Habitat, Mikrohabitat, Relung

March 6, 2017 | Author: nnvbnc | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Habitat, Mikrohabitat, Relung...

Description

HABITAT, MIKROHABITAT dan RELUNG

MAKALAH untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi yang dibimbing oleh Ibu Dra. Hawa Tuarita, M.S dan Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Oleh: Offering B Kelompok 5 Dinar Valentin Dyah A.M.P.P Edy Kurniawan

130341614791 130341614816

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Januari 2015

A. Habitat Suatu habitat adalah suatu perangkat kondisi fisik dan kimiawi (misalnya ruang, substratum, iklim) yang mengelilingi suatu spesies tunggal, suatu kelompok spesies, suatu komunitas besar. Jadi habitat suatu makhluk adalah tempat hidup atau tempat untuk tumbuh makhluk tersebut atau tempat untuk memperoleh makhluk itu. Habitat dapat berbeda mengenai luas atau ragamnya, jadi dapat berupa sebuah hutan untuk jenis hewan tertentu atau seluruh perairan untuk makhluk perairan atau hanya seluas usus untuk jenis hewan yang ada di usus suatu makhluk (Soetjipta, 1993). Istilah habitat banyak digunakan, tidak saja dalam ekologi tetapi tetapi dimana saja. Umumnya istilah itu diartikan sebagai tempat hidup sesuatu makhluk. Jadi, habitat Notonecta (binatang air), adalah daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang dangkal yang penuh ditumbuhai vegetasi; yakni daerah yang harus di datangi seseorang yang bermaksud mengumpulkan makhluk ini. Habitat tumbuhan Trillium adalah didalam hutan ugahari yang tua, lembab dan ternaungi. Pelbagai jenis dalam genus Notonecta atau Trillium dapat dijumpai dalam habitat umum yang sama tetapi memperlihatkan sedikit perbedaan dalam lokasinya, dalam kejadian dimana kita dapat mengatakan mikrohabitatnya berbeda. Jenis lainnya dalam genera ini memperlihatkan perbedaan habitat besar atau makrohabitat (Odum, 1983). Habitat dapat juga menunjukkan tempat yang diduki oleh seluruh komunitas. Misalnya, habitat komunitas “sand sage grassland” merupakan seri bukit tanah berpasir yang terdapat disepanjang sisi utara sungai-sungai di sebelah selatan daerah Great Plains di Amerika Serikat. Habitat dalam kasus ini kebanyakan terdiri dari kompleks – kompleks fisik atau biotik, sedangkan habitat seperti yang digunakan terhadap Notonecta dan Trillium, tersebut diatas, mencakup objek – objek hidup dan juga mati. Jadi habitat suatu jenis makhluk atau sekelompok makhluk (populasi) meliputi baik makhluk lain sebagai lingkungan yang biotik maupun lingkungan yang abiotik. Suatu deskripsi habitat untuk komunitas hanya meliputi lingkungan yang abiotik. Hal ini perlu dijelaskan untuk mencegah kekacauan, walaupun dimungkinkan penggunaan dua macam pengertian mengenai habitat yang tersebut diatas itu (Soetjipta, 1993). Menurut Begon dkk (1986) dalam Soetjipta (1993) sejarah kehidupan yang dilayakkan oleh seleksi alami tergantung pada habitat makhluk yang bersangkutan. Jadi habitat memainkan peranan penting dalam mencetak sejarah kehidupan. Tiap tiap habitat makhluk, seperti sejarah kehidupan makhluk, adalah unik. Dalam uraian tentang hamparan habitat Odum (1983) menyebutkan bahwa dengan mempelajari suatu habitat yang tertentu akan dikenali makhluk dan faktor fisik yang sesungguhnya menyertai suatu ekosistem tertentu. Dengan demikian akan diperoleh pandangan mengenai misalnya metode, peralatan dan kesukaran teknis yang dapat diterapkan pada situasi yang spesifik (Soetjipta, 1993). Habitat merupakan lingkungan yang khas dan mantap bagi jenis organisme yang menempati. Yang dimaksud dengan khas adalah kondisi faktor – faktor lingkungan (suhu, kelembaban, tekanan udara, struktur tanah dan lain lain) serta sumber daya (cahaya, makanan, tempat pembuatan sarang dan lain lain) berada dalam keadaan yang menunjang kehidupan suatu jenis organisme sehingga dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak. Didalam habitat yang stabil ukuran populasi mencapai tingkat yang tertinggi. Kondisi lingkungan dikatakan mantap karena perubahan kondisi-kondisi lingkungan di dalam habitat sangat kecil dan berada dalam batas toleransi jenis organisme. Perubahan kondisi lingkungan yang lebih besar di dalam habitat tetapi bersifat siklik (misalnya : perubahan musim) masih dapat diantisipasi jenis organisme yang menempati, misalnya hewan-hewan mengadakan estivasi pada musim kemarau panjang. Jenis – jenis penghuni biasanya tidak dapat bertahan hidup di dalam habitatnya jika terjadi perubahan kondisi lingkungan yang erratic, yaitu perubahan mendadak yang berukuran besar dan terjadi dalam selang waktu yang amat lama (misalnya bencana alam) (Susanto, 2000). 1. Habitat Utama dalam Biosfer a. Habitat air tawar Air tawar bersifat penting dan merupakan bahan yang paling melimpah di dalam protoplasma, sehingga dapat dikatakan bahwa semua makhluk hidup bersifat “akuatik”. Dalam prakteknya yang dikatakan sebagai habitat akuatik adalah habitat dengan air sebagai medium eksternal dan internal. Ekosistem perairan tawar secara umum dibagi menjadi dua yaitu perairan mengalir (lotik water) dan perairan menggenang (lentik water). Perairan lotik dicirikan adanya arus yang terus menerus dengan kecepatan bervariasi sehingga perpindahan massa air berlangsung terus menerus, contohnya antara lain sungai, kali, kanal, parit dan lain lain. Perairan menggenang disebut juga perairan tenang yaitu perairan dimana aliran air lambat atau bahkan tidak ada dan massa air terakumulasi dalam periode waktu yang lama. Arus tidak menjadi faktor pembatas utama bagi biota yang hidup didalamnya. Contoh perairan

lentik antara lain: waduk, danau, kolam, telaga, situ rawa dan dan lain (Barus, 2000 dalam Rina, 2012). Berdasarkan proses pembentuknya, waduk dan kolam merupakan salah satu contoh ekosistem perairan menggenang buatan, sedangkan situ, telaga dan rawa merupakan contoh dari ekosistem alami. Perairan tawar menjadi habitat berbagai macam organisme perairan seperti ikan, plankton, kelompok crustacea, alga, bivalvia, gastropoda, amphibi dan lain lain. 1) Perairan Mengalir (lotik) Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas membedakannya dari air menggenang walaupun keduanya merupakan habitat air tawar. Semua perbedaan itu tentu saja mempengaruhi bentuk serta kehidupan tumbuhan dan hewan yang menghuninya. Satu perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air yang mengisi cekungan itu, tetapi danau setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya, sungai terjadi karena airnya sudah ada sehingga air itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya (Ewusie, 1990:186). 2) Perairan Menggenang (lentik) Perairan menggenang dibedakan menjadi perairan alamiah dan perairan buatan. Berdasarkan proses terbentuknya perairan alamiah dibedakan menjadi perairan yang terbentuk karena aktivitas tektonik dan aktivitas vulkanik. Beberapa contoh perairan lentik yang alamiah antara lain adalah danau, rawa, situ dan telaga, sedangkan perairan buatan antara lain adalah waduk (Ewusie, 1990). Habitat air tawar hanya bagian kecil permukaan bumi bila dibandingkan dengan habitat perairan lainnya, tetapi kepentingannya bagi kehidupan makhluk hidup terutama manusia jauh lebih besar dibandingkan jenis perairan lainnya, karena (Soetjipto, 1993): 1) Perairan tawar merupakan sumber air yang paling murah dan paling mudah untuk keperluan rumah tangga serta untuk keperluan industri. Air mungkin dapat diperoleh dengan pemrosesan air laut tetapi dengan biaya yang mahal. 2) Air tawar merupakan bagian penting dalam daun hidrologik. 3) Ekosistem perairan tawar dapat digunakan sebagai suatu sistem pembuangan limbah yang paling murah dan mudah. Menurut Odum (1983:11), zonasi pada perairan air tawar berbeda dengan zonasi perairan air laut. Zonasi perairan air tawar dapat dibedakan berdasarkan letak dan intensitas cahaya sebagai berikut: 1) Zona Litoral Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan daratan. Organisme yang biasanya ditemukan antara lain adalah tumbuhan aquatik berakar atau mengapung, siput, kerang, crustacea, serangga, ampfibi, ikan, perifiton dan lain-lain. 2) Zona Limnetik Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi dan zona litoral disisi lain. Zona ini memiliki berbagai variasi secara fisik, kimiawi maupun kehidupan di dalamnya. Organisme yang hidup dan banyak ditemukan di daerah ini antara lain ikan, udang dan plankton. 3) Zona Profundal Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit cahaya matahari dibandingkan daerah litoral dan limnetik. Bagian ini dihuni oleh sedikit organisme terutama organisme bentik karnivor dan detrifor. 4) Zona Sublitoral Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal. Sebagai daerah peralihan zona ini banyak dihuni oleh banyak jenis organisme bentik dan juga organisme temporal yang datang untuk mencari makan. Di sungai umumnya terdapat dua zona yang jelas, yaitu (Soetjipto, 1993): 1) Zona riam Merupakan perairan dangkal yang kecepatan arusnya besar sehingga dasar perairan itu bersih dari debu dan bahan lepas lainnya dan merupakan substratum yang kokoh. Zona ini dihuni oleh hewan bentik serta hewan periphytik yang mengkhususkan diri untuk mampu melekat atau menggantung dengan erat pada substratum yang kokoh dan dihuni oleh makhluk perenang yang kuat. 2) Zona kuala Merupakan zona perairan sungai yang lebih dalam dengan kecepatan air berkurang sehingga silt dan bahan mudah lepas cenderung mengendap ke dasar perairan, sehingga berupa dasar yang lunak, tidak layak untuk bentos permukaan tetapi layak untuk bentos penggali, nekton, dan beberapa kasus seperti plankton.

Perairan danau dapat dikelompokkan menjadi danau oligotrofik, danau eutrofik dan danau eutrofik berdasarkan pada produktifitas primernya. Produktivitas atau disebut juga “fertilitas” suatu danau tergantung pada zat hara yang diterima oleh danau dari drainase wilayah sekelilingnya, tergantung pada umur geologik dan tergantung kedalaman danau itu. Berdasarkan keadaan nutrisinya, Payne (1986) menggolongkan danau menjadi 3 jenis yaitu: 1) Danau Oligotrofik Danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi. 2) Danau Eutrofik Danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah. 3) Danau Distrofik Danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawasenyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik. b. Habitat air laut Lautan itu luas, menutupi 70 persen permukaan bumi. Lautan itu dalam dan makhluk hidup terdapat di semua kedalaman. Habitat lautan itu tidak terpisah-pisah seperti habitat daratan dan habitat perairan darat. Semua lautan itu berhubungan, suhu, salinitas, serta kedalaman merupakan barrier utama untuk gerakan bebas makhluk lautan. Sirkulasi lautan sedemikian efektif sehingga kekurangan kekurangan oksigen seperti yang terjadi di perairan tawar secara komperatif jarang terjadi di kedalaman lautan. Seperti halnya perairan tawar, perairan laut juga dibagi menjadi beberapa zona yaitu:

Gambar Struktur topografi dasar laut, kedalaman, kolom air di atasnya dan efektifitas sinar matahari (Wiadnya, 2012) 1) Coast-line atau garis pantai (Wiadnya, 2012) Batas air laut terakhir mencapai darat (pada beberapa teks, digunakan istilah shore-line, yang artinya sama dengan coast-line). Garis pantai secara praktis bersifat dinamis, tergantung kondisi pasang surut, tide. Setiap hari, setiap garis pantai mengalami air naik ke arah darat dan turun ke arah laut. Pasang ialah ketika air laut datang dan naik ke arah darat. Surut ialah sebaliknya, air turun ke arah laut. Besarnya pasang atau surut ditentukan oleh umur bulan, ialah posisi bulan dan matahari pada bumi. Ketika

keduanya terletak dalam posisi satu garis pada bumi, menyebabkan gaya gravitasi terbesar dan tercapai pasang tertinggi. Pasang tertinggi ini disebut pasang purnama, terjemahan dari istilah spring tide. Pada hari yang sama juga akan terjadi surut terendah. Perbedaan tinggi air antara pasang dan surut di Indonesia, umumnya bervariasi antara 2 – 3 m. Ketika posisi bulan dan matahari membentuk sudut terbesar pada bumi, gaya tarik bulan dan matahari pada bumi minimal, dan tercapai pasang surut terendah, disebut neap tide atau pasang perbani (pada kebanyakan teks, spring tide diterjemahkan sebagai pasang perbani). 2) Zona littoral Wilayah (dasar laut) antara pasang tertinggi dan surut terendah. Pada saat surut terendah, seluruh wilayah littoral akan terbuka dan tidak tergenangi air laut. Zona littoral merupakan wilayah dengan variasi faktor lingkungan yang sangat bervariasi dalam waktu yang relative singkat. Organisme yang mampu tinggal pada wilayah littoral mempunyai mekanisme tertentu untuk beradaptasi terhadap variasi lingkungan yang ekstrem. Beberapa jenis karang (coral colony – akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian keragaman hayati) bisa bertahan hidup dan menempati wilayah pada ujung zona littoral. Daerah ini sering disebut dengan istilah reef-crest, ialah lokasi gelombang laut pecah di pantai (Wiadnya, 2012). 3) Neritic(k) ialah Kolom air paling atas pada laut, di atas paparan benua. Zona neritic atau sublittoral, ialah wilayah dari batas littoral sampai batas atas paparan benua (shelf), sampai kedalaman 20 – 50 m. Wilayah neritik dan littoral ialah lokasi yang sangat penting sebagai pendukung kehidupan organisme di laut. Formasi bakau, padang lamun, rumput laut dan pantai berpasir ialah habitat dominan yang terdapat pada wilayah littoral. Semua jenis habitat tersebut diketahui sangat penting untuk ikan dan avertebrata laut lainnya. Zona neritic atau sublittoral juga merupakan wilayah yang sangat penting bagi keragaman hayati dan sumber daya perikanan. Bagian atas dari zona neritic, sampai kedalaman sekitar 20 m, ialah tempat untuk habitat terumbu karang. Tempat yang sama juga dihuni oleh berbagai jenis ikan karang dan ikan-ikan lain yang sebagian hidupnya tinggal pada terumbu karang. Hampir semua jenis ikan karang termasuk kategori sangat komersial atau komersial, jika tidak untuk tujuan konsumsi, dia bermanfaat untuk tujuan aquarium. Jenis ikan laut yang menjadi perhatian utama untuk komoditas budidaya, hampir semuanya ialah ikanikan karang (Wiadnya, 2012). 4) Istilah contonental shelf, diterjemahkan sebagai paparan benua Wilayah dasar perairan dari zona neritik sampai kedalaman 200 m. Wilayah ini dicirikan dari dasar lumpur, pasir atau berbatu (rock) dengan asumsi sinar matahari efektif hanya sampai pada kedalaman 200 m. Paparan benua ialah dasar yang hampir datar, dengan kemiringan < 1°, menurun ke arah laut lepas. Dia menerima sedimen, nutrien dan berbagai bentuk bahan organik lain dari daerah di sekitarnya. Sumber utama sedimen umumnya berasal dari sungai atau pantai di atasnya. Paparan benua ialah dasar laut yang relatif datar, menjadi perangkap bahan organik dari pantai, kaya dengan nutrien dan sinar matahari relatif sampai di dasar. Kombinasi dari empat faktor tersebut menyebabkan paparan benua menjadi tempat berbagai jenis kehidupan di laut. Paparan benua, bersama wilayah di atasnya (littoral dan neritik) merupakan tempat dari 80% flora dan fauna laut. Wilayah ini menghasilkan 90% dari total hasil tangkap perikanan (ikan dan komoditas perikanan lainnya) di dunia. Pada beberapa wilayah tertentu, paparan benua ialah tempat untuk penambangan minyak, gas alam dan deposit mineral – semuanya berada pada wilayah sekitar 8% dari dasar laut di dunia (Wiadnya, 2012). 5) Continental slope atau lereng benua Mulai dari kedalaman 200 m sampai 700 – 1.000 m. Kemiringan pada lereng benua jauh lebih tajam dibandingkan pada paparan benua, umumnya antara 3 – 6°. Kedua wilayah, paparan benua dan lereng benua sering disebut dengan landas kontinen. Lereng benua umumnya relatif sempit dengan kemiringan tajam, lebarnya bervariasi antara 6 – 10 km. Beberapa teks menyatakan bahwa landas kontinen di laut juga menjadi bagian dari landas kontinen di darat (Wiadnya, 2012). Wilayah di bawah lereng benua berturut turut, ialah: bathyal, abyssal dan hadal. Wilayah kolom air di atas dasar laut disebut pelagic(k). Seperti telah disebutkan, neritik ialah kolom air paling atas pada laut, di atas paparan benua. Oseanic(k) ialah wilayah kolom air paling atas pada bagian laut lepas (terbuka), dari batas neritik. Ikan pelagik oseanik, dengan demikian, ialah jenis ikan yang bermigrasi luas, di luar wilayah neritik. Sebaliknya, ikan neritik berada di dekat pantai. Secara vertikal, wilayah pelagik (kondisi yang ekstrem) bisa dibedakan menjadi zona photic(k) dan zona aphotic(k). Zona photik atau disebut juga euphotik, ialah wilayah pada air laut secara vertikal, dari permukaan sampai pada kedalaman sekitar 200 m, mendapat sinar matahari secara optimal untuk melakukan photosyntesis. Hampir semua organisme tergantung, secara langsung atau tidak langsung, dari produksi tumbuhan dari wilayah ini.

Kolom air pada wilayah photik disebut juga dengan istilah epi-pelagik. Aphotic(k) ialah wilayah pada air laut secara vertikal, berada di bawah zona euphotic, tidak mendapat penetrasi sinar matahari secara optimal. Zona euphotik terbagi atas wilayah: meso-pelagik, bathy-pelagik, abyssal-pelagik dan hadalpelagik. Wilayah meso-pelagik, pada beberapa teks, juga disebut dengan istilah twilight zone. Dia menerima sinar matahari, namun dalam jumlah yang tidak optimal bagi tumbuhan untuk melakukan photosyntesis. Sebagian organisme laut juga tinggal pada wilayah meso-pelagik. Ketika mencari makan, dia akan bergerak ke atas, wilayah epi-pelagik. Dia juga bisa menerima jatuhan material atau organisme mati yang tenggelam ke bawah (Wiadnya, 2012). c. Habitat Estuaria Estuari yang berasal dari bahasa Latin aestus, berarti pasang-surut (Odum, 1971 dalam Rositasari dan Rahayu, 1994). Estuaria adalah suatu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut atau transisi antara habitat tawar dan habitat laut. Habitat estuaria lebih subur (produktif) sehingga daerah ini menjadi daerah asuhan (nursery ground) yang baik bagi larva maupun udang, ikan dan kerang, bahkan menjadikan estuaria sebagai habitat sepanjang hidupnya (Genisa et al., 1999 dalam Indarmawan dan Manan, 2011). Wilayah estuaria merupakan pesisir semi tertutup (semi-enclosed coastal) dengan badan air mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka (open sea) dan kadar air laut terlarut dalam air. Pada wilayah tersebut terjadi percampuran antara masa air laut dengan air tawar dari daratan, sehingga menjadi air payau. Wilayah ini meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan mangrove dekat estuaria dan hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis, karena selalu terjadi proses dan perubahan baik lingkungan fisik maupun biologis. Bercampurnya masa air laut dengan air tawar menjadikan wilayah estuaria memiliki keunikan tersendiri, yaitu terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi (Supriadi, 2001). Berdasarkan salinitas (kadar garamnya), estuaria dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (Bengen, 2002) : 1) Oligohalin yang berkadar garam rendah (0,5% – 3 %) 2) Mesohalin yang berkadar garam sedang (3% – 17 %) 3) Polihalin yang berkadar garam tinggi, yaitu diatas 17 % Perbedaan salinitas di wilayah estuaria mengakibatkan terjadinya proses pergerakan masa air. Air asin memiliki masa jenis lebih besar daripada air tawar, menyebabkan air asin di muara yang berada di lapisan dasar dan mendorong air tawar menuju laut. Sistem sirkulasi dalam estuaria yang demikianlah mengilhami proses terjadinya up-welling. Proses pergerakan antara masa air laut dan air tawar ini menyebabkan terjadinya tipe stratifikasi yang kemudian, menyebabkan terjadinya stratifikasi yang kemudian mendasari tipe-tipe estuaria, yaitu: 1) Estuaria berstratifikasi sempurna Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, cirinya adanya batasan yang jelas antara air tawar dan air laut/asin. Air tawar dari sungai merupakan lapisan atas dan air laut menjadi lapisan bawah. Terjadinya perubahan salinitas dengan cepat dari arah permukaan ke dasar. Estuaria ditemukan didaerah-daerah dimana aliran air tawar dan sebagian besar lebih dominan daripada intrusi air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut (Rositasari dan Rahayu, 1994).

Gambar 1.1 Tipe estuaria berstratifikasi sempurna (Supriadi, 2001) 2) Estuaria berstratifikasi sebagian atau parsial Estuaria berstratifikasi sebagian atau parsial terjadi apabila aliran sungai berkurang dan arus pasang surut lebih dominan maka terjadi percampuran antara sebagian lapisan masa air (Supriadi, 2001).

Gambar 1.2 Tipe estuaria berstratifikasi sebagian atau parsial (Supriadi, 2001) 3) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal (well-mixed estuaries) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal (well-mixed estuaries), jika aliran sungai kecil atau tidak ada sama sekali, dan arus serta pasang surut besar, maka perairan menjadi tercampur hampir keseluruhan dari atas sampai dasar (Supriadi, 2001).

Gambar 1.3 Tipe estuaria campuran sempurna (Supriadi, 2001) d. Habitat Terestrial Dalam menjelaskan konsep habitat terrestrial atau habitat daratan Odum (1986) menuliskan bahwa dalam habitat terrestrial terdapat biomassa tumbuhannya. Di dalam lingkungan terrestrial maka kajian ekologik cenderung memberi tekanan pada prinsip organisasi populasi dan organisasi komunitas dan proses perkembangan yang autogenik. Ciri habitat terrestrial antara lain sebagai berikut (Soetjipto, 1993): 1. Kelembaban secara sendirian mampu menjadi fakor pembatas di daratan. Makhluk terrestrial secara konstan berhadapan dengan masalah dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh. Transpirasi atau proses evaporasi air dari permukaan tubuh tumbuhan merupakan peristiwa unik. 2. Perbedaan suhu dan harga ekstrim suhu lebih nyata di lingkungan udara dari pada di medium air. 3. Sirkulasi udara yang cepat diseluruh muka bumi berakibat kandungan gas oksigen dan gas karbondioksida bercampur dan konstan. 4. Tanah merupakan pendukung yang padat. Kerangka yang kuat didalam makhluk tumbuhan dan makhluk hewan yang memiliki alat pergerakan mengalami proses evolusi diatas habitat tanah. 5. Daratan tidak seperti lautan tidak kontinyu. Ada barrier yang penting untuk perpindahan yang bebas bagi makhluk hidup. 6. Sifat substratum terutama vital dilingkungan terrestrial. Tanah adalah sumber zat hara yang sangat berbeda beda. Iklim (misalnya suhu kelembaban dan lainnya) dan substratum (fisiografi tanah dan lainnya) ialah dua kelompok faktor yang bersama dengan interaksi populasi menentukan sifat komunitas terrestrial dan ekosistem terrestrial. Tiap-tiap kawasan benua cenderung memiliki flora dan fauna sendiri yang istimewa. Kepulauan seringkali memiliki perbedaan yang besar dengan benua. Relevansi yang istimewa terdapat didalam evolusi komunitas terrestrial merupakan subyek dalam biogeografi (Soetjipto, 1993). 2. Klasifikasi Habitat Menurut Waktu dan Ruang Suatu klasifikasi habitat secara umum disarankan oleh Southwood (1977 dalam Begon dkk (1986)) yang menganggap bahwa habitat itu berbeda menurut waktu dan ruang. Menurut waktu, dari sudut pandang makhluk, suatu habitat dapat dikenal dengan 4 macam, yaitu : 1) Panggah (konstan), yang dalam hal ini kondisi dapat tetap layak atau tetap tidak layak sampai kapanpun;

2) Suatu habitat dapat bersifat dapat diperkirakan secara musiman, dalam hal ini pergantian yang teratur mengenai periode layak dan periode tidak layak 3) Suatu habitat mungkin tidak dapat diperkirakan, dalam hal ini periode layak tentang lamanya yang berbeda diselingi oleh periode yang tidak layak yang berbeda, atau 4) Suatu habitat dapat bersifat ephemeral, ialah habitat yang dalam suatu periode layak yang dapat diprakirakan untuk jangka waktu pendek diikuti oleh periode tidak layak untuk jangka waktu yang tidak berhingga. Menurut ruang, suatu habitat dapat : 1) Berkesinambungan, yaitu area yang layak lebih besar daripada daerah yang dapat diliput oleh makhluk walaupun menggunakan mekanisme dispersif yang khusus; 2) Suatu habitat dapat bertambalan, dengan pengertian ialah habitat yang layak dan habitat yang tidak layak berselang seling; 3) Atau suatu habitat dapat terasing, daerah yang layak terletak terlalu jauh jaraknya dari daerah layak lainnya untuk suatu makhluk memencar di antara keduanya (kecuali dalam hal yang jarang dan kebetulan). Klasifikasi habitat menurut waktu dan ruang ini dapat digabungkan, sehingga ada duabelas tipe habitat gabungan. Adapun dua tipe habitat yang bersifat ephemeral berkesinambungan dan bersifat ephemeral terasing. 3. Klasifikasi Habitat dengan Pengaruh Demografik Suatu pilihan atau mungkin lebih pantas disebut sebagai cara yang melengkapi dalam klasifikasi habitat adalah memusatkan pengaruh “ukuran besarnya” makhluk pada kelangsung-hidupan dan fekunditas di waktu yang akan datang, yaitu pada nilai reproduktif residual atau disingkat NRR. Beberapa tipe habitat yang berbeda adalah : 1) Habitat yang menguntungkan ukuran besaran makhluk, yang bagi individu-individu yang sudah mapan, NRR bertambah dengan cepat dengan bertambahnya ukuran besarnya masing – masing individu. Disini tampak nyata adanya biaya reproduksi, sebab reproduksi masa kini menuntun ke arah ukuran besar yang lebih kecil daripada yang mungkin, yang selanjutnya menuju ke berkurangnya NRR 2) Habitat yang netral terhadap ukuran besar atau habitat yang detrimental terhadap ukuran besar, sebagai kontras, dalam habitat ini NRR individu yang mapan terpengaruh sedikit atau sebenarnya berkurang dengan ukuran besar yang berkurang. Dengan demikian pada habitat ini biaya reproduksi dapat diabaikkan. 3) Habitat yang menguntungkan ukuran besarnya keturunan, merupakan habitat yang menyebabkan NRR untuk keturunan bertambah dengan cepat bersama dengan bertambahnya ukuran keturunan. (untuk individu dalam masa prereproduktif dan NRR adalah sama). 4) Habitat yang netral terhadap ukuran besarnya keturunan atau yang detrimental terhadap ukuran besarnya keturunan. Tujuan klasifikasi habitat tersebut diatas ini terutama adalah untuk memperlihatkan kontras antara satu habitat dengan habitat lainnya, dibanding dengan memberi perian secara mutlak. Penting untuk disadari bahwa suatu habitat dapat digolongkan dalam suatu jenis khusus untuk berbagai alasan misalnya habitat yang menguntungkan ukuran besar makhluk ada dua alasan utama. Yang pertama ukuran yang besar akan menguntungkan bilamana ada persaingan yang sengit diantara individu yang telah mapan sehingga yang mampu langsung hidup dan bereproduksi hanya individu yang paling besar dan yang paling baik. Pejantan sejenis kijang merah menunjukkan bahwa hanya kompetitor yang paling baik yang mampu memilki sekelompok betina, adalah suatu contoh hal ini. Dan yang kedua ukuran yang besar akan menguntungkan terutama bila makhluk dewasa yang mengecil rentan sebagai sumber kematian oleh pemasangan atau kematian secara abiotik. Kerang besar akan mampu tumbuh dengan laju petumbuhan yang lebih cepat daripada laju pemangsaan oleh kepiting atau bebek. Habitat dapat netral atau detrimental pada ukuran besarnya makhluk barang kali dengan tiga alasan. Pertama, banyak kematian dapat saja memang tidak dapat dihindari atau tidak pilih – piilih, tanpa mengingat ukuran besarnya makhluk. Misalnya bila sebuah kolam mengalami kekeringan maka kebanyakan individu akan mati tanpa mengingat ukuran besar makhluk tersebut. Yang kedua, kondisi sedemikan buruknya dan bersama adanya persaingan yang bebas bagi individu yang mapan, sehingga semuanya saja memiliki probabilitas tinggi untuk langsung hidup dan keluaran reproduksi besar. Yang ketiga, suatu habitat dapat detrimental terhadap ukuran besar makhluk karena ada sumber mortalitas

penting yang menyukai makhluk yang berukuran besar. Misalnya, di Amazon ada burung pemangsa lebih menyukai mangsa spesies ikan cyprinodont tertentu. 4. Klasifikasi Habitat dengan Semelparitas dan Iteroparitas, serta Prekoksitas atau Penangguhan Dengan klasifikasi secara demografik dapat dicari pola berdasarkan perbedaan antara habitat yang memungkinkan semelparitas (=sifat individu dalam spesies semelparitas yang hanya memiliki kesempatan reproduktif sekali dalam hidupnya, setelah itu mati), atau iteroparitas (= sifat individu dalam spesies iteropara yang memiliki banyak kesempatan reproduktif kontinyu selama suatu musim atau seluruh tahun), dan penangguhan nisbi atau prekoks (= “cepat dan cepat mampu bereproduksi) nisbi yang dimungkinkan. Diandaikan ada empat makhluk hipotetik yang hidup di suatu habitat yang netral terhadap ukuran besarnya makhluk. Ada 100% kelangsung-hidupan dalam musim salju untuk semuanya (tanpa mengingat ukuran besarnya), dan tidak ada pertambahan sesudah fekunditas diakibatkan dari pertambahan ukuran besar tubuhnya yang timbul oleh hambatan reproduktif. Dari empat makhluk itu makhluk pertama bersifat prekoks dan semelpara yang bereproduksi setelah satu tahun telah menginvestasikan secara maksimal kedalam tiga keturunanya dan dia sendiri lalu mati. Makhluk yang kedua bersifat prekoks tetapi iteropara. Makhluk itu reroduksi setelah satu tahun dan tiap tahun sesudah itu, tetapi investasinya dalam pertumbuhan dan produksi selanjutnya hanya satu keturunan tiap tahun. Makhluk yang ketiga bersifat semelpera tetapi reproduksinya tertangguhkan sampai tahun kedua, ialah menghasilkan tiga keturunan lalu dia mati. Makhluk keempat bersifat iteropara dan tertangguhkan reproduksi pertamanya sampai tahun kedua, dan menghasilkan satu keturunan tiap tahun seterusnya. Tampak jelas bahwa di habitat yang netral terhadap ukuran besarnya makhluk, maka prekoksitas jauh lebih sukses daripada yang tertangguhkan, dan semelparitas jauh lebih sukses daripada iteroparitas. Individu yang bersifat prekoks memiliki lama generasi lebih pendek dan laju pertambahan populasi lebih besar. Pada individu bersifat semelpara yang membuat investasi besar dalam reproduksi, terdapat laju reproduktif dasar yang lebih besar. Prekoksitas dan semelparitas hanya dimungkinkan sebab makhluk yang tertangguhkan dan iteropara mengalami tidak adanya pertambahan dalam NRR sebagai konsekuensi hambatan reproduktif yang merupakan akibat hambatan reproduktif (ialah individu prekoks dan semelpera tidak memperhatikan biaya reproduksi). Pada suatu habitat yang menguntungkan ukuran besar makhluk, jika individu yang semelpara prekoks dan semelpara tertangguhkan diperbandingkan, maka individu yang tertangguhkan, oleh karena ukuran besar tubuhnya bertambah, menghasilkan sepuluh ( bukan hanya tiga ) keturunan bila mereka bereproduksi. Ini berarti satu lebih banyak daripada cacah yang dihasilkan oleh dua generasi individu yang prekoks, dan penangguhan lebih disenangi oleh seleksi alami. Jika makhluk yang semelpara prekoks diperbandingkan dengan makhluk yang iteropara prekoks pada waktu musim salju, dan jika kondisi waktu musim salju pada saat perbandingan itu sangat ganas, maka tetua yang iteropara memiliki kelangsung-hidupan sebesar 100 % (karena ukuran tubuhnya besar ), dan individu yang semelpara yang ukuran tubuh kecil memiliki hanya 33% kelangsung-hidupan. Individu yang bersifat iteropara meninggalkan keturunan lebih banyak pada generasi berikutnya dan lebih disukai oleh seleksi alam. Dalam habitat yang menguntungkan terhadap ukuran besar makhluk, penangguhan dan iteroparitas menuntun kearah pertambahan ukuran besar tubuh yang selanjutnya menuju ke pertambahan NRR lebih besar daripada berkurangnya keluaran yang menyertainya. Penangguhan dan iteroparitas menghadiahkan suatu nilai reprofuktif total yang lebih tinggi tinggi daripada prekoksitas dan semelparitas, ternyata bahwa penangguhan dan iteriparitas disenangi oleh seleksi alam. Dihabitat yang netral bagi ukuran besar makhluk dan pada habitat yang detrimental terhadap ukuran besar makhluk, maka penangguhan dan iteroparitas menuntun ke pertambahan ukuran besar tetapi menyebabkan pertambahan tidak berarti atau malah menyebabkan pengurangan NRR. Prekoksitas dan semelparitas dengan demikian akan disenangi. Tetapi makhluk – makhluk harus berkompromi mengenai prekoksitas dan semelparitas sendiri sebagai faset pada sejarah kehidupannya. Suatu makhluk semelpera mengembangkan semua keturunannya secara simultan serta tidak melepas bebaskan mereka satupun sampai makhluk itu membebaskan mereka semua. Jika makhluk tersebut memproduksi dan membebaskan satu tiap waktu, makhluk itu akan dapat memproduksi lebih awal. Dengan kata lain makhluk semelpera harus membayar biaya semelparitas dengan suatu jumlah tertentu penangguhan reproduktif.

Habitat netral terhadap ukuran besar makhluk cenderung menyukai semelparitas atau iteroparitas yang sangat prekoks. Lahan yang ditanami adalah sebagai contoh baik suatu habitat yang menguntungkan ukuran besarnya makhluk sebab mortalitas makhluk dewasa tidak pilih-pilih, jadi tanah dibajak pada tiap waktu tanam sehabis panen sebelumnya dan tanaman yang sudah mapan dimatikan tanpa mengingat ukuran besarnya mkhluk sebab mortalitas mkhluk dewasa tidak pilih-pilih, jadi tanah dibajak pada tiap waktu tanam sehabis panen sebelumnya ukuran besaarnya. Flora gulma dimatikan tanpa mengingat ukuran besarnya. Flora gulma yang karakteristik terdiri atas tanaman annual yang semelpera dan prekoks. B. Mikrohabitat Habitat-habitat di alam ini umumnya bersifat heterogen, dengan area-area tertentu dalam habitat itu yang berbeda vegetasinya. Populasi-populasi hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masingmasing. Bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat. Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya, maka berbagai spesies hewan yang berkonsentrasi dalam habitat yang sama (= berkohabitasi) akan menempati mikrohabitatnya masing-masing. Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan (Johnson, 1980). Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, makrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit. Contoh makrohabitat dan mikrohabitat : Organisme penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur lainnya hidup pada sel-sel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut makrohabitat. Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, titik maksimum dan titik optimum disebut titik cardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik minimum atau maksimum, makhluk hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain. Misalnya jika terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau, dapat dipastikan bakau tersebut tidak akan bertahan hidup. Apabila perubahannya lambat, misalnya terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru di luar batas semula.Melalui proses adaptasi itu sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain yang disebut varietas baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru. Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya acapkali tidak nyata/jelas. Namun demikian mikrohabitat memegang peranan penting dalam menentukan keanekaragaman spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies akan berkonsentrasi pada mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai contoh, dalam suatu habitat perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum dapat dibedakan menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya berbatu-batu sedang lubuk hampir tidak berarus, relatif dalam dan dasarnya berupa lumpur dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di riam dan ada beberapa populasi yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di lubuk. Pemilihan atas dasar mikrohabitat utama ini dapat dipilah-pilah lagi lebih lanjut, seperti bagian permukaan batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan serasah dan sebagainya. Pemilihan atas dasar mikrohabitat-mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan masalah perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari berbagai spesies hewan yang manempati habitat perairan tersebut. C. Relung Dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya, organisme mempunyai peranan atau menduduki posisi tertentu bagi pihak lain. Misalnya kambing berperan atau berposisi sebagai pemakan rumput dan menjadi mangsa dari harimau di dalam lingkungan hidupnya. Posisi itu juga berlaku terhadap lingkungan fisik yang ada di sekitarnya. Peranan dan posisi organisme terhadap lingkungannya di dalam suatu ekosistem disebut relung (nische) (Susanto, 2000).

Pengertian relung sebenarnya lebih ditekankan pada fungsi setiap organisme terhadap komunitas dibandingkan dengan tempatnya secara fisik di dalam habitat (Clarke, 1963 dalam Susanto, 2000). Lebih lanjut, Colinvaux (1986) dalam Susanto (2000) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian yang berbeda tentang relung, meskipun semuanya saling berhubungan. Penjelasannya sebagai berikut. 1) Relung sebagai fungsi komunitas (Relung Kelas I) Dalam pengertian ini, relung berarti tempat hewan di dalam lingkungan biotiknya, dalam hubungan dengan makanan dan musuh. Relung ini juga dapat disebut relung komunitas, misalnya ular berperan sebagai pemangsa katak dan merupakan makanan burung elang. Dalam rantai makanan, relung dalam pengertian ini dinyatakan sebagai tingkat trofik, artinya jika suatu hewan menduduki suatu tingkat trofik tertentu maka tingkat trofik tersebut merupakan relungnya di dalam rantai makanan. Misalnya kijang menduduki tingkat trofik II mempunyai relung sebagai trofik II bagi organisme lain dalam rantai makanan yang didudukinya, dalam rantai makanan tersebut kijang mempunyai relung sebagai pemangsa produsen dan menjadi mangsa dari konsumen yang menduduki trofik di atasnya (Susanto, 2000). 2) Relung dalam definisi jenis (Relung Kelas II) Relung dapat didefinisikan dari sudut pandang individu di antara populasinya. Maka relung adalah sejumlah kemampuan khusus dari individu untuk memanfaatkan sumber daya, bertahan dari bahaya dan berkompetisi sesuai dengan keperluannya. Kemampuan-kemampuan individu yang sudah teradaptasi merupakan ciri dari populasi atau jenisnya dan ciri itu merupakan relung jenis (species nische). Contoh: burung Robin yang aslinya hidup di Amerika mempunyai kemampuan yang sudah teradaptasi yaitu menarik cacing dari liangnya, berburu serangga, menerima panggilan dari sesamanya, bernyayi bersama sesamanya dan mempunyai keterampilan navigasi untuk bermigrasi ke tempat yang jauh sebanyak dua kali dalam setahun. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan cara hidup yang khas dari burung Robin dan merupakan relung jenis burung Robin. Relung kelas I dan kelas II sama-sama menjelaskan tentang profesi hewan, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya reling kelas I menyoroti burung Robin sebagai pemangsa cacing dan menjadi makanan elang (perannya terhadap komunitas), sedangkan relung kelas II memandang peran burung Robin bagi dirinya sendiri (relung jenis) yaitu menarik cacing, menghindarkan diri dari elang, dan lain-lain. Relung kelas II hanya dimiliki oleh burung Robin yang hidup di Amerika dan tidak dapat diisi oleh burung Robin dari Eropa (Susanto, 2000). 3) Relung sabagai kualitas lingkungan (Relung Kelas III) Relung jenis ini hanya dapat dijalankan pada kondisi-kondisi tertentu saja. Misalnya, kemampuan burung Robin untuk menarik cacing hanya dapat dilakukan di lingkungan yang banyak cacingnya. Maka dari itu pengertian relung jenis ada hubungannya dengan kondisi-kondisi lingkungan khusus. Colinvaux (1986) dalan Susanto (2000) menyebutnya dengan environmental space, dimana suatu populasi dapat bertahan hidup dan berkembang biak secara optimal. Berdasarkan prinsip ini definisi tentang relung menurut MacFayden adalah sejumlah kondisi ekologis dimana jenis dapat mengkolonialisasi sumber energi secara efektif sehingga mampu berkembang biak dan selanjutnya dapat mengkolonialisasi kondisi lingkungan tersebut. Sementara pengertian relung menurut Hutchinson adalah suatu hipervolume yang multidimensional dari akses-akses sumber daya. Definisi Hutchinson dapat dijelaskan sebagai berikut. Organisme dari suatu jenis dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak, serta mempertahankan populasinya hanya dalam batas temperature tertentu. Rentangan temperatur itu merupakan relung hanya dalam satu dimensi, yaitu dimensi suhu (Susanto, 2000). Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kemampuan jenis untuk bertahan hidup, tumbuh, berkembang biak, mempertahankan posisinya tidak hanya temperatur, tetapi juga beberapa faktor lain. Jika faktor yang dihadapi oleh suatu hewan dalam bertahan hidup, tumbuh, berkembang biak, dan mempertahankan populasinya ada dua, misalnya suhu dan kelembaban, maka relung hewan menjadi relung dua dimensi. Jika faktor yang dihadapi oleh jenis organisme ada tiga faktor, misalnya suhu, kelembaban dan kecepatan angina, relungnya disebut relung tiga dimensi. Di lingkungan tempat suatu jenis organisme beradaptasi tentunya tersedia banyak faktor lingkungan, maka relungnya merupakan relung multidimensional (Susanto, 2000). Daftar Rujukan Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ewusie, J Yanney. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB Press.

Gede Wiadnya. 2012. Laut dan Fungsinya. (Online) (http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/1Laut-Dan-Fungsinya.pdf) diakses pada 17 Januari 2015. Indarmawan, Taufik dan Manan, Abdul. 2011. Pemantauan Lingkungan Estuaria Perancak Berdasarkan Sebaran Makrobenthos. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. (Online). 3(2): 215-220 (http://fpk.unair.ac.id/backup/administrator/components/com_jresearch/files/publications/13%20P EMANTAUAN%20LINGKUNGAN%20ESTUARIA.pdf) diakses pada 17 Januari 2015. Odum, F.P. 1983. Basic Ecology. Philadelphia: Saunders. Payne,A.T.1986.The Ecology of Tropical Lake and Rivwer. New York: John Willy and Sons Inc. Rina, Ahadiati. 2012. Studi Keanekaragaman Jenis Zooplankton untuk Mengetahui Kualitas Perairan di Telaga Jongge Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. S1 thesis. Universitas Negeri Yogyakarta (Online) (http://eprints.uny.ac.id/9402/3/bab%202%20-%2005308144026.pdf) diakses pada 17 Januari 2015. Rositasari, Ricky dan Rahayu, Sri Kusdi. 1994. Sifat-Sifat Estuari Dan Pengelolaannya. Jurnal Oseana (Online). 19(3): 21-31 (http://www.eafm-indonesia.net/public/files/penelitian/bfbabSifat_Sifat_Estuaria_dan_Pengelolaannya.pdf) diakses pada 17 Januari 2015. Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Supriadi, Indarto Happy. 2001. Dinamika Estuaria Tropik. Oseana. (Online) 26(4): 1-11 (http://www.oseanografi.lipi.go.id/sites/default/files/oseana_xxvi(4)1-11.pdf) diakses pada 17 Januari 2015. Susanto, Pudyo. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF