Honne Dan Tatemae

April 25, 2018 | Author: Oci Suryani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

salah satu karakter masyarakat di jepang...

Description

HONNE DAN TATEMAE

A. Konsep Honne

Menurut Honna dan Hoffer (2002, hal. 94) memaparkan bahwa honne adalah motivasi atau keinginan terpendam dari seseorang yang tidak bisa secara gamblang diutarakan karena hidup dalam masyarakat yang terkekang kebebasan sosialnya. Honne mengacu pada kenyataan ken yataan bahwa setiap individu dalam suatu kelompok akan tetap memiliki motif dan opini sendiri yang berbeda dan disimpannya dalam hati saja meskipun mereka memprioritaskan tatemae. (Doi, 2001, hal. 36-37) shiyama (2007, hal. 69), adalah

「本音は心の中で実際に考えていること。思ったことをそのまま口に出すことは、相手に対する配慮が 足りないと考えられている。」 Artinya, “Honne adalah pemikiran jujur seseorang. Apabila kita mengatakan sesuatu dengan terang-terangan, terang-terangan, maka hal itu akan dianggap menyinggung lawan bicara kita. “ Secara ringkasnya honne merupakan suara hati seseorang yang diungkapkan secara langsung, biasanya pembicara  berbicara dengan honne ini in i dibelakang yang dibicarakan atau lebih sering disebut dengan gosip. Memang jarang seseorang bersikap honne tersebut karena sejatinya manusia tidak ingin menyakiti  perasaan lawan bicaranya yaitu dengan menggunakan cara tatemae, jika dalam bahasa Minangkabau disebut Raso Jo Pareso.

B. Konsep Tatemae

Tatemae adalah prinsip dan aturan yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat. Tatemae pun melambangkan sekelompok orang yang menyetujui men yetujui prinsip dan aturan tersebut. Prinsip dan aturan tersebut dibuat oleh sekelompok orang. Oleh karen a itu, prinsip dan aturan tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan bersama. (Doi, 2001, hal. 35-36) Tatemae adalah prinsip dan aturan yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat. Tatemae pun melambangkan sekelompok orang yang menyetujui prinsip dan aturan tersebut. Prinsip dan aturan tersebut dibuat oleh sekelompok orang. Oleh karen a itu, prinsip dan aturan tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan bersama. (Doi, 2001, hal. 35-36)  Nieda dalam Thamrin (2005, hal. 13) mengatakan bahwa tatemae dalam sebuah kelompok masyarakat itu berbeda-beda dan tidak sama dalam praktiknya ketika interaksi sosial dilakukan. Semua tergantung dari sudut pandang individu indivi du itu sendiri sebagai pelaku tatemae. Di samping itu, ada juga pengaruh motif ketika ia melakukan tatemae tersebut. Tatemae jika dilihat dari jenisnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Tatemae ideal seorang manusia

Tatemae yang ideal bagi manusia adalah bagaimana manusia itu bisa menjadi seorang manusia yang ideal. Sebagai manusia, sangatlah alami bila mempunyai sifat baik dan juga sifat buruk. Dalam interaksi dengan sesamanya, manusia akan berperan sebagai pemberi ataupun sebagai  penerima. Dengan mempertimbangkan hal inilah maka seseorang harus bisa mengikuti suatu aturan agar dapat menjadi seorang manusia yang baik. Tatemae ideal ini terbagi lagi menjadi dua  bagian, yaitu : Tatemae untuk menghormati orang lain Tatemae untuk menghormati orang lain maksudnya adalah mengembangkan kepribadian untuk menjadi sosok manusia yang ideal dalam masyarakat dengan cara mengintropeksi diri. Setidaknya kesan itu yang ingin disampaikan pelaku tatemae kepada masyarakat. Untuk menghormati orang lain biasanya orang berbasa-basi seperti apabila ditawarkan makanan lalu makanan tersebut tidak enak tentu saja tidak mungkin kita mengatakan yang sebenarnya, pasti kita tetap berkata makanan tersebut enak. Tatemae yang dilakukan untuk terlihat baik  Berbeda dengan tatemae untuk menghormati orang lain. Tatemae jenis ini dilakukan untuk memberi kesan yang baik terhadap lawan bicara. Pada tatemae jenis ini, peluang munculnya kebohongan-kebohongan atau usaha yang disertai kepura-puraan sangatlah besar. Hal itu dilakukan hanya untuk terlihat baik di hadapan lawan bicara. Berikut adalah kutipannya: Maka orang Jepang itu berbeda dengan orang barat, tidaklah sedikit situasi di mana apa yang diucapkan oleh orang Jepang berbeda dengan ap a yang ada di dalam hatinya. Contoh yang ekstrim misalnya “ di wajah tersenyum, sedangkan di hati menangis…” pada masyarakat barat hal semacam ini sangatlah langka dan jarang ditemui. Seperti publik figur yang mencoba untuk memperlihatkan kebaikannya sebagai panutan bagi orang  banyak, karena tuntutan karir dan semua orang mengetahui hal tersebut sebagai hal yang wajar. 2. Tatemae yang diperlukan dalam mencapai kedamaian di dalam masyarakat  Tatemae ini merupakan tatemae untuk menciptakan kehidupan damai dan makmur tanpa saling melakukan kejahatan. Sejauh manakah bangsa Jepang melakukan tatemae jenis ini, buktinya dapat dilihat dari kecilnya angka kejahatan di Jepang. Sampai saat ini Jepang adalah negara terkecil di dunia dari tindak kejahatan. (Tanaka, 1990, hal. 121) 3. Tatemae sebagai syarat untuk mencapai tujuan tertentu Tatemae ini dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh, jika seseorang ingin menciptakan keharmonisan, maka orang itu akan melakukan tatemae demi tujuan tersebut. Akan tetapi, jika orang tersebut bertujuan untuk mendapatkan sesuatu, maka orang itu akan melakukan tatemae agar ia bisa mendapat sesuatu yang diidamkannya. Pada kenyataannya, tatemae merupakan perilaku yang tidak selalu berupa perbuatan yang benar dan baik secara moral. Akan tetapi di samping itu, tatemae juga tidak selalu berupa perbuatan yang buruk dan penuh kepura-puraan. (Doi, 2001, hal.37)

C. Hubungan Antara Honne dengan Tatemae

Menurut Doi (2001, hal. 37) honne sering kali diartikan sebagai aplikasi ura atau lapisan dalam, sedangkan tatemae adalah sesuatu yang mengaplikasikan omote atau lapisan luar. Hubungan antara omote dan ura sama dengan hubungan antara hon ne dan tatemae. Honne ada karena adanya tatemae dan honne itu sendiri memanipulasi tatemae dari belakang. Maka dari itu kedua konsep ini akan saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam setiap interaksi sosial masyarakat Jepang. Aplikasi luar merujuk pada apa yang diperlihatkan seseorang dari apa yang dilakukannya, omote merupakan kebalikan dari ura yaitu lapisan dalam. Bisa dikatakan omote dan ura merupakan hubungan antara wajah dan pikiran. Omote dapat dilihat, sedangkan ura bersembunyi dibalik omote. Bagaimanapun omote hanya sekedar citra yang ditampilkan dan juga sesuatu yang menyembunyikan ura secara sederhana. (Doi,2001, hal. 26) Doi (2001) menyatakan bahwa tatemae adalah gejala yang tidak alami dan sebaliknya, honne merupakan gejala alami yang mewakili kebenaran yang sesungguhnya. Berikut kutipannya: Dalam penjelasan saya tentang konsep tatemae dan honne, saya menyebutkan bahwa kita sering menyatakan secara tidak langsung penggunaan kata-kata ini bahwa pertentangan antara tatemae dan honne adalah hirarkis: bahwa tatemae diarahkan dari omote, dan karena itu salah, hanya honne lah yang mewakili kebenaran yang sesungguhnya. Ada banyak ungkapan lain yang menunjukkan hirarki: "itu hanya tatemae" atau "Saya tidak akan mendapatkan keuntungan jika terus berbicara tentang tatemae." Kami lebih ingin mempelajari honne dari sebuah situasi daripada tatemae, dan ini adalah ekspresi dari perasaan yang sama bahwa honne adalah keadaan alami, sedangkan tatemae adalah "komplikasi yang tidak alami” Doi (2001, hal. 89) mengemukakan bahwa orang bisa memanipulasi tatemae dan honne, tergantung pada salah satu dari berbagai hubungan yang mereka hadapi. Bahkan dalam kasus ini, tentu saja, ada pemisahan ego, tetapi manusia mampu bertahan dalam p emisahan ini untuk tingkat tertentu. Tapi sebagai tingkat pemisahan, identitas orang sebagai seorang individu akan menjadi aneh. Doi (2001, hal. 87) pun menyatakan bahwa hubungan antara tatemae dan honne adalah simbiosis,  bahwa mereka saling menguntungkan. Penyebab konflik ekstrim di antara mereka mungkin tampak bertentangan. Bahwa kontradiksi ini hanya bisa dilihat, namun dapat dengan mudah dipahami, situasi dimana seseorang ingin menyingkirkan tatemae untuk beberapa alasan, tetapi tidak dapat melakukannya. Jika orang ini bersikap kurang ajar, berperilaku tanpa memperhatikan

apa pun kecuali keinginan pribadi, dia bisa mendapatkannya melalui situasi, bahkan berpikir orang tersebut dapat dituduh "memiliki ura omote" (menjadi tidak tulus). Jika orang tersebut dapat menyingkirkan ketidaknyamanan saat melakukan tatemae dengan membuat yang baru, tidak ada yang bisa lebih baik. Honne dan tatemae dilakukan untuk menjaga keharmonisan antar orang-orang, dan masyarakat Jepang sudah menggunakan kedua konsep ini sejak zaman dahulu kala. Konsep honne d an tatemae erat kaitannya dengan ketulusan. Berikut kutipan Doi dalam Shimizu dan Le Vine (2002) Gagasan orang jepang mengenai “ketulusan” ini berkaitan dengan gagasan omote(depan) dan ura (belakang). Dalam keadaan sehari-hari atau keadaan normal, individu menampilkan tatemae sebagai “wajah” yang juga bisa berarti omote, dan menyembunyikan honne,  perasaan mereka sesungguhnya di balik itu. Budaya konsensus menyatakan bahwa individu memiliki honne individual dan keistimewaan honne di belakang tatemae. Menghormati aturan umum ini membantu untuk mempertahankan harmoni antara orang-orang. Makino (1996, hal. 23) menjelaskan apabila konsep uchi dan soto tidak jelas, maka akan jadi hal yang mudah bagi masyarakat Jepang untuk mengatakan honne kepada pihak soto. Akan tetapi, karena mereka dapat memisahkan dengan jelas orang-orang yang berada dalam lingkaran uchi dan soto mereka, maka mereka cenderung menggunakan tatemae ketika berinteraksi dengan pihak soto. Apabila seseorang berbicara dengan honne kepada pihak soto, maka dapat dikatakan mereka sedang berbagi perasaan pribadinya dengan pihak luar tersebut.

D. Memahami Honne dan Tattemae dalam kehidupan masyarakat.

Tidak sulit untuk memahami honne dan tattemae tersebut, bahwasannya dalam masyarakat Indonesia pun berlaku sifat Honne dan Tatemae ini. Contohnya ketika seseorang mengajak anda makan di rumahnya dan masakannya kebetulan tidak enak pula, pasti anda akan berkata terimakasih dan jika ditanya masakannya bagaimana anda akan menjawab enak sekali. Nah bentuk  basa-basi orang Indonesia tersebut dinamakan Tattemae. Apa yang sering di munculkan atau diperlihatkan ke orang lain yang baik-baiknya. Bagaimana dengan Honne? Lalu ketika dengan sahabat dekat anda atau kakak anda, pasti anda akan berceritatentang hal itu dan mengatakan makanannya tidak enak. Orang Jepang melakukan ini tentu saja demi keharmonisan hubungan satu sama lain. Di Jepang, untuk memahami budaya honne-tatemae tidak terlalu mudah, jika kita tidak berusaha mempelajari budaya dan bahasa mereka. Namun jika kita tinggal lebih dari 6 bulan dan mulai sedikit demi sedikit mempelajari bahasa dan budaya keseharian mereka, niscaya tidak akan terlalu susah bagi kita untuk melihat praktik honne-tatemae ini. Salah satu contoh simpel adalah : sikap seseorang terhadap atasannya, misal sikap seorang kouhai (junior) terhadap atasannya (senpai). Jika kita melihat dengan mata kasat, mungkin kita akan melihat bahwa junior sangat patuh dan selalu menuruti perintah seniornya, bahkan ketika diajak makan keluar sekalipun, kadang sang  junior tidak bisa menolak ajakan tersebut, meskipun sebenarnya sang junior punya tugas yang harus dikerjakan. Jika kita berinteraksi dengan mereka lebih jauh, lebih detail, lebih dalam, dan

lebih dekat, niscaya suatu saat kita akan menemukan suatu momen di mana sang junior mengungkapkan perasaan pribadi dan pendapatnya tentang sang senior. Terkadang, hal tersebut keluar di saat sang senior yang dimaksud tidak berada di tempat, atau dengan istilah lain, sang  junior akan “bergosip” tentang perasaan dan sik apnya terhadap sang senior. Di lingkup sekolah, atau di lingkup lab, hubungan antara seorang pelajar asing dan pelajar jepang dengan pembimbing akademiknya (sensei) bisa jadi berbeda. Sensei terkadang cenderung memberi kelonggaran kepada pelajar asing, dan memberi keberpihakan lebih kepada pelajar  jepang. Kelonggaran yang diberikan sensei untuk pelajar asing ini, barangkali sikap tatemae yang harus ditunjukkan seorang sensei karena universitas membutuhkan pelajar-pelajar asing untuk mengerjakan proyek penelitian sekaligus meningkatkan nilai akreditasi sebuah universitas. Di sisi lain, sikap honne dari sensei sebenarnya bertentangan dengan tatemae yang ia tunjukkan. Ia sebenarnya ingin memberikan perlakuan yang sama kepada pelajar asing dan pelajar jepang. Untuk mengkompensasi “perbedaan” ini, biasanya sensei akan memberikan “keberpihakan yang lebih” kepada pelajar jepang, misal: sensei dengan eksplisit mengungkapkan hal-hal yang sifatnya pribadi hanya kepada pelajar jepang, atau proyek-proyek lab hanya dikerjakan oleh pelajar jepang, dan seterusnya . Penggunaan budaya honne-tatemae ini tercermin dari bahasa yang digunakan oleh orang Jepang dalam kehidupan mereka pula. Sebagai contoh, ketika menolak permintaan, orang Jepang tidak akan menolak secara langsung dengan mengatakan “iie”…atau “dame” (bisa diartikan : “tidak” atau “jangan”), tapi kadang menggunakan sedikit ekspresi wajah tidak setuju (tidak terlihat gembira dan menunduk), kemudian menggunakan kata-kata “sore wa chotto….” (lit: hal itu agak……..). Contoh lain, ketika akan memberikan sebuah hadiah, orang jepang akan berkata, “Tsumaranai mono desu ga, moshi yoroshikereba….” (lit: cuman barang yang nggak berguna, tapi kalau berkenan……). Di sini terdapat sebuah “sinyal”, bahwa sesungguhnya barang yang ia bawa sangat berharga dan si pemberi berharap barang tersebut bisa diterima oleh orang yang diberi hadiah. Lalu, bagaimana sikap kita dan apa yang harus kita lakukan terkait dengan budaya honne -tatemae ini ? Tapi satu hal yang bisa dilakukan berusaha sebisa mungkin untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar kita, karena dengan meningkatkan kepekaan terhadap ba gaimana orang Jepang  berinteraksi, apa pendapat mereka terhadap kita, apa yang mereka rasakan sesungguhnya, akan membuat kita bisa memahami isyarat-isyarat tatemae yang mereka tunjukkan dan honne yang sebenarnya mereka harapkan.

Sumber:

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF