Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak

October 18, 2017 | Author: karanzia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak...

Description

BAB I PENDAHULUAN Hubungan

antara

warga

negara

dan

pemerintahannya

harus

berdasarkan keseimbangan di mana satu pihak tidak dapat mengalahkan yang lain. Di bidang pajak, keseimbangan ini berarti bahwa pemerintah dapat menangani wajib pajak yang tidak mau atau WP nakal (berdosa) dan wajib pajak dapat menolak (menangkis) penentuan pemerintah atas kewajiban yang tidak tepat dan penyelidikan yang berlebihan dan tidak masuk akal. Sistem pengumpulan (collection system) dirancang untuk mencegah tindakan opresif oleh pejabat koleksi (collection officials). Hal ini dimulai dengan menentukan koleksi yang tidak harus, kecuali terbatas dalam kasus tertentu, sampai wajib pajak telah memiliki kesempatan untuk kontes manfaat kewajiban. Juga, tariff suku bunga penalti secara abnormal tidak boleh tinggi karena, jika demikian, kontes yang sah akan frustasi. Ketentuan dibuat untuk kompromi akun jika wajib pajak tidak bisa membayar. Juga, disarankan untuk memberi batasan waktu penagihan. Banyak negara berusaha untuk meningkatkan layanan yang diberikan kepada

wajib

pajak.

Sebagian

karena

sistem

perpajakan

modern

membutuhkan peningkatan kerja sama dari wajib pajak jika mereka ingin beroperasi secara efisien dan juga sebagai akibat dari perubahan sikap terhadap peran administrasi pajak vis-a-vis wajib pajak. Kerjasama ini akan terealisir jika timbul rasa saling percaya antara wajib pajak dan administrasi dan jika hak-hak wajib pajak dengan jelas disebutkan dan dilindungi. Pernyataan yang jelas atas hak wajib pajak dan perlindungan yang menyertainya akan memberi dampak positif dalam rangka meningkatkan tingkat kepatuhan kolektif wajib pajak dan menyediakan mekanisme untuk menurunkan kekuasaan administrasi pajak yang semakin kuat. Sampai saat ini, tidak ada pernyataan hak-hak kolektif wajib pajak internasional, dan rilis pernyataan

serupa

itu

pun

tidak

ada.

Memang,

laporan

OECD

menggambarkan bahwa negara-negara anggotanya memiliki perbedaan pandangan tentang hak-hak yang mau mereka tawarkan kepada wajib pajaknya. Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang Perpajakan di Indonesia yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan

Umum

dan

Tata

mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.

Cara Perpajakan mengakomodir

BAB II TINJAUAN TEORITIS Hak pembayar pajak, bagi individu paling tidak, harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dari hak manusia dimana ada prinsip-prinsip yang mapan dan sebuah pemahaman kolektif internasional atas hak asasi manusia. Secara khusus, terdapat pembatasan internasional dan Eropa pada HAM yang telah diadopsi dan diratifikasi secara luas, termasuk the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the International Covenant on Civil and Political Rights, the European Social Charter, the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms, the European Community Treaty, and various other U.N. agreements and treaties. Organisasi telah dibuat untuk memantau dan mendengar keluhan tentang perjanjian-perjanjian dan konvensi oleh warga dari negara anggota. Singkatnya, proses untuk menyatakan dan melindungi hak asasi manusia telah diikuti oleh sebagian besar Negara di dunia dengan standar yang diterima secara umum di negara maju. Selain itu, hampir semua negara maju telah mengatur hak-hak dasar dasar melalui konstitusi, yang memberikan tingkat perlindungan tertinggi dalam sebuah sistem hukum yang ditawarkan. Kesimpulan yang sama tidak dapat dicapai untuk hak wajib pajak (WP) – bagian dari hak asasi manusia berurusan dengan administrasi pajak dan pemerintah tentang hal yang berkaitan dengan pajak. Pembayar pajak, sebagaimana pengamatan OECD, pernyataan yang jelas atas hak wajb pajak dan perlindungan yang menyertainya akan memberi dampak positif dalam rangka

meningkatkan

tingkat

kepatuhan

kolektif

wajib

pajak

dan

menyediakan mekanisme untuk menurunkan kekuasaan administrasi pajak yang semakin kuat. Sampai saat ini, tidak ada pernyataan hak-hak kolektif wajib pajak internasional, dan rilis pernyataan serupa itu pun tidak ada. Memang, laporan OECD menggambarkan bahwa negara-negara anggotanya

memiliki perbedaan pandangan tentang hak-hak yang mau mereka tawarkan kepada wajib pajaknya. Banyak hak-hak yang dapat dinikmati wajib pajak timbul dalam konteks hak asasi manusia, sebuah diskusi yang berada di luar cakupan artikel

ini.

Artikel

ini,

bagaimanapun,

akan

menyoroti

pentingnya

menyediakan hak untuk wajib pajak baik dalam berurusan dengan pihak berwenang di otoritas pendapatan maupun dalam kaitannya dengan hak asasi manusia. Karena itu, tepat untuk mengajukan pertanyaan, "Haruskah ada pernyataan terpisah dari hak-hak wajib pajak di samping pernyataan hak asasi manusia? "Jawabannya, disampaikan di sini, adalah sebuah afirmatif dan ada dua. Pertama, banyak hak para wajib pajak yang harus dapat dinikmati terlalu spesifik yang akan ditetapkan perjanjian dalam tingkat yang lebih tinggi atau code of human rights (kode hak asasi manusia) atau, dalam hal ini, dalam konstitusi, karena mereka berhubungan dengan berurusan dengan administrasi pajak dan masalah terkait. Kedua, seperti yang akan ditunjukkan kemudian dalam artikel ini, tidak semua negara di OECD memberikan perlindungan yang sama kepada wajib pajaknya. Singkatnya, dengan tidak adanya pernyataan internasional atau perjanjian pada hak wajib pajak, wajib pajak tidak bisa – dan mungkin seharusnya tidak – mengharapkan perlakuan konsisten dalam urusan mereka di tiap negara. Meskipun peraturan pajak secara substantif berbeda dari satu negara ke negara lain sebagai hasil dari kedaulatan nasional dalam menentukan kebijakan pajak dan hukum, hak-hak dasar wajib pajak, secara substansial harus serupa. Sebagai contoh, meskipun hukum HAM (hak asasi manusia) nasionalnya berbeda dalam gaya legislatif, sebagian besar negara maju dan negara berkembang telah mendukung perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional yang menetapkan hak asasi manusia dan kebebasan, meskipun hukum substantif yang mendasarinya berbeda antara bangsa-bangsa. Mengapa, setelah memiliki pernyataan siap diakses, baik dalam bentuk piagam, deklarasi, atau kode, perlu menetapkan hak-hak wajib pajak? Jawaban yang sederhana, adalah bahwa hal itu memungkinkan pembayar

pajak untuk menyadari hak dan kewajiban dan standar yang dapat cukup diharapkan dari mereka, yang boleh dibilang adalah hak dasar dalam dirinya sendiri.

Selain

itu,

pernyataan

seperti

itu

akan

membantu

dalam

memungkinkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak mereka dengan lebih pasti dan untuk lebih percaya diri ketika berhadapan dengan otoritas pendapatan, termasuk menangani perselisihan. Dalam lingkungan globalisasi kegiatan perdagangan, keuangan, dan bisnis, wajib pajak semakin terlibat dalam kegiatan yang menjadi perhatian dari otoritas pendapatan di luar negara mereka sendiri dari tempat tinggal utama. Artinya, wajib pajak datang menjadi perhatian otoritas pendapatan di negara-negara di mana mereka memiliki kehadiran. Standar perilaku yang berlaku umum bagi administrasi pajak dan hak-hak pembayar pajak, akan berfungsi untuk memfasilitasi fenomena globalisasi yang berkembang.

BAB III APLIKASI DI INDONESIA A. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak 1. HAK WAJIB PAJAK

a. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus b. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) c. Memperoleh kelebihan pajak (restitusi/imbalan bunga) d. Hak dalam pemeriksaan  Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT.  Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.  Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan ke KPP.  Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.  Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.  Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.  Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak.  Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas surat keberatannya.

 Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh DJP.  Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.  Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. e. Hak mengajukan pembetulan, keberatan, banding, peninjauan kembali. f. Hak-hak lainnya:  Kerahasiaan Wajib Pajak Wajib

Pajak

kerahasiaan

mempunyai atas

hak

segala

untuk

sesuatu

mendapat

perlindungan

informasi

yang

telah

disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan

tugas

di

bidang

perpajakan

juga

dilarang

mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal

Pajak

untuk

membantu

pelaksanaan

undang-undang

perpajakan.  Penundaan Pembayaran Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.  Pengangsuran Pembayaran

Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak.  Penundaan Pelaporan SPT Tahunan Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21.  Pengurangan PPh Pasal 25 Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.  Pengurangan PBB Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.  Pembebasan Pajak Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/ pemungutan pajak penghasilan.  Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan

pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.  Pajak Ditanggung Pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.  Insentif Perpajakan Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

2. KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

a. Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP. b. Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. c. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. d. Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. e. Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi. f. Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

g. Wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak h. Wajib membuat faktur pajak i.

Wajib menaati pemeriksaan pajak. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak WAJIB: 

Memperlihatkan

dan

dokumen

menjadi

yang

atau

meminjamkan dasarnya

dan

buku

atau

dokumen

catatan,

lain

yang

berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; 

Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang

perlu

dan

memberi

bantuan

guna

kelancaran

pemeriksaan; 

Memberikan keterangan yang diperlukan.

o PENDAFTARAN NPWP Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); Disamping melalui KPP atau KP4, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui eregister, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet). Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Setelah memperoleh NPWP, Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada KPP, KP4, atau dapat pula dilakukan secara on-line melalui e-register. Dalam rangka pengukuhan sebagai

PKP tersebut maka akan dilakuan penelitian setempat mengenai keberadaan

dan

kegiatan

usaha

yang

bersangkutan.

Dengan

dikukuhkannya Pengusaha sebagai PKP maka atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, wajib diterbitkan Faktur Pajak.

o PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem

self

assessment

wajib

melakukan

sendiri

penghitungan,

pembayaran, dan pelaporan pajak terutang. Pembayaran Pajak Mekanisme Pembayaran Pajak: a. Membayar sendiri pajak yang terutang: 1)

Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25)

Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran pajak penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan. 2)

Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun;

Pembayaran PPh Pasal 29 yaitu pelunasan pajak penghasilan yang dilakukn sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang dibayar sendiri dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak yang

b. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain disini berupa: 1)

Pemberi penghasilan;

2)

Pemberi kerja; atau

3)

Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

c. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. d. Pembayaran Pajak-pajak lainnya. 1) Pembayaran

PBB

yaitu

pelunasan

berdasarkan

Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Untuk daerah Jakarta, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu. 2) Pembayaran BPHTB yaitu pelunasan pajak atas perolehan hak

atas tanah dan bangunan. 3) Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen

yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan. Pemotongan / Pemungutan Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang

dilakukan

oleh

pihak

ketiga.

Adapun

jenis

pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPn BM. Adapun definisi dari masing-masing pajak penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:

o PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan dimana dia bekerja). o PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah). o PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti : deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa yang diterima oleh WP badan dalam negeri, dan BUT. o PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan denan penghasilan yang diterima oleh WP luar negeri. o PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Ada

beberapa

penghasilan

yang

dikenakan PPh

Final.

Yang

dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap utang pajak pada akhir tahun dalam penghitungan pajak penghasilan pada SPT Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final : bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah undian, bunga obligasi dsb. o PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain perusahaan pelayaran atau

penerbangan

international,

perushaan

asuransi

luar

negeri,

perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah. Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut merupakan angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM). Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh DJP untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%. Pelaporan Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perpajakan, Surat Pemberitahuan (SPT) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu Surat Pemberitahuan

berfungsi

untuk

melaporkan

pembayaan

atau

pelunasan pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ke-3, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak

yang

telah

dilakukan.

Sehingga

Surat

Pemberitahuan

mempunyai makna yang cukup penting baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajak. Pelaporan pajak disampaikan ke KPP atau KP4 dimana Wajib Pajak terdaftar.

Saat ini khusus untuk SPT Masa PPN sudah dapat disampaikan secara elektronik (on-line) melalui aplikasi e-filing. Dalam waktu dekat, penyampaian SPT Tahunan PPh dapat dilakukan secara online melalui aplikasi e-SPT. Keterlambatan

pelaporan

untuk

SPT

masa

dikenakan

sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,- dan SPT tahunan sebesar Rp. 100.000,-. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan pajak yang bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tentu harus dipatuhi oleh wajib pajak ketika pemeriksa pajak melakukan pemeriksaan, disamping kewajiban wajib pajak tersebut tentunya

wajib

pajak

juga

mempunyai

hak

dan

kewajiban

ketika

pemeriksaan dilakukan. Tatacara Pemeriksaan Pajak sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 sbb: Hak Wajib Pajak Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak: 1. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan; 2. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; 3. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; 4. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; 5. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;

6. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan; 7. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan 8. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksaan. Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak: 1.

meminta

kepada

Pemeriksa

Pajak

untuk

memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan; 2.

meminta

kepada

Pemeriksa

Pajak

untuk

memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; 3.

meminta

memperlihatkan

Surat

Tugas

kepada

apabila

Pemeriksa

susunan

Pajak

untuk

Pemeriksa

Pajak

mengalami pergantian; 4.

menerima

Surat

Pemberitahuan

Hasil

Pemeriksaan; 5.

menghadiri

Pembahasan

Akhir

Hasil

Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan; 6. pembahasan

mengajukan oleh

Tim

Pembahas,

permohonan dalam

hal

untuk

terdapat

dilakukan perbedaan

pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan 7. pelaksanaan

memberikan pendapat atau penilaian atas Pemeriksaan

oleh

formulir Kuesioner Pemeriksaan.

Pemeriksa

Pajak

melalui

pengisian

KEWAJIBAN WAJIB PAJAK Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib: 1.

memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,

dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; 2.

memberikan

kesempatan

untuk

mengakses

dan/atau

mengunduh data yang dikelola secara elektronik; 3.

memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa

tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; 4.

memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain

berupa: menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak



apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka



barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan



Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak,

menyampaikan

5.

tanggapan

secara

tertulis

atas

Surat

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; dan 6.

memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib: 1.

memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai

dengan waktu yang ditentukan; 2.

memperlihatkan

dan/atau

meminjamkan

buku

atau

catatan,

dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; 3.

memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;

4.

menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan

Hasil Pemeriksaan; 5.

meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan

Publik; dan 6.

memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

B. Hak dan Kewajiban Pemeriksa Pajak Dalam melakukan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiscus atau fungsional pemeriksa pajak tentu harus berpedoman terhadap hak dan kewajibannya sebagai pemeriksa pajak agar tidak melakukan pelanggaran kode etik dalam melakukan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak yang dilakukan

tentunya

untuk

menguji

kepatuhan

pemenuhan

kewajiban

perpajakan, apakah wp dalam menjalankan kewajiban perpajakannya telah sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku. Berikut ini adalah hak dan kewajiban pemeriksa pajak:

1. KEWAJIBAN PEMERIKSA PAJAK

Kewajiban Pemeriksa Pajak untuk Jenis Pemeriksaan Lapangan: a. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan; c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; e. menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; f. memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan; g. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; h. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan i. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan. Kewajiban Pemeriksa Pajak untuk Jenis Pemeriksaan Kantor: a. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan; b. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; c. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; d. menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

e. memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan; f. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; g. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan h. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan. 2. KEWENANGAN PEMERIKSA PAJAK

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang: a. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak

bergerak

yang

diduga

atau

patut

diduga

digunakan

untuk

menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:

e. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; f. memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau g. menyediakan

ruangan

khusus

tempat

dilakukannya

Pemeriksaan

Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak; h. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak

dan/atau tidak bergerak i. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan j. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan. Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang: a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan surat panggilan; b. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; e. meminjam kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik melalui Wajib Pajak; dan

f. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan. C. PENETAPAN, KEBERATAN, BANDING, GUGATAN & PENINJAUAN

KEMBALI Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. 1. Penetapan Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah: Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan. 2. Keberatan (Tax Objection)

Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima. Syarat pengajuan keberatan adalah:

o Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga. o Diajukan

secara

tertulis

dalam

bahasa

Indonesia

dengan

mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang jelas. o Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya. o Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. Keputusan Dirjen Pajak atas keberatan dapat berupa: o Mengabulkan seluruhnya; o Mengabulkan sebagian; o Menolak; atau o

Menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.

3. Banding (Tax Appeal)

Apabila

Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan

Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. Perlu diketahui bahwa Wajib Pajak yang mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang pajak yang diajukan banding. Pengadilan Pajak

harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. 4. Gugatan (Law Suit)

Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak terhadap: o Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; o Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; o Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; o Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur dan tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Gugatan pada poin pertama diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang. Gugatan terhadap poin 2, 3 dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. 5. Peninjauan Kembali (PK) Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Pengadilan Pajak, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat

atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima. Alasan-alasan Peninjauan Kembali 1. Putusan

Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu

muslihat; 2. Terdapat bukti tertulis baru dan penting dan bersifat menentukan; 3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut; 4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku. D. PENGADILAN PAJAK 1. Kedudukan Pengadilan Pajak Sesuai dengan pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sesuai pasal 10 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sesuai pasal 15 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan TUN yang diatur dengan undang-undang. Pengadilan Pajak adalah termasuk dalam lingkungan peradilan tata usaha Negara, yang sesuai Pasal 27 ayat (6) Undang-Undang KUP, bahwa badan peradilan pajak diatur dengan undang-undang. Undang-UNdang tentang

Pengadilan Pajak adala Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 yang berlaku mulai 12 April 2002, yang disingkat dengan UU Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak sesuai Pasal 2 UU Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sengketa Pajak sesuai pasal 1 huruf 5 UU Pengadilan Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung

pajak

dengan

pejabat

yang

berwenang, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukannya banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,

termasuk

atas

gugatan

atas

pelaksanaan

penagihan

berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 2. Tempat kedudukan dan Tempat Sidang Pengadilan Pajak Tempat kedudukan Pengadilan Pajak sesuai Pasal 3 UU Pengadilan Pajak adalah pada ibu kota Negara, yaitu di Jakarta. Sedangkan tempat sidang Pengadilan Pajak sesuai Pasal 4(1) UU Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Dan tempat sidang dimaksud ditetapkan oleh ketua, yaitu di Jakarta atau dapat di tempat lainnya. 3. Susunan Pengadilan Pajak Sesuai Pasal 6 UU Pengadilan Pajak, bahwa susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan Pengadilan Pajak, Hakim Pengadilan Pajak, Sekretaris Pengadilan Pajak, dan Panitera Pengadilan Pajak. Sesuai Pasal 12 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, diberlakukan larangan kepada hakim, antara lain tidak boleh merangkap menjadi: pelaksana putusan Pengadilan Pajak; wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu Sengketa Pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya;

penasihat hukum; konsultan pajak; akuntan publik; dan/atau pengusaha. Larangan serupa berlaku bagi Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera pengganti. Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota. Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera, Wakil Panitera atau Panitera Pengganti

harus

diganti

atau

wajib

mengundurkan

diri

dari

suatu

persidangan apabila terikat hubungan keluarga; atau berkepentingan langsung

atau

tidak

langsung.

Dalam

hal

hubungan

keuarga

atau

kepentingan langsung atau tidak langsung diketahui belum melewati jangka waktu 1 tahun setelah sengketa diputus, sengketa dimaksud disidangkan kembali

dalam

jangka

waktu

3

bulan

terhitung

sejak

diketahuinya

kepentingan dimaksud dengan susunan Majelis dan/atau Panitera yang berbeda. Pengadilan

Pajak

memerlukan

lembaga

sebagai

Pembina.

Namun

demikian, Pembina tersebut tidak boleh mengurangi kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pembinaan pajak dapat dibedakan menjadi: o Pembinaan Teknis, dilakukan oleh Mahkamah Agung. o Pembinaan Organisasi, administrasi, dan keuangan, dilakukan oleh Departemen Keuangan. o Pembinaan dan pengawasan Umum terhadap Hakim, dilakukan oleh Mahkamah Agung. 4. Kekuasaan Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam

memeriksa

dan

memutus

Sengketa

Pajak.

Pengadilan

Pajak

mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak, yang dapat dibedakan menurut sengektanya menjadi sebagai berikut: a. Kekuasaan dalam Banding b. Kekuasaan dalam Gugatan c. Kuasa Hukum 5. Pemeriksaan pada Pengadilan Pajak Pemeriksaan permohonan

yang

banding

dilakukan maupun

pada

Pengadilan

gugatan

dapat

Pajak,

baik

dibedakan

pada

menjadi

pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Proses dalam pemeriksaan dengan acara biasa baik dalam banding maupun dalam gugatan adalah sebagai berikut: penunjukan Pemeriksa dan Pemutus Sengketa Pajak, pembukaan sidang, Pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemanggilan pihak yang bersengketa, penjelasan sengketa, pertanyaan kepada terbanding atau tergugat, pertanyaan kepada saksi, pembuktian,

putusan

Pengadilan

Pajak,

Berita

Acara

Sidang,

dan

pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak. Sesuai Pasal 49 UU pengadilan Pajak, pemeriksaan acara biasa dilakukan oleh majelis. Pada pemeriksaan dengan acara biasa maupun acara cepat dibutuhkan suatu pembuktian atas perkara yang disengketakan, namun demikian keadaan yang telah diketahui secara umum tidak perlu dibuktikan. Hakim menentukan

apa

yang

harus

dibuktikan,

beban pembuktian

beserta

penilaian pembuktian. Untuk sahnya pembuktian diperlukan sedikitnya 2 alat bukti seperti berikut ini: a. Surat atau tulisan b. Keterangan ahli c. Keterangan para saksi

d. Pengakuan para pihak bersengketa; dan/atau

e. Pengetahuan hakim Putusan

Pengadilan

Pajak

diambil

berdasarkan

hasil

penilaian

pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan pengetahuan hakim. Dalam hal dilakukan oleh majelis, putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak. Pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak. Putusan Pengadilan Pajak terhadap banding atau gugatan dapat berupa: menolak; mengabulkan sebagian atau seluruhnya; menambah pajak yang harus dibayar; tidak dapat diterima; membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahaan hitung; dan/atau membatalkan. Putusan Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi. Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal (Pasal 65 UU Pengadilan Pajak). Sesuai Pasal 66 (1) UU Pengadilan Pajak, pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap: Sengketa Pajak Tertentu; Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 bukan; tidak dipenuhinya salah satu ketentuan pada persyaratan isi putusan pengadila pajak; sengketa yang bukan wewenang pengadilan pajak. 6. Kuasa Hukum WP Untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, WP dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus. Tugas kuasa adalah memberi

bantuan kepada WP untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan WP, yang meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil seta pemenuhan hak WP yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Syarat untuk menjadi kuasa dalam perpajakan adalah menguasai beberapa ketentuan di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan telah memperoleh pendidikan di bidang perpajakan yang memiliki: o Brevet yang diterbitkan oleh DJP. o Ijazah formal pendidikan di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri. Kuasa yang tidak memenuhi persyaratan tidak dapat diterima sebagai kuasa WP dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan WP. Seorang kuasa dilarang melimpahkan kuasa yang diterima dari WP, kepada orang lain.

BAB IV APLIKASI DI NEGARA LAIN A. Hak-Hak Wajib Pajak (Taxpayers’ Rights) di Negara Hukum Sipil

(civil law country) Ini adalah pernyataan klise bahwa hukum perdata negara dikategorikan sesuai karena ideologi bersama mereka dan ketergantungan lebih besar pada mereka, dan lebih tinggi peradilan (dan ilmiah) menghormati, kodifikasi hukum dalam bentuk perundang-undangan, termasuk ketinggian aspek dasar hukum untuk konstitusional status. Banyak karakteristik umum lainnya ada, tetapi diskusi di luar artikel ini. Konsentrasi terbesar negara hukum perdata dalam OECD berada di Eropa, maka perbandingan hak pembayar pajak di Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Hungaria , Jepang, Luksemburg, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Swiss. Kategori dasar beberapa hak wajib pajak yang secara konstitusional dilindungi dan tersedia bagi wajib pajak di sebelas dari dua belas negara hukum perdata adalah sebagai berikut: (1) hak

untuk informasi, dibantu, didengar, dan diperlakukan tidak

memihak; (2) hak atas pemeriksaan banding dan selanjutnya terhadap setiap

keputusan otoritas pajak mengenai aplikasi dan interpretasi fakta-fakta, hukum, dan peraturan administratif yang terkait langsung dengan wajib pajak; (3) hak untuk membayar pajak tidak lebih dari jumlah pajak yang benar

sesuai bagiannya terhadap basis pajak relatif dan keadaan wajib pajak pribadi; (4) hak untuk kepastian mengenai konsekuensi pajak dari tindakan wajib

pajak sebelum melakukan tindakan tersebut, meskipun ini terbatas pada

sejauhmana

sistem

pajak

kompleks

memungkinkan,

dan

setelah

melakukan tindakan melalui pembatasan waktu di mana penilaian (kembali) dapat dilakukan; (5) hak untuk privasi sehingga otoritas pajak tidak akan mengganggu ke

kehidupan wajib pajak pribadi yang tidak perlu, termasuk batas pada pencarian dan penyitaan harta; (6) hak untuk kerahasiaan dan kerahasiaan informasi yang diberikan

kepada pajak wewenang dan hak bahwa informasi tersebut akan digunakan hanya sebagai diizinkan oleh hukum; dan (7) hak

untuk mengatur urusan seseorang sedemikian rupa untuk

meminimalkan pengaturan

kewajiban

tersebut

tidak

kepada

perpajakan,

berjumlah

penipuan

ketentuan atau

bahwa

dibikin

dan

pengaturan buatan. Hak pembayar pajak Jepang tidak disajikan dalam dokumen resmi. Selain itu, telah ditegaskan bahwa wajib pajak sangat sedikit memiliki hak menyatakan di Jepang dan otoritas pendapatan telah di atas angin. Dengan demikian, dalam arti perbandingan, pembayar pajak Jepang berada dalam posisi demonstratif lebih buruk dari pembayar pajak di negara-negara perdata lainnya seperti yang disebut terakhir di sini. Hanya tingkat saling percaya dan niat baik mencegah sebuah "krisis" dalam hubungan pembayar pajak Jepang/otoritas pendapatan. Dalam lingkungan konservatif yang berlaku di Jepang, meskipun seruan untuk perbaikan dari akademisi dan zeirishi itu, tetap ada keengganan untuk mengatur positif untuk melindungi hak pembayar pajak. Yurisprudensi tradisional memerlukan bahwa setiap hak akan disertai dengan kewajiban-kewajiban yang sesuai bagi pihak lain, dalam situasi ini otoritas pendapatan. Namun, untuk memungkinkan otoritas untuk menyediakan pendapatan wajib pajak dengan lingkungan di mana hak mereka mungkin dilindungi dan ditegakkan, wajib pajak memiliki kewajiban. Kewajiban ini biasanya termasuk memberikan imbal hasil atau informasi,

baik secara langsung maupun melalui media pihak ketiga. Wajib Pajak akan kehilangan banyak hak-hak ini ketika mereka dicurigai melakukan penipuan atau penghindaran pajak. Dalam situasi seperti itu, hak-hak pembayar pajak di negara hukum perdata umumnya akan berada di bawah hak-hak dasar terdakwa tindak pidana. Sebuah fitur umum tambahan dari negara-negara civil law adalah bahwa setiap negara telah meratifikasi dan mengesahkan perjanjian Eropa dan konvensi hak asasi manusia dan memiliki keanggotaan di Uni Eropa. Akibatnya, setidaknya dalam teori ada mekanisme banding ke tingkat lebih tinggi di atas badan banding nasional untuk isu-isu konstitusional yang timbul dalam konteks dugaan pelanggaran hak-hak pembayar pajak. Sebuah fitur lebih lanjut adalah peran penting dari undang-undang, termasuk ketentuan konstitusional, dalam menciptakan kewajiban dan hak. Tindakan administratif yang tidak secara khusus diatur dalam undangundang atau peraturan sebagaimana mestinya berlaku dan keputusan berpotensi inkonstitusional dan tunduk pada tantangan. Akibatnya, ada kontrol yang lebih ketat pada cabang eksekutif pemerintah sementara legislatif menikmati supremasi yang lebih besar, meskipun satu komentator telah menegaskan bahwa ada kelemahan baik dalam perlindungan hukum dan konstitusional atau luas dibenarkan dalam kekuasaan administrasi yang ada kepada otoritas pendapatan. Akses ke Ombudsman (dengan baik yurisdiksi pajak umum atau khusus) menjadi semakin umum, meskipun Belgia, Jerman, Hungaria, Jepang, dan Swiss belum menyediakan fitur ini. Satu area di mana hak-hak pembayar pajak jauh dari homogen dalam hukum

perdata

negara,

yang

juga

anggota

OECD,

adalah

dalam

menyediakan pemberitahuan kepada wajib pajak dari suatu informasi permintaan-apakah

dari

pihak

ketiga

atau

lain

pemerintah

atau

pemberitahuan tentang mengusulkan penilaian ulang atau audit. Hal ini digambarkan dengan jelas di bagian bawah Lampiran A1 dan A2 B. Charters of Taxpayers’ Rights

Selain Perancis dan Belgia, tidak ada contoh sebuah piagam formal atau deklarasi hak pembayar pajak ada di salah satu anggota survei hukum negara-negara OECD sipil dalam artikel ini. Dalam dua contoh piagam pembayar pajak, yang "dukungan" legislatif untuk setiap dicatat (meskipun bentuk ditetapkan berbeda) serta merupakan area subyek spesifik dan sempit piagam masing-masing. Pada contoh pertama ini mungkin tampak mengejutkan, namun di refleksi, seharusnya tidak begitu. Sebuah fitur umum dari sebelas negara-negara hukum perdata terakhir dalam artikel ini adalah bahwa setiap Eropa dan penandatangan berbagai perjanjian, perjanjian, dan konvensi Eropa, termasuk Kovenan eropa Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental. Selanjutnya, sebagai bangsa hukum perdata, setiap negara selalu menempatkan tingkat ketergantungan yang lebih tinggi

pada

ketentuan konstitusi, termasuk hak asasi manusia yang membentuk bagian dari setiap konstitusi negara. Hak-hak yang termasuk dalam Lampiran A1 dan A2 mewakili baik hak asasi manusia dengan aplikasi khusus untuk pembayar pajak, atau hak penting yang dilindungi oleh undang-undang (misalnya, didukung oleh perjanjian dan konvensi) C. Hak-Hak Wajib Pajak (Taxpayers’ Rights) di Negara Hukum Umum

(Common Law Countries) Dibandingkan dengan negara-negara hukum perdata, negara-negara hukum umum lebih mengandalkan peran hukum umum, atau hakim membuat hukum (yang bertentangan dengan "interpretasi" sederhana) untuk pengoperasian system. Hukum ini tidak berarti bahwa hukum perundang-undangan adalah diturunkan di penting, memang, sebagai negara dengan hukum perdata, hukum perundang-undangan (termasuk ketentuan konstitusional) menempati posisi tertinggi dari status hukum. Fitur lain yang umum di antara negara-negara hukum umum adalah bahwa banyak memiliki asal mereka dalam hukum umum Inggris seperti yang telah berkembang sejak 1066, setelah kolonisasi atau penyelesaian oleh imigran dari ekstraksi bahasa Inggris.

Konsentrasi terbesar negara hukum umum dalam OECD berada di luar Eropa. Perbandingan hak pembayar pajak negara hukum umum 'dilakukan dalam artikel ini mencakup yurisdiksi Australia, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat. Kategori mendasar beberapa hak pembayar pajak yang tersedia untuk pembayar pajak di masing-masing enam negara hukum umum adalah sebagai berikut: (1) hak untuk informasi, dibantu, mendengar, dan diperlakukan tidak memihak; (2)

hak

atas pemeriksaan banding dan selanjutnya terhadap setiap

keputusan otoritas pajak mengenai aplikasi dan interpretasi fakta-fakta, hukum, peraturan dan administrasi di mana wajib pajak terkait secara langsung; (3)

hak untuk membayar pajak tidak lebih dari jumlah yang benar sehubungan ke salah satu pangsa basis pajak relatif dan keadaan pribadi seseorang;

(4)

hak untuk kepastian mengenai konsekuensi pajak dari tindakan sebelum seseorang melakukan tindakan tersebut, meskipun hal ini terbatas pada sistem pajak tingkat yang kompleks akan memungkinkan, dan setelah mengambil tindakan melalui keterbatasan pada waktu di mana penilaian (kembali) dapat dilakukan;

(5)

hak untuk beberapa derajat privasi sehingga otoritas pajak tidak akan mengganggu ke dalam kehidupan pribadi wajib pajak tidak perlu, termasuk batas pada pencarian dan penyitaan properti, namun, tingkat perlindungan konstitusional dasar hak, termasuk privasi, tidaklah homogen di seluruh negara-negara ini;

(6)

hak untuk kerahasiaan dan kerahasiaan informasi yang diberikan kepada otoritas pajak dan hak bahwa informasi tersebut hanya akan digunakan sebagaimana diizinkan oleh hukum; dan

(7)

hak

untuk

mengatur

meminimalkan

urusan

kewajiban

seseorang

kepada

sedemikian

perpajakan,

rupa

ketentuan

untuk bahwa

pengaturan tersebut tidak dimaksudkan untuk penipuan, buat dan pengaturan buatan, atau penghindaran pajak Yurisprudensi

tradisional

mengharuskan

hak

yang

disertai

dengan

kewajiban yang terkait pada pihak lain, dalam situasi ini otoritas pendapatan . Namun, seperti situasi bagi bangsa-bangsa yang dipilih hukum sipil terakhir sebelumnya, untuk memungkinkan otoritas pendapatan untuk memberikan wajib pajak lingkungan di mana hak-hak mereka dapat dilindungi dan ditegakkan, wajib pajak memiliki kewajiban. Kewajiban ini biasanya termasuk memberikan kembali informasi, baik secara langsung maupun melalui media pihak ketiga. Wajib Pajak akan kehilangan banyak hak-hak ini ketika mereka dicurigai melakukan penipuan atau penggelapan, dan penghindaran pajak. Dalam situasi seperti itu, hak-hak pembayar pajak di negara-negara hukum umum akan, seperti hukum sipil rekan-rekan mereka, umumnya berada di bawah hak-hak dasar terdakwa tindak pidana. Akses ke Ombudsman (baik dengan yurisdiksi pajak umum atau khusus) menjadi semakin umum, meskipun Kanada belum menyediakan fitur ini. Satu wilayah di mana hak-hak pembayar pajak lebih homogen di negaranegara hukum umum (dan jelas dibuktikan pada Lampiran B) dari hukum perdata negara adalah pemberitahuan wajib pajak dari permintaan informasi (baik

permintaan

dari

pihak

ketiga

atau

pemerintah

lain)

serta

pemberitahuan tentang penilaian ulang yang diusulkan atau audit. Selain Amerika Serikat, minimal hak hukum tertentu yang diberikan kepada pembayar pajak-atau dengan kata lain, kewajiban minimal yang dikenakan pada otoritas pendapatan. Oleh karena itu, selama delapan belas negara yang disurvei, tampaknya ada lebih banyak perbedaan dalam hak pembayar

pajak di negara hukum umum dari pada rekan-rekan hukum sipil mereka (Jepang dikecualikan), meskipun hak pembayar pajak di negara hukum perdata tidak boleh sepenuhnya dianggap homogen. D. Bills, Charters, and Declarations of Taxpayers’ Rights

1. Australia Kantor Pajak Australia (ATO) secara resmi memperkenalkan Piagam HakHak Wajib Pajak (Piagam) pada tahun 1997 . Pengenalan Piagam ini diikuti perdebatan luas dan konsultasi publik pada proposal sebelumnya. Piagam ini merupakan dokumen glossy ditulis dalam bahasa Inggris dan ditata dengan cara itu harus membantu wajib pajak dalam memahami hak-hak mereka serta kewajibannya. Aspek utama dari Piagam meliputi laporan hak-hak hukum dan standar yang dapat Anda harapkan dari pembayar pajak ATO, termasuk hak untuk perlakuan yang adil dan harapan bahwa ATO pembayar pajak akan menginformasikan hak-hak mereka. Keluhan akan ditangani secara serius, dengan jelas pernyataan dari jalan yang tersedia untuk menyelesaikan perselisihan. Penting diperlukan kewajiban wajib pajak. juga disediakan pada akhir Piagam PBB. Bentley mengamati bahwa Piagam didasarkan pada lingkungan selfassessment, yang memerlukan wajib pajak sadar akan hak mereka serta kewajibannya. Dokumen yang dihasilkan memiliki dukungan administratif untuk melengkapi kedua hak yang ada diatur dalam undang-undang serta sebagai hak administratif. Tak satu pun dari hak-hak hukum dinyatakan dalam Piagam baru, masing-masing dari hak hukum sudah ada, meskipun Piagam menyediakan mekanisme yang nyaman untuk membawa semua hak tersebut bersama-sama dalam bentuk yang dapat diakses oleh wajib pajak. Sementara hak-hak legislatif yang diharuskan di bawah undang-undang atau hukum umum, hak administratif tidak bisa ditegakkan langsung melalui peradilan melainkan dengan administrasi mekanisme-dalam hal ini, Unit Resolusi Khusus Soal. Akses ke Ombudsman Pajak juga merupakan jalan bagi wajib pajak yang tidak puas. Mungkin, mekanisme penegakan yang

kuat adalah usaha asli ATO bahwa mereka berniat mendukung Piagam, membina hubungan positif dengan pembayar pajak, dan menyelesaikan sengketa

dengan

pemecahan

masalah

daripada

konfrontasi

bila

memungkinkan. Idealnya, untuk melindungi pembayar pajak terbesar, sebuah piagam hukum dan administrasi yang komprehensif disertai dengan dukungan hukum yang diperlukan. Sebagian besar hak mewakili orde kedua aturan hukum dan orde pertama aturan administratif. Ini termasuk hak untuk perlakuan yang adil dan wajar, privasi,

dan

kerahasiaan

informasi.

Saran

yang

telah

dibuat

untuk

pernyataan hak-hak hukum dan administrasi yang lebih luas, termasuk hak untuk keadilan dan hak untuk kompensasi atas kerugian dari tindakan yang diambil oleh ATO tanpa otoritas hukum atau penyebab. Sementara hak alami ini belum termasuk dalam Piagam, hal ini tidak harus diartikan bahwa hakhak alami ini tidak selalu ada. Akibatnya, salah satu aspek penting dari perdebatan tentang apa yang harus dimasukkan dalam piagam, dalam pandangan saya, adalah manfaat publik yang muncul untuk menjadi pembayar pajak yang sadar akan hak mereka yang sebenarnya ketika hak tertentu disertakan. Orde kedua hak administratif, mengenai rincian dari proses administrasi, termasuk dalam Piagam, meskipun orde ketiga hak administratif (atau hak aspirasi), yang juga termasuk, tidak bisa ditegakkan oleh para pembayar pajak. Meskipun demikian, salah satu komentator mengamati bahwa Piagam tersebut terlalu singkat dalam hal konsekuensi bagi pejabat pendapatan AS yang melakukan tindakan ilegal. Selain laporan hak yang secara langsung mengikat ATO, akses ke informasi adalah fitur lain yang penting dari sistem. Di Australia, Freedom of Information Act menyediakan pembayar pajak dengan hak untuk meminta akses ke informasi yang berhubungan dengan urusan mereka, termasuk alasan untuk keputusan, meskipun dengan beberapa keterbatasan. Salah satu hasil positif lebih lanjut dari Piagam harus lebih besar memberi kesadaran pada masyarakat atas hak pembayar pajak, yang secara tidak langsung akan menciptakan dorongan bagi petugas ATO untuk memenuhi

harapan para pembayar pajak individu dan kolektif seperti yang dinyatakan dalam Piagam. 2. Canada Di Kanada, Piagam Hak dan Kebebasan berisi sejumlah hak-hak substantif yang secara langsung mempengaruhi pembayar pajak. Hak-hak ini termasuk hak-hak kesetaraan, hak atas kebebasan hati nurani dan agama, dan hak untuk

kepastian

hukum

secara

khusus.

Dalam

konteks

perpajakan,

Pendapatan organisasi Kanada merilis Deklarasi Hak Wajib Pajak (Deklarasi) pada tahun 1985. Dokumen ini, sementara hanya memiliki administrasi bukan

dukungan

hukum,

bertujuan

untuk

meningkatkan

kredibilitas

Pendapatan Kanada dan juga persepsi kolektif pembayar pajak keadilan dalam sistem pajak. Tanpa dukungan hukum, namun, Deklarasi tidak memberikan perlindungan hukum, melainkan berusaha untuk membentuk kembali sikap Pendapatan Kanada dalam berurusan dengan pembayar pajak. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam berhubungan dengan Pendapatan

Kanada

pada

masalah

pajak,

pembayar

pajak

berhak

mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat tentang UU Pajak Penghasilan, untuk pelayanan sopan dan perhatian, dan untuk anggapan kejujuran, kecuali ada bukti sebaliknya . Salah satu hak dasar dimaksud dalam Deklarasi adalah kewajaran penanganan atas keluhan. Pendapatan Kanada juga diperlukan untuk membantu wajib pajak dalam melaksanakan berbagai hak-hak mereka. Memang, Deklarasi mengacu pada hak-hak pembayar pajak seperti yang muncul dalam Piagam Hak dan Kebebasan dan Konstitusi Kanada. Akibatnya, dokumen ini melayani tujuan yang mirip dengan Piagam Australia, meskipun kurang rinci dalam hal pencacahan pembayar pajak hak dan memberikan bantuan kepada wajib pajak yang ingin mencari informasi lebih lanjut. Undang-undang Keadilan Kanada dirilis pada tahun 1991 dengan tujuan membuat sistem pajak "lebih sederhana, lebih mudah dan lebih adil" dan Pendapatan Kanada "baik hati dan lembut." Tujuan yang mendasari undang-

undang ini adalah untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar untuk pendapatan Kanada, dimana pendapatan Kanada bisa mendukung latihan pembayar pajak. Diharapkan kebijakan ini akan digunakan untuk kembali mengamandemen undang-undang pembatasan luar dalam keadaan tertentu. Oleh

karena

itu,

Pendapatan

Kanada

dapat

izin

pengajuan

akhir

pengembalian dan pemilu tertentu dalam keadaan tertentu. Hal ini juga dapat melepaskan atau membatalkan bunga atau denda ketika mereka menghasilkan dari penundaan Pendapatan Kanada atau kesulitan keuangan, atau

dari

kejadian

pertama

dari

keterlambatan

pembayaran

pajak

pemotongan sumber. Wajib Pajak dapat juga mengajukan permohonan judicial review apakah tindakan Menteri adalah adil dalam melaksanakan kebijakannya di bawah undang-undang. Sebuah perkembangan positif selanjutnya adalah penyederhanaan proses banding, meskipun masih harus dilihat apakah penggunaan Pendapatan Kanada baru terminologi, yang sekarang menawarkan "jasa" kepada para "klien" (yaitu, pembayar pajak), akan memiliki manfaat jangka panjang. Meskipun niat baik, undang-undang Keadilan telah dikritik karena gagal memperbaiki

keadilan

substantif

dalam

sistem

pajak

dengan

tidak

memberikan bantuan kepada wajib pajak yang diperlakukan tidak adil dalam keadaan tertentu. Memang, undang-undang ini telah tidak konsisten diterapkan di berbagai kantor Perpajakan Kabupaten tanpa pemantauan oleh Pendapatan Kanada. Bersamaan dengan praktek ini adalah kurangnya akuntabilitas publik untuk jumlah pajak, bunga, dan denda yang diampuni oleh Pendapatan Kanada berdasarkan undang-undang ini. 3. United States The United States Omnibus Taxpayer Bill of Rights tahun 1988 (TBR1) dan amandemen tahun 1996 yang (TBR2), bersama dengan revisi terbaru akibat Restrukturisasi Internal Revenue Service dan UU Reformasi 1998 (IRSRRA), muncul mengandung pernyataan hak-hak pembayar pajak, meskipun seorang komentator tidak setuju terhadap dua mantan inisiatif legislatif. Abe

Greenbaum berpendapat bahwa judul RUU dua Wajib Pajak pertama undangundang hak bertindak sebagai misnomers dan konten mereka tidak melakukan apapun untuk meningkatkan atau memajukan hak-hak pembayar pajak. Bahkan, Greenbaum menyimpulkan dalam hal yang sangat kuat ketika ia menyatakan: Dia inisiatif legislatif di TBR1 dan TBR2 beroperasi dengan cara yang terlalu reaktif sedikit demi sedikit, ketika ada kesempatan untuk membuat program yang komprehensif dan koheren hak pembayar pajak. Sungguh tragis bahwa kesempatan untuk memajukan hak-hak pembayar pajak itu meleset mendukung program legislatif yang dirancang terutama untuk mempromosikan agenda anti-pemerintah. Diskusi komentator lain atas TBR1 dan TBR2 sangat kurang kritis, bahkan, akan lebih tepat untuk menunjukkan bahwa pada setidaknya satu contoh mereka telah mendukung perubahan. Satu kelompok wajib pajak yang tampaknya diperlakukan tidak adil oleh TBR1 dan TBR2 adalah wajib pajak pihak ketiga. Sebuah usaha yang lebih baik dalam mengekspresikan hak-hak pembayar pajak telah dibuat dalam badan legislatif negara bagian Georgia dengan bill of rights yang diusulkan. IRSRRA mewakili, antara lain, upaya paling baru untuk mereformasi keadaan hak pembayar pajak di Amerika Serikat. Perubahan utama meliputi restrukturisasi IRS ke dalam segmen geografis dan pembayar pajak – jenis dan bolak hirarki administrasi. Pendekatan ini tidak unik dari perspektif internasional,

karena

Selandia

Australia,

Kanada,

dan

New

otoritas

pendapatan sebelumnya telah mengalami reorganisasi serupa. Perlindungan untuk whistleblower karyawan IRS telah dimasukkan, yang secara tidak langsung memberikan perlindungan lebih lanjut bagi pembayar pajak terhadap kesalahan pendapatan resmi dan penyalahgunaan wajib pajak bergerak positif lainnya untuk hak-hak pembayar pajak, termasuk direktif untuk merevisi publikasi Hak Anda sebagai Wajib Pajak dalam konteks proses audit Non – pengacara yang federal praktisi perpajakan berwenang yang berada di tingkat yang sama seperti pengacara dengan kemampuan untuk menawarkan hak istimewa klien mereka berkaitan dengan rahasia non

– pidana komunikasi. Perlindungan lebih lanjut telah dimasukkan berkaitan dengan kegiatan pengumpulan, seperti pengaturan angsuran proses Yudisial telah dibuat lebih menguntungkan bagi wajib pajak dengan membalik tanggung jawab dari wajib pajak kepada pemerintah dalam proses sipil di mana wajib pajak telah menghasilkan bukti yang kredibel

dan kondisi

tertentu terpenuhi. Perubahan lain termasuk menyamakan tingkat bunga atas lebih bayar dan kurang bayar dan denda lain dan perubahan pengembalian dana. Namun, terlepas dari atribut positif yang nyata dari undang-undang ini, terutama bagaimana ia membawa IRS/hubungan dekat dengan wajib pajak yang berlaku di Australia, Kanada, dan Selandia Baru, setidaknya satu kelemahan utama ada. Kembali ke pengamatan Greenbaum atas TBR1 dan TBR2, IRSRRA bukanlah hasil dari inisiatif IRS bersama / Pemerintah. Sebaliknya, itu belum mencontohkan contoh lain dari anggota keuntungan yang didominasi penilaian Kongres politik Partai Republik atas minoritas Demokrat sebagai bagian dari agenda mereka untuk mengurangi pajak, dalam hal ini, misalnya dengan kedok melemahkan agen penagihan pendapatan. Kongres memburuk situasi dengan memberlakukan perubahan tanpa dukungan dan kerja sama IRS, yang bertentangan dengan pendekatan diikuti di Australia. Selanjutnya, IRSRRA mengandung lebih banyak contoh dari apa yang tampak sebagai wajib pajak asli hak tercantum dalam undangundang tanpa memiliki referensi terhadap hak-hak wajib pajak dalam judul – yang baik daripada TBR1 atau TBR2. TBR1 dan TBR2 keduanya diberi judul sehari-hari dari "Taxpayers’ Bill of Rights”, menunjukkan bahwa mereka terdiri dari pernyataan tentang hak-hak pembayar pajak, tapi, seperti Greenbaum berpendapat, mereka tidak mengandung hak nyata bagi pembayar pajak. Namun demikian, dorongan umum dari IRSRRA diarahkan termasuk beberapa item yang dapat dimasukkan dalam sebuah piagam pembayar pajak AS, jika Amerika Serikat adalah untuk mengejar kesempatan ini. Namun, IRSRRA dengan sendirinya tidak cukup untuk membentuk dasar untuk sebuah piagam hak-hak pembayar pajak.

E. Statements of Taxpayers’ Rights in the Remaining Common Law Countries Konstitusi interim yang berlaku dan Undang-Undang baru dan terakhir baru-baru Afrika Selatan, memuat hak khusus melindungi pembayar pajak dalam Bill of Rights yang menyertainya. Hak-hak ini mencakup ketentuanketentuan mendasar, seperti hak atas kesetaraan dan privasi, akses informasi, keadilan administrasi (tindakan administratif yang sah dan wajar), dan hak properti. Beberapa ketentuan pajak telah diidentifikasi bertentangan dengan konstitusi sementara dan konstitusi final, dan hasil yang diantisipasi adalah tantangan konstitusional. Di bawah rezim apartheid sebelumnya, hak tersebut tidak tersedia untuk sebagian besar penduduk di semua aspek kehidupan mereka terlepas dari pajak-hal yang berkaitan. Pada tahun 1997, sebuah piagam wajib pajak hak diperkenalkan di Afrika Selatan oleh Dinas Pendapatan Afrika Selatan, tepat berjudul "Piagam Klien" Ini adalah folio tunggal poin tiga belas menyatakan secara umum. Di Inggris, Piagam Wajib Pajak diperkenalkan pada tahun 1986. Dokumen singkat merangkum harapan dasar yang Wajib Pajak dapat memiliki dari Inland Revenue di Inggris. Hal ini mirip dalam konten dan ukuran untuk Deklarasi Pendapatan Kanada, meskipun tidak membuat referensi dengan ketentuan konstitusional. Salah satu tema umum di antara charter wajib pajak dan dokumen serupa di negara-negara hukum umum adalah bahwa masing-masing mewakili sebuah

pendekatan

untuk

melarang

praktek

sewenang-wenang

oleh

administrasi pajak terhadap pembayar pajak. Hanya AS yang mencoba untuk memiliki kekuatan langsung terhadap hukum melalui penetapan oleh undang-undang. Menariknya, pendekatan AS adalah satu-satunya contoh di negara-negara

hukum

umum

yang

disurvei

dalam

artikel

di

mana

administrasi perpajakan bukan pihak yang paling aktif dalam menyusun laporan tentang hak-hak wajib pajak

F. Penyelesaian Sengketa Pajak dan Pengadilan (Dispute Resolution

and Tax Courts) Sebuah simposium internasional tentang peran pengadilan pajak dalam penyelesaian sengketa dalam hukum perdata dan beberapa negara hukum umum diadakan pada tahun 1988 di Amerika Serikat. Dari simposium ini muncul beberapa pengamatan yang berkaitan dengan peninjauan hak-hak pembayar

pajak.

Pertama,

dalam

setiap

sistem

diwakili,

pengadilan

menikmati tradisi kuat independensi peradilan, bahkan ketika mereka merupakan bagian dari wajib pajak Australia cabang eksekutif mengalami sistem pajak setidaknya pengadilan khusus, sementara pembayar pajak Kanada dan Selandia Baru dapat mengambil keuntungan dari informalitas relatif dari dengar pendapat. Hanya di Kanada pembayar pajak bisa memiliki hak menunda semua pajak yang diduga ketika menunggu proses peradilan pidana. Di Amerika Serikat, dengan pilihan tingkat pertama dan dengan sifat independen dari sirkuit Pengadilan Pajak tiga belas Federal, pembayar pajak AS yang tidak puas memiliki cakupan pilihan yang luas, termasuk dua tingkat banding sampai dengan tingkat Mahkamah Agung AS. Pengamatan Profesor Paul B. Stephan terhadap perbedaan dalam prasyarat untuk perkara sengketa dan dalam peran konsultan pajak di negara-negara diwakili pada simposium menekankan bahwa aspek hak-hak wajib pajak jauh dari seragam secara internasional. Karena simposium, perkembangan yang signifikan dalam proses penyelesaian sengketa telah diberlakukan di Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Sebaliknya, sistem pengadilan di negara hukum perdata Jerman, Perancis, Belanda, dan Swedia terkait erat dengan struktur konstitusional setiap negara. Di Jerman, pengadilan spesialis pajak, Pengadilan Fiskal Federal, bertindak sebagai otoritas tingkat banding dan terakhir atas semua sengketa pajak kecuali yang bersifat konstitusional. Sistem Perancis dan Swedia yang sama; sengketa diambil melalui proses pengadilan administrasi, yang

mencakup proses banding. Bukti menunjukkan bahwa sejumlah besar kasus pajak yang mengajukan banding di Swedia. Sistem Belanda, bagaimanapun, menyerupai sesuatu yang lebih mirip dengan sistem Selandia Baru dalam penggunaan

sistem

pengadilan

biasa

dan

cakupan

minimal

sebagai

pertimbangan masalah konstitusional di arena pajak. Di Jepang, penawaran Pengadilan Pajak Nasional dengan sengketa pajak hanya sementara pembayar pajak dirugikan memiliki kesempatan untuk menarik bagi proses peradilan.

BAB V KESIMPULAN Semua negara hukum perdata memiliki konstitusi formal yang menetapkan hak-hak dasar asasi manusia, termasuk, baik oleh implikasi atau referensi langsung, hak wajib pajak. Hal ini tidak mengherankan bahwa dengan preferensi untuk hukum hukum terhadap peraturan administratif, beberapa negara hukum sipil (civil law countries) telah mengadopsi sebuah piagam wajib pajak yang terpisah atau deklarasi hak-hak wajib pajak. Negara hukum umum (common law countries), sebaliknya, lebih mungkin untuk memiliki beberapa bentuk piagam atau pernyataan hak-hak pembayar pajak, biasanya dokumen administrasi dari berbagai lingkup dan nilai, merujuk pada kemauan otoritas pendapatan (Amerika Serikat menjadi pengecualian). Dari semua bangsa-bangsa terakhir, pembayar pajak Jepang memiliki sedikit perlindungan hak-hak mereka. Oleh karenanya, adanya tekanan untuk reformasi dari situasi ini tidak dapat diterima.

Daftar Pustaka Muljono, Djoko, 2010, Hukum Pajak – Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis Muljono, Djoko, 2010, Panduan Brevet Pajak – Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan Sawyer, Adrian J., 2007, A Comparison of New Zealand Taxpayers’ Rights with Selected Civil Law and Common Law Countries—Have New Zealand Taxpayers Been “Short-Changed”?, ______________, 2010, Hak dan Kewajiban Perpajakan, Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kemeterian Keuangan RI Sumarsan, Thomas, SE, MM, 2010, Perpajakan Indonesia – Pedoman Perpajakan yang Lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF