Hepatitis Akibat Oat
May 13, 2018 | Author: Bara Kharisma | Category: N/A
Short Description
HEPATITIS OAT...
Description
REFERAT PENYAKIT PARU HEPATITIS AKIBAT OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Diajukan kepada Yth: dr. Indah Rahmawati, Sp. P
Disusun oleh : Herthyaning Prasetyo
G4A016088
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017
LEMBAR PENGESAHAN “
HEPATITIS AKIBAT OBAT ANTI TUBERKULOSIS
”
REFERAT
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto
telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal
Desember 2017
Disusun oleh:
Herthyaning Prasetyo
Purwokerto,
G4A016088
Desember 2017
Pembimbing,
dr. Indah Rahmawati, Sp. P
I.
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab kematian utama dari penyakit menular dapat disembuhkan. Sekitar 9 juta kasus TB baru terjadi pada tahun 2004 dan 1,7 juta orang meninggal akibat TB pada tahun itu. Pengobatan standar yang direkomendasikan untuk TB paru dewasa adalah rejimen isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan, dilanjutkan 4 bulan untuk isoniazid dan rifampisin. Etambutol biasanya ditambahkan ke rejimen ini dan streptomisin dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam kasus pengobatan ulang di sebagian besar negara-negara berkembang (Kemenkes RI, 2014). Dunia kedokteran terus mengalami perkembangan yang antara lain diwarnai dengan makin banyaknya jenis obat. Hal ini berdampak baik, dimana akan meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi melalui hati (Loho dan Irsan, 2014). Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury) merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis tersendiri. Luputnya diagnosis drug-induced liver injury sering terjadi karena drug-induced liver injury memiliki spektrum yang luas, mulai dari tidak bergejala sama sekali sampai gagal hati akut yang mengancam nyawa. Karena itu, pendekatan diagnosis yang tepat merupakan hal yang sangat penting (Loho dan Irsan, 2014). Efek samping yang paling sering terjadi dari pengobatan antituberkulosis adalah hepatotoksisitas, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan neurologis. Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping yang paling serius dan merupakan fokus utama dari tinjauan ini. Hepatotoksisitas yang diinduksi obat antituberkulosis (ATDH) menyebabkan morbiditas substansial dan kematian serta mengurangi efektivitas pengobatan. Adanya peningkatan enzim transaminase selama pengobatan OAT umumnya asimtomatik, namun hepatotoksisitas bisa berakibat fatal bila tidak diakui dan diterapi secara dini (Alwi, 2012).
Efek samping mengurangi efektivitas pengobatan, karena mereka secara signifikan
berkontribusi
terhadap
ketidakpatuhan,
akhirnya
memberikan
kontribusi kegagalan pengobatan, kekambuhan atau munculnya resistensi obat. Kepatuhan terhadap pengobatan yang diresepkan adalah faktor penting untuk menyembuhkan pasien dengan TB aktif. Karena masa pengobatan yang panjang, pasien harus tetap termotivasi untuk melanjutkan pengobatan bahkan ketika dia merasa lebih baik. Selain itu, penggunaan obat anti tuberkulosis lini kedua pada pasien yang tidak bisa mentolerir obat-obatan standar dan gangguan pengobatan TB menghasilkan respon pengobatan sub-optimal (Kemenkes RI, 2014).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hepatitis imbas OAT adalah suatu peradangan pada hati yang diakibatkan oleh reaksi merugikan dari obat anti tuberkulosis. Hepatitis imbas OAT disefinisikan berdasarkan kriteria sebagai berikut (Alwi, 2012): 1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan OAT 2.
Tidak mengkonsumsi alkohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum pengobatan TB dimulai
3.
Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid dan rifampisin dalam dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari sebelum ditemukan nilai fungsi hati abnormal
4.
Ketika mendapatkan OAT terdapat peningkatan fungsi hati diatas normal (peningkatan bilirubin total >1.5 mg/dl)
5.
Tidak ada penyebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6.
Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati normal atau menurun dari yang sebelumnya telah meningkat Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai
kriteria berikut (Jeong et al., 2015) : 1.
Kadar
aspartat
aminotransferase
(AST)
dan
/
atau
alanin
aminotransferase (ALT) > 5 kali batas atas normal (AST 3-45 u/L, ALT 0-35 u/L) atau > 3 × ULN, dengan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut, sakit kuning, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan 2.
Tidak adanya bukti serologis infeksi hepatitis A, B, C atau E
3. Normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% hasil kimia hati abnormal setelah penarikan obat anti-TB. Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai kriteria berikut (Babalik et al., 2012): 1.
Peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) dan / atau alanin aminotransferase (ALT) sampai tiga kali dari batas atas normal
2.
Kenaikan kadar serum bilirubin total > 1,5 mg / dL
3.
Kenaikan AST dan / atau ALT dibandingkan dengan sebelum perawatan disertai adanya anoreksia, mual, muntah, dan ikterus
4.
Tidak adanya bukti serologis adanya infeksi virus hepatitis. Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai
kriteria berikut (Saha et al., 2016): 1.
Peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) sampai lima kali dari batas atas normal
2.
Kenaikan kadar serum bilirubin total > 1,47 mg / dL;
3.
Kenaikan AST dibandingkan dengan sebelum perawatan disertai adanya anoreksia, mual, muntah, dan ikterus .
B. Epidemiologi
Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai dengan makin banyaknya jenis obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi melalui hati (Loho dan Irsan, 2014). Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi drug induced liver injury (DILI) sebagai penyebab penyakit hati akut maupun kronik relatif rendah. Insidens hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000 pasien. Meskipun demikian, insideni drug induced liver injury yang sebenarnya sulit diketahui. Jumlah aktual dapat jauh lebih besar karena sistem pelaporan yang belum memadai, kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien pasien yang mengalami drug induced liver injury (Loho dan Irsan, 2014). Timbulnya hepatitis imbas OAT pada seseorang sangat beragam waktunya, tetapi penelitian menunjukkan seseorang yang mengalami hepatitis imbas OAT adalah pasien yang mendapat terapi setelah berminggu minggu
atau berbulan-bulan, sedangkan untuk pasien yang mengalami hepatitis imbas OAT setelah konsumsi obat dalam hitungan hari sangat sedikit (Alwi, 2012). Insidensi timbulnya hepatitis imbas OAT sangat beragam, karena tergantung dari definisi peneliti mengenai hepatitis imbas OAT pada berbagai populasi studi. Hepatitis imbas OAT lebih sering terjadi pada negara berkembang. Pada penelitian yang dilakukan di Nepal ditemukan insidensi hepatitis imbas OAT mencapai 38%. Penelitian lain yang dilakukan di Malaysia menyebutkan bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai 9,7% (Alwi, 2012). Ras oriental dilaporkan memiliki angka tertinggi, terutama India. Kejadian hepatotoksik di sub sahara Afrika dilaporkan pada beberapa literatur, namun untuk insidensinya sendiri tidak tercatat dengan jelas jumlahnya sehingga tidak dapat dilaporkan (Alwi, 2012). Pada sebuah studi survei yang dilakukan oleh The U.S Public Health Service dilaporkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 2 kali lipat untuk terkena hepatitis akibat obat isoniazid dan risiko akan semakin meningkat hingga 4-5 kali lipat pada seseorang yang mengkonsumsi alkohol setiap hari (Alwi, 2012).
C. Faktor Risiko
(Lima dan Heloisa, 2012; Babalik et al., 2012; Abbara et al., 2017 ; Jong et al., 2015; Alwi, 2012) 1.
Ras Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu.
2.
Usia Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya
aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat. 3.
Gender Reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan aktivitas CYP3A lebih tinggi dan berdampak pada peningkatan hepatotoksisitas.
4.
Konsumsi alkohol Orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme
obat.
Alkohol
menyebabkan
deplesi
penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.
Alkohol juga memiliki kandungan
etanol. Proses pemecahan etanol dapat menghasilkan bahan kimia yang bersifat toksik seperti asetaldehid. Bahan toksik ini memicu peradangan yang menghancurkan sel hati. Akibat luka peradangan, jaringan hati akan digantikan oleh jaringan parut yang menyebabkan fungsi fisiologis terganggu. 5.
Rokok Rokok menurunkan hepatic glutation peroksidase yang berperan sebagai antioksidan dan antitoksin. Rokok menurunkan aktivitas superperoksida dimutase yang merupakan enzim antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh dan paling banyak di hati. Rokok juga meningkatkan aktifitas lipid peroksidase, dimana ia merupakan suatu radikal bebas sehingga hati mudah mengalami peradangan.
6.
Penyakit hati Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau
C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun. 7.
Faktor genetik Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat anti aritmia yang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.
8.
Penderita AIDS Terapi antiretrovirus terutama protease inhibitor meningkatkan kemungkinan interaksi antar obat bila diberikan bersama rifampisin
9.
Status nutrisi Orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
10. Formulasi obat Obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat short-acting
D. Klasifikasi
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat diprediksi) dan hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat kimia industri maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa
jenis
jamur
yang
menyebabkan
jejas
hati.
Sebaliknya,
hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan
oleh obat-obat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien (1:10.000-1:100.000) (Loho dan Irsan, 2014) Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung menyebabkan jejas dengan pola khas pula (Tabel 1). Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik) menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya adalah jejas hati imbas isoniazid. Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang mendahului atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun AST. Selain ketiga macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat dinilai melalui biopsi hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis mikrovaskular yang terlihat pada biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit peningkatan enzim aminotransferase, seperti yang terjadi pada jejas hati imbas asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis tinggi (Loho dan Irsan, 2014).
Tabel 1. Obat-obatan yang memberikan pola jejas hati
Sumber : Loho dan Irsan, 2014
E. Patogenesis
Kematian hepatosit pada DILI dapat terjadi melalui dua proses, yaitu proses yang diperantarai apoptosis atau nekrosis. Pada apoptosis, terjadi pengerutan dan fragmentasi sel menjadi pecahan-pecahan kecil dengan membran sel tetap utuh. Pecahan-pecahan ini akan dibersihkan melalui proses fagositosis dan umumnya tidak merangsang respons imun pejamu. Sebaliknya, nekrosis menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan deplesi ATP yang menyebabkan pembengkakan dan lisis sel yang merangsang terjadinya proses inflamasi lokal (Loho dan Irsan, 2014). Proses apoptosis dan nekrosis tersebut dapat tercetus melalui berbagai mekanisme. Pada sebagian besar kasus, DILI diawali dengan bioaktivasi obat menjadi metabolit reaktif yang mampu berinteraksi dengan makromolekul seluler, seperti protein, lemak, dan asam nukleat. Hal ini menyebabkan disfungsi protein, peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan stres oksidatif. Selain itu, metabolit reaktif ini dapat mencetuskan gangguan pada gradien ionik dan penyimpanan kalsium intraseluler, menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria dan gangguan produksi energi. Gangguan fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel dan gagal hati (Loho dan Irsan, 2014). Banyak mekanisme yang terjadi agar metabolit toksik merusak sel hati, akan tetapi mekanisme yang paling umum terjadi adalah ikatan kovalen dan stres oksidatif. Target utama metabolit reaktif ini adalah mitokondria. Berbagai penelitian mendukung fakta bahwa ikatan kovalen dari metabolit reaktif ke beberapa protein dapat mengganggu fungsinya, mengakibatkan hepatotoksisitas. Sebagai contoh lokasi protein yang berikatan kovalen masuk ke dalam asinus berkorelasi baik dengan lokasi kerusakan hepatosit karena asetaminofen dan kokain. Sebagai tambahan, manipulasi lingkungan yang meningkatkan atau menurunkan rasio ikatan kovalen (contoh pengobatan dengan inducer atau inhibitor dari P-450 yang spesifik) secara proporsional meningkatkan atau menurunkan sensitivitas hati terhadap toksisitas. Akan tetapi, peningkatan ikatan kovalen yang dihasilkan oleh obat tidak secara langsung menggambarkan hepatotoksisitas. Dapat disimpulkan bahwa ikatan
kovalen pada protein tidak selalu mengakibatkan hepatotoksisitas. Dalam beberapa keadaan ikatan kovalen ini memberikan mekanisme adaptasi untuk sel, contoh: dispekulasi bahwa protein sitosol tertentu teridentifikasi sebagai target untuk ikatan kovalen asetaminofen berfungsi melindungi sel dengan menonaktifkan metabolit raktif. Rifampisin jarang menimbulkan abnormalitas jika digunakan sebagai obat monoterapi dan dalam batas normal, namun ia dapat memberikan efek samping berupa kolestatik intrahepatik karena berkompetisi dengan gluconyltransferase. Sedangkan isoniazid memiliki efek samping hepatotoksisitas dan fatal drug induced hepatitis terutama saat diberikan bersamaan dengan rifampisin. Hal ini dikarenakan pemberian keduanya secara bersamaan berhubungan dengan metabolisme obat, monoasetyldehide dan fenotipe asetilator lambat (Lima dan Heloisa, 2012). Hepatitis imbas OAT dapat daiktifkan langsung dari senyawa utama, hasil metabolit, atau dapat disebabkan oleh respon imunologis yang dapat mempengaruhi hepatosit, sel sel epitel empedu dan atau pembuluh darah hati. Reaksi idiosinkantrik yang tidak berhubungan dengan obat, hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki lokus minoris tersendiri, dimana setiap individu memiliki kerentanan tersendiri terhadap efek hepatitis (Alwi, 2012). OAT (isoniazid dan rifampisin) akan meingkatkan lipid peroksidase, dimana rifampisin dan isoniazid akan menimbulkan hepatotoksisitas melalui enzim hati yang menginduksi sistem hidrolase sehingga meningkatkan metabolisme dan toksisitas obat (Alwi, 2012). Perubahan mitokondrial redoks merupakan peristiwa penting dalam kerusakan apoptosis hati. Adanya toksisitas dikarenakan terbentuknya metabolit reaktif dalam hepar. Metabolisme reaktif ini akan melewati proses detoksifikasi dan bereaksi dengan nukleofilik seperti lysin dan sistein pada protein seluler (Ramappa dan Guruprasad, 2012). Peningkatan diakibatkan
adanya
pembentukan
metabolit
reaktif
pada
individu
peningkatan
aktivitas
enzim
yang
memicu
biotransformasi obat menjadi metabolit reaktif atau penurunan aktivitas
enzim yang mendeteksi metabolit reaktif. Pada perjalanan obat terdapat 3 fase, dimana fase I sitokrom 450 akan memicu proses oksidasi, reduksi/hidrolisis. Fase II dimana akan terjadi proses glukoronihidrasi, astilisasi atau konjugasi glutasi. Fase III dimana terjadinya disposisi obat yang dimediasi oleh molekul transporter atau protein yang memfasilitasi ekskresi dari metabolit hidrofilik ke sirkulasi sistemik/biliaris (Ramappa dan Guruprasad, 2012). Isoniazid dimetabolisme di hati. Metabolisme ini akan menghasilkan asetil diazin yang merupakan metabolit reaktif. Asetil diazin ini juga akan dipecah menjadi ion astil onium reaktif, radikal asetil, dan keton.Kerusakan hati juga akan terjadi ketika ketiga hasil pemecahan tersebut berikatan kovalen dengan makromolekul hepar. Hidrolisis isoniazid tanpa asetilasi akan menghasilkan hidrazin yang juga merupakan sumber kerusakan hati. Asetilasi lambat juga berpotensi menghasilkan hepatotoksisitas hati (Ramappa dan Guruprasad, 2012).
Gambar 1. Metabolisme isoniazid (Ramappa dan Guruprasad, 2012).
Rifampisin dimetabolisme di hati dan dengan desasetilasi ia berubah menjadi desasetil rifampisin dan dijalur berbeda ia dihidrolisis menjadi 3 formil rifampisin. Rifampisin menginduksi enzim metabolik sitokrom P450. Induksi ini menyebabkan adanya induksi metabolisme isoniazid yang merupakan
metabolit
toksis
yang
akhirnya
akan
meningkatkan
hepatotoksisitas. Rifampisin juga menginduksi hidrolisis isoniazid. Hal tersebut akan menyebabkan produksi hidrazin, yang merupakan metabolit reaktif isoniazid akan bertambah (Ramappa dan Guruprasad, 2012). Pirazinamid merupakan derivat asam nikotin. Menurut penelitian sebelumnya, pirazinamid akan bersifat toksis jika diberikan dengan dosis >40-50 mg/kg. Pirazinamid juga menghambat aktivitas sitokrom 450 dan NAD
yang
berhubungan
dengan
peningkatan
radikal
bebas
mempengaruhi hepatotoksisitas (Ramappa dan Guruprasad, 2012).
Tabel 2. Efek samping ringan pengobatan OAT
Sumber : Kementrian Kesehatan RI, 2014
yang
Tabel 3. Efek samping berat pengobatan OAT
Sumber : Kementrian Kesehatan RI, 2014
F.
Penegakan Diagnosis (Loho dan Irsan, 2014)
1.
Gejala dan tanda Adanya peningkatan enzim disertai timbulnya gejala tidak spesifik, seperti kelelahan, anoreksia, mual, nyeri perut kanan atas, serta urin berwarna gelap, bisa merupakan petunjuk awal hepatotoksisitas (Loho dan Hasan, 2014) Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mirip
dengan
hepatitis
virus
akut.
OAT
bisa
menyebabkan
hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Alwi, 2012). Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat. Selain itu pasien hepatotoksisitas imbas OAT dapat mengalami kemerahan pada kulit, demam, athralgia dan eosinofilia secara terus menerus (Lima dan Heloisa, 2012).
2.
Pemeriksaan penunjang a.
Pemeriksaan Laboratorium 1)
ALT dan AST Hepatitis
imbas
obat
dikatakan
tipe
kerusakan
hepatoseluler jika konsentrasi aminotransferase meningkat lebih dari 2 kali BANN (batas atas nilai normal), atau jika rasio ALT dengan AF (alkali fosfatase) lebih besar atau sama dengan 5. Kerusakan hati ini dikatakan tipe kolestatik jika konsentrasi alkali fosfatase meningkat 2 kali BANN atau rasio. Pemeriksaan radiologi
dipergunakan
untuk
mengeksklusikan
penyebab
patologi pada hati. ALT terhadap AF kurang atau sama dengan 2. Tipe campuran sering terjadi ditandai dengan peningkatan ALT dan AF 2 kali BANN dengan rasio ALT dan AF lebih dari 2 tapi kurang dari 5. Pemeriksaan
ANA
dapat
membantu
dalam
menyingkirkan diagnosis autoimun. ANA dan ASMA yang positif dapat dipergunakan untuk evaluasi, tetapi terkadang membingungkan dan tidak dipergunakan. Adanya antibodi yang spesifik terhadap CYP telah diketahui berhubungan dengan hipersensitifitas terhadap beberapa macam obat. Sebagai contoh, sejumlah antibodi dan obat yang terlibat antara lain CYP1A2, dihidralazine; CYP 3A1, antikonvulsan; CYP 2E1, halotan. Peranan antibodi dalam patofisiolgi belum diketahui akan tetapi dapat
membantu
diagnosis.
Transformasi
limfosit
untuk
memeriksa obat dapat diobservasi untuk memeriksa kerja obat melalui reaksi imunologis, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan. 2)
Serologis Virus Hepatitis A dieksklusi jika diperoleh anti-HAV negatif (Hepatitis A) imunoglobin M (IgM). Hepatitis C dieksklusi dengan anti-HCV negative (Hepatitis C) antibody, akan tetapi tes ini bisa tetap negatif untuk beberapa minggu setelah onset
Hepatitis C. Hepatitis B diekslkusikan jika diperoleh nilai negative pada pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg) atau hepatitis B core antigen (anti-HBc). Dapat juga dilakukan pemeriksaan DNA. 3)
Serum iron (SI) Saturasi transferin yang tinggi berhubungan degnan peningkatan
konsentrasi
transferin
diduga
sebagai
hemokromatosis, yang terkadang terlihat dengan peningkatan transaminase. Akan tetapi, feritin merupakan penanda fase akut yang terkadang meningkat pada tipe hepatitis yang lain. Jadi, adanya peningkatan serum feritin bukan merupakan penanda hemokromatosis,
kecuali
saturasi
iron
juga
meningkat.
Pemeriksaan genetic untuk hemokromatosis dapat berguna pada pasien ini. 4)
Serum seruloplasmin Pada orang muda, mengeksklusikan penyakit Wilson, khususnya jika terdapat pula kelainan neuropsikiatrik.
b.
Pemeriksaan Radiologi 1)
Ultrasonografi Ultrasonografi
tidak
semahal
jika
dibandingkan
dengann CT scan ataupun MRI dan dapat dilakukan hanya beberapa menit. Ultrasonografi efektif untuk mengevaluasi kandung empedu, saluran empedu, dan tumor hati. 2)
CT scan CT scan dapat membantu mendeteksi lesi hati yang berukuran 1 cm atau lebih dan beberapa kondisi yang difus. Pemeriksaan
ini
dapat
dipergunakan
pula
untuk
memvisualisasikan struktur lain di dalam abdomen. 3)
MRI MRI memberikan resolusi kontras yang sangat baik. Pemeriksaan ini dapat dipergunakan untuk mendeteksi kista, hemangioma, dan tumor primer maupun sekunder. Vena Porta,
Vena Hepatik, dan traktus biliaris dapat dilihat tanpa suntikan kontras. c.
Biopsi Evaluasi histopatologi merupakan perangkat penting dalam diagnosis. Biopsi hati tidak esensial untuk setiap kasus, tetapi ada pola morfologis yang konsisten untuk membantu diagnosis.
G. Diagnosis Banding
Berikut merupakan diagnosis banding dari hepatitis akibat imbas obat tuberkulosis (Lima dan Heloisa, 2012; Babalik et al., 2012; Abbara et al., 2017 ; Jong et al., 2015; Alwi, 2012) : 1.
Hepatitis viral akut
2.
Hepatitis autoimun
3.
Shock liver
4.
Kolestitis
5.
Kolangitis
6. Budd-Chiari syndrome 7.
Penyakit hati alkoholik
8.
Penyakit hati kolestatik
9.
Penyakit hati yang berhubungan dengan kehamilan
10. Keganasan 11. Penyakit Wilson 12. Hemokromatosis 13. Gangguan Koagulasi.
H. Tata Laksana (Kemenkes RI, 2014)
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan OAT.
37Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB tergantung dari: 1.
Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
2.
Berat ringannya gangguan fungsi hati
3.
Berat ringannya TB
4.
Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai
kondisi: 1.
Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati
normal,
berikan
Rifampisin
dengan
dosis
bertahap,
selanjutnya Isoniasid secara bertahap. 2.
TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.
3.
Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali.
4.
Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5.
Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6.
Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan.
Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid. 7.
Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati. Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE. Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8.
Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.
9.
Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan. Semua lini pertama obat anti tuberkulosis seperti, isoniazid,
pirazinamid, dan rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hati (drug induce hepatitis). Rifampisin dapat menyebabkan ikterik asimptomatik tanpa bukti adanya
hepatitis.
Kemungkinan
lainnya
harus
disingkirkan
sebelum
menentukan bahwa hepatitis ini disebabkan oleh obat anti tuberkulosis.
Manajemen terapi hepatitis akibat dari obat tuberkulosis bergantung dari (WHO, 2010). : 1.
Apakah pasien sedang dalam fase intensif atau lanjutan
2.
Derajat keparahan kerusakan hati, derajat keparahan tuberkulosis, dan kemampuan tubuh untuk mentoleransi efek samping pengobatan. Jika sudah dipastikan bahwa kerusakan hati memang karena obat
anti tuberkulosis, maka semua obat harus diberhentikan. Jika pasien memiliki derajat TB yang berat dan dikira membahayakan jika pengobatan anti tuberkulosis dihentikan, maka dapat digunakan obat anti TB yang tidak hepatotoksik seperti streptomisin, etambutol, dan flurokuinolon. Jika obat anti tuberkulosis sudah dihentikan, maka perlu menunggu hingga hasil fungsi hati sudah kemabali normal dan gejala (mual, nyeri perut) sudah menghilang sebelum pemberian anti tuberkulosis ulang. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan tes fungsi hati, maka disarankan untuk menunggu 2 minggu setelah gejala ikterik dan nyeri perut hilang sebelum memberikan obat anti tuberkulosis. Jika tanda dan gejala tidak menghilang dan kerusakan hati sudah berat, maka diberikan resimen yang terdiri dari streptomisin, etambutol, dan flurokuinolon selama 18-24 bulan (WHO, 2010). Setelah hepatitis akibat imbas obat sudah sembuh, maka obat anti tuberkulosis kempali diperkenalkan satu persatu. Jika gejala kembali atau fungsi hati kembali abnormal setelah pemberian obat, maka obat terakhtir harus dihentikan. Beberapa menasehatkan pengobatan dimulai dengan rifampisin. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat diperkenalkan kembali. Pada pasien yang memiliki pengalaman ikterik namun dapat mentoleransi pemberian rifampisin dan isoniazid, maka pirazinamid harus diganti oleh obat lain. Resimen alternatif tergantung dari obat mana yang dapat menyebabkan hepatitis. Jika dikarenakan rifampisin, maka diberikan resimen terapi 2 bulan pengobatan dengan isoniazid, etambutol dan streptomisi dan diikuti 10 buloan terapi dengan isoniazid dan etambutol. Jika dikarenakan isoniazid, maka diberikan terapi rifa,pisin, pirazinamid dan etambutol selama 6-9 bulan. Jika hal ini dikarenakan pyrazinamid, total pemberian isoniazid dan rifampisin akan menjadi 9 bulan. Jika isoniazid dan rifampisin tidak bisa digunakan
maka diberikan resimen non hepatotoksis yang terdiri dari streptomisin, etambutol, dan flurokuinolon dengan total pemberian 18-24 bulan (WHO, 2010). Pengenalan obat dengan cara satu persatu dianggap paling optimal, terlebih
pada
penderita
hepatitis
dengan
derajat
berat.
Program pengendalian TB nasional telah menggunakan tablet FDC.Namun, jika unit kesehatan negara tersebut belum memiliki obat anti-TB tunggal, pengalaman klinis di rangkaian terbatas telah berhasil dengan pendekatan berikut, yang bergantung pada apakah hepatitis dengan ikterus terjadi selama fase intensif atau kelanjutan (WHO, 2010). 1.
Bila hepatitis dengan ikterus terjadi selama fase intensif pengobatan TB dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamida dan etambutol: setelah hepatitis dipecahkan, awali obat yang sama kecuali menggantikan pyrazinamide dengan streptomisin untuk menyelesaikan terapi awal 2 bulan terapi awal, diikuti dengan rifampisin dan isoniazid untuk fase kelanjutan 6 bulan.
2.
Bila hepatitis dengan ikterus terjadi selama fase lanjutan: setelah hepatitis selesai, mulai ulang isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan fase terapi fase 4 bulan.
I.
Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada drug induced liver injury. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien drug induced liver injury mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena drug induced liver injury. Angka fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen (Loho dan Irsan, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Abbara, aula., Sarah Chitty, Jennifer K. Roe., et al. 2017. Drug-induced liver injury from antituberculous treatment: a retrospective study from a large TB centre in the UK. BMC Infectious Diseases 17 (231) : 1-9 Alwi, Nurazminah. 2012. Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis imbas oat dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012. Skripsi. Program Studi Kedokteran Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta Babalik, aylin.,hulya arda, nadi bakirci, sinem agca, korkmaz uruc, sule kiziltas, gulgun centinas, haluk c salisir. 2012. Management of and risk factors related to hepatotoxicity during tuberculosis treatment.Tuberk Toraks 60(2): 136-144 Jeong, Ina., Jong-Sun Park, Young-Jae Cho, et al., 2015. Drug-induced Hepatotoxicity of Anti-tuberculosis Drugs and Their Serum Levels. Korean Med Sci 30: 167-172 Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Lima, Maria Fatima Silva. dan Heloisa Ramos Lacerda. 2012.Hepatotoxicity induced by antituberculosis drugs among patients coinfected with HIV. Cad. Saúde Pública, Rio de J aneiro, 28(4):698-708 Loho, Imelda Maria. dan Irsan hasan.2014. Drug Induced Liver Injury Tantangan dalam Diagnosis.CDK-214 41(3): 1-4. Ramappa, Vidyasagar dan Guruprasad P. Aithal. 2012. Hepatotoxicity Related to Anti-tuberculosis Drugs: Mechanisms and Management. Journal of Clinical and Experimental Hepatology 12(1) : 1-13 Saha, arunava., Margaret Shanthi F.X., Blessed Winston A., et al. 2016. Prevalence of Hepatotoxicity From Antituberculosis Therapy: A FiveYear Experience From South India. Journal of Primary Care & Community Health 7(3) 171 – 174 World Health Organization. 2010. Treatment of tuberculosis: guidelines – 4th ed. WHO Library Cataloguing.
View more...
Comments