March 12, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Oyog merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan sepanjang usia kehamilan dengan cara dan tujuan yang berbeda. Pada h...
Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi Oyog
Diyah Sri Yuhandani Karlina Suratm i Rika Subarniati Suharmiati
i
Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi, Oyog ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Diyah Sri Yuhandani Karlina Suratm i Rika Subarniati Suharmiati Editor Suharmiati Desain Cover Agung Dwi Laksono Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail:
[email protected]
ISBN 978-602-1099-13-1 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan
v
RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
v vii xi xii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................... 1.2. Masalah Penelitian ................................................. 1.3. Topik Penelitian ..................................................... 1.4. Pertanyaan Penelitian ............................................ 1.5. Tujuan Penelitian ................................................... 1.5.1. Tujuan Umum ..................................................... 1.5.2. Tujuan Khusus ..................................................... 1.6. Luaran .................................................................... 1.7. Manfaat Penelitian ................................................ 1.8. Metode .................................................................. 1.8.1. Kerangka Teori .................................................... 1.8.2. Kerangka Konsep ................................................ 1.9. Tempat dan Waktu Penelitian ................................ 1.10. Jenis Penelitian .................................................... 1.11. Desain Penelitian ................................................. 1.12. Populasi dan Informan Penelitian ......................... 1.13. Cara Pemilihan Informasn .................................... 1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ............... 1.14.1. Instrumen .......................................................... 1.14.2. Cara Pengumpulan Data..................................... 1.15. Analisis Data ........................................................
1 7 8 8 9 9 9 9 9 11 11 12 13 14 14 14 15 15 15 16 17
vii
BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON ........
19
2.1. Gambaran Umum Wilayah ..................................... 2.1.1. Sejarah Cirebon .................................................. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon ............ 2.1.3. Kecamatan Pabedilan ......................................... 2.1.4. Desa Dukuh Widara ............................................ 2.2. Kependudukan ...................................................... 2.2.1. Bahasa ................................................................ 2.2.2. Sarana dan Prasarana ......................................... 2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian ......................... 2.2.4. Perekonomian .................................................... 2.2.5. Organisasi Sosial ................................................. 2.2.6. Sistem Pemukiman ............................................. 2.2.7. Sistem Religi ....................................................... 2.2.8. Kesenian ............................................................. 2.2.9. Pengetahuan ......................................................
19 20 27 33 34 39 39 41 43 49 50 55 57 61 68
BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA ............................................................................ 77 3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ............................ 3.1.1. Gambaran Kondisi KIA ........................................ 3.1.2. Remaja ............................................................... 3.1.3. Penantian Kehamilan .......................................... 3.1.4. Masa Kehamilan ................................................. 3.1.5. Persalinan ........................................................... 3.1.6. Nifas ................................................................... 3.1.7. Neonatus dan Bayi .............................................. 3.1.8. Anak dan Balita ................................................... 3.2. Penyakit Menular .................................................. 3.2.1. TB Paru ...............................................................
viii
77 77 78 96 100 111 116 126 132 139 140
3.2.2. Kusta ................................................................... 3.3. Penyakit Tidak Menular ......................................... 3.3.1. Hipertensi ........................................................... 3.3.2. Diabetes Melitus ................................................. 3.3.3. Gangguan Jiwa .................................................... 3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................ 3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ....................... 3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita ............. 3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif ...................................... 3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun ..... 3.4.5. Memakai Jamban Sehat ....................................... 3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat .................................... 3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur .................................... 4.3.8. Merokok Dalam Rumah ....................................... 4.3.9. Penggunaan Air Bersih ......................................... 4.3.10. Memberantas Jentik Nyamuk.............................
144 152 153 154 156 161 161 164 171 176 177 179 181 183 185 187
BAB IV OYOG, GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI .............................................................................
191
4.1. Dukun Bayi.............................................................. 4.1.1. Karakteristik Dukun Bayi ..................................... 4.1.2. Peran Dukun Bayi ................................................ 4.1.3. Prinsip Kerja Sak Iklase ........................................ 4.2. Tradisi Pijat ............................................................ 4.2.1. Jenis-jenis Pijat .................................................... 4.3. Oyog ...................................................................... 4.3.1. Definisi Oyog ....................................................... 4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat ................ 4.3.3. Gerakan Oyog ..................................................... 4.3.4. Oyog, Anjuran Dari Para Orang Tua ..................... 4.3.5. Jenis-jenis Oyog .................................................. 4.3.6. Manfaat Oyog .....................................................
192 194 202 222 223 223 228 228 232 234 237 240 259
ix
4.3.7. Pro-kontra Oyog ................................................. 4.3.8. Gerakan Oyog dan Leopold ................................ 4.3.9. Faktor-faktor Yang Mungkin Mendorong Seseorang Untuk Dioyog ...................................................... 4.3.10. Kontradiksi Oyog ............................................... 4.3.11. Keberlangsungan Oyog ...................................... 4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog ............
262 265
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................
277
5.1. Kesimpulan ............................................................ 5.2. Rekomendasi..........................................................
277 285
INDEKS ..........................................................................
287
GLOSARIUM .................................................................. DAFTAR PUSTAKA ..........................................................
292 295
x
268 270 276 276
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tabel 4.1.
Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara, tahun 2014 Dukun Bayi Yang Ada di Wilayah Kerja Puskesmas Kalibuntu, 2014
xi
167 193
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10.
Gambar 2.11. Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Kerangka Konsep Penelitian Keraton Kesepuhan Cirebon Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Gebang, salah satu pelabuhan laut terbesar di Kabupaten Cirebon Peta Wilayah Cirebon Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Peta Desa Dukuh Widara Pohon Bidara/Widara Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara Jalan antar kabupaten yang membelah desa Pertanian padi sawah, salah satu mata pencaharian utama penduduk Desa Dukuh Widara Bawang merah, salah satu hasil pertanian Desa Dukuh Widara Pembuatan batu bata dengan memanfaatkan endapan lumpur sungai Cisanggarung Lembaga kursus bahasa asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin keluar negeri Diagram kekerabatan masyarakat Desa Dukuh Widara xii
13 22 25 28 29 32 34 36 38 41
43 44
46
48 52
Gambar 2.15. Gambar 2.16. Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14.
Pemukiman Desa Dukuh WIdara Kompleks makam Sunan Gunung Jati yang banyak dikunjungi Barongan dan pentul Rombongan Burokan yang akan melakukan pertunjukan Jamu bersalin komplit Perawatan bayi oleh dukun bayi Kegiatan Posyandu Penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya Tempat Kegiatan Posyandu Blok Kliwon Desa Dukuh Widara Kegiatan kelas ibu hamil di Desa Dukuh Widara Jamu tradisional yang dikonsumsi saat ibu nifas Anak yang sedang buang air besar di pekarangan pohon bambu Pembakaran sampah oleh warga di pekarangan Peralatan masak yang digunakan salah satu warga masyarakat Tempat masak menggunakan kayu di rumah salah satu warga Suami yang merokok di dalam rumah dekat istrinya yang sedang hamil Tempat mandi dan sumber air untuk mandi warga Tempat penampungan air sementara untuk minum dan masak
xiii
56 58 64 66 118 129 139 161 170 172 174 178 179 182 183 184 185 186
Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6.
Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10.
Tempat penampungan air sementara untuk keperluan sehari-hari Tempat mandi warga Penggunaan kelambu di dalam kamar tidur warga Perlengkapan nebus weteng Bubur lolosan Memandikan bayi oleh dukun bayi Bayi dalam geyongan yang dihias aneka bunga dan perwanten Ritual mangku Ari-ari yang disimpan di dalam kendi tanah liat, dengan bunga-bungaan, lowe ginjel dan angen-angen Ritual nyukur, sajen, dan candil Salah satu gerakan oyog Gerakan oyog yang lain Persamaan manuver Leopold dengan gerakan oyog
xiv
188 188 189 203 206 210 211 213
215 218 235 236 266
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali. Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sangat penting dilakukan Riset Khusus Budaya Kesehatan sebagai upaya peningkatan status kesehatan di masyarakat. Konsekuensi logis harus dipahami bahwa keanekaragam budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah dengan Etnik tertentu. Dengan demikian diharapkan adanya pemahaman budaya daerah secara spesifik, dengan menggali unsur kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik. Secara objektif, setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang bersangkutan. Sehingga setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dialaminya. Berbagai upaya tentunya akan dilakukan oleh setiap orang untuk mengatasi masalah tersebut, melalui pencarian pengobatan dengan self treatment maupun upaya mencari pengobatan ke tenaga kesehatan. Keberadaan budaya kesehatan yang menjadi ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi yang turun temurun, memiliki potensi sangat besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi negatif maupun positif. Kebudayaan yang memiliki dampak positif sudah semestinya dilestarikan, agar tidak pudar bahkan punah oleh arus modernisasi. Namun demikian terhadap budaya yang memiliki pengaruh negatif tidak serta merta harus dihilangkan, karena hal tersebut akan sangat sulit dilakukan. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat dan upaya mengkreasikan/memodifikasi budaya itu sendiri untuk mengurangi/menghilangkan pengaruh dari budaya/tradisi tersebut. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan budaya merupakan salah satu upaya meningkatkan status kesehatan itu sendiri. Indikator penting yang menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah kematian ibu dan bayi. Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Bayi ( AKB ) yaitu sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, menunjukkan bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan untuk mencapai target Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada tahun 2015 , yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup1. Morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil 1
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2012
2
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dan bersalin merupakan masalah yang besar bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan banyak pihak, khususnya Angka Kematian Ibu, yang meningkat sangat signifikan dibandingkan dengan survei 5 tahun sebelumnya, yang angkanya hanya berkisar 278/100.000 kelahiran hidup.2 Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia pada tahun 2011, dan merupakan penyumbang terbesar kedua kematian ibudi Indonesia setelah Provinsi Papua. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia. Selain AKI dan AKB data tentang kondisi kesehatan di masyarakat didapatkan dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, Balita stunting (36,8%) dan akses sanitasi (43%), sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukkan insidens malaria (22,9‰), Balita stunting (35,7%), akses terhadap sumber air minum terlindung (45%), dan akses terhadap pembuangan tinja yang layak sebesar 55,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit tidak menular, penyakit menular, gizi dan PHBS.3 Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan.4 Dari data tersebut di atas nampak bahwa cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan terbukti sebesar 55,4% persalinan terjadi di fasilitas 2
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007
3
Sumber : Kementerian Kesehatan R.I, 2010
4
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesehatan dan sebesar 43,2% melahirkan di rumah. Dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan sebesar 40,2% ditolong dukun bersalin. Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan faktor-faktor sosial budaya.Hasil penelitian Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun 2012 di 12 Etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.5 Keharusan ibu hamil untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan dirumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui oleh keluarga. Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 tentang program Gizi dan KIA menyebutkan indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90 persen dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90 persen serta persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85 persen.6 Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal mudah. Strategi 5
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012
6
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2010
4
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005 – 2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial).7 Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai Etnik bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan alternatif komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya. Salah satu unsur budaya dalam masyarakat yang terkait dengan kesehatan adalah adanya tenaga tradisional yang berperan dalam bidang kesehatan. Tenaga tradisional dalam bidang kesehatan yang terlibat langsung dalam asuhan kesehatan ibu dan anak adalah dukun bayi. Tenaga tradisional tersebut, merupakan salah satu upaya pelayanan kebidanan dalam etnomedis berupa perawatan dalam pemeliharaan kesehatan 7
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau penyembuhan dari sakit yang dilakukan oleh dukun, baik pria maupun wanita, biasanya dilakukan di rumah pasien/penderita atau rumah dukun tersebut. Cara-cara mengobati penderita itu sendiri antara lain: 1) Dengan membaca mantra-mantra sebagai ungkapan memohon pertolongan kepada Tuhan YME. Selain itu, doa atau mantra ini akan menciptakan semacam gelombang suara dengan frekuensi tertentu yang mampu memberikan rangsang atau impuls pada otak sehingga memicu dikeluarkannya hormon-hormon yang sifatnya menenangkan. Kondisi demikian hampir menyerupai fungsi dari obat penenang namun tanpa efek samping. 2) Dengan mengusir setan-setan yang mengganggu. Pada umumnya kegiatan tersebut, disertai dengan menyajikan kurban-kurban ditempat itu. Upacara pengusiran setan memiliki makna sebagai pelepas dosa. Hal ini akan menimbulkan efek secara fisik dan psikologis sehingga pasien merasa terbebaskan dari beban perasaan perbuatan di masa lalu. Efek fisiknya adalah memberikan rasa nyaman dan rileks dikarenakan perasaan sudah terhapus dosa yang perah dilakukannya. 3) Melakukan massage/pijat/mengurut penderita. Hal ini dilakukan sebagai bentuk asuhan sayang pada ibu, karena diyakini oleh para ibu bahwa setiap pijatan memberikan efek relaksasi dan mampu mengurangi rasa nyeri karena berbagai ketidaknyamanan baik dalam kehamilan ataupun dalam persalinan dengan melakukan pemijatan pada daerah tertentu. 4) Pantangan makanan. Pada jenis pengobatan ini, penderita harus melakukan pantangan atau diet yang ditentukan oleh dukun dan pada umumnya berlaku untuk makanan yang berbau amis/anyir, seperti ikan atau ayam. 6
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
5) Bertapa. Ritual ini juga sering dilakukan oleh dukun dengan tujuan untuk mendapatkan ilham. Kadang-kadang dukun juga bertapa untuk menyembuhkan penderita. 6) Pemberian obat tradisional. Obat tradisional yang dimaksud berasal dari tumbuh-tumbuhan segar baik dari daun mudanya, batang, kembang maupun akarnya. Hasil survey menunjukkan bahwa 84,2% desa/kelurahan di Jawa Barat masih memiliki dukun bayi. Di Wilayah Kabupaten Cirebon terdapat sebanyak 448 orang dukun bayi,8 dan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon terdapat 6 dukun bayi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih tingginyaperan dukun bayi dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di masyarakat,khususnya dalam pelayanan kehamilan, pertolongan persalinan dan nifas. 1.2. Masalah Penelitian Dari pemaparan latar belakang tersebut diatas, bisa dipahami bahwa masalah kesehatan terkait erat dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya kajian yang mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan Etnik tertentu. Berbagai aspek yang terkait dengan 7 unsur budaya sangat penting dikaji. Harapannya penggalian tentang kondisi kesehatan masyarakat Desa Dukuh Widara yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan menyertakan unsur-unsur budaya tersebut, akan
8
Sumber: Kementerian Kesehatan RI .Diretorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Provinsi Jawa Barat. 2011.
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membuat gambaran tersebut menjadi lebih konkrit. Pada akhirnya upaya kesehatan yang dilakukan menjadi tepat sasaran. Selain itu pada bidang KIA khususnya didapatkan informasi masih dilakukannya budaya oyog pada ibu hamil. Budaya tersebut masih berlaku secara turun temurun, namun hingga kini, belum ditemukan bukti tentang kemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukannya riset untuk mengetahui bagaimana gambaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) khususnya budaya oyog dalam kehamilan, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Dukuh Widara? 1.3. Topik Penelitian Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon. 1.4. Pertanyaan Penelitian Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit Menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat didi Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon?
8
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.5. Tujuan 1.5.1. Tujuan Umum Mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. 1.5.2. Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat Desa Dukuh Widara. 2) Mengidentifikasi peran dan fungsi sosial masyarakat yang berpengaruh terhadappengambilan keputusan terkait dengan pelayanan kesehatan. 1.6. Luaran/Output 1) Satu buah buku seri Etnografi Kesehatan kabupaten Cirebon 2) Satu buah dokumentasi film Budaya Kesehatan di Kabupaten Cirebon. 3) Satu buah Draf Modul: “Oyog sebagai langkah awal Leopold.” 1.7. Manfaat Hasil riset ini akan sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pembangunan kesehatan dengan memperhatikan 9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kearifan lokal di berbagai elemen antara lain untuk pengelola program kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Pemerintah Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan Daerah. Sementara itu,sebagai pembekalan pengetahuan sangat bermanfaat bagi institusi pendidikan terutama Perguruan Tinggi dan Pendidikan Tenaga Kesehatan lainnya. 1) Bagi Kementerian Kesehatan RI: Menentukan strategi pembangunan kesehatan di berbagai elemen dengan unsurbudaya lokal spesifik. Bagi Dinas kesehatan dan jajarannya: 2) Memberikan masukan pada program untuk peningkatan status kesehatan, khususnyaakselerasi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), penanggulangan penyakit tidak menular dan penyakit menular serta peningkatan perilakuhidup bersih dan sehat dengan pendekatan sosial budaya masyarakat setempat. 3) Bagi perguruan tinggi/akademisi: Menambah pengetahuan dan informasi tentang variasi potensi budaya terkait statuskesehatan masyarakat di Indonesia. Selain itu sangat memungkinkan ditemukan hal-hal baru/inovasi sebagai hasil riset yang dapat diterapkan dalam kurikulum. 4) Bagi masyarakat umum: Diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya setempat/ kearifan lokal.
10
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.8.
Metode
1.8.1. Kerangka Teori Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktivitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, baik lahir maupun batin sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga menjadi pedoman bagi masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya9. Mengutip pandangan dari Heddy Shri Ahimsa-putra (2005), bahwa dalam pandangan pakar ilmuwan sosial budaya, masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya antara fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan masyarakat tersebut berada. Dilihat dari perspektif ini masalah kesehatan tidak lagi dipahami dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan tubuh tetapi memiliki makna yang kompleks, yaitu hasil dari proses interaksi antara unsur-unsur internal dengan unsur ekternal tubuh. Pada masa kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir, budaya juga memberikan kontribusi atau pengaruhnya, misalnya adanya pantangan-pantangan atau anjuran yang masih dilakukan pada masa-masa tersebut. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik, misalnya ada makanan tertentu yang dilarang dikonsumsi misalnya telur, daging dan ikan saat ibu pada 9
Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri. 2005
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masa nifas. Selain itu secara tradisional juga terdapat praktekpraktek yang dilakukan oleh dukun bayi untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk menggembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan tertentu seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan. 1.8.2. Kerangka Konsep Penelitian Teori Blum menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang antara lain perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.10 Lingkungan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah, lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Teori Koentjaraningrat menjelaskan tentang pengaruh tujuh unsur budaya terhadap kesehatan yang meliputi 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) system mata pencaharian; 6) sistem religi dan 7) kesenian.11 Kerangka konsep dalam penelitian ini menggabungkan antara kedua teori tersebut. Kerangka konsep tersebut digambarkan dalam gambar sebagai berikut:
10
Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 2005
11
Sumber: Koentjaraningrat, 2011
12
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.
Keturunan
2.
Pelaya nan
Status Kesehatan n
Lingkungan
Perilaku
3. 4. 5. 6. 7.
UNSUR- UNSUR BUDAYA Kondisi alam, kependudukan & tempat Organisasi sos & sistem kekerabatan Sistem pengetahuan Sistem Teknologi Sistem Mata Pencaharian Sistem religi Kesenian
Gambar 1.1. Kerangka konseppenelitian modifikasi H.L. Blumdan Koentjaraningrat
1.9. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan. Kabupaten Cirebon yang merupakan daerah tidak bermasalah kesehatan dan tidak miskin (KaF). Pertimbangan khusus pada lokasi ini karena di Kabupaten Cirebon terdapat 448 orang dukun bayi(paraji). Para dukun bayitersebut masih berperan melakukan praktek pelayanan kehamilan dengan budaya oyog, yaitu melakukan pijatan pada daerah perut ibu hamil yang bertujuan untuk mengurangi berbagai keluhan dalam kehamilan seperti nyeri perut bagian bawah dan memperlancar persalinan.
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
1.10. Jenis Penelitian Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi. 1.11. Desain Penelitian Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Pada penelitian etnografi ini, peneliti diharuskan terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari data melalui informan yang terpilih. Desain penelitian dengan etnografi memiliki beberapa manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain, yaitu 1) memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan budaya, 2) menemukan teori baru sekaligus mengoreksi teori formal, 3) memahami masyarakat kecil sekaligus masyarakat kompleks, 4) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang dan 5) yang terpenting adalah memahami manusia sekaligus kebutuhannya.12 1.12. Populasi dan Informan Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Desa Dukuh Widara. Informan adalah masyarakat yang terlibat secara budaya dan berpengaruh terhadap kesehatan baik dari sisi provider kesehatan, pengguna fasilitas kesehatan, tokoh-tokoh yang berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan informasiterkait dengan topik penelitian ini.
12
Sumber: Spradley, James P. 1997
14
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.13. Cara Pemilihan Informan Pemilihan informan secara purposif dengan teknik snowball sampling. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah: 1) Remaja, keluarga, dan tetangganya. 2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin, suaminya, dan keluarganya. 3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya, dan keluarganya. 4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang mengetahui budaya setempat. 5) Pengobat tradisional, seperti dukun, paraji (dukun bayi), dan pengobatan alternatif lainnya. 6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Informan berasal dari warga masyarakat yang merupakan warga asli dan bertempat tinggal di Desa Dukuh Widara serta bersedia menjadi informan penelitian yang dibuktikan dengan pernyataan persetujuan informan. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah informan yang tidak paham atau kurang memahami unsur-unsur budaya yang diteliti. 1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1.14.1.Instrumen Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk mengeksplorasi dan mengamati
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
informasi yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan masyarakat setempat. Instrumen pendukung sebagai pedoman untuk mencari data. Instrumen tersebut meliputi: 1. Pedoman Indepth Interview Indepth Interview dilakukan kepada key informant (informan utama), yaitu pelaku budaya itu sendiri atau informan lain yang mengetahui tentang budaya setempat. 2. Pedoman pengamatan Pedoman pengamatan dibuat sebagai pedoman peneliti dalam mengamati fenomenayang ada. 3. Buku catatan harian (logbook). Buku ini digunakan untuk mencatat setiap kejadian yang dialami peneliti setiapharinya. 4. Kamera foto, video dan perekam suara. 1.14.2. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder. Dalam metode kualitatif, yang perlu digali adalah berbagai informasi yang bersumber dari masyarakat itu sendiri (emic). Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek dari kehidupannya, dan keberadaan program/kebijakan kesehatan. Selain wawancara dan observasi partisipatoris, peneliti juga akan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan dengan substansi peneltian.Wawancara mendalam, observasi partisipatif dan bila dibutuhkan kajian dokumen digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih
16
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
mendetail dan mendalam mengenai produk, sarana dan prasarana upaya kesehatan di masyarakat. 1.15. Analisis data Terdapat empat jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif,yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, analisis tema kultural. 1. Analisis Domain. Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran atau pengertianyang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu focus atau pokok permasalahan yang tengah diteliti. 2. Analisis Taksonomi Analisis domain jelas masih belum rinci dan mendalam karena ia merupakan produk kegiatan penjelasan umum. Hasil penjajakan menyeluruh tentu saja masih bergerak di tingkat permukaan. Namun demikian hasil analisis domain tersebut dapat dijadikan sandaran bertolak untuk penelaahan yang lebih rinci dan mendalam, yang perlu difokuskan kepada masalah-masalah atau domain-domain tertentu. Analisis lebih lanjut yang lebih rinci dan mendalam disebut analisis taksonomi. Fokus penelitian ditetapkan terbatas pada domain tertentu yang sangat berguna dalam upaya mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena atau fokus yang menjadi sasaran semua penelitian. 3. Analisis Komponensial Pada analisis taksonomi, yang ditunjukan ialah sruktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain. Hal ini diperoleh melalui observasi dan 17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
wawancara terfokus. Sedang pada analisis komponensial, yang diorganisasikan bukanlah kesamaan elemen dalam domain, melainkan kontras antar elemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan wawancara terseleksi. Analisis komponen memfokuskan pada hubungan ganda antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol lain. 4. Analisis Tema Kultural Analisis tema atau discovering cultural themes, mencari ’benang merah’ yang mengintegrasikan lintas domain yang ada dengan dikaitkannya hasil penelitian dengan konsep – konsep seperti nilai-nilai, orientasi nilai, nilai budaya, simbol budaya, premis, etos, ide-ide, pandangan dunia dan orientasi kognitif. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis sudah dilakukan sejak awal mencari data sampai akhir penelitian. Jadi, sepanjang penelitian dilakukan, peneliti terus menganalisis data yang telah peroleh. Keabsahan data untuk menjamin kredibilitas data kualitatif. Kredibilitas data membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan dunia nyata serta yang terjadi sebenarnya. Terdapat beberapa teknik yang disampaikan untuk mencapai kredibilitas, yaitu dengan teknik triangulasi sumber, pengecekan antar anggota peneliti, perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat, pengamatan secara terus menerus, dan penelusuran referensi.
18
BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON
2.1. Gambaran Umum Wilayah Cirebon, namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tempat awal perkembangan Islam di negeri ini. Dimulai sejak abad 15. “Caruban”, konon itulah nama awal wilayah ini atau “tjarbon” (baca: carbon, dalam Babad Tanah Cirebon13) yang konon berarti: campuran, menandai beraneka ragam masyarakat yang menempatinya. Hal ini bisa mengacu pada percampuran antara masyarakat Jawa dan Sunda yang tinggal di Cirebon mengingat wilayah ini berada di perbatasan antara masyarakat Jawa (Jawa Tengah) dan masyarakat Sunda (Jawa Barat) atau percampuran yang lebih luas karena awal mula berdirinya Cirebon ini dimulai dari sebuah pelabuhan yang di masalalu menjadi tempat persinggahan berbagai Etnik bangsa. Belakangan, pelafalan istilah “Caruban” berubah menjadi “Cerbon” dan pada akhirnya “Cirebon” seperti yang dikenal saat ini. Sebutan “Cirebon” sendiri juga sering dianggap berasal dari kata “Ci” (Ci/ Cai yang dalam Bahasa Sunda berarti air dan sering menandai nama-nama tempat di Jawa Barat seperti: Ciamis, Cipanas, dll) dan “rebon” (sejenis udang kecil yang 13
Sumber: Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Dalam “Babad Cirebon, Koleksi Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon”,. Perpustakaan Nasional RI.
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
banyak dijumpai di perairan laut Cirebon sebagai bahan utama pembuat terasi). Selain itu, istilah lain untuk menyebut Cirebon adalah “Grage” yang konon berasal dari sebutan masyarakat ketika masa kerajaan untuk “Negara Gede” yang kemudian pengucapannya berubah menjadi “Garage/ Grage.” 2.1.1. Sejarah Cirebon Sejarah Cirebon dimulai dari kisah Prabu Siliwangi yang beristrikan Nyai Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran memiliki dua orang anak: Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larang Santang.14 Ketika beranjak dewasa, Walangsungsang tertarik untuk mempelajari agama Islam yang kemudian mendapat penolakan dari ayahandanya. Ia pun kemudian meninggalkan istana, disusul adiknya, Nyai Larang Santang. Walangsungsang kemudian menikah dengan Nyai Endang Geulis, anak dari Ki Gedheng Danuwarsih. Walangsungsang kemudian melanjutkan perjalanan menyinggahi berbagai pertapaan seperti Pertapaan Ciangkup di Desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal, serta Petapaan Gunung Cangak di Desa Mundu Mesigit, hingga akhirnya sampai di Gunung Amparan Jati, dimana ia bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang konon berasal dari Parsi. Setelah memeluk agama Islam, Walangsungsang pun kemudian bergelar Ki Samadollah. Sementara itu, menurut Manuskrip Purwaka Caruban 15 Nagari , pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa 14
Sumber: Dalam “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon” P.S Sulendraningrat, 1984. Cerita dalam buku ini juga nyaris seperti sebuah ‘dongeng’ dan berbau mitos dengan bukti-bukti sejarah yang minim sehingga kebenaran sejarahnya masih perlu banyak pembuktian. 15
Sumber: Seperti termuat dalam website Pemerintahan Kota Cirebon: http://www.cirebonkota.go.id/
20
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
nelayan kecil bernama Muara Jati, yang menjadi tempat singgah kapal-kapal asing. Penguasa kerajaan Galuh (Pajajaran) menunjuk Ki Gedeng Alang-Alang (Ki Danu Sela, adik dari Ki Danurwasih), sebagai pengurus pelabuhan. Ia kemudian memindahkan pemukiman di Lemah Wungkuk dan kemudian diangkat sebagai Kuwu atau pemimpin pemukiman, dan sebagai wakilnya adalah Ki Samadollah. Ki Danu Sela kemudian bergelar Ki Ageng Pengalang Alang dan Ki Samadollah begelar Ki Cakrabumi. Ki Samadollah dan adiknya, Nyai Larang Santang kemudian pergi ke Tanah Suci atas perintah gurunya.16 Sementara istri Ki Samadollah tidak bisa ikut karena sedang hamil. Di sanalah, Nyai Larang Santang kemudian dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad yang bergelar Syarif Abdullah yang konon merupakan keturunan Bani Hasyim. Nyi Larang Santang kemudian berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan dari pernikahan ini melahirkan putra, Syarif Hidayatullah yang kelak bergelar Sunan Gunung Jati. Konon Syarif Hidayatullah ini masih menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad SAW. Sepulang dari Tanah Suci, Ki Samadollah kemudian diberi nama Haji Abdullah Iman. Ketika kemudian Ki Ageng Alang-alang wafat, ia menggantikannya menjadi kuwu dan bergelar Pangeran Cakrabuana. Pada masa kepemimpinan Cakrabuana inilah Kebon Pesisir ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat. Cakrabuana pun kemudian membangun Keraton Pangkungwati, nama yang diambil dari nama putri sulungnya hasil pernikahan dengan Nyai Endang Geulis. Cakrabuana kemudian mendapat gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dan bergelar Sri Mangana. 16
Sumber: Dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. P.S. Sulendraningrat. 1984
21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati mulai mengajarkan Islam. Ia menyinggahi beberapa tempat, salah satu di antaranya Banten. Ia kemudian menikahi adik dari Bupati Kawunganten. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten inilah kemudian lahir Pangeran Saba Kingkin, yang kelak bergelar Maulana Hasanuddin dan mendirikan Kerajaan Banten.
Gambar 2.1. Keraton Kasepuhan, Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Pada tahun 1479 M, Pangeran Cakrabuana menyerahkan Istana Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah, keponakan sekaligus menantunya. Ia kemudian dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon. Pangkungwati berada di bawah kekuasaan Pajajaran, yang ditandai dengan pengiriman upeti. Namun pada masa kepemimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni pada tahun 1482 22
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Masehi, ia membuat maklumat kepada Raja Pajajaran untuk tidak mengirim upeti lagi dan menyatakan kemerdekaan Cirebon.17 Dalam hal ini, Cirebon mendapat dukungan Kerajaan Demak18. Hal itu konon dipicu karena Kerajaan Pajajaran menolak ajakan masuk Islam dari Syarif Hidayatullah yang sudah berulangkali mengirimkan permohonan. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah, terjadi pada tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon. 19 Tindakan Cirebon ini kemudian menimbulkan kekhawatiran Pajajaran, bahwa negeri-negeri lain akan terpengaruh juga. Oleh karena itu selanjutnya Pajajaran mengirimkan pasukan untuk menangkap Syarif Hidayatullah tapi mengalami kegagalan. Dengan kemenangan Cirebon, kemudian banyak pengikut Pajajaran yang menyatakan diri masuk Islam dibawah pengaruh Kesultanan Cirebon . Dalam sejarah, tercatat bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memerintah Pangkungwati dari tahun 14791568. Pada masa pemerintahannya ini, Kesultanan Cirebon berkembang dengan pesat. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam. Ia pun bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pedagang-pedagang asing ramai menyinggahi Pelabuhan Muara Jati, terutama pedagang Tiongkok 17
Sumber: Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M) http://paguyubanwongcirebon. wordpress.com/ (akses: 22 Agustus 2014) 18
“Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989. 19
Sumber: “Sejarah Kabupaten Cirebon”, http://sraksruk.blogspot.com/ 2012/11/ sejara-kabcirebonjawa-Barat.html (akses tanggal 22 Agustus2014)
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang memperdagangkan keramik atau porselen. Untuk memperkuat hubungan antara dua negeri, Syarif Hidayatullah kemudian menikahi Putri Tiongkok yang bernama Ong Tien yang kemudian berganti nama Nyi Ratu Rara Sumanding.20 Bisa dipahami kemudian jika pengaruh Tiongkok ini demikian kental dalam bangunan-bangunan istana yang dihiasi berbagai ornamen khas Tiongkok. Dalam upaya pengembangan kekuasaan Kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah dibantu oleh Fatahillah/ Falatehan21, seorang Panglima Perang dari Demak yang diutus Kesultanan Demak untuk memimpin pasukan yang akan diperbantukan kepada Kesultanan Cirebon untuk merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dari Portugis. Fatahillah kemudian menikah dengan salah seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Wulung Ayu yang kemudian melahirkan putra, Pangeran Muhammad Arifin.
20
Sumber: Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989. 21
Sumber: Ada beberapa versi tentang identitas Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam buku yang ditulis oleh Hasan Basyari, “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” dinyatakan secara tegas bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah bukanlah Fatahillah. Sementara dalam beberapa buku sejarah, seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana (2009), disebutkan bahwa kemungkinan Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Lihat juga “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII”, Drs. M. Harun Yahya, PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995.
24
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Gambar 2.2. Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk memfokuskan diri pada kegiatan dakwah, ada beberapa versi yang menyebut tentang penerus kekuasaan. Satu versi menyebutkan bahwa Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Fatahillah. Namun Fatahillah hanya memerintah selama dua tahun karena pada tahun 1570 ia meninggal dunia dan kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati. Penerus selanjutnya adalah Pangeran Pasarean. Versi lain menyebutkan bahwa Fatahillah tidak pernah menjadi pemimpin Cirebon (namanya memang tidak tertera dalam silsilah di Keraton Kasepuhan). Oleh karena itu, ketika Sunan Gunung Jati berhenti menjadi Sultan, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean dengan Fatahillah sebagai penasehatnya. Namun tak lama memerintah, ia kemudian wafat. Sepeninggal Pangeran Pasarean tidak ada penerus yang bisa dicalonkan sebagai Sultan. Kemudian diangkatlah Aria Kamuning, anak angkat Syarif Hidayatullah yang juga menantu dari Fatahillah. Ia kemudian bergelar Dipati Carbon 1. Pengangkatan Aria Kamuning ini menimbulkan kontroversi
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
karena ia bukanlah keturunan langsung dari Sultan Carbon. Setelah memerintah selama sekitar 12 tahun, pada tahun 1565, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya yang masih muda, Pangeran Mas yang kemudian bergelar Panembahan Ratu I. Pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu, konon Cirebon mengalami kemunduran, sementara Kerajaan Banten semakin berkembang. Setelah Panembahan Ratu wafat, ia kemudian digantikan oleh cucunya, Pangeran Karim atau Pangeran Rasmi yang kemudian bergelar Panembahan Girilaya yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II, karena ayahnya, Pangeran Sedaing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah sudah meninggal. Dari pernikahannya dengan Putri Tegalsari, Panembahan Ratu II dikarunia 3 orang putra: Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya dan Pangeran 22 Wangsakerta. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II ini, Kesultanan Cirebon terjepit di antara dua Kesultanan Besar: Kerajaan Banten dan Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan karena Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya di Mataram. Di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon kemudian terbagi tiga: Kesultanan Kasepuhan, dipimpin oleh Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Kasultanan Katjarbonan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Pembagian wilayah kesultanan ini juga dimaksudkan sebagai upaya Kesultanan Banten untuk memecah kekuatan Cirebon agar tidak beraliansi kepada Mataram. 22
Sumber: Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.
26
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Perpecahan di Kesultanan Cirebon pun kemudian tak bisa terhindarkan lagi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya Kolonial Belanda yang selanjutnya banyak mencampuri dalam hal mengatur Kesultanan Cirebon dalam upaya mengendalikan daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa.23 Cirebon kemudian berkembang menjadi Karesidenan Chirebon yang meliputi Kotamadya dan empat Kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Cirebon pun kemudian menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Cirebon pun kemudian tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh walikota dan bupati. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon Pada awalnyaPusat pemerintahan Kabupaten Cirebon juga berada di Kotamadya Cirebon. Tetapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Tanggal 2 Oktober 1979, ibukota Kabupaten Dati II Cirebon dipindahkan ke Kota Sumber, Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah Selatan Kota Cirebon. Secara administratif, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Letaknya strategis, karena berada di jalur pantura, jalan 23
Sumber: Website Pemerintah Kota Cirebon: www.cirebonkota.go.id/
27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
antar provinsi yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 108°40’ - 108°48’ Bujur Timur dan 6°30’ - 7°00’ Lintang Selatan.24 Luas wilayah daerah administratifnya adalah 990, 36 Km², dengan jarak terjauh Barat-Timur: 54 km dan Utara-Selatan: 39 km, sedangkan ketinggian dari permukaan laut adalah 0-130 mdpl. Topografi wilayahnya beraneka ragam. Laut, dataran rendah hingga pegunungan. Gunung tertinggi adalah Gunung Ceremai, dengan ketinggian 3076 m, merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.
Gambar 2.3. Gebang, salah satu pelabuhan laut (nelayan) terbesar di Kabupaten Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara: Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) - Sebelah Barat: Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) - Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan (Jawa Barat) 24
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon, 2013
28
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
-
Sebelah Timur: Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
Gambar 2.4. Peta Wilayah Cirebon Sumber: httP://wisatacrb.wordpress.com/
Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, terbagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran Kecamatan Klangenan sebelah Timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah Selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah Timur). Berikut adalah nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon: 1. Waled 2. Pasaleman 3. Ciledug 4. Pabuaran 5. Losari, 29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 30
Pabedilan Babakan Gebang, Karangsembung Karangwareng, Lemahabang, Susukan Lebak Sedong Astanajapura Pangenan Mundu Beber Greged Talun Sumber Dukupuntang Palimanan Plumbon Depok Weru Plered Tengah Tani Kedawung Gunungjati Kapetakan Waled Pasaleman Ciledug Pabuaran Losari, Pabedilan Babakan
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
Gebang, Karangsembung Karangwareng, Lemahabang, Susukan Lebak Sedong Astanajapura Pangenan Mundu Beber Greged Talun Sumber Dukupuntang Palimanan Plumbon Depok Weru Plered Tengah Tani Kedawung Gunungjati Kapetakan Menurut data statistik tahun 2013, jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar 2.281.204 jiwa tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Cirebon dengan penduduk terbesar berada di Kecamatan Sumber (86.415 jiwa). Kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan memang tidak merata karena penduduk cenderung lebih banyak di daerah-daerah perkotaan, yang menyediakan lapangan kerja relatif lebih banyak. Mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian, sektor tersebut menyumbang 30% dari Pendapatan Domestik 31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Regional Bruto (PDRB) dengan produk utama adalah padi, selanjutnya perikanan dan peternakan. Salah satu produk perikanan yang terkenal dari Cirebon adalah petis dan terasi. Terasi Cirebon konon sudah terkenal sejak jaman dulu. Terasi terbuat dari rebon, sejenis udang kecil, oleh karena itu sebutan “Kota Udang” seringkali disematkan untuk menyebut Kota Cirebon.
Gambar 2.5 Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Sumber: Muha, Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura.com/sejarah-batik-trusmi
Cirebon juga dikenal sebagai daerah penghasil batik yang berpusat di Desa Trusmi, Plered. Istilah Trusmi sendiri konon berasal dari kata “terus bersemi”, yang menandai adanya pohon di daerah tersebut yang setiap kali ditebang akan tumbuh/ bersemi kembali.25 Pembuatan batik ini konon sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Cirebon. Pada masa itu, salah seorang dari Desa Trusmi diminta Sultan untuk membuat duplikat batik yang ada di Keraton tanpa boleh membawa contohnya. Ternyata 25
Sumber: Sejarah Batik, (http://sanggarbatikkatura.com/)
32
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pembatik Trusmi tersebut mampu melakukannya. Maka selanjutnya dikenal daerah Trusmi sebagai daerah pembuat batik. Adapun motif yang terkenal adalah motif batik Mega Mendung. 2.1.3. Kecamatan Pabedilan Kecamatan Pabedilan terletak di bagian Timur Kabupaten Cirebon. Ibukota kecamatan terletak di Desa Pabedilan Kidul, sekitar 43 km dari ibukota Kabupaten. Kecamatan ini terbentuk pada tahun 1994, dahulu sebagian wilayahnya masuk Kecamatan Losari, dan sebagian Kecamatan Ciledug. Bisa dipahami kemudian kalau desa-desa di kecamatan ini memiliki dua budaya, yakni Sunda (untuk desa-desa yang dulunya masuk Kecamatan Ciledug yang berbatasan dengan Kab. Kuningan) dan Jawa (untuk desadesa yang dulunya masuk Kecamatan Losari, berbatasan dengan Kabupaten Brebes). Menurut data Sensus tahun 2013, jumlah penduduknya adalah sebesar 60.667 jiwa dengan luas wilayah adalah 22. 824 ha, yang meliputi 13 desa, yaitu: 1) Dukuhwidara 2) Kalimukti 3) Kalibuntu 4) Sidaresmi 5) Babakan Losari 6) Babakan Losari Lor 7) Pabedilan Kidul 8) Pabedilan Kulon 9) Pabedilan Kaler 10) Pabedilan Wetan 11) Pasuruan 12) Silihasih 13) Tersana
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.1.4. Desa Dukuh Widara Desa Dukuh Widara merupakan salah satu desa di Kecamatan Pabedilan dan dulunya masuk dalam wilayah Kecamatan Losari. Luas wilayah desa ini adalah 203, 908 ha, 42, 147 ha diantaranya adalah pemukiman, 147, 888 ha persawahan dan sisanya berupa kebun, makam, pekarangan dan prasarana umum lainnya. 26
Gambar 2.6. Peta Desa Dukuh Widara Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Wilayah desa dibagi ke dalam 5 RW dan 5 Dusun (1 RW: 1 Dusun). Dusun, lebih dikenal dengan sebutan “Blok”. Nama-nama Blok, terutama untuk wilayah pemukiman, umumnya mengacu kepada 5 hari pasaran dalam Bahasa Jawa, yakni Blok Pon, Blok Wage, Blok Kliwon, Blok Manis dan Blok Pahing (nama-nama yang sama dijumpai di hampir semua desa sekitar, termasuk 26
Sumber: Data Profil Desa/ Kelurahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, PemKab Cirebon. Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa tahun 2013.
34
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
desa-desa yang penduduknya adalah Etnik Sunda seperti Sidaresmi, Babakan Losari dan sekitarnya). Batas-batas desa adalah: -
Sebelah Utara : Desa Pasuruan (Kecamatan Pabedilan) Sebelah Selatan : Desa Kalimukti (Kecamatan Pabedilan) Sebelah Timur : Kali Cisanggarung (berbatasan dengan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah) Sebelah Barat : Desa Kalibuntu (Kecamatan Pabedilan)
Topografi Desa Dukuh Widara merupakan dataran rendah, dengan ketinggian 4 mdpl dan suhu harian rata-rata 29°C. 2.1.4.1. Sejarah Desa Dukuh Widara Nama Desa Dukuh Widara konon berasal dari nama sejenis tumbuhan, “pohon widara/bidara” yang dulunya banyak tumbuh di tempat itu.27 Adalah Pangeran Suryanegara dari Keraton Cirebon yang memimpin “babat alas” (pembukaan lahan) di daerah itu pada tahun 1800-an. Desa pertama yang didirikan adalah Astana Langgar (Kecamatan Losari), dua desa dari Desa Dukuh Widara sekarang. Perluasan desa ini kelak akan sampai ke tempat yang sekarang adalah Desa Kalibuntu (4 desa ke arah Selatan Astana Langgar). Setelah beberapa waktu, Syekh Muhkyidin, cucu Suryanegara, melakukan babat alas Dukuh Widara dengan dibantu Pangeran Singadiladri, Pangeran Buyut Sajem dan Pangeran Jasanulun. Lokasi yang pertama kali dibuka sekarang merupakan Blok Pon yang kemudian juga dikenal sebagai Blok Desa yang berada di pinggir Sungai Cisanggarung. Pembukaan ini 27
Sumber: Wawancara dengan Ulis/Sekretaris Desa Dukuh Widara, 19 Mei 2014
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
awalnya belum dimaksudkan untuk mendirikan desa, tapi lebih sebagai tempat semedi di pinggir Kali Cisanggarung. Hingga seiring waktu, semakin banyak orang yang berdatangan dan terbentuklah pemukiman.
Gambar 2.7. Pohon Bidara/Widara (Ziziphus Mauritiana). Sumber: http://terapiherbaldaunbidara.wordpress.com/
Dukuh Widara terbentuk menjadi Pedukuhan pada masa kolonial Belanda, tahun 1916. Pemimpinnya adalah Wilaharta dengan juru tulis Martadisastra. Pada tahun 1918, terjadi pergantian pemimpin oleh Cakmat dengan juru tulisnya, Kindi. Setelah masa itu tak diketahui lagi catatan sejarahnya hingga pada tahun 1941, kepemimpinan Dukuh Widara oleh Bunaim yang menjadi pejabat sementara untuk kemudian digantikan oleh KH Abdul Kohar. Keturunan KH Abdul Kohar ini masih bisa hidup dan tinggal di Desa Dukuh Widara. Selanjutnya pada tahun 1942 dipimpin oleh KH Mukaral, yang merupakan pemimpin pertama yang dipilih menggunakan sistem kelompok. Tahun 1944,
36
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pemimpinnya adalah Kuwu Sulkim, selanjutnya pada tahun 1947 dipimpin oleh Kuwu Muja. Pada tahun 1948, adalah awal digunakannya pemilihan dengan sistem biting (lidi) yang menetapkan Kuwu Salim, dilanjutkan oleh KH Mukarom (1967) dan Pejabat Moh Idris (1969), selanjutnya Haji Mukarom terpilih lagi tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1980 merupakan awal pemilihan dengan sitem coblos dan terpilih Haji Mudri. Pergantian pimpinan berturut-turut Sudarno (tahun 1990), PJS Sungkono (tahun 1998), dan Sofiudin pada tahun 2001, beliau menjabat selama 10 tahun (2 x 5 tahun) hingga tahun 2011. Pemilihan dengan sistem contreng dilakukan setelah kepemimpinan Sofiudin berakhir dan menobatkan Slamet sebagai Kuwu Desa Dukuh Widara hingga sekarang (masa jabatan 6 tahun). Pohon Widara, yang dulunya banyak tumbuh di desa itu saat ini nyaris tak bisa dijumpai lagi. Pohon Widara yang cenderung besar dengan dahan dan daun yang rimbun (mirip pohon beringin), acapkali dianggap masyarakat sebagai ‘pohon yang berpenunggu’ sehingga masyarakat kemudian lebih memilih menebangnya daripada membiarkannya tumbuh. 2.1.4.2. Pemerintahan Desa Pemerintahan desa di Desa Dukuh Widara, sebagaimana umumnya sistem adminsitrasi yang sudah diseragamkan oleh pemerintah, yakni dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dipilih melalui sistem pemungutan suara. Sedangkan pejabat-pejabat di bawahnya dipilih oleh Kepala Desa. Dalam Undang-Undang RI No. 22 tahun 1999, pemerintah desa diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk implementasi budaya lokal. Salah satunya diwujudkan dalam peristilahan,
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dimana istilah-istilah dalam jabatan menggunakan istilah lokal. Yakni:
pemerintahan
desa
- Kuwu : Kepala Desa - Ulis : Sekretaris Desa - Lebe :Kepala Urusan (Kaur) Kesra - Polisi Desa :Kaur Pemerintahan - Raksa Bumi :Kaur Ekbang (Ekonomi Pembangunan) - Cap Gawe :Kaur Umum - Lugu : Kepala Dusun Berikut struktur organisasi pemerintahan di Desa Dukuh Widara:
Gambar 2.8. Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon.
38
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.
Kependudukan
2.2.1. Bahasa Jumlah penduduk pada akhir tahun 2013 adalah 6443 jiwa (3273 laki-laki dan 3170 perempuan) yang terbagi ke dalam 1825 KK.28 Kepadatan penduduk adalah 316/km. Mayoritas penduduk adalah ber-Etnik Jawa (±98 %) dan sisanya adalah berEtnik Sunda, dan satu dua orang pendatang. Etnik Jawa di Desa Dukuh Widara adalah “Jawa Cirebon” terutama dalam hal bahasa, memiliki perbedaan dengan mayoritas Etnik Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta ataupun Jawa Timur. Bahasa Jawa Cirebon sekilas mirip dengan dialek “ngapak” Banyumasan atau Tegal, tapi juga tidak bisa dibilang sama karena memilki beberapa kosakata yang berbeda. Hal ini disebabkan interaksi dengan berbagai Etnik bangsa sejak berabad silam, terutama Cina, Arab, Belanda dan juga Sunda. Beberapa kosakata adalah bentuk lama, yang masih digunakan dalam pewayangan seperti “isun (ingsun)” , “manjing”, dan “sira”. Adanya perbedaan bahasa ini, menyebabkan tercetusnya wacana bahwa orang Jawa Cirebon bisa dikategorikan sebagai Etnik tersendiri, yakni “Etnik Cirebon” atau “Etnik Bangsa Cirebon” yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon dan juga wilayah-wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Indramayu, bagian Utara Kabupaten Majalengka , bagian Utara Kabupaten Kuningan, bagian Utara Kabupaten Subang, serta sebagian Pesisir Utara Kabupaten Karawang, lalu di sekitar Kecamatan Losari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.29 Meski begitu, hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut, apakah 28
Sumber: Data Profil Desa/ Keluharahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, Pemkab. Cirebon, Badan Pemb. Masy. & Pemerintahan Desa tahun 2013 29
Sumber: “Orang Cirebon”, http://wikipedia.org/
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Bahasa Jawa Cirebon adalah bahasa yang mandiri atau sebenarnya hanya dialek bahasa saja. Karena berdasarkan penelitian perbedaan kosakata Bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah/Yogyakarta hanya mencapai 75% dan 76 % dengan dialek Jawa Timur, sementara untuk bisa diakui sebagai bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya. Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984), bahasa Cirebon termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Pesisir Utara bagian Barat, dengan Cirebon sebagai pusatnya.30 Berikut beberapa contoh perbedaan bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa Tengah/Yogyakarta/Jawa Timur: Bhs Indonesia Jawa Cirebon Jateng/ DIY Saya/Aku Isun/Kita Kamu Sira Tidak Beli/ Ora Masuk Manjing Dari Sing Akan Pan Tidak Ada Langka Dapat Buleh
Aku Kowe Ora Mlebu Seko Arep Ora Ono Entuk
Bagi orang Jawa yang memilki dialek berbeda, mungkin memang akan sedikit kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang yang menggunakan dialek Jawa Cirebon, namun setelah beberapa waktu, biasanya akan mulai terbiasa dan bisa memahaminya dengan baik. 30
Sumber: Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
40
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.2. Sarana dan Prasarana Desa Dukuh Widara bisa dikategorikan sebagai sebuah desa semi urban. Hal ini ditandai dengan kemudahan akses terhadap berbagai layanan publik mulai dari transportasi, pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya. Desa Dukuh Widara hanya berjarak sekitar 4 km dari ibu kota kecamatan dan sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten. Kota-kota terdekat adalah Losari (±3 km) dan Ciledug (±3 km). Transportasi sangatlah mudah. Desa ini dilalui oleh jalan antar provinsi (alternatif) yang menghubungkan jalur pantura (Kecamatan Losari) di sebelah Utara ke Kecamatan Ciledug, Waled hingga Kabupaten Kuningan, dengan kondisi jalan beraspal yang cukup baik. Selain kendaraan pribadi, untuk mempermudah akses masyarakat, tersedia angkutan umum berupa mobil angkudes dan andong yang beroperasi dari pagi hingga sore hari, dengan rute Losari-Ciledug. Sementara untuk menuju ibu kota kabupaten, angkutan umum Cirebon-Losari beroperasi setiap waktu.
Gambar 2.9. Jalan antar kabupaten yang membelah desa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Untuk sarana telekomunikasi, telepon seluler paling banyak digunakan masyarakat di Desa Dukuh Widara. Berbagai operator telepon seluler memiliki sinyal yang cukup bagus sehingga masyarakat tak kesulitan dalam memilih layanan. Gerai pulsa (voucher) pengisian ulang untuk kartu telepon juga mudah ditemukan, demikian juga dengan berbagai perangkat telepon seluler. Sementara untuk sarana informasi, televisi dimiliki hampir setiap rumah tangga. Sarana hiburan seperti sinetron hingga berbagai berita nasional bisa diakses masyarakat setiap saat. Saluran-saluran televisi nasional dapat menjangkau siaran tanpa harus menggunakan antena parabola. Akses-akses masyarakat terhadap layanan umum juga relatif mudah karena tersedianya berbagai fasilitas umum. Untuk sarana pendidikan juga cukup lengkap. Mulai dari Playgroup (3 buah), TK (1 buah), Madrasah Diniyah (3), SD/MI (5 buah). Sementara untuk pendidikan lanjutan, sebuah Madrasah Tsanawiyah terdekat berada di Desa Kalimukti dengan jaraksekitar 1 km dari Desa Dukuh Widara dan SMP di Losari (± 2 km), sementara untuk Sekolah Lanjutan Atas, terdapat di Losari, Ciledug atau Pabedilan. Sedangkan untuk sarana kesehatan, ada tiga tenaga kesehatan yang tinggal dan membuka praktek di Desa Dukuh Widara (2 bidan dan 1 mantri). Puskesmas Pembantu berada di tengah-tengah desa, menyediakan pelayanan dari pagi hingga tengah hari, enam hari dalam seminggu (Senin-Sabtu). Pelayanan yang relatif lebih lengkap ada di Puskesmas utama, Puskesmas Kalibuntu yang berjarak sekitar 2 km dari desa. Sedangkan rumah sakit terdekat ada di Kecamatan Waled, Kota Cirebon, Kabupaten Tegal atau Kabupaten Kuningan.
42
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian 2.2.3.1. Pertanian Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Dukuh Widara adalah bertani, baik sebagai petani pemilik/ penggarap lahan maupun buruh tani berjumlah 2454 orang. Jenis pertanian di Desa Dukuh Widara adalah pertanian sawah dengan luas areal persawahan 147,888 ha yang dimiliki oleh kurang dari 500 orang, dimana kepemilikan lahan mayoritas kurang dari 10 ha. Persawahan di Desa Dukuh Widara adalah persawahan dengan sistem irigasi dengan tanaman utama berupa padi.
Gambar 2.10. Pertanian padi sawah, salah satu mata pencaharian utama penduduk Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Masa tanam 2-3 kali dalam setiap tahunnya. Masa tanam 3 kali hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki sawah di sebelah Barat sedangkan untuk yang di sebelah Timur hanya 2 kali. Hal ini disebabkan sistem pengairan irigasi akan terhenti pada musim kemarau (Agustus-Oktober). Pemilik/penggarap 43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sawah di bagian Barat diuntungkan karena berdekatan dengan Kali Cisanggarung sehingga masih bisa mendapatkan pengairan pada musim seperti itu. Pada musim tanam ke-3, biasanya petani akan menanam tanaman selain padi, seperti jagung, bawang merah atau jenis palawija lainnya. Untuk tanaman padi, biasanya dihasilkan 4 ton gabah/ha. Umumnya petani akan menjual dalam bentuk gabah ke para tengkulak. Sementara dalam proses penanaman dan pemanenan padi, biasanya masyarakat akan menggunakan sistem derep, dengan pembagian 5:1 (panen 5 kg akan mendapatkan 1 kg).
Gambar 2.11. Bawang merah, salah satu hasil pertanian Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Sedangkan untuk buruh tani, biasanya dikenal buruh tani bedugan dan buruh tani seharian. Buruh tani bedugan dimulai dari jam 7 pagi hingga tengah hari (waktu bedug/sholat dzuhur, sekitar jam 12), dan buruh harian dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore (waktu Asar). Upah buruh bedugan bervariasi antara laki-laki dan perempuan. Untuk buruh laki-laki adalah Rp. 40.000,-/hari tanpa makan, dan buruh perempuan Rp. 25.000,’/hari tanpa makan. Sedangkan untuk seharian, Rp. 55.000,- untuk laki-laki 44
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dan Rp.35.000 untuk perempuan. Perbedaan yang cukup mencolok antara buruh laki-laki dan perempuan ini disebabkan beban kerjanya berbeda. Kaum perempuan biasanya hanya bertugas mencabuti rumput atau menyingkirkan ulat, sedangkan buruh laki-laki harus bekerja lebih keras seperti mencangkul. 2.2.3.2. Pengrajin Batu-bata Selain bertani, pekerjaan lain yang cukup banyak dikerjakan oleh penduduk Desa Dukuh Widara adalah membuat batu-bata. Pembuatan batu-bata ini berpusat di ujung Barat desa, tepatnya di bantaran Kali Cisanggarung. Hal ini disebabkan bahan utama pembuatan batu-bata adalah endapan lumpur dari Kali Cisanggarung yang biasanya muncul setelah banjir. Endapan lumpur ini konon menghasilkan batu-bata yang berkualitas bagus sehingga batu-bata dari Desa Dukuh Widara cukup diminati. Pemesan biasanya tidak hanya berasal dari desa atau desa tetangga, tetapi sampai ke wilayah-wilayah yang agak jauh. Harga untuk 1000 keping bata adalah Rp. 800.000,- (sudah termasuk biaya antar). Dalam proses pembuatan batu-bata, setiap harinya bisa dihasilkan 1000 keping bata. Pembakaran akan dilakukan minimal 10.000 keping bata. Untuk pembakaran, diperlukan kayu yang harus dibeli dengan harga 1,8 juta untuk satu truk, yang bisa digunakan untuk membakar sekitar 7000 keping bata. Meskipun begitu, masyarakat menganggap bahwa usaha pembuatan bata cukup menguntungkan. Biasanya warga akan mengerjakannya bersama-sama para anggota keluarga sehingga tidak diperlukan tenaga upahan. Namun pembuatan batu-bata hanya bisa dilakukan pada musim kemarau. Kerugian seringkali terjadi jika hujan deras tiba-tiba terjadi dan batu-bata yang tertumpuk di pinggir sungai dihanyutkan banjir.
45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.12. Pembuatan batu-bata dengan memanfaatkan endapan lumpur Sungai Cisanggarung Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
2.2.3.3. Migrasi Migrasi dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara sejak lama31. Di masa lalu, migrasi biasanya lebih bersifat migrasi musiman. Masyarakat mencari pekerjaan ke kota ketika musim tanam sudah usai dan tinggal menunggu padi untuk dipanen. Daripada menganggur di desa, masyarakat akan pergi ke kota terdekat mencari pekerjaan untuk mengisi waktu-waktu yang kosong. Kota tujuan utama adalah Jakarta, yang relatif dekat dan menjanjikan banyak lowongan pekerjaan. Dengan semakin banyaknya pertambahan penduduk dan semakin terbatasnya lowongan pekerjaan, migrasi ini perlahan berubah menjadi migrasi yang tetap. Tidak hanya ke kota-kota di dalam negeri tapi juga keluar negeri. 31
Sumber: Wawancara dengan Sekretaris Desa Dukuh Widara, 20 Mei 2014
46
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Migrasi ke luar negeri sudah dimulai sejak awal tahun ’90an, tetapi jumlahnya masih sedikit. Baru setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998, jumlah buruh migran ke luar negeri meningkat. Tujuan utamanya negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi atau Kuwait dengan lowongan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga untuk kaum perempuan dan sopir untuk kaum lelaki. Migrasi ke luar negeri ini masih berlanjut hingga sekarang, bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2013, jumlah penduduk Desa Dukuh Widara yang menjadi buruh migran sebanyak 424 orang, dengan komposisi 33 orang perempuan dan 88 orang laki-laki. Negara tujuan dan jenis pekerjaan pun bervariasi. Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan adalah negara-negara tujuan yang sedang populer karena kondisi kerja dan gaji yang lebih menjanjikan. Taiwan dan Hongkong umumnya menjadi tujuan para perempuan muda, dengan lowongan pekerjaan sebagai baby sitter atau pekerja pabrik. Sementara Korea Selatan diminati oleh kebanyakan kaum lelaki muda. Korea Selatan merupakan negara tujuan favorit karena tawaran gaji yang tinggi (konon gajinya bisa mencapai hingga Rp. 20-an juta/ bulan). Meski prosedurnya sedikit lebih rumit karena mensyaratkan ijazah minimal SMA/ sederajat, memiliki sertifikat lulus tes Bahasa Korea dan biaya keberangkatan yang cukup besar (bisa mencapai sekitar Rp. 30 juta), tapi dianggap sebanding dengan gaji yang didapat. Bekerja ke luar negeri seolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, terutama ke negara-negara dengan gaji yang tinggi. Peningkatan ekonomi bisa terlihat dari rumah-rumah yang dibangun. Bentuk rumah bisa menjadi indikasi ke negara mana anggota keluarga tersebut bekerja,
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sehingga di masyarakat sering dikenal istilah ‘Araban’, ‘Korea-an’, ‘Taiwanan’ dsb.
Gambar 2.13. Lembaga Kursus Bahasa Asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin ke luar negeri (Dokumentasi Peneliti, 2014)
Di samping itu, migrasi ke kota-kota terdekat masih dilakukan dan umumnya dilakukan oleh orang-orang muda, selepas mereka lulus dari sekolah menengah (umumnya SMP/sederajat) dengan kota tujuan utama Jakarta atau Bandung. Kaum perempuan biasanya menjadi baby sitter atau pembantu rumah tangga. Sementara kaum lelaki kebanyakan memilih usaha wiraswasta, seperti pedagang. Bekerja ke kota tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muda yang belum menikah. Pasangan yang sudah menikah pun cukup banyak yang bekerja di kota. Kadang hanya salah satu dari mereka, suami/istri, sementara pasangan satunya tinggal di rumah mengasuh anak. Tak jarang juga kedua orang tuanya bekerja di kota, sementara anak-anak ditinggalkan di desa untuk diasuh oleh kakek-nenek mereka atau anggota keluarga yang lain (paman, bibi) dan bahkan ada yang diasuh oleh tetangga. 48
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Keterbatasan jenis pekerjaan agaknya menjadi faktor tingginya minat masyarakat untuk mencari pekerjaan ke luar kota atau luar negeri. Meski sebenarnya lowongan pekerjaan mencukupi, tetapi menjadi petani tentulah bukan pilihan pekerjaan yang diminati oleh kaum muda. 2.2.4. Perekonomian Kegiatan perdagangan di Desa Dukuh Widara kebanyakan jual beli hasil-hasil pertanian. Hanya sedikit yang menjadi tengkulak bawang merah, padi gabah atau hasil pertanian lainnya seperti sayur-sayuran dan palawija. Hasil-hasil pertanian tersebut, terutama palawija, akan dijual di pasar-pasar terdekat. Tidak ada pasar di Desa Dukuh Widara. Pasar terdekat berada di Losari, sekitar 3 km dari desa. Pasar ini buka setiap hari, dengan puncak keramaian dari pagi hingga tengah hari. Barang-barang yang diperjual belikan mulai dari sayur-sayuran, aneka bahan makanan, buah-buahan, pakaian, dan aneka kebutuhan rumah tangga lainnya. Toko-toko dengan berbagai spesialisasi barang dagangan berderet di pinggir jalan utama di depan pasar, termasuk juga dua toko waralaba terbesar di tanah air, Alfamart dan Indomaret. Namun begitu, untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat biasanya cukup membeli di warung-warung terdekat. Warung-warung kelontong tersebar di seluruh desa. Tidak hanya itu, untuk kebutuhan makanan, masyarakat juga dimudahkan dengan adanya penjual makanan siap saji, mulai dari nasi beraneka macam (nasi uduk, nasi putih, nasi kuning), bubur, serta beraneka macam lauk pauk. Masyarakat disibukkan dengan kegiatan bertani, sehingga biasanya enggan memasak di rumah. Membeli makanan jadi, dianggap lebih praktis. Warung-warung kecil yang menjual makanan siap saji tersebut kebanyakan buka pagi-pagi sekali. Usai subuh, warga akan berkerumun untuk 49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membeli makanan sebelum berangkat ke sawah atau melakukan pekerjaan lainnya. Warung-warung makanan ini biasanya akan tutup ketika matahari sudah terbit sekitar pukul 7 pagi dengan dagangan yang sudah habis terjual. Beberapa warung makanan yang lain membuka warungnya menjelang siang hari. Mereka biasanya menjual aneka rujak, pecel, atau gado-gado. Penjual nasi beserta lauk pauknya juga masih bisa ditemui. Seminggu sekali, pada Jum’at malam, diadakan pasar malam di pinggir desa yang menjadi perbatasan dengan desa tetangga, Pasuruan. Pasar malam ini biasanya tidak terlalu lengkap. Barang-barang yang dijual mulai dari peralatan rumah tangga, baju, mainan anak-anak dan aneka penganan seperti martabak atau gorengan. Namun begitu, masyarakat, terutama anak-anak biasanya akan sangat antusias dengan datang beramai-ramai ke pasar malam. Pasar ini buka dari petang hingga sekitar jam 9 malam. Para pedagang kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Dukuh Widara. Pasar malam ini sifatnya ‘bergiliran.’ Pada Rabu malam misalnya, di desa sebelah diadakan pasar malam, kemudian pada Minggu malam dilakukan di desa sebelahnya lagi. Sementara untuk kebutuhan keuangan, beberapa bank lengkap dengan mesin ATM juga tersedia di Losari. 2.2.5. Organisasi Sosial 2.2.5.1. Sistem kekerabatan Seperti masyarakat Etnik Jawa lainnya, masyarakat Desa Dukuh Widara menganut sistem kekerabatan bilineal/bilateral, yakni menarik garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Anak laki-laki maupun perempuan sama saja nilainya di masyarakat. Meskipun ada kecenderungan anggapan bahwa anak laki-laki memikul tanggung jawab untuk bekerja lebih keras. Ketika 50
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seorang anak laki-laki memasuki usia yang dianggap dewasa (sekitar 18 tahun), ia dituntut untuk mempunyai pekerjaan. Sementara seorang anak perempuan biasanya akan mencari pekerjaan di usia remaja dan ketika menikah biasanya berhenti untuk memfokuskan diri menjadi ibu rumah tangga, meski kenyataannya banyak seorang perempuan tetap bekerja setelah berumah tangga. Garis keturunan biasanya bisa dirunut hingga generasi ke4, yakni buyut hingga ke cicit, meski masyarakat mengenal penyebutan keturunan hingga 7 generasi, yakni: anak, putu, buyut, canggah, wareh, udek-udek dan gantung siwur. Sementara untuk penyebutan anggota keluarga adalah: 1. Buyut Lanang (buyut laki-laki) – Buyut Wadon (buyut perempuan) 2. Bapak Tua (kakek) – Mbok Tua (nenek) 3. Mimi (ibu) – Mamak/Bapak (Bapak) 4. Paman/Mamang (adik laki-laki ibu/ayah) – Bibi (adik perempuan ibu/ayah) 5. Uwak (kakak laki-laki maupun perempuan ayah/ibu) 6. Ipar (istri/suami kakak/adik) 7. Kakang/ Aang Wadon (kakak perempuan/laki-laki) 8. Adi (adik, laki-laki/perempuan) 9. Putu (cucu laki-laki/perempuan) 10. Kakang/Adi Ponakan (kakak/adik sepupu lakilaki/perempuan) 11. Keponakan (anak dari adik/kakak baik laki-laki maupun perempuan) 12. Nok (sebutan untuk anak perempuan) 13. Tong/ Cung/ Cong (sebutan untuk anak laki-laki) 14. Mak/ Bi, sebutan untuk tetangga perempuan yang sudah dianggap tua
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Meskipun begitu, saat ini, sebutan-sebutan itu sudah banyak mengalami banyak variasi sebagai pengaruh dari berbagai interaksi. Ada yang menyebut “Mama”, “Umi”, “Bunda” , “Ibu” untuk Ibu, ada yang menyebut “Ayah”, “ Papa”, “Abi”, “Ayah” untuk ayah, “Mbak” atau “Yayuk” untuk kakak perempuan, dan “Mas” untuk kakak laki-laki.
Gambar 2. 14. Diagram kekerabatan masyarakat Desa Dukuh Widara Sumber : Visualisasi peneliti
2.2.5.2. Pernikahan Pernikahan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara bukanlah hal yang rumit. Pernikahan umumnya dilangsungkan karena keinginan masing-masing pasangan. Orang tua cenderung memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk mencari pasangannya masing-masing, meski saran-saran tentang pasangan yang dianggap terbaik tetap diberikan. Proses pernikahan juga tidak rumit. Pasangan yang akan menikah biasanya sudah saling mengenal dan telah melalui proses yang 52
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
disebut ‘pacaran’. Jika masing-masing sudah siap menikah (pengecualian pada pasangan yang menikah karena ‘kecelakaan’), pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak perempuan. Jika sudah dicapai persetujuan, akan dicari tanggal baik untuk pernikahan yang biasanya didasarkan pada primbon Jawa. Usia pernikahan di Desa Dukuh Widara adalah 18-25 tahun, dimana kebanyakan pasangan menikah pada usia 20 tahunan. Meski pada beberapa kasus, terjadi pernikahan di usia yang masih sangat muda (15-17 tahun), dan ada juga yang menikah di atas usia 30 tahun. Biasanya usia pasangan laki-laki lebih tua 3 hingga 5 tahun dari usia pasangan perempuan. Meskipun hal ini juga bukan hal yang mutlak. Sebelum pernikahan, mempelai perempuan biasanya akan menjalani pingitan, yakni tidak boleh bertemu calon mempelai laki-laki selama beberapa waktu dan juga menjalani perawatan diri dengan berbagai produk kecantikan, seperti luluran. Pada hari-H, akan dilakukan ijab kabul dengan cara-cara Islam yang biasanya akan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Meski pada beberapa pasangan, karena alasan biaya, kadang resepsi dilangsungkan beberapa bulan kemudian atau bahkan tidak dilaksanakan. Pada resepsi pernikahan ini, juga dilakukan ritual adat yang disebut sebagai ‘tandur penganten’. Tandur adalah pembacaan kidung yang berisi doa-doa memohon kebahagiaan kepada kedua mempelai.32 Sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa dilakukannya ritual tandur juga memohonkan agar kedua mempelai lekas dikaruniai keturunan. Ritual tandur biasanya dipimpin oleh seorang lebe. Di Desa 32
Sumber: Wawancara dengan lebe Desa Dukuh Widara yang sering melakukan tandur penganten
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dukuh Widara, seorang bapak bernama Pak Sum, meski sudah menjadi mantan lebe masih dipercaya untuk melakukan tandur. Prosesi tandur adalah kedua pengantin berdiri atau ‘ditandur’ (ditanam), diapit kedua orang tua mereka, lalu lebe akan berdiri di tengah-tengah dan mulai menyanyikan kidung. Kidung yang dinyanyikan berbahasa Jawa. Menurut Pak Sum, tradisi tandur ini berasal dari masa Kerajaan Demak oleh Ki Mangun Rasa, sahabat dari Sunan Kali Jaga. Ki Mangun Rasa ini konon adalah orang yang sering menggantikan ndalang Sunan Kali Jaga ketika Sunan Kali Jaga sedang berhalangan. Tradisi lain yang khas adalah jamu-jamu, tradisi yang dilakukan untuk anak bungsu ketika menjadi pengantin. Pengantin akan berpura-pura menjual jamu dengan maksud meminta sumbangan dari para sanak-saudara. Sumbangan yang diberikan bersifat sukarela dan jumlahnya tidak ditentukan. Setelah pernikahan, biasanya perempuan akan dibawa suaminya. Tapi tak jarang juga seorang suami ikut tinggal dengan keluarga istri. 2.2.5.3. Organisasi Masyarakat Sementara itu organisasi-organisasi kemasyarakatan ada yang masih di bawah pemerintahan desa, ada pula yang dikelola secara bersama oleh masyarakat. Organisasi-organisasi yang dikelola oleh desa antara lain: PKK, Karang Taruna dan Kelompok Tani. PKK adalah organisasi untuk ibu-ibu yang diketuai oleh istri kuwu. Kegiatannya berupa pengajian Fatayat & Muslimat (organisasi Islam untuk perempuan di bawah NU) yang diadakan sekali setiap sebulan, arisan yang diadakan setiap minggu ke-2 setiap bulannya, dan senam khusus ibu-ibu diadakan seminggu sekali. Kegiatan-kegiatan ini bersifat sukarela dan terbuka bagi siapa saja. 54
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Karang Taruna sebagaimana namanya, diperuntukkan untuk kaum muda, terutama laki-laki. Menurut salah seorang pejabat desa, organisasi ini, meski masih berjalan tapi juga tidak terlalu aktif. Kegiatan biasanya hanya berupa olahraga bersama seperti voli atau sepak bola. Sedangkan Kelompok Tani lebih berfungsi dalam mengatur hal-hal teknis dalam kegiatan pertanian seperti penggunaan saluran irigasi dan distribusi pupuk. Organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat biasanya lebih bersifat keagamaan yang dikenal dengan istilah ‘jemiahan’ berupa kegiatan pengajian. Kelompok jemiahan biasanya dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Jemiahan khusus perempuan dan jemiahan khusus laki-laki. Lingkup kelompok biasanya lebih kecil, mereka yang tinggal di satu RT atau satu lingkungan pemukiman mengacu pada letak mushalla terdekat. Jemiahan dilakukan pada sore maupun malam hari, sekali dalam seminggu. Selain jemiahan juga dikenal istilah ‘nariahan’, mengacu pada pembacaan Surat Nariah, dan yasinan (pembacaan Surat Yasin) untuk kaum lelaki yang biasanya diadakan pada malam Jum’at. Organisasi-organisasi pengajian ini biasanya juga akan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan terkait peringatan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi atau Rajaban. Biasanya pembiayaan untuk kegiatan seperti itu akan ditanggung bersama dengan sistem iuran. 2.2.6. Sistem Pemukiman Pemukiman di Desa Dukuh Widara memiliki kepadatan penduduk 316 per km. Pemukiman bersifat komunal atau berkelompok. Terjadi pemisahan yang tegas antara pemukiman penduduk dan persawahan. Pemukiman di Desa Dukuh Widara umumnya sangat padat. Hanya rumah-rumah yang berada di pinggir jalan besar yang biasanya memilki halaman atau 55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pekarangan, sedangkan rumah-rumah di bagian tengah saling berhimpitan, membentuk gang-gang kecil layaknya rumah-rumah di kota besar. Bentuk dan ukuran rumah juga bervariasi. Tapi, umumnya rumah-rumah di Desa Dukuh Widara adalah rumah permanen; berdinding tembok, atap genteng, dan berlantai semen/keramik.
Gambar 2.15 . Pemukiman Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Wilayah pemukiman di bagi ke dalam blok-blok, yang terdiri dari lima blok. Tiga blok; Blok Pon, Blok Wage dan Blok Kliwon berada di sebelah Timur jalan utama, berbatasan langsung dengan Sungai Cisanggarung. Sedangkan Blok Manis dan Blok Pahing berada di sebelah Barat. Blok Pon dikenal juga sebagai Blok Desa karena merupakan tempat awal mula didirikannya pemukiman. Blok Wage dan Blok Kliwon dikenal dengan sebutan Blok Bojong, karena letaknya yang menjorok ke Sungai Cisanggarung.33 Sedangkan Blok Manis dan Blok Pahing
33
bojong: menjorok ke sudut/ ujung atau tanah yang menjorok ke sungai/ laut)
56
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
terletak di dataran yang agak tinggi disebut sebagai Blok Mengger.34 2.2.7. Sistem Religi Berdasarkan profil Desa, tercatat bahwa masyarakat Desa Dukuh Widara 100 % beragama Islam dan menyebut bahwa Islam yang mereka anut adalah “Islam NU (Nahdatul Ulama”. Ada sebagian kecil yang befaham Muhammadiyah, umumnya adalah kaum muda yang telah menempuh pendidikan di luar daerah seperti Yogyakarta, dan berusaha mengembangkannya tapi konon tidak pernah cukup mendapat pengikut. NU atau Nahdatul ‘Ulama adalah salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. NU berfaham Ahlussunah Wal Jamaah, merupakan faham yang bersifat akomodatif terhadap nilai-nilai lokal. Bisa dipahami jika Islam seperti ini banyak berkembang di Desa Dukuh Widara, karena Islam aliran ini berakar sejak jaman Kesultanan Cirebon dahulu kala dan Cirebon merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa itu, dengan Sunan Gunung Jati, yaitu satu di antara 9 wali, sebagai salah satu tokohnya. Salah satu ciri dari Islam ini adalah adanya penghormatan yang besar terhadap tokoh-tokoh yang dianggap memiliki peran dalam penyebaran agama Islam, salah satunya ditunjukkan dengan melakukan ziarah ke makam tokoh-tokoh tersebut untukmelakukan pembacaan doa. Di Desa Dukuh Widara juga terdapat makam tokoh yang dianggap berperan dalam pengembangan agama Islam, yakni Syekh Ma’arif yang makamnya masih dipelihara para keturunannya dan pada waktuwaktu tertentu diziarahi pengunjung. Kegiatan ziarah ini biasanya 34
Mengger (jw): bukit
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dilakukan pada malam Jum’at, utamanya adalah malam Jum’at Kliwon. Hari Jum’at dalam ajaran Islam dianggap sebagai hari yang baik, sedangkan Jum’at Kliwon lebih pada kepercayaan tradisional (Jawa) yang dipercaya sebagai malam yang keramat.
Gambar 2.16. Kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang banyak dikunjungi Sumber gambar: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/
Percampuran nilai-nilai lokal dan agama juga terlihat pada acara slametan. Pada acara seperti ini, biasanya seseorang akan mengundang tetangga sekitar untuk membacakan doa-doa dan kemudian diakhiri dengan berkatan, yakni membagi-bagikan makanan (biasanya nasi lengkap dengan lauk-pauknya) kepada para tetangga yang hadir untuk dibawa pulang. Slametan yang bersifat massal adalah sedekah bumi, yang diadakan sebagai ucapan syukur usai panen padi. Acara ini biasanya diselenggarakan sekaligus dengan perayaan 17-an pada bulan Agustus. Pada kesempatan ini, seluruh masyarakat diajak berkumpul di lapangan desa, masing-masing membawa makanan, biasanya berupa nasi dan lauk pauknya. Makanan ini kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Dalam 58
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
acara tersebut biasanya juga dipanjatkan doa-doa sebagai ucapan syukur dan permohonan keselamatan. Slametan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara dimaknai sebagai bentuk syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan atau juga sebagai permohonan agar diberikan keselamatan. Slametan yang bersifat ‘syukuran’ adalah slametan yang berkaitan dengan ritus kehidupan seperti pernikahan, sunatan, empat/tujuh bulanan kehamilan, panen padi dan kelahiran. Sedangkan slametan yang bersifat ‘mengirim doa’ adalah slametan yang berkaitan dengan ritus kematian yang dilangsungkan pada tujuh hari setelah kematian, empat puluh hari, seratus hari dan mendak tahun/ tepung tahun (setahun setelah kematian). Ada juga unggah-unggah, yakni slametan beserta tahlilan yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan, dengan maksud untuk mengirim doa pada kerabat yang meninggal. Unggah-unggah akan diikuti dengan udun-udun, dilakukan ketika hari ke-20 bulan Ramadhan dengan tujuan yang sama. Selain slametan juga dikenal istilah sajen. Sajen adalah ritual yang dilakukan sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang umumnya berkaitan dengan ‘pekerjaan besar’, seperti ketika hendak menanam padi atau membakar batu-bata. Tujuan sajen hampir sama dengan slametan, hanya saja, sajen sifatnya lebih pribadi, tanpa perlu melibatkan banyak orang. Sajen seringkali juga menjadi bagian penting dalam slametan. Sajen, seperti istilahnya yang kemungkinan berasal dari kata ‘saji’/‘sajian’ dilakukan dengan ‘menyajikan’ jenis makanan atau benda tertentu. Untuk sajen tanam padi misalnya, dibuat bogana yakni nasi yang dicampur dengan aneka sayuran. Ada juga yang menaburkan garam di sawah sebelum ditanami sambil mengucap doa-doa. Meski begitu, berdasarkan obrolan dengan beberapa orang di Desa Dukuh Widara, ritual-ritual semacam ini sudah 59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
jarang dilakukan saat ini dan banyak kaum muda yang sudah tidak memahami lagi maknanya. Ruwatan adalah ritual yang dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari hal-hal yang buruk. Ruwatan biasanya dilakukan ketika seseorang hendak memasuki rumah baru. Dalam ruwatan juga dibuat sajen. Untuk ruwatan rumah baru, biasanya akan diundang pemain barongan. Ritual semacam ini, juga sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Sementara itu, perayaan-perayaan yang bersifat keagamaan mengacu pada hari-hari besar agama Islam. Perayaan terbesar adalah Hari Raya Idul Fitri, ditandai dengan pulangnya para sanak keluarga dari rantau untuk berkumpul bersama. Sebagaimana umumnya, pada hari raya seperti ini, masingmasing rumah akan menyiapkan berbagai penganan berupa kuekue dan para tetangga serta handai-taulan akan saling mengunjungi. Hari Raya Idul Adha juga dirayakan,tapi tidak sebesar Hari Raya Idul Fitri dan hanya ditandai dengan sembahyang bersama dan pemotongan hewan kurban. Hari-hari besar seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (1 Muharram) dan Rajaban, diperingati dengan pengajian, baik itu pengajian yang bersifat lebih sederhana atau pengajian besar dengan mengundang penceramah dari luar desa. Sementara untuk perayaan yang bersifat ‘nasional’ adalah perayaan 17-an, untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, yang biasanya dirayakan dengan mengadakan berbagai lomba, seperti pertandingan olahraga, panjat pinang dan aneka lomba untuk anak-anak. Puncak perayaan ini biasanya dengan mengadakan pertunjukan seni.
60
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.8. Kesenian Kesenian bagi masyarakat Desa Dukuh Widara erat kaitannya dengan perayaan. Suatu pertunjukan seni diadakan jika sedang merayakan sesuatu, entah itu secara massal maupun individual. Perayaan yang bersifat massal biasanya terkait dengan hari-hari besar, seperti peringatan Hari Kemerdekaan RI pada bulan Agustus. Sedangkan perayaan yang bersifat individual biasanya terkait dengan fase-fase penting dalam kehidupan seseorang seperti sunatan pada anak-anak lelaki, aqiqahan, dan terutama adalah pernikahan. Meski begitu, ada juga jenis kesenian yang dimaksudkan sebagai tolak bala atau ruwatan. Ada beberapa jenis kesenian yang dikenal masyarakat Desa Dukuh Widara. Mulai dari kesenian tradisional hingga modern. Berikut beberapa jenis kesenian yang sering diadakan di Desa Dukuh Widara: 2.2.8.1. Barongan Asal-usul mengenai barongan sendiri cukup sulit untuk diperoleh informasinya dari para pegiat seni ini di Desa Dukuh Widara. Mereka mengaku tidak memahami lagi ceritanya, atau hanya memahami sepotong-sepotong. Somat, anak Pak Tam— pemilik barongan—, misalnya, yang juga aktif sebagai pemain seruling di kelompok barongan ayahnya, mengaku tak tahu persis bagaimana awal mula barongan ada.35 Orang-orang tua yang dianggap memahami ceritanya sudah meninggal dan tak menurunkan cerita itu pada keturunannya. Somat hanya tahu bahwa barongan dulunya berada di dalam laut dan ada tokoh bernama Sumbing Klabang Kara yang melukis di dalam laut.
35
Sumber: Wawancara dengan Somat, 24 Mei 2014
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sementara itu, berdasarkan sumber dari situs Dinas Pariwisata Jawa Barat, barongan dikenal juga dengan sebutan berokan.36 Tersebutlah dulu Yudhayaka, anak angkat dari Prabu Sulangkara. Yudhayaka sangat senang melukis. Suatu hari ayahnya menyuruhnya melukis lautan. Ketika sedang menyelam di laut, Yudhayaka bertemu dengan binatang yang hanya terlihat kepalanya saja di dalam lubang (rong). Dia berusaha untukmelihatnya, tapi binatang itu tidak juga mau keluar dan tidak jelas (ora babar-babar). Yudhayaka pun kemudian menyerahkan lukisannya lengkap dengan binatang aneh itu. Ayahnya merasa kagum, dan kemudian memintanya untuk mewujudkan binatang tersebut ke bentuk kesenian. Dan Yudhayaka pun menciptakan “barongan”, binatang yang “ora babar-babar neng jero rong”. Versi lain menyebut bahwa istilah “barongan juga di sebut “barokan” yang berasal dari kata barokahan (berkah) yang berarti selamatan.37 Kepala barongan adalah tiruan kepala singa, sedang badannya adalah tiruan tubuh raksasa Syiwa Durga yang digunakan oleh Pangeran Cakrabuana sebagai alat penyebaran Islam pada masyarakat Jawa Barat yang kala itu masih memeluk agama Sanghyang (agama Sunda Wiwitan yang bercampur Hindu Syiwa). Kata Sanghyang sendiri kemudian berubah menjadi Sembahyang (sholat). Versi lain menyebutkan bahwa dulunya barongan diciptakan untuk mengusir makhluk halus yang mengganggu tanaman di sawah.38 36
Sumber: “Berokan.” Yuli Adam Panji & Toto Amsar Suanda. http://www. disparbud.jabarprov.go.id/ 37
Sumber:“Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon, A. Chozin Nasuh. http://dualmode.kemenag.go.id/acis11/file/dokumen/12.a.chozinnasuha.pdf (akses 23 Agustus 2014) 38
Sumber:“Barongan Cirebon”, Uun Halimah. (http://uun-halimah.blogspot. com/2007/11/barongan) (16 Juli 2014)
62
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Di Desa Dukuh Widara, masih ada satu kelompok Barongan yang masih aktif hingga saat ini. Pak Tam, adalah ketua kelompok Barongan sekaligus pemilik Barongan. Ia mewarisi barongan itu dari ayahnya. Kelompok barongan milik Pak Tam anggotanya tidak hanya berasal dari Desa Dukuh Widara saja, tetapi juga desa-desa sekitar. Mereka juga melakukan pentas tidak hanya di Dukuh Widara, tapi juga ke desa-desa sekitar. Barongan merupakan sejenis topeng kayu, dengan kepala berbentuk binatang dengan mulut lebar, dipenuhi gigi besarbesar yang bisa dibuka dan ditutup. Bagian kepala dan wajahnya biasanya dicat merah dan hitam, sedangkan giginya dicat putih. Bola matanya dibuat besar dan terlihat mengerikan. Bagian kepala dibuat rambut dari bulu domba dan ijuk, sementara bagian badannya dari karung goni. Jika hendak dimainkan, pemain akan masuk ke dalam karung tersebut. Dalam sebuah pertunjukan, barongan biasanya ditemani oleh ‘topeng’ lain, yakni pentul/ bodhor. Berbeda dengan barongan yang berwujud menyeramkan, pentul terkesan lebih lucu, berupa topeng berwarna merah dengan hidung besar dan kepala gundul. Ketika menari, barongan akan diiringi oleh musik yang terdiri dari suling, terompet, saron, kleningan, gender, konang, gong dan ketuk. Sambil menari, biasanya juga diringi dengan lagu-lagu dan lawakan. Pertunjukan barongan bisa terdiri dari beberapa babak, tergantung dari keinginan yang menanggapnya. Barongan biasanya ditanggap untuk acara-acara sunatan dan ruwatan, terutama ruwatan rumah baru yang dianggap ada ‘penunggunya.’ Pada acara ruwatan rumah ini, barongan akan menari, kemudian mengambil bantal dari dalam kamar dan melemparkannya ke atap sebagai tanda bahwa hal-hal buruk telah dibuang. Sebagai penebusan, sang empunya rumah diharapkan memberi uang kepada barongan yang jumlahnya 63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seikhlas si empunya. Dalam acara ini juga disediakan sajen antara lain terdiri air bunga tujuh rupa, uang receh, beras, umbi-umbian dan ayam dan salah seorang anggota barongan membaca doadoa pengusir bala. Pertunjukan biasanya diakhiri dengan barongan yang mengejar-ngejar penonton hingga anak-anak berlarian karena ketakutan. Para penonton kemudian biasanya akan memberi ‘sawer’ atau memberikan uang receh yang jumlahnya terserah masing-masing orang.
Gambar 2.17. Barongan (atas) & Pentul (bawah) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Kesenian barongan memang unik karena justru unsur hiburannya terletak pada ‘menakut-nakuti’, semakin menakutkan semakin menarik. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Lam, salah
64
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seorang warga Desa Dukuh Widara, bahwa barongan dulu lebih menarik karena lebih menakutkan, matanya seperti hidup. Ia beranggapan hal tersebut karena barongan dulu adalah barongan keramat, sedangkan sekarang sudah tidak lagi. Barongan milik ayah Pak Tam yang dianggap asli dan keramat memang sudah dijual dan saat ini disimpan di Bali. Sedangkan barongan yang ada sekarang adalah gantinya. Meski sudah tidak sekeramat dulu, barongan ini juga masih dianggap keramat oleh keluarga Pak Tam. Setiap malam Jum’at Kliwon, barongan itu disajeni dan dibakari kemenyan. Saat ini, barongan sudah semakin jarang ditanggap. Alasannya, karena biayanya dianggap cukup mahal. Selain itu, kesenian-kesenian baru seperti organ dianggap lebih menarik. 2.2.8.2. Genjring Genjring adalah alat musik semacam rebana. Seni genjring bernapaskan Islami, biasanya berupa shalawatan dengan diiringi tetabuhan genjring. Kesenian ini biasanya dipentaskan pada acara-acara keagamaan. 2.2.8.3. Burokan Burokan, bisa dibilang kesenian yang paling populer di Desa Dukuh Widara. Banyak acara-acara hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan yang menanggap burokan. Satu kelompok Burokan bisa mencapai puluhan orang dan bisa dikatakan sangat meriah karena diminati oleh anak-anak. Saat ini, tidak ada pegiat seni burokan di Desa Dukuh Widara, sehingga biasanya mereka mengundang rombongan burokan dari wilayah terdekat seperti Losari. Istilah “burokan” sendiri berasal dari kata “buroq”, kuda terbang bersayap, mengacu pada kendaraan yang
65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
digunakan oleh Nabi Muhammad dalam melakukan Isra Mi’raj menurut ajaran Islam.
Gambar 2.18. Rombongan Burokan yang akan melakukan pertunjukan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Dalam pertunjukan burokan,biasanya ada sepasang boneka burok yang dimainkan oleh empat orang (dua di depan dan dua di belakang), kemudian diikuti boneka aneka binatang seperti macan, kuda, gajah, kera dan juga badut-badut yang mengenakan kostum lucu. Anak-anak diperbolehkan menaiki boneka-boneka tersebut dengan biaya tersendiri. Selama pertunjukan, burokan melibatkan tarian dan nyanyian yang diiringi musik, dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Musik yang ada biasanya terdiri dari tiga buah dogdog (besar, sedang, kecil), empat buah genjring, simbal, organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, dan kecrek.39 39
Sumber: “Burokan” (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/)
66
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.8.4. Tari Topeng Tari Topeng adalah pertunjukan tari yang pemainnya mengenakan topeng dengan diiringi musik gamelan. Tari Topeng yang terkenal dari daerah Cirebon adalah Topeng Losari, berasal dari Kecamatan Losari, sekitar 3 km dari Desa Dukuh Widara dengan tokoh yang terkenal, Mimi Sawitri (alm). Di Desa Dukuh Widara ada juga beberapa pegiat topeng, terutama sebagai penarinya. Pertunjukan tari topeng biasanya ditanggap pada hajatan desa seperti acara tujuh belas Agustusan. Konon, Tari Topeng Losari adalah buah kreasi dari Pangeran Angkawijaya, cucu Sunan Gunung Jati yang memilih untuk menyepi di daerah Losari dalam memperdalam bakat seninya40. Rupa topeng bermacam-macam, ada yang menampilkan watak-watak tokoh yang diambil dari cerita pewayangan, seperti Topeng Panji, Topeng Samba, Topeng Rumyang, Topeng Tumenggung dan Topeng Kelana. 2.2.8.5. Sandiwara Sandiwara mirip dengan ketoprak di daerah Jawa Tengah. Sandiwara biasanya ditanggap ketika ada acara-acara besar di desa, seperti tujuh belas Agustusan.41 Lakon yang dimainkan biasanya diambil dari cerita Babad Cirebon seperti Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, dan sebagainya, disamping juga menampilkan cerita legenda yang ada di masyarakat. Untuk menambah kemeriahan pertunjukan, kadang-kadang diselipkan pula kemasan musik dangdut atau tayuban. Sementara alat-alat musik yang digunakan biasanya berupa perangkat gamelan dan 40
Sumber: (Pangeran Losari ‘Angkawijaya’ Tali Sejarah Cirebon Brebes, http://www.radarcirebon.com/) 41
Sumber: “Sandiwara Cirebon”, (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/)
67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dalam perkembangannya sering ditambah keyboard dan gitar. Sandiwara kebanyakan diadakan pada malam hari, dimulai pada sekitar pukul 08.00 malam hingga menjelang dinihari. 2.2.8.6. Organ Tunggal Orgen Tunggal adalah kesenian yang juga populer di masyarakat karena berkesan lebih modern dan meriah. Orgen tunggal melibatkan musik dari orgen dan biduan yang menyanyikan lagu-lagu masakini dengan berbagai variasi seperti dangdut, populer dan musik daerah. 2.2.8.7. Tarling Tarling merupakan jenis musik yang populer di daerah pantura, terutama Cirebon (Cerbonan) dan Indramayu (Dermayon). Tarling merupakan kependekan dari ‘gitar’ dan ‘suling’, alat musik yang digunakan dalam kesenian ini tapi sering juga dipahami sebagai "yen wis mlatar kudu eling" (jika sudah berbuat negatif, maka harus bertaubat. Tarling biasanya mengiringi lagu-lagu dalam bahasa Lokal yang seringkali berisikan pesan-pesan moral. Tarling merupakan kesenian rakyat, dan mulai populer sejak tahun ’30-an. Belakangan, untuk memberi kesan modern, tarling juga dipadukan dengan musik dangdut sehingga dikenal Tarling-Dangdut.42 2.2.9. Pengetahuan 2.2.9.1. Sakit dan Penyakit “Sehat itu ya awakenteng. Nggak ada yang dirasa. Perasaan punya fisik itu memang besar. Tapi kalau nggak
42
Sumber:“Musik Tradisional Cirebon.” http://id.voi.co.id/)
68
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
sehat, ting greges, saya ke Patrol saja saya ngantuk” cerita Pak Mat, pria yang berumur sekitar 50 tahun.
Demikianlah pemahaman sehat dan sakit bagi kebanyakan masyarakat Desa Dukuh Widara. Sehat adalah ketika badan terasa nyaman dan tidak ada yang dikeluhkan. Umumnya tidak dikenal istilah-istilah khusus untuk penyakit. Masyarakat biasanya menyebut nama-nama penyakit sebagaimana yang lazim dikenal seperti kencing manis untuk diabetes mellitus, stroke, maag, kusta, jantung. Beberapa bahasa lokal (Jawa) digunakan untuk menyebut beberapa penyakit seperti edanuntuk gangguan jiwa, ting greges untuk kondisi tubuh demam , watuk pilek untuk batuk pilek. Ketika sakit, jika sakit dirasa tidak parah, masyarakat Desa Dukuh Widara umumnya melakukan pengobatan diri sendiri dengan membeli obat-obat generik yang dijual di warungwarung. Ketika dirasa agak parah, umumnya masyarakat Desa Dukuh Widara akan mencari pengobatan ke tenaga kesehatan yang dipercaya. Mulai dari Puskesmas (Puskesmas pembantu maupun Puskesmas), tenaga kesehatan yang membuka praktek swasta seperti Bidan Desa, Mantri atau Dokter, hingga ke klinik atau Rumah Sakit. Preferensi layanan/tenaga kesehatan ini berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada yang memilih berobat ke Puskesmas karena biayanya yang murah, tapi ada juga yang memang percaya dengan pengobatan di sana. Sementara pilihan-pilihan ke praktek swasta, ada yang didasarkan pada faktor kedekatan, baik itu kedekatan jarak tempat tinggal maupun kedekatan karena hubungan kekeluargaan dan juga kepercayaan terhadap layanan tersebut. Sementara untuk praktek swasta yang jauh letaknya dan umumnya lebih mahal, biasanya didasarkan pada faktor kepercayaan.
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mak Isah43 misalnya, yang mengalami gangguan lambung kronis, awalnya berobat ke Puskesmas karena biayanya murah. Setelah tak kunjung sembuh, ia pun mencoba pengobatan pada tenaga kesehatan yang membuka praktek di dekat rumahnya. Masih belum juga sembuh, anak-anaknya pun kemudian menyarankannya untuk berobat ke dokter yang membuka praktek swasta, yang jarak dan biayanya jauh lebih mahal. Dan Ibu Ani merasa kondisinya menjadi lebih baik. Lain halnya dengan Pak Mat yang lebih mempercayakan pelayanan kesehatan keluarganya pada tenaga kesehatan yang ada di desa.44 Selain alasan kepercayaan, juga karena lebih praktis, karena tenaga kesehatan tersebut bersedia dipanggil ke rumah. Pak Mat memiliki pengalaman, ketika salah satu anaknya sakit tipus, setelah pulang dari rumah sakit anak tersebut kambuh lagi. Pak Mat pun kemudian memanggil tenaga kesehatan tersebut yang kemudian memberikan perawatan di rumah dan beberapa hari kemudian si anak berangsur pulih. Sementara Bu Yah45, yang menderita Kencing Manis, lebih percaya pada salah seorang tenaga kesehatan karena memiliki kedekatan hubungan. Seorang bidan yang membuka praktek di desa, di masa lalu pernah tinggal di rumahnya sehingga terjalin hubungan yang akrab antara dirinya dengan sang bidan. Berkaitan dengan biaya misalnya, Bu Yah sering mendapat potongan harga dari bidan tersebut. Pak Mis46, menderita stroke. Begitu divonis sakit, ia langsung mencari pengobatan ke rumah sakit di kabupaten karena berharap ingin mendapatkan pengobatan terbaik. 43
Sumber: Wawancara dengan Mak Isah 3 Juni 2014
44
Sumber: Wawancara dengan Pak Mat, 26 Mei 2014
45
Sumber: Wawancara dengan Bu Yah, 9 Juni 2014
46
Sumber: Wawancara dengan Pak Mis, 11 Juni 2014
70
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Baginya, rumah sakit di kabupaten pasti lebih baik pelayanan dan fasilitasnya. Di Desa Dukuh Widara, meski tingkat kepercayaan masyarakat kepada tenaga kesehatan cukup tinggi, namun masyarakat seringkali mengkombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan non medis seperti pengobatan herbal, pengobatan alternatif atau bahkan pergi ke ‘orang pintar.’ Orang pintar adalah sebutan untuk orang-orang yang dipercaya memilki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus dan karenanya juga memiliki kemampuan mengobati. Kebanyakan orang pintar adalah kyai, yang juga memiliki ilmu agama yang tinggi. Pengobatan herbal biasanya dilakukan dengan mengkonsumsi jenis tumbuh-tumbuhan tertentu yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Pengetahun ini biasanya didapat dari saran sanak keluarga atau para tetangga. Pak Mat misalnya, ketika sakit, selain minum obat dari tenaga kesehatan juga merebus jenis daun tertentu yang dipercaya akan mengurangi penyakitnya. Demikian juga dengan Bu Ani, yang memakan kunyit mentah untuk mengurangi keluhan pada lambungnya. Sementara itu, pengobatan ke tenaga kesehatan alternatif atau ‘orang pintar’ biasanya dilakukan ketika suatu penyakit, setelah berobat ke tenaga kesehatan biasa, tak kunjung sembuh. Pak Sum47 terserang vertigo hingga tak bisa berdiri. Ia telah berobat ke Puskesmas, meski mengalami kesembuhan, tapi cukup lambat. Oleh karena itu ketika ada seorang tukang pijat refleksi ingin membantunya, ia tidak menolak karena berharap proses kesembuhannya lebih cepat. Hal yang hampir sama juga dialami Pak Sam, yang sakit stroke. Selain rutin menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit, ia juga berobat ke tukang 47
Sumber: Wawancara dengan Pak Sum, 5 Juni 2014
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pijat alternatif dengan harapan mempercepat proses kesembuhan. Semantara itu, Bu Ida48, suaminya menderita sakit tulang punggung beberapa tahun belakangan. Keluarganya sudah berobat ke rumah sakit dan dokter spesialis, tapi tak kunjung sembuh. Akhirnya mencari ‘orang pintar’ untuk mencari pengobatan disamping juga mengkonsumsi ramuan-ramuan herbal. Berbagai jenis pengobatan ini, bagi masyarakat bukan sesuatu yang kontradiktif, tapi mendukung satu sama lain. 2.2.9.2. Kesambet, Penyakit Kiriman, Teluh & Sawan Penyakit, bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, tidak selalu hanya disebabkan oleh sumber-sumber penyakit seperti yang dipahami dalam dunia medis. Penyakit, bisa juga disebabkan oleh kekuatan-kekuatan buruk seperti makhlukmakhluk halus. Dikenal beberapa istilah untuk jenis-jenis penyakit ini, yakni kesambet, penyakit kiriman, teluh dan sawan. a. Kesambet Kesambet adalah penyakit yang disebabkan karena seseorang dirasuki makhluk halus. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang tidak sengaja melewati tempat tertentu yang menjadi tempat tinggal makhluk halus, melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan si makhluk halus, atau juga ketika seseorang sedang melamun (kosong pikirannya) dan ada makhluk halus di sekitarnya. Ada beberapa hal yang mendasari anggapan bahwa seseorang mengalami sakit karena kesambet. Kesambet ditandai dengan gejala penyakitnya yang tidak wajar, atau gejala penyakit wajar tapi tak kunjung sembuh, meski sudah dibawa berobat ke tenaga kesehatan. 48
Sumber: Wawancara Bu Ida, 21 Mei 2014
72
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Idah49, karena pekerjaannya mengunjungi daerah pedesaan yang masih berhutan-hutan. Setelah pulang dari kunjungan itu, Idah menjerit-jerit dan berteriak-teriak dalam tidurnya seperti orang ketakutan. Keluarganya pun menyimpulkan bahwa Idah kesambet. Maka, dipanggillah ‘orang pintar’, dan orang tersebut ini mengatakan bahwa Idah diikuti makhluk halus dan setelah dibacakan doa-doa akhirnya Idah sembuh. Demikian juga yang dialami oleh istri Pak Sum. Awalnya, ia mengira istrinya sakit panas biasa dan dibawa berobat ke Puskesmas, namun tak kunjung sembuh. Di bawa berobat ke dokter juga tak kunjung sembuh, tetapi justru bertambah parah. Pak Sum disarankan untuk pergi ke ‘orang pintar’, seorang kyai yang juga dipercaya memiliki kemampuan menyembuhkan. Oleh sang kyai, Pak Sum disarankan untuk mencari air hujan dan membaca ayat-ayat tertentu dari Al Qur’an dalam jumlah serta lama waktu tertentu. Pak Sum menuruti perintah itu, dan istrinya pun perlahan sembuh. b. Penyakit Kiriman Penyakit kiriman juga ditandai dengan gejala penyakit yang tidak wajar. Penyakit ini disebabkan oleh seseorang yang menginginkan orang tertentu sakit. Jenis penyakitnya bisa bermacam-macam. Biasanya seseorang ‘mengirim’ suatu penyakit kepada seseorang karena faktor dendam atau ketidak sukaan. Pak Sum dahulunya adalah seorang pedagang makanan. Suatu hari, mendadak ia mengalami gatal-gatal tapi hanya separuh badan. Ia mencoba untuk berobat ke dokter, tapi tak sembuh. Kemudian dia diberitahu orang bahwa penyakitnya bukan penyakit biasa, tetapi karena dikirim seseorang. Ia pun 49
Sumber: Wawancara dengan Idah, 3 Juni 2014
73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diobati dengan cara dibacakan doa-doa. Selanjutnya seorang anak kecil yang kebetulan berada di sekitarnya, melihat seseorang keluar dari tubuhnya. Meski takbisa melihat, tapi Pak Sum bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Esok harinya, gatal-gatalnya perlahan sembuh. Beberapa waktu kemudian, Pak Sum juga melihat ada seseorang mendatanginya dengan cara menempel di dinding. Wajahnya dilihat samar-samar seperti pedagang yang sering berjualan di sekitarnya. Ketika sembuh dan kembali berjualan, Pak Sum merasa heran karena tak pernah lagi bertemu dengan pedagang itu lagi. Bisa disimpulkan bahwa pedagang itu lah yang ‘mengirimi’ penyakit kepada Pak Sum. c. Teluh Teluh berbentuk bola api yang terbang di malam hari, menyinggahi atap-atap rumah. Sasarannya adalah keluarga yang memiliki bayi yang baru lahir. Bola api teluh adalah jelmaan seseorang yang sedang mempelajari ilmu hitam atau mencari pesugihan (kekayaan) dengan cara pergi ke gunung-gunung untuk bersemedi. Jika seorang bayi terkena teluh, bayi tersebut tiba-tiba akan jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Agar bayi terhindar dari teluh, diadakan melekan, biasanya sang ayah ditemani beberapa orang tetangga laki-laki akan begadang hingga dini hari, sejak bayi lahir hingga umur 7 hari atau malah hingga 40 hari. d. Sawan Sawan adalah penyakit yang juga disebabkan oleh makhluk halus dan hanya dialami oleh anak-anak, terutama bayi. Ada dua jenis sawan yang dikenal di masyarakat, yakni sawan wangke dan sawan burok. Sawan wangke adalah sawan yang disebabkan karena adanya suatu kondisi kematian. Si bayi berada di sekitar
74
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seseorang yang meninggal. Jika seorang bayi terkena sawan ini, pertumbuhannya akan terhambat. Ia seolah mengecil dan kakinya tak mau lurus. Jika sudah disimpulkan bahwa si bayi terkena sawan wangke, maka pengobatannya adalah dengan mencuri salah satu pakaian milik orang mati, celana atau sarungnya. Selanjutnya pakaian tersebut diselimutkan pada tubuh si bayi, namun jika sudah sembuh, kain itu harus dikembalikan. Tapi dalam proses pengambilan, tidak boleh diketahui orang lain. Sawan burok disebabkan karena si bayi kelewatan mahkluk penghuni burok. Burok/burokan adalah sejenis kesenian tradisional dengan menggunakan boneka burok. Seorang bayi yang terkena sawan burok ditandai dengan mata yang tidak mau mengedip, seperti mata boneka burok. Untuk mengobatinya, dengan meraupi burok. Ketika ada burok lewat (bisa juga diundang), orang tua si bayi harus mengusapkan telapak tangannya di wajah boneka burok dan kemudian mengusap ke wajah si bayi. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga 3 kali. Diharapkan selanjutnya orang tua memberikan sejumlah uang kepada si pemain burok dengan jumlah yang tidak ditentukan.
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
76
BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA
3.1.
Budaya Kesehatan Ibu dan Anak
3.1.1. Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara adalah adanya ibu hamil yang masih kurang dari 20 tahun dan KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA