gangguan mood / afek

July 12, 2018 | Author: MedhaGitta | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Gangguan mood atau afek adalah ekspresi umum dari penyakit mental dan sistemik. Kita membedakan emosi normatif seperti d...

Description

GANGGUAN MOOD Hagop S. Akiskal, MD

Abstrak Gangguan mood atau afek adalah ekspresi umum dari penyakit mental dan sistemik. Kita membedakan emosi normatif seperti dukacita, kesedihan, kegembiraan, marah, dan takut dari perluasannya menjadi depresi, mania, dan sindrom campuran menjadi gangguan unipolar dan bipolar. Kita kemudian juga membedakan gangguan kecemasan dari depresi dengan menggunakan parameter klinis maupun biologi. Diferensial diagnosis gangguan mood terhadap demensia dan skizofrenia ditentukan dari riwayat dan biologi. Secara terperinci deskripsi terhadap gejala dan tanda gangguan mood tersembunyi di bawah emosi, kognisi, psikomotor, dan anak judul vegetatif. Kita akhirnya memberikan cakupan atau batasan menjadi gangguan mood kronik dan akut, termasuk di dalamnya distimia dan siklotiamia. Pengetahuan mengenai psikopatologi gangguan mood dan variasinya memberikan arti yang besar dalam kesehatan publik untuk menerangkan konsekuensinya di bidang pendidikan, hubungan perkawinan, pekerjaan, dan area kesehatan fisik, dan lebih serius mengenai potensiasinya untuk menimbulkan tindakan bunuh diri. Kata kunci: Afek, Gangguan Bipolar, Depresi, Mania, Gangguan Campuran, Gangguan Mood, Bunuh Diri.

2

1. AFEK, MOOD DAN GANGGUANNYA Gangguan di sisi afek dan mood, terutama manifestasi dari depresi, merupakan tanda dan gejala paling umum yang mendorong seseorang untuk melakukan konsultasi kesehatan, baik dalam praktik kedokteran jiwa ataupun kedokteran umum. Ini bukanlah fakta yang mengejutkan bahwa dari perspektif perkembangan, munculnya suatu afek merupakan fungsi komunikasi yang penting. Afek adalah sesuatu yang menuntun kita untuk menilai, secara singkat, apakah orang lain itu sedang sedih , kecewa, atau marah. Afek megacu pada aspek emosi yang diekspresikan melalui mimik wajah, suara, kata-kata, gerak tubuh, postur, dan sebagainya, sedangkan mood diartikan sebagai ekspresi emosi yang lebih dirasakan atau dipikul. Senang, sedih, takut, dan marah adalah afek dasar, dan ekspresinya menunjukkan kepada kita bagaimana seseorang merasakan sesuatu di saat tertentu; mood di lain pihak berhubungan dengan apa yang dirasakan seseorang pada periode waktu tertentu. Masing-masing orang memiliki bentuk karakter dari gelombang afek dasar yang menentukan temperamen mereka. Contohnya beberapa orang yang secara singkat bersentuhan dengan kemalangan atau penghargaan, cenderung untuk bersikap tenang. Sebaliknya, beberapa di antara yang lain mudah goyah atau menangis oleh suatu kesedihan atau kesenangan, dan masih banyak lagi yang mudah merasa takut, cemas, atau marah. Secara normal, ‘irama’ dari gelombang afek relatif kecil, tergantung resonansi kejadian hari per hari, dan tidak berhubungan dengan fungsi. Kita berbicara mengenai gangguan afek ketika amplitude dan durasi afek itu berubah melebihi tuntutan adaptif dan memicu kerusakan fungsi. Kerusakan tersebut menyebabkan gangguan yang mendorong perubahan mood seseorang dan mempengaruhi

perubahan patologi pada aktivitas fisik maupun pikiran.

Gangguan mood yang menuntun ke diagnosa klinis dibagi mejadi 2 bentuk. Bentuk pertama terjadi pada episode yang menyokong gabungan tanda dan gejala afek , selama beberapa minggu sampai bulan pada satu waktu, dan membaik dalam interval waktu tertentu (biasanya tahunan). Episode dapat berupa episode

3

depresi (di mana depresi serta tanda dan gejala yang berhubungan medominasi gambaran klinis), manik (di mana euphoria serta tanda dan gejala yang berhubungan mendominasi gambaran klinis), atau campuran (di mana manifestasi depresi dan manik dapat di muncul bersamaan). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition (DSM-IV), pasien dengan episode depresi tunggal atau berulang dikatakan memiliki gangguan depresi mayor, kadang tampak seperti gangguan unipolar, yang dapat muncul pada segala umur. Hampir semua pasien dengan episode manik dan campuran, juga memiliki episode depresi, dan karena alasan inilah, penyakit tersebut dikenal sebagai gangguan bipolar. Onset gangguan bipolar ini adalah pada kelompok usia yang lebih muda (remaja sampai usia 40-an tahun). Gangguan bipolar juga dikenal sebagai penyakit manik-depresif. Meskipun depresi mayor dan bentuk bipolar dari gangguan mood ini dapat dipercepat oleh stressor sosial dan biologi. Bentuk kedua dari gangguan afek terdiri dari periode mood yang berfluktuasi yang tidak dikelompokkan ke dalam episode yang berbeda, namun terjadi pada bentuk low-grade intermitten, umumnya mulai terjadi pada masa akhir kanak-kanak atau lebih tua dan berlanjut selama masa dewasa. Distimia dikarakteristikkan sebagai manifestasi dari depresi ringan, hipertimia terjadi pada periode yang lebih ringan dikenal sebagai hipomania, dan siklotimia dengan berbagai mood yang bergantian antara periode ‘naik’ dan ‘turun’. Ketiga kondisi ini juga dikenal sebagai ‘gangguan subafektif’ dengan pengertian ketiganya menunjukkan ekspresi klinis yang lemah dari gangguan afek. Kondisi tersebut dapat muncul selama hidup sebagai temperamental yang ekstrim tanpa keadaan patologi yang signifikan, akan tetapi ketika ditekan, dapat memicu beberapa kerusakan fungsi dan kecenderungannya menjadi kronik. Dalam praktek klinis, distimia dan siklotimia sering menjadi prekursor terjadinya depresi berat atau gangguan bipolar atau menambah manifestasi inter-episode pada pasien yang telah kembali dari masa penyembuhan depresi, manik, atau campuran,

4

Perbedaan gangguan unipolar-bipolar di deskripsikan melalui kerangka umum dari gangguan mood. Antara depresi unipolar yang sempurna

dan

gangguan bipolar tipe I (depresi bergantian dengan mania atau campuran), ada suatu kondisi yang disebut unipolar II (pada pasien ditemukan hipomania atau kegembiraan yang ringan dalam pengobatan antidepresan, dan dengan alasan ini lebih tepat dikarakteristikkan sebagai gangguan bipolar tipe III), dan bipolar II (pada pasien dengan hipomania spontan, umumya pada akhir episode). Pada beberapa pasien gangguan bipolar tipe II, lamanya periode adalah sering dan baiknya pasien dideskripsikan memiliki gangguan ‘depresi siklotimik’. Akhirnya, untuk

mengkomplikasikan

masalah,

beberapa

pasien

gangguan

bipolar

seharusnya ditentukan sebagai pasien ‘pseudounipolar’ karena mereka jatuh ke keadaan depresi berat dari kedudukan yang lebih tinggi daripada tingkatan normal temperamen hipertimia. Bentuk lain selain gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan bipolar tipe IV. Penelitian yang lebih banyak masih diperlukan menghantarkan kondisi afek intermediet ini untuk mendapatkan penetapan nosologi yang lebih baik. Tabel 23.1 merangkum

konsep di atas mengenai

subtype gangguan bipolar. Hanya gangguan bipolar I dan II yang secara resmi dimasukkan dalam American Psychiatric Association’s official nosology (DSM IV-TR, 2000). Dalam DSM IV-TR, gangguan unipolar tidak dimasukkan, karena dengan meningkatnya episode, banyak pasien depresi berat berganti menjadi gangguan bipolar I atau bipolar II. Tabel 23.1. Spektrum Gangguan Bipolar Bipolar I Bipolar II Bipolar III

Depresi bergantian dengan mania atau sebaliknya Depresi diselingi episode hipomania Pergantian hipomania dalam pengobatan antidepresan

atau somatoterapi yang lain Bipolar IV Depresi yang muncul dari temperamen hipertimik Pada ekspresi patologi, afek marah tidak dirinci ke dalam gangguan psikopatologi yang jelas dan umum pada jenis gangguan psikiatri. Takut, di lain

5

pihak, dalam ekspresi patologis nya dikenal sebagai kecemasan, yang tidak hanya terlihat secara tak langsung pada banyak kondisi pasikiatri, namun juga dirincikan ke dalam spektrum gangguan kecemasan. Tujuan utama dari bagian ini, adalah untuk mendeskripsikan tanda dan gejala dari kekacauan afek dan mood secara detail untuk menjelaskan perbedaannya dari afek normal dan manifestasi dari gangguan psikiatri yang lain. Apapun spesialisasi utamanya , setiap dokter harus berkompeten untuk membuat diagnosis dan memberikan pengobatan untuk kondisi depresi, tidak hanya karena prevalensinya yang tinggi tapi juga sebagai data penting berkaitan dengan disabling nature dari depresi yang berkelanjutan dan tidak dapat ditentukan. Suatu laporan yang dipublikasikan di JAMA menunjukkan bahwa ketidakmampuan fungsi yang dipengaruhi oleh depresi melebihi kebanyakan kondisi medis lainnya dan sebanding dengan penyakit jantung. Data terbaru semakin menunjukkan penemuan dari gangguan bipolar, termasuk depresi bipolar. 2. SINDROM DEPRESI Seperti pada kondisi medis lainnya, tanda dan gejala depresi cenderung dikelompokkan bersama dalam suatu sindroma, atau sering disebut dengan ‘depresi klinis’. Depresi sebagai sindroma medis telahh diketahu sejak zaman Hipocrates, kurang lebih 2500 tahun yang lalu. Penelitian kontemporer canggih dilakukan oleh Lewis dan Jackson. Faktor etiologi multipel (beberapa genetik, lainnya lingkungan) dapat meningkatkan jalur sampainya ke suatu keadaan depresi. Satu kelompok faktor penyebab yang selalu ada berkenaan dengan etiologi depresi, terutama pada pasien usia lebih dari 40 tahun, adalah penyakit sistemik atau obat-obatan yang digunakan untuk pengobatannya. Hal ini tidak selalu jelas, namun, penyakit-penyakit tersebut mampu menyebabkan depresi. Biasanya, tidak lebih dari 15% dari salah satu kondisi dalam daftar tabel akan menderita depresi. Lebih jauh, mengurangi kondisi fisik yang mengganggu, jika semuanya dimungkinkan, tidak sera merta menyembuhkan keadaan depresi. Memang, mereka yang meninggal karena depresi yang disebabkan karena kondisi somatik, biasanya memiliki riwayat depresi pada pribadi atau

6

keluarganya.

Jadi beberapa faktor predisposisi, terutama factor genetik,

tampaknya berperan terutama untuk gangguan mood yang berulang. Akan tetapi prognosis dari depresi ini bervariasi, tergantung apakah depresi tersebut terjadi bersamaan dengan gangguan psikiatri medis atau gangguan nonafektif lain, seperti ganguan panik, sosiopati, dan skizofrenia. Depresi sekunder ini cenderung menunjukkan penampakan klinis dan sering menetap hingga beberapa bulan (kadang beberapa tahun), melebihi durasi umumnya dari depresi. 2.1. Perubahan Mood Gangguan mood biasanya ditentukan sine qua non dari sindroma dan bisa menimbulkan manifestasi baik munculnya rasa sakit atau hilangnya keinginan untuk berbuat senang (anhedonia). Rasa sakit bisa terjadi karena adanya kesedihan yang sangat, ketidaknyamanan, atau kecemasan, dan lebih ekstrim lagi penderitaan mendalam yang tidak terlukiskan. Perasaan ingin marah dan kecemasan sering berbeda secara kualitatif dari penyakit ‘neurotic’ yang lain dan mengambil bentuk kekacauan dalam diri yang berat dan kegelisahan yang tak berdasar. Rasa sakit fisik dari depresi sangat menyiksa dan dideskripsikan pasien bahwa sakitnya melebihi rasa sakit fisik umumnya. Willian James merujuk depresi ini sebagai

‘psychical neuralgia’. Pasien dapat saja

melakukan bunuh diri dalam usaha untuk menemukan pembebasan dari rasa sakit fisik yang menyiksa tersebut.

Literatur lebih baru mengenai

penderitaan depresi diungkapkan William Styron- yaitu suatu kondisi ‘kegelapan’ menjadi terlihat. Pasien yang lain, menderita dari penyakit yang lebih ringan dan terlihat dalam pelayanan primer, menyangkal pengalaman seperti sakit mental, dan malah mengeluh mengenai masalah monosimptomatik psigikal, seperti sakit kepala, nyeri epigastrik, dan precordial distress dalam ketidakadaan bukti diagnosa patologi kelainan organik. Rasa sakit yang multipel, mungkin muncul terutama pada pasien muda.

Kondisi-konsisi

seperti ini disebut sebagai depression sine depression, atau ‘masked

7

depression’.

Dalam situasi seperti ini seorang pemeriksa dapat

menghubungkan munculnya perubahan mood dengan afek depresi dari ekspresi muka, suara, dan penampakan pasien secra keseluruhan, depresi tipikal masa lau, atau riwayat depresi pada keluarga dapat dijadikan sebagai validator eksternal. Secara berlawanan, persepsi memuncak dari rasa sakit dari depresi sering diikuti oleh ketidakmampuan untuk merasakan kesedihan dan dukacita yang normal, seperti halnya juga kesenangan dan kegembiraan. Jadi, anhedonia, hilangnya kemampuan untuk merasakan kegembiraan adalah suatu contoh special dari ketidakmampuan yang lebih umum untuk merasakan emosi yang normal. Pasien dengan gangguan seperti ini sering kehilangan kemampuan untuk menangis (suatu kemampuan yang harusnya muncul ketika depresi memuncak) Selama interview klinis, tidaklah cukup hanya menanyakan apakah pasien kehilangan rasa senang, pemeriksa juga harus menunjukkan bahwa pasien sudah menyerah akhir-akhir ini menikmati masa lampaunya. Dalam kasus yang ekstrim, pasien mungkin mengeluh bahwa dirinya kehilangan rasa untuk anak-anaknya, yang seharusnya menjadi sesuatu yang menggembirakan untuknya. Akibat dari hilangnya perasaan emosional dapat menjadi sangat meresap sehingga pasien merasa kehilangan nilai dan kepercayaan yang sebelumnya berharga dalam hidupnya. Hal ini diterangkan secara rinci oleh Tolstoy dalam autobiografiny, Confession, di sini ia bercerita

bagaimana

depresi

yang

dialami

dalam

hidupnya

menghantarkannya ke suatu ‘krisis spiritual’. Ketidakmampuan depresi untuk merasakan emosi yang normal berbeda dengan apa yang terjadi pada skizofrenia (dimana hilangnya emosi dialami sebagai penyakit itu sendiri). Oleh

karena

itu,

pasien

depresi

sangat

menderita

terhadap

ketidakmampuannya untuk merasakan emosi. Tabel 23.2. Kondisi medis dan farmakologis yang umumnya berhubungan dengan onser terjadinya depresi

8

Kondisi Medis Hipertiroid Penyakit Chusing’s Diabetes mellitus SLE Infark myocard Avitaminosos Anemia Kanker (terutana abdominal) Tuberkulosis Influensa; pneumonia virus Infeksi mononucleosis General paresis AIDS Tumor serebral Trauma kepala Kejang parsial kompleks Stroke Penyakit Parkinson Multiple sklerosis Penyakit Alzheimer Sleep apnea

Agen Farmakologi Reserpine, alpha-methildopa, dan antihipersensitif yg lain Kemoterapi antikanker Kortikosteroid, kontrasepsi oral Interferon Simetidin, indometasin Antipsikotik klasik Insektisida antikolinesterase Alcohol, barbiturate Stimulant withdrawl

2.2. Gangguan Vegetatif Orang-orang kuno beranggapan bahwa depresi adalah penyakit somatik yang disebabkan oleh air empedu hitam, karena itulah istilah melankolik berasal dari kata bahasa Yunani “Melancholia” yang berarti air empedu hitam. Pada kondisi depresi, perubahan mood memang disertai beberapa gangguan fisiologis yang melibatkan disfungsi limbik-diensefalon. Termasuk dalam gangguan fisiologis tersebut adalah perubahan libido, menstruasi, nafsu makan, tidur, dan irama sirkadian lainnya. DSM IV menggunakan istilah melankolia untuk sekumpulan gejala khas depresi yang meliputi gangguan vegetatif, psikomotor, anhedonia, dan pencelaan diri.

9

Penurunan hasrat seksual bisa terjadi pada pria maupun wanita. Pada wanita juga sering dijumpai keluhan berupa berhentinya menstruasi atau frekuensinya

menjadi

jarang.

Penurunan

libido

pada

pria

sering

mengakibatkan kegagalan ereksi. Gangguan tidur dan nafsu makan telah diketahui sejak zaman Hippocrates dimana terdapat kasus seorang perempuan dengan pikiran melankolik yang diketahui memiliki gejala susah tidur, malas makan, rasa takut, dan murung. Penurunan aktivitas tidur dan nafsu makan bisa terjadi bersamaan, namun tidak jarang juga salah satunya justru mengalami peningkatan. Kenaikan berat badan bisa disebabkan oleh makan berlebihan, penurunan aktivitas atau keduanya. Perubahan berat badan pada depresi bisa menimbulkan dampak serius. Kurangnya asupan makanan terutama pada lansia, dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan elektrolit yang mengarah pada kedaruratan medis. Peningkatan berat badan pada usia dewasa muda dapat meningkatkan resiko diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit arteri koroner. Seperti halnya nafsu makan, aktivitas tidur mungkin mengalami peningkatan atau penurunan. Insomnia adalah salah satu manifestasi utama dari gangguan depresi dan ditandai oleh keadaan terjaga atau tidak tidur terutama saat dini hari. Fase tidur nyenyak bisa berkurang atau tidak sempurna. Konsumsi alkohol pada awalnya bisa mengatasi keluhan ini, tapi pada akhirnya dapat memperparah insomnia. Penggunaan obat sedatif efektif mengatasi penurunan frekuensi susah tidur untuk jangka waktu pendek tapi tidak efektif untuk jangka waktu yang lama karena penurunan fase tidur ke-3 dan ke-4.

10

Pasien

muda

dengan

depresi,

terutama

yang

mempunyai

kecenderungan bipolar bisa dijumpai keluhan hipersomnia. Pasien tipe ini kesulitan terbangun pada pagi hari. Baik mengalami insomnia atau hipersomnia, hampir 2/3 pasien mengalami pemendekan fase laten REM, yaitu periode dari mulai tertidur sampai periode REM pertama. Kelainan ini terlihat sepanjang episode depresi. Kelainan REM lainnya termasuk periode REM yang lebih lama dan meningkatnya frekuensi pergerakan mata pada separuh malam yang awal. Kelainan-kelainan pada REM ini lebih spesifik terjadi pada gangguan depresi primer dibanding pada pasien-pasien dengan skizofren, kecemasan, atau gangguan kepribadian. 2.3.

Gangguan Psikomotor Pasien depresi menunjukkan kelainan khas fungsi motorik. Tandatanda penurunan aktivitas psikomotor antara lain:   

kurangnya gerakan spontan postur lunglai dengan tatapan menunduk kelelahan yang luar biasa, pasien mengeluh semua yang dilakukannya

   

melelahkan bahkan untuk aktivitas yang ringan dan sederhana sekalipun saat berbicara kurang mengalir dan intonasi juga menurun perasaan subjektif bahwa waktu berjalan lambat atau bahkan berhenti menurunnya konsentrasi dan sering lupa hilangnya kemampuan membuat keputusan DSM IV membuat kriteria objektif yang lebih mudah untuk

mengetahui adanya perlambatan psikomotor ditinjau dari aspek fisik. Contoh kasus yang menggambarkan perlambatan psikomotor pada pasien depresi adalah seperti kasus pasien berikut : Seorang pria 47 tahun dengan depresi sedang, mengeluhkan hal-hal berikut : “Saya kelelahan sekaligus memiliki perasaan yang kelam.

11

Ketangkasan berkurang, bahkan sekedar aktivitas menulis sekalipun terasa sebagai tugas yang berat. Saya kesulitan mengingat sesuatu terutama katakata. Daya ingat melemah dan hal itu membuat frustasi. Otak rasanya kacau, proses berpikir melambat dan membingungkan. Pikiran saya serasa terputus terutama saat tengah berbicara atau berpikir. Saya merasa tidak berdaya. Di pagi hari, saya merasa loyo, tak berdaya, dan bimbang. Saya bahkan tidak bisa memutuskan dasi mana yang sebaiknya saya pakai. Saya merasa seperti kehilangan arah dan tujuan. Saya tidak bisa mengaktualisasikan diri saya, saya tidak mampu berusaha mewujudkan keinginan saya, saya sama sekali tidak memiliki kemauan”. Penurunan psikomotor menyebabkan pasien tidak bisa lagi bekerja, urusan rumah berantakan, dan bila dia seorang pelajar maka dia bisa berhenti sekolah. Pada orang yang lebih tua penurunan fungsi mental bisa menyerupai seolah-olah pasien mengalami demensia karena

gangguan memori,

disorientasi, dan kebingungan. Gambaran klinik ini dikenal sebagai pseudodemensia depresif. Pada pasien muda dengan depresi, terutama pasien bipolar, manifestasi berat dari penurunan psikomotornya bisa berupa stupor dimana pasien bahkan tidak bisa menjalankan tugas biologis seperti makan. Terapi elektrokonvulsi sering bermanfaat dalam beberapa kasus, tetapi kemungkinan diagnosa kasus stupor karena sebab metabolik atau neurologik harus disingkirkan terlebih dahulu dengan evaluasi klinik dan laboratorik yang tepat. 2.4.

Gangguan Kognitif Istilah kognitif mengarah pada memori, proses berpikir, dan isi pikiran. Pada pasien dengan depresi, gangguan kognitif bersifat sekunder karena gangguan psikomotor. Selain terjadi kesulitan konsentrasi dan gangguan memori, pasien depresi menunjukkan abnormalitas pikiran berupa

12

pandangan negatif tentang dirinya, dunia, dan masa depan. Secara klinis, manifestasinya antara lain :     

Adanya ide berupa ketidakberuntungan dan perasaan kalah Rendah diri Mencela diri sendiri dan adanya rasa bersalah Pesimis, perasaan tidak ada harapan Pikiran berulang tentang kematian dan bunuh diri Karakteristik utama pasien depresi adalah dia berpikir tentang segala

sesuatu dengan pandangan negatif dan suram. Penilaian tentang diri sendiri biasanya salah. Beberapa gejala tersebut bahkan mendekati ke arah waham. Pada pasien dengan depresi berat bisa memiliki gejala berupa waham, perasaan tidak berarti, rasa berdosa, dan perasaan tersiksa. Pasien depresi merasa bahwa mereka sudah tak punya arti lagi, bahkan sebagian pasien dengan depresi merasa menderita penyakit berat semacam AIDS atau kanker atau merasa salah satu bagian dari anggota tubuhnya hilang (waham nihilistik). Sejumlah kecil pasien depresi bisa memiliki halusinasi auditorik semisal suara-suara yang menuduh atau halusinasi visual misalnya mereka melihat diri mereka di peti mati atau di kuburan. Semua tanda psikotik tersebut menjadi bukti bahwa pasien dengan depresi mempunyai mood yang patologis. Ketika aktivitas psikomotor mulai membaik baik secara spontan atau dengan antidepresan, mood dan pikiran mereka bisa jadi belum membaik sehingga kemungkinan masih ada ide untuk melakukan bunuh diri. Karena itu, selama periode penyembuhan depresi memerlukan kehati-hatian kemungkinan adanya usaha bunuh diri. 3. PERBEDAAN ANTARA PERASAAN SEDIH DAN MELANKOLIA

13

Depresi jelas berbeda dengan perasaan sedih yang biasa. Sifat berkelanjutan dari gangguan mood dengan tanda dan gejala pada aspek vegetatif, psikomotor, dan kognitif, adanya kecenderungan untuk berulang, dan adanya riwayat gangguan mood pada keluarga cukup untuk membedakan depresi dari perasaan sedih biasa yang memang umum dialami oleh setiap orang. Dokter akan menemui kesulitan dalam memutuskan apakah pasien mengalami perasaan sedih biasa atau sudah mengarah ke tanda klinis depresi. Karena sekitar 5% orang-orang yang mengalami duka cita karena musibah kematian juga mempunyai banyak gejala depresi dalam kurun waktu satu tahun pertama setelah musibah, bagaimana dokter bisa menentukan apakah rasa sedih tersebut telah berkembang ke arah melankolia? Clayton dkk, telah membuat kriteria berikut sebagai pedoman : 

Kecenderungan untuk bunuh diri tidak terjadi pada orang dengan rasa sedih



yang biasa Tidak ada tanda penurunan psikomotor pada orang dengan rasa sedih yang



biasa Orang dengan rasa sedih yang biasa tidak memiliki perasaan bersalah yang



berlebihan Mumifikasi atau pembuatan mumi dari mayat orang yang dicintai termasuk abnormal dan merupakan indikasi psikopatologi Meskipun temuan DST dan jeda REM tidak secara sistematis dikaji dalam

konteks ini, keduanya mungkin dapat membantu, terutama ketika didapatkan nilai-nilai laboratorium yang sangat menyimpang dalam proses diagnostik diferensial. Berikut adalah gambaran tentang penggunaan bersama indikator klinis dan biologis dalam melakukan diagnosis diferensial sindrom afektif yang menggambarkan ciri kesedihan patologis (36).

14

Seorang janda usia 75 tahun dibawa oleh putrinya karena insomnia berat dan hilangnya minat dalam melakukan rutinitas sehari-hari setelah suaminya meninggal dunia 1 tahun sebelumnya. Pada dua bulan pertama wanita tersebut mengalami kegelisahan dan berlanjut jatuh ke dalam kondisi tidak melakukan aktivitas secara total, tidak ingin turun dari tempat tidurnya, tidak ingin melakukan apa pun dan tidak ingin pergi keluar. Menurut penjelasan putrinya, dia telah menikah selama 21 tahun, memiliki empat orang anak dan bekerja sebagai ibu rumah tangga sampai kematian suaminya yang disebabkan karena serangan jantung. Riwayat psikiatri dahulu negatif; penyesuaian premorbid ditandai dengan sifat kompulsif. Selama wawancara, wanita tersebut berpakaian hitam, nampak agak lambat dan sesekali terisak dan berkata “Saya mencari dia dimana-mana, saya tidak menemukan dia”. Ketika ditanya tentang kehidupan, wanita tersebut berkata, “Semua yang saya lihat gelap." Meskipun ia mengutarakan tidak ada minat dalam makan, tampaknya berat badannya tidak hilang secara berarti. DST wanita tersebut 18 dl. Pasien menolak perawatan psikiatri, dinyatakan dengan ia “lebih suka bergabung dengan suaminya daripada sembuh”. Dia terlalu religius untuk bunuh diri, tapi dengan menolak pengobatan, ia merasa bahwa ia akan “merana, menemukan keringanan dalam kematian dan bersatu kembali!”. Pengalaman klinis terkini menunjukkan bahwa pengobatan antidepresan sering diindikasikan ketika kesedihan telah mencapai ambang batas secara klinik (37). 4. PERBEDAAN ANTARA ANSIETAS DAN KEADAAN DEPRESI Ansietas (kecemasan) merupakan gejala yang umum dari depresi, dan depresi merupakan komplikasi yang umum pada gangguan kecemasan. Memisahkan kedua alternatif tersebut dengan dasar klinis yang kuat tidaklah selalu mudah. Studi sistematis di UK menunjukkan bahwa terbangun di pagi buta, retardasi psikomotor, mencela diri sendiri, putus asa dan adanya ide bunuh diri

15

merupakan tanda klinis terkuat dari depresi yang dapat digunakan pada diferensial diagnosis. Pada follow up pasien depresi, manifestasi ini cenderung berkurang, sedangkan pada pasien ansietas berlanjut memperlihatkan gambaran tanda dan gejala yang terdiri dari ketegangan yang jelas, fobia, serangan panik, ketidakstabilan vasomotor, perasaan yang tidak nyata, penyimpangan persepsi, serta ide paranoid dan hipokondria. Ciri khas ansietas yang dominan diperlihatakan pada pertarungan melawan penyakit yang mengisyaratkan diagnosis gangguan kecemasan. Hal tersebut harus disimpan dalam ingatan, namun, bahwasannya gangguan kecemasan yang pertama kali jarang muncul setelah usia 40 tahun. Oleh karena itu, sebaiknya menjadi perhatian pada pasien yang menunjukkan tanda gangguan kecemasan yang muncul pertama kali setelah usia 40 tahun bahwa pasien tersebut menderita depresi yang berat dan mereka perlu perawatan yang sesuai dengan kondisinya. Kasus berikut terjadi di pusat gangguan tidur, ilustrasinya sebagai berikut, Seorang guru sudah menikah berusia 52 tahun dengan riwayat psikiatri yang biasa saja sebelumnya dirujuk oleh dokter penyakit dalamnya untuk menyingkirkan gangguan sleep apneu. Tiga minggu sebelumnya, dia mulai terbangun beberapa kali di malam hari, terengah-engah dan berkeringat, dengan berdebar-debar dan ketakutan yang hebat. Tidak ada mimpi yang luar biasa yang diingatnya. Sejarah mengungkapkan bahwa seorang temannya, yang memiliki hubungan tidak terlalu dekat dengan pasien, baru saja menderita serangan jantung yang berat dan menjalani operasi bypass. Keluhan tambahan yang dialami pasien meliputi terbangun di pagi buta, perasaan lelah di pagi hari, ketegangan, mudah marah dan ketakutan sepanjang hari, kesulitan mengajar di kelas. Nafsu makan dan libido tidak berubah. Pasien menyangkal depresi secara subjektif. Selama wawancara psikiatri, wajahnya mengekspresikan kekhawatiran dan kesuraman dan dia tampak cukup gelisah, dia tersiksa oleh ketakutan bahwasannya dia mungkin akan meninggal tiba-tiba, meskipun dia tidak dapat mengatakan

16

penyebabnya. Anehnya, dia tidak menyadari kejelasan hubungan antara keseriusan penyakit temannya dengan awal mula gejala kesedihan yang dialaminya. Riwayat keluarga biasa saja. Pasien tidak merespon pemberian dosis awal diazepam 20 mg/hari selama 3 minggu. Setelah kegagalan obat tersebut, evaluasi polysomnografik dikesampingkan sleep apneu sementara menunjukkan jeda REM 38 menit, middle dan terminal insomnia dengan efisiensi tidur 64%. Dalam jangka waktu 15 hari pasien menunjukkan respon yang dramatis terhadap efek sedatif antidepresan. Pasien dengan kecemasan dan ketegangan seperti tersebut menunjukkan varian dari depresi unipolar dan pada klasifikasi sebelumnya, gangguan tersebut disebut “Involution melancholia”. Untuk mendukung diagnosis terakhir, seorang doker harus mencatat gangguan berupa gejala irritable-hipomanic ke dalam episode depresi. Pada kasus yang lebih berat, keadaan bipolar campuran perlu dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis. Sampai saat ini, diferensial diagnosis dari ansietas dan keadaan depresi masih belum terselesaikan. Meskipun penyakit depresi yang berulang merupakan perbedaan yang paling utama dari gangguan ansietas, setidaknya ada beberapa bentuk depresi yang bertumpangtindih dengan ganggguan panik. Pada penelitian sleep EEG menunjukkan bahwa jeda REM yang pendek bukan karakteristik dari gangguan ansietas, bahkan ketika dikomplikasikan dengan depresi (41). Lebih lanjut, arecoline memperpendek jeda REM pada depresi namun tidak pada ansietas (42). Temuan DST pada umumnya negatif pada ansietas (43). Tetapi, aktivitas corticotrophin-releasing factor (CRF) menunjukkan peningkatan baik pada depresi maupun ansietas. Aliran darah lengan bawah basal meningkat pada ansietas namun tidak pada depresi. Sebaliknya, daya hantar dasar kulit, ukuran psikofiologik lainnya, menurun pada keadaan depresi (47). Pertimbangan biologis ini tidak menjanjikan sebagai pengganti penilaian klinis.

17

Tabel 23.4 meringkas pertimbangan klinis berdasarkan bobot literatur yang menunjukkan perbedaan yang paling besar antara keadaan ansietas dan depresi (47). Perbedaan klinis lebih lanjut pada riwayat keluarga (48). Dengan demikian, pasien yang menunjukkan gejala ansietas selama depresi memiliki anggota keluarga dengan depresi dan bukan gangguan ansietas; Sebaliknya hal ini benar untuk pasien yang diagnosis primernya adalah gangguan ansietas. Pasien dengan keadaan campuran, seperti yang diperkirakan, sering kali memiliki riwayat keluarga dengan gangguan bipolar (39). Hasil akhir pembahasan hubungan antara ansietas dan depresi adalah berupa istilah yang disebut dengan “depresi atipikal” (49). Secara klasik, hal ini ringan, pasien depresi rawat jalan (yang terkadang mengalami sindrom mendalam yang penuh) terutama ditemukan pada wanita muda yang merupakan rujukan dari bagian kardiologi, karena manifestasi peningkatan aktivitas sistem saraf otonom. Berlawanan dengan latar belakang ansietas dengan gejala somatik, yang biasanya menyebabkan fobia, pasien tersebut menderita insomnia awal (tidak bisa tidur dalam dan terlalu lama bila telah bisa tidur), kelelahan dan kelesuan di siang hari, reaksi yang berlebihan dan merasa keadaannya lebih buruk di malam hari. Diferensial diagnosis ini penting, karena Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) lebih mungkin efektif pada pasien tersebut (50). Pasien tersebut juga memiliki kedekatan terhadap gangguan bipolar II (51). Singkatnya, komponen penanda ansietas pada keadaan depresi tidak bisa secara otomatis dianggap “unipolar”. Tabel 23.4. Perbedaan secara cross-sectional ciri klinis keadaan ansietas dan depresi Ansietas Kewaspadaan berlebihan

Depresi yang Retardasi psikomotor

18

Tekanan dan panik yang Kesedihan yang mendalam berat Persepsi bahaya Fobia Keraguan dan ketidakpastian Perasaan tidak aman Tampilan kecemasan

Persepsi kehilangan Kehilangan minat (anhedonia) Keputusasaan dan ingin bunuh diri Penarikan diri Hilangnya libido Terbangun dini hari Hilangnya berat badan

5. HETEROGENITAS GANGGUAN DYSTHYMIK Sebagaimana didefinisikan dalam DSM-IV, dysthymia mengacu pada kronis, ringan, depresi yang berulang, dimana lamanya minimal 2 tahun. Kecuali dihubungkan dengan kekronisan, hal ini mirip dengan apa yang telah diklasifikasi diawal, yaitu yang disebut "depresi neurotik." Hal ini merupakan pengelompokan heterogen dimana beberapa bagian secara nosologik tidak dapat dikategorikan (52). Beberapa pasien yang menunjukkan depresi ringan berulang tidak menderita gangguan mood primer; kemurungan mereka merupakan sekunder dari kondisi kejiwaan lainnya, seperti gangguan kecemasan, anorexia nervosa, gangguan konversi, sociopathy, dan varian lainnya. Lebih umumnya, depresi ringan merupakan tahap sisa dari depresi berat primer yang kesembuhannya tidak sempurna; Gejala sisa seperti ini paling sering terlihat pada penyakit unipolar onset lambat (
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF