Gado-gado ala Sampang! Serial Diskusi Masalah Kesehatan - Agung Dwi Laksono
Short Description
Buku ini lebih merupakan catatan keprihatinan atas banyak hal dan kejadian yang menjadi potret buruk status kesehatan di...
Description
Gado-gado ala SAMPANG! Serial Diskusi Masalah Kesehatan
AGUNG DWI LAKSONO
Diterbitkan oleh;
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749
i
Gado-gado ala SAMPANG! Serial Diskusi Masalah Kesehatan
Penulis: Agung Dwi Laksono
©Agung Dwi Laksono
Cetakan Pertama –Januari 2013 Penata Letak – ADdesign Desain Sampul – ADdesign ISBN: 978-602-235-222-8
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
ii
Pengantar Puji Tuhan akhirnya buku ‘Gado-gado ala SAMPANG!’ yang merupakan seri ke-lima ‘Serial Diskusi Masalah Kesehatan’ dapat diselesaikan. Buku ini lebih merupakan catatan keprihatinan atas banyak hal dan kejadian yang menjadi potret buruk status kesehatan di Pulau Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) menempatkan semua (empat) kabupaten di Pulau Madura sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Dalam catatan, hal ini sudah sangat biasa, bahwa empat kabupaten di Madura selalu, baik bergantian maupun bersama-sama, menempati posisi bawah pemeringkatan status kesehatan dilihat dari sisi manapun di Propinsi Jawa Timur. Faktor budaya Madura yang seringkali dipakai sebagai kambing hitam atas kondisi ini, meski dibantah keras oleh aktor kebijakan lokal. Buku ini merupakan dokumentasi salah satu rangkaian catatan ‘Diskusi Senin Pagi’ yang dilakukan oleh penulis di laman jejaring sosial Facebook. Penulis mencoba iii
membawa ‘masalah kesehatan’, khususnya ‘kebijakan kesehatan’ menjadi ranah publik yang lebih populer. Hal ini lebih didasari pada keprihatinan bahwa bidang kesehatan lebih menjadi ‘mainstream’ pemerintah daripada menjadi milik masyarakat! Buku ini banyak mencatat permasalahan kesehatan aktual di Madura, khususnya Kabupaten Sampang. Mencoba memetakan setiap permasalahan tersebut, mencoba menawarkan solusi, sekaligus pada akhirnya mencatat juga geliat perubahan yang sedang terjadi, dan masih terus terjadi pada saat buku ini diterbitkan. Pada akhirnya buku menyisakan harapan masyarakat di Madura bisa terbebas dari tirani keterpurukannya, sekaligus bisa menjadi potret dan bahkan model pemberdayaan bagi daerah lainnya. Sungguh penulis berharap banyak untuk itu! Saran dan kritik membangun tetap ditunggu. Salam facebooker!
Surabaya, Januari 2013
Pusat Humaniora
iv
Daftar Isi Pengantar Penulis
iii
Daftar Isi
v
Maduraku Sayang, Maduraku Malang
1
Generasi Liliput di Madura
17
Persalinan di Rumah Dukun, Kenapa Tidak???
29
Positioning Dukun Bayi
45
Bagaimana Menggunakan IPKM?
61
Gado-gado ala Sampang!
71
v
vi
“Ini tugas berat, tentu saja! but thats why we are all here to help initiating those dialogs!” -Husni Muadz-
vii
viii
Maduraku Sayang, Maduraku Malang
Surabaya, 19 Maret 2012 Dear all, Diskusi kali ini kita coba bedah status kesehatan dengan spasial, yaitu dalam kaitannya dengan geografis dan administratif. Sederhana saja, kita bedah angka empat kabupaten yang berada di Pulau Madura Propinsi Jawa Timur. *** Empat kabupaten yang berada di Pulau Madura menempati lima besar peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) paling bawah di Jawa Timur bersama Kabupaten Probolinggo. 1
Berita seperti ini tidaklah mengejutkan, karena empat kabupaten di Pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) sudah terlalu seringi menempati posisi bontot dalam peringkat status kesehatan di Jawa Timur.
Apa gerangan yang membuat kondisi Madura selalu tertinggal seperti ini? Peran serta masyarakat? Sekarang mari kita lihat partisipasi masyarakat yang memiliki balita dalam upaya menimbang balitanya...
2
3
Saya sungguh sesak melihat kenyataan pada gambar tersebut, partisipasi rumah tangga di Pulau Madura dalam upaya menimbangkan balitanya hanya mencapai 27,34% paling tinggi. Angka ini masih jauh dari rata-rata nasional yang sebenarnya juga tidak terlalu tinggi, hanya mencapai 57,19% dari seluruh rumah tangga yang memiliki balita. Sekarang kita coba bedah partisipasi masyarakat dalam upaya lainnya, imunisasi balita yang dilakukan secara lengkap. Definisi operasional imunisasi lengkap dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 adalah BCG, DPT minimal 3 kali, Polio minimal 3 kali, Hepatitis B minimal 3 kali, Campak, menurut pengakuan atau catatan KMS/KIA. Sungguh sangat layak kita menjadi prihatin dengan kondisi seperti gambar terpapar di atas. Pencapaian terbesar dari empat kabupaten yang ada di Pulau Madura hanya mencapai 20,39%, itupun hanya di Kabupaten Bangkalan, tiga kabupaten sisanya tak bisa melebihi angka 10%. Rata-rata nasional untuk imunisasi lengkap pada balita adalah sebesar 46,2%. sedang di Propinsi Jawa Timur sesungguhnya justru lebih tinggi dari rata-rata nasional, meski tipis saja, yaitu 46,7%. Pada tahun yang sama, menurut data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di ke-empat kabupetan tersebut cukup tinggi, semuanya di atas 30%. 4
Lengkapnya adalah Kabupaten Bangkalan mempunyai penduduk miskin sebesar 31,56%, Kabupaten Sampang sebesar 39,42%, Kabupaten Pamekasan sebesar 32,43%, dan Kabupaten Sumenep sebesar 32,98%. Pada saat yang sama rata-rata nasional jumlah penduduk miskin berada pada kisaran 20,48%, sedang rata-rata Jawa Timur mencapai 19,64% Saya rasa kita cukupkan paparan data pagi ini. Data partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan anak sudah cukup menasbihkan bahwa ada sesuatu kondisi yang berbeda di Pulau Madura yang mem-buatnya jauh tertinggal dibanding saudara-saudaranya di Jawa Timur. Apakah ada masalah sosial spesifik disana? Apakah kemiskinan partisipasi?
berkontribusi
besar
terhadap
atau... ada kendala budaya di dalamnya? let's discuss! -ADL-
5
D I S K U S I Rofi Mubasyiroh Budaya "cuek" terhadap kebutuhan kesehatan,dlm hal ini kesh anak. Seperti yg dikatakan seorang pemimpin kesh salah satu kab,jgn langsung menuding masy kita,mereka cuek mgkin karena "pemerintah kesehatan" blm maksimal menanamkan pengetahuan pentingnya masalah kesh anak. Budi Aji Ya jelas "multi-determinant"... tapi kita juga jangan terus-terusan blame the victim alias yang disalahkan masyarakat melulu. saya pengen cermati faktor struktural, pernahkah model kinerja pelayanan kesehatan (terutama puskesmas) fokus kearah performance based. Misal kalau puskesmas kinerjanya bagus (capaian indikatornya bagus) maka akan memperoleh tambahan insentif "carrot", baik "in cash" maupun "in kind", periode berikutnya terus yang tidak baik ya dapat "stick". Jadi kinerja bisa terukur dan kompetisi performance antar puskesmas juga berjalan. Yun Astuti Nugroho Sepertinya untuk dapat meningkatkan capaian-capaian tersebut harus dengan pendekatan dari sisi budaya dan tradisi panutan. Sebagai contoh kalau Jakarta warga Betawi tahun 70-an sangat sulit untuk mau menyekolahkan anaknya tapi dengan 6
adanya bukti bahwa pendidikan akan lebih menyejahterakan mereka maka sekarang sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Selamat mas Agung Hanny Denny Niat dakwah, menehi1 contoh hidup bersih dan sehat... ojo menehi contoh sing aneh2. koyo selebritis dai...! Agung Dwi Laksono yup! saya merasa kita tidak bisa memakai pendekatan yang generik seperti yang sudah berlangsung selama ini. Bahwa kabupaten-kabupaten di Pulau Madura membentuk cluster (kelompok) tersendiri yang mengelompok dalam status kesehatan merupakan evidence yang tidak bisa kita pungkiri. Ada faktor ‘lain’ di luar bidang kesehatan yang harus dan perlu dilakukan intervensi. Tumijan Skm Jadi ingat Pak Prayoga (dosen tamu mata kuliah epidemiologi/dari Litbang) beliau bilang tidak berani melaksanakan proyek/program di Madura dengan biaya berapa pun, karena masyarakat di sana tidak percaya pemerintah. jadi betul kata Pak Budi Aji : Multi determinant, baik dari provider maupun masyarakat. 1 2
‘memberi’; bahasa Jawa ‘jangan memberi contoh yang aneh’; bahasa Jawa
7
Agung Dwi Laksono dan lalu... nyerah? Yun Astuti Nugroho Nyerah ya enggaklah. Mas, PDBK kan dikasih waktu 5 tahun. Saran saya usulan penelitiannya jangan standar usulan penelitian biasa. Harus berani menyelam lebih dalam ke kantong permasalahan setiap kabupaten. Suwun Rachmat Hargono Wah semua saran kok bagus semua yha, tapi marilah jangan sekedar berteori, manfatkan semua ilmu yang kita punyai (baik dari sekolah maupun pengalaman-pengalaman yang didapat) untuk membangun Madura. Senyampang PHK2PM (Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) berada di Surabaya (termasuk pak Agungnya), tidakkah tergerak untuk sementara konsentrasi di Madura supaya Madura bisa mengejar ketinggalannya...? Mulai mendalami akar permasalahan sampai membantu mengembangkan sumberdaya yang ada. Sutopo Patria Jati IPKM yang rendah di 4 kabupaten tersebut dilihat dari patern-nya sama nggak ya? terutama dari 11 variabel yang termasuk indikator mutlak. Selanjutnya mungkin dicrosskan yang diprioritaskan di renstra+renja mereka. Apa sinkron dengan situasi IPKM tersebut. Jika belum sinkron 8
minimal itu yang perlu di advokasikan ke mereka pak. Sorry mungkin masih terlalu normatif ya... Agung Dwi Laksono polanya hampir sama di 4 kabupaten tersebut. Saat ini yang menyadari posisinya dan menggeliat baru Kabupaten Sampang. dengan gerakan massifnya baru sampai pada tahap mengenali masalah. Kita tunggu proses penanganannya. Mungkin bro Maman Firmansyah bisa menambahkan evidence saat ini... Andrei Ramani Pertama kali ke Madura pada tahun 2003 (bantuin pre-survey WSLIC II). Salah satu aspek kultural yang saya peroleh adalah ungkapan "Bapak, Bebuk, Guru, Ratoh"3 - Kepatuhan/penghormatan pada bapak-ibu (orang tua), guru (diwakili ustadz/kiai), ratu (pemerintahan). Jika melihat fakta di lapangan, masyarakat Madura tidak serta merta akan "patuh" pada Pemerintah karena mereka (masyarakat) juga menggunakan secondary opinion (opini ke-dua/lainnya) yaitu para kiai dan ustadz setempat yang jadi panutan. Jika pemerintah bilang "hijau" tapi Kiai bilang "merah" maka masyarakat juga akan bilang "merah". Melihat hasil diatas jangan-jangan metode pelaksanaan program/kegiatan yang dilakukan kurang tepat? Atau 3
‘bapak, ibu, guru, ratu’; bahasa Madura
9
bisa juga dicross-check dengan program-program lain, misalnya pendidikan, ekonomi, pembangunan, dan lainnya, dalam artian apakah fenomena yang sama (capaian rendah) juga berlaku untuk program-program lainnya. Andrei Ramani out of topic, untuk update IPM Jatim 2010 - 3 kabupaten terendah yaitu: Kabupaten Sampang 59,58 - Kabupaten Bondowoso & Kab Probolinggo memiliki IPM sama besar 62,79 Rifmi Utami Cuman pengen nangis melihat kenyataan ini... Haruskah aku tetap "bangga" menjadi orang madura?? Banyak hal yang harus dilakukan. Memulai dari diri sendiri rasanya tidak cukup Tell me what can I do in order to never loose hope?? Andrei Ramani @Bu Rifmi : Never loose hope... itu katanya Pak Dahlan Iskan. Fenomena kesehatan di Madura menunjukkan bahwa masalah kesehatan di Madura (mungkin) terkait erat dengan nilai-nilai lokal. Jatim terdiri dari beberapa rumpun budaya besar: Mataraman (Madiun ke barat & sekitar) - Jawa Timur-an (Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, dll) Pesisiran - Madura (Pulau Madura & Madura swasta tapal kuda) - Mandalungan - Osing. Mungkin selama ini 10
aspek budaya sedikit kurang diperhatikan dalam implementasi program-program pembangunan. Tumijan Skm Bu Rifmi@ tidak sendiri Bu teman seangkatan saya ada 2 orang (Laili & Sohibi, tapi di Pamekasan atau sampang saya lupa) ayo semangat Agung Dwi Laksono ehh... saya orang madura dong! *ngaku Dendhy Riskiawan kayaknya pemuda Madura kudu punya cita-cita untuk bisa keluar Madura, minimal merantau, dan setelah dapat ilmu baru kembali ke Madura untuk membangun negerinya, sayangnya kebanyakan yang udah pinter-pinter malah ogah-ogahan kembali ke Sampang. Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Dah lengkap ....sila bergerak Pusat 4.... Ilham Akhsanu Ridlo Cerdaskan mereka! N J Firdausi Prasetyo Komplek sekali menghadapi masalah kesehatan di Madura. Seperti yang saya tahu di desa saya saat merekap grafik kunjungan posyandu di desa saya ternyata adakalanya melonjak sekali dan adakalanya turun sangat drastis. Setelah saya tanyakan itu terjadi karena banyak hal terutama terkait dengan kondisi cuaca, musim tanam dan musim panen. Mereka 11
akan malas ke Posyandu saat musim hujan, saat tanam padi atau tembakau kunjungan ke Posyandu juga akan rendah begitu pula saat musim panen. Nahh... kunjungan Posyandu juga akan naik drastis saat ada pembagian gratis. Seperti yang saya tahu kunjungan Posyandu kunjungan Posyandu di salah satu dusun meningkat drastis pada saat ada pembagian susu gratis dari program PNPM Mandiri. Seperti itu disana, khususnya di desa saya. Balita gizi buruk juga masih cukup banyak. N J Firdausi Prasetyo banyak hal yang menyebabkan pemuda Madura malas kembali ke tanah air kami itu, mengambil pelajaran dari kakak kelas sesama SKM saat ini yang sudah kembali ke Madura malah tidak mendapat tempat sebagai tenaga kesehatan. Saat ini malah jadi tenaga kerja di bank. Karena banyak hal secara birokrasi yang rusak disana, khususnya dalam sistem penerimaan pegawai negeri. Itu sudah menjadi rahasia umum. Rifmi Utami Pragmatisme yang terjadi dimana-mana. Semboyan badha pakan badha pakon4 itu sudah membumi dan mendarah daging. Huuuhhh, miriiiiis....!!! 4
‘peribahasa Madura yang secara artian sama dengan peribahasa Jawa jer basuki mawa bea, yang secara bebas dapat diartikan bahwa bila mau hidup mulia ya ada biayanya’.
12
Seperti memberantas korupsi, susah sekali menyelesaikannya. Kecuali jika semuanya "satu visi", dan itu tak semudah membalikkan telapak tangan... Riffa Hany perlu ada strategi khusus menangani madura, jangan disamakan dengan masyarakat Jawa Timur yang lain karena maybe ekonominya, sosial kultur, standar pendi-dikannya beda. Kalau diinget budaya Madura yang keras, perlu pendekatan "HALUS" dari orang yang paham Madura. Cari cara gak umum saja supaya program berhasil kalau perlu yang nekat tapi suksesss. Piye....., setuju tow ???? Anni Haryati Di Lumajang, masyarakatku banyak juga yang Madura. Saya rasa tidak semua seperti yang dipaparkan di atas itu. Di sini seperti ada dua bagian yang ekstrem, satu gampang didekati dan mudah mengerti dan mudah menerima hal baru yang memang nalar, dengan senang hati mereka lakukan (ibaratnya : kepalapun rela saya berikan). Nhaaaa.. satunya lagi bener-bener angot5, berrraaat! diambil dibawahnya gak mau ngerti, diambil diatasnya.."gelut piye??6" deew... yang ini ada hal apa yang membuat sudut 180 derajat. Rasanya "PENDIDIKAN" yang harus segera dilakukan...
5 6
‘sulit’; bahasa Jawa ‘bagaimana bila berantem??’; bahasa Jawa
13
Puskesmas Tamberu Barat Keadaan seperti inilah Madura jauh tertinggal IPKMnya, apalagi nanti bulan april BBM akan naik tambah bagaimana Madura ini. Mari kawan semua majukan Madura IPKMnya, terutama tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Kita sebagai petugas kesehatan berkomitmen memajukan Madura. Agung Dwi Laksono bila seluruh orang kesehatan sePulau Madura dikerahkan pun tidak akan bisa mengatasi seluruh masalah kesehatan. Sangat-sangat perlu menggerakkan semua elemen masyarakat. Lingkaran setan kesakitan, kemiskinan dan kebodohan membuktikan sinergi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Rifmi Utami yuup betul! Kita-kita bergerak tanpa masyarakatnya berdaya, it's non sense! Kalau di daerahku (Sumenep) pentingnya advokasi kepada wakil rakyat dan para penentu kebijakan yang non kesehatan sangat perlu didahulukan, mengingat jumlah anggaran kesehatan masih dianaktirikan... Aku merindukan adanya kesadaran bahwa "sehat" itu penting, penting bagi semua... masyarakat, wakil rakyat, eksekutif kesehatan dan non kesehatan... dan tentu kita para pelaku kesehatan sendiri... 14
Rachmad Pg Jadi ingat tetang pengembangan capacity building kepada para eksekutif agar mereka mampu mengadvokasi ke jajaran legislatif dan stakeholder yang lain (ulama, toma dll). Kira-kira bagamana ya situasi/gambaran para eksekutif dan legislatifnya, pemahaman dan wawasannya? Saya masih percaya kunci penggerak pembangunan daerah masih sekitar pihak-pihak tersebut, meski tanpa menafikkan konsep parti-sipatif masyarakat. Mungkin bisa diurai satu persatu dulu mas, dengan data yang tersaji diatas, bagaimana situasi atas pihak-pihak tersebut. Semoga bukan jadi benang kusut, kalaupun sudah jadi benang kusut, ya harus tetep diurai. Semangat buat para S.KM di Madura!!! SKM buat Madura, juga bagian dari republik ini. Nur Munawaroh tapi Madura jagoan lho untuk penyakit KUSTA, sampe bisa jadi penyumbang terbesar di Indonesia.
15
16
Generasi Liliput di Madura
Santika_Jogja, 02 April 2012 Dear all, Kali ini saya masih menurutkan rasa prihatin dan kepenasaran saya pada pulau dimana seperempat raga saya berasal, Pulau Madura! Pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yang status kesehatan berdasarkan IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) keempat-empatnya menduduki lima besar rangking 'terbawah' di Jawa Timur. Pulau yang ternyata menyimpan bom waktu yang sedemikian besar. Coba perhatikan paparan grafik berikut... 17
Batang gray yang lebih terang merupakan persentase status gizi balita berdasarkan tinggi badan per umur (TB/U), yang di keempat kabupaten tersebut melebihi 40%. Sedang yang berwarna lebih gelap (sebelah kanan) merupakan status gizi balita berdasarkan berat badan per umur (BB/U). Bila digabungkan, ada beban ganda (double burden) yang kesemuanya melebihi 60%. Saya merasa sangat tidak salah bila merasa miris dengan kondisi ini. Grafik berikutnya merupakan gambaran status gizi balita berdasarkan berat badan per tinggi badan (BB/TB)
18
Tetap saja sebuah masalah yang tersaji. Di semua kabupaten kejadiannya melebihi angka 20%. Bagaimana bisa seperti ini??? Sepertinya status gizi para balita ini bukanlah prioritas bagi hampir seluruh komponen di Pulau Madura. Bukan ngawur bila saya berani menyimpulkan seperti ini. Dari seluruh balita yang ada di Pulau Madura realitasnya lebih dari 70%nya tidak ditimbang berat badannya selama enam bulan terakhir.
19
Artinya bahwa, lebih dari 70% balita di Pulau Madura tidak melakukan kontak dengan Posyandu dan juga pelayanan kesehatan lainnya selama enam bulan terakhir. Lalu bagaimana saya tidak menyimpulkan bahwa mereka, balita itu, bukan sebuah prioritas??? saya sungguh berharap ada local wisdom yang mampu diberdayakan untuk mengatasi masalah ini. -ADL-
20
Keterangan; Indikataur TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena menderita diare. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus. Besarnya masalah kurus pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah jika prevalensi kurus > 5%. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus sudah di atas 15,0% (UNHCR).
21
D I S K U S I Tri Kartika S Pulau Madura, adalah pulau yang masyarakatnya masih sangat kental memegang tradisi dan adat istiadat yang sudah mendarah daging dan jadi kebiasaan dari masing-masing individu. Seperti bayi yang harusnya masih mengkonsumsi ASI sudah diberi liwetan nasi (beras yang dimasak seperti bubur, dengan air yang cukup banyak; red) dan pisang. Melihat data di atas, tidak begitu terkejut. Seperti pengalaman waktu PBL (Praktek Belajar Lapangan) di daerah blok M (blok Madura; red) di Surabaya bagi mereka, yang penting balita/bayi bisa maem (makan; red) dan kenyang, itu sudah cukup, masalah kandungan gizi urusan nanti. Selain itu bagi sarana kesehatan bukan sebagai tempat memantau perkembangan si kecil, tetapi adalah tempat buat si kecil berobat kalo sudah sakit. Vika Wati Masalah kesehatan & gizi terutama pada balita, tidak datang begitu saja. Terjadinya juga bukan sekonyong-konyong. Ada beberapa proses masalah kesehatan yang terjadi di setiap tahap kehidupan, yang tidak segera ada solusinya, sehingga berkelanjutan dan menjadi kompleks. Banyak faktor pendukung yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut, so... 22
solusinya? dimulai dari mana? Bagaimana caranya? Siapa ya yang harus terlibat? Sepertinya perlu ada komitmen nyata dari para pembuat kebijakan di semua kementerian yang ada di negara kita agar bersama-sama bekerja mengatasi masalah gizi balita agar upaya kesehatan yang sudah diluncurkan selama ini berdaya guna sehingga menunjukkan hasil yang nyata, sehingga bayi yang BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), balita yang BGM (Bawah Garis Merah) dan stunted (pendek; red) dan gizi buruk, berkurang tidak saja di Pulau Madura, namun di seluruh pelosok wiayah NKRI ini. Semangat dan terus berjuang dalam menyumbangkan ilmu dan pikiran. Yuliastuti Saripawan coba lihat kebelakang masalah status kesehatan ibu hamil dan K1 dan K4-nya, karena masalah gizi pada bayi dan balita berhubungan juga dengan kondisi ibu waktu hamil. Dalam hal ini faktor budaya dan tingkat pengetahuan juga memegang peran penting. Dalam hal mengatasi masalah tersebut peran pemerintah daerah sangatlah besar. Bagaimana cara pandang terhadap masalah tersebut? komitmennya khususnya di kebijakan. Pada pemantauan status gizi dapat dilakukan ke gerakkan penimbangan melalui 23
PokBang (kelompok penimbangan) sehingga tidak terfokus di Posyandu. Arih Diyaning Intiasari Jujur gak pernah concern banget dengan data madura, tapi mungkin gambarannya sama dengan kabupaten Brebes di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten terluas yang selalu dapet rangking buncit, yang selalu dapat asupan dana besar dari banyak sumber setiap tahunnya, yang secara teknis kadang di tingkat operasional malah gak tau buat apa ada dana sebanyak itu, yang terkadang para pejabat di daerah gak merasa bahwa mereka bermasalah, dan malah mempertanyakan sistem perhitungan rangking semua indikator, baik IPM maupun IPKM. *semoga gak ada yg tersinggung* Rachmalina Prasodjo Insya Allah melalui Riset Etnografi ini kita bisa 'do something' through local wisdom. Agung Dwi Laksono Yes... jangan biarkan saya berputus asa menatap bejibun data bin bejibun masalah. Zamahsyari Ahmad Kunthet7 memang kalah sexy daripada marasmus. Agung Dwi Laksono sudah mulai di'sexy'kan pak. meski butuh effort extra. 7
stunted, pendek
24
Maman Firmansyah Yang jelas, saya akan kesulitan mendapatkan pemain-pemain basket untuk bersaing minimal di DBL8. Kompleks... iya, dan karena itulah kita ada untuk mengurainya satu per satu. Dan kami sudah memulainya. Sekarang... iya, sekarang! Makan/pangan aja susah apalagi memikirkan nilai gizi yang dimakan. Mandi dengan air bersih aja susah, gimana mau minum dan masak sesuai kebutuhan nutrisi? Dsb... dsb, tapi itu bukan alasan masalah itu tidak bisa diselesaikan. Akhirnya, semua sektor harus berperan aktif dan effort yang lebih besar. Do'akan revitalisasi dasa wisma (non kesehatan juga masuk) kami berjalan baik. Tidak ada kata putus asa! Trias Mahmudiono Sepengetahuan saya, dari segi asupan gizi, tinggi badan banyak ditentukan oleh asupan protein khususnya hewani serta bahan makanan mengandung zinc; yang sekali lagi banyak terdapat pada makanan hewani. Ini merupakan makanan yang relatif "mahal" termasuk bagi teman-teman di Madura, namun potensi laut tentu sangat bisa dimanfaatkan; mungkin perlu ada contoh gerakan makan ikan dalam bahasa Madura yang dilakukan melalui fatwa kyai atau mufti yang ada disana. Selain itu sebenarnya kalau untuk 1 8
Deteksi Basketball League, sebuah kompetisi olahraga basket pelajar tingkat nasional yang dipelopori oleh Harian Jawa Pos.
25
tahun awal melalui ASI ekslusif atau pembelian ASI hingga 2 tahun bisa memberikan asupan gizi yang relatif "murah" bagi setiap manusia, toh fitrah ibu adalah menyusui bayinya. Sekali lagi gerakan menyusui dalam Bahasa Madura yang difatwakan oleh kyai atau dicontohkan oleh atlet atau selebritis asli Madura, atau jangan-jangan Tak Oneng9. Agung Dwi Laksono Aahhh... komentarmu ini cukup menggugahku Trias Mahmudiono. Bukan sekedar komentar, bukan sekedar jargon, ini solusi! Akan kubawa sejauh aku mampu. terima kasih. Rifmi Utami Hmm... setahu saya, masyarakat Madura bukannya ngga suka makan ikan, tapi mereka (saya juga termasuk loh ya) tidak suka makan sayur. Tentang masalah yang diungkapkan mas Agung, lagi-lagi multi faktor penyebabnya : asupan gizi seimbang yang kurang, ditambah lagi kondisi endemik gondok yang terjadi, ditambah lagi perihal pola asuh, sehingga ujungujungnya nggak perhatian tentang zat gizi yang diperlukan oleh anak-anak dan bumil. Terlepas dari semua itu, sepertinya para penentu kebijakan, tak peduli akan hal itu, nggak ada yang tergugah. Baru kalau sudah Gizi Buruk blingsatan nggak 9
‘tak ada’; bahasa Madura
26
keruan, baru kalau sudah Difteri nyari siapa yang dipersalahkan. Hhmmm... kelu lidahku tuk berkatakata... Sutopo Patria Jati Maaf saya masih awam tentang pengelolaan problem gizi masyarakat ini, asumsinya tentu sudah ada rencana aksi daerah untuk upaya mengatasinya ya (seperti di Propinsi Jawa Tengah saya pernah mengikuti proses penyusunannya). Jika sudah ada RAD (Rencana Aksi Daerah) untuk Gizi dan Pangan tentu paling tidak sudah dihitung berapa biaya untuk intervensi kasus tersebut. Problemnya biasanya RAD ini masih orientasinya pada penggalian sumber dana dari pemerintah yang makin terbatas (karena subsidi BBM masih tinggi). Saya tidak tahu apa peluang dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau menghimpun dana dari perhimpunan keluarga besar Madura, misal untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang berkesinambungan untuk ibu dan anak, masih ada dan layak untuk dijajaki? Atau untuk anak sekolah siapa tahu bisa juga menggali peluang kolaborasi dengan dana yang bersumber dari Dinas Pendidikan. Gus Cholik Kunci sebenarnya adalah ada di "POLA PIKIR & INNER POWER". Semua pihak baik Decision Maker maupun Masyarakat langsung, harus mulai merubah POLA PIKIR ke arah situasi & kondisi yang lebih baik lagi. 27
Sekuat & sehebat apapun sebuah "SOLUSI" tapi bila KITA (pemangku kebijakan maupun masyarakat) masih memiliki POLA PIKIR negatif tentang "SESUATU HAL" dijamin sulit terwujud. Karena apapun yang terjadi SAAT INI pada diri kita maupun lingkungan kita adalah buah dari PIKIRAN kita sebelumnya, termasuk masalah GIZI BURUK dkk. So... Kami sudah memulai & bergerak ke arah sana, butuh waktu untuk MEWUJUDKANNYA (termasuk merubah POLA PIKIR)... Trim's untuk Anda semua yang telah memberikan sumbangan alternatif SOLUSI untuk masalah ini. Mari kita SEMUA (mulai dari atas sampai bawah) mulai "POSITIF THINKING" menyikapi masalah ini, jangan sekali-sekali bersikap SEBALIKnya, karena apapun PIKIRAN ANDA saat ini tentang KONDISI KAMI sangat berdampak besar untuk sebuah perubahan... MOTTO KAMI : YAKIN - SABAR ISTIKOMAH...
28
Persalinan di Rumah Dukun, Kenapa Tidak???
Surabaya, 26 Maret 2012 Dear all, Minggu lalu, tiga teman peneliti sedang melakukan pengamatan dalam sebuah moment pertemuan di Kabupaten Sampang-Madura. Dalam salah satu wawancara dengan Kabid Kesehatan ibu dan anak Dinas Kesehatan terungkap bahwa kebanyakan masyarakat masih banyak yang memilih untuk melahirkan di rumah dukun bayi. Persalinan di rumah dukun tetap menjadi pilihan, meski saat ini telah ada upaya pembebasan beaya persalinan 29
ke tenaga kesehatan, bahkan termasuk pelayan pelayanan antenatal care maupun perawatan pasca persalinan. Faktor trust maupun kenyamanan patut diduga menjadi alasan utama memilih Dukun sebagai pilihan utama penolong persalinan. Dukun, yang telah berpraktek puluhan tahun telah mampu merebut kepercayaan masyarakat. Pelayanan penuh keikhlasan menjadikan tumbuh suburnya rasa nyaman. Keikhlasan menolong persalinan dan bah bahkan sampai beberapa waktu pasca persa persalinan yang dihargai hanya dengan seekor ayam dan ucapan te terima kasih pun dite diterima dengan pela pelayanan penuh kesa kesabaran. Sesuatu yang jarang ditemui pada tenaga kesehata kesehatan. Keberadaan dukun bayi, harus diakui merupakan salah satu aset kekayaan republik ini. Pilihan pemerintah republik ini pada pelayanan medis modern yang lebih masuk rasio akal sehat, bukanlah merupakan pilihan yang salah. Meski tidak bisa juga
30
serta merta melupakan local wisdom yang menjadi akar budaya dan pilihan masyarakat selama ratusan tahun. Pilihan untuk selalu mengkambinghitamkan dukun bayi sebagai penyebab utama kematian ibu dan bayi saat persalinan sudah seharusnya mulai ditinjau ulang, meski banyak fakta yang menunjukkan banyaknya kematian saat persalinan dilakukan oleh seorang dukun bayi. Tapi apakah fakta itu mampu menggeser kepercayaan masyarakat untuk tetap melakukan persalinan di dukun? Pilihan untuk ‘menyingkirkan’ dukun telah diambil, tapi tetap saja angka kematian ibu dan bayi kita selalu di urutan buncit tertinggal dengan negara-negara kawasan sekitar. Sudah saatnya lebih wise menyikapi kekayaan lokal budaya kita. Kenyamanan dan kepercayaan masyarakat pada dukun sudah seharusnya diambil sebagai salah satu aset yang harus diolah sebagai pengayaan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Dalam kasus di Sampang, bila benar masyarakat lebih merasa nyaman dan memilih untuk melakukan persalinan di rumah dukun daripada ke fasilitas kesehatan, kenapa tidak kita coba membuat kebijakan yang mem’boleh’kan itu? Bagaimana bila meng’geser’ polindes ke rumah dukun?
31
Bagaimana bila menjadikan dukun sebagai ‘asisten’ bidan? Menjadikan ‘rumah’ dukun sebagai tempat persalinan dengan bidan sebagai penolong persalinan, dan dukun bayi sebagai tenaga perawatan pasca nifas dengan supervisi dari bidan. Tentu saja perlu banyak persyaratan dan penyesuaian bila benar kebijakan ini diambil. Tapi bukan sesuatu yang mustahil bukan? Bila kebijakan ini dilihat dari sisi medis, tentu saja klaim sebagai sebuah langkah mundur akan diteriakkan banyak pihak. Bagaimana bila mundur satu langkah untuk maju sekian langkah berikutnya??? -ADL-
32
D I S K U S I Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Wah lagi nungguin di bandara, dapat sarapan dari Agung. Isu ini bolehlah, karena memang perlu diakomodasi segera. Yang menarik buatku, bahwa fakta menunjukkan banyak kematian dari persalinan yang ditolong dukun. Ahhh... fakta sih ya, dan perlu digali lebih mengakar dan tuntas, apakah itu hanya kontribusi dukun? hehehe nakal menjelang pagi terang. Ilham Akhsanu Ridlo Memanusiakan dukun..menghargai local wisdom, menyiapkan kebijakan tidak populis mundur satu langkah untuk maju 5 langkah. Mungkin tidak ada salahnya dicoba, tapi mungkin juga perlu dikaji kembali bahwa kebijakan ini tidak bisa ditetapkan secara general di semua wilayah, kekhususan tiap daerahlah yang bisa diterapkan, dimana hanya daerah tertentu saja dengan local wisdom yang kuat yang bisa mengaplikasikan deviant policy ini. Apapun saya pikir perlu dicoba seperti satu ini. Lely Indrawati Jaga kemitraan dukun bayi-bidan desa merupakan salah satu solusi aman bagi bayi dan ibu, tentu saja dibutuhkan kesepakatan local specific
33
bagaimana kemitraan tersebut, salah satunya mungkin lahir di rumah dukun bayi, why not...? Sutopo Patria Jati Setahu saya tempat favorit untuk melahirkan justru di rumah ibu bersalin (dukun atau bidan dipanggil), bener nggak? Mungkin harus selektif jika persalinannya diprediksi normal bisa aja model tersebut cocok meskipun saya yakin msh ada yang pro dan kontra. Ekstrimnya jika model ini akhirnya diterima dan dikembangkan lebih lanjut boleh jd suatu saat akan ada tuntutan bahwa persalinan dengan komplikasi juga boleh dilakukan di rumah dukun/bulin, maka sebagai konsekuensinya salah satu yang perlu disiapkan adalah semacam mobile unit untuk emergency response apapun bentuknya bisa dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah. Pertanyaannya apa kita mau dan mampu? Benefit versus cost-nya lebih oke yang mana ya kira-kira? Anni Haryati Pendampingan, pelatihan, tetap dilaksanakan tho...?? faktor nyaman sangat-sangat tidak terbeli maupun tergantikan. Masalahnya, apa bener dukun yang "angkatan" baru niiy sudah dilatih, didampingi.. eh, mereka dpt ilmunya turun-temurun lho... mereka bisa luwes, dan menyatu dengan ibu-ibu yang mau melahirkan, mulai procot sampai mandiin, mijetin, nglulurin, ngeramasin ibunya, biyuh... sampe 34
selapan, that’s.. mbah/bu dukun/paraji! Lha kalau tenaga kesehatan??? kita perlu emphaty yang dalem, care yang lebih, dan sedikit senyuman. Kata ibu-ibu muda : “lha dikengken10 ibu/mertua”, “lha bu bidanne serrem”, “lha.. larang pisan11”... ah alasannya banyak Pa.. Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Ada sih bidan serem dan tak serem, juga ada dukun care dan not care... ah relatifnya insan profesi. Agung Dwi Laksono Sangat perlu diperhatikan, bahwa kejadian ini hanya di Sampang. Perlu banyak persyaratan utk betul-betul mewujudkan kebijakan ini. Seperti komentar Pak Topo, perlu dipersiapkan akses khusus untuk rujukan, untuk menjamin kecepatan respon bila terjadi faktor penyulit. Mungkin juga perlu ketegasan, kondisi-kondisi mana saja yang harus langsung dikondisikan di rumah sakit. Tumijan Skm bukannya sudah lama ada program kemitraan dengan dukun dan pelatihan dukun. Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Ilmu pengetahuan teknologi ditemukan bukan untuk menyalahkan dan menafikan budaya. Budaya itu dibangun salah 3 dengan 10 11
‘disuruh’; bahasa Jawa ‘mahal juga’; bahasa Jawa
35
ilmu pengetahuan dan teknologi... jadi ingat mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Anni Haryati Jadi inget... mau ditugaskan ke Sampang..hi hi hi..ah, di Lumajang..ternyata banyak Sampang juga! By the way... that’s our job, our responsibility! Semangat dan keinginan untuk terus membaik adalah yang utama. Yuuk keep spirit!... yakin, yakin... yang ngerti solusinya adalah kita-kita yang ada di dekatnya. Yuk dibantu, yuuk memberi... bukan untuk siapa siapa... untuk diri kita sendiri! Merdeka garda depan kesehatan! Sungguh dinamika ini takkan berkesudahan... salam untuk semua... salam sehat! Yun Astuti Nugroho Saya bisa merasakan kenapa ibu-ibu yang mau melahirkan lebih memilih ditolong Dukun bayi. Disamping faktor budaya dan rasa nyaman juga rasa di "wong-ke"12. Para dukun bayi tidak saja membantu persalinan tapi juga memandikan bayi sampai puput13, membuatkan jamu untuk ibunya atau mungkin malah diminta memberi nama sang bayi. Sebetulnya para tenaga kesehatan terutama bidan desa sudah banyak yang bisa berdampingan dengan dukun
12 13
‘dimanusiakan’; bahasa Jawa Saat dimana tali plasenta terlepas dari bayi; bahasa Jawa
36
bayi membantu persalinan tapi merasa secara finansial so pasti kurang. Jadi??? Selamat berjuang! Agung Dwi Laksono Kemitraan bidan dan dukun sudah lama terjalin di beberapa daerah. Di Sampang fenomena yang terjadi berbeda, sesuai pengakuan kabid KIA, adalah ibu hamil lebih memilih melahirkan di rumah dukun. Faktor kenyamananlah yang menjadikan mereka memilih opsi itu. Kenyamananlah yang menjadikan keikhlasan menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu ini menjadi lebih ringan, dan bahkan bila yang terburuk akan terjadi, kematian. Saat ini, biarlah kenyamanan itu mereka nikmati. Tugas kita, menjamin kejadian paling buruk tidak terjadi. Yun Astuti Nugroho Insya Allah. Amin. PDBK pasti bisa! Charles Surjadi Pak saya teringat diskusi saya tahun 80an dengan Terry Hull, kalau diamati sejarah perdukunan dan pertolongan persalinan, di Sulawesi Utara tenyata waktu jaman kemerdekaan ada pejabat Departemen Kesehatan yang berorientasi semua pertolongan persalinan harus dengan perawat atau bidan sedang di Jawa dan pulau lainnya ada yang memperjuangkan dukun di ikut sertakan, waktu itu disimpulkan sejarah ikut menentukan situasi saat ini jadilah di Sulawesi Utara 37
sedikit dukun yang menolong persalinan, lebih banyak bidan dan perawat dibandingkan daerah lain di Indonesia. Charles Surjadi Mengenai kemitraan buat saya sih oke, akan tetapi mengenai pertolongan persalinan dan lainlain harus kita simak untuk mencegah kematian ibu. Perlu untuk setiap setengah juta penduduk harus ada satu PONEK dan 4 PONED (dengan standard pelayanan dan waktu yang tepat), berkaitan dengan itu dukun hanya bisa dijadikan mitra tidak bisa menggantikan fungsi pertolongan gawat darurat kebidanan bila kita mau menurunkan angka kematian, salam. Rifmi Utami Idem dengan komentar sebelumnya yang menyebut bahwa tempat favorit bersalin orang Madura adalah di rumah ibu bersalin sendiri, jadi alternatifnya adalah memanggil dukun atau bidan atau pula dukun dan bidan sekaligus. Program kemitraan bidan dukun selama ini akan menjadi "cukup" jika keduanya bisa saling terbuka dan saling menghargai, namun kenyataannya masih banyak yang satu sama lain meletakkan rasa "gengsi" diantaranya, sehingga terkesan masih ada "dusta" diantara keduanya. Sejatinya jika ingin komplit dalam bersepakat, bukan hanya dua figur yang melayani saja yang bermufakat, tapi juga sangat perlu untuk yang "dilayani". Seperti 38
konsep "three partij" dalam asuransi, sehingga ketiganya seimbang dan tidak ada dusta diantara ketiganya. Agung Dwi Laksono Dalam memilih opsi kebijakan ini, saya mengajukan dengan 'klausul' banyak persyaratan yang harus dipenuhi, salah tiganya termasuk yang ada dalam komentar Prof Charles. Tentang 'dusta' di antara kita, kita bisa menghilangkannya. Mungkin tidak dair kedua belah pihak, setidaknya dari sisi kita. Belajar berhubungan dengan landasan 'kepercayaan', bukan 'ketidakpercayaan'. Terlalu banyak kebijakan di negeri ini macet karna dijalankan dengan prasangka buruk. Arih Diyaning Intiasari di beberapa negara maju bahkan persalinan sah-sah aja dilakukan di rumah ibu bersalin, asal ditolong tenaga kesehatan. Tentu saja ini didukung oleh hygiene personal dan sanitasi lingkungan yang baik di sana, lha kalo di Indonesia....?? Trias Mahmudiono Selama ini yang saya tahu pernah dilakukan pelatihan terkait higienisitas persalinan dan lain-lain kepada dukun, tujuannya agar kematian bayi karena persalinan yang tidak higienis oleh tenaga non nakes bisa ditekan. Nah... apa seharusnya juga dilakukan pelatihan pada para bidan agar bisa menolong persalinan dengan "perceived quality dukun like"; toh, 39
itu yang diminta masyarakat. Menurut saya pelayanan paripurna dukun mulai saat hamil hingga pasca melahirkan dengan "mbenakne weteng" (membetulkan perut; red) sang ibu merupakan suatu bentuk layanan persalinan yang mengedepankan "kepuasan" pelanggan. Mungkin teman-teman yang minat AKK bisa mengkaji dan meneliti lebih jauh. Perkembangan Complementary Alternative Medicine (CAM) di luar juga lebih banyak sukses karena pelayanan yang lebih "memanusiakan manusia" bukan hanya prosedur medis yang runtut. Trias Mahmudiono Oh iya... mungkin kurikulum pendidikan bidan perlu "magang di dukun" juga, asal bukan pada Ki Kumat Gendenge hehe..:p Anisa Riza mungkin inilah yang dinamakan think global act local... itulah indonesia! Begitulah seharusnya penerapan sebuah kebijakan...!! sangat setuju dengan pendapat Pak Agung dan Prof Charles. Agung Dwi Laksono Sip! itulah yang mendasari Kementerian Kesehatan mendirikan 'Pusat 4' di Badan Litbangkes, 'Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat'. Humaniora dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya... 'memanusiakan manusia...'
40
Siti Fatima Kenapa tidak apa bisa diartikan tidak kenapa? Dukun juga manusia, demikian juga dengan tenaga kesehatan, apa yang tidak equal kenapa tidak diequalkan? tujuan akhirnya kan persalinan selamat ibu dan anak. Rachmalina Prasodjo Local leader empowerment, part of partnership and empowering community. Budi Eko Siswoyo wah kalo guru ada team teaching dan kalo kemitraan bidan-dukun ada tim persalinan (disesuaikan dengan kebijakan setempat yang notabene peran dukun patut untuk dipertimbangkan), lumayan kalo dukunnya juga tergabung dalam organisasi Polindes >.< hehehe, moga aja ada budget khusus juga buat tim persalinan ini "kali aja bisa dikelola aparat desa setempat". Moga aja komunikasi sebagai awal birokrasi bisa berjalan dengan lancar dan baik demi kebaikan bersama. amin. Riffa Hany Hohoho, enggak setuju banget bila skenario persalinan d rumah dukun, kenapa enggak bidan kita aja yang diajari ilmu-ilmu dukun seperti pijat ibu dan bayi, pakai ramu- ramuan asal yang gak bertentangan dengan kesehatan, pendampingan. Agung Dwi Laksono Bicara kebijakan jangan lepas dengan konteksnya, dalam Hal ini 'Sampang'. 41
Pertanyaannya, seberapa tinggi nilai 'kenyamanan' dan 'trust' masyarakat di mata kita sebagai orang kesehatan? Apakah serta merta 'kenyamanan' dan 'trust' ini bisa dibeli dengan pelatihan? Mungkin disinilah letak kearifan orang Jawa dalam menge-jawantahkan artian 'bener ning ora pener', 'benar tetapi tidak betul'. Piye jal? Juliantoro Ds Kenapa aparat hukum tidak bertindak ketika seorang dukun bayi gagal menolong persalinan yang menyebabkan kematian ibu ataupun bayi tersebut...??? Seandainya dimasuki ranah hukum yang tegas dan adanya efek jera pada dukun ???? Kalau di wilayah kami peran Koramil lebih di kedepankan dalam hal sosialisai persalinan di tenaga kesehatan. Lha wong sekarang itu diupayakan persalinan di Puskesmas , kenapa harus kembali lagi persalinan di rumah dukun????? Hasyim Purwadi dalam kondisi masyarakat transisi terhadap penerimaan tenaga bidan, tenaga bidan seharusnya mau mengalah tapi untuk kemenangan yakni kesehatan dan keselamatan persalinan. Para dukun perlu dilatih menolong persalinan yang sehat, bidan bisa berpesan kepada dukun bila ada ibu yang mau melahirkan agar bidan diberitahu untuk bersama-sama 42
menolong, jangka panjangnya masyakat akan menilai bu bidan dan mbah dukun rukun, lama-lama kan bidannya dijadikan "dukun bayi" di daerah tersebut, tapi perlu waktu. Hasyim Purwadi Kadang kalau melawan arus di masyarakat cukup berat. Semakin dilawan, masyarakat anti pati, sehingga perlu alon-alon waton klakon ning slamet (pelan-pelan tapi tetap berjalan dan selamat; red). Ilham Akhsanu Ridlo Koramil sampai turun tangan? Sudah kekurangan strategi dan kebijakan yang belum ciamik kah? Kok sampai TNI ikut-ikut. Apakah tidak ada cara yang lebih 'humaniora' kata si Papa. Jadi ingat jaman KB sama tentara... mekso! (maksa; red). Vika Wati Menyikapi kenyataan tersebut, memang dilematis ya pak. Kalo kita melihat sebagai manusia biasa, hal tersebut sangat manusiawi. Sebagai contoh dalam kehidupan ini, lepas dari tingkat intelektual dan status ekonomi, untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan keselamatan jiwa raga dan nyawa, tidaklah mudah, kenyataannya masih banyak ibu-ibu di kota yang "memilih-milih dokter spesialis kandungan untuk menolong persalinannya", demikian juga para suami, pasti ikut memberikan saran bahkan ada yang 43
menentukan, kepada dokter spesialis kandungan mana yang aman dan nyaman untuk membantu istrinya melahirkan. Pasti banyak pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan. Demikian juga pada ibu-ibu di desa, pemikiran tersebut sedikit banyak juga berpengaruh pada saat akan melahirkan. Juga urun rembug (sumbang saran; red) dari suami bahkan "orangtua" yang dianggap lebih dipercaya, karena dianggap lebih dahulu berpengalaman. So... sebagai seorang peneliti di bidang kesehatan, tentu suatu pemikiran tersendiri, bila dikaitkan dengan kebijakan yang terkait dengan permasalahan tersebut. Jadi alangkah 'eloknya', jika kebijakan program itu dibuat dengan melihat fakta kehidupan yang ada, walau tidak semua melakukannya, namun kita harus terima kenyataan bahwa di pelosok wilayah manapun dari Sabang sampai Merauke tetaplah kita adalah NKRI. Hidup Indonesia Tanah Air Beta!
44
Positioning14 Dukun Bayi
Blitar, 04 Juni 2012 Dear all, Pada dekade terakhir Angka Kematian Ibu sudah menunjukkan penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, meski tetap saja kita masih tertinggal dari negara-negara tetangga. Upaya-upaya terobosan pemerintah telah banyak dibuat, kebijakan paling baru adalah kebijakan pembiayaan persalinan, Jaminan
14
Positioning, istilah yang umum dipakai dalam bidang pemasaran. Pada konteks tulisan ini, merupakan proses untuk merancang suatu citra atau nilai sehingga masyarakat memahami apa yang ditawarkan dalam posisinya di sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak.
45
Persalinan (Jampersal), yang dikeluarkan mulai Maret 2011. Sejalan dengan itu, sejak era reformasi juga telah berlaku kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi. Kebijakan yang mengatur pemberian kewenangan pada daerah ah yang lebih besar, termasuk di dalamnya masalah kesehatan. Kebijakan otonomi daerah memberi porsi yang lebih besar pada kabupaten/kota untuk mengembangkan kebijakan yang lebih local spesific, tergantung pada situasi dan kondisi masing--masing wila-yah. Kebijakan ebijakan ini memberi peluang untuk kabupaten /kota melakukan improvisasi kebijakan yang bisa memberi daya ungkit paling besar. Peluang untuk ber bermain-main main dengan kebijakan ini seha seharusnya juga bisa dikembangkan kabu kabupaten/kota untuk me melakukan percepatan penurunan Angka Ke Kematian Ibu. Dengan memperhatikan po potensi yang ada di wilayah setempat, ke kebijakan bisa disusun berbeda antara satu daerah dengan dae dae46
rah lainnya, local spesific! Di banyak daerah, kabupaten/kota, dalam hal Angka Kematian Ibu seringkali sudah mempunyai ‘kambing hitam’ yang diangkat sebagai penyebabnya, salah satu yang paling populer adalah persalinan yang ditolong oleh dukun bayi atau paraji. Hal ini sejalan dengan salah satu indikator kesehatan yang mengadopsi dari kawasan global, yaitu ‘persalinan tenaga kesehatan’. Jadi, persalinan yang ‘benar’ (versi pemerintah) adalah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (bidan). Persalinan ke dukun tentu saja menjadi diharamkan. Fakta di lapangan menunjukkan situasi yang kurang menguntungkan bagi ‘keinginan’ yang ada dalam kebijakan persalinan tenaga kesehatan tersebut, di banyak kabupaten/kota dukun bayi memiliki jumlah yang besar, dan bahkan lebih besar dari jumlah tenaga bidan. Dalam catatan terakhir saya di Kabupaten Sampang jumlah dukun bayi mencapai 516 dukun, dengan jumlah bidan yang jauh lebih sedikit, 316 orang, itupun sudah mencakup jumlah bidan pemerintah (PNS) dan bidan praktek swasta. Dan celakanya lagi, masih banyak kalangan masyarakat yang merasakan jauh lebih nyaman untuk meminta pertolongan pada dukun bayi, yang nyata-nyata memang memberi pelayanan yang jauh lebih memanusiakan manusia. Seringkali posisi jumlah dukun yang cukup banyak di kabupaten/kota diberi label sebagai ‘hambatan’ dalam setiap upaya penurunan Angka Kematian Ibu, meski 47
beberapa kabupaten/kota telah berupaya mengandeng dukun bayi sebagai ‘mitra’, dengan perlakuan yang cukup beragam. Kebijakan untuk menjadikannya mitra menjadi sebuah kebijakan yang wise dalam menyikapi kondisi setempat. Diskusi ini didedikasikan juga dalam rangka hal yang sama, upaya pengembangan alternatif kebijakan pemanfaatan ‘potensi’ lokal, dalam hal ini dukun bayi. Langkah alternatif apa saja yang bisa kita kembangkan dalam rangka positioning dukun bayi untuk bisa memberi andil dalam melakukan percepatan penurunan Angka Kematian Ibu. Beberapa opsi kebijakan yang telah berlaku dibeberapa kabupaten/kota, dan juga alternatif pilihan kebijakan lainnya adalah sebagai berikut; 1. Menjadikan dukun bayi sebagai mitra yang ‘merujuk’ ibu hamil ke tenaga kesehatan. Dalam prakteknya, dukun bayi memberitahukan ke tenaga kesehatan saat ada ibu hamil yang datang kepadanya untuk mendapatkan pertolongan persalinan. Dukun bayi bisa mendapat fee dari upaya merujuk ibu hamil ke tenaga kesehatan. Kebijakan ini cukup populer di beberapa wilayah. 2. Menjadikan dukun bayi sebagai ‘asisten’ bidan. Dalam alternatif yang ini, dukun bayi membantu bidan dalam menolong persalinan, juga melakukan perawatan ibu pasca nifas serta perawata bayinya. 48
3. Menjadikan dukun bayi sebagai ‘kader’ kesehatan. Langkah ini dilakukan dengan pemberian insentif bulanan. Langkah ini dinilai efektif untuk merangkul bidan desa dan memanfaatkan ‘pengaruh’nya sebesar-besarnya untuk kepentingan kesehatan. 4. Menjadikan dukun bayi tetap sebagai tenaga penolong persalinan. Langkah ini terpaksa dilakukan di beberapa daerah dikarenakan jumlah tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan jumlah wilayah yang harus dilayani. Langkah ini diambil dengan memberikan pelatihan khusus pada dukun bayi tentang hygiene persalinan, dan bahkan di satu kabupaten di Papua sempat diadakan pelatihan Asuhan Persalinan Normal pada dukun bayi. 5. Menjadikan dukun bayi sebagai ‘host’ rumah bersalin. Dukun bayi diberlakukan sebagai ‘manajer’ rumah bersalin, atau bisa juga menjadikan rumah dukun sebagai rumah bersalin. Langkah ini diambil dengan tetap menggunakan tenaga kesehatan sebagai tenaga penolong persalinan. Langkah ini sepertinya terlihat langkah mundur, tetapi sebenarnya maju beberapa langkah kemudian. Itulah beberapa alternatif kebijakan yang bisa diberikan, dengan feasibility implementasi yang berbeda-beda di setiap wilayah. Tentu saja opsi-opsi kebijakan ini masih debatable, untuk itulah forum diskusi ini dibentuk. Saya berharap masih muncul alternatif-alternatif kebijakan
49
lain yang bisa memberikan ‘jalan’ bagi kabupaten/kota untuk membuat kebijakan yang lebih local spesific. Dan tetap jangan lupa! Tujuan akhirnya adalah penurunan Angka Kematian Ibu... Let’s discuss! -ADL-
50
D I S K U S I Veronica Suci Fridani Pemikiranku yang sederhana: ditolong siapapun, asalkan persalinan lancar, ibu dan bayi sehat, maka tak masalah. Keberadaan dukun bayi masih diperlukan, tak hanya di pelosok, namun juga di perkampungan dalam lingkup kota besar pun masih banyak calon ibu yang kerap mendatangi dukun bayi. Semua memiliki kemampuan alamiah ataupun medis untuk menolong persalinan. Selain kemampuan individual, juga terkait dengan biaya persalinan. Saling bermitra tentu lebih baik lagi. Dalam kenyataan di lapangan, penerapannya masih tergantung pada orang-orang yang diberi wewenang. Kasus yang saya alami: walaupun kelahiran bayi sudah bisa ditolong bidan, namun yang berhak adalah dokter rumah sakit. Sekalipun, pada saat yang sama, dokter juga sedang menolong persalinan di tempat yang berbeda. Hario Fisto Megatsari apa yang dikemukakan sampeyan tentang Dukun Bayi udah oke, dan menurutku lesson learn di beberapa kabupaten/kota juga sudah bisa menjadi best practice serta bisa dimanfaatkan di kabupaten/kota lain. Aku justru ingin melihat tugas BIDAN DI DESA (BDD), yang selama ini aku melihat 51
mereka sungguh keteteran15. Beban mereka tidak hanya mengurus masalah-masalah KIA, tapi mereka juga mengurus permasalahan kader, desa siaga (mulai dari A sampai Z) dan tetek bengek16 yang lain. Jadi ketika mereka ingin fokus membuat inovasi di bidang KIA di wilayah desanya, tenaga mereka sudah "habis" terpakai hal-hal di luar KIA. selain masalah penugasan yang bertumpuk dan over lapping, permasalahan bidan yang lain adalah skill, baik hard skill maupun soft skill, dan ini mungkin juga salah satu penyebab dukun bayi, masih menjadi Trending Topic (cara twitter) di desa ketika ada yang ingin melahirkan. Bidan yang baru dan muda masih inyah-inyih17 dalam menangani proses persalinan, serta mereka masih belum begitu meyakinkan dalam menjelaskan banyak hal kepada masyarakat (argumentasi ini belum ada penelitian yang valid, ini hanya berdasarkan pengalamanku ketika di lapangan). Satu lagi masalah terkait dengan bidan adalah sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Ada di suatu kabupaten di Jawa Timur, Dinkesnya sempat mengeluh ke aku tentang masalah formasi tenaga kesehatan (bukan Bidan). Ketika mereka mengajukan perencanaan mereka mengajukan tenaga kesehatan yang spesifikasinya adalah dokter (karena berdasarkan data, dll), tetapi ternyata secara tiba-tiba, ketika proses penerimaan pegawai baru, Dinkes sudah di-drop Bidan 15
‘kewalahan’; bahasa Jawa. ‘semua hal’; bahasa Jawa. 17 ‘kebingungan’; bahasa Jawa. 16
52
yang sudah mempunyai "surat sakti" dari pejabat di kabupaten tersebut, sehingga mau tidak mau Dinkes tersebut menempatkan bidan tersebut di desa tertentu, dan hasilnya bisa diprediksi, ternyata Bidan baru tersebut tidak bisa maksimal dalam menjalankan perannya sebagai bidan. Jadi secara umum aku melihat ada 3 permasalahan besar yang ada di Bidan : (1) masalah penugasan yang menumpuk dan tidak terkait dengan kmpetensinya; (2) masalah skill; (3) masalah desentralisasi. Dari 3 permasalahan tersebut, ada beberapa pemikiranku untuk menyelesaikan permasalahan tersebut : (1) maksimalkan peran SKM di desa, karena setelah diamati tugas bidan yang menumpuk tersebu justru adalah garapan dari SKM itu sendiri; (2) masalah skill ini harus ada pengawas proses pendidikan bidan, bahkan menurutku perlu ada re-design kurikulum, sehingga aspek soft skill dari bidan bisa maksimal. (3) kalau masalah desentralisasi aku juga belum tau. Salam sehat. Hery Firdaus Well, sepakat dengan beberapa opsi kebijakan alternatif diatas. Posisi paraji memang tidak bisa dipungkiri memiliki peranan tersendiri dan terkadang sudah menjadi bagian budaya masyarakat. Meskipun upaya untuk meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terampil terus digenjot dengan berbagai cara, namun seperti halnya juga disini, Timika-Papua, keterbatasan akses dan 53
tenaga kesehatan di pedalaman harus menjadi pertimbangan sendiri dalam melihat keberadan paraji. Sutopo Patria Jati Positioning dari dukun bayi paling tidak yang saya tangkap dari berbagai model yang dikembangkan tersebut diatas sebagai upaya membuat perubahan dari posisi yang tadinya bersifat substitusi menjadi yang komplementer (sebagai bukti masih adanya tarik menarik kepentingan maupun sebagai akibat keterbatasan/ketidaksiapan resources yang ada). Sehingga jika positioning ini toh akhirnya benar dilakukan untuk dukun bayi, saya pikir bentuk kompromi ini akan bersifat hanya sementara. Pertanyaanya mau sampai kapan? Di sisi lain saya setuju bahwa beban bidan di desa sudah cenderung makin gak manusiawi, yang salah satu sumbernya karena terfragmentasinya program dari atas sebagai cerminan/efek karena arogansi dari pengelola program. Jadi jika pengin mberesin kinerja bidan di desa sebaiknya beresin juga para pengelola program dari level daerah sampai pusat (mungkin ini bisa jadi semacam positioning Bidan di desa). Satu PR yang menurut saya cukup meresahkan bahwa kebijakan untuk "memaksa" seperti jaman inpres dulu saat ini tidak pernah efektif lagi dijalankan dengan berbagai alasan, sehingga gak usah heran bahwa mau dihasilkan berapapun tenaga kesehatan selama gak ada aturan yang dirasa "adil" dan tentu komitmen untuk memberikan fasilitas dan kompensasi yang memadai untuk para nakes/bidan yang bisa memaksa agar mereka mau bekerja sepenuh hati di seluruh pelosok negeri 54
maka ketimpangan penyebaran gak akan pernah terselesaikan secara komprehensif dan tuntas. Wallahua'lam. Yuni Ulifah Di tempatku dukun bayi sudah tidak ada, tapi tetap aja ada kematian ibu, karena memang tidak hanya penolong persalinannya yang diperhatikan tapi juga kondisi pre dan post kelahiran. Ilham Akhsanu Ridlo Positioning setelah itu branding. Semoga tepat pada target market dan tentunya hasil akhir yang sesuai. Apriliana Lailatul Maghfiroh Betul sekali Pak Fisto. Saya melihat dengan jelas bahwa banya sekali beban bidan desa, di luar KIA. Ga hanya melihat dengan mata kepala sendiri tetapi juga sang bidan desa mengeluh kepada saya tentang pekerjaannya yang over lapping serta 'kompensasi' yang tidak sesuai dengan beban kerja bidan. Berikut salah satu hasil wawancara informal dengan bidan: ”Yah mbak... Beginilah tugas bidan. Udah harus kerja keras biar bumil mau melahirkan ke saya, saya juga masih ngurusi administrasi ini. Minta asisten, ga diijinkan sama puskesmas. Ini hasilnya jg ga seberapa. Belum lagi kalo posyandu. Bukannya saya ga ikhlas. Tapi capek mbak”.
Dan masih panjang lagi curhatannya. Well, meskipun sudah berhasil bermitra dengan dukun, tetapi menurut saya banyak sekali hal-hal selain masalah persalinan yang juga butuh perhatian bidan (dan tenaga 55
kesehatan yang lain). Contoh, pola asuh bayi setelah persalinan. Di sini (Sampang/Desa Jrangoan), masih banyak bayi yang diberi MPASI (Makanan Pendamping ASI) segera setelah lahir. Kemudian pola asuh balita. Banyak yang balitanya diasuh ala kadarnya, sehingga BGM (Bawah Garis Merah) pun merajalela. Mungkin ini juga bisa jadi tugas S.KM, seperti yang Pak Fisto paparkan. Intinya: over lapping tugas bidan, banyak masalah KIA yang lain yang juga sangat perlu diperhatikan, kebijakan local specific belum maksimal disusun oleh Dinas Kesehatan setempat. Ini berdasarkan pengalaman saya di lapangan, yg hanya memotret keadaan di 1 desa saja. Salam sehat! :) Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Kepikiran... wilayah luas NKRI ini, kondisi geografis, iklim yang berbeda antar wilayah... tentu membutuhkan pengelolaan khas toh? Apa nak dikata, bila suatu saat sadar bahwa wilayah NKRI ini butuh model pelayanan kesehatan yang khas lokal dengan utilisasi manusia, kearifan lokal yang bersanding dengan iptek modern. Ingat barefoot di RRC? yang sesuai dengan NKRI pasti ada. Dyah Prabaningrum Nah, mumpung banyak pakar turun dari langit, saya newbie mau nanya. Pak, Bu, Om, Tante, Kakak sekalian, dalam penyusunan peraturan (UU, PP, Kepmen, dll) idealnya apakah berdasarkan kajian atau pemikiran teoritis atau copy-paste dari konvensi 56
internasional? Soalnya saya sering dicurhatin tementemen di kabupaten/kota dan puskesmas kalau mereka terkendala ini-itu dalam implementasi program dan kepentok sama peraturan. Kalau mau mengembangkan local wisdom, teman-teman di provinsi kadang kejebak juga sama kondisi ideal yang tertuang dalam peraturan dan kurang harmonisnya hubungan antar SKPD (di beberapa daerah, ya). Mohon pencerahan. terima kasih. Yun Astuti Nugroho Alasan ibu-ibu yang melahirkan pergi ke dukun bayi, antara lain;
akan
1) Babar pindah atau sekaligus, komplit yang maksudnya dukun bayi setelah melahirkan juga memijat ibu dan bayi, melakukan upacara kelahiran serta merawat plasenta; 2) Biaya murah, bisa dibayar kemudian; dan 3) Aspek psikologis, dukun dapat menentramkan ibu dan keluarga serta menemani pasien sampai berjam-jam bahkan lebih satu hari. Bagaimana dengan Bidan ??? Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa bila persalinan ditolong oleh bidan biayanya mahal sedangkan bila ditolong oleh dukun bisa membayar berapa saja. Hal yang terpenting adalah bahwa dukun dilihat mempunyai ’jampe-jampe’18 yang kuat sehingga ibu yang akan bersalin lebih tenang bila ditolong oleh dukun. Penyebab lain mengapa bidan tidak dipilih dalam 18
‘mantera atau doa’
57
membantu persalinan adalah bahwa selain umurnya masih relatif muda, bidan dipandang belum memiliki pengalaman melahirkan dan kebanyakan belum dikenal oleh masyarakat. Peranan dukun bayi dalam proses kehamilan dan persalinan berkaitan sangat erat dengan budaya setempat dan kebiasaan setempat. Dari konsep ’the three delays’, salah satu faktor kematian ibu dan bayi adalah terlambatnya pengambilan keputusan yang diambil oleh keluarga dan masyarakat termasuk dukunnya. Maka wajarlah jika terjadi kematian ibu dan bayi karena akibat dari terlambatnya mengambil keputusan dari keluarga, masyarakat dan dukun, sehingga keluarga, masyarakat dan dukun ikut bertanggung jawab terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Kemitraan merupakan salah satu solusi untuk menurunkan kematian ibu dan bayi. Pendekatan ini terutama akan menguntungkan daerah-daerah terpencil dimana akses terhadap pelayanan kesehatan sangat terbatas. Tulisan diatas saya ambil dari beberapa sumber (hasil survey). Jadi sekarang bagaimana temen-temen yang faham dengan masalah ini akan merumuskan yang pasti bahwa Dukun Bayi adalah salah satu ASET BUDAYA Bangsa Indonesia. Suwun. Agung Dwi Laksono Isyu lain yang saya tangkap dari usulan teman-teman adalah positioning bidan desa yang overload beban kerjanya. noted! 58
Rifmi Utami Sebenarnya positioning dukun tak sulit untuk di-copy bahkan dengan kemasan yang lebih baik, karena kesemuanya adalah urusan melayani dengan hati, yang pasti bisa dilakukan oleh hati-hati manusia lain, apalagi oleh seorang yang mempunyai tugas "menolong". Kendalanya memang benar, yaitu keseluruhan tugas fungsi puskesmas yang ditimpakan pada bidan di kawasan desa, ibaratnya Puskesmas kecil di desa, hmm... bisa dibayangin betapa overload-nya. Sedangkan masalah budaya, pendidikan masyarakat, sosial ekonomi, dll, bisa jadi sebagai pelengkap (nggeneppin) kompleksnya masalah, karena telah menjadi PR rutin yang kronis. Mungkin sebaiknya kita perlu mengeksplorasi segala hal dari semua sisi, dari kebutuhan biologis (terendah) sampai aktualisasi diri (tertinggi) menurut Maslow. Bagaimana mau mengaktualisasikan diri, jika kebutuhan di bawahnya tidak terpenuhi. Contoh : dari sisi safety saja beberapa waktu lalu diragukan ( kasus bidan dibunuh). Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Setuju... beban kerja sangat tak SEHAT... catat! Erna Waty Masukkannya hebat-hebat luar biasa. Semoga segera ada tindak lanjut dari yang berwenang, yang berkuasa, yang punya power. Semoga segera menjadi Indonesia yang lebih baik. 59
60
Bagaimana menggunakan IPKM?
Surabaya, 22 Mei 2012 Dear all, Sebagai sebuah indeks pemeringkatan ‘Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) terdiri dari 24 indikator yang diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan masyarakat di 440 kabupaten/kota yang datanya berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survey Potensi Desa (PODES). Semuanya merupakan data survey tahun 2007. Rencananya pada tahun 2013 nanti akan dirilis IPKM yang terbaru.
61
IPKM terdiri dari 3 kriteria indikator dengan pembobotan yang berbeda. Yang pertama adalah 11 indikator ‘mutlak’ dengan nilai pembobotan 5, yang ke kedua 5 indikator ‘penting’ dengan nilai pembobotan 4, dan yang terakhir 8 indikator ‘perlu’ dengan nilai pembobotan 3.
62
Bila sebuah kabupaten/kota ingin melakukan akselerasi atau percepatan pembangunan kesehatan, maka tidak perlu membabi-buta melakukan perombakan besarbesaran di semua indikator, terutama bagi kabupaten/kota yang jelas-jelas minim sumber pembiayaannya. Upaya bisa langsung difokuskan pada indikator-indikator yang mempunyai bobot besar, yang bisa diartikan indikator tersebut memiliki daya ungkit yang maksimal terhadap status kesehatan masyarakat. Apa saja indikator dengan daya ungkit maksimal tersebut? Tentu saja indikator mutlak yang menjadi targetnya! Tapi tidak semua indikator ‘mutlak’ harus digarap maksimal. Perlu dipilih lagi, terutama indikator-indikator dengan upaya berbudget minimal. ‘Rasio dokter/puskesmas’ dan ‘rasio bidan/desa’ perlu dikeluarkan sementara, karena tentu saja tidak bisa kita upayakan secara cepat. Kemudian indikator ‘akses air bersih’ dan ‘akses sanitasi’ juga kita keluarkan, karena upayanya tidak bisa kita usahakan hanya dari Dinas Kesehatan saja, perlu melibatkan Bappeda/Bappeko untuk pengadaannya. So... bisa butuh waktu lebih dari lama untuk realisasinya. Dari 11 indikator ‘mutlak’ dikurangi 4 indikator, jadi tersisa 7 indikator yang harus kita upayakan secara maksimal. Dan hampir semuanya berhubungan dengan
63
‘Posyandu’ sebagai media upayanya, dan ibu hamil serta balita yang menjadi sasarannya. Bila ingin betul-betul mengupayakan pada 7 indikator tersebut, tentu saja kita harus benar-benar tahu sasaran kita! Bukan hanya target yang diproyeksikan dari angkaangka Badan Pusat Statistik (BPS). Kita tidak bisa lagi hanya menunggu balita dan ibu hamil datang ke Puskesmas atau Posyandu ataupun pelayanan kesehatan lainnya. Perlu dilakukan sensus menyeluruh terhadap sasaran tembak, total populasi sasaran. Pelayanan jemput bola. Kita coba bedah data profil Kabupaten Sampang, ranking IPKM paling buntut di Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan data tahun 2010, dengan jumlah penduduk 837.275 jiwa, maka jumlah balita sekitar 10,1% atau 84.115 jiwa. Dengan jumlah desa 180, maka beban per desa adalah sekitar 468 balita. Rata-rata desa di Sampang memiliki 6 dusun, maka tiap dusun harus mencari sekitar 78 balita selama setahun. Masih mungkin bukan dilakukan? Kita coba bedah data ibu hamil. Jumlah ibu hamil diestimasikan sekitar 19.790 bumil. Jumlah bidan yang ada pada tahun 2010 ada sekitar 309 bidan. Bila semua kehamilan ditolong oleh bidan maka tanggung jawab setiap bidan adalah menolong 64 persalinan setiap tahunnya, yang artinya setiap bulan bidan wajib menolong 5-6 persalinan. Apanya yang tidak mungkin? 64
Untuk melakukan sweeping balita kita bisa menggunakan seluruh tenaga kesehatan yang ada sekitar 716 tenaga kesehatan tanpa memandang apapun latar belakangnya. Bila dikerjakan dan menjadi tanggung jawab bersama tentu menjadi lebih ringan lagi itungitungan beban kerjanya. Belum lagi pemanfaatan tenaga kader Posyandu serta bantuan dari aparat desa/dusun atau pak klebun. Faktor budaya ada dimanapun tempat di republik ini. Jangan dijadikan alasan, tapi mari kita jadikan kekayaan untuk pengembangan upaya kesehatan yang lebih baik. Piye jal? -ADL65
D I S K U S I Yun Astuti Nugroho Wah kalau dari penjelasan panjenengan cukup mudah ya untuk melakukan percepatan pembangunan kesehatan. Apalagi kalau di bagi lagi per-dasawisma. Setiap ketua dasawisma hanya mencatat 10 rumah berapa balita dan ibu hamil. Tinggal membuat laporan berjenjang sampai Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Tapi Apakah Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota sudah cukup faham trik-trik untuk percepatan pembangunan kesehatan tersebut??? Anni Haryati Haiyuuk... ikutan ah, ikutan share checklistnya ya, tengkyuu.. tak share sama teman-temen di Dinas Kesehatan. Ilham Akhsanu Ridlo Makasih pap, dengan adanya bobot yang jelas dan indikator di atas, pemegang kebijakan di daerah dapat merancang mind map-nya untuk memecahkan masalah kesehatan di wilayahnya. Kembali lagi ke itikad baik... Rachmad Pg Note pagi yang mencerahkan. Salah satu ujungnya juga perlu advokasi. Jangan sampai berhenti di domain orang kesehatan aja.
66
Andrei Ramani IPKM oh IPKM... orang-orang mungkin lebih sering denger Indeks Pembangunan Manusia (IPM, atau Human Development Indeks/HDI). Trik yang feasible untuk daerah-daerah yang merasa IPM-nya rendah. By the way, pengenalan IPKM juga saya sampaikan ke mahasiswa kami, meskipun hanya sepintas. Mukhlissul Faatih Kalo yang ini bagaimana? http://arali2008.wordpress.com/2009/07/03/apakahberat-badan-balita-dibawah-garis-merah-bgm-adalahgizi-buruk/ Andrei Ramani What is Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat? - silahkan download IPKM terbitan Kementerian Kesehatan tahun 2010 yang memuat daftar seluruh rangking IPKM kabupaten baik dalam propinsi atau rangking nasional – http://www.mediafire.com/view/?wgx1wivxd6tezzr Anni Haryati Inggih pak Andrei...punyaku rapornya masih jeleeekssss... Mukhlissul Faatih Info, menurut Rofi Mubasyiroh, giburkur (IPKM) = gizi buruk (profil) + BGM (profil)
67
Agung Dwi Laksono yang dimaksud sama adalah crosscutting kedua data tersebut denmas19. jangan sampai menimbulkan anggapan bahwa data IPKM datanya diambil dari profil. Mukhlissul Faatih Loh, kesimpulan mas ADL kok mekoten20? "data IPKM datanya diambil dari profil", siapa yang bilang? Agung Dwi Laksono Bukaan! Ntu karena denmas orang Litbang yang mengerti sejarahnya. Coba kalo orang dari luar, kesimpulan apa yg kemungkinan bisa diambil dengan tanda “=” (sama dengan). Mukhlissul Faatih Siyap mas suhu ADL. yang belum ketemu itu kurus-sangat kurus (IPKM), pendek (IPKM), imunisasi bayi kengkap (IPKM) yang belum ketemu "crosscutting"nya dengan profil kesehatan. Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Inilah peran Ilmuwan... menjadi ilmuwan dan advokat. Tidak sekedar berkarya di menara gading namun juga berkarya mencerdaskan rakyat. Yang krusial senator dan caloncalon pejabat publik. Ajang pilkada sering mengangkat isu kesehatan yang dominan dinilai praktisi kesehatan 19 20
‘adik’; bahasa Jawa. ‘begitu’; bahasa Jawa.
68
sangat melenceng dan pinggir-pinggir doang bahkan tidak memahami. Tapi tidak berhenti sampai di situ kan? hanya komentar aja, wajib memberi advokasi dengan diminta ataupun tidak diminta. Makasih bro, awakpun tercerahkan, sekali-sekali berpaling dari peran provokator menjadi advokator, terutama di masa-masa sekarang ini, sangat.. sangat.. sangat.. dibutuhkan. Tabik.
69
70
Gado-gado ala Sampang!
Surabaya, 28 Mei 2012 Dear all, Pagi ini kembali lagi kita kupas beberapa hal terkait Kabupaten Sampang untuk memetakan track record yang sudah dan akan dilakukannya untuk mencoba membawanya keluar dari dasar keterpurukan ranking IPKM di Propinsi Jawa Timur. Seperti telah beberapa kali dituliskan, bahwa Kabupaten Sampang adalah kabupaten DBK yang menjadi penghuni dasar peringkatan IPKM di Propinsi Jawa Timur, yang data komparasinya dengan ranking satu Jawa Timur (Kabupaten Tulungagung) bisa dilihat pada dua grafik berikut; 71
72
Paparan data tersebut bersumber pada data survey Riskesdas pada tahun 2007. Pada saat ini, saya sangat berkeyakinan data tersebut telah berubah, kalau saya tidak boleh berlebihan dengan mengatakan melonjak drastis. Atmosfir yang saya rasakan langsung di Kabupaten Sampang sangat positif, antusiasme para petugas kesehatan untuk memberikan yang terbaik sangat kentara. Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan berdasarkan pengakuan masyarakatnya.
Good Governance Dalam era desentralisasi dan keterbukaan seringkali para penggiat pemerintahan mendengung-dengungkan jargon good governance, di Kabupaten Sampang good governance bukan sekedar jargon, setidaknya di Dinas Kesehatan. Perbaikan dari sisi administrasi dan manajerial begitu sangat terasa. Tidak hanya berdasarkan pengakuan policy maker di level Dinas Kesehatan saja, tapi setidaknya hal tersebut dirasakan oeh bidan sebagai pelaksana sekaligus sasaran kebijakan, yang juga dirasakan juga oleh masyarakat sasaran secara langsung. Paling cepat proses klaim dari seluruh kabupaten/kota yang saya tahu.
73
“Pastikan (ibu hamil) lahir ke kamu (bidan), pastikan tidak mati, jadi saya akan memastikan pembayarannya...” Dalam sebuah diskusi dengan para bidan yang terlibat dalam Jampersal, rata-rata bidan mengungkapkan bahwa proses pencairan klaim dana Jampersal sangat cepat. Mereka mengaku proses tersebut jauh lebih cepat dibanding dengan ‘saudara-saudara’ lainnya di wilayah Kabupaten lainnya di Pulau Madura. Bahkan untuk proses pencairan dari BPS (Bidan Praktek Swasta) yang melakukan PKS (perjanjian kerja sama) dengan Dinas Kesehatan proses bisa selesai dalam satu hari. Sebuah capaian good governance yang tidak pernah saya jumpai di banyak wilayah manapun di pelosok negeri ini yang saya datangi khusus untuk pengelolaan Jampersal. Tata kelola yang menarik lainnya adalah kemauan pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan rumah singgah bagi masyarakat Kabupaten Sampang yang sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi, rawat inap di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya. Disediakan ambulan sampai ke lokasi, dan juga disediakan rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu pasien. Rumah tunggu yang beralamat di Dharmahusada Gang 1 Nomor 17 tersebut selain menyediakan fasilitas akomodasi juga menyediakan konsumsi untuk 2 (dua) orang penunggu per pasien. 74
Banyak Bicara Banyak Kerja Berbeda dengan jargon yang berhubungan dengan kinerja yang selalu diucapkan untuk memotivasi, yaitu ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja!’. Hal ini tidak berlaku untuk petugas kesehatan di Kabupaten Sampang, setidaknya di wilayah Puskesmas Robatal. “Banyak bicara banyak kerja...” demikian jargon yang ditekankan oleh Totok Sudirman, selaku Kepala Puskesmas Robatal kepada para petugas kesehatan di jajarannya. Pendekatan jargon ini yang coba diterapkan dalam keseharian pelaksanaan tugas bukannya tanpa sebab. Berdasarkan data profil tahun 2011, dari seluruh penduduk di Kabupaten Sampang yang berjumlah 803.866 jiwa, sebanyak 86% tidak sekolah, tidak tamat SD, maupun tamat SD. Dengan tingkat pendidikan yang demikian maka media sosialisasi maupun promosi yang berisikan tulisan bisa dibilang menjadi kurang efektif, kalau tidak mau disebut sia-sia. Budaya masyarakat kita cenderung pada budaya oral (percakapan) daripada budaya baca, apalagi dengan tingkat pendidikan yang mayoritas lulusan sekolah dasar ke bawah. Sudah tentu penyebarluasan informasi yang berupa buku panduan, leaflet, maupun baliho yang besar sekalipun, akan dianggap sebagai angin lalu.
75
Pendekatan paling efektif adalah ‘banyak omong’. Pendekatan penyampaian informasi yang getok tular21 dirasa paling efektif untuk dilakukan. Untuk itu petugas kesehatan yang jumlahnya terbatas sudah tentu tidak bisa bergerak sendiri, kerja sama dengan pak klebun, mbah modin, kader dan tokoh masyarakat lainnya menjadi mutlak diperlukan.
Community Empowerment Dukungan tokoh masyarakat ini sangat nyata di Sampang. Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu, speaker22 di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian speaker akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran. Momen lain yang sering digunakan sebagai media cangkrukan23 info kesehatan adalah forum muslimatan, forum pengajian yang menjadi kegiatan umum bagi masyarakat muslim Madura yang cenderung agamis. Di sisi lain, para tokoh masyarakat yang menjadi penggiat menjadi marketing hebat dalam menyarankan para ibu hamil untuk bersalin hanya ke bidan. Hal ini disertai dengan keikhlasan mengantar ibu hamil dan melahirkan ke bu bidan secara ber’jamaah’, bisa dengan 21
‘Penyampaian informasi yang dilakukan secara berantai dari mulut ke mulut; bahasa Jawa. 22 ‘pengeras suara’. 23 ‘ngobrol atau diskusi santai’; bahasa Jawa
76
cara digotong, ataupun sekedar naik motor bila lokasi jauh.
Penggiat lain yang berada di jajaran pemerintahan desa ikut membantu menyiapkan kelengkapan persyaratan admini-strasi strasi bagi warga sasaran. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Madura dura banyak yang tidak mempunyai KSK (Kartu Susunan Keluarga) atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Untuk keperluan tersebut, Klebun24 bersedia di’ganggu’ kapan saja, 24 jam, untuk pengurusan Surat Keterangan Domisili sebagai pengganti KSK atau KTP untuk kelengkapan persyaratan 24
‘Nama lain lurah atau kepala desa di Pulau Madura’.
77
untuk mendapatkan Jampersal atau Jaminan Kesehatan lainnya. Strategi-strategi ini terbukti efektif. Dengan keberadaan jumlah dukun bayi yang mencapai 516 dukun, hampir dua kali jumlah bidan yang 'hanya' mencapai 314 bidan (184 bidan PNS, sisanya bidan praktek swasta), ibu hamil yang melakukan persalinan tidak ke tenaga kesehatan hanya mencapai 5%. Capaian yang sungguh menjadi prestasi tersendiri bila melihat situasi dan kondisi yang ada. Strategi lainnya adalah pembentukan ‘bagas’ (pembantu petugas). Bagas sendiri diambil dari para kader yang dinaikkan derajatnya dengan insentif sekedarnya dari bidan desa. Berdasarkan pengakuan bagas dalam diskusi, ada yang berinisiatif untuk menghimpun dana dari masyarakat. Yang telah terrealisasi adalah menghimpun ‘jimpitan’ Rp. 1.000,- perkali datang ke Posyandu, selain juga menghimpun dana donatur untuk membantu pelaksanaan Posyandu. Saat ini di salah satu Posyandu di wilayah Puskesmas Batulenger telah berhasil mempunyai kas mencapai tujuh juta, yang juga dikelola sebagai ‘simpan pinjam’ untuk anggota Posyandu yang memerlukan biaya saat sakit. Sebuah jalinan emosi yang telah terjalin cukup kuat antara petugas (bidan) yang bekerja penuh keikhlasan dengan masyarakatnya... "bu bidan itu semuanya baik-baik pak, gak ada yang sadis..." 78
"bu bidan itu suka memakai kata-kata... 'gini sayang... gini sayang...', gitu paak!” "kalau jam 6 pagi atau jam 3 sore di rumah Bidan itu seperti rumah sakit pak, saking sukanya masyarakat dengan bidan..." "bu bidan itu lebih hapal siapa saja ibu yang hamil di wilayahnya daripada saya yang jadi kadernya pak..." "bu bidan itu tetap melayani dengan baik pak, meski kadang hanya dibayar dengan jagung, kacang atau bawang..." Apalagi yang bisa saya katakan? ghirah25 itu telah saya rasakan... telah saya temukan di sini, di Sampang. -ADL-
25
‘gairah atau semangat’; bahasa Arab
79
D I S K U S I Apriliana Lailatul Maghfiroh Well, luar biasa! 2 thumbs up untuk Kecamatan Robatal. Sedikit berbeda dengan Kecamatan Jrangoan. Puskesmasnya tidak seperti di Robatal. Kalo bidan desanya sih sama kerennya dengan yang di Robatal, meskipun beliau belum PNS tapi sangat proaktif :) Veronica Suci Fridani Yang kucermati dari ulasan di atas adalah; "Tata kelola yang menarik adalah kemauan pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan rumah singgah bagi masyarakat yang sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi. Disediakan ambulans sampai ke lokasi, dan juga disediakan rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu pasien." Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu, 'speaker' di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian 'speaker' akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran.
80
'Gethok tular'26 dalam masyarakat yang rajin bersosialisasi dan berinteraksi merupakan sarana penyampaian informasi yang ampuh. Meretas segala sekat dan mendekatkan pada sasaran. APabila semua daerah seperti yang diulas, maka kesehatan yang menjadi dambaan masyarakat luas bukanlah mimpi. Tetap semangat dalam berkarya, Mas Agung. Salam sehat Pak Sawi Sip Om ADL : 1) Sebuah Perubahan, kan? Sejak kapan Om? Adakah kaitannya dengan Kalakaryamu? 2) Tolong cermati bagaimana data mengalirmembudaya, sejak di lokasi terjadinya layanan sampai tercatat-terbaca-teranalisa di kabupaten balik terfeedback ke lokasi terjadinya layanan. Hal ini untuk melihat keterjaminan data di meja dengan data dikenyataannya, bukankah Riskesdasmu akan begitu melihatnya lagi nanti? 3) Banyak Bicara Banyak Kerja, kredo yg bagus, meskipun bukan begitu maksudnya. Banyak bicara disitu BICARA itupun KERJA. Sedang banyak bicara yang biasa 26
‘disampaikan secara berantai dari mulut ke mulut’; bahasa Jawa
81
kita ledek itu adalah Bicara mau nimbang padahal gak nimbang; bukan Bicara: halo-haloo... Balita harus ditimbang yaaaa, dan Kerja: Nimbang! 4) Puskesmas, dan Juga Bidan yang diceritakan dapat dijadikan panutan, jika butir 2) dapat dilakukan, maka akan menampak apakah hanya Puskesmas satu ini saja atau satu Bidan ini saja; kalau se-Sampang seperti ini semua, wah... aku boleh ikut merasa menjadi bagian darinya, bukankah kita pesta ultah terakhir sebagai PNS di sana Gung? Tetapi andai tak berkait dengan Kalakarya-pun, kita boleh juga 'diam-diam' bersyukur. 5) Sehari ganti biaya Jampersal, itu harus dibesarbesarkan, dipamer-pamerkan kemana-mana. Kalau perlu diterbitkan dokumen penghargaan khusus oleh Kementerian Kesehatan atau oleh Gubernur Jawa Timur. Nah tugas Agung adalah mencari tahu detail ‘piye to koq bisa sehariiiii? Dhuwite sopooooo? Ngambilnya piyeeee? Opo gak butuh waktu? Opo DPR-e gak crewet? Opo petugas proyek di Dinkes gak crewetttt?’27
27
‘bagaimana sih kok bisa sehari? Uangnya siapa? Mengambilnya bagaimana? Apa tidak memerlukan waktu? Apa DPR-nya gak cerewet? Apa petugas proyek di Dinkes gak cerewetttt?’; bahasa Jawa.
82
Pak Sawi Sori Gung, meski aku wis ga di PDBK, nek sampeyan28 sekali waktu ke Sampang, ajaken29 aku Gung, tak melu30 menikmatinya Ade Ayu Siiipppp... Orang madura yang katanya kasar suka carok31 tapi hatinya pada lembut. Yun Astuti Nugroho Mas Agung apa yang panjenengan32 ulas akhirnya bisa jadi model pemberdayaan ........ Untuk percepatan pembangunan kesehatan. Pertama yang bisa pakai adalah Gorotalo. Pak Sawi Gorotalo itu ada tiga atau berapa ya Gung? ADL belum ke Gorotalo ya? Ada Kabupaten Gorontalo, Kota Gorontalo, malah Propinsi Gorontalo, ada lagi Kabupaten Gorontalo Utara. Apalagi ya, koq susah amat nyari nama ya Gung. Mbok seperti Boalemo, Bolebolango, gitu kek jadi jelas. Yang Mbak Yun ini crita Gorotalo yang manaaaa? Yang kalakaryanya dihadiri 700 orang itu yaaaa? 28
‘kamu’; penyebutan orang ke-dua dalam bahasa Jawa ngoko alus. Biasa dipakai dalam bahasa pergaulan sehari-hari. 29 ‘ajaklah’; bahasa Jawa. 30 ‘ikut’; bahasa Jawa. 31 ‘pertarungan antar lelaki madura dengan menggunakan senjata clurit (senjata tajam khas Pulau Madura), biasanya karena masalah harga diri dan atau wanita’; bahasa Jawa. 32 ‘kamu’; penyebutan orang ke-dua dalam bahasa Jawa kromo inggil, tataran bahasa paling tinggi dalam adat Jawa, biasanya untuk meng’orang’kan orang yang lebih tua, atau yang dihormati, di’tua’kan.
83
Yun Astuti Nugroho Bapak ada Kabupaten Boalemo dan Pohuwato, yang saya maksud supaya IPM-nya kabupaten/kota lebih baik lagi bisa model pemberdayaan seperti di Kabupaten Sampang bisa ditularkan. Matur nuwun Pak Sawi Benul.... hei betul. Itulah kenapa aku juga pengin ngeliat, terus ADL tulis besar-besar di manamana, biar kedengeran, keliatan, dan ditiru orang. Ga apa-apa niru, niru yang bagus ini. Kuncinya 'cari provokator utama di daerah itu' atau 'jadikan dirimu provokator', kemudian jadilah orang yang 'budeg'33 dengan kecaman orang-orang yang 'keras kepala (lihat Kompas Sabtu)', maju terus pantang nolah-noleh34. Ayo Bu Yun! Sutopo Patria Jati maturnuwun35 sharing pengalaman yg luarbiasa, kalau boleh tahu menurut njenengan siapa opinion leader36 dan agent of change37 dari semua fenomena tersebut pak? Satu hal lagi yang menjadi concern saya adalah tentang aspek sustainabilitas dari improvement yang saat ini berhasil dicapai oleh temanteman di Sampang, semoga bisa tetap bergulir dan 33
‘tuli’; bahasa Jawa ‘menoleh kiri-kanan’; bahasa Jawa 35 ‘terima kasih’; bahasa Jawa 36 ‘pemimpin yang berpengaruh sebagai pembentuk opini’ 37 ‘agen perubahan’ 34
84
terjaga ghirah-nya bahkan bisa menular ke daerah lain, aamiin. Nagiot Cansalony Salomo Tambunan 1 poin, mulai tereduksi lack information, yang masih banyak terjadi di level tinggi birokrasi. Juga ada perubahan menjadi bekerja bersama rakyat. tabik buat TEAM Sampang. Agung Dwi Laksono Pak Sawi, proses klaim bisa satu hari selesai karna sebenarnya duit sudah dititipkan di Dinas Kesehatan oleh BUK. Jadi tinggal kelengkapan administrasi saja yang harus dipaksa untuk ikut cepat bergerak, dan hal ini sudah 'jelas' bagi orang lapangan sampai pak klebunnya. Bagi mereka yang penting ibu hamil dilayani dan jangan sampai ada yang mati. itu saja. Yun Astuti Nugroho Aduh bapak maaf, saya hanya partisipan di group PDBK. Kalau tim PDBK di Gorontalo Pak Anorital Cs. Saya pernah menjadi tim Rifaskes dan kebetulan anak salah satu dokter di Gorontalo. Jadi boleh dong punya mimpi memajukan Gorontalo terutama untuk kesehatannya. Suwun. Agung Dwi Laksono Bu Yun Astuti Nugroho, model pemberdayaan sebenarnya sudah cukup banyak, termasuk yang local spesific masing-masing daerah. Pemetaan potensi lokal untuk secara mandiri membuat
85
kemajuan tanpa tergantung dengan pusat saya rasa perlu digalakkan. Agung Dwi Laksono Gorontalo! Mungkin memang benar hebat apa yang sudah terjadi di sana, tapi sayangnya saya belum diberi kesempatan bertandang di sana. saya tak boleh menulis apa yg tidak saya lihat dan rasakan sendiri, ntar malah jadinya ngapusi38. Yun Astuti Nugroho Iya mungkin, tapi saya tertarik dengan ‘banyak bicara banyak kerja’. Ini yang bisa menjd poin penting yang bisa diterapkan di Gorontalo. Agung Dwi Laksono Pak Sutopo Patria Jati, opinion leader di Sampang adalah para tokoh agama yang sekaligus juga menjadi tokoh masyarakat, termasuk di dalamnya adalah petugas kesehatan. Untuk geliat perubahan di Sampang yang saya lihat sudah mengalami proses kelembagaan sampai pada tingkat grass root. Satu-satunya yang bisa mengganggu sustainaibilitasnya saya rasa adalah 'pembiayaan kesehatan'. Seperti kita ketahui masyarakat Sampang dominan miskin dan berpendidikan rendah, perlu satu-dua generasi atau lebih untuk membuat rakyat Sampang terlepas dari lingkaran setan tersebut.
38
‘berbohong’; bahasa Jawa.
86
Agung Dwi Laksono Untuk semua paparan di atas memang saya tidak terjun turun langsung ke semua wilayah Sampang. Saya hanya turun di tataran kabupaten (Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit) serta di dua kecamatan yang menjadi ampuan Puskesmas Batulenger dan Robatal. Pak Sawi, saya tidak dalam rangka PDBK saat turun di wilayah ini. Saya hanya peneliti gatel yang menggendong PDBK kemana-mana. Ilham Akhsanu Ridlo Kemarin sore saya juga berdiskusi dengan pelaku dan praktisi di sana, Maman Firmansyah bersama Rachmad Pg dan beberapa rekan, setidaknya membuktikan bahwa dukungan dan peran policy maker disana luar biasa effortnya. Salut buat mereka! Agung Dwi Laksono Saya hanya turun seminggu di wilayah ini, selebihnya ada rekan-rekan saya yang stay di sana. Kebetulan Pusat 4 Litbang Kesehatan (Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) sedang ada riset etnografi terkait kesehatan ibu dan anak, yang 'menanam' 4 orang peneliti disana selama kurang lebih 2 bulan. Jadi untuk informasi detail ataupun konfirmasi bisa langsung pada mereka. salah duanya adalah Ida Diana Sari dan Apriliana Lailatul Maghfiroh. 87
Agung Dwi Laksono Perubahan di Sampang tidak serta merta saat kita ber-PDBK Pak Sawi. Kesadaran tersebut sudah lama menjangkiti petugas kesehatan sejak mereka menyadari selalu menjadi posisi paling buncit dalam prestasi kesehatan yang manapun di Propinsi Jawa Timur. Mereka sedang sangat gelisah untuk bangkit, sedang sangat-sangat bergairah untuk lepas dari keterpurukan. Ilham Akhsanu Ridlo Iya... kalau boleh usul nih, PKL-nya (Praktek Kerja Lapangan) FKM Unair dialihkan kesana, pasti lebih bagus, setidaknya untuk membantu policy maker disana. Agung Dwi Laksono Rasa 'merinding' yang biasa kita rasakan Pak Sawi, saat kita ikut merasi geliat perubahan rekan-rekan DBK di banyak wilayah, saya merasakan setiap hari, setiap saat, selama seminggu ketika bersinggungan dengan mereka. Saat menulis inipun kepala saya seperti melayang entah kemana? endorphin yang sungguh saya nikmati. Apriliana Lailatul Maghfiroh Well, setelah kurang lebih satu bulan di Desa Jrangoan Kecamatan Omben, ada beberapa hal yang berbeda dari yang Pak Agung paparkan. Robatal memang keren, Usahanya luar biasa. Alhamdulillah, di Jrangoan juga seperti itu. Mayoritas 88
persalinan juga sudah ditolong oleh Bidan Desa. Karena memang sudah sangat bermitra dengan dukun. Beliau juga sangat proaktif sekali. 5 persalinan yang terjadi di Jrangoan, selama 1 bulan ini, semuanya ditolong oleh Bidan Desa. Alhamdulillah. Tapi, saya belum melihat effort yang jelas dari pihak Puskesmas untuk meningkatkan IPKM. Boro-boro mikir IPKM, kalo banjir aja udah pada ga masuk petugasnya. Padahal jalan alternatifnya ada lho. Paling cuma selisih 1 jam untuk nyampe ke Puskesmas dari waktu tempuh biasanya. Belum lagi sering saya lihat Puskesmas sudah sepi pada jam 12 ato ba'da Dzuhur. Bukan itu saja, disini ga ada dokter, Kepala Puskesmasnya seorang perawat yang lagi menempuh master (S2) di Universitas Airlangga. Mengenai program-programnya juga belum terlihat dengan jelas. Kami memang hanya beberapa kali kesana dan berkali-kali lewat di depan Puskesmas. Karena waktu kami banyak tersita dengan warga dan pesantren. Ini memang tujuan kami, berbaur dengan masyarakat setempat untuk mengkaji budaya KIA. Bahkan, di desa sebelah, Desa Kebun Sareh, yang juga termasuk wilayah kerja Puskesmas ini, masih buaaaanyaak yang persalinannya ditolong oleh dukun. Ada juga perawat yang buka praktek tanpa SIP resmi.
89
Wohohoo.. Apakah Puskesmas tidak mengetahuinya?? Tidak mungkin tidak! Mengenai policy, saya belum melihat Dinas Kesehatan 'menyentuh' Jrangoan. Mungkin Mas Maman bisa menjelaskan. Jadi, agak kaget ketika pak agung mengatakan Dinas Kesehatan sangat ingin berubah menjadi lebih baik, saat beliau memantau yang terjadi di Robatal. Satu lagi hal yang selalu menggelitik otak saya. Litbangkes sudah berkali-kali mengadakan penelitian, pasti sudah banyak data yang diperoleh. Lalu, apakah ada follow up untuk 'mengubah' data tsb menjadi lebih 'enak' dilihat? Misal, Riskesdas 2010 sudah menunjukkan bahwa Sampang adalah Kabupaten yang 'terparah' di Jawa Timur. So, what's next? Apakah Dinkes tidak 'ditegor' oleh 'atasan'? Lalu, apakah Dinkes tidak 'menegor' Puskesmas-puskesmas? Sehingga Puskesmas sebagai ujung tombak Dinkes bisa berbenah diri dengan membuat program baru. Yang paham masalah kesehatan di lini terbawah (desa/kecamatan) kan Puskesmas, harusnya Puskesmas juga tau dong gimana solusinya. Masalah kesehatan tiap daerah kan beda-
90
beda, solusinya pun pasti beda-beda, disamaratakan. Bukan begitu, bapak dan ibu?
ga
bisa
Di luar pemikiran waktu dan dana, saya memikirkan suatu hal yang simpel untuk meningkatkan IPKM: penelitian data lapor ke Kemenkes tegor Dinkes tegor Puskesmas mencari root cause menemukan solusi (program) implementasi evaluasi penelitian data begitu seterusnya. Yah... sebagai putri daerah Sampang, saya ingin menanyakan hal ini pada bapak dan ibu yang ada di 'atas' ini. salam sehat! Agung Dwi Laksono Waduuuh! Kok 'tegur' ya? Manajemen 'teguran' sudah lama kita tinggalkan. Untuk dasar pemikiran bisa dibuka-buka kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 (kalo salah tolong dibenerin) tentang Pemerintahan Daerah. Pada regulasi tersebut jelas menyebutkan bahwa kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib pemerintah kabupaten/kota. Jadi bila 'pusat' turun tangan itu sebenarnya sudah melampaui kewenangannya saja. Untuk itu resep yang dibuat adalah PDBK (Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan). Pendekatan dalam PDBK lebih banyak pada sisi non 91
material, yaitu empowerment, menggugah kesadaran untuk berbuat, bukan hanya kepada petugas tetapi juga masyarakat dan lintas sektor. Jadi mau bangkit atau tidak bukan terletak pada kemauan pusat. Kemauan dan kemampuan lokal-lah yang harus dibangkitkan, pusat hanya bertindak sebagai katalis. Dan benar bahwa solusi untuk masing-masing wilayah adalah berbeda, local spesific. Sedikit koreksi, untuk ‘menunjukkan’ Sampang sebagai kabupaten terparah bukan hasil Riskesdas tahun 2010, tetapi hasil Riskesdas tahun 2007. Seperti paparan sebelumnya, bahwa saya tidak turun di semua wilayah Sampang, jadi tidak mewakili seluruh wilayah. Meski demikian, saya melihatnya tidak serta merta demikian. Mbak Apriliana Lailatul Maghfiroh yang notabene 'baru', belum bisa masuk di dalam sistem kesehatan. Masuk 'hanya' dalam tataran masyarakat dan melihat sistem kesehatan hanya dari 'luar'. Meski juga kita tidak tutup mata dengan adanya petugas yang belum mempunyai ghirah untuk bangkit Apriliana Lailatul Maghfiroh Pokok, jelas! Terimakasih penjelasannya. Nice. Terimakasih juga koreksinya. Yups, Riskesdas 2007 maksudnya. 92
Well, jadi pusat tidak memiliki wewenang untuk ngutakngatik Kabupaten. Semua tergantung Pemerintah Daerah, secara udah otonomi daerah. Daann.. Sepertinya PR untuk Sampang (semua wilayah Sampang) masih banyak. Satu berhasil, semoga bisa diikuti daerah yang lain. Semoga petugas kesehatan lebih semangat lagi. Emm.. Karna saya memang henghong, jadi saya nanya begitu pak, biar ga terlalu henghong-henghong amat. Penasaran sih.. 'pertanyaan terburuk adalah pertanyaan yg tidak ditanyakan’. makasii makasii... Maman Firmansyah Dear all, sebelumnya saya sampaikan terima kasih buat om Agung yang sering mengangkat Sampang dalam tulisan akhir-akhir ini, khususnya setelah dimulainya PDBK. Beruntung bisa ditag om Agung di diskusi senin pagi ini, meski jarang berkomentar tapi saya selalu baca... :-) . Banyak hal yang saya peroleh dari tulisan-tulisan ini, terima kasih. Pertama, untuk tulisan ini memang bukan untuk digeneralisasi atas keadaan Sampang seutuhnya. Tapi bukan berarti hal-hal buruk saja yang diangkat, kadang tulisan seperti ini menjadi optimisme kami, bahwa masih banyak peluang untuk bangkit, lain halnya kalo yang buruk-buruk melulu yang diangkat, itu gaya berpikir 93
pesimis. Meski saya bukan orang Sampang asli, saya yakin Sampang bisa diperbaiki, minimal berada di atas Kabupaten lain di Pulau Madura. Kedua, benar apa yang disampaikan Pak Sawi, sustainabilitas dan data. Jujur saja sampai detik ini, data yang benar, tidak sekedar baik, menjadi kelemahan kami. Kami tidak berdiam diri, untuk hal ini lagi-lagi Posyandu menjadi sasaran garap kami. Posyandu adalah sumber data hampir semua program kesehatan. Setelah kami mengetahui ternyata selama ini tidak ada jenis laporan tersendiri dari kinerja Posyandu yang disampaikan berkala bulanan. Yang ada adalah masing-masing programmer dan bidan desa mengambil data Posyandu yang ditulis ke dalam format laporan masing-masing programmer, bukan utuh laporan Posyandu. Kemarin pak Kadinkes meminta ini diperbaiki, hidupkan SIP (Sistem Informasi Posyandu) dan minta ada format laporan kinerja Posyandu utuh yang disampaikan tiap bulan. Sedang kami kerjakan. Dengan keterbatasan SDM baik dari segi kualitas, kuantitas, dan niat, puldata dari masyarakat secara langsung butuh effort besar, hingga akhirnya kami melihat bahwa ada dasa wisma dan kadernya yang harus ’dihidupkan’ kembali, mereka akan sangat membantu. Ini juga yang sedang kami kerjakan. Mohon do'anya. Ketiga, mengenai apa yang ditulis mbak April, terima 94
kasih atas masukannya, sebenarnya bukan tidak disentuh, saat ini kami sedang memetakan Puskesmas untuk didampingi, terinspirasi dari Pendampingan PDBK. Armada kami yang "sehat" sangat terbatas, sehingga kami harus petakan. Kami juga butuh SDM seperti mbak April untuk bersama kami membangun Sampang, sudah seperti tanah kelahiran saya sendiri. Pada intinya masih banyak masalah yang harus kami selesaikan, dan seperti yang kami dapat dari PDBK: Setiap apapun yang kita putuskan/kerjakan/selesaikan hari ini, akan menimbulkan sesuatu berikutnya, termasuk masalah baru itu sendiri, cycle. Dan seperti kutipan om Agung, masalah kesehatan akan selalu ada, tapi untuk itulah kita semua ada di sini. Mohon koreksinya kalo salah... Newbie... Salam sehat, :-) Apriliana Lailatul Maghfiroh Oke Mas Maman, sip :) Harus selalu optimis. Nothing's impossible :) Sebagai yang jauh lebih newbie, saya sangat butuh tulisan dan koreksi-koreksi semacam ini. Terimakasih banyak. Salam sehat! :) Yulidar Yacob Nothing impossible but mission not imposible... Nur Munawaroh SEPAKAT dengan BANYAK BICARA BANYAK KERJA. ‘Ngethuet-o yen meneeeennnngggg 95
wae... yo akeh sing ra ngerti’39. YANG PENTING BICARAKAN yang MEMANG HARUS DIBICARAKAN.... UNTUK DIDENGAR dan DILAKUKAN BERSAMA. Didik Supriyadi Alhamdulillah sudah ada perubahan mas, dan mungkin untuk selanjutnya tata kelola yang sudah baik ini bisa dilanjutkan. Dengan adanya sistem pengendalian manajemen yang baik saya harapkan ini bisa berkelanjutan. Karena seringkali kita cepat berpuas dan akhirnya lupa dengan review dan evaluasi bahkan untuk uji SPM (Standar Pelayanan Minimal) nya kembali. Karena yang pasti adalah perubahan. Anni Haryati Hahahaha... hallo Mbak Nur Munawaroh, ok NGETHUET-O, asyiik dah, itu perlu... euuy Sampang, ya... jadi inget 7 tahun yang lalu dapat tugas untuk "kerja" di sana, eh... ditahan gini sama Dinkes Propinsi, "coba dokter... dilihat dulu", huwahahaha... dan saya masih ingat rumah dinas Rumah Sakit yang di belakangnya adalah ladang garam dengan windmollennya persis seperti di Belanda, ehhh SK turun: Lumajang, hiyyaaah... yuuk yuuk semangat semangat... masih banyak yang kita harus ngethuet. Matur nuwun tagnya, Papa Gung.
39
‘Berusaha sekeras apapun kalau diam saja ya banyak yang tidak mengerti’; bahasa Jawa
96
Rifmi Utami Hmm... jadi kepengen pindah nang Sampang Vita Darmawati Hari ini saja di sini masih dibahas dengan seru bagaimana tentang alur Jampersal, klaim, dll, dst. Sepertinya perlu pencerahan lagi.
97
98
E book 4 free! Dapatkan e book
‘Analisis Kebijakan Ketenagaan; Sebuah Formulasi Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum’
Link download;
http://www.scribd.com/doc/95002369/Analisis-KebijakanKetenagaan-Agung-Dwi-Laksono 99
E book 4 free! Dapatkan e book
“Akses BEROBAT! Serial Diskusi Masalah Kesehatan”
Link download;
http://www.scribd.com/doc/84376294/Akses-Berobat-SerialDiskusi-Masalah-Kesehatan-Agung-Dwi-Laksono 100
E book 4 free! Dapatkan e book
“Kekalahan Kaum Ibu??? Serial Diskusi Masalah Kesehatan”
Link download;
http://www.scribd.com/doc/77821601/Kekalahan-Kaum-IbuSerial-Diskusi-Masalah-Kesehatan-Agung-Dwi-Laksono 101
E book 4 free! Dapatkan e book
“JEBAKAN KEBIJAKSANAAN, Serial Diskusi Masalah Kesehatan”
Link download;
http://www.scribd.com/doc/76912212/JEBAKANKEBIJAKSANAAN-Serial-Diskusi-Masalah-Kesehatan-Agung-DwiLaksono 102
View more...
Comments