti dari inkotinensia urin pada wanita hamil belum diketahui dengan pasti.16 Penambahan berat badan pada kehamilan kemungkinan dapat meningkatkan peningkatan tekanan pada otot dasar panggul dan kandung kemih, yang mana nantinya dapat mempengaruhi mobilitas dari uretra. Lebih dalam lagi peningkatan berat badan dapat mengganggu aliran darah dan inervasi saraf kandung kemih serta uretra. Beberapa studi menunjukan hubungan antara obesitas dan inkotenensia urin stress pada ibu hamil, Liang et al melaporkan wanita dengan indeks massa tubuh >30 kg/m2 akan meningkatkan terjadinya inkotinensia urin stress selama kehamilan. Sebagai tambahan peningkatan indeks massa tubuh tidak hanya berhubungan inkotinensia urin namun juga berhubungan dengan prolaps organ pelvis. Gyhagen et al menemukan bahwa prolaps organ pelvis yang simptomatik meningkat dengan bertambahnya indeks massa tubuh, merka juga menemukan bahwa wanita dengan prolaps dasar panggul lebih sering mendapatkan inkotinensia urin dibandingkan dengan wanita yang yang tidak menderita prolaps organ panggul.16 Pertumbuhan uterus dan fetus sendiri memberikan kontribusi pada stress kronik pada otot dasar panggul. Pada multigravida dapat terjadi penurunan kekuatan otot dasar panggul pada 22-35% wanita dengan kehamilan umur 20 minggu hingga 6 minggu postpartum.16 Pada saat hamil dan melahirkan dapat menekan nervus pudendal, aspek caudal otot levator ani, fascia penyokong organ pelvis dan spingter anal interna. Tekanan ini dapat mengurangi kekuatan otot dasar panggul dan meningkatkan mobilitas kandung kemih serta uretra. Wijma et al mengemukakan bahwa peningkatan mobilitas dari leher kandungkemih ditemukan pada wanita hamil. Jundt et al mengemukakan pula bahwa wanita hamil dengan inkotinensia urin memiliki mobilitas leher kandung kemih daripada wanita yang tidak hamil.16
11
Perubahan jumlah relaxin dan progesteron selama kehamilan kemungkinan mempunyai peranan dalam terjadinya inkotinensia urin. Relaxin memainkan peranan penting dalam proses miksi selama kehamilan, karena dapat menstimulasi pertumbuhan jaringan ditraktus urinarius bawah dan menigkatkan tekana uretra. Relaxin meningkat pada kehamilan 10-14 minggu dan menurun menjadi stabil pada kehamilan 17-24 minggu, yang nantinya akan mengurangi perkembangan epitel uretra sehingga dapat menurunkan tekanan uretra. Pada wanita hamil dengan inkotinensia urin mempunyai tekanan uretra yang rendah dibandingkan wanita hamil normal, kosentrasi relaxin yang rendah pada kehamilan berhubungan dengan tingginya prevalensi inkotinensia urin pada trimester kedua dan ketiga.16 Progesteron meningkat salama kehamilan dari 24 ng/ml pada minggu ke 8 kehamilan menjadi 150 ng/ml pada minggu ke 36 kehamilan. Peningkatan progesteron kemungkinan dapat membuat otot polos di sistem urinarius menjadi relax, yang nantinya akan meurunkan tonus ureter, kandung kemih dan uretra.16 Ekspansi uterus dan peningkatan berat badan janin sesuai usia kehamilan terutama pada terimester ketiga berhubungan dengan inkotinensia urin. Karena secara langsung dapat menekan kandung kemih yang dapat mengubah posisi leher kandung kemih dan mengurangi kapasitasnya, hal ini berkontribusi terhadap tekanan kandung kemih yang melebihi tekanan uretra sehingga menyebabkan kebocoran urin. Secara fisiologis pada prenatal terjadi perubahan seperti penigkatan tekanan akibat pertumbuhan uterus dan berat badan janin, bersamaan dengan kehamilan pula terjadi perubahan hormon progesteron, estrogen dan relaxin yang nantinya dapat menurunkan kekuatan spingter. Kelemahan otot kandung kemih menyebabkan mobilitas leher kandung kemih dan uretra, sehingga menyebabkan ketidak mampuan spingter uretra. Oleh karena itu ketika tekanan intra abdomen meningkat dengan batuk, bersin, tertawa atau bergerak tekanan dalam kandung kemih menjadi besar dari tekanan penutupan uretra dan nantinya spingter uretra tidak cukup kuat untuk memepertahankan penutupan uretra.16 Meskipun hubungan antara inkotinensia urin dan kehamilan jelas, namun mekanisme yang terlibat didalamnya masih belum jelas. Ada yang berpendapat hal itu bisa disebabkan oleh perubahan hormonal dan mekanis yang terjadi selama periode kehamilan. Setelah kehamilan, kadar hormon pada kebanyakan wanita akan stabil dan rahim akan kembali keukuran semula. Peningkatan kekuatan otot dasar panggul pada wanita selama periode post partum menunjukkan pada kehamilan dengan efek hormonal
12
dan mekanik merupakan faktor resiko yang penting dalam terjadinya inkotinensia urin dalam kehamilan.16 VI. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS Klasifikasi dibawah ini telah disetujui oleh ICS (International Continence Society): Stress urinary incontinence Strees inkotinensia terjadi karena mekanisme spingter uretral yang tidak adekuat untuk menahan urine pada saat keluar dari kandung kemih. Pasien biasanya menggambarkan pengeluaran urin sedikit-sedikit secara tidak sengaja pada saat melakukan aktivitas yang meningkatkan tekanan intraabdominal, seperti batuk, tertawa, bersin atau mengangkat beban. Seringkali stress inkontinensia urin terjadi pada wanita dewasa (dengan riwayat hamil dan melahirkan pervaginam), inkontinensia stress biasanya disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan lemahnya sphincter vesikouretral. Pada keadaan normal tekanan penutupan uretra merespon terhadap pengisisan kandung kemih, perubahan posisi, stress seperti batuk dan bersin. Spingter memiliki mekanisme sendiri untuk meningkatkan resistensi uretra dengan demikian menghalangi perembesan urin.18,19 Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:20 1. Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan. 2. Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan manuver stress dan ada sedikit penurunan uretra pada leher vesica urinaria. 3. Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesica urinaria 2 cm atau lebih. 4. Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria tampak kontraksi. Urge urinary incontinence Yaitu inkontinensia yang berhubungan dengan aktivitas detrusor, disebut juga instabilitas detrusor. Jenis inkontinensia ini dikarakteristikan dengan tidak adanya pembatasan kontraksi kandung kemih dan banyak terjadi pada orang tua. Pasien seringkali menggambarkan gejalanya tidak dapat mengontrol keinginan untuk mengosongkan kandung kemih. Simptom lainnya adalah meningkatnya frekuensi brekemih dan terjadina nokturia.4
13
Mixed urinary incontinence Mixed urinary incontinence merupakan gabungan gejala inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsi detrusor (motorik atau sensorik)dan berhubungan dengan aktivitas spingter uretra. Yang berarti terjadi pengeluaran urin yang tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk dan bersin.19
Inkontinensia fungsional Selain ketiga inkontinensia diatas juga terdapat inkontinesia fungsional atau transien. Inkontinensia fungsional terkait dengan gangguan kognitif, fisiologis, atau fisik yang membuatnya sulit untuk mencapai toilet atau kencing dengan cara yang benar. Singkatan yang berguna untuk mengingat penyebab inkontinensia urine fungsional atau transien adalah DIAPPERS: Delirium, Infeksi, Atrofi, Farmakologi, Psikologi, esccesive urin production, Retriksi Mobilitas , dan Stool Impaksi.20
Inkontinesia overflow Overflow inkontinensia merupakan keluarnya urin secara tidak terkendali yang dihubungkan dengan overdistensi dari kandung kemih. Dua proses yang melibatkan yaitu retensi urin akibat obstruksi kandung kemih atau tidak adekuatnya kontraksi kandung kemih. Hal ini dapat terjadi secara sekunder dari kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan otot detrusor. Selain itu obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung kemih.19
VII. DIAGNOSIS Penegakan diagnosis inkontinensia urin itu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya keluhan penderita yaitu: - Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan. - Keluarnya kencing tidak dapat ditahan. - Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh. Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam menentukan tindakan
14
selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’), merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium.4,13 Untuk menegakkan diagnosis, hal yang perlu dievaluasi sebagai faktor-faktor terjadinya inkontinensia urin yaitu:4,22
Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis inkontinensia urin adalah sebagai berikut:4,5 1. Sitoskopi : dipakai untuk menentukan adanya radang, tumor, striktur, perubahan struktut vesika urinaria yang kiranya dapat menimbulkan inkontinensia. 2. Urethrosistografi : dapat memperlihatkan keadaan urethra, vesika urinaria, dan sudut antara urethra dan vesica urinaria untuk memicu etiologi inkontinensia urin. 3. Sfingterometri : menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus rhabdosfingter lebih tinggi daripada muskulus lissosfingter dengan memanfaatkan miografi. 4. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria 5. Foto konvensional : untuk melihat kelainan pada panggul.
VIII. PENATALAKSANAAN A. Farmakoterapi 1.
Penggunaan obat untuk overactivitas bladder/overactivitas destrusor Baru-baru ini besar meta-analisis dari obat antimuscarinic paling banyak
digunakan telah jelas menunjukkan obat ini memberikan manfaat klinis yang signifikan terhadap inkontinensia urin. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan obat terbaik untuk pengobatan lini pertama, kedua, atau ketiga. Tak satu pun dari obat
15
antimuscarinic umum (darifenacin, fesoterodine, oxybutynin, propiverine, solifenacin, tolterodine dan trospium) digunakan sebagai pengobatan lini pertama yang ideal untuk semua pasien. Pengobatan yang optimal harus individual, mengingat co-morbiditas pasien, penggunaan obat yang bersamaan dan profil farmakologi dari obat yang berbeda.4,14,23
2. Penggunaan obat pada stress inkontinensia Farmakologi pengobatan stress inkontinensia bertujuan untuk meningkatkan kekuatan penutupan intrauteral dengan meningkatkan kontraksi otot halus dan lurik uretra. Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan semacam itu. Namun penggunaan klinis obat-obatan ini dibatasi oleh keberhasilan yang rendah dan / atau efek samping yang tinggi.17
16
3. Penggunaan terapi hormonal Estrogen membantu menjaga kesehatan jaringan yang penting untuk transmisi tekanan normal di dalam uretra. Yang termasuk jaringan tersebut adalah termasuk otot sphincter, jaringan urothelium dan pembuluh darah, serta sekresi uretra yang dapat membantu untuk menciptakan sebuah 'segel'. Estrogen pengganti (sintesis) telah dipromosikan sebagai solusi untuk inkontinensia urin pada wanita menopause, meskipun modus tindakan utamanya tidak jelas.14,22
B. Terapi fisik 1. Latihan otot-otot dasar panggul Program rehabilitasi dasar panggul ditujukan untuk memperkuat otot-otot dasar panggul. Otot-otot ini termasuk kelompok levator ani, sfingter anal eksternal, dan lurik sfingter uretra. Program rehabilitasi dapat mencakup informasi lisan atau tertulis yang sederhana, latihan dilakukan dengan biofeedback, kontraksi otot panggul dirangsang oleh stimulasi listrik fungsional atau kombinasi di atas. Pelatihan otot lantai panggul (juga disebut Kegel) adalah pengobatan yang efektif bagi wanita dengan inkontinensia stres dan campuran. Hal ini juga mungkin efektif dalam mengobati inkontinensia mendesak bila digunakan dalam kombinasi dengan pelatihan kandung kemih. Penilaian terhadap kekuatan otot dasar panggul dengan pemeriksaan dubur atau vagina digital idealnya harus dilakukan selama penilaian sebelum memulai pelatihan dasar otot panggul. Fokus dari pelatihan ini adalah untuk membangun kekuatan, daya tahan, dan koordinasi otot-otot dasar panggul. Sebuah program yang efektif dapat meningkatkan kekuatan kontraktil dan meningkatkan nada istirahat dari dasar panggul, yang memberikan dukungan baik dari organ panggul. Instruksi dapat diberikan oleh dokter perawatan primer, atau dengan bantuan seorang terapis fisik. Direkomendasikan
bahwa pasien melakukan 8-12
17
kontraksi maksimal dengan lambat dan berkelanjutan selama 6-8 detik masing-masing sebanyak tiga kali sehari, seolah-olah pasien sedang menahan kencing. Pelatihan otot dasar panggul harus dilanjutkan selama 3-4 bulan sebelum menilai hasil.4,14,21,23
2. Vaginal cones/kerucut vagina Karena pelatihan otot dasar panggul memiliki tingkat penghentian yang tinggi, vaginal cones dikembangkan untuk membuatnya lebih mudah untuk melakukan kontraksi otot panggul. Kerucut ditempatkan di vagina di atas tingkat otot-otot dasar panggul. Kontraksi otot ini diperlukan untuk mencegah kerucut tergelincir keluar dari vagina. Biasanya dianjurkan dilakukan dua kali sehari selama 15 menit. Kerucut vagina adalah dari berbagai berat, dan seorang wanita memasukkan kerucut berat semakin berat karena ia mampu mempertahankan itu. Keuntungan menggunakan kerucut sebagai metode melatih otot-otot panggul termasuk kemudahan penggunaan, kurva belajar dangkal, dan komitmen waktu yang singkat setiap hari, yang semuanya dapat menyebabkan kepatuhan meningkat.21
3. Stimulasi listrik Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.21,22
4. Terapi magnetik Terapi magnet bertujuan untuk merangsang otot-otot dasar panggul dan / atau akar sacral dengan menempatkan mereka dalam medan elektromagnetik. Terapi stimulasi magnetik disampaikan melalui perangkat portabel untuk pengobatan inkontinensia urin selama 8 minggu. Dalam studi pertama, pada wanita dengan inkontinensia stres, urgensi
18
atau campuran, secara signifikan memperlihatkan banyak perempuan dalam kelompok terapi magnet melaporkan perbaikan gejala.23,24
C. Behavioural terapi Bladder training (pelatihan kandung kemih) adalah pendekatan perilaku secara luas digunakan dan sangat membantu untuk inkontinensia. Hal ini bertujuan untuk mengurangi episode mengompol karena kontraksi detrusor tak terbatas dengan menempatkan pasien pada program berkemih dijadwalkan dengan peningkatan bertahap dalam durasi antara void, dan menggunakan teknik penekanan mendesak dengan gangguan atau relaksasi. Pendekatan ini paling sering digunakan untuk pengobatan urge inkontinensia, tetapi juga dapat meningkatkan gejala stres dan inkontinensia campuran. Hal ini paling efektif untuk pasien yang tidak mempunyai gangguan secara fisik dan kognitif, dan membutuhkan pasien yang termotivasi. Hasil ditingkatkan dengan pendidikan pasien dan dukungan positif oleh para profesional kesehatan.23,24
D. Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’) 1. Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka. 2. Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dg inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina. 3. Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.22
E. Penanganan operasi 1.
Penanganan operasi untuk inkontinensia overflow
a. Stimulasi saraf sacral Prinsip neuromodulation adalah bahwa stimulasi listrik sesuai jalur refleks sacral akan menghambat perilaku refleks kandung kemih. Permanen implan stimulator akar sacral telah dikembangkan untuk memberikan rangsangan kronis langsung ke akar saraf S3. Pasien pertama menjalani evaluasi perkutan saraf di mana jarum dimasukkan melalui foramina sacral di bawah anestesi lokal. Hal ini terhubung ke sumber rangsangan
19
eksternal dan dibiarkan di tempatnya selama beberapa hari. Mereka yang menunjukkan respon yang memuaskan untuk evaluasi saraf perkutan kemudian dapat melanjutkan ke implan permanen.23
b. Cystoplasty Augmentation Cystoplasty Augmentation bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih fungsional dengan bivalving dinding kandung kemih dan menggabungkan segmen usus ke dalam cacat yang dihasilkan. Paling umum, dilakukan pada segmen ileum tetapi kadang-kadang digunakan segmen ileocaecal dan sigmoid. Segmen usus lain yang tervaskularisasi telah digunakan, dengan dan tanpa permukaan epitelnya, namun teknik ini kebanyakan diterapkan kepada anak-anak.23
c. Urinary diversion Urinary diversion menunjukkan bahwa drainase urin telah dialihkan jauh dari uretra. Hal ini paling sering dicapai dengan cara transposing ureter ke segmen terisolasi dari ileum, yang digunakan untuk membuat kulit tetap stoma (ileum saluran). Urine yang mengalir terus menerus, dikumpulkan dalam kantong stoma, yang melekat pada kulit dinding perut. Segmen usus lain dapat digunakan termasuk segmen jejunum dan kolon tetapi ini tidak biasa. Kontinen diversi urin dapat dicapai dengan penciptaan stoma abdominal catheterisable, atau dengan pembentukan kandung kemih dubur. Teknikteknik ini sebagian besar digunakan pada anak-anak dan pasien dengan disfungsi kandung kemih neurogenik dan jarang pada wanita dewasa dengan UI.23 d. Detrusor myectomy Detrusor myectomy bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih fungsional dengan excising otot kandung kemih dari fundus kandung kemih dengan meninggalkan mukosa secara utuh, sehingga menciptakan diverticulum lebar berleher permanen. Cacat ini biasanya ditutupi dengan segmen omentum dimobilisasi. Secara teoritis, tindakan ini dapat menghindari komplikasi yang berkaitan dengan perlengketan penempatan usus.23 2.
Penanganan operasi untuk inkontinensia stress
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi : a.
Operasi untuk menambah penutupan sfingter. Prosedur di bagian ini meliputi suntikan agen bulking uretra dan implan yang bertujuan untuk menyumbat uretra.23
20
b.
suspensi abdominal leher kandung kemih, misalnya colposuspension, Marshall Marchetti Krantz (MMK).
c.
Metode sling seperti ension-free vaginal tape (TVT), Aldridge sling.
d.
Periurethral injectables
e.
Endoscopic bladder neck suspension
f.
Anterior repair
g.
Artificial urinary sphincter.23,24
IX. KESIMPULAN Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat dijumpai pada semua umur, khususnya pada perempuan dengan derajat dan variasi perjalanan penyakit. Inkontinensia urin terjadi ketika ada disfungsi baik dalam fungsi penyimpanan atau kadang-kadang dalam fungsi pengosongan saluran kemih bawah. Penegakan diagnosis inkontinensia urin itu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Klasifikasi inkontinensia urin dapat dibagi menjadi lima secara garis besar, yaitu stress inkontinensia urin, urge inkontinensia urin, overflow inkontinensia urin, mixed inkontinensia urin, dan fungsional inkontinensia urin. Untuk mendiagnois inkontinensia urin kita dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan inkontinensia urin dapat secara konservatif, behavioural, dan operatif.
21
DAFTAR PUSTAKA 1.
Setiati Siti, Dewa I Putu P. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Sudoyo Aru W,dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal: 139299.
2.
Jenis inkotinensia urin. [cited on 2013] . [online on marc 2013]. M
3.
Iman, B susanto. Inkontinensia Urin pada Perempuan. Dalam : Maj Kedokt indon. Volume 58 No 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. H. 258-64
4.
Salick A, Tajammul A, et al.Frequency of urinary symptomps in pregnancy. Biomedica journal vol.21,2005
5.
Buku ilmu kandungan biru hal 460-7
6.
Urinary Incontinence: Epidemiology, Pathophysiology, Evaluation, and Management Overview. In: Victor W. Nitti MJGB, MD, editor. Campbell-Walsh Urology. 9th ed: Saunders, An Imprint of Elsevier; 2007.
7.
Epidemiology of Urinary Incontinence. In: Horst-Dieter Becker AS, Diethelm Wallwiener and Tilman T. Zittel, editor. Urinary and Fecal Incontinence. New York: Springer Berlin Heidelberg; 2005. p. 1-10.
8.
Lower Urinary Tract Anatomy and Physiology. [cited on 2012] . [online on descember 2012].
http://www.life-tech.com/education/urology-education/introduction-to-
urodynamics/lower-urinary-tract-anatomy-and-physiology/ 9.
Faiz O., Moffat D., Pelvis II Isi Dalam Panggul. In: At a Glance Series Anatomy. Jakarta: Erlangga;2008
10. What
is
the
uretral.
[cited
on
2012]
.
[online
on
descember
2012].
http://www.wisegeek.com/what-is-the-urethral-sphincter.htm 11. Amithia Sarah. Anatomi Makroskopis dan Mikroskopis Vesika Urinaria dan Uretra. [cited on 2011] . [online on descember 2012]. http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/medicine-history/2240925-anatomi-makroskopis-dan-mikroskopis-vesika/ 12. Furqan., Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap : Pertama Kali fan Berulang. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2007 13. A. Schröder, P. Abrams, Et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of Urology. 2010.P:1-10
22
14. Santiagu Stanley K, Arianayagam Mohan,
Wang Audrey. Urinary incontinence
Pathophysiology and management outline. Reprinted from Australian Family Physician Vol. 37, No. 3; 2008. P:1-5. 15. Saigal C, Litwin M S, Epidemiology of Female Urinary Incontinence in Female Urology, Urogynecology adn Voiding Disfunction. Newyork : Marcel Dekker; 2005. P 43-51 16. Sangsawang B, stress Urinary Incontinence in Pregnant Women : a Review of Pervalence, Pathophysiology and Treatment. Newyork: Journal of Urogynecology.2012 17. American Urological Association. Urinary Incontinence. [cited on august 2012] . [online on descember 2012]. www.aua.org/urinaryinkontinence.pdf 18. Urinary Incontinence. In: Emil A. Tanagho M, Anthony J. Bella, MD, & Tom F. Lue, MD, editor. Smith's General Urology. 17th ed. New York McGraw-Hill Companies; 2008. p. 486-502. 19. Geriatric Medicine.
Harrison's Internal Medicine. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2005. 20. INKONTINENSIA URIN. [cited on august 2012] . [online on descember 2012]. http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf 21. Jackowski Leslie, Rowett Debra, Scheurer Danielle. Diagnosing and treating urinary incontinence. Pennsylvania. 2010. P:1-56 22. Welsh Andrew. Urinary incontinence the management of urinary incontinence in women. Chapter 3 and 4. London; RCOG Press: 2006. P:21-85. 23. Robert Magali, Ross Sue. Conservative Management of Urinary Incontinence. 2006. P: 1-6 24. Elder Rose , Kelleher Cornelius. Urogynaecology. Rosevear Sylvia K . In: Handbook of Gynaecology Management. Chapter 9. London; Blackweel Science. 2002. P: 292-320
23
View more...
Comments