Geologi Regional Yogyakarta

April 16, 2017 | Author: Eka Nofiana Khumaeroh | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Geologi Regional Yogyakarta...

Description

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA Fisiografi Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu. Pengangkatan Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta. Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api (Gunung) Merapi. Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.

Gambar. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

GEOMORFOLOGI REGIONAL Dilihat dari satuan fisiografis dan geologis Daerah Istimewa Yogyakarta, secara keseluruhan mempunyai kondisi geomorfologi yang beraneka ragam, antara lain : 1. Satuan Gunung Merapi Satuan Gunung Api Merapi yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api yang meliputi daerah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul termasuk bentang lahan vulkanik. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung dan sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. 2. Satuan Pegunungan Selatan Satuan Pegunungan Selatan yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, atau dikenal sebagai Pegunungan Seribu merupakan wilayah perbukitan batu gamping (limestone) yang kritis, tandus dan selalu kekurangan air dengan bagian tengah terdapat dataran (Wonosari Basin). Di sisi utaranya, perbukitan kerucut Gunung Sewu berbatasan dengan dua buah ledok (basins), yaitu Ledok Wonosari di bagian barat dan Ledok Baturetno di bagian timur. Batas utara dari punggungan tersebut berupa tebing curam (steep escarpment), memanjang mulai daerah Parangtritis ke utara, di selatan Prambanan berbelok ke arah timur hingga Wonogiri. Di sebelah utaranya membentang dataran rendah, di mana lipatan batuan yang lebih tua turun cukup dalam, tertutup oleh kipas-kipas fluvio-volkanik muda dari beberapa gunung api 3. Satuan Pegunungan Kulon Progo Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kabupaten Kulon Progo bagian utara merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng yang curam dan potensi air tanahnya kecil.

Stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal dengan Formasi nanggulan, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo. Penyusun batuan dari formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napal dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Litologi dari Formasi Jonggrangan ini bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977). Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik. 4. Satuan Dataran Rendah Satuan Dataran Rendah merupakan bentang lahan fluvial yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Kabupaten Kulon Progo sampai dengan Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Bentang Lahan lainnya yang belum didayagunakan secara optimal adalah bentang lahan marin dan eolin yang merupakan satuan wilayah pantai, yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus di Parangtritis Bantul yang terkenal dengan gumuk pasir menjadi laboratorium alam studi geografi. Secara terperinci keadaan geomorfologi dan bentang lahan dari Daerah Istimewa Yogyakarta – Parangtritis antara lain: 1. Yogyakarta (Terban Bantul) Dataran alluvial disebelah selatan Kota Yogyakarta berasal dari kegiatan vulkanis muda (akhir plestosen/awal holosen) dari gunung api merapi. Dari Yogyakarta hingga Parangtritis, struktur geologisnya merupakan struktur terban (graben structure) yang berkaitan dengan pengangkatan dan amblesan pada pleistosen tengah. Struktur terban ini juga sering disebut

Terban Bantul (Bantul Graben). Daerah ini mengalami pengendapan bahan vulkanis dari gunung merapi melalui lahar atau pengendapan sungai biasa (reworked and redeposited volcanic materials). Bahan alluvial ini dengan jelas menutupi suatu topografi bekas, seolah – olah daerah ini terendam oleh sedimen alluivial. 2. Krinjing Tanah desa krinjing terletak pada jalur Siluk – Parangtritis. Singkapan batuan akibat proses erosi dan aktivitas penduduk dalam pembuatan teras – teras penorehan oleh penduduk, batuan aliran lava dengan isian fragmen batuan breksi andesitis, tanah latosol – litosol. Pada lokasi ini dapat dilihat batuan vulkanik yang berasal dari suatu jalur gunung api dengan umur akhir Oligosen/ awal Miosen. Pada daerah ini merupakan daerah dengan perwujudan dataran vulkanik yang merupakan singkapan dari aliran lava yang sudah lapuk (chemically weathered). 3.

Putat (Tempuran Kali Opak dengan Kali Oyo) Pada daerah ini memiliki satuan geomorfologis berupa bentukan lahan

asal fluvial. Daerah Putat berada disebelah selatan Sungai Opak dan Sungai Oyo dan sebelah timur Sungai Opak hilir yang mempunyai bentukan lahan seperti tanggul alam Sungai Opak, lereng fluvial serta gosong pantai. 4. Parangtritis a. Grogol Di Grogol selatan terdapat aliran lava andesit dan pembentukan gumuk pasir (sand dune). Disebelah utara Parangtritis, beberapa aliran lava tersingkap di pinggir jalan. Lava ini belum diubah oleh pelapukan dan dapat digolongkan sebagai andesit sampai basalt. Lava ini termasuk dalam kegiatan vulkanik pertama di Jawa, yakni akhir Oligosen / awal Miosen. Ciri khas batuan ekstrusif dibandingkan dengan batuan yang intrusif adalah keseragaman ukuran kristalnya.

b. Pantai Parangtritis Daerah Parangtritis, dekat muara Kali Opak, dapat dijumpai banyak gumuk pasir (sand dunes), yang biasanya tidak terdapat pada suatu iklim yang tropis dan humid. Gumuk – gumuk pasir ini terjadi dari pasir hitam yang terbawa ke laut oleh Kali Progo dan Kali Opak dari material vulkanik hasil letusan Gunung Api Merapi. Terbentuknya gumuk pasir di pantai selatan tersebut merupakan hasil proses yang dipengaruhi oleh angin, Gunung Merapi, Graben Bantul, serta Sungai Opak dan Progo. Pengaruh dari Gunung Merapi. Material yang ada pada gumuk pasir di pantai selatan Jawa berasal dari Gunung Api Merapi dan gunung gunung api aktif lain yang ada di sekitarnya. Akibat proses erosi dan gerak massa bautan, material kemudian terbawa oleh aliran sungai, misalnya pada Kali Krasak, Kali Gendol, dan Kali Suci. Aliran sungai kemudian mengalirkan material tersebut hingga ke pantai selatan. Kekuatan angin sangat berpengaruh terhadap pembentukan gumuk pasir, karena kekuatan angin menentukan kemampuannya untuk membawa material yang berupa pasir baik melalui menggelinding (rolling), merayap, melompat, maupun terbang. Karena adanya material pasir dalam jumlah banyak serta kekuatan angin yang besar, maka pasir akan membentuk berbagai tipe gumuk pasir, baik free dunes maupun impended dunes, biasanya pada daerah Parangtritis ini memiliki tipe gumuk pasir Barchan (Sabit) yaitu Gumuk pasir ini bentuknya menyerupai bulan sabit dan terbentuk pada daerah yang tidak memiliki barrier. Ketinggian gumuk pasir barchan umumnya antara 5 – 15 meter. Gumuk pasir ini merupakan perkembangan, karena proses eolin tersebut terhalangi oleh adanya beberapa tumbuhan, sehingga terbentuk gumuk pasir seperti ini dan daerah yang menghadap angin lebih landai dibandingkan dengan kemiringan lereng daerah yang membelakangi angin. Pada pantai selatan jawa, angin bertiup dari arah tenggara, hal ini menyebabkan sungai-sungai pada pantai selatan membelok ke arah kiri jika dilihat dari Samudra Hindia. Selain itu, karena arah tiupan angin tersebut, maka gumuk pasir yang terbentuk menghadap ke arah datangnya angin.

c. Parangkusuma Batuan

lava

yang diuraikan

tersingkap

juga

didekat

pantai

Parangkusuma. Batuan lava ini muncul dibelakang gumuk pasir resen. Daerah yang relative datar ini kelihatan masih didasari oleh batuan lava yang hamper mendekati pantai sekarang. Morfologi datar ini berasal dari abrasi laut sebagai pelataran abrasi (marine abrasion platform). Pelataran tersebut masih ada tetapi tetutup oleh gumuk pasir alluvium. 5.

Gunung Sewu – Gunung Kidul (Topografi Karst) Geomorfologi Daerah Gunung Sewu, berdasarkan morfogenetik dan

morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah mencapai tahapan dewasa. Sebagai akibat proses pengangkatan, kawasan batugamping yang berkembang di bagian paling selatan dari Pegunungan Selatan, khususnya di wilayah Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan, berkembang menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawah tanahnya (subterranean drainage). Sementara itu, kenampakan platonya pun pada akhirnya berubah menjadi bukit-bukit kecil berbentuk kerucut (conical hillocks) yang dikenal dengan Gunung Sewu. Di sisi selatannya, hantaman gelombang Samudera Hindia terus-menerus membentuk lereng-lereng terjal (cliff).

DAFTAR PUSTAKA http://bumi-ilmukebumian.blogspot.com/2011/01/geologi-regional yogyakarta. htmlBrady, 1877)

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF