November 29, 2017 | Author: Zaid Zalizan | Category: N/A
Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus Mohd Zaid bin Ahmad Zalizan 102012499 Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarata 11510
[email protected]
Pendahuluan Glomerulonefritis adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti diketahui etiologinya. Terminologi glumerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain. Glumerulonefritis dibedakan anatara primer dan sekunder, glumerulonefritis primer apabila penyakit dasar nya berasal dari ginjal sendiri salah satu nya adalah sindroma nefritis akut. Sedangkan pada glumerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat infeksi, penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (SLE), mieloma multipel, amiloidosis. Di negara berkembang, glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS) masih sering dijumpai dan merupakan penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini menjadi berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut (GGA) dan yang sembuh sempurna. Diperkirakan insiden berkisar 0-28% pasca infeksi streptokokus. Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik. Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1. Glomerulus yang terdapat pada ginjal berfungsi membuang kelebihan cairan, elektrolit dan limbah dari aliran darah dan meneruskannya ke dalam urin. Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Glomerulonefritis dapat menyerang secara mendadak dan menyebabkan peradangan kronis secara bertahap.1,2 1
Pembahasan Anamnesis Berdasarkan keluhan yang dinyatakan oleh pasien 5 tahun tersebut, diketahui adanya air seni yang berwarna gelap, bengkak di kedua mata, dan nafas pendek. Darah yang terdapat dalam urin bisa terdeteksi oleh pasien: jumlah yang lebih sedikit (misalnya pada glomerulonefritis) bisa menimbulkan urin tampak “berkabut” dan bahkan jumlah yang lebih sedikit lagi dapat terdeteksi pada pemeriksaan dipstik atau mikroskopi. Adanya darah dalam urin bisa disebabkan oleh keganasan di bagian manapun di saluran ginjal, batu, infeksi, glomerulonefritis atau penyakit ginjal lainnya, dan sering ditemukan pada wanita yang sedang menstruasi. Hematuria mikroskopik umumnya mengenai 5% populasi dalam sebagian penelitian. Hematuria mikroskopik yang persisten biasanya memerlukan pertimbangan telliti mengenai kemungkinan adanya glomerulonefritis atau keganasan sebagai penyakit dasar. Yang harus dilakukan dalah anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dengan fokus khusus pada gejala yang timbul dari saluran kemih, proteinuria, dan hipertensi. Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi, biopsi ginjal, dan sistoskopi seringkali perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab yang pasti.
1.
Riwayat Penyakit Sekarang
Adakah hematuria? Jika ya, kapan dan berapa kali?
Dibagian mana dari pancaran urin tampak hematuria: sepanjang pancaran atau hanya di akhir kecing ( menunjukkan penyakit pada saluran kencing bagian bawah)?
Adakah tanda penyerta seperti disuria, demam, frekuensi nyeri pinggang?
Adakah gejala gangguan saluran kemih lainnya, seperti hesitansi, pancaran kecil, tetesan di akhir kencing?
Adakah gejala sistemik seperti penurunan berat badan, gatal, mual, anoreksia, bengkak pada tungkai, mata, dll?
Pernahkan sebelumnya ditemukan hematuria (misalnya dengan dipstik saat pemeriksaan medis)?
2.
Riwayat Penyakit Dahulu
Adakah riwayat hematuria sebelumnya atau penyakit lain yang mengenai saluran ginjal? 2
3.
Riwayat Keluarga
4.
Adakah riwayat penyakit ginjal dalam keluarga (misalnya penyakit ginjal polokistik)? Obat-obatan
Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan? ( Tetapi hematuria masih menunjukkan kemungkinan abnormalitas yang mendasari.)
Apakah pasien mengkonsumsi obat anti hipertensi?1,2
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan keluhan air seni gelap, bengkak kedua mata dan nafas pendek adalah dengan memeriksa: o Melihat pasien tampak sakit ringan atau berat. o Disertai tanda-tanda penurunan berat badan, demam, lesu, sakit kepala, anemia, atau gagal ginjal? o Periksa tekanan darah (TD) dan periksa tanda-tanda kerusakan hipertensif (misalnya retinopati, hipertrofi ventrikel kiri). o Adakah massa abnormal, kandung kemih, ginjal, atau pembesaran prostat.
Pada pasien penderita
glomerulonefritis akus (post infectious glomerulonefrinis) di
dapati tanda dan gejala klinis berupa: o Gejala bervariasi dari asimptomatik sampai berat o Tenggorokan sedikit hiperemis menandakan bahwa adanya tanda radang (infeksi Streptokokus) o Edema preorbital atau diseluruh tubuh. GNA ekskresi cairan tubuh berkurang ditambah adanya hipoalbuminemia cairan tertumpuk di interstisiel oedema o Edema
paru
didapatkan
pada
pasien
kemungkinan
disebabkan
karena
hipoalbuminemia pada pasien sehingga cairan terekstravasasi menuju jaringan paru dan menyebabkan edema paru. o Urin warna gelap (hematuria) o Oligouria, glomerulopati menyebabkan laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun, menyebabkan sekresi aldosteron meningkat. Sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi air oleh Na, tetapi cairan yang diabsorpsi mengalami ekstravasasi ke ekstrasel karena
3
hipoalbuminemia. Hal ini menyebabkan oligouria karena volume cairan banyak berada di daerah ekstrasel. o Proteinuria dan hematuria. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya kompleks akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Hal itu mengakibatkan kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang mengakibatkan proteinuria dan hematuria. o Delirium. LFG rendah ekskresi ureum rendah ureum dalam darah meningkat (uremia). Sindrom klinis akut dengan ciri penurunan taraf kesadaran (delirium), pada kasus ini dapat disebabkan karena kadar ureum yang meningkat dalam darah dan bersifat toksik bagi otak. o Lesu, sakit kepala, o Dapat timbul gejala gastrointestinal : muntah, tidak nafsu makan, konstipasi, dan diare. o Hipertensi (50-90%) karena berkurangnya LFG, ginjal merangsang Reninangiotensin-aldoesteron sistem (RAAS) yang sebenarnya bertujuan meningkatkan tekanan darah dengan menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah. Namun karena adanya gangguan di glomerulus, laju filtrasi yang harusnya ikut meningkat tidak berubah. Sehingga hasilnya hanya terjadi hipertensi pada pasien. o Takipnoe : Pada pasien terjadi edema paru yang menyebabkan sulitnya paru untuk mengembang, dan pemasukan oksigen semakin sulit, sehingga menyebabkan tubuh mencoba mengkompensasi dengan meningkatkan frekuensi pernafasan.2
4
Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan urin (urinalisis) sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging. Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit khas (silinder sel darah merah) terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti gambaran nefrotik. Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular. Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun. Sebagian besar anak yang dirawat dengan GNA menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin. Tes darah lengkap juga dilakukan untuk melihat adanya anemia ringan (anemia normositik normokrom) dan leukositosis. Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik bila edem menghilang. Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit. Kadar albumin dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus. Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap antigen streptokokus. Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10-14 hari setelah infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.1,2 Titer
ASTO
meningkat
pada
hanya
50%
kasus
glomerulonefritis
akut
pascastreptokokus atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali 5
lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan. Tes fungsi renal (faal filtrasi glomerulus) didapatkan adanya peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin serum dan peningkatannya biasanya transien. Karena dipengaruhi oleh masalah lain, tingkat BUN yang tinggi secara sendiri tidak tentu menandai masalah ginjal, tetapi memberi kesan adanya masalah. Sebaliknya, tingkat kreatinin yang tinggi dalam darah sangat spesifik menandai penurunan pada fungsi ginjal. Bila peningkatan ini menetap beberapa minggu atau bulan menunjukkan pasien bukan GNAPS sebenarnya. Pasien yang mengalami bentuk kresentik glomerulonefritis mengalami perubahan cepat, dan penyembuhan tidak sempurna. Adanya hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia dan asidosis metabolik menunjang adanya gangguan fungsi ginjal. Selain itu didapatkan juga hiperfosfatemi. Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl) sedangkan C4 di serum tetap normal. Pada pemeriksaan kadar komplemen, C3 akan kembali normal dalam 3 hari atau paling lama 30 hari setelah onset. Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hampir 93% pasien. Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.2 Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila:
Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
Tidak ada bukti infeksi streptokokus
Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, oligouria (>2 minggu), azotemia (>3 minggu), gross hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan.1,2
6
Gambar 1. Proliferasi difus sel mesangial dan peningkatan matrik mesangial di glomerulus . Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru dan gambaran radiologis berupa kardiomegali, bendungan sirkulasi paru dan edem paru. Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai edem yang berat. Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.2
Diagnosis kerja Glomerulonefritis Akut Post-streptococcus Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Glomerulonefritis akut merupakan keadaan timbulnya hematuria, proteinuria secara mendadak, adanya sel darah merah pada urin, edema dan hipertensi dengan atau tanpa oligouri. Glomerulonefritis dapat timbul setelah infeksi streptokokus.
Etiologi Streptokokus dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kemampuan menghancurkan sel darah merah, yaitu Streptococcus β haemolyticus jika kuman dapat melakukan hemolisis lengkap, Streptococcus α- haemolyticus jika melakukan hemolisis parsial, dan Streptococcus γ- haemolyticus jika tidak menyebabkan hemolisis. Streptococcus β haemolyticus dapat dibagi menjadi 20 grup serologis yaitu grup A hingga T. Sistem penentuan serotipe grup A streptokokus dibuat menurut abjad berdasarkan jenis polisakarida 7
dinding sel (Lancefield group) atas dasar reaksi presipitin protein M atau reaksi aglutinin protein T dinding sel. Streptokokus grup A, B, C, D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan pada manusia. Penyebab utama GNA post-streptococcus adalah Streptococcus yang bersifat nefritogenik yaitu Streptococcus grup A. Streptococcus β haemolyticus grup A merupakan bentuk yang paling virulen. Streptokokus grup A disebut juga dengan Streptokokus piogenes, dan termasuk kelompok Streptococcus β haemolyticus yang dapat menyebabkan GNAPS dan demam reumatik. Pada kuman streptokokus grup A ini, telah diidentifikasi sejumlah konsituen somatik dan produk ekstraselular, namun peranannya dalam patogenesis GNAPS belum semuanya diketahui.3 Bagian luar streptokokus grup A dibungkus oleh kapsul asam hyaluronat untuk bertahan terhadap fagositosis dan sebagai alat untuk melekatkan diri pada sel epitel. Selain itu pada permukaan kuman juga terdapat polimer karbohirat grup A, mukopeptide, dan protein M. Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambutrambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat rematogenik atau nefritogenik.1,3
Gambar 2. Struktur permukaan Streptokokus grup A.
8
Diagnosis Banding IgA Nefropati Nefropati IgA (NIgA) merupakan suatu bentuk glomerulopati primer yang terbanyak dibandingkan glomerulopati primer lain. Antigen yang merangsang terjadinya terjadinya kompleks imun IgA ini dapat berupa bakteri atau virus seperti herpes simpleks, epstein Barr, cytomegalovirus, adenovirus, dan hemophilus influenza. Hematuria merupakan gejala yang menonjol yang sering didahului oleh infeksi saluran nafas atas atau oleh diare 1-2 hari sebelumnya. Hal ini berbeda dengan GNAPS yang memerlukan waktu 1-2 minggu sebelum timbulnya gejala. Hematuria mikroskop merupakan gejala yang persisten, sedangkan proteinuria tidak selalu terjadi dan bersifat ringan. Gejala hipertensi dapat menyertai hematuria, sedangkan edema hanya terjadi pada kasus 10%. Selain hematuria sebagai gejala utama, maka Nefropati IgA dapat bermanifestasi dalam bentuk: sindroma nefrotik akut (SNA), sindroma nefrotik (SN), gabungan gejala SNA dan sindroma nefrotik, rapidly progressive glomerulonephritis. Diagnosis berdasar atas: gejala klinis dan pemeriksaan lab: serum IgA meningkat dalam darah, komplemen C3 biasanya normal, dan endapan IgA di mesangium glomerulus.3
Sindrom Nefrotik Idiopatik Sindroma nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Kelainan histopatologik yang terbanyak pada sindrom nefrotik idiopatik pada anak adalah kelainan minimal. Sindrom nefropati dapat menyerang semua umur, tetapi terutama menyerang anak-anak berusia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:3. Sindroma nefrotik berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu: 1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik Urin terdapat protein ≥40 mg/m2lpb/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam, atau dalam rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu >2mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
9
2. Hipoalbuminemia Albumin serum 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. 13
Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya di-observasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 –150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,150,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2 4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari) ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid 2mg/kgBB, 1-2 kali/hari.5 Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea normal kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10 % anak. Penanganannya sama dengan gagal ginjal akut dengan berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.3-6
14
Prognosis Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan. kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.3,5,6
Komplikasi Komplikasinya adalah gagal ginjal akut, dan meliputi kelebihan beban volume, kongesti sirkulasi, hipertensi, hiperkalemi, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis, kejangkejang, uremia dan ensefalopati.6,7
Pencegahan Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis. Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus diambil biakan untuk streptokokus beta-hemolitkus grup A dan diobati jika biakan positif.3,7
15
Kesimpulan Hematuria, proteinuria, edema, hipertensi, dan oligo/anuria merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada anak dengan GNA pasca Streptokokus. Selain itu, diagnosa ini didukung dari gejala-gejala khas pada penyakit ini diantaranya hipertensi, hematuria yang ditandai dengan ditemukannya urin yang berwarna merah seperti air cucian daging, edema yang ditemukan pada palpebranya dan kemudian menyebar ke bagian bawah ekstremitasnya, oliguria yang ditandai dengan volume urin yang dikeluarkannnya sedikit, azotemia yang pada pemeriksaan labnya kita temukan kadar ureum dan kreatinin darahnya meningkat, dan proteinuria yang pada pemeriksaan urinnya ditemukan protein.
Daftar Pustaka 1. Gleadle J. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Edisi 1. Jakarta: Erlangga; 2007, hal 98 2. Basuki BP. Dasar dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto; 2011. 3. Lumbanbatu, Sondang Maniur. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Sari pediatri; September 2003: vol. 5 (2). Hal. 58-63
4. Pardede, Sudung O. struktur sel streptokokus dan patogenesis glomerulonefritis akut paskastreptokokus. Sari pediatri juni 2009: vol. 11 (1). Hal. 56-65
5. Alpers, Ann. Buku ajar pediatri rudolph. Ed. 20. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 1647-51 6. Behrman Richard E, Vaughan Victor C. Nelson: textbook of pediatrics.18th edition. Philadelphia: W.B. Saunders. 2007. Page. 1906-10 7. Chris O. At a glance sistem ginjal. Edisi 2. Jakarta: Erlangga; 2009.
16