Graves disease penyakit grave

October 1, 2017 | Author: putra300911 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

makalah dibutuhkan untuk tugas problem based learning...

Description

Graves Disease pada Wanita Dewasa Kezia Ariesta Beno (102010167) Catherine Dorinda Candawasa (102011293) Ray Sirvel (102012030) Ferina Evangelin (102012101) Maria Theresia Diegonia (102012212) Theonoegroho Josias Abraham (102012243) Dian Nurul Hikmah (102012292) Jovianto Reynold AH (102012313) Josephine Talitha Getruide (102012457) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat, 11510 [email protected]

Pendahuluan Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda usia 20 –40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur . Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar yang terletak di leher bagian depan, di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi untuk memproduksi hormon tiroid yang berfungsi untuk mengontrol metabolisme tubuh sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal. 1

Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4cm yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus lateral dihubungkan melalui sebuah ismus yang sempit. Organ ini terletak di atas permukaan anterior kartilago tiroid trakea, tepat dibawah laring. Folikel adalah unit fungsional kelenjar tiroid. Setiap folikel ditutup sebuah lapisan sel sel folikular epithelial tunggal, yang membungkus suatu rongga sentral. Rongga folikel berisi koloid yang tersusun terutama dari protein globular tiroglobulin. Tiroglobulin adalah bentuk cadangan hormone tiroid dan juga berfungsi dalam sintesis hormone tiroid. Kelenjar tiroid mensekresi dua jenis hormone yaitu: a. Tiroksin atau tetraiodotironin (T4) mencapai 90% dari seluruh sekresi kelenjar tiroid. b. Triiodotironin (T3) disekresi dalam jumlah kecil.1 Jika TSH mengikat reseptor sel folikel, maka akan mengakibatkan terjadinya sintesis dan sekresi tiroglobulin yang mengandung asam amino tirosin ke dalam lumen folikel . iodium yang tertelan bersama makanan dibawa aliran darah dalam bentuk ion iodide (I -) menuju ke kelenjar tiroid. Sel-sel folikular memisahkan iodide dari darah dan mengubahnya menjadi molekul (unsure) iodium. Molekul iodium bereaksi dengan tirosin dalam tiroglobulin untuk membentuk molekul monoiodotirosin dan diidotirosin. a. Dua molekul diiodotirosin membentuk T4 (tiroksin) b. Satu molekul monoidotirosin dan satu molekul

diidotirosin

membentuk

T3

(triiodotironin) Sejumlah besar T3 dan T4 disimpan dalam bentuk tiroglobulin selama berminggu-minggu. Saat hormone tiroid akan dilepas dibawah pengaruh TSH, enzim proteolisis memisahkan hormone dari tiroglobulin. Hormone berdifusi dari lumen folikel melalui sel-sel folikular dan masuk ke sirkualsi darah. Sebagian besar hormone tiroid yang bersirkulasi bergabung dengan protein plasma (terutama globulin pengikat tiroksin yang diproduksi hati) untuk transpor.1 Efek fisiologis hormone tiroid antara lain Hormone tiroid meningkatkan laju metabolic hampir semua sel tubuh. Hormone ini menstimulasi konsumsi oksigen dan memperbesar pengeluaran 2

energi, terutama dalam bentuk panas. Efek lainnya yaitu pertumbuhan dan maturasi normal tulang, gigi, jaringan ikat, dan jaringan saraf bergantung pada hormon-hormon tiroid. Fungsi lainnya antara lain meningkatkan volume darah, meningkatkan curah jantung, meningkatkan kebutuhan terhadap vitamin, metabolisme iodium, merangsang sintesis protein.2 Fungsi tiroid diatur oleh hormone perangsang tiroid (TSH) hipofisis dibawah kendali hormone pelepas tirotropin (TRH) hipotalamus melalui sistem umpan balik hipofisis-hipotalamus. Faktor utama yang mempengaruhi laju sekresi TRH dan TSH adalah kadar

hormone tiroid yang

bersirkulasi dan laju metabolic tubuh. Anamnesis Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien, setiap dokter harus melakukan anamnesis. Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan terhadap pasien. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai misalnya dalam keadaan gawat darurat. Hal-hal yang ditanyakan dokter pada pasien dalam melakukan anamnesis antara lain: 1. Identitas. Meliputi nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, alamat, pekerjaan, pendidikan terakhir, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang pasien yang dimaksud. Penyakit Graves biasanya lebih sering terjadi pada pasien wanita daripada pria. Dalam kasus skenario, pasien adalah seorang wanita berusia 35 tahun. 2. Keluhan utama. Merupakan alasan spesifik atau keluhan yang dirasakan seseorang sehingga ia datang ke dokter atau rumah sakit. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indicator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Dalam kasus, yang menjadi keluhan utama adalah sering berdebar-debar, sesak, keringat banyak terutama di leher, kepala dan punggung meskipun berada di ruangan berAC. Keluhan penyerta berupa pasien banyak makan tapi berat badannya menurun. 3

3. Riwayat penyakit sekarang. Merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. 4. Riwayat penyakit dahulu. Tanyakan apakah pasien pernah mengalami hal yang sama dengan yang dialaminya sekarang. 5. Riwayat penyakit keluarga. Tanyakan apakah ada anggota keluarga mengalami hal yang serupa dengan pasien. Pada Graves disease, biasanya disebabkan oleh genetik sehingga riwayat penyakit keluarga sangat penting untuk ditanyakan. 6. Riwayat sosial. Tanyakan kebiasaan pasien yang berhubungan dengan kasus. Tanyakan pula apakah ada penyakit-penyakit penyerta seperti hipertensi atau diabetes mellitus.

Pemeriksaan Fisik Diagnosis penyakit Graves kadang dapat ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pembesaran ntiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa oftalmopati dan dermopati biasanya cukup untuk menegakan diagnosis. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada Graves disease adalah: 1. Inspeksi. Amati mata terhadap kemungkinan proptosis (menonjolnya bola mata). Periksa leher terhadap kemungkinan asimetri. Tiroid normal hampir tidak tampak pada inspeksi. Persilahkan pasien untuk menelan sambal mengamati gerakan naik tiroid. Pembesaran tiroid secara difus seringkali menyebabkan pembesaran leher secara merata. Apakah tampak benjolan pada leher juga harus diperhatikan. Lihat juga apakah ada tampak bendungan vena superfisial.bendungan vena di leher pentung untuk dinilai karena mungkin berhubungan dengan goiter. 2. Palpasi. Terdapat dua cara palpasi kelenjar tiroid:3 a. Anterior dilakukan dengan pasien dan pemeriksa duduk berhadapan. Dengan memfleksi leher pasien atau memutar dagu sedikit ke Kenan, pemeriksa dapat merelaksasi muskulus sternokleidomastoideus pada sisi itu sehingga memudahkan pemeriksaan. Tangan kanan pemeriksa menggeser laring ke kanan dan selama menelan, lobus tiroid kanan yang 4

tergeser di palpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Setelah memeriksa lobus kanan, laring digeser ke kiri dan lobus kiri dievaluasi melalui cara serupa dengan tangan sebelah. b. Posterior. Pemeriksa harus berdiri di belakang pasien untuk meraba tiroid melalui cara posterior. Pemeriksa meletakan kedua tangan pada leher pasien yang posisi leher sedikit ekstensi. Pemeriksa memakan tangan kirinya mendorong trakea ke kanan. Pasien dimminta menelan sementara tangan kanan pemeriksa meraba tulang rawan tiroid. Saat pasien menelan, tangan kanan pemeriksa meraba kelenjar tiroid berlatar belakang muskulus sternokleidomastoideus. Konsistensi kelenjar harus dinilai. Kelenjar tiroid normal mempunyai konsistensi mirip jaringan otot. Keadaan padat keras terdapat pada kanker atau luka parut. Lunak atau mirip spons seringkali dijumpai pada goiter toksika. Nyeri tekan pada kelenjar tiroid terdapat pada infeksi akut atau pendarahan ke dalam kelenjar. 3. Auskultasi. Pada pembesaran tiroid perlu dilakukan auskultasi untuk mendengar adanya bruit (bising yang terdengar bila terjadi percepatan aliran dalam pembuluh). Terdapat bruit tiroid sistolik terutama jika terdengar di atas polus superior, menunjukan adanya aliran darah yang abnormal besar dan sangat mungkin terdapat pada goiter toksika. Selain dari pemeriksaan umum diatas, dapat juga dilakukan pemeriksaan khusus untuk grave disease dengan oftalmopati yaitu: a. Tanda stellwag: mata jarang berkedip b. Tanda von grafe: saat melihat kebawah, palpebral superior tidak dapat mengkikuti bulbus oculi sehingga antara palpebral superior dan cornea terlihat jelas sclera bagian atas. c. Tanda moebius: sukar mengadakan dan mempertahankan konvergensi d. Tanda Joffroy: tidak dapat mengerutkan dahi e. Tanda Rosenbach: tremor dari palpebral jika mata tertutup

Pemeriksaan Penunjang

5

1. Laboratorium darah. Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs, maka diagnosis hipertiroid dapat ditegakkan. Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat, maka harus dicurigai adanya tumor pituitary yang memproduksi TSH. Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah, maka FT3 harus diperiksa, diagnosis Graves’ disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila FT3 rendah didapat pada euthyroid sick syndrome atau pada penderita yang mendapatkan terapi dopamine atau kortikosteroid.4 2. Radionuclear thyroid scanning. Menggunakan I-131 atau I-123 (iodium radioaktif) yang diminumkan ke pasien, kemudian menunggu sebentar supaya efeknya bekerja kemudian lakukan scan untuk melihat keadaan apakah terjadi hot nodule, warm nodule atau cold nodule. Hot nodule berarti uptake yodium radioaktif meningkat yang menjadi penanda dari hipertiroid. Warm nodule berarti uptake yodium radioaktif menurun (pasti tetap uptake iodium hanya saja tidak berlebihan) menunjukan normothyroid. Cold nodule berarti tidak ada uptake iodium yang menandakan hipofungsi tiroid yang disebabkan karena jaringa tiroidnya hilang, misalnya jika terdapat massa tumor/kista/jaringan fibrotik. Pemeriksaan ini diindikasikan jika tiroid tidak teraba/tidak membesar, jika hanya terdapat nodul kecil, terasa nyeri dan sakit di leher. 3. Ultrasonografi (USG). Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainankelainan yang dapat didiagnosisdengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma. 4. Jika peralatan untuk melakukan pemeriksaan penunjang tidak memadai, maka dapat digunakan Indeks Wayne untuk menentukan diagnosis Graves disease. Indeks Wayne dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 1. Indeks Wayne penentu hipertiroid

6

Differential Diagnosis 1.

Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Struma nodular toksik (Plummer’s disease) pertama sekali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun 1913. Struma nodular toksik merupakan penyebab hipertiroid terbanyak kedua setelah Graves disease. Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan kekurangan iodium. Berbagai variasi mekanisme telah diimplikasikan, akan tetapi pathogenesis molecular belum begitu jelas. Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik: a. Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang mencetus hyperplasia sel tiroid untuk mengkompensasi kadar T4 yang rendah b. Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan factor predisposisi sel tunggal untuk mengalami mutasi somatic dari reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari reseptor TSH 7

bisa membuat factor autokrin yang mempromosikan pertumbuhan yang menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi nodul yang multiple. Struma nodusa ditandai dengan membesarnya sebagian dari kelenjar tiroid. Pembesaran tersebut ditandai dengan benjolan di leher yang bergerak pada saat menelan, bisa tunggal atau lebih. Dari segi fisiologisnya, nodusa terbagi atas toksik dan non-toksik. Dinamakan nodusa toksik bila kelenjar aktif menghasilkan hormon tiroid sehingga produksinya berlebihan. Sebaliknya bila kelenjar tiroid tidak aktif menghasilkan hormon tiroid disebut dengan nodusa non-toksik. Jenis nodusa-non toksik paling banyak ditemukan di Indonesia. Kebanyakan pasien dengan struma nodular toksik menunjukkan symptom yang tipikal dengan hipertiroid seperti tidah tahan terhadap udara panas, palpitasi, tremor, kehilangan berat badan, kelaparan dan peningkatan frekuensi pergerakan saluran cerna. 2. Kanker tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid yang timbul dari sel folikel. Kebanyakan keganasan dikelompokkan sebagai jenis karsinoma tiroid terdifferensiasi, yang

manifest

sebagai

bentuk

papiler,

follikuler,

atau

campuran.

Kanker jarang menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) di dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak dan biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan. Penyebab kanker tiroid sampai saat ini masih belum jelas. Beberapa faktor resiko yang telah diidentifikasi meliputi : Radiasi eksternal pada leher atau kepala khususnya selama masa kanak- kanak. Predisposisi genetik (melibatkan faktor herediter), khususnya pada kanker tiroid type medullar. Perlu dibedakan antara nodul tiroid jinak dan ganas. Yang jinak, dari riwayat keluarga: nodul jinak, strumadifus, multinoduler. Pertumbuhannya relatif besarnya tetap. Konsistensinya lunak, rata dan tidak terfiksir. Gejala penekanan dan penyebarannya tidak ada. Sedangkan yang ganas, dari riwayat keluarga: karsinoma medulare, nodul soliter, Usia kurang dari 20 tahun atau di atas 60 tahun. Pria berisiko dua kali daripada wanita dan riwayat terekspos radiasi leher. Pertumbuhannya cepat membesar. Konsistensi, padat, keras, tidak rata dan terfiksir. Gejala penekanan, ada gangguan menelan dan suara serak. Penyebarannya terjadi pembesaran kelenjar limfe leher.

8

Working Diagnosis Penyakit Graves merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui.

Etiologi Terdapat beberapa faktor predisposisi yang menjadi penyebab penyakit graves antara lain: 1.

Genetik Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3) ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses

autoimun.5 2. Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen pada reseptor LH (7,85%) dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH (20,85%) 3. Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya penyakit autoantibodi tiroid. 4. Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur neuroendokrin. 5. Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium. 6. Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves’ terutama pada penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus 9

dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini. 7. Pada sindroma defisiensi imun (HIV), penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.

Patofisiologi Hipertiroidisme pada penyakit Graves disebabkan oleh aktivasi reseptor tiroid oleh thyroid stimulating hormone receptor antibodies (TSHRab) yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid atau diluar kelenjar tiroid (kelenjar limfe dan sumsum tulang) atau disebabkan proses imunologi yang menyebabkan penurunan dari sel T suppressor sehingga sel T helper akan meningkat (multiplikasi) dan akan merangsang sel B untuk memproduksi TSH receptor antibodies. TSH receptor antibodies akan berikatan dengan TSH receptor pada kelenjar tiroid, meningkatkan cyclic AMP dependent dan merangsang epithel folikular kelenjar tiroid untuk memproduksi tiroksin dan triiodotironin (T4 dan T3) serta merangsang terjadinya hipertrophi dan hiperplasi kelenjar tiroid. Berikatannya Thyroid Stimulating Hormon Antibodi dengan reseptor TSH akan merangsang proses inflamasi dengan pengeluaran faktor-faktor inflamasi (sitokin) interleukin-1, tumor necrosis factor a (TNF-a) dan interferon-γ yang akan merangsang ekspresi molekul adhesi CD54 dan molekul regulator CD40 dan HLA class II sehingga sel akan mengalami proses inflamasi. Mekanisme ikatan dan aktifasi antara thyroid stimulating antibodies dengan receptor tirotropin (TSH receptor) tidak diketahui dengan pasti. Suatu studi mengatakan thyroid stimulating antibodies akan bergabung dengan epitope yang sesuai pada domain ekstraseluler reseptor tirotropin. Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu Tiroglobulin (Tg), ThyroidalPeroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Sel-sel tiroid mempunyai kemmapuan bereaksi dengan antigen tersebut dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, sepertu DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T helper yang selanjutnya akan memacu sel B untuk membentuk antibody terhadap antigen-antigen tersebut.

10

Autoantibodi lain yang juga berpengaruh terhadap reseptor TSH yaitu TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin). Antibody ini (terutama IgG) bertindak sebagai LATS (Long Acting Stimulan Thyroid), mengaktifkan sel-sel dengan cara yang lebih lama dan lebih lambat dari hormone thyroid stimulating normal (TSH) yang menyebabkan produksi tinggi hormone.5 Akibat peningkatan hormon tiroid, memberikan banyak efek yang akan terlihat pada gejala klinis. Efek-efek yang akan terlihat sangat berkaitan dengan fungsi hormon tiroidsecara fisiologis, yaitu hormon tiroid merupakan hormon yang penting untuk regulasi tingkat konsumsi oksigen dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat, sehingga pada keadaan hipertiroidisme akan terjadi peningkatan laju metabolisme baik metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

akbatnya

akan

menimbulkan

gejala

berupa

penurunan

berat badan dimana sesuai dengan kasus berupa penurunan berat badan. Selain itu peningkatan metabolisme juga akan disertai dengan pembentukan panas (kalorigenik) sehingga ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa kulit hangat serta suhu tubuh yang meningkat meskipun peningkatan hanya sedikit dari normal dan biasanya juga akan disertai dengan pasien akan lebih mudah berkeringat.Efek lain yang ditimbulkan akibat hipertiroidisme adalah efek pada sistemkardiovaskuler, akan terjadi peningkatan sensitivitas katekolamin pada jantung ( reseptor beta1) sehingga terjadi perangsangan simpatis yang mengakibatkan peningkatan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung sehingga akan didapatkan keluhan berupa berdebar-debar (palpitasi), selain itu akan terjadi meningkatan volum curah jantung dimana curah jantung adalah frekuensi denyut jantung dikali tahanan perifer, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah pada pasien.

11

Gambar 1. Patofisiologi Graves Disease Penyakit Graves trias yang ditandai oleh hipertiroid, oftalmopati, dan myxedema pretibial dimana jaringan orbita dan kulit juga menjadi target. 1. Ophtalmopati Graves ditandai dengan inflamasi, edema dan fibrosis sekunder jaringan orbita yang menghasilkan manifestasi klinis bervariasi antara lain proptosis, edema palpebra, retraksi palpebra, ulkus kornea, gangguan gerakan otot ekstraokuler dan neuropati optic. OG dapat menyebabkan kebutaan dimana paling sering oleh neuropati optic kompresif. Gejala oftalmopati timbul akibat terjadinya perubahan secara mekanik pada jaringan orbita. Ukuran otot-oto ekstraokuler dan lemak retrobuler yang meningkat sehingga terjadi peningkatan tekanan retrobuler maka akan menimbulkan edema dan hiperemis pada mata, eksoftalmus, gangguann motilitas otot, diplopia dan disfungsi nervus optic. Pembengkakan jaringan retrobuler terjadi akibat sekresi berlebihan dari glikosmainoglikan oleh fibroblasty orbita. 2. Myxedema pretibial. Terjadi pembengkakan pada daerha pretibial bersifat non pitting edema. Keadaan ini terjadi akibat akumulasi dari glikosaminoglikan terutama asam hyaluronat yang disekresi oleh fibroblast dibawah pengaruh sitokin. Myxedema pretibial hanya terjadi pada 1-5% pasien dengan Grave disease. 3. Gejala klinis lain yang dapat dijumpai seperti kelelahan, kulit lebih halus, mudah berkeringat, tidak tahan udara panas, sering berdebar-debar, berat badan menurun, motilitas usus meningkat dan peningkatan frekuensi buang air besar, dapat terjadi dyspnea aktivitas (biasanya pada orang tua).6 12

Epidemiologi Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825,kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dariberbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapimenurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun. Graves disease merupakan penyebab terbanyak kasus hipertiroid di Amerika dan Eropa. Sebuah studi kasus di Minnesota menunjukan terdapat 30 kasus Graves disease per 100.000 orang per tahun.6 Di seluruh dunia, Graves disease menyumbang 60-90% kasus penyebab tirotoksikosis (terbanyak dari penyebab lainnya). Penyakit ini lebih sering menyerang wanita daripada pria dengan perbandingan 5:1. Penatalaksanaan Farmakologi 1. Tirostatika (Obat anti tiroid). Terpenting adalah kelompok derivate tioimidazoll (CMZ, karbimazol 5mg, MTZ, metimazol atau tiamazol 5, 10, 30 mg)dan derivate tiourasil (PTU propiltiourasil 50, 100mg) menghambat proses organifikasi dan reaksi autoimun. Dosis dimulai dengan 30mg CMZ, 30mg MTZ, atau 400mg PTU sehari dalam dosis terbagi. Biasanya dalam 4-6minggu tercapai eutiroidisme. Kemudian dititrasi dosisnya sesuai respon klinis. Lama pengobatan 1-1,5 tahun kemudian dihentikan untuk melihat apakah terjadi remisi atau tidak.7 2. Terapi Radioactive Iodine I9 (RAI) menggunakan sodium iodide-131 telah menjadi modalitas terapi yang secara luas digunakan untuk penatalaksanaan hipertiroid pada pasien dewasa yang disebabkan oleh penyakit Graves di Amerika Serikat sedangkan obat-obat antitiroid tetap menjadi modalitas yang paling sering dipakai di Eropa dan Asia. 131I merupakan satu-satunya isotop yang digunakan untuk terapi tirotoksikosis (isotope lainnya seperti 123I dipakai untuk keperluan diagnostik) karena waktu paruh yang panjang mencapai lebih dari 8 hari. Materi radioaktif ini diberikan secara oral dalam bentuk larutan sodium iodida-131.5 Prinsip penggunaan RAI sebagai terapi pada 13

tirotoksikosis adalah berdasarkan fakta bahwa kelenjar tiroid menggunakan iodin intuk menghasilkan hormon tiroid, dan iodin hampir secara spesifik hanya diserap oleh kelenjar tiroid. Berdasarkan fakta tersebut, penggunaan varian radioaktif dari iodin sebagai terapi pada tirotoksikosis menjadi dapat diterima, karena secara teoritis bahan tersebut tidak akan mengakibatkan efek buruk atau kerusakan pada jaringan lain di luar kelenjar tiroid. Merujuk pada teori dasar tersebut, penggunaan sodium iodida-131 akan menjadi metode yang sempurna untuk menghancurkan jaringan kelenjar tiroid yang overaktif pada kasus penyakit Graves. Mekanisme terapeutik dari RAI adalah sebagai berikut. Pada terapi RAI, pasien akan mendapat sodium iodida-131 secara oral. Kelenjar tiroid kemudian akan menyerap iodin radioaktif tersebut dari aliran darah sama seperti saat kelenjar ini menyerap iodin untuk menghasilkan hormon tiroid dan kemudian bahan ini akan masuk ke folikel-folikel penyimpanan. Efek radiasi dari isotop 131I akan menghancurkan jaringan tiroid secara bertahap, sehingga produksi hormon tiroid diharapkan akan menurun. Dalam beberapa minggu setelah pemberian sodium iodida- 131, penghancuran dari jaringan kelenjar tiroid dibuktikan dari adanya pembengkakan dan nekrosis epitel, disrupsi folikel, edema, serta adanya infiltrasi leukosit. Pasien yang menjalani terapi ini mungkin tidak mendapati perubahan pada gejala penyakitnya dalam waktu singkat, karena terapi ini hasilnya tidak segera terlihat dan membutuhkan waktu selama beberapa minggu sampai bulan.8

3. Tiroidektomi. Pasien yang akan melakukan tiroidektomi, sebaiknya dalam keadaan eutiroid. Prosedur operasi pilihan untuk pengobatan penyakit Graves yaitu tiroidektomi subtotal bilateral, dengan meninggalkan sekitar 2 g jaringan (0,5%), untuk menghindari b ahaya hipoparatiroidisme dan cedera saraf berulang laring. Namun, dengan meningkatnya kecanggihan operasi, telah terjadi kecenderungan tiroidektomi total pada penyakit Graves karena tingkat kekambuhan setelah tiroidektomi subtotal. Tiroidektomi memiliki tingkat kesembuhan tinggi untuk hipertiroidisme karena Graves disease. Tiroidektomi total memiliki resiko hampir 0% kekambuhan, sedangkan tiroidektomi subtotal sekitar 2-8%. Komplikasi yang paling umum berikut tiroidektomi subtotal atau total hipokalsemia(yang dapat bersifat sementara atau permanen), cedera saraf laring (yang dapat sementara atau

14

permanen),

perdarahan

pasca

operasi,

dan

komplikasi

berhubungan

dengan

anestesiumum.7 Pra-operative Kalium iodida pra operasi, solusi jenuh kalium iodida (SSKI- saturated solution of potassiumiodide) atau yodium anorganik, harus digunakan sebelum operasi guna menurunkan tiroidaliran darah, vaskularisasi, dan kehilangan darah selama intraoperatif tiroidektomi. Kalium iodida dapat diberikan obat tetes 5-7 (0,25-0,35 mL) larutan Lugol (8 mg iodida / drop) atau1-2 tetes (0,05-0,1 ml) SSKI (50 mg iodida / drop) tiga kali sehari dicampur dalam air atau jus selama 10 hari sebelum operasi. Post-operative Setelah tiroidektomi, sangat direkomendasikan monitoring kalsium dan hormone paratiroid. Pasien dapat dipulangkan jika mereka tidak menunjukkan gejala dan serum kalsium lebih dari atau sama dengan 7,8 mg / dL (1,95 mmol / L). Apabila hormone paratiroid rendah (
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF