iii

June 24, 2019 | Author: Muhammad Didik Nugraha | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

iii...

Description

UNIVERSITAS PERTAHANAN

Dosen: LETJEN TNI (PURN) DR. WAYAN MIDHIO M.PHIL

TUGAS MATA KULIAH KEPEMIMPINAN STRATEGIS KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESAR JENDERAL SUDIRMAN DALAM SERANGAN UMUM SATU MARET

Oleh: Barita Pardomuan Inganta P.S.

120170401003 120170401003

Bayu Pramana Putra

120170401004 120170401004

Fuji Ayu Astuti

120170401009 120170401009

M Didik Nugraha

120170401012

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTAHANAN PROGRAM STUDI INDUSTRI PERTAHANAN

BOGOR AGUSTUS, 2018

Serangan Umum 1 Maret 1949: Kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman oleh Barita P.I.P Situmorang, Bayu Pramana Putra, Fuji Ayu Astuti, Muhammad Didik Nugraha

P serentak di seluruh wilayah Divisi III/GM III. Serangan difokuskan pada ada tanggal 1 Maret 1949, serangan yang begitu besar dilakukan secara

ibukota Indonesia yaitu Yogyakarta dan juga kota-kota di sekitar Yogyakarta, seperti Malang, hal ini sesuai instruksi rahasia yang diberikan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Wehrkreis I, Letkol Bahrun, dan komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat serangan digencarkan secara bersamaan, serangan lainnya juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II dengan tujuan serangan adalah Kota Solo untuk menahan Tentara Belanda agar tidak dapat mengirim bantuan logistik ke Yogyakarta. Hal ini sesuai dalam buku Seskoad, terkait operasi militer yang tertulis: “Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.” 1 Serangan terhadap Kota Yogyakarta, menimbulkan banyak korban di pihak Indonesia yaitu 300 prajurit dan 53 anggota polisi yang tewas di lokasi penyerangan. Namun, untuk rakyat yang tewas tidak dapat dihitung jumlahnya. 2 Kabar serangan “besar -besaran” juga tersiar melalui siaran radio yang ditangkap dari Burma, tentu hal gembira ini menyiarkan serangan besarbesaran yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut dibawakan oleh Mr. Alexander Andries Maramis yang berlokasi di New Delhi dan menjadi headline di berbagai media cetak di India. Sementara berita lainnya juga disiarkan melalui Indonesia Office di Singapura. Hal ini diutarakan oleh Islam Salim yang mencatat bahwa berita 1 Seskoad, 2 Seskoad,

Serangan Umum ...., hlm. 196-197. Serangan Umum..., hlm. 241.

serangan tersebut justru bukan dari New Delhi, melainkan diberitakan dari Indonesia Office  di Singapura. Adapun catatan singkat Islam salim sebagai berikut: “Prakarsa UNCI untuk Perjanjian Roem-Royen di atas diambil sesuai dengan keputusan PBB pada sidang umumnya di Paris, yang menghendaki agar kedua pihak yang bertikai kembali ke meja perundingan karena Sidang Umum PBB telah mengkonstatir kegagalan Agresi Kolonial Belanda dengan tetap tegaknya negara RI. Hal ini, antara lain, didasarkan atas press release Press Officer perwakilan RI di PBB, Soedjatmoko, tentang terjadinya Serang Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, di daerah Brigade X/ Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, yang beritanya diterima melalui Mayor Wibowo dari Indonesia Office di Singapura.” 3 Serangan umum 1 Maret bukan sekadar serangan yang biasa dilakukan, namun serangan ini merupakan kesuksesan Indonesia dalam melawan Belanda. Serangan umum ini menunjukkan bagaimana kekuatan Indeonesia dapat mengalahkan Belanda dan tersiar di seluruh dunia. Namun yang pentiing disini

adalah

sosok

kepemimpinan

Jenderal

Sudirman.

Bagaimana

kepemimpinan Jenderal Sudirman dalam merencanakan serangan? Koordinasi dilakukan antar elemen bangsa dalam menjalankan serangan umum ini. Serangan umum 1 Maret ini merupakan perlawanan Indonesia terhadap Belanda dalam merebut Kota Yogyakarta di bumi Nusantara. Perlawanan heroik dari berbagai pemimpin bangsa dikerahkan dalam usaha ini, terutama peranan seorang Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namanya telah diabadikan sebagai pahlawan nasional dalam lembaran sejarah Indonesia. Tulisan singkat ini akan menguraikan sampai seberapa jauh perannya sebagai seorang pemimpin perjuangan dalam Serangan umum 1 Maret tahun 1949. Bagaimana kekuatan pasukan dan pengorganisasiannya? Nilai-nilai moral apakah yang membuat Belanda tidak mampu mengatasi serangan umum ini. Serangan umum 1 Maret yang terjadi di Kota Yogyakarta dilakukan di  jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat, hal ini sesuai instruksi dari 3 Salim,

Terobosan PDRI..., hlm. 52-53.

Panglima Besar yaitu Jenderal Sudirman. Perencanaan dan persiapan serangan ini ditujukan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dalam arti luas Indonesia masih ada dan cukup kuat, dan dengan demikian posisi Indonesia di DK PBB dapat diperkuat dalam perundingan yang dilakukan. Serangan umum ini juga dilakukan oleh AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang dikerahkan dalam peperangan ini diantaranya dari Brigade IX dan Brigade X, dan di back up oleh pasukan Wehrkreis I dan II yang menjalankan misi untuk mengikat Belanda dalam pertempuran di uar Wehrkreise III, untuk mencegah atau memperlambat bantuan logistik Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Panglima Besar Jenderal Sudirman membangun jaringan TNI dengan menugaskan Letkol dr. Wiliarter Hutagalung pada awal Februari 1948 yang selanjutnya pada September 1948 diangkat menjadi Perwira teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III.

Jenderal Sudirman melakukan pertemuan dengan Hutagalung yang

membahas resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Jenderal Sudirman juga mendengar hal tersebut sebelumnya melalui radio Rimba Jaya. Jenderal Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengcounter propaganda Belanda. Jenderal Sudirman membuat grand desain perihal serangan sebagai berikut: 1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II, dan III; 2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III; 3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III; 4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar; 5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional. Serangan harus diketahui oleh dunia internasional ini dilakukan dengan bantuan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang untuk koordinasi dengan

pemancar radio yang diwakili oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat. Serangan ini berhasil tersiar di radio dengan keberhasilan Serangan umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang banyak didengar oleh warga asing, sehingga banyak simpati yang didapatkan para perjuangan TNI. Tujuan utama dalam pemberitaan ini adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI terhadap dunia internasional, hal ini dilakukan dengan anggota UNCI dan wartawan asing serta pengamat militer melihat perwira-perwira yang mengenakan seragam TNI. Sebelum terjadinya serangan umum 1 Maret ini, TNI sudah tersebar diberbagai media untuk menjatuhkan moral lawan musuh sehingga tidak dapat beristirahat dengan tenang. Sejak agresi militer Belanda II, tentara Belanda di tempatkan

secara

terpisah.

Sabotase

pun

dilakukan

oleh

TNI

untuk

memutuskan jaringan komunikasi musuh. Selain itu merusak jaringan rel kereta yang sering digunakan Belanda dalam membantu logistik, dan hal ini cukup membuat goyah Belanda. TNI melakukan serangan di malam hari, hal ini membuat teknologi canggih Belanda tidak berarti, ditambah lagi dengan bantuan barisan rakyat dan laskar. Setelah melakukan beberapa tembakan dengan tingkat akurasi yang tinggi terhadap penjaga, sehingga korban muncul dipihak Belanda. Setelah serangan tersebut berjalan, pasukan TNI cepat berbalik ke hutan-hutan dan kampung-kampung sekitar Yogyakarta. Berbagai aksi dan sabotase terhadap fasilitas vital Belanda ini merupakan awalan dan pemanasan bagi TNI dan barisan rakyat. Awalan serangan ini dilakukan terus menerus dengan area yang menyebar. Belanda pun terpaksa memperbanyak pos-pos penjagaan di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang sudah diduduki. Namun hal itu merupakan hal yang sia-sia karena dengan tindakan pemuda bangsa maupun masyarakat Yogyakarta

dengan

mudah

memotong

instalasi

komunikasi

sehingga

membantu perjuangan TNI. Perang gerilya yang dilakukan Wehrkreise III hampir tidak berhenti. Banyak penghadangan dan sergapan terhadap pos maupun konvoi Belanda hampir tiap hari terjadi. Pada tanggal 21 Januari 1949, gerilya Wehrkreise III dalam penghadangan patrol Belanda antara Yogyakarta  –  Bantul berhasil menghancurkan 2 truk Belanda, dan tanggal 10 Februari 1959 terjadi

penghadangan yang serupa. Selain itu satuan TNI juga melancarkan serangan atas kedudukan Belanda di Bantul yang membawa korban cukup besar bagi Belanda; beberapa orang anggota tentara Belanda tewas. Kecuali oleh satuan TNI di daerah selatan SWK 102. Penghadangan dan serangan terhadap kedudukan Belanda juga dilakukan oleh anggota kepolisian khususnya dari satuan Brigade Mobil pimpinan IP II, J. Soeparno di daerah Bantul Timur. Gerakan dari satuan ini pun menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi pihak Belanda. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Serangan itu telah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepat pukul 6 pagi, serangan dimulai. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Malam hari, menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota. Ada  juga yang disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Kota Yogyakarta pertama kalinya di serbu pasukan gerilyawan secara besar-besaran dan serentak pada banyak posisi yang terpencar. Secara umum terbagi 4 area serangan yaitu dari arah selatan oleh pasukan SWK 102 di pimpin oleh Mayor Sarjono, dari arah Barat oleh pasukan SWK 103 A di pimpin Mayor H.N. Soemoeal, dari arah utara pasukan SWK 104 di pimpin oleh Mayor Soekasno, dan dadri arah timur yang dilakukan oleh Pasukan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Soedjono. Di wilayah kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, pasukan TNI mengundurkan diri. Serangan Umum 1 Maret 1947 merupakan serangan yang menunjukkan besarnya kekuatan rakyat Indonesia yang diwujudkan dalam TNI guna melindungi keutuhan bangsa. Serangan tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada pemimpin yang mengatur dan mengomandoi jalannya pertempuran.

Pemimpin tersebut adalah Jenderal Soedirman. Soedirman yang merupakan putra daerah Purbalingga merupakan sosok yang begitu disegani karena ketegasan dan juga pengaruh kepemimpinan yang dimilikinya. Sikap seorang pemimpin telah dimiliki Soedirman sedari dini dimana orang tuanya R. Tjokroseonarjo yang merupakan seorang Assisten Wedana Onderditrik Bodaskarangjati Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga, telah memberikan pendidikan yang cukup untuk mengolah kecerdasan intelektual anaknya. Soedirman bersekolah di HIS (Sekolah Rakyat), lanjut ke Taman Dewasa kemudian pindah ke perguruan kebangsaan Mulo (SMP) Wiworo Tomo. Di Wiworo Tomo jugalah, Soedirman dididik dan diajarkan untuk menjadi warga negara yang demokrat, religius dan cinta kepada keperwiraan dengan mencintai tanah air dan bertanggung jawab atas nasib yang menimpa bangsanya. Selanjutnya, Soedirman menyelesaikan pendidikan ke HIK (Sekolah Guru) Muhammadiyah Soko. Sebelum menjadi seorang jenderal besar,

Soedirman

merupakan

guru

sejarah

di

HIS

(Sekolah

Dasar)

Muhammadiyah Cilacap. Kecakapan sebagai seorang guru didapatkan Soedirman dari pengalaman dan kegiatan yang pernah diikutinya. Soedirman yang haus akan ilmu juga terlihat sejak masih sekolah dimana sangat tekun belajar yang tidak terikat oleh waktu dan ketetapan yang diberikan oleh gurunya. Sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh Soedirman berada di atas teman-temannya. Bakat kepemimpinannya pun sangat menonjol, dimana Soedirman sering dilibatkan menjadi panitia acara yang membutuhkan keterampilan

dan

kecakapan

dalam

memimpin

teman-temannya.

Kesederhanaan, kesabaran, kedisiplinan dan sifat mengasuh rekan-rekan, merupakan

faktor

penunjang

keberhasilannya

dalam

mengetuai

setiap

kegiatan. Selain itu, melalui pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, yang beragama dan berpendidikan barat tetapi tidak mau bekerja untuk pemerintah membentuk kedewasaan sikap dan pikirannya terhadap perjuangan. Berasal dari lingkungan warga sipil biasa dengan profesi sebagai seorang guru, kepemimpinannya semakin terasah saat menjadi anggota perkumpulan Hizbul Wathon (HW) Cilacap dan Pemuda Muhammadiyah yang kemudian

meningkat

menjadi

pemimpin

kedua

organisasi

tersebut.

Di

dalam

keorganisasian HW, Soedirman dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, mampu menempatkan diri, sopan terhadap yang tua, dan prihatin terhadap sesama. Bahkan Soedirman tidak malu dan ragu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kepanduan yang terdapat dalam HW digunakan untuk melatih fisik dan mental, patuh dan disiplin terhadap peraturan. Menjadi seorang pemimpin di HW memberikan tambahan beban yang berat bagi Soedirman.  Apabila menjadi bawahan, bertanggung jawab terhadap suksesnya seorang pemimpin maka sekarang apapun yang akan terjadi pada kelompoknya, Soedirman lah yang bertanggung jawab. Seorang pemimpin tidak hanya memberi perintah dan instruksi tetapi juga memberikan contoh yang baik, Soedirman telah membuktikan itu. Meski Soedirman adalah seorang pemimpin yang tegas, tetapi saat berkomunikasi dengan

anak

kecil

sosok

Soedirman

menjadi

pribadi

yang

humoris.

Menceritakan sesuatu dengan bahasa yang sederhana dan baik, dengan tujuan mengajarkan kejujuran dan keberanian disertai akhlak yang mulia. Mampu menempatkan diri pada pergaulan, sebagai seorang siswa akan bergaul dengan siswa lainnya, sebagai seorang pandu akan bertindak dengan kode etik yang berlaku, dan terus mengembangkan pergaulan menjadi lebih luas lagi. Hal yang dimiliki oleh Soedirman lainnya adalah cara menghadapi setiap permasalahan

yang

harus

dipecahkan,

Soedirman

menggunakan

cara

bermusyawarah mencapai mufakat karena Soedirman termasuk pemimpin yang sangat menghargai pendapat meski pendapat tersebut bertentangan satu dan lainnya. Baginya pendapat adalah dinamika yang menguntungkan dimana di dalam setiap perbedaan hal terpenting yang harus dilakukan adalah mencari persamaan. Setiap keputusan yang diambil dilakukan dengan hati-hati, tenang dan terinci. Begitu juga saat di Organisasi Pemuda Muhammadiyah, Soedirman aktif dan mencurahkan pikirannya terhadap perkembangan Muhammadiyah tanpa mengesampingkan kepanduan HW. Soedirman merupakan anggota yang tekun mengikuti setiap kegiatan organisasi, tanpa memiliki ambisi apapun. Memulai organisasi dari bawah hingga mencapai posisi Wakil Majelis Pemuda

Muhammadiyah (WMPM). Di samping kesibukan sebagai pimpinan organisasi, Soedirman tetap bekerja sebagai guru untuk memenuhi kehidupannya seharihari. Semua itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan keuletan. Meski jadwal padat, Soedirman tetap meluangkan waktu untuk mempelajari agama. Pengetahuan agama didapatkan secara otodidak (belajar sendiri), melalui menghadiri tabligh yang diadakan oleh madrasah, bertanya kepada yang memiliki pengetahuan agama dan mengikuti pengajian. Setelah mengetahui ilmunya, maka akan diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tampaklah sikapnya yang sholeh, tidak egois dalam pendirian, dan menjaga keharmonisan dengan golongan muda dan kaum tua. Setiap nasihat yang didapat, didengarkan. Apabila ada aspirasi dipertimbangkan dengan sebaik mungkin. Soedirman mampu menggabungkan pendapat yang ada tanpa menonjolkan suatu pihak. Hal lainnya adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah swt. Di dalam melakukan setiap perbuatan tidak terlepas dari kebiasaan solat tahajud guna meraih petunjuk dan kemudahan dalam bertindak karena menurut Soedirman restu Tuhan sangat berpengaruh besar. Kecakapannya dalam berbicara menghipnotis objek yang dituju dan dapat diterima oleh semua pihak. Soedirman dikenal sebagai sebagai orang yang jujur, loyal, berpendirian teguh dan

berani.

Sifatnya

yang

menonjol

sebagai

pemimpin

adalah

tidak

mempelihatkan diri sebagai seorang pemimpin, yang senantiasa melayani siapapun dan dalam situasi apapun, serta sangat mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Menjelang masa pendudukan Jepang, Soedirman melepaskan tugasnya sebagai seorang guru untuk menjadi anggota Lucht Bescherming Dienst   (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Soedirman menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin, karena memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan rakyat. Hingga runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda yang digantikan dengan pendudukan Jepang di Indonesia, Soedirman melakukan negosiasi dengan Jepang untuk membuka kembali sekolah Muhammadiyah yang sebelumnya sempat ditutup guna memperoleh kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Jepang. Karena kecakapannya

Soedirman dipercaya untuk memegang Keibodan Putri. Sikap Soedirman yang bersahaja, supel dan menyenangkan ini membuatnya mudah mendapatkan informasi mengenai Pembela Tanah Air (Peta) sehingga Jepang menaruh kecurigaan dan memasukkannya ke dalam kemiliteran Peta dengan jabatan Daidancho  (Komandan Batalyon). Di sinilah karir kemiliterannya mulai meningkat. Saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Soedirman bersama Chudanco (Komandan Kompi) dan perwira lain berinisiatif dalam usaha merebut kekuasaan dari tangan bala tentara dan pemerintah Jepang. Di dalam usahanya tersebut, kejituan strategi dan ketenangan pribadinya sebagai pimpinan maka perebutan kekuasaan dapat berjalan baik tanpa menimbulkan korban. Soedirman sendiri sangat bertanggung jawab dan mencintai anak buahnya, sehingga apabila ada orang Jepang yang bertindak melampaui batas pada

Daidan-nya,

maka

Soedirman

akan

memperingatinya

dengan

mengatakan bahwa Daidancho yang bertanggung jawab terhadap Daidan bukan Sidokang Dono (instruktur dan pengawas pihak Jepang). Bahkan Soedirman

memerintahkan

anak

buahnya

untuk

melawan

dengan

semboyannya “bekatl saudaranya merang, pukul dulu urusan melawan”.  Apabila ada anak buah yang akan melakukan pemberontakan, maka Soedirman akan mengendalikan emosi dan membesarkan hati dengan mengatakan akan memimpin pemberontakan itu sendiri. Daidancho  Soedirman merupakan pemimpin yang berhasil mencegah terjadinya pertumpahan darah saat pertempuran terjadi, dengan melakukan strategi yang telah dikalkulasikan sebelumnya secara cermat, tepat dan cepat. Sosok pemimpin yang tidak pernah kehabisan semangat untuk membakar jiwa nasionalisme anak buahnya. Berdasarkan Dekrit Pemerintah 5 Oktober 1945, maka terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi titik awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Soedirman pun memimpin TKR Banyumas dengan pangkat Kolonel dan diangkat sebagai Komandan Divisi V Daerah Banyumas. Sebagai seorang tentara Soedirman menyadari pentingnya arti tentara bagi perjuangan bangsa, sehingga saat terjadi pertemuan besar di Purwokerto, Soedirman menyampaikan beberapa poin penting, seperti:

1. Kedudukan

dan

kewajiban

tentara

yang

dipimpin

adalah

mempertahankan kemerdekaan sepenuhnya. 2. Di saat negara mengalami pergantian kepemimpinan, tentara tetap berjuang dengan rakyat membela tanah air. Dimana ungkapan “lebih baik di atom sama sekali daripada merdeka tidak 100% menggema. 3. Tiga dasar bangunan pikiran terhadap TNI ditetapkan, yaitu tentara Indonesia adalah tentara nasional, tentara Indonesia adalah tentara pejuang dan tentara Indonesia adalah tentara rakyat.

Sebagai pimpinan Batalyon TKR Divisi V, Soedirman terus mempertebal perasaan disiplin militer kepada anggota, memupuk semangat juang dengan mendoktrin pengabdian diri kepada negara karena TKR adalah tentara pejuang. Dengan adanya strukturisasi di dalam tubuh TKR maka pada 18 Desember 1945 Soedirman disahkan sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal atas hasil Konferensi TKR pertama pada 12 November 1945 di Yogyakarta.

Soedirman

menyadari

bahwa

perjuangan

didapat

dengan

mempersatukan seluruh daya dan dana. Oleh karena itu, Soedirman mengambil keputusan untuk menyatukan seluruh pejuang menjadi satu kesatuan laskar yang saling menolong dan menguatkan TKR. Bersama Oerip Soemaharjo sebagai wakilnya, Soedirman mengatasi masalah yang bersifat politik militer, sedangkan Oerip Soemaharjo menyelesaikan masalah teknis militer. Saat

Agresi

Militer

Belanda

I

tahun

1947,

Soedirman

dengan

kepemimpinannya memerintahkan secara tegas agar para TNI bersatu dan tidak kehilangan semangat berperang. Hal ini dimunculkan guna mengurangi fokus para pejabat dan menyadarkan kembali akan pentingnya tugas TNI. Pada saat itu juga kesehatan tubuh Soedirman menurun hingga menyerahkan mandat

kepada

Oerip

Soemaharjo

sementara.

Akan

tetapi

semangat

perjuangannya tidak pernah menurun. Soedirman tetap mencurahkan pikiran dan perhatiannya dalam merumuskan strategi yang digunakan dalam menghadapi Belanda, bahkan saat ada tamu yang menjenguknya, Soedirman tetap memberikan pertanyaan terhadap situasi yang sebenarnya.

Mengetahui keadaan semakin darurat maka Soedirman yang masih dalam kondisi sakit memerintahkan diadakannya latihan perang kepada seluruh  Angkatan Perang guna menghadapi perang yang sesungguhnya. Hingga pada akhirnya pada Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948 yang terjadi dikarenakan Belanda melanggar perjanjian Renville dengan menyerang Yogyakarta, yang saat itu berfungsi sebagai Ibukota Negara RI, Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang menegaskan bahwa apapun yang terjadi, Soedirman akan memimpin perang gerilya. Sikap pantang menyerah, bertekad baja, semangat juang tinggi dan menempatkan kepentingan negara di atas segalanya membuat Soedirman tetap berjuang hingga akhir. Peran Soedirman pada serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, belakangan ini mendapat resistensi dari beberapa orang yang mengaku sebagai saksi sejarah yang berpendapat bahwa tokoh sentral sekaligus pemrakarsa dari serangan umum tersebut adalah Letkol Soeharto dan Sri Sultan Hamangkubowono IX. Dimana pada saat itu Letkol Soeharto menjabat sebagai Komandan Pasukan Keamanan Ibu kota Jogjakarta dan Sri Sultan HB IX selain sebagai Sultan Keraton Jogjakarta juga menjabat sebagai Menteri Bidang Pertahanan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa komandan lapangan yang memimpin langsung penyerangan terhadap Jogjakarta adalah Letkol Soeharto, namun tentu dalam hal ini harus dipahami bahwa peristiwa serangan umum yang dipimpin oleh Letkol Soeharto tersebut bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri karena sebelumnya telah ada perintah langsung dari Panglima Soedirman yang disebut dengan Siasat Panglima Soedirman yang berbunyi untuk melakukan penyerangan terhadap Jogjakarta dan kota-kota lain disekitar Jogjakarta dengan tujuan untuk mencegah bantuan logistik militer Belanda menuju Jogjakarta. Kepemimpinan Soedirman tidak cukup dinilai hanya dari peristiwa serangan umum di Jogjakarta, karena perjuangan beliau menyertai proses terbentuknya Republik Indonesia hingga mempertahankan kemerdekaan. Namun nilai yang terkandung pada serangan umum 1 Maret di Jogjakarta mempunyai arti tersendiri mengingat serangan tersebut berdampak pada kepercayaan internasional bahwa negara Republik Indonesia masih ada.

Dampak dari serangan tersebut menyebabkan PBB memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan dan pada akhirnya kemenangan perjuangan fisik diikuti dengan kemenangan diplomasi bangsa Indonesia. Melalui

serangan

umum

Jogjakarta,

Panglima

Soedirman

telah

menunjukan bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang mempunyai kemampuan

strategic

leadership  dengan

berani

mengambil

keputusan

mengeluarkan perintah untuk menyerang Jogjakarta dan wilayah-wilayah disekitarnya untuk menghasilkan efek internasional bagi perjuangan bangsa Indonesia diforum internasional. Penyerangan tersebut dilakukan dalam kondisi penuh keterbatasan, sehingga dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, namun memberikan dampak yang sangat besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam peristiwa serangan umum di Jogjakarta dapat disimpulkan bahwa pemimpin strategis mampu mengatur dan mensinergikan sumber daya yang ada untuk menghasilkan pencapaian yang maksimal. Pemimpin strategis tidak harus selalu berada paling depan dalam mencapai tujuan yang strategis (a higher purpose),

namun mampu memotivasi anak buahnya untuk

memberikan yang terbaik demi kepentingan organisasi. Berbicara mengenai Thinking Strategic,

Soedirman telah membuktikan

melalui kemampuannya mengatur strategi perang menghadapi Belanda yang memiliki kemampuan yang jauh lebih kuat dari segi peralatan militer, beliau menyadari bahwa pasukannya tidak mungkin untuk berhadapan secara frontal dengan pasukan Belanda, untuk itu Soedirman memutuskan untuk melakukan perang gerilya, dengan pertimbangan memperkecil resiko kerugian bagi pasukan TKR yang dipimpinnya. Hal itu menunjukan bahwa Soedirman sebagai pemimpin telah

melakukan pengelolaan resiko atas suatu keputusan yang

diambilnya. Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan tidak bertindak ceroboh dan memperhitungkan segala resiko yang akan terjadi, upaya meminimalisir kerugian terutama kerugian kehilangan nyawa pasukannya ditekan seminimal mungkin, walaupun dalam suatu pertempuran kehilangan nyawa adalah suatu konsekuensi. Salah

satu

faktor

yang

menyebabkan

Soedirman

mempunyai

pengaruh/kewibawaan dihadapan pasukannya adalah karena kemampuannya

dalam melakukan prediksi situasi yang akan terjadi, mungkin dalam hal ini pasukannya menganggap bahwa Soedirman mempunyai kemampuan lebih (indra keenam), padahal sesungguhnya kemampuannya itu adalah didasarkan karena Soedirman telah menerapkan tindakan forecasting , antisipation step, dan risk management. Tindakannya tersebut adalah sebagian dari kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mampu menjadi pemimpin strategis. Hal itu dapat dilakukan oleh Soedirman karena didukung oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya karena Soedirman sebelum menjadi tentara adalah seorang pendidik dan pernah menjadi kepala sekolah, tentu di era saat itu profesi seorang pendidik sudah memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan yang lain, karena tidak banyak alternatif pr ofesi yang ada. Faktor lain yang mendukung ketepatan Soedirman dalam mengambil keputusan adalah kemampuannya untuk mengolah informasil, untuk itu Ia senantiasa membuka komunikasi dengan bawahannya dan tidak menempatkan diri sebagai pemimpin yang eksklusif. Soedirman menyadari betul bahwa para komandan yang berada dilapangan adalah orang-orang yang memahami dan menguasai medan, sehingga Ia harus mempertimbangkan masukan dan saran saran dari para komandan tersebut. Oleh karena itu Soedirman dalam merancang grand strategy peperangan memperhatikan masukan dan saran dari orang-orang yang berada di lapangan (open leadership),

karena

komandan lapangan adalah yang melakukan eksekusi dari grand strategy  yang dirancang oleh Soedirman. Melalui kemampuannya dalam mengolah informasi ini, semakin memperkuat penilaian kita terhadap figur beliau bahwa Soedirman adalah salah satu tokoh pemimpin strategis yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, figur Letkol Soeharto sebagai komandan lapangan yang memimpin serangan tersebut terkesan merupakan tokoh sentral, namun tanpa bermaksud untuk mengecilkan peran Letkol Soeharto dalam pertempuran tersebut, bahwa serangan umum di Jogjakarta adalah bagian dari grand strategy   yang dikembangkan oleh Soedirman. Perintah Siasat dari Panglima Besar Soedirman antara lain memerintahkan untuk melakukan penyerangan terhadap wilayah Jogjakarta

dan sekitarnya untuk mencegah bantuan logistik bagi prajurit-prajurit Belanda. Letkol Soeharto berhasil menjabarkan perintah tersebut dalam momentum yang tepat. Soedirman dalam peristiwa serangan umum Jogjakarta memang tidak memimpin langsung, karena memang peran seorang pemimpin strategis tidak harus selalu berada paling depan di lapangan pertempuran. Pengaruh seorang pemimpin strategis adalah memberikan dampak positif dan motivasi bagi semangat perjuangan. Demikian juga perjuangan Letkol Soeharto dalam memimpin serangan umum Jogjakarta adalah implikasi dari perintah siasat yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin yang memiliki pengaruh kuat di hati para prajuritnya. Sebagai

seorang

pemimpin

militer,

Soedirman

menyadari

bahwa

perjuangannya adalah bagian dari perjuangan nasional dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, oleh karena itu perjuangan yang dilakukannya haruslah mengedepankan kepentingan yang lebih tinggi daripada kepentingan sektor yang dipimpinnya. Oleh karena itu Soedirman patuh dan loyal kepada pemimpin nasional saat itu yaitu Soekarno. Ketika Soedirman berhasil dalam memimpin perang gerilya dan terbukti merepotkan Belanda, namun ketika pemimpin nasional Soekarno meminta agar Soedirman menghentikan perang gerilya karena dunia internasional telah merespon perkembangan yang ada di Indonesia, maka beliau dengan lapang dada menturuti permintaan Soekarno tersebut, padahal saat itu penilaian Soedirman tidak meyakini Belanda akan bersikap positif terhadap perundingan yang akan dilakukan dengan Indonesia, karena beberapa kali Belanda menghianati perundingan yang telah disepakati dengan Indonesia. Sikap Soedirman yang patuh kepada pemimpin nasional saat itu, adalah mencerminkan sikap seorang pemimpin strategis yang menyadari bahwa organisasi yang dipimpinnya tidak terlepas dari kepentingan organisasi yang lebih besar. Segala bentuk usaha dan upaya perjuangan fisik telah dilakukan dan manakala situasi telah berubah serta menuntut perjuangan dalam bentuk lain, maka pemimpin strategis harus segera mengantipasi perubahan situasi tersebut, sebab pemimpin yang anti perubahan akan tertinggal dan terlindas

oleh jaman.

Pemimpin strategis memahami kapan dia akan bertindak full

 power dan kapan dia harus cooling down dalam mengendalikan situasi. Soedirman memang tidak pernah mengalami pendidikan formal ilmu kepemimpinan, beliau memang terbentuk oleh situasi dan keadaan yang memaksa. Namun melalui ketokohan Soedirman, generasi muda saat ini dapat mempelajari bahwa pemimpin besar lahir dari tempaan situasi yang berat, pemimpin yang berhasil tidak lahir secara instan, butuh proses panjang menyertainya. Ilmu kepemimpinan yang semakin berkembang saat ini dapat membantu untuk mempelajari cara-cara kepemimpinan, namun tidak serta merta dapat menjadikan seseorang menjadi pemimpin besar, sebab kembali kepada sejarah bahwa pemimpin besar lahir karena tempaan situasi-situasi yang dialaminya, oleh karena itu untuk dapat menjadi pemimpin yang besar maka harus membiasakan diri untuk berpikir dan bertindak strategis serta masuk dalam lingkungan yang strategis.

REFERENSI

Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuanagan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.

Soekamto, R. Eddy. 2011. Panglima Besar Tidak Pernah Sakit, Biografi Pangsar Jenderal Besar Soedirman. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF