hubungan hakikat manusia dan pendidikan
July 30, 2018 | Author: Ayatusy Syifa | Category: N/A
Short Description
pengantar ilmu pendidikan...
Description
PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN HUBUNGAN HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Di susun oleh : Ayatusy Syifa : 15601040077 Melji Salwanis : 15601040065 Ria Handayani : 15601040027 Yola Awanda MT : 15601040045
Dosen Pengampu : Eka Widyawati, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh … Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah kami yang berjudul “ Hubungan Hakikat Manusia dan Pendidikan” Pendidikan” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pembuatan makalah sebagai bahan untuk presentasi. presentasi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kami menerima masukan dan kritikan demi kesempurnaan makalah ini. Terimakasih
Tarakan, 21 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR PENGANTAR ............................................ .................................................................. ............................................ ...................................... ................ i DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................. ............................... ........ ii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ............................................. .................................................................... ............................................. ............................................. ....................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................ .................................................................. ............................................ .......................................... .................... 1
1.3
Tujuan Penulisan .......................................... ................................................................. ............................................. ............................................. ....................... 2 BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Wujud Sifat Hakekat Manusia ........................................... .................................................................. ............................... ........ 3 2.2 Aspek-Aspek Hakekat Manusia......................................... ............................................................... ............................... ......... 6 2.3 Hubungan Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan ............................................. ............................................. 10 2.4 Konsep Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat Hayat dan Implikasinya ......................... .................................. ......... 14 BAB 3. PENUTUP 3.1 Kesimpulan ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................. ........................... .... 18 3.2 Saran ........................................... ................................................................. ............................................ ............................................. ...................................... ............... 19 DAFTAR PUSTAKA PUSTAKA ......................................... ............................................................... ............................................ .......................................... .................... iii LAMPIRAN SLIDE PRESENTASI OUTLINE
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti paling kongkrit yaitu manusia memiliki kemampuan intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu berifikir, berbuat, dan bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan Pendidikan
demi mendapatkan
perkembangan yang optimal optimal sebagai manusia. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya dan menggali sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena hal di atas lah, maka kami membuat makalah dengan judul “ Hubugan Hakikat Manusia Manusia dan Pendidikan” Pendidikan ”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hakikat manusia?
2.
Bagaimana aspek-aspek hakekat manusia?
3.
Bagaimana hubungan hakikat manusia dan pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian hakekat manusia.
2.
Untuk mengetahui aspek-aspek hakekat manusia.
3.
Untuk mengetahui hubungan hakikat manusia dan pendidikan.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hakikat Manusia Manusia
Manusia dapat diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia memiliki ciri khas yang prinsipil dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Misalnya ciri khas manusia dari hewan, terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Hakikat manusia pada dasarnya adalah sebagai makhluk yang memiliki kesadaran susila (etika) dalam arti ia dapar memahami norma-norma sosial dan mampu berbuat sesuai dengan norma dan kaidah etika yang diyakininya. .
Pendapat
lain
mengenai
Hakekat
Manusia
adalah
sebagai
berikut
:
1)Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnyauntuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan social. 3) Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. 4) Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya. 5)Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati. 6) Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas. Pada dasarnya dasarnya ada dua pokok pokok persoalan tentang hakikat manusia. Pertama,
tentang
manusia atau hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Kedua, tentang sifat manusia dan karakteristik yang menjadi ciri khususnya serta hubungannya dengan fitrah manusia. Ragam pemahaman tentang hakikat manusia, sebagai berikut :
1.
HOMO RELIGIUS : Pandangan tentang sosok manusia dan hakikat manusia sebagai
makhluk yang beragama. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Melalui kesempurnaannya itulah manusia bisa berfikir, bertindak, berusaha dan bisa manentukan mana yang baik dan benar. Disisi lain manusia meyakini bahwa ia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan sang pencipta
alam semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius yang mempercayai adanya sang maha pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan dimuka bumi.
2.
HOMO SAPIENS : Pemahaman hakikat manusia sebagai makhluk yang bijaksana dan
dapat berfikir atau sebagai animal rationale. Hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi dan paling mulia. Hal ini disebabkan oleh manusia karena memiliki akal, pikiran, rasio, daya nalar, cipta dan karsa, sehingga manusia m ampu mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Manusia sebagai suatu organisme kehidupan dapat tumbuh dan berkembang, namun yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah manusia memiliki daya pikir sehingga ia bisa berbicara, berfikir, berbuat, belajar, dan memiliki citacita sebagai dambaan dalam menjalankan kehidupannya yang lebih baik.
3.
HOMO FABER : Pemahaman hakikat manusia sebagai makhluk yang berpiranti
(perkakas). Manusia dengan akal dan ketrampilan tangannya dapat menciptakan atau menghasilkan sesuatu (sebagai produsen) dan pada pihak lain ia juga menggunakan karya lain (sebagai konsumen) untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. Melalui kemampual dan daya pikir yang dimilikinya, serta ditunjang oleh daya cipta dan karsa, manusia dapat berkiprah lebih luas dalam tatanan organisasi kemasyarakata menuju kehidupan yang lebih baik.
4.
HOMO HOMINI SOCIUS : Kendati manusia sebagai makhluk individu, makhluk yang
memiliki jati diri, yang memiliki ciri pembeda antara yang satu dengan yang lainnya, namun pada saat yang bersamaan manusia juga sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya. Ia senantisa berinteraksi dengan lingkungannya. Ia berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu masyarakat tertentu. Walaupun terdapat pendapat yang berlawanan, ada yang menyebut manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Pemahaman yang terakhir inilah yang harus dihindarkan agar tidak terjadi malapetaka dimuka bumi ini. Sejarah telah membuktikan adanya perang saudara ataupun pertikaian antarbangsa, pada akhirnya hanya membuahkan derajat peradapan manusia semakin tercabik-cabik dan terhempaskan.
2.2 Aspek-Aspek Hakekat Manusia
a. Manusia sebagai Makhluk Tuhan Terdapat dua pandangan filsafat yang yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu (1) Evolusionisme (1) Evolusionisme dan (2) kreasionisme. Menurut Evolusionisme, Menurut Evolusionisme, alam alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, kreasionisme kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu creative cause atau personality yang personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968). Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan yang berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsul yang berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E.Frost Jr., 1957) dan Al-Ghozali (Ali Issa Othman, 1987). Oleh karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya adan ya fenomena fenomena kemakhlukan ( M.I. M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahu begitu pedih siksanya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada pada diri manusia terhadap Tuhannya. Tetapi dibalik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu mengunggah kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu menyadari akan
maha kasih kasih sayangnya sayangnya sang pencipta maka kepada-Nya lah manusia
berharap dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sifat positif dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya. b.
Manusia sebagai Kesatuan Badan Roh Terdapat empat paham berkenaan dengan struktur metafisik manusia, empat paham tersebut sebagai berikut: Materialisme gagasan para penganut materialisme, seperti Julien De La Mattie dan
Ludwig Fauerbach bertolak dari realita sebagai mana dapat diketahui melalui pengalaman diri atau observasi. Karena itu, alam semesta atau reliatas ini tiada lain adalah serba materi,
serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial esensi al dari manusia adalah adal ah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme Idealisme bertolak belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa
esensi dari manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungan dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin pe mimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai spiritualisme. sebagai spiritualisme. Dualisme C.A.Van Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat
dualistik yakni yakni pandangan dari Rene Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa sedih maka secara Paralel badan pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai paralelisme. Kesatuan Badani-Rohani berbeda dengan ketiga paham diatas (Materialisme,
Idealisme, dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang manusia sebagai kesatuan dari hal yang bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnya berbeda dari benda material, tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan dengan pandangan Schumacher, Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan bahwa: ’’meski manusia merupakan pendahuluan dua unsur yang berbeda, roh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral“ . Berdasarkan penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan badani-rohani. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
c.
Manusia sebagai Makhluk Individu Sebagaimana anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri. Manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat dan bakatnya. Dunianya, cita-citanya.
d.
Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam
keterpautan
dengan
sesamanya.
Dalam
hidup
bersama
dengan
sesamanya
(bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanya lah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk. e.
Manusia sebagai Makhluk Berbudaya Manusia memiliki inisiatif dan kretif dalam menciptkan kebudayaan hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Kebudayan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaanya (C.A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini Ernst Cassier menegaskan menegaskan bahwa “ Manusia tidak ti dak menjadi m enjadi manusia kerena ker ena sebuah faktor didalam dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaanya, kebudayaanya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakekat hakekat manusia”. manusia ”.
f.
Manusia sebagai Makhluk Susila Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa manusia sadar akan diri dan lingkunganya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia
memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak ( categorical imperative). imperative). Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alterntif tindakan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat ini juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatanya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya. g.
Manusia sebagai Makhluk Beragama Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam dalam bentuk pengakuan atau keyakinan keyakinan akan kebenaran suatu agama yang yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mulak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. individu. Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinanya, sistem peribadatan maupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dan berbagai aspek kehidupanya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
2.3 Hubungan Hakekat Hakekat Manusia dengan Pendidikan Pendidikan 1.
Ada 3 ahli yang mengatakan bahwa manusia sebagai: sebagai:
Animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik.
Animal educandum, yang artinya manusia pada hakikatnya ad alah manusia yang harus dididik.
Homo educandus, bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dan dapat dididik tetapi juga harus dan dapat dididik.
2.
a.
Asas-Asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan bagi Manusia
Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai
Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia berbeda dengan benda. Perbedaan itu antara lain dalam hal cara beradanya. Menurut Martin Hedegger, benda-benda di sebut sebagai “yang berada” (Seinde), dan bahwa bendabenda - benda benda itu hanya “vorhanden”, artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu, benda benda itu baru berarti. Sedangkan manusia, ia berinteraksi di dunia di mana ia secara aktif “mengadakan” diriya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagai mana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantin ya. Sebagai kesatuan badan-rohani manusia memiliki historisaitas dan hidup bertujuan. Karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), dan sekaligus menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia, tertapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan diri sebagai manusia. b.
Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia Manusia Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihan mau menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia, maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiannya. Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tiada makna lain bahwa bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan me wujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspe J aspers rs menyatakannya dalam kalimat “to “to be a man is to become a man”, man ”, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Implikasinya jika seorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia.
c.
Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka
Dalam
kenyataan
hidupnya,
perkembangan
manusia
bersifat
terbuka
atau
mengandung berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak s esuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaanya. Menurut Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa “ Pada “ Pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisai seperi hewan. Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan ” (C.A. Van Peursen, 1982). Nietzsche juga mendukung kesimpulan ini yang menyebut manusia sebagai das nicht festgestellte Tier , artinya sebagai hewan yang belum ditetapkan. Ada beberapa akibat manusia dilahirkan terlalu dini : a.
Kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman, baik ragam dalam hal kesehatannya, dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannnya, kesusilaanya, keberagamaanya.
b.
Oleh karena itu spesialisasi manusia itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam perkembangan menuju kedewasaanya. Pada dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalu bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam dalam istilah pendidikan. Dari hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau haru s dididik. “ Man can become man through education only ”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J. Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di atas, Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980).
3.
Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa “manusia itu sebagai sebaga i animal educandum, dan ia memang adalah animal
educabile”. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik yaitu: a.
Asas Potensialitas Berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya dalam aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Oleh karena itu manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia ( Pengantar ( Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, Wahyudin, 2008: 1.23). 1.23 ).
b.
Asas Dinamika Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
c.
Asas Individualitas Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
d. Asas sosialitas Sebagai insan sosial, manusia hidup bersama dengan sesamanya, maka ia butuh beraul dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik setiap individu akan menerima pegaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik, oleh karena itu upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antar sesama manusia dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau pengaruh pendidikan juga juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya. e.
Asas Moralitas
Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya (aspek moralitas). Pendidikan pada hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik. Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu dididik, tidak akan dapat dididik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan 1.
Wujud Sifat Hakekat Manusia
a.
Kemampuan Menyadari Diri
b.
Kemampuan Bereksistensi
c.
Kata Hati
d. Moral e.
Tanggung Jawab
f.
Rasa Kebebasan
g.
Kewajiban dan Hak
h.
Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
2.
Aspek-Aspek Hakekat Manusia
a.
Manusia sebagai Mahluk Tuhan
b.
Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh
c.
Manusia sebagai Mahluk Individu
d.
Manusia sebagai Mahluk Sosial
e.
Manusia sebagai Mahluk Berbudaya
f.
Manusia sebagai Mahluk Susila
g.
Manusia sebagai Mahluk Beragama
3.
Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan 1. Asas-Asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan Bagi Manusia
a. Manusia sebagai Mahluk yang Belum Selesai
b. Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia c. Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka 2. Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
a. Asas Potensialitas b. Asas Dinamika c. Asas Individualitas d. Asas Sosialitas e. Asas Moralitas
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan masyarakat agar dapat mengetahui tentang hakekat manusia itu seperti apa dan bagaimana konsep pendidikan seumur hidup yang sebenarnya beserta implikasinya. Untuk para pendidik mungkin apa yang dibahas dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan referensi dalam praktek mengajar di sekolah. Selain itu dengan mengetahui hakekat manusia dan pendidikan seumur hidup, diharapkan para pendidik bisa lebih memahami masing-masing peserta didik dalam hakekatnya sebagai manusia dan terlebih pula mampu memberikan himbauan untuk dapat melaksanakan pendidikan seumur hidup melihat betapa pentingnya pendidikan bagi manusia dan mengingat dalam makalah ini sudah dibahas mengenai hal tersebut, agar tujuan pendidikan yang memang dicanangkan dapat memperoleh hasil sesuai harapan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad Hasan, Drs. H. 1995. Dasar-Dasar 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Kependidikan. Jakarta: Bineka Cipta. Umar Tirtarahardja, Prof. Dr. dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar 2000. Pengantar Pendidikan. Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta. Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar 2008. Pengantar Pendidikan. Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
View more...
Comments