Hipertensi Sekunder
April 2, 2019 | Author: rett_tta | Category: N/A
Short Description
Download Hipertensi Sekunder...
Description
A. Hiper Hiperten tensi si Sekunde Sekunderr
Pada faktanya faktanya pasien pasien yang yang memili memiliki ki hiperte hipertensi nsi pada usia usia muda tanpa riwayat keluarga dengan hipertensi atau mereka yang pertama kali menunjukkan gejala hipertensi hipertensi pada usia diatas 50 tahun, lebih cenderung memiliki hipertensi hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder diantaranya : 1. Peng Penggun gunaa aan n Estr Estroge ogen n Peni Pening ngka kata tan n
teka tekana nan n
dara darah h
pada pada
wani wanita ta
peng penggu guna na
kont kontra rase seps psii
oral oral
disebabkan oleh expansi volume karena meningkatnya aktivitas sistem reninangi angiot otens ensin in-al -aldos doste tero ron. n.
Abnor Abnorma mali lita tass
prim primer er
adal adalah ah
pada pada
penin peningka gkata tan n
sintesis renin oleh hepar. Kontrasepsi Kontrasepsi dihubungkan dengan hipertensi hipertensi lebih sering pada wanita berusia diatas 35 tahun dengan pemakaian kontrasepsi lebih dari 5 tahun dan pada mereka mereka y gemuk. gemuk. Peningka Peningkatan tan tekanan tekanan darah darah dapat dapat sampai sampai diatas diatas 140/90 140/90 mmHg. Hipertensi bersifat reversibel dengan menghentikan penggunaan kontrasepsi. Estrogen Estrogen pada wanita post menipause menipause tidak menimbulkan menimbulkan hipertensi. hipertensi. Ia akan berfungsi sebagai pemelihara endotel-mediasi vasodilatasi. 2. Peny Penyak akit it ginj ginjal al Penyakit parenkim ginjal penyebab paling umum dari hipertensi sekunder. Hipertensi bisa disebabkan karena kelainan glomerolus, tubulus interstitial dan kelainan kelainan polikistik. polikistik. Kebanyakan kasus berhubungan berhubungan dengan peningkatan volume intravaskuler intravaskuler atau peningkatan peningkatan aktivitas aktivitas sistem sistem renin-engiotens renin-engiotensininaldosteron. Hipertensi mempercepat progresi ke renal insufisiensi dan kontrol yang ketat agar tekanan darh menjadi 130/85 mmHg atau lebih rendah akan memperlambat proses ini. Dila Dilata tasi si arte arteri riol ol efer eferen en
oleh oleh angio angiote tensi nsin-c n-conv onver erti ting ng
enzym enzymee
inhi inhibi bito tor r
mengurangi progresi penyakit ini. 3. Hipe Hipert rten ensi si Renov Renovask askul ular ar Steros Sterosis is arteri arteri renali renaliss terdapa terdapatt pada 1-2% 1-2% pasien pasien dengan dengan hipert hipertens ensi. i. Ini disebabkan karena hyperplasia dilapisan fibromuskuler pada individu yang
muda, lebih sering pada wanita berusia < 50 tahun. Kelainan pembuluh darah ginjal ginjal yang lain lain adalah adalah stenosi stenosiss karena karena ateros ateroskle kleros rosis is pada arteri arteri renali renaliss proximal. proximal. Mekanisme dari terjadinya hipertensi ialah peningkatan peningkatan pelepasan pelepasan reni renin n karen karenaa penur penuruna unan n alir aliran an darah darah ginj ginjal al dan tekan tekanan an perfu perfusi si.. Renal Renal vask vaskul ular ar hipe hipert rten ensi si akan akan tamp tampak ak bila bila satu satu caba cabang ng dari dari arte arteri ri rena renali liss mengalami stenosis, tetapi pada 25% pasien kedua arteri mengalami stenosis, tetapi pada 25% pasien kedua arteri mengalami obstruksi Hipertensi renovaskular harus dicurigai pada beberapa keadaan : (1) onset pada usia 50 tahun, (2) adanya bruit di epigastrium atau brui bruitt arteri arteri renals renals,, (3) adanya adanya ateroskl ateroskleros erosis is pada aorta aorta atau atau arteri arteri-ar -arter terii peri perifer fer,, (4) bila bila terdapa terdapatt penurun penurunan an fungsi fungsi ginjal ginjal yang yang tiba-t tiba-tiba iba setela setelah h pengaturan dari angiotensin-converting enzym inhibitor. 4. Hipe Hipera rald ldost oster eroni onism smee prim primer er Pasien dengan sekresi aldosteron berlebihan terdapat pad 0,5% dari seluruh kasus kasus hiper hiperte tensi nsi.. Lesi Lesi bias biasany anyaa terl terlet etak ak pada pada adenom adenomaa adren adrenal al,, teta tetapi pi beberapa pasien memiliki hiperplasia adrenal bilateral 5. Feok Feokro romo mosi sito toma ma Penyebab hipertensi karena feokromositoma hanya 0,1%. Gejala penyakit ini berhu berhubung bungan an dengan dengan kelebih kelebihan an norepine norepinefri frin n dan epinefr epinefrin. in. Tumor Tumor pada medulla adrenal atau dari sel kromafil ektopik akan menyebabkan kontraksi pembuluh darah. Sel adenokortikal berperan dalam sintesis epinefrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung dan gangguan toleransi glukosa. 6. Cush Cushin ing’ g’ss Syndr Syndrom omee Sindrom Sindrom ini sebagai sebagai akibat akibat produksi produksi berlebih berlebihan an steroi steroid d zona fasikul fasikulata ata adrenal adrenal dalam dalam bentuk bentuk kortiso kortisoll (hidro (hidrokort kortiso ison). n). Glukoko Glukokorti rtikoi koid d memacu memacu pem pemben bentu tukan kan
glik glikoge ogen n dan gluko glukosa sa dari dari prot protei ein n (glu (glukon koneog eogen enesi esis) s)..
Meningkatkan pembentukan lemak, menghambat sistem imun dan memacu saraf simpatik. Penyebab sindrom Cushing: (1) adenoma kelenjar pituitary, (2) adenoma adrenal atau karsinoma, (3) adenokortikotropin hormon (ACTH, ektopik dan (4) pengobatan glukokortikoid jangka panjang 7. Penyeb Penyebab ab lain lain Hipert Hipertens ensii Sekun Sekunder der
Hiperkalemia
karena
berbagai
penyebab,
akromegali,
hipertiroidisme,
beberapa pengobatan khususnya dengan siklosporin dan NSAID, dapat dihubungkan dengan hipertensi sekunder.
Diagnosis
1. Gejala dan Tanda Kebanyakan
pasien
tidak
memiliki
gejala
yang
spesifik
karena
peningkatan tekanan darahnya. Adanya gejala yang membuat pasien datang ke dokter berhubungan dengan 3 hal: (1) peningkatan tekanan darah itu sendiri, (2) penyakit hipertensi vaskular dan (3) penyakit lain yang menyertai (pada hipertensi sekunder). Peningkatan tekanan darah menimbulkan gejala antara lain sakit kepala biasanya pada regio occipital yang terasa pada saat pasien bangun tidur pagi hari dan hilang secara spontan. Gejala lain diantaranya pusing, palpitasi, mudah lelah dan impoten. Gejala karena penyakit hipertensi vaskular diantaranya termasuk epitaksis, hematuria, pandangan kabur karena perubahan pada retina, angina pektoris dan dispneu karena gagal jantung. Contoh gejala pada hipertensi sekunder diantaranya : a. Hipertensi renovaskular Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, seperti pada tabel dibawah ini. Gambaran epidemiologis
Hipertensi yang tidak disertai adanya riwayat keluarga Umur di bawah 20 tahun atau di atas 50 tahun Perokok
Gambaran hipertensinya
Ras kulit putih Kenaikan tekanan darha yang mendadak dari sedang menjadi berat Hipertensi mendadak setelah trauma abdomen Hipertensi yang sulit dikendalikan dengan
terapi biasa Terdapat retinopati yang tidak sesuai dengan tingginya tekanan darah Respons
terapi
yang
sempurna
terhadap
penghambat enzim pengkonversi angiotensin Tidak terdapat respons atau terjadi peningkatan Keterlibatan ginjal
tekanan darah setelah pemberian diuretik Azotemia yang tidak bisa diterangkan penyebabnya Proteinuria berat yang tidak bisa diterangkan penyebabnya Terjadi penurunan fungsi ginjal setelah terapi dengan
penghambat
enzim
pengkonversi
Adanya
angiotensin Hipokalemia
hiperaldosteronisme Gambaran lain
Alkalosis Terdengar murmur di daerah abdomen Terdengar murmur di daerah karotis atau pembuluh darah besar lain Peningkatan aktivitas renin plasma (ARP) yang tak dapat diterangkan sebabnya
b. Hiperaldosteronisme primer Adanya gejala poliuria, polidipsi, kelemahan otot karena hipokalemia pasien hipertensi sekunder karena penyakit ini c. Cushing’s Syndrome Gejala klinis tergantung dari aktivitas glukokortikoid yaitu mudah lelah, striae, moon face, obesitas daerah perut, hipertensi gangguan toleransi glukosa, ulkus peptikum, osteoporosis, mudah timbul ekimosis, simenorea. d. Feokromositoma Hipertensi bersifat labil dan berat disertai sakit kepala, berkeringat, palpitasi dan tremor pada tangan. Pada pasien biasa terjadi hiperglikemia.
Kebanyakan pasien kurus, pada pemeriksaan fundus didapatkan retinopati hipertensif. Karena ada hambatan fungsi baroreseptor akan terjadi hipotensi ortostatik.
2. Pemeriksaan Fisik Diawali pada keadaan umum. Dilihat apakah ada tampilan moon face seperti pada Cushing’s Syndrome. Selanjutnya dilakukan perbandingan tekanan darha dan denyut nadi pada kedua ekstremitas atas pada saat berbaring dan berdiri. Meningkatnya tekanan diastolik dari posisi berbaring ke posisi berdiri cocok dengan hipertensi esensial. Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan suatu
penilaian untuk
lamanya hipertensi dan prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis harus dilakukan untuk mengetahui adanya tidaknya stenosis atau oklusi. Pada pemeriksaan paru dan jantung dicari ada tidaknya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri atau dekompensasi jantung. Ini biasanya ditemukan pada hipertensi dengan komplikasi. Pada pemeriksaan abdomen didengarkan ada tidaknya bruit pada auskultasi yang menandakan adanya stenosis arteri renalis. Bruit ini memiliki komponen diastolik atau bisa kontinu, dan sangat baik terdengar pada sebelah kanan atau kiri dari garis tengah di atas umbilikus atau pada panggul. Abdomen juga harus dipalpasi untuk mencari ada tidaknya aneurisma abdomen dan pembesaran ginjal pada penyakit poliskistik ginjal.
3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan dasar untuk evaluasi awal : a.
Darah perifer lengkap, protein dan glukosa di urin serta serum
kreatinin dan atau nitrogen urea dalam darah, untuk menilai fungsi ginjal. Bisa juga dilakukan urinalisa secara mikroskopik b.
Hematokrit
c.
Level serum postassium untuk menilai adanya mineralokortikoid yang
menginduksi hipertensi
d.
Glukosa ndarah digunakan untuk menilai adanya diabetes mellitus
yang dapat berhubungan dengan aterosklerosis, nefropati diabetik pada pasien
dengan
hipertensi.
Adanya
aldesteronisme
primer,
Cushing’s
syndrome dan feokromositoma dapat berkaitan dengan hiperglikemia. e.
Kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL dan trigliserida
dinilai untuk melihat ada tidaknya faktor predisposisi untuk aterosklerosis f.
EKG, harus dilakukan pada semua kasus. Sebenarnya penilaian
echocardiogram lebih sensitif untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri pada hipertensi dengan komplikasi g.
Rontgen thoraks. Dapat dibantu melihat adanya dilatasi aorta atau
elongasi yang tampak pada koarktasio aorta.
Pada beberapa pasien, pengaturan tekanan darah ditempat praktek menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan pengukuran di rumah. Ini disebut white-coa hypertension. Pada pasien yang dicurigai demikian dapat dilakukan pengukuran tekanan darah diluar tempat praktek dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM). Alat ini diprogram untuk mengukur tekanan darah tiap 15 – 30 menit selama 24 jam pada saat pasien melakukan aktivitas normal sehari-hari.
Diagnosis pada hipertensi sekunder 1. Hipertensi Renovaskular Tes seleksi diantaranya adalah pielografi intravena sekuensial, ARP, perifer dan renogram Hippuran. Pada pielogram intravena sekuensial, ginjal yang sakit tampak lebih kecil (berbeda 30 meq/24 jam dan rasio aldosteron/ARP > 30 – 50. Tes supresi kaptopril dilakukan dengan pemberian 25 mg kaptopril, sesudah 2 jam kadar aldosteron > 15 µ g/dl.
3. Cushing’s Sundrome Diagnosis Cushing’s syndrome selain gejala klinis juga perlu pemeriksaan laboratorium atau sarana penunjang lain seperti CT-Scan atau MRI. Tes laboratorium mengukur kortikol urin 24 jam atau kortisol plasma jam 8 pagi sesudah mendapat deksametason 1mg pada jam 11 malam. Kortisol dalam urin meningkat sampai 2 kali lipat atau lebih dari normal. Dengan tes deksametason pada orang normal, kadar kortisol dalam plasma
kurang dari 4 µ g/dl, sedangkan pada Cushing’s syndrome kortisol dalam plasma > 10 µ g/dl. Uji supresi deksametason juga dilakukan untuk membedakan tumor adrenal dan hipertensi yaitu pemberian deksametason dosis rendah 2 mg/hari selama 2 hari I disusul 8 mg/hari selama 2 hari berikutnya.
4. Feokromositoma Pada pengukuran kadar katekolamin urin 24 jam, bila kadar katekolamin > 100 µ g/hari maka norepinefrin dan epinefrin harus diukur dari sampel yang sama. Pada tumor medulla adrenal kadar katekolamin > 30
µ g/hari
Penatalaksanaan
Pengobatan hipertensi merupakan pengobatan seumur hidup. The Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of Jigh Blood Pressure, menganjurkan saat mulainya pengobatan berdasarkan pada tipe kelompok risiko yang ditentukan oleh derajat hipertensi, adanya kerusakan organ target dan faktor risiko kardiovaskular lainnya. Derajat (mmHg)
hipertensi
Perubahan gaya hidup
Kelompok Risiko B ( mi ni mal 1 fa kt or risiko, tak termasuk diabetes, tak ada kerusakan organ target) Perubahan gaya hidup
Kelompok risiko C (kerusak an organ target dan atau diabetes, dengan atau tanpa faktor risiko lain) Terapi obat
Derajat 1
Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup
Terapi obat
(140-159/90-99)
(sampai 12 bulan)
(sampai 6 bulan)
Derajat 2 dan 3
Terapi obat
terapi obat
Normal tinggi
Kelompok risiko A (Tak ada faktor risiko, tak ada kerusakan organ target)
(130-139/B589)
Terapi obat
(≥ 160/≥ 100)
Adapun faktor resiko kardiovaskular dan kerusakan organ target pada pasien hipertensi diantaranya ialah : Faktor resiko utama
Kerusakan organ target
Merokok Dislipidemia Diabetes mellitus Umur diatas 60 tahun
Penyakit jantung - Hipertrofi ventrikel kiri - Angina/riwayat infark miokard - Riwayat revaskularisasi koroner - Gagal jantung Jenis kelamin (pria dan wanita pasca Strok atau serangan iskemia selintas menopause) Riwayat penyakit
kardiovaskular Nefropati
dalam keluarga Wanita < 65 tahun Pria < 55 tahun
Penyakit arteri perifer Retinopati
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis penatalaksanaan : I. Penatalaksanaan Non Farmakologis (perubahan gaya hidup) Secara umum penatalaksanaan non farmakologis diantaranya: a. Menghilangkan stress b. Pengaturan diet c. Olahraga teratur d. Menurunkan berat badan (bila diperlukan) e. Kontrol faktor resiko lain
yang
bisa memperberat terjadinya
aterosklerosis.
Pengaturan diet terdiri atas 3 aspek : 1.
Karena kemanjuran dari restriksi natrium dan volume
intravaskular diinstruksikan
dalam untuk
menurunkan mengurangi
tekanan
darah,
intake
natrium
pasien secara
sebelum drastis.
Bagaimanapun juga beberapa penelitian menyebutkan adanya penurunan 5 mmHg pada tekanan darah sistolik dan penurunan 2,6 mmHg pada tekanan diastolik bila sodium dikurangi sampai 75 meq/hari. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa beberapa pasien dengan hipertensi sangat sensitif terhadap garam dan kadar asupan sodium mempengaruhi tekanan darah. Karena tidak adanya resiko yang nyata dari restriksi natrium ringan, pendekatan yang paling praktis ialah dengan menyarankan diet
restriksi natrium ringan (hingga 5 gr NaCl/hari), yang bisa didapatkan dengan tidak menambahkan garam pada makanan yang biasa. Pendekatan yang pada faktornya berguna ialah dengan metode diet DASH (dietary approaches to stop hypertension) yang menggunakan makanan-makanan alami yang tinggi kalium dan rendah lemak jenuh, penekanan pada konsumsi buah dan sayuran serta produk-produk rendah kalori. Diet ini secara signifikan menurunkan tekanan darah kepada hipertensi stage I. Kombinasi dari diet DASH dengan restriksi natrium sedang akan membuat tekanan darha yang besar daripada dengan manipulasi diet tunggal. 2.
Restriksi kalori diharuskan pada pasien hipertensi dengan
overweight. Beberapa pasien yang obese menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan sebagai konsekuensi dari penurunan berat badan. Pada penelitian TAIm (Trial of Antihypertensive Interventions and Management ) , penurunan berat badan (rata-rata 4,4 kg dalam 6 bulan) akan menurunkan tekanan darah sebanyak 2,5 mmHg. 3.
Restriksi
asupan
kolesterol
dan
lemak
jenuh
direkomendasikan, karena dengan diet ini akan menurunkan insiden komplikasi arteriosklerosis.
Olahraga teratur dianjurkan sesuai dengan status batas kardiovaskular pasien. Olahraga tidak hanya membantu menurunkan berat badan tetapi juga terbukti menurunkan tekanan arteri. Olahraga isotonik (seperti berenang, joging) lebih baik daripada olahraga isometrik (seperti angkat beban)
II. Penatalaksanaan Farmakologis Pengobatan hipertensi berlandasrkan beberapa prinsip: (1) pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal, (2) pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi; (3) upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi
selain dengan perubahan gaya hidup; (4) pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dengan kemungkinan besar untuk seumur hidup; (5) pengobatan menggunakan algoritma yang dianjurkan The Joint National Commitee on Detection, Evaluatio and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII).
Pada sebagian besar pasien pengobatan dimulai dengan dosis kecil obat antihipertensi yang dipilih, dan jika perlu dosisnya secara perlahanlahan dinaikkan, bergantung pada umur, kebutuhan dan hasil pengobatan. Obat antihipertensi kerja panjang yang mempunyai efek penurunan tekanan darah selama 24 jam lebih disukai daripada obat jangka pendek disebabkan oleh beberapa faktor: (1) kepatuhan lebih baik dengan dosis sekali sehari; (2) harga obat dapat lebih murah; (3) pengendalian tekanan darah perlahan-lahan dan persisten; (4) mendapat perlindungan terhadap faktor risiko seperti kematian mendadak, serangan jantung dan stroke, yang disebabkan oleh peninggian tekanan darah pada saat bangun setelah tidur malam hari. Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil dalam waktu 6 – 12 bulan, dosis obat dapat dicoba diturunkan dengan pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Di dalam klinik, penghentikan obat antihipertensi jarang terjadi dan hampir seluruh pasien memerlukan pengobatan terus menerus untuk seumur hidup.
Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer sangat banyak, obat antihipertensi yang dikembangkan tentu saja berdasarkan pengetahuan patofisiologi tersebut. 1. Diuretik Diuretik mempunyai efek antihipertensi dengan cara menurunkan volume ekstraseluler dan plasma sehingga terjadi penurunan curah jantung. Tiazid menghambat reabsorbsi natrium di segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Hidroklorotiazid merupakan jenis yang sering dipakai pada pengobatan hipertensi. Pada pemberian oral obat ini dimulai bekerja setelah 1 jam dan mempunyai jangka waktu kerja selama 8 – 12 jam. Dosis yang sering dipakai adalah 25 – 50 mg, 1 – 2 kali tiap hari. Jarang digunakan dosis yang lebih tinggi karena tidak akan menghasilkan efek yang lebih baik. Apabila diharapkan efek jangka panjang dapat digunakan klortalidon yang dapat diberikan dengan dosis 25 – 100 mg tiap hari. Efek antihipertensi obat golongan ini tidak hanya disebabkan oleh efek hipovolemia. Pada pemberian jangka panjang akan menurunkan tahanan perifer. Efek samping
yang sering dijumpai adalah hipokalemia,
hiponatremia, hiperurisemia, dan gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing. Hipokalemia merupakan efek samping yang banyak dijumpai dan diketahui dapat meningkatkan risiko aritmia jantung. Mengingat
berbagai efek samping yang membahayakan, sekarnag
terdapat kecenderungan menggunakan diuretik dengan dosis yang rendah disertai dengan penggunaan asupan garam. Penggunaan diuretik pada orang
tua,
menurut
beberapa
ahli
lebih
banyak
efek
samping
dibandingkan dengan efektivitasnya. Pada gangguan fungsi ginjal tiazid tidak dianjurkan karena tidak menunjukkan efek antihipertensi. Pada keadaan ini dapat digunakan golongan loop diuretics, seperti furesemid dan asam etakrinik. Golongan ini termasuk diuretik kuat yang bekerja pada segmen tebal medullary ascending limb, loop Henle. Dosis furesemid umumnya 40 mg tiap hari. Aldakton dan triamteren termasuk
dalam potassium sparing diuretics karena cara kerjanya menghambat ekskresi natriu, sekresi kalium, dan hidrogen pada tubulus distal. Aldakton dapat diberikan 50 – 100 mg, 1 – 2 kali tiap hari, sedangkan triamteren 50 – 100 mg, dua kali tiap hari. Efek samping yang dapat terjadi adalah hiperkalemia sehingga jarang dipakai pada hipertensi primer dengan komplikasi penurunan fungsi ginjal. 2. Golongan penghambat simpatetik Penghambatan aktivitas simpatik dapat terjadi pada saat pusat vasomotor otak seperti pada pemberian metildopa dan klonidin atau pada ujung saraf perifer seperti reserpin dan guanetidin. Metildopa mempunyai efek antihipertensi dengan menurunkan tonus simpatik secara sentral. Mekanisme kerja yang lain ialah dengan cara mengganti noreepinefrin di saraf perifer dengan metabolit metildopa yang kurang poten. Efek hipotensinya lambat dan baru mencapai puncaknya pada hari ke 2 – 4. Dosis yang biasa dipakai adalah 250 mg, 2 – 3 kali tiap hari dan jika diperlukan dapat dinaikkan sampai dosis maksimal 2000 mg tiap. Efek samping dapat berupa anemia hemolitik, gangguan faal hati, dan kadang-kadang dapat timbul hepatitis kronik. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan pada kehamilan tanpa menimbulkan banyak efek samping. Klonidin mempunyai cara kerja yang tidak berbeda dengan metildopa yaitu mempengaruhi tonus simpatik secara sentral. Dosis yang diperlukan lebih rendah yaitu 0,1 – 0,2 mg tiap hari dengan dosis terbagi. Efek samping yang timbul adalah sedasi, rasa lelah, rasa kering dan mukosa mulut dan bibir, impotensi, dan pusing. Obat ini tidak boleh dihentikan pemberiannya secara mendadak karena adanya rebound effect yaitu peninggian tekanan darah secara cepat. Kombinasi klonidin dengan penyekat beta oleh beberapa penyelidik tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan gangguan serebral. Kelebihan klonidin adalah dapat diberikan secara parenteral dengan saat mulai kerja yang cepat sehingga dapat digunakan pada kegawatan hipertensi.
Reserpin atau golongan alkaloid rauwolfia juga mempunyai efek sentral. Obat ini dapat diberikan secara parenteral, akan tetapi penurunan tekanan darah yang terjadi sulit diduga sehingga jarang digunakan sebagai obat antihipertensi parenteral.
3. Penyekat Beta Mekanisme antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan curah jantung dan penekanan sekresi renin. Obat golongan ini dibedakan dalam 2 jenis: (1) yang menghambat reseptor beta I; (2) yang menghambat reseptor beta 1 dan 2. Penyakit beta yang kardio-selektif berarti hanya menghambat reseptor beta 1. Akan tetapi, dosis tinggi obat ini juga menghambat reseptor beta 2 sehingga penyekat beta tidak dianjurkan pada pasien yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkial. Berdasarkan kelarutannya dalam air dan lemak, penyekat beta dibedakan menjadi dua golongan: (1) golongan yang larut dalam lemak seperti
asebutolol,
alprenolol,
metoprolol,
oksprenolo,
pindolol,
propanolol, dan timolol, yang mempunyai waktu paruh yang relatif pendek, yaitu 2 – 6 jam ; (2) golongan yang lebih larut dalam air dan dieliminasi melalui ginjal seperti atenolol, nadolol, praktolol dan sotalol yang mempunyai waktu paruh yang lebih panjang, yaitu 6 – 24 jam, sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Efek samping yang timbul lebih banyak disebabkan oleh efek blokade terhadap reseptor beta dan tidak berhubungan dengan dosis. Kontraindikasi penyekat beta adalah pada pasien asma bronkial, gagal jantung, dan blok atrioventrikular. Efek samping bradikardia dapat diperkecil jika dipilih obat yang mengandung instrinsic sympathomimetic activity ( I SA). Penyekat beta yang mengandung ISA, misalnya pindolol, menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi tahanan perifer yang disebabkan oleh efek vasodilatasi tanpa mempengaruhi curah jantung.
4. Vasodilator Yang
termasuk
golongan
ini
adalah
doksazosin,
prazosin,
hidralazin, minoksidil, diazoksid, dan sodium nitroprusid. Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah. Hidralazin, minoksidil, dan diazoksid bekerja pada arteri sehingga penurunan resistensi pembuluh darah akan diikuti oleh peninggian aktivitas simpatik. Peninggian aktivitas simpatik ini akan menimbulkan takikardia dan
peninggian kontraktilitas otot miokard
yang akan
mengakibatkan peningkatan curah jantung. Sodium nitroprusid selain bekerja pada arterial juga bekerja pada vena sehingga efek samping yang timbul adalah hipotensi ortostatik yang disebabkan oleh penumpukan darah dalam vena. Dengan pemberian oral, dosis hidralazin adalah 10 – 25 mg tiap hari yang dapat dinaikkan 10 – 25 mg tiap kali sampai tercapai penurunan tekanan darah yang diinginkan. Dosis maksimal adalah 200 mg yang diberikan secara terbagi. Dengan pemberian oral absorpsi sangat baik dan efek antihipertensi timbul setelah 1 jam. Obat ini dimetabolisme dalam hati dengan waktu paruh 3 – 4 jam. Pemberian intravena biasanya dengan dosis 10 – 20 mg dan jika diperlukan dapat dinaikkan sampai 40 mg. Efek vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, portal-hepatik, dan koroner lebih besar jika dibandingkan dengan efek vasodilatasi pada pembuluh darah otak, otot, dan kulit. Minoksidil biasanya diberikan dengan dosis 2,5 – 25 mg tiap hari dengan pemberian sekali sehari. Efek vasodilatasinya mirip dengan hidralazin, hanya lebih kuat. Obat ini dapat digunakan pada pasien hipertensi yang sulit dikendalikan dengan obat lain. Doksazasin
termasuk
dalam α
1
receptor
blockers yang
mempunyai efek penurunan tekanan darah dalam 24 jam sehingga dapat diberikan sekali sehari dengan dosis 1 – 4 mg.
Prazosin mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, digunakan dengan dosis efek antara 2,5 – 7,5 mg tiap hari. Diazoksid adalah obat antihipertensi yang dapat diberikan secara parenteral sehingga dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi. Dosis awal adalah 100 mg yang dapat diberikan secara bolus intravena dan dapat diulangi jika diperlukan Sodium nitroprusid biasanya diberikan dengan infus dengan kecepatan rata-rata 3 mikrogram/kgBB/menit dengan kisaran antara 0,5 – 8 mikrogram/kgBB/menit. Sodium nitroprusid merupakan vasodilator yang poten terhadap otot polos. Efek samping yang terjadi disebabkan oleh efek antihipertensi yang berlebihan.
5. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin Obat golongan ini
dikembangkan,
berdasarkan pengetahuan
tentang pengaruh sistem renin-angiotensin pada hipertensi primer. Enzim konversi angiotensin mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang aktif dan mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh darah. Kaptopril yang dapat diberikan secara oral menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat enzim konversal angiotensin sehingga terjadi penurunan kadar angiotensin II, yang mengakibatkan penurunan aldosteron dan dilatasi arteriol. Selain itu, obat ini menghambat degradasi bradikinin yang
merupakan
vasodilator
kuat
yang
akan
memperkuat
efek
antihipertensinya. Pada hipertensi ringan dan sedang dapat diberikan dosis 2 kali 12,5 mg tiap hari. Dosis yang biasanya adalah 25 – 50 mg tiap hari. Penggunaan dosis yang lebih tinggi dari 50 mg pada pasien dengan kreatinin serum di atas 1,5 mg% perlu berhati-hati. Efek samping yang timbul adalah kemerahan kulit, gangguan pengecap, agranulositosis, proteinuria dan gagal ginjal.
6. Antagonis Kalsium
Hubungan antara kalsium dengan sistem kardiovaskular telah lama diketahui. Aktivitas kontraksi otot polos pembuluh darah diatur oleh kadar ion kalsium (Ca+2 ) intrasellular bebas yang sebagian besar berasal dari ekstrasel dan masuk melalui saluran kalsium (calcium channels). Peningkatan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan peninggian curah jantung. Hormon presor, seperti angiotensin, juga akan meningkat efeknya oleh pengaruh kalsium. Antagonis
kalsium
menghambat masuknya
kalsium
melalui
saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari pemecahan retikulum sarkoplasma, dan mengikat kalsium pada otot polos pembuluh darah. Golongan obat ini seperti nifedipin, diltiazem, dan verapamil menurunkan curah jantung dengan menghambat kontraktilitas, yang akan menurunkan tekanan darah. Verapamil
pada
penggunaan
jangka
pendek
dan
panjang
menunjukkan efek pada jantung dan pembuluh darah yang berupa efek antihipertensi
yang
sedang.
Kombinasi
dengan
diuretik
akan
meningkatkan efek antihipertensinya. Verapamil tidak dianjurkan untuk dikombinasikan dengan penyekat beta
karena dapat menimbulkan
bradikardia dan gangguan atrioventrikular. Nifedipin mempunyai efek 10 kali lebih besar terhadap pembuluh darah daripada otot jantung. Obat ini mempunyai efek vasodilatasi seperti hidralazin.
Perbedaan yang mencolok ialah
obat ini menurunkan
resistensi pembuluh darah koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Untuk mendapatkan efek yang lebh baik nifedipin dapat dikombinasikan dengan metildopa atau penyekat beta. Efek samping yang timbul berupa rasa panas pada muka dan edema pada esktremitas bawah. Umumnya efek samping golongan antagonis kalsium sangat minimal yaitu tidak terdapat perubahan fungsi ginjal, SGOT dan SGPT. Obat antagonis kalsium generasi baru dan lama dengan formula khusus (sustained release), mempunyai efek penurunan tekanan darah selama 24 jam sehingga dapat diberikan sekali sehari.
7. Angiotensin II receptor blocker Pada saat ini, yang sudah banyak dipakai dalam klinik adalah obat yang memblok reseptor ATI. Sebagai contoh adalah losartan, suatu derivat imidazol nonpeptida, yang sudah terbukti efektif menurunkan tekanan darah secara oral karena memblok efek presor angiotensin II. Obat golongan ini menimbulkan efek hemodinamik seperti penghambat ACE, tetapi tidak menimbulkan efek samping batuk karena tidak meningkatkan kadar bradikinin.
Penatalaksanaan Farmakologis pada Hipertensi Sekunder 1. Hipertensi ginjal Terdapat
cukup
bukti
bahwa
hipertensi
mempercepat
penurunan fungsi ginjal. Bertalian dengan patofisiologi hipertensi dan kelainan ginjal, pengobatan hipertensi akan mengurangi progresivitas fungsi ginjal.
Pembatasan Natrium Retensi natrium disertai peningkatan cairan ekstraselular sangat berperan terhadap hipertensi ginjal dan penurunan tekanan darah. Cara-cara pembatasan natrium yaitu: (1) pembatasan natrium dalam sehari sampai 2 g (88 mmol); (2) Mengukur berat badan dan tekanan darah secara teratur; (3) pemeriksaan ureum dan kreatinin serum dan (4) dilarang pemberian tambahan garam kalium. Pembatasan natrium sebanyak 2 g/hari pada pasien rawat jalan sangat bermanfaat tetapi perlu pendidikan terhadap diet dan kerjasama dengan pasien. Pasien dievaluasi terhadap tanda-tanda dehidrasi (hipotensi ortostatik atau penurunan berat badan yang cepat) atau peningkatan ureum dan kreatinin. Bila terjadi gagal ginjal terminal dengan gejala asidosis metabolik yang memerlukan bikarbonat, pemakaian natrium perlu disesuaikan. Pemberian cairan sitrat lebih
baik
daripada
natrium
klorida.
Bila
dengan
cara
ini
belum
memberikan hasil yang memuaskan terhadap pengendalian tekanan darah, perlu ditambahkan diuretic.
Diuretik Tiazid khasiatnya kurang bila diberikan pada pasien hipertensi renal dengan kadar kreatinin lebih dari 2 mg% atau kliren kreatinin kurang dari 30 mL/menit sebab kerjanya pada nefron distal dimana natrium rendah. Diuretik loop seperti furosemid, asam etakrin, bumetamid, dan toresemid merupakan pilihan utama untuk penanggulangan kelebihan cairan ekstraselular dan hipertensi dengan filtrasi glomerolus kurang dari 30 ml/menit. Kerja diuretik loop adalah menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada loop Henle yang naik di daerah medulla sebanyak 25 – 30%. Perlu pembatasan natrium selama pengobatan dengan
diuretik,
kompensasi.
sebab
Berat
retensi
badan
natrium
ditimbang
dapat
setiap
terjadi
hari
dan
sebagai waktu
penimbangan yang sama untuk mengetahui keseimbangan natrium. Dosis permulaan furosemid pada pasien dengan filtrasi glomerolus kurang dari 50% adalah dosis tunggal intravena 40 mg perhari atau oral 80 mg perhari. Efek samping adalah hipokalemia dan gangguan toleransi gula. Efek furosemid menjadi toksik bila gagal ginjal memburuk atau pemberian bersama aminoglikosida. Pengobatan kombinasi diuretik loop dan tiazid Pengobatan kombinasi ini dapat memberi khasiat positif walaupun tes klirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit. Kerja pengobatan kombiasi ini adalah diuretik loop bekerja pada bagian proksimal yang menghambat absorbsi natrium, sehingga natrim yang tiba di distal diekskresi oleh diuretik tiazid
Penghambat Enzim Pengkonversi Angiotensin Kerja obat golongan ini adalah menurunkan tekanan dalam kapiler glumerulus sehingga mencegah terjadinya sklerosis dan kerusakan glomerulus. Menurut Diabetes Collaborative Study Group pada diabetes tipe II, pemberian kaptopril dapat memperlambat progresivitas fungsi ginjal. Jadi kerja penghambat enzim pengkonversi angiotensin
selain
antihipertensi
juga
untuk
memperlambat
progresivitas penyakit ginjal.
Antagonis Kalsium Antagonis kalsium mempunyai sifat vasodilatasi arteriol aferen sehingga tekanan dalam kapiler glomerulus meningkat. Keadaan tersebut dalam waktu lama akan mempengaruhi fungsi ginjal.
Pengobatan Kombinasi Pengobatan kombinasi antara golongan penghambat enzim pengkonversi angiotensin dan antagonis kalsium diberikan pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal yang berat atau yang telah resisten. Bila kombinasi kedua obat tersebut belum berhasil dapat ditambahkan vasodilator seperti minoksidil. Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos dan mengakibatkan penurunan resisten vaskular yang diikuti oleh aktivitas simpatik dan terjadi takikardia. Penyekat beta perlu ditambahkan untuk mencegah rangsangan pada jantung. Diet Rendah Protein Diet rendah protein mempunyai pengaruh terhadap penurunan tekanan dalam kapiler glomerulus. Karena itu diet rendah protein perlu
dilakukan
bersamaan
dengan
cara-cara
di
atas
untuk
mengendalikan tekanan darah agar penurunan faal ginjal dapat diperlambat. Pembatasan protein adalah 0,3 sampai 0,5 kg/BB.
2. Hipertensi Renovaskular Penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi obat, Percutaneus Transluminal renal Angiplasty (PTRA), nefrektomi, dan ablasi renal (renal ablation). Banyak studi dikendalikan terutama
pada
pada
menunjukkan kebanyakan
pemakaian
bahwa
pasien
tekanan
hipertensi
penghambat
enzim
darah
dapat
renovaskular, pengkonversi
angiotensin dosis tinggi atau kombinasi beberapa obat antihipertensi. Namun demikian, pemakaian obat antihipertensi memberikan risiko penyumbatan arteri renalis yang dapat mengakibatkan trombosis arteri atau perburukan fungsi ginjal yang progresif. Penghambat enzim pengkonversi angiotensin walaupun efektif dalam menurunkan tekanan darah tetapi memberikan risiko yang tinggi untuk terjadinya azotemia, akibat penurunan laju filtrasi glomerulus. Antagonis kalsium menghambat aktivitas angiotensin II pada
arteriol
glomerulosa
sistemik,
korteks
arteriol
adrenal.
aferen,
Jadi,
mesangium
antagonis
dan
kalsium
zona tidak
menghambat secara penuh aksi angiotensin II pada arteri aferen. Dengan demikian, berbeda dengan penghambat enzim pengkonversi angiotensin, antagonis kalsium dapat mempertahankan laju filtrasi glomerulus pada daerah ginjal setelah stenotik ( post stenotic area). Penyakit beta (beta blocker ) juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena kerjanya yang menghambat sekresi renin. Tetapi risiko untuk terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus daerah ginjal setelah stenotik tetap tinggi. Diuretik, dapat dipergunakan pada hipertensi yang resisten, tetapi pada umumnya tidak terlalu efektif. Percutaneus
transluminal
renal
angioplasty
(PTRA),
nefroktomi dan ablasi renal, adalah tindakan-tindakan bedah yang dapat mengatasi hipertensi renovaskular secara kausal.
3. Hiperaldosteronisme Primer
Bila
penyebabnya
adalah
suatu
adenoma,
pembedahan
merupakan pengobatan pilihan, walaupun tidak semua pasien berhasil menjadi normotensi. Pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit yaitu dengan pemberian antagonis aldosteron (spironolakton) atau diuretik hemat kalium (amilorid). 4. Cushing’s Syndrome Pada tumor adrenal dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian kortikosteroid sebagai subtitusi. Pada kasus hyperplasia akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal maupun terhadap hipofisis. Bila harus dilakukan pembedahan
terhadap
kelenjar
adrenal,
harus
diikuti
dengan
pemberian kortkosteroid subtitusi.
5. Feokromositoma Pengobatan medikamentosa mendahului tindakan pembedahan sangat berfaedah. Fenoksibenzamin (dibenzilin) atau prazosin oral sangat efektif. Antagonis kalsium juga digunakan oleh beberapa sarjana. Penghambat α dan β yaitu labetalol secara teori bermanfaat.
Pertimbangan Khusus Beberapa kelompok pasien hipertensi memerlukan suatu pertimbangan khusus dalam pemilihan obat antihipertensi. Diantaranya adalah : 1. Gangguan ginjal Adanya gangguan ginjal karena menurunnya tekanan arteri pada pasien hipertensi sering terlihat dari adanya peningkatan serum kreatinin. Bila serum kreatinin meningkat pada pasien hipertensi yang diobati dengan ACE inhibitor ini perlu perhatian khusus, karena pada pasien ini bisa mengalami gangguan pada arteri renalis bilateral. Fungsi ginjalnya akan berlanjut memburuk selama pemberian ACE inhibitor.
Penggunaan ACE inhibitor harus berhati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan fungsi ginjal harus dinilai secara berkala (setiap 4 – 5 hari) pada 3 minggu pertama. Walaupun obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral, bersama dengan penghambat reseptor angiotensin merupakan obat pilihan pada pasien dengan stenosis arteri renalis unilateral dan dengan fungsi ginjal kontralateral yang normal, serta bisa juga pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes mellitus.
2. Penyakit jantung koroner
β
blocker berguna sebagai obat antihipertensi pada pasien dengan
penyakit jantung koroner. ACE inhibitor juga berguna untuk pasien ini khususnya dengan hipertensi dan disfungsi ventrikel kiri
3. Diabetes mellitus ACE inhibitor atau penghambat reseptor angiotensin merupakan langkah pertama pengobatan hipertensi pada pasien dengan DM tipe II. Keduanya diketahui tidak memiliki efek merugikan pada metabolisme glukosa atau lemak dan meminimalisir terjadinya nefropati diabetik dengan mengurangi resisten pembuluh darah renal dan tekanan perfusi renal. Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa pengaturan tekanan darah yang rendah pada pasien dengan diabetes adalah ideal untuk mencegah progresivitas dari gangguan end-organ yaitu pada tekanan darah 130/80 mmHg.
4. Usia tua (> 65 tahun) Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien usia tua yang sehat, baik wanita maupun
laki-laki yang diobati dengan
pengurangan resiko stroke.
Komplikasi
obat antihipertensi menunjukkan
Komplikasi
pada
hipertensi
yang
tidak
diobati
berkaitan
dengan
meningkatnya tekanan darah yang menimbulkan perubahan fungsi pada sistem vaskularisasi dan hati, atau karena aterosklerosis yang biasanya menyertai suatu hipertensi yang lama. a. Penyakit hipertensif kardiovaskular Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab utama dari kematian karena hipertensi primer. Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri pada 15% kasus hipertensi kronik. Ini merupakan prediktor yang kuat untuk menentukan prognosis. Hipertrofi ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemia miokard dan kematian mendadak. b. Penyakit hipertensif serebrovaskular Hipertensi
merupakan
predisposisi
utama
dari
stroke,
terutama
perdarahan intraserebral dan juga infark serebral. Komplikasi serebrovaskular ini sangat berkaitan dengan tekanan darah sistolik daripada tekanan darah diastolik. Insiden dari komplikasi ini dikurangi dengan penggunaan terapi antihipertensi. c. Penyakit ginjal hipertensi Hipertensi kronik dapat menimbulkan nefrosklerosis, penyebab umum dari renal
insufisiensi.
Pengontrolan tekanan
darah
yang agresif dapat
mengurangi proses ini. Pada pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus 130/85 mmHg atau lebih rendah bila ada proteinuria. ACE inhibitor terbuktif efektif untuk mencegah komplikasi lanjut. d. Komplikasi aterosklerosis Merupakan
komplikasi
hipertensi
jangka
lama.
Faktor
resiko
pembentukan aterosklerosis diantaranya juga termasuk : merokok, dislipidemia dan DM. Terapi antihipertensi dapat efektif untuk
mengurangi adanya
komplikasi lanjut yang dapat menimbulkan penyakit jantung koroner.
Prognosis
Pada berbagai penyelidikan terbukti bahwa makin tinggi tekanan darah dan semakin lama seseorang mengidap hipertensi, makin tinggi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh hipertensi. Menurut Strate dan kawan-kawan (1986), sesuai dengan perjalanan alamiah pasien hipertensi primer yang tidak mendapat pengobatan, mortalitasnya disebabkan oleh serangan jantung, stroke dan gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Massie B.M, Systemic Hypertension, CMDT 2003, Current Medical
dIagnosis & Treatment 42nd edition, International edition, Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2003 : 409 – 34 2. Chobanian A.V et al, The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, JAMA, May 21 st, 2003, Volume 289, No. 19 : 2560 – 68 3. Zenizlev C., Hypertension at
http://www.emedicine.com/journal/topic3118.htm 4. Tagor H. Et al, Hipertensi, Buku Ajar Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 : 1997 – 212
View more...
Comments