September 17, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
IDENTITAS JURNAL 1
Judul Penulis
Instansi
: Berkorelasi diinternalisasi Homophobia dalam Sampel Komunitas Lesbian dan Gay Men : Gregory M. Herek, Ph.D.; Gregory M. Herek, Ph.D.; Jeanine C. Cogan, Ph.D.; Jeanine C. Cogan, Ph.D.; J. Roy Ro y Gillis, Ph.D.; J. Roy Gillis, Ph.D.; Eric K. Glunt, Ph.D. : Departemen Departemen Psikologi, University of California, Davis, CA, USA; Ontario Ontario Institut Studi di Pendidikan, Universitas Toronto, Toronto, Ontario, Kanada
REVIEW JURNAL 1
Diinternalisasi homofobia sering membuat proses pembentukan diinternalisasi homofobia sering membuat proses pembentukan identitas lebih sulit dan dapat menimbulkan tantangan psikologis untuk laki-laki gay dan lesbian sepanjang hidup. lesbian dan pria gay berhasil mengatasi ancaman psikologis kesejahteraan yang ditimbulkan oleh homofobia diinternalisasi. Mereka berhasil merebut kembali bagian tidak mengakui atau mendevaluasi dari diri, mengembangkan identitas di mana seksualitas mereka terintegrasi dengan baik. Sampel dan Prosedur Peserta 75 perempuan dan 75 laki-laki direkrut pada besar lesbian / gay / biseksual jalan yang adil di Sacramento (CA). Karakteristik sampel. Perbedaan gender tidak diamati dalam karakteristik demografi. Penuh sampel ( n = 147) tidak diamati dalam karakteristik demografi. Penuh sampel ( n = 147) tidak diamati dalam karakteristik demografi. Penuh sampel ( n = 147) adalah dominan putih (82%), dengan yang lain 7% Latino, 1% Afrika Amerika, 2% Asia/Kepulauan Pasifik, dan 1% penduduk asli Amerika. Sisanya 7% diklasifikasikan sebagai “lainnya,” sebagian besar dari mereka melaporkan campuran keturunan. Sebagian besar responden (86%) diidentifikasi orientasi seksual mereka sebagai lesbian atau gay, dengan yang lain 14% mengidentifikasi sebagai biseksual. Responden berkisar di usia 16-68 tahun ( M = usia 16-68 tahun ( M = 33 tahun). Sampel yang berpendidikan tinggi, dengan 47% setelah meraih sarjana atau lebih tinggi derajat. Hanya 8% tidak menyelesaikan pendidikan formal di luar sekolah tinggi. pendapatan tahunan rata-rata responden adalah di kisaran $ 15.000 - $ 25.000. Dua puluh lima persen melaporkan penghasilan $ 35.000 atau lebih, sedangkan 35% melaporkan pendapatan $ 15.000 atau kurang. Wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk melaporkan bahwa mereka saat ini bekerja di pekerjaan untuk membayar (85% berbanding 72%; sebagian seba gian besar responden chi-square ( 1, N = 145) = 3,82, p = . 05). sebagian besar responden chi-square (1, N = 145) = 3,82, p = . 05). sebagian besar responden chi-square ( 1, N = 145) = 3,82, p = .05). sebagian besar responden chi-square ( 1, N = 145) = 3,82, p = . 05). Sebagian besar responden chi-square ( 1, N = 145) = 3,82, p = . 05). sebagian besar responden chi-square (1, N = 145) = 3,82, p = . 05). sebagian besar responden (78%) tidak pernah menikah heteroseksual, namun 19% pernah menikah, dan satu responden saat menikah. Sepersepuluh dari responden memiliki setidaknya satu anak. Mayoritas (60%) melaporkan bahwa mereka saat ini dalam jangka panjang, hubungan berkomitmen. Diinternalisasi Homophobia. Pria mencetak secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan pada ukuran IHP, dan biseksual mencetak secara signifikan lebih tinggi daripada homoseksual ( M s = 14,79 untuk pria gay,homoseksual ( M s = 14,79 untuk pria gay,homoseksual ( M s = 14,79 untuk pria gay, 19,91 untuk pria biseksual, 11,68 untuk lesbian, dan 16,87 untuk perempuan biseksual).
Diinternalisasi Homophobia dan Milestones Developmental. Usia rata-rata untuk tarik pertama yang anggota anggot a dari jenis jeni s kelamin yang sama adalah ad alah 11,5 untuk perempuan dan 10,3 untuk laki-laki. Rata-rata usia untuk orgasme pertama dengan seseorang dari jenis kelamin yang sama adalah 20,2 untuk perempuan dan 17,7 untuk laki-laki. Rata-rata, wanita pertama mengidentifikasi diri mereka sebagai lesbian atau biseksual pada usia 20,2, sedangkan pria melakukannya pada usia 18,7. usia untuk pengungkapan pertama dari orientasi seksual seseorang berarti adalah 20,5 untuk perempuan dan 21,2 untuk laki-laki. Diinternalisasi Homophobia dan kesejahteraan psikologis. Sejauh bahwa pria gay diwujudkan tingkat yang lebih tinggi dari homofobia diinternalisasi, mereka cenderung untuk melaporkan melapor kan gejala yang lebih depresi, lebih demoralisasi, dan kurang harga diri. Koefisien korelasi untuk lesbian secara statistik tidak signifikan. Terinternalisasi Homophobia dan Pengungkapan Pengungkapan Orientasi Seksual. Sebagian besar responden melaporkan bahwa orientasi seksual mereka diketahui ibu mereka (88% lesbian, 78% pria gay) atau ayah mereka (71% dari lesbian dan 69% pria gay). Mayoritas laki-laki gay (66%) dan lesbian (71%) sama-sama mengatakan bahwa kedua orang tua tahu tentang orientasi seksual mereka. Terinternalisasi Homophobia dan Persepsi Masyarakat. Responden merasa kurang terhubung ke lesbian, gay, biseksual dan masyarakat sejauh bahwa mereka mengalami tingkat yang lebih tinggi dari homofobia diinternalisasi. Maka dari itu, Seperti yang diharapkan, tingkat yang lebih tinggi dari homofobia diinternalisasi dikaitkan dengan kurang keterbukaan tentang orientasi seksual seseorang dan kurang rasa memiliki terhadap komunitas komuni tas gay dan lesbian. Peraih skor tertinggi juga diwujudkan simtomatologi lebih depresi dan demoralisasi dari skor rendah. Skor IHP tinggi juga dikaitkan dengan rendah diri, tetapi pola ini tampaknya terus terutama untuk laki-laki gay. Perbedaan jenis kelamin yang diamati dalam penelitian ini menyarankan bahwa lesbian mungkin mengalami diinternalisasi homofobia pada tingkat lebih rendah dibandingkan laki-laki gay, dan bahwa homofobia diinternalisasi mungkin terkait kurang erat dengan harga diri bagi lesbian daripada bagi pria gay. Pola seperti itu dapat dijelaskan dengan mengacu studi empiris dari sikap heteroseksual terhadap homoseksualitas, homosek sualitas, yang telah berulang kali menunjukkan bahwa sikap laki-laki heteroseksual terhadap pria gay lebih negatif daripada sikap mereka terhadap lesbian atau sikap wanita heteroseksual terhadap baik laki-laki la ki-laki gay atau lesbian Karena laki-laki lak i-laki gay dan lesbian biasanya dikenakan proses sosialisasi yang sama seperti rekan-rekan heteroseksual mereka, adalah wajar untuk mengharapkan bahwa internalisasi mereka dari sikap terhadap homoseksualitas akan cermin
yang heteroseksual. Artinya, (gay) laki-laki mungkin diharapkan untuk menginternalisasi permusuhan yang lebih besar terhadap (mereka sendiri) laki-laki homoseksual relatif terhadap internalisasi (lesbian) perempuan dari permusuhan terhadap lesbianisme (mereka sendiri). Sebelum menarik kesimpulan tentang perbedaan homofobia diinternalisasi antara lesbian dan pria gay, data tambahan harus dikumpulkan dari sampel yang lebih besar dan lebih beragam. Para peneliti juga harus mempertimbangkan membandingkan ukuran yang digunakan dalam penelitian ini dengan satu atau lebih tindakan lain dari homofobia diinternalisasi. Hal ini juga penting untuk mengenali bahwa temuan korelasional disajikan di sini tidak mengungkapkan arah kausal dalam hubungan antar variabel. Diinternalisasi homofobia mungkin memang menjadi penyebab kesulitan psikologis. Kalau tidak, mungkin secara tidak langsung berhubungan dengan depresi karena memberikan kontribusi untuk isolasi sosial (sebagai akibat dari non-disclosure dan kurangnya keterlibatan masyarakat), yang dapat menyebabkan perasaan kesepian dan depresi. Namun kemungkinan lain adalah bahwa tekanan psikologis menyebabkan perasaan peras aan ketidakpuasan ketidakp uasan dengan banyak aspek dari diri sendiri, termasuk orientasi seksual seseorang. praktisi harus mengakui kemungkinan
bahwa klien yang memiliki perasaan negatif tentang homoseksualitas mereka juga cenderung lebih di dalam lemari dan kurang terintegrasi ke dalam jaringan sosial gay daripada orang gay lain. Selain itu, klien tersebut mungkin berada pada risiko tinggi untuk depresi dan, dalam kasus pria gay, rendah diri. Sebaliknya, terapis juga harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa klien yang hadir dengan gejala depresi mungkin juga telah meningkatkan meningkatka n tingkat diinternalisasikan diinternalis asikan homofobia.
IDENTITAS JURNAL 2
Judul
Penuli Pen uliss
: Penerimaan Keluarga pada Remaja dan Kesehatan terhadap LGBT Dewasa Awal; (Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, Volume 23, Number 4, pp. 205 – 213) 213) : Caitlin Ryan,PhD,ACSW, Stephen T. Russell, PhD, David Huebner, PhD, MPH, Rafael Diaz, PhD, MSW, and Jorge Sanchez, BA REVIEW JURNAL 2
Studi terbaru lain menilai hubungan antara penolakan keluarga pada masa remaja dan kesehatan LGB dewasa muda (Ryan, Huebner, Diaz, & Sanchez, 2009). studi yang menunjukkan asosiasi yang jelas antara perilaku menolak orangtua selama masa remaja dan penggunaan obat-obatan terlarang, depresi, mencoba bunuh diri, dan risiko kesehatan seksual oleh LGB dewasa muda. mengingat hubungan antara penolakan orangtua dan hasil kesehatan negatif, kami berharap bahwa penegasan pen egasan atau penerimaan dari remaja LGBT akan terkait dengan penyesuaian positif dan penurunan kesehatan mental dan risiko kesehatan perilaku pada usia dewasa muda (Ry (Ryan an et al, 2009.). Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian partisipatif yang disarankan pada semua tahap oleh individu yang akan menggunakan dan menerapkan remaja LGBT, dewasa muda, dan keluarga-serta penyedia layanan kesehatan dan kesehatan mental, guru, pekerja sosial, dan pendukung. prosedur screening awal yang digunakan untuk memilih peserta yang cocok dengan kriteria penelitian. Kriteria inklusi adalah usia (21-25), diri-identifikasi etnis fi ed (non-Latino putih, Latino, atau Latino campuran), self-identifikasi sebagai LGBT, homoseksual, atau nonheterosexual (misalnya, aneh) selama masa remaja, pengetahuan tentang identitas LGBT mereka oleh setidaknya satu orang tua atau wali selama masa remaja, dan setelah tinggal dengan setidaknya satu orang tua atau wali selama masa remaja setidaknya sebagian besar waktu. Ukuran penerimaan keluarga dikembangkan berdasarkan wawancara individu yang mendalam dari 2-4 jam masing-masing dengan 53 remaja sosioekonomi sos ioekonomi beragam Latino dan non-Latino putih diri diidentifikasi LGBT dan keluarga mereka di perkotaan, pinggiran pinggir an kota, dan masyarakat pedesaan di seluruh California. Ukuran identitas seksual termasuk kategori bagi mereka mer eka yang diri diidentifikasi diidentifikas i sebagai sebag ai gay ga y / lesbian, biseksual, atau identitas id entitas seksual lainnya (termasuk “homoseksual” atau “lain”). Kami melaporkan tiga indikator penyesuaian dan kesehatan yang positif, dan lima indikator negatif. Penelitian ini menggunakan kuadrat terkecil biasa dan analisis regresi logistik untuk menguji sejauh mana penerimaan keluarga memprediksi hasil kesehatan dewasa muda, mengendalikan karakteristik latar belakang. Sampel termasuk jumlah yang sama kira-kira orang dewasa muda yang mandiri diidentifikasi sebagai laki-laki dan perempuan; 9% dari sampel diidentifikasi sebagai transgender. Tujuh puluh persen diidentifikasi sebagai gay atau lesbian (42% gay; 28% lesbian), 13% diidentifikasi sebagai biseksual, dan 17% melaporkan identitas seksual alternatif (antara ini, 35 peserta menulis dalam “aneh”). Tidak ada perbedaan statistik dalam tingkat rata-rata penerimaan keluarga berdasarkan identitas seksual (gay/lesbian, biseksual, dibandingkan orientasi seksual lainnya), jenis kelamin (laki-laki dibandingkan perempuan), atau identitas transgender. Responden transgender dilaporkan dukungan sosial yang lebih rendah dan kesehatan umum; Namun, tidak ada perbedaan dalam laporan mereka harga diri, depresi, dan penyalahgunaan zat. Biseksual melaporkan umum sedikit lebih baik kesehatan dan kurang depresi. responden putih dilaporkan lebih rendah harga diri daripada Latin.
Keluarga status sosial ekonomi dikaitkan dengan skor kesehatan umum; itu juga terkait dengan dukungan sosial yang lebih tinggi dan kurang depresi. Peelitian ini menghitung odds ratio untuk ide bunuh diri dan upaya bagi mereka yang melaporkan penerimaan keluarga rendah atau tidak ada dibandingkan dengan sedang atau tinggi. Peserta yang memiliki penerimaan keluarga k eluarga serendah ser endah remaja lebih dari tiga t iga kali lebih mungkin mungki n untuk untu k melaporkan baik keinginan bunuh diri dan usaha bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang melaporkan tingkat penerimaan yang tinggi keluarga. Konsisten dengan hasil untuk depresi, perempuan cenderung dibandingkan laki-laki untuk melaporkan keinginan bunuh diri atau upaya. Akhirnya, untuk usaha bunuh diri, status sosial ekonomi keluarga adalah pelindung, tetapi mengidentifikasi sebagai “aneh” bukan sebagai lesbian, gay, atau biseksual adalah faktor risiko yang kuat. bahwa penerimaan keluarga dikaitkan dengan kemungkinan berkurangnya keinginan k einginan dan upaya bunuh diri. Peserta yang memiliki penerimaan pen erimaan keluarga serendah remaja lebih dari tiga kali lebih mungkin untuk melaporkan baik keinginan bunuh diri dan usaha bunuh diri dibandingkan dengan deng an mereka yang melaporkan tingkat penerimaan yang tinggi keluarga. Konsisten dengan hasil untuk depresi, perempuan cenderung dibandingkan laki-laki untuk melaporkan keinginan bunuh diri atau upaya. Akhirnya, untuk usaha bunuh diri, status sosial ekonomi keluarga adalah pelindung, tetapi mengidentifikasi sebagai “aneh” bukan sebagai lesbian, gay, atau biseksual adalah faktor risiko yang kuat. Secara khusus, tidak muncul bahwa keluarga yang lebih menerima perempuan dibandingkan diban dingkan remaja LGBT laki-laki, dari biseksual dari gay/lesbian remaja, atau transgender dibandingkan dengan remaja nontransgender. Namun, Latino, imigran, agama, dan keluarga status yang rendah-sosial ekonomi tampaknya kurang menerima, rata-rata, remaja LGBT. Penelitian ini menemukan bahwa penerimaan keluarga pada masa remaja dikaitkan dengan hasil, dewasa awal kesehatan (harga diri, dukungan sosial, dan kesehatan umum) dan pelindung untuk hasil negatif kesehatan yang negatif (depresi, penyalahgunaan zat, dan keinginan bunuh diri dan upaya). Pendekatan kami untuk langsung mengukur LGBTspesifik perilaku yang mengekspresikan keluarga dan penerimaan pengasuh selama masa remaja merupakan langkah penting menuju kesehatan LGBT pemahaman yang lebih baik, dan menawarkan kesempatan untuk pencegahan terfokus dan intervensi dengan beragam keluarga yang memiliki anak-anak LGBT. Perawat diposisikan secara unik untuk memberikan penilaian, pendidikan, dan dukungan untuk remaja LGBT dan keluarga dan untuk membahas dampak dari penerimaan keluarga terhadap kesehatan anak-anak mereka dan kesejahteraan. perawatan berorientasi keluarga merupakan landasan praktik keperawatan. Perawat harus secara rutin meminta remaja tentang orientasi seksual mereka dan identitas gender untuk memberikan penilaian dan perawatan yang tepat. Perawat harus mengidentifikasi orang tua dan pengasuh, termasuk orang tua asuh dan wali, membutuhkan pendidikan dan bimbingan bimbi ngan untuk membantu mendukung menduku ng anak-anak LGBT mereka. Dengan persetujuan dan partisipasi pemuda tersebut, menghubungi keluarga untuk memberikan pendidikan, konseling keluarga, dan dukungan. Beberapa remaja dapat menggunakan dukungan dari profesional kesehatan mereka untuk datang ke orang tua dan pengasuh. Perawat dapat menawarkan untuk membantu pemuda mengungkapkan orientasi orientas i seksual atau identitas gender mereka ke orang tua / pengasuh. Ini termasuk menyediakan pendidikan tentang orientasi seksual dan identitas gender, bimbingan untuk membantu orang tua dan orang tua asuh memahami bagaimana untuk mendukung anak LGBT mereka, dan konseling untuk membantu keluarga mendamaikan nilai-nilai dan keyakinan bahwa homoseksualitas adalah salah dengan cinta mereka untuk anak LGBT mereka. Meskipun penting untuk menawarkan dukungan ini, adalah penting untuk menghormati preferensi dan keputusan
tentang di mana, bagaimana, dan pemuda ketika mereka memilih untuk mengungkapkan identitas LGBT mereka kepada orang tua, pengasuh, dan anggota keluarga lainnya. Perawat dapat menganjurkan di instansi dan lembaga mereka untuk pentingnya menyediakan perawatan yang berhubungan dengan keluarga untuk remaja LGBT. Perawat (terutama dalam pengaturan sekolah) dapat mengidentifikasi anak-anak dan remaja membutuhkan dukungan, termasuk mereka yang varian jenis kelamin, yang mungkin dianggap gay dan dilecehkan oleh rekan-rekan, dan yang keluar di usia muda dan mungkin lebih rentan terhadap reaksi negatif dari keluarga dan rekan-rekan. Para peneliti telah mengamati bahwa usia rata-rata pemuda yang sduah memiliki daya tarik seksual adalah sekitar usia 10 untuk heteroseksual dan homoseksual. Perawat dapat membantu orang tua dan pengasuh memahami bahwa orientasi seksual dan identitas gender pengembangan aspek-aspek normatif dari perkembangan anak. Mereka dapat bekerja dengan orang-orang muda dan keluarga untuk memberikan konseling seperti terapi keluarga. Sebuah kekuatan pendekatan berbasis membantu keluarga lebih mudah mengidentifikasi dengan kompetensi, keterampilan, dan sumber daya-yang semuanya dapat membantu memotivasi dan memberdayakan orang tua, pengasuh, dan anggota keluarga lain untuk mengadopsi perilaku yang mendukung diidentifikasi dalam penelitian ini yang dapat membantu menurunkan LGBT mereka anak-anak risiko dan mempromosikan kesejahteraan mereka.
IDENTITAS JURNAL 3
Judull Judu Penulis Instansi
: AKU ADALAH GAY (MOTIF (MOTIF YANG MELATARBELAKANGI PILIHAN SEBAGAI GAY ); ); (Jurnal Bimbingan Bimbingan dan Konseling Edisi Edisi 1 Tahun ke-4 2015) : Akhir Aprilla Irawan : FIP Universitas Negeri Yogyakarta; E-mail: E-mail:
[email protected] [email protected]
REVIEW JURNAL 3
Sekarang gay sudah tidak lagi langka, sebagian dari mereka pun sudah tidak lagi sungkan menunjukkan identitasnya sebagai pecinta sesama jenis. Pandangan masyarakat secara umum mennaggapi fenomena gay terbagi 4 kelompok (Novetri dalam Okdinata, 2009: 4), yaitu kelompok pertama (normative) yang berpandangan bahwa gay adalah kehidupan yang tidak sesuai dengan norma agama, sosial, dan merupakan perilaku yang tidak normal; kelompok kedua (inclusive) yang menerima keberadaan kaum gay dengan konsekuensi kaum tersebut tidak mengganggu kehidupan masyarakat disekitarnya; kelompok tiga ( legal oriented people) yang menyatakan bahwa pilihan kehidupan sebagai gay adalah bagian HAM yang hakiki; kelompok keempat (conservative people) yang berpandangan bahwa kehidupan gay adalah sumber penularan berbagai penyakit khususnya penyakit kelamin. Implementasi dari peristiwa tersebut menyebabkan mulai berdirinya lembaga yang melindungi hak-hak kaum gay. dewasa ini situs-situs di dunia maya yang menjadi sarana komunikasi kaum gay juga mudah kita temui, antara lain: gay forum indonesia, a gaymen, b- gay gay, boyzForum, GAY a Nusantara, dan juga forum gay di jejaring sosial seperti facebook, mig33, path, blackberry mesenger dan twitter. Selain itu untuk smartphone dan ponsel berbasis android dapat ditemukan aplikasi chating dan merupakan fasilitas untuk berkenalan yang digunakan oleh gay, aplikasi tersebut antara lain grindr, jack-d, hornet, badoo, scruff, planetromeo, gay park, bender, gay.nl, localsin, krave, dan nearox. Ada beberapa lembaga yang peduli pada hak-hak homoseksual di Yogyakarta, lembaga-lembaga tersebut antara lain, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), VESTA, PLU Satu Hati. Berdasarkan data estimasi dari Din Kes tahun 2012 jumlah homoseksual atau gay di DIY mencapai angka 8433 jiwa, dengan persebaran di Kabupaten Sleman 1622 jiwa, Kota Yogyakarta 1741 jiwa, Kabupaten Bantul 2690 jiwa, Kabupaten Kulon Progo 1278 jiwa, dan Kabupaten Gunung Kidul 1112 jiwa. Thompson dalam bukunya Psychology mengklasifikasikan motif ke dalam dua hal yaitu drives dan incentives. Drives adalah yang mendorong untuk bertindak. Incentives adalah benda atau situasi (keadaan) yang berbeda di dalam lingkungan sekitar kita yang merangsang tingkah laku. Incentives ini merupakan penyebab individu untuk bertindak. Antara drive dan incentives i ncentives pada dasarnya d asarnya merupakan dua sisi dari mata uang logam. Waktu dan tempat penelitian kualitatif ini dilaksanakan di Kabupaten Bantul pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014 dengan dua orang gay yang berinisial Fr (22th) bekerja sebagai sales TV dan Rb (21th) seorang mahasiswa. Penentuan informan menggunakan teknik purposive dan snowball. Teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara mendalam. Indikator-indikator drives meliputi: kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan dicintai dan disayangi, kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri. Indikator-indikator incentives meliputi: fakta keluarga, faktor lingkungan, faktor utama aktivitas seksual. Teknik analisis data yg digunakan adalah interactive model dari dari konsep Milles & Huberman (2007: 16-20). Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa pertama, gambaran drives yang melatarbelakangi pilihan sebagai gay
pada kedua informan yang pertama dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis, yakni tidak mendapatkan kepuasan seksual dari alwan jenis; kedua, kebutuhan rasa aman, dan tidak merasa sendiri saat merasakan penolakan dan respon negatif; ketiga, kebutuhan disayangi dan dicintai; keempat, kebtuhan harga diri. dengan masuk komunitas gay mereka bisa menunjukkan eksistensi bahwa mereka status mereka memang ada sehingga mereka lbh percaya diri, diri , ingin dihormati serta dihargai diha rgai oleh masyarakat; kelima, kebutuhan kebu tuhan aktualisasi aktu alisasi diri. Kedua informan membuka identitas sebagai gay untuk menunjukkan jati diri dan menunjukkan siapa dirinya. Gambaran incentives yang melatarbelakangi pilihan sebagai gay pada kedua informan; pertama, pe rtama, dapat dilihat dari faktor fakto r keluarga; kedua, faktor fakt or lingkungan; ketiga, peran utama aktivitas seksual.
IDENTITAS JURNAL 4
Judull Judu
Penulis Instansi
: PEMBENTUKAN IDENTITAS ORIENTASI SEKSUAL PADA REMAJA GAY ; (Prediksi: Kajian Ilmiah Psikologi - No. 2, Vol . 1 , Juli - Desember 2012, hal. 194 – 197) 197) : Ratri Endah Mastuti; Rachmad Djati Winarno, Lita Widyo Hastuti : Magister Sains Psikologi, Univ.Katolik Soegijapranata Semarang
REVIEW JURNAL 4
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Di dalam kehidupan terdapat sekelompok orang yang memiliki orientasi seksual berbeda. Orientasi seksual menjadi tiga bagian (Supratiknya, 1995), yaitu: (1)Heteroseksual, yaitu ketertarikan secara seksual pada jenis kelamin yang berbeda, perempuan tertarik pada laki-laki, dan lakilaki tertarik pada perempuan; (2) Biseksual, ketertarik secara seksual pada perempuan dan laki-laki sekaligus. (3) Homoseksual, yaitu k ketertarikan etertarikan secara seksu seksual al pada jenis kelamin yang sama, perempuan tertarik tertari k pada perempuan yang disebu disebutt sebagai lesbian, dan laki-laki yang tertarik pada laki-laki disebut sebagai gay. Kaum gay tetap memperjuangkan eksistensi diri serta melawan diskriminasi sosial sosi al yang ada. Penolakan yang selama ini dialami membuat para kaum gay ingin menunjukkan kepada banyak orang tentang siapa diri mereka sebenarnya. Penolakan tersebut membuat kaum homoseksual semakin tidak nyaman terhadap keadaan dirinya dan mulai menyalahkan keadaan diri mereka sendiri. Pada tahun 1979, Cass mempublikasikan enam tahap pembentukan identitas homoseksual yaitu Identity Confusion (Kebingungan), Identity Comparison (Membandingkan), Identity Tolerance (Yakin), Identity Acceptance (Membuka jati diri), Identity Pride (Bangga), Identity Synthesis (Merasa Nyaman). Tidak semua gay dan lesbian mencapai tahap keenam, tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya. Pembentukan identitas tidak selalu terjadi secara teratur, dan biasanya juga tidak terjadi secara tiba-tiba. Penelitian ini muncul karena peneliti ingin in gin mengetahui mengetah ui pembentukan identitas orientasi pada remaja gay yang berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Ada 3 subjek penelitian, yakni subjek 1 (Siswa SMA), subjek 2 (20th), dan subjek 3 (18th). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Jumlah subjek penelitian adalah tiga orang. Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif. Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan triangulasi metode yaitu: 1) pengecekan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data atau informasi yang diperoleh melalui metode wawancara kemudian data tersebut di cek melalui observasi atau dokumentasi, 2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode meto de yang sama (Moleong, 2000). Subjek 1, 2, dan 3 pada tahap pertama yaitu tahap kebingungan, semua subjek menghindari aktivitas yang berhubungan dengan dunia gay. Ketiga subjek tersebut menghindari berkumpul atau bermain dengan teman-teman sesama jenis karena subjek tidak ingin munculnya perasaan suka dengan sesama jenis. Pada umumnya kaum gay tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian, sehingga keadaan tersebut bukan kehendak dari diri sendiri (Sarwono, 1994). Tahap kedua yaitu tahap perbandingan, perbandin gan, subjek 1 dan subjek 3 melakukan usaha untuk membandingkan ajaran orang tua dan temantemannya mengenai heteroseksual. Subjek 2
tidak membandingkan dirinya sebagai gay dengan orang tuanya maupun dengan temantemannya.Ajaran yang muncul dalam masyarakat adalah ajaran mengenai heteroseksual yang dinilai masih berada pada lingkup aturan dan norma masyarakat dan menjadi seorang gay akan dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Subjek 1 melakukan toleransi dengan berusaha jujur terhadap diri sendiri dan subjek 2 melakukan toleransi dengan mencoba menerima keadaan bahwa dirinya seorang gay. Subjek 3 tidak menoleransi dirinya karena subjek 3 sudah merasa nyaman dan dapat menerima keadaan sebagai seorang gay. Seiring dengan toleransi dan keterbukaan yang semakin tinggi untuk mengeksplor identitas seksual remaja gay, maka remaja akan mulai mencari lingkungan di mana mereka dapat belajar dari kaum gay lainnya tentang bagaimana artinya menjadi seorang gay (Cass, 1979). Pada tahap keempat yaitu tahap penerimaan, subjek 1, 2, dan 3 mencari komunitas gay melalui beberapa cara seperti mencari komunitas lewat media sosial dan pesan singkat dari telepon genggam. cari komunitas melalui jejaring sosial. Bagi subjek 1, subjek 2, dan subjek 3 menemukan komunitas gay sangatlah bermanfaat, karena subjek mendapatkan informasi tentang dunia gay lebih luas dan teman yang sama. Komunitas gay dapat memberikan dukungan sosial untuk mengembalikan kepercayaan diri dan harga diri kaum gay. Dukungan sosial yang bersumber dari teman sebaya dapat memberikan informasi informas i terkait dengan hal apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya, selain itu dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam dalam kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan bagi remaja untuk menguji coba berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis guna membentuk identitas diri yang optimal. Subjek 1, 2, dan 3 sudah tidak lagi memperdulikan stigma dan diskriminasi yang muncul di masyarakat menyangkut orientasi seksual yang mereka pilih. Pada tahap kelima yaitu tahap kebanggaan identitas, hanya dilalui oleh subjek 1 dan subjek 3 karena subjek 2 masih berada pada tahap penerimaan. Tahap akhir yaitu tahap sintesis, hanya dialami oleh subjek 1 dimana subjek 1 sudah mampu sepenuhnya menerima orientasinya sebagai seorang gay dan sudah mampu menjalani hidup seperti biasa. Menurut Cass (1979) saat seseorang telah memasuki tahap sintesis maka seseorang tersebut telah memiliki kesadaran bahwa pandangan sebagai gay yang bernilai negatif sudah tidak berlaku lagi, kesadaran bahwa ada beberapa heteroseksual ada yang dapat menerima keberadaan kaum gay.
IDENTITAS JURNAL 5
Judul
Penulis Instansi
: SIKAP AKAN RESPON TERHADAP IDENTITAS SOSIAL NEGATIF DAN PENGUNGKAPAN ORIENTASI SEKS PADA GAY ; (Jurnal Psikologi Volume 1, No. 1, Desember 2007) : Wahyu Rahardjo : Fak. Psikologi Universitas Gunadarma; Email:
[email protected] [email protected]
REVIEW JURNAL 5
Fokus dalam penelitian ini adalah pria yang tertarik secara seksual dengan sesama pria atau yang lazim disebut sebagai gay. Di dalam prosesnya, tidak bisa dipungkiri bahwa pada awal pencarian jati diri d iri sebagai seorang seor ang individu gay, banyak konflik batin yang terjadi pada diri individu yang bersangkutan. King (dalam Papalia, Olds, and Feldman, 2004) menyebutkan empat tahapan coming out yang harus dilalui oleh individu, yaitu (1) recognition of being homosexual atau tahapan yang terjadi pada masa anak-anak atau saat remaja di mana pengalaman yang mungkin dirasakan adalah perasaan bingung, merasa sendiri dan sepi, serta merasa tidak nyaman; (2) getting to know other homosexual atau tahapan di mana individu kemudian akan berusaha mencari tahu siapa lagi orang lain yang menjadi seorang homoseksual selain dirinya dan berusaha membangun relasi yang romantis dan bersifat seksual; (3) telling family and friends atau tahapan di mana individu memberi tahu keluarga dekat dan sahabat-sahabatnya mengenai identitas seksualnya untuk mendapatkan dukungan sosial; dan (4) complete openness atau tahapan di mana individu berusaha untuk memberitahu rekan kerja, teman kuliah dan sebagainya, di mana pencapaian tahap ini akan membuat individu memperoleh perasaan diterima secara sehat atas apa pun orientasi dan identitas seksual mereka. Tajfel dan Turner (dalam Brewer, 2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga respon berbeda yang diperlihatkan individu dengan identitas sosial negatif yang disematkan pada mereka. Ketiga respon tersebut adalah (1) individual mobility, (2) social creativity, dan (3) social competition. Subjek penelitian ini adalah pria gay dan biseksual sejumlah 31 orang. Usia partisipan terentang antara 16 sampai 29 tahun dengan rerata usia 22.03 tahun (SD = 3.59). 30 orang masih lajang dan hanya 1 orang yang sudah menikah. 12 bersuku bangsa Sunda, 9 orang suku Jawa,3 orang suku Padang, 3 orang suku Manado, 2 orang suku Batak, 1 orang suku Melayu, 1 orang suku Betawi. Mayoritas partisipan adalah 23 orang mahasiswa, 22 orang karyawan,1 orang pelajar, 21 orang S1, 8 orang D3, 1 orang D4 dan 1 orang SMA. Untuk status dalam keluarga, 19 orang yang memiliki saudara pria dan wanita, 5 orang hanya memiliki saudara pria, 5 orang anak pria satu-satunya dan 2 orang anak tunggal. 10 orang anak sulung, 10 orang bungsu, 9 orang anak tengah Variabel diukur dengan menggunakan Skala Coming Out yang dibuat penulis berdasarkan tahapan coming out, yaitu recognition of being homosexual, getting gettin g to know other homosexual, telling family and friends, dan complete openness. Variabel ini diukur dengan menggunakan Skala Sikap akan Respon terhadap Identitas Sosial Negatif yang dibuat penulis berdasarkan bentukbentuk respon, yaitu individual mobility, social creativity, dan social competition, yang disusun berdasarkan tiga aspek dari sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Hasil studi menjelaskan bahwa rerata usia di mana individu pertama kali menyadari memiliki orientasi seks yang berbeda pada 14.32 tahun atau diasumsikan ketika individu berada di kelas 2 SMP. Meskipun demikian, sebagian partisipan tetap mengaku memiliki orientasi seks sebagai seorang biseksual selain orientasi seks sebagai homoseksual sebagai kelompok
mayoritas. Mayoritas partisipan juga mengaku memiliki gaya seks maskulin dan hanya sedikit yang mengaku ber gaya feminin. Fakta ini juga semakin menguatkan informasi yang mengatakan bahwa diketahui atau tidaknya seseorang itu gay bisa dilihat dari penampilan diri dan gayanya, dan gay pasti bersifat sissy atau feminin hanya mitos belaka (Dacey and Kenny, 1997; Handoyo, 1987). Hasil studi berikutnya beriku tnya juga mendukung temuan di atas, yaitu ternyata sebagian besar partisipan pernah memiliki kekasih wanita, dan juga pernah terlibat dalam kontak seksual dengan wanita. Dengan demikian terungkap bahwa mayoritas partisipan dalam studi ini tergolong dalam secondary homosexual atau gay yang pernah terlibat kontak seksual dengan lawan jenisnya. Hasil studi mengungkapkan bahwa mayoritas partisipan cenderung tidak menutupi identitas seksualnya terlalu rapat atau membukanya dengan sangat vulgar. Keterangan di atas kian dipertegas dengan memperhatikan detail tahapan coming out yang diperlihatkan partisipan. Tahapan coming out, terutama pada tahap pertama, kedua, dan keempat menunjukkan menunjukk an kecenderungan partis partisipan ipan tidak terlalu menutup maupun membuka diri. Coming out tahap ke tiga (telling family and friends) justru memperlihatkan kecenderungan ketertutupan. Rerata usia coming out pertama kali yang merujuk pada angka 17.10 tahun memberikan gambaran bahwa partisipan membuka identitas seksual mereka sebaya gay pertama kali ketika mereka berada di kelas 2 SMA. Hal ini mengedepankan fakta lain bahwa partisipan melakukan coming out pertama kali kurang lebih dua setengah tahun setelah mereka pertama kali merasakan bahwa mereka memiliki orientasi seks yang berbeda dengan orang kebayakan, yaitu orientasi seks sejenis. Sikap akan respon terhadap identitas sosial negatif ini memiliki korelasi positif dengan coming out. Artinya, semakin reaktif dan positif sikap partisipan terhadap reaksi ketidaksukaan atas stigma negatif yang melekat pada kaum gay maka akan semakin tinggi kecenderungan mereka untuk membuka diri kepada publik akan identitas seksual yang mereka miliki, kecuali coming out tahap yang ke tiga (telling family and friends). Semakin dini individu melakukan coming out maka akan semakin besar kecenderungan individu membuka identitas seksualnya kepada publik di setiap tahapannya. Kontribusi sikap akan respon terhadap identitas sosial negatif terhadap coming out adalah sebesar 18.2%. Artinya, sisanya adalah variabel-variabel lain dan residu penelitian yang tidak terukur.
IDENTITAS JURNAL 6
Ju Judul dul
Penulis Instansi
: ENAM KONTINUM DALAM KONSELING TRANSGENDER SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI UNTUK KONSELI LGBT; LGBT; (Jurnal (Jurn al Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 1 Nom. 1 Juni 2015) : Khilman Rofi Azmi : Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Malang; Email:
[email protected]
REVIEW JURNAL 6
Berdasarkan berbagai hasil penelitian tentang adanya transgender, gay dan lesbian terutama di seting sekolah, maka konselor dan profesi helper lainnya seperti psikolog dan bahkan psikiater sebagai salah satu komponen pendidikan dirasa perlu untuk mengatasi dan mengantisipasi segala bentuk potensi permasalahan yang muncul akibat fenomena tersebut. Menurut kajian Counseling and Mental Health Care of Transgender Adult and Loved One (2006) fenomena transgender muncul tidak hanya karena pengaruh lingkungan. Namun dalam sudut pandang ilmu kesehatan mental, transgender bisa muncul dipengaruhi oleh budaya, fisik, seks, seks , psikososial, agama dan aspek as pek kesehatan. Konteks yang lebih leb ih mendalam terkait dengan permasalahan yang muncul dari seorang konseli/klien yang mendefinisikan dirinya sebagai seorang lesbian, gay bisexsual dan transgender adalah adalah munculnya masalahmasalah seperti (1) gambaran diri; (2) gagal dan kerugian; (3) isolasi sosial; dan (4) fokus spiritual dan agama. Seluruh masalah tersebut menjadi “tantangan” bagi konselor dan profesi helper lainnya lainnya seperti psikolog dan psikiaterketika berhadapan dengan konseli/klien lesbian, gay, bisexsual dan transgender. Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian berbasis studi literatur/studi pustaka yang dilakukan dengan mengkaji dan menggali berbagai teori dan praksis melalui literatur mulai dari buku, jurnal ilmiah, disertasi, e-book , internet dan berbagai data d ata serta fakta yang ada dalam masyarakat, khususnya di sekolah. Gagasan yang yan g ditawarkan dalam karya ilmiah ini adalah Six continuum of Transgender Counseling (Enam (Enam Kontinum dari Transgender Counseling). Setiap kontinum merupakan sebuah tahapan yang harus dilalui konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater. Se Self lf (indikator: name, date, and specific identity; sex; pas experience) merupakan tahapan kontinum pertama yang menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan kontinum yang selanjutnya. contoh konkritnya adalah nama, alamat, nama orang tua, lingkungan keluarga dan pengaruhnya terhadap konseli dan aspek lain-lainnya yang berkaitan dengan diri. Relationship (indikator: friends; close friends; click; amount of friends) merupakan kontinum kedua yang harus dialalui konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater ketika mengahadapi konseli dengan latar belakang lesbian, gay bisexsual dan transgender . Hubungan sosial ini mempunyai beberapa aspek diantaranya: (1) Berkaitan dengan kisaaran jumlah teman laki-laki dan perempuan, (2) Berkaitan dengan bagaimana hubungan konseli dengan teman-teman dekatnya, (3) Berkaitan dengan karakterisitik temanteman dan lingkungan yang menjadi tempat untu berhubungan secara sosial. D i ffe ff er enti nti al o off fee fe eling (indikator: gender; how your feeling about your friends?; sex orientation). Maka langkah kontinum selanjutnya adalah pengidentifikasian konseli terhadap perbedaan perasaan kepada temanteman dan lingkungan sekitarnya. Aspek afektif berkaitan dengan beberapa hal seperti berikut: (1) Gender dan problematika yang menyertainya, (2)
Bagaimana perasaan konseli terhadap teman-teman dekatnya, baik dengan lawan jenis, maupun dengan teman sejenis, (3) Eksplorasi masalah yang berkaitan dengan perasaan yang menyertai konseli, (4) Pemberian sebuah label terhadap konseli dengan berbagai pertimbangan yang mengacu pada perasaan. I denti nti fy (indikator: confenssion of as...) mengacu pada identitas baru yang melekat pada diri konseli/klien. Pada tahapan kontinum ini, konseli diajak untuk mengkonstruk kembali pikiran, perasaan dan tindakan setelah melampaui beberapa kontinum selanjutnya. Identfikasi diri ini akan menghasilkan sebuah “deklarasi pribadi” bahwa konseli telah mengaku sebagai orang yang normal atau menjadi seorang lesbian, gay, bisexsual dan transgender . Sp Spir ir itu itua al I nte nterve rvent ntii o (indikator: universal value; past experience; preposition thorem/postulate). Kontinum selanjutnya adalah spiritual intervention yang mengacu pada intervensi konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater terhadap konseli kon seli yang telah mendeklarasikan dirin dirinya ya sebagai lesbian, gay bisexsual dan transgender. Menurut hemat penulis, hampir setiap agama melarang perbuatan yang mengacu pada lesbian, gay bisexsual dan transgender . Kecuali pada transgender yang mungkin dikarenakan adanya perubahan kelamin secara tidak sengaja dan bersifat alamiah yang memungkinkan konseli untuk berubah atau berganti kelamin. A Accceptane of env nvii ron ronm ment nta al (indikator: problem identity; manage problem; solution to change; follow up). Kontinum yang terakhir menjadi puncak dari semua kontinum yang telah dilalui oleh konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater. untuk penerimaan diri terhadap lingkungan mengacu pada masalah-masalah yang mungkin dihadapi konseli/klien dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan.
IDENTITAS JURNAL 7
Judul Penulis Instansi
: Pengaruh PsikoedukasiLGBT ( Lesbian, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender ) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Tentang LGBT : Yulita Kurniawaty Asra, Vivik Shofiah : Fak. Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau; Email:
[email protected]; Email:
[email protected];
[email protected] [email protected] .id
REVIEW JURNAL 7
Suatu fenomena yang pada saat ini menjadi sebuah isu dimasyarakat yaitu mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Keberadaan kaum LGBT dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang berkembang di Indonesia. Definisi operasional variabelpengetahuan remaja tentang LGBT adalah pengetahuan remaja yang meliputi : (a) Pengertian LGBT; (b). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan; (c). Gender dan peran sosial; (d) Cara berekspresi, beraspirasi, dan berelasi dengan lawan jenis. Sedangkan psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai LGBT. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berumur 13-18 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 18 orang yang penentuannya diambil dengan purposive sampling berdasarkan kriteria tertentu yang dipertimbangkan oleh peneliti. Alat pengumpulan data dalam dal am penelitian ini adalahTes adalahT es Pengetahuan LGBT disusun oleh p peneliti eneliti sendiri dimana pernyataan yang yang diberikan adalah pernyataan singkat yang terdiri dari 2 pilihan jawaban yakni Benar atau Salah. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney terhad terhadap ap data penelitian pengetahuan pengeta huan LGBT pada saat pretest menunjukkan tidak t idak adanya perbedaan pe rbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol (p=0,931). Sedangkan hasil uji Mann Whitney terhadap data penelitian pada saat posttestyang berarti data penelitian setelah dilakukannya dilak ukannya intervensi in tervensi yakni psikoedukasi psikoed ukasi LGBT menunjukkan menun jukkan adanya adan ya perbedaan yang signifikan signi fikan antara kelompok kontrol k ontrol dan kelompok eksperimen eks perimen (p= 0.024). Hasil dari uji Wilcoxon t-tes antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada saat pretest juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p=0,635). Data penelitian pada saat posttest untuk kelompok kelo mpok eksperimen eksp erimen menunjukkan menunjuk kan skor s kor rata-rata rata -rata yang yan g lebih tinggi (mean=24,67) dibandingkan dengan rata-rata kelompok kontrol (mean=19,22). Hal ini memperkuat hasil uji wilcoxon test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat posttest yang menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,012). Hasil penelitian menyatakan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam pengetahuan tentang LGBT (p=0,024). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian psikoedukasi LGBT terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang LGBT pada remaja. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan maka efektifitas dapat dilihat dari kriteria seperti yang diungkapkan oleh Kirkpatrick (Rigio, 2003). 1) Kriteria reaksi Kriteria reaksi merupakan ukuran reaksi dari subjek.Termasuk di dalamnya asesmennilai program, banyaknya materi yang diterima, dan partisipasi subjek. Kriteria reaksi biasanya dinilai melalui evaluasi yangdiberikan setelah mengikuti program. 2) Kriteria belajar Kriteria belajar merupakan ukuran banyaknya materi yang telah diberikan. Biasanya kriteria belajar berbentuk tes singkat untuk menilai banyaknya materi yang dipahami
subjek. Agar pelatihan dapat berjalan efektif dan metode dapat diterapkan dengan maksimal maka peserta di bagi dalam kelompok kecil. Menurut Prawitasari (1994) pelatihan yang dilakukan dilaku kan dengan melibatkan kelompok k elompok memiliki kelebihan kelebih an yakni: (a) Memberi kesempatan pada anggota untuk saling memberi dan menerima umpan balik. (b) Belajar untuk berlatih perilaku yang baru. (c) Memberikan kesempatan untuk menggali tiap masalah yang dialami anggota, belajar mengekspresikan perasaan, menunjukkan perhatian kepada oranglain dan berbagi pengalaman. (d) Memberi kesempatan untuk belajar keterampian sosial. (e) Menimbulkan harga diri dan keyakinan diri. 3) Kriteria perilaku Kriteria perilaku merupakan ukuran banyaknya keterampilan baru yang dipelajari pada masing-masing subjek. Metode observasi biasanya digunakan dalampengukuran kriteria perilaku ini, dengan pengamatan penggunaan keterampilanbaru yang telah diajarkan tersebut. 4) Kriteria hasil Kriteria hasil merupakan hasil yang diperoleh oleh subjek. Setelah mereka mendapatkan pelatihan tentang cara yang tepat dalam menyikapi lingkungan yang rentan dalam pergaulan LGBT.
IDENTITAS JURNAL 8
Judul
Penulis Instansi
: PENGALAMAN MENJADI GAY (Studi (Studi Fenomenologi pada Pria Homoseksual Menuju Coming Out); (Jurnal Empati, Agustus 2017 Volume 7 (Nomor 3), Halaman 116 – 126) 126) : Gallo Ajeng Yusinta Dewi dan Endang Sri Indrawati : Fak. Psikologi Universitas Diponegoro; Email:
[email protected];
[email protected]
REVIEW JURNAL 8
Dewasa ini, gay menjadi hal yang wajar menurut sudut pandangan masyarakat Barat yang dibuktikan dengan disahkannya pernikahan sesama jenis pada tanggal 26 Juni 2015 oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Penolakan masyarakat ini membuat kaum gay melakukan perkumpulan secara tidak terang-terangan dan kesulitan membuka diri. Proses “membuka diri” ternyata terkait dengan kemampuan penyesuaian psikologis dalam dirinya. Semakin yakin akan identitas mereka sebagai gay maka semakin baik kesehatan mentalnya serta semakin tinggi rasa percaya diri atau penerimaan diri mereka dan mampu melakukan penyesuaian diri yang baik dalam kehidupannya. Penelitian yang khusus menggali mengenai homoseksualitas cukup sulit dikarenakan norma agama yang berkembang dan mengakibatkan masyarakat untuk enggan membahas homoseksual karena dosa (Anderson, 2003). Penelitian dengan pendekatan fenomenologis ini bertujuan untuk memahami dan mengeksplorasi pengalaman pria homoseksual menuju coming out. Penelitian ini berusaha memahami pengalaman pencetus subjek menjadi gay, relasi subjek dengan lingkungan sosialnya, dampak yang mungkin muncul dari kondisi orientasi seksualnya dalam lingkungan sosial, serta cara subjek menghadapi kondisi orientasi seksualnya. Studi fenomenologis dalam penelitian ini secara khusus menacu pada pendekatan Interpretative Phenomenolgical Analysis (IPA). IPA merupakan suatu metode pendekatan fenomenologis yang sistematis untuk memahami makna dari pengalaman individu dalam sebuah konteks secara lebih mendalam. Fokus penelitian ini adalah mengetahui pengalaman gay menuju coming out. Pemilihan subjek penelitian ini adalah metode sampel bola salju (snowball). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya beberapa unit pengalaman sebagai berikut: menj adi gay. Mulanya ketiga subjek mengidentifikasi diri mereka 1) Faktor pendukung menjadi menyukai sesama jenis. Ketiga subjek mulai mengidentifikasi sejak remaja. Ketiga subjek tidak memiliki kedekatan dengan ayah, ayah subjek B dan S sudah meninggal sejak kedua subjek usia kanak-kanak, sedangkan subjek O tidak memilik kelekatan dengan ayah dan cenderung membenci ayah. 2) Pengalaman coming out . Pengalaman berikutnya setelah ketiga subjek mengidentifikasi diri sebagai homoseksual dan mengetahui potensi faktor penyebab menjadi homoseksual, ketiga subjek mengalami proses pembentukan identitas hingga akhirnya memutuskan untuk coming out atau mendeklarasikan dirinya sebagai homoseksual homoseks ual pada keluarga dan lingkungan sekitar. Pengalaman ketiga subjek untuk menetapkan identitas sebagai dipengaruhi oleh faktor keluarga, tidak dapat mencintai perempuan, dan sudah cukup puas menerima kondisi diri sebagai homoseksual. homoseksual 3) Persepsi terhadap reaksi lingkungan. Ketiga subjek memiliki persepsi diterima dan ditolak oleh masyarakat. Reaksi lingkungan yang dialami oleh ketiga subjek menimbulkan tekanan tersendiri bagi subjek. Stressor lingkungan yang dapat ditemui
pada ketiga subjek adalah bullying. Selain menyadari adanya bullying, ketiga subjek pun menyadari bahwa keluarga kelua rga pun ikut merasakan tek tekanan anan dari lingkungan. lingkungan . 4) Coping stress. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh ketiga subjek adalah rasionalisasi, denial, proyeksi, proyeks i, dan represi. Coping stress yang lain dilakukan oleh ketiga subjek adalah penyangkalan. Menurut Taylor (2009) beberapa individu akan mengatasi stres dengan cara menghindar atau melawan stress secara aktif seperti yang dilakukan ketiga subjek yang melakukan approach coping. Coping ini adalah usaha yang dilakukan ketiga subjek dalam menghadapi stres dengan cara melawan stressor atau memberikan perilaku aktif untuk mengurangi tekanan stressor. Ketiga subjek pun sepemahaman untuk tidak membuka diri bagi individu yang jelas menolak homoseksualitas untuk mencegah terjadinya konflik.
IDENTITAS JURNAL 9
Judul Penulis Instansi
: KONSEP DIRI GAY YANG YANG COMING OUT; (Jurnal Psikologi Udayana 2017, Vol.4, No.2, 277- 289) : Kadek Yoga Asmara, Tience Debora Valentina : Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana; Email:
[email protected]
REVIEW JURNAL 9
Konsep diri merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan individu, sehingga enelitian terkait konsep diri pada individu gay yang coming out dirasa penting untuk dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan menggali bagaimana konsep diri gay yang coming out. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yang memenuhi kriteria sebagai laki-laki yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay, berusia diatas 15 tahun dan telah melakukan coming out. Kriteria coming out yang digunakan didasarkan pada definisi Zastrow (2010) yaitu telah mengakui kepada diri sendiri dan orang lain bahwa dirinya adalah seorang gay, sementara pembatasan rentang usia responden yang digunakan berdasarkan pertimbangan teori yang dikemukakan dike mukakan oleh Papalia (2008), yang menyatakan men yatakan bahwa individu gay baru mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay setelah berusia 15 tahun atau lebih. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di daerah Denpasar. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi. Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahapan analis data yang dikemukakan oleh Moustakas (dalam Creswell, 1998), diawali dengan menyusun deskripsi lengkap pengalaman responden, lalu memilih, menyusun dan mendata pernyataan pernyataan responden yang signifikan dengan fenomena fen omena yang menjadi topik pen penelitian elitian agar tidak berulang dan saling tumpang tindih. Uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif maupun dengan member check (Sugiyono, 2014). Penelitian ini menggunakan semacam kontrak sosial berupa informed consent untuk menjaga etika penelitian, yang di dalamnya tercantum deskripsi dan prosedur penelitian, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi selama proses penelitian serta hak-hak responden selama penelitian. Faktorfaktor yang memengaruhi seseorang menjadi ga gay y . Responden D mulai merasa tertarik dengan laki-laki karena senang dengan perhatian berlebih dari sesama jenis kelamin yang didapat dari paman responden. Paman responden memberi perhatian kepada responden dengan memperlakukan dirinya seperti seorang perempuan, seperti mencium dan memberikan bunga kepada responden. Serupa dengan pengalaman responden G, responden mulai tertarik dengan laki-laki karena merasa nyaman dengan perhatian berlebih yang didapat dari teman laki-laki responden saat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Pada saat itu responden G diperlakukan layaknya seorang perempuan, seperti berpegangan tangan atau dipeluk oleh teman lakilakinya. Hal tersebut membuat kedua responden nyaman sehingga selalu berusaha untuk mencari perhatian dari sosok laki-laki, yang pada akhirnya membuat responden semakin mengembangkan perilaku homoseksual. Berbeda halnya
dengan responden A. Perasaan tertarik dengan laki-laki pada responden A muncul setelah dirinya mengalami pengalaman seksual dengan seorang laki-laki ketika masih Sekolah Dasar. Responden tidak berani menolak karena takut dengan ancaman yang diberikan oleh laki-laki tersebut. Hal tersebut dialami responden selama kurang lebih satu tahun, dan semakin lama responden merasa semakin tenang, senang, terbiasa bahkan ketagihan dan merasa ada yang kurang jika laki-laki tersebut tidak melakukan pelecehan seksual kembali kepada responden. Proses coming out . Proses coming out responden responden D. Responden D mulai menyadari dan mengakui bahwa dirinya adalah seorang gay ketika menginjak kelas dua dan tiga sekolah menengah pertama. Setelah mengetahui orientasi seksual responden, keluarga responden menolak keadaan responden sebagai seorang gay seperti memarahi responden serta tidak memberikan perhatian kepada responden. respond en. Teman kerja responden juga menolak keadaan responden, seperti sering menasehati responden untuk menjadi seorang heteroseksual. Proses coming out responden A .Responden A mulai menyadari dirinya sebagai seorang gay ketika menginjak kelas satu sekolah menengah pertama. Setelah mengetahui orientasi seksual responden, teman responden yang berinisial ID menolak keadaan responden, memarahi responden dan sampai saat ini menjauhi responden. Berbeda dengan tiga teman responden lainnya, meskipun sempat terkejut dengan pengakuan responden, ketiga teman responden masih bersikap baik dan mampu menerima keadaan responden meskipun dirinya adalah seorang gay. Proses coming out responden G. Responden G mulai menyadari bahwa dirinya adalah seorang gay ketika memasuki kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Setelah mendengar pengakuan responden respond en G, kedua sahabat dan seorang sepupunya terkejut karena tidak percaya bahwa responden adalah seorang gay. Meskipun begitu, semakin lama kedua sahabat dan sepupu responden kembali bersikap baik kepada responden dan mampu menerima keadaan responden meskipun dirinya adalah seorang gay. Konsep diri. Pembentukan konsep diri responden D . Responden D merasa bahwa dirinya saat ini belum sesuai dengan apa yang responden harapkan, karena sampai saat ini responden tidak diterima oleh keluarga dan teman sebagai seorang gay. Responden D memandang bahwa dirinya tidak mampu dan juga pernah merasa pasrah dalam mewujudkan harapannya. Kenyataan tersebut membuat responden D merasa dirinya tidak nyaman, tidak tenang, tersiksa menjalani hidup, merasa hidupnya tidak berguna, tidak mampu menerima dirinya dan pada akhirnya menyesali kehidupannya sebagai seorang gay serta ingin dilahirkan kembali menjadi seorang heteroseksual. Pembentukan konsep diri responden A. Responden merasa susah untuk mewujudkan harapannya agar bisa terbuka ke semua orang terutama keluarga atau orang lain yang responden kenal karena takut dijauhi dan takut dimarahi ketika mengetahui bahwa responden adalah seorang gay. Kenyataan tersebut tidak terlalu dipikirkan oleh responden A, karena saat ini responden sudah merasa senang dan bahagia dengan dirinya dirin ya meskipun baru terbuka dan diterima sebagai seorang gay oleh beberapa teman responden saja. Secara keseluruhan, responden A menilai dirinya secara positif dan dapat menerima dirinya sebagai seorang gay setelah melihat respon teman responden yang masih baik dan tidak menjauhi dirinya setelah responden A coming out. Pembentukan konsep diri responden G. Setelah coming out, responden G merasa bahwa dirinya sudah mendapatkan sahabat dan sepupu yang baik, perhatian dan menerima responden apa adanya, sehingga responden G tidak tertekan dan tidak merasa terbebani menjadi seorang gay. Harapan responden G yang belum terpenuhi adalah terbuka kepada semua orang. Meskipun begitu, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi responden respo nden G, karena menurut responden harapan yang menjadi prioritasnya sudah terpenuhi dan sikap sepupu serta sahabat-sahabat responden yang masih baik dan menghargai responden meskipun
dirinya adalah seorang gay. Hal tersebut membuat responden G merasa puas dan senang dengan dirinya serta tidak menilai dirinya secara negatif meskipun responden adalah seorang seoran g gay. Maka pembahasan dan kesimpulannya yaitu: faktor-faktor yang memengaruhi seseorang menjadi ga gayy. Sama halnya dengan responden dalam penelitian ini yang pernah mengalami pengalaman seksual sesama jenis ketika Sekolah Dasar. Responden yang awalnya merasa takut, semakin lama semakin merasa nyaman dan senang dengan hal tersebut, hingga pada akhirnya responden merasa ada yang kurang apabila dirinya tidak mengalami hal tersebut. Kenyamanan dan perasaan senang yang diperoleh responden ketika mengalami pengalaman seksual tersebut membuat responden mulai menyukai sosok lakilaki. Proses Coming Out . Penelitian ini menemukan bahwa, meskipun responden mengalami pengalaman yang berbeda dalam menjalani proses coming out, ketiganya menunjukkan pola yang serupa dengan pendapat Zastrow (2010) terkait dengan tahapantahapan dalam proses coming out sebagai berikut: (1) Coming out to oneself; (2) Meeting and getting to know other lesbian and gay people; (3) Telling friends and relatives. Dalam penelitian ini, ini , umpan balik lingkungan sosial sosi al yang dialami dial ami responden dapat dibagi menjadi dua, yaitu umpan balik yang bersifat positif dan negatif; (4) Publicly acknowledging that one is lesbian or gay. Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses coming out. Pada tahap ini, individu gay sudah mampu terbuka kepada semua orang terkait orientasi seksualnya (Zastrow, 2010). Ketiga responden dalam penelitian ini belum mencapai tahap ini karena baru coming out ke orang-orang terdekatnya saja, dan belum mampu coming out ke semua orang. Konsep Diri. Konsep diri responden dalam penelitian ini dibahas berdasarkan dimensi konsep diri yang dinyatakan oleh Calhoun & Acocella (1990), mencangkup pengetahuan, harapan dan penilaian responden terhadap dirinya, seperti: (1) Dimensi pengetahuan; (2) Pandangan terhadap peran; (3) Pandangan terhadap sifat dan kepribadian; (4) Pandangan terhadap kemampuan dan karakteristik lainnya; (5) Dimensi harapan; (6) Dimensi penilaian.
IDENTITAS JURNAL 10
Judul Penulis Instansi
: IDENTITAS DIRI DAN ORIENTASI MASA DEPAN KAUM LESBIAN DI SAMARINDA; (PSIKOBORNEO, 2016, 4(4):784-792) : Devi Citra Yanti : FISIP-Psikologi, FISIP-Psikologi, Universitas Negeri Mulawarman; Mulawarman;
REVIEW JURNAL 10
Menurut Agustina (2005) menyatakan lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Lesbian adalah perempuan yang penuh kasih sayang. Ada dua tipe lesbian yang sering kali dibedakan Jones dan Hesnard (dalam Beauvoir, 2003), yaitu perempuan maskulin yang berhasrat meniru laki-laki, yang biasa disebut butch dan seorang feminim yang takut terhadap lakilaki, yang biasa disebut femme. lesbian, membuat kaum lesbian terhimpit rasa takut, ragu, bahkan malu untuk menunjukkan identitas seksual mereka yang sebenarnya. Inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan kebutuhan, pola dan gaya komunikasi kaum lesbian dengan manusia normal lainnya. Ketika jati diri mereka terungkap sebagai pelaku lesbian, maka masyarakat akan menjauhi mereka dan ini memandang rendah mereka (Nazsir, 2009). Kesenjangan pengetahuan tentang masalah menjadikan masyarakat hanya mampu berpikir dan memahami bahwa kenyataan tentang lesbian adalah fenomena yang aneh, sehingga menganggap bahwa fenomena tersebut sama saja dengan fenomena yang lain yang pernah mereka ketahui. Penolakan tersebut membuat kaum lesbian semakin tidak nyaman terhadap keadaan dirinya dan mulai menyalahkan keadaan diri mereka sendiri. Upaya mereka untuk menunjukkan siapa diri mereka menjadi terhambat karena mereka menjadi merasa rendah diri (Endah, Djati, dan Widyo, 2012). Pentingnya pencapaian identitas diri pada individu adalah untuk menetapkan langkah atau sebagai pijakan kuat bagi individu tersebut dalam menjalani periode masanya untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan berkarakter sesuai dengan apa yang diyakininya benar. Pada dasarnya identitas diri merupakan penjelasan tentang diri individu itu sendiri yang menyangkut konsep diri, pekerjaan, dan perannya di masyarakat yang menjadikan keunikan seseorang, keinginan untuk menjadi orang yang berarti dan mendapatkan pengakuan dari lingkungan masyarakat (Archer, dalam Santrock, 2007). Identitas diartikan sebagai cara hidup tertentu yang sudah dibentuk pada masa-masa sebelumnya dan menentukan peran sosial yang harus dijalankan (Rumini dan Sundari, 2004). Penyusunan orientasi masa depan sangat penting bagi seseorang, karena dengan adanya perencanaan dan orientasi masa depan yang jelas dan realistis diharapkan seseorang memfokuskan dirinya untuk memiliki tujuan serta harapan di masa depan yang terarah dan dapat direalisasikan. Orientasi masa depan memiliki manfaat lain, Locke dan Lathman (dalam Strathman, 2005) melaporkan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa perilaku yang diarahkan oleh tujuan (goal directed behavior) lebih efektif dibandingkan perilaku yang tidak diarahkan oleh tujuan. Identitas diri masing-masing subjek berbeda-beda. Pada subjek EA, gambaran identitas diri subjek EA dimana subjek juga menceritakan jika dirinya merasa kurang mendapatkan mendap atkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Faktor yang mempengaruhi identitas diri EA adalah pola asuh orang tua yang tidak peduli dan kurang memberikan kasih sayang serta perhatian kepada EA, model
identifikasi dimana EA juga mulai memiliki ketertarikkan setelah melihat kehidupan temantemannya yang lesbi. Jenis status identitas yang dicapai EA adalah identity moratorium. Pada subjek NJ, gambaran identitas diri subjek NJ yaitu kekerasan fisik yang sering dilakukan oleh sang ayah membuatnya membenci akan sosok laki-laki dan membuat NJ merasa sakit hati dan stres terlebih saat orang tuanya memutuskan untuk bercerai. NJ mencari pelempiasan akan masalah yang ia hadapi dengan menjadi seorang lesbian dan sangat merasa nyaman menjalin hubungan dengan wanita, karena menurutnya menjadi lesbian ia menemukan kebahagiaan, kasih sayang, dan perhatian yang tidak ia temukan dalam keluarga. Faktor yang mempengaruhi identitas diri subjek NJ adalah pola asuh orang tua yang membuat NJ merasa tidak diperhatikan, tidak disayang, dan tidak dipeduli. Oleh karena itu, NJ lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-teman komunitasnya dibandingkan dengan keluarga. Jenis status identitas yang dicapai NJ adalah identity achievement. Pada subjek FW, gambaran identitas diri subjek FW saat itu FW sedang mengandung anak dari kekasihnya namun setelah memberitahu sang kekasih dan meminta pertanggungjawaban FW malah diputuskan dan ditinggalkan oleh kekasihnya. Dalam masalah yang dihadapinya FW berkenalan dengan seorang butchy, dengan sering bertemu dan komunikasi yang intens membuat subjek merasa terhibur dan melupakan akan masalah yang dihadapinya. Perlakuan yang diberikan oleh butchy tersebut mampu membuat FW untuk bisa menjalin hubungan dengannya. Faktor yang mempengaruhi identitas diri FW yaitu pola asuh orang tua yang demokratis sehingga FW merasa tidak terkekang dan hubungan timbal balik dari yang diberikan butchy yang membuat dirinya menjadi terhibur dan bahagia. Pada subjek ND, gambaran identitas diri subjek ND yaitu watak yang keras dan tegas dari orang tuanya membuat subjek merasa hidup dalam banyak peraturan dan membuat subjek tidak memiliki kebebasan atas keinginan dirinya. Faktor yang mempengaruhi status identitas identita s diri ND meliputi pola asuh orang tua yang protektif dan keras sehingga subjek merasa terkekang dan tidak bebas dalam mengekspresikan dirinya. Jenis status identitas yang dicapai ND adalah identity diffusion. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada penelitian ini, bahwa keempat subjek merupakan mahasiwa yang menjalani hubungan dengan sesama jenis. Setiap subjek memiliki gambaran identitas diri dan orientasi masa depan yang berbeda-beda tiap subjek. Terlihat bahwa ada tiga subjek yang memiliki keinginan untuk mengakhiri statusnya sebagai lesbian dan memiliki gambaran orientasi masa depan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan. Sedangkan satu subjek tidak memiliki keinginan untuk mengakhiri statusnya sebagai lesbian dan akan tetap mempertahankan statusnya tersebut, serta gambaran orientasi masa depan subjek dalam bidang pernikahan yaitu subjek memikirkan akan menikah dengan pasangan sesama jenisnya.