Download FULL PAPER TOPIK 1.2. Peluang Dan Tanatangan Akibat Perubahan Iklim Global...
PELUANG DAN TANTANGAN AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMANASAN GLOBAL PADA DAERAH REKLAMASI RAWA Dr.Ir.H.Eddy Harsono, Ah.T, ME, PU-SDA
Kasubdit Binlak Wil. Timur Dit. Rawa Rawa dan Pantai, Pantai,
[email protected] Intisari Perubahan iklim (Climate Change) adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Pemanasan global (global warming) merupakan fenomena meningkatnya meningkatnya suhu rata-rata atmosfer bumi sebagai akibat dari meningkatny meningkatnya a laju emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer bumi, dimana pemanasan global itu akan diikuti dengan perubahan Iklim, seperti meningkatnya kejadian iklim ekstrim, berubahnya pola hujan, dan berubahnya awal musim. Masalah fenomena perubahan iklim dan pemanasan global dapat diselesaikan dengan pemahaman terhadap pengaruh yang ditimbulkan terhadap berbagai sektor, terutama disektor infrastruktur bidang sumber daya air di Kementerian Pekerjaan Umum, maka untuk itu perlu dimanfaatkan peluang yang ada dan mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi dalam rangka upaya mereklamasi mereklamasi daerah rawa. Manfaat dan keuntungan yang didapat dari hasil kajian iini ni ialah; (i) Terdatanya kenaikan muka air laut (sea level rise), perubahan pola hujan, kejadian iklim ekstrim dan dapat diketahui perubahan tipologi lahan (ii) Teratasinya peluang pengembangan daerah reklamasi rawa pasang surut dan terantisipasinya tantangan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
K ata ata kunci ku nci : : Perubahan iklim, pemanasan pemanasan global dan reklamasi rawa. I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki komitmen untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penurunan penur unan emisi emis i karbon dalam dala m wujud nyata yaitu keikutse keik utsertaa rtaannya nnya dalam dal am meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 1998 dan sebagai tuan rumah Konferensi Internasional ke-13 di Nusa Dua Bali, kemudian dilanjutkan pertemuan pert emuan di Copenhagen Copen hagen tanggal tangga l 15 Desember Dese mber 2009 pada saat perundinga perund ingan n 26 Kepala Negara dalam rangkaian kegiatan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim. Indonesia diindikasi berada pada posisi urutan tiga besar penghasil emis i karbon karbo n dari reklamas rekl amasii rawa, rawa , perubahan perub ahan tata emisi karbon dunia, dunia, bila emisi guna lahan dan penebangan hutan masuk dalam perhitungan dengan total emisi lebih dari 3.068 MtCO 2e (million tons of carbon equivalent ), ), maka kecenderungan kenaikan muka air laut diperkirakan pada tahun 2100 menjadi 45 cm pada suhu 1,5 oC dan 100 cm pada suhu 4,5 oC. Sumber : IPCC tahun 2001.
Skenario emisi karbon, di Indonesia diperkirakan bertambah dari 1,72 tahun 2000 menjadi 2,95 gigaton CO 2e tahun 2020, sehingga disepakati penurunan penu runan emisi emis i karbon ka rbon 26% 2 6% yaitu dari 2,95 menja m enjadi di 2,183. 2, 183. 1.2.
Ruang Lingkup Untuk memudahkan penyusunan dalam kegiatan pelaksanaan kajian ini,
maka dalam penulisan makalah ini dibatasi oleh lingkup kegiatan sebagai berikut; beri kut; (i) inventarisasi pengaruh keragaman iklim dan emisi karbon, (ii) analis analisis is pengaruh perubahan iklim dan kenaikan muka air, (iii) identifikasi peluang dan tantangan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. 1.3.
Maksud dan tujuan Maksud dilakukannya kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang peluang dan tantangan akibat perubahan iklim dan pemanasan global pada daerah reklamasi rawa. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan peluang dan mengantisipasi tantangan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan daerah reklamasi rawa. 1.4.
Kajian Pustaka Dalam peninjauan kepustakaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara lengkap dan jelas tentang hasil-hasil kajian sebelumnya. Literatur yang digunakan yaitu berbagai bahan bacaan yang ada di perpusta perp ustakaan, kaan, website websi te dan laporan lapo ran akhir konsultan konsul tan yang membahas memba has dan mengkaji tentang perubahan iklim dan pemanasan global pada daerah reklamasi rawa. 1.5.
Landasan teori Landasan teori yang dilakukan antara lain melalui identifikasi masalah yang lebih sensitif terhadap isu perubahan iklim dan pemanasan global.
Dasar rujukan dalam kajian ini ialah studi perubahan iklim terhadap daerah rawa yang sudah dikembangkan di Delta Telang dan Delta Saleh di Kabupaten Banyuasin tahun 2009. II. 2.1.
METODOLOGI Pendekatan Kajian Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini ialah dengan menggunakan; (i) Model simulasi teknis, (ii) Model partisipatif dengan melibatkan stak melibatkan stakee holder h olders), s), (iii) Model normatif, (iv) Model metode tepat guna. Bagan pola fikir yang digunakan dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Studi Kepustakaan dan Data Sekunder
Input Data
Analisis Data
Peluang dan Tantangan akibat perubahan iklim dan pemanasan global
Survei & Identifikasi Peluang dan Tantangan
Program Pemanfaatan Peluang dan Antisipasi Tantangan
Desain Pengembangan Rawa
Gambar 1. Bagan pola fikir peluang dan tantangan III. 3.1.
PELUANG DAN TANTANGAN Peluang Terhadap Perubahan Iklim dan Pemanasan Global. Peluang yang dapat dilakukan atas perubahan iklim dan pemanasan global terhadap daerah reklamasi rawa ialah: (i) Opor , yaitu operasi pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan jaringan tata air (saluran sekunder dan tersier serta pintu-pintu air), (ii) (ii) Agrosylvofishery, yaitu yaitu pengembangan lahan tambak atau kolam dengan pola tumpang sari (lahan tambak yang ditanami pohon bakau), sehingga dapat meminimalisir emisi karbon, (iii) Mixfarming , yaitu pola integrated dimana mengolah lahan usaha tani dengan tidak membakar, melakukan proses komposisasi dan memanfaatkan limbah ternak menjadi bokashi bokashi dan biogas. 3.2.
Tantangan Terhadap Perubahan Iklim dan Pemanasan Global. Analisis kuantitatif tantangan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka air laut dilakukan menggunakan pendekatan model. Model yang digunakan untuk mereplikasi sistem daerah reklamasi rawa ialah ; (i) Model skenario perubahan perubahan iklim, (ii) Model aliran limpasan (runoff) (runoff) untuk menghitung debit air dari daerah hulu yang masuk ke dalam sistem daerah reklamasi rawa dan (iii) Model hidrolika untuk menduga sebaran tinggi genangan dan pergerakan air atau distribusi spasial di dalam sistem reklamasi
rawa berdasarkan air yang masuk dari daerah hulu yang dihasilkan oleh Model aliran limpasan, kenaikan muka air laut dan pasang surut. GIS Tools digunakan Tools digunakan untuk menampilkan hasil perhitungan tersebut dan untuk memudahkan identifikasi terhadap antisipasinya.
Model Iklim Model Iklim
Hujan Harian Harian
Aliran limpasan limpasan
Hujan dan suhu suhu Sistem rekla masi Rawa
Model aliran Model
Hujan Hujan
GIS Tools
Model hidrolika (Persamaan hidraulik)
Muka air saluran/sungai saluran/sungai
Muka air di lahan
Gambar 2. Interaksi antara setiap komponen dalam analisis
3.3.
Perubahan Tipologi Lahan Akibat Kenaikan Muka Air Laut Wilayah pantai yang landai sering menjadi daerah sasaran banjir, karena berelevasi lebih rendah. Selain kenaikan muka air laut maka faktor lain yang berpengaruh adalah turunnya muka muka tanah setempat (land (land subsidence). subsidence). Laporan Inte Intergov rgovernm ernmental ental Panel On Climate Clima te Change Chang e (IPCC) (IPCC) tahun 2007 menyatakan bahwa 100 tahun ke depan, bumi akan mengalami kenaikan
muka air laut antara 90 hingga 880 mm atau rata-rata 4.9 mm/tahun. Model kenaikan muka air laut menunjukkan bahwa tipologi lahan A dan B dapat diprediksi, seperti pada diagram alir perubahan tipologi berikut ini. Studi pustaka dan hasil survey lapangan
Daerah sasaran banjir prediksi
Tipologi lahan Sekunder
Analisa tipe luapanAir pasang
Tipologi lahan prediksi
Tabulasi silang
Perubahan tipologi lahan
Gambar 3. Evaluasi perubahan tipologi lahan IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Tipologi Lahan Perubahan iklim sangat berkaitan dengan perubahan unsur-unsur iklim, antara lain suhu udara. Dampak dari perubahan iklim tersebut adalah ; (i) suhu udara cenderung semakin meningkat. (ii) pergeseran waktu awal musim hujan, (iii) peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim dan (iv) kenaikan muka air laut. Laporan IPCC tahun 2001 menyatakan muka air laut global telah
mengalami kenaikan secara berangsur-angsur pada abad 20 ini semakin naik. Muka air laut global akan mengalami kenaikan setinggi 90-880 mm pada tahun 2100 atau 0,9-8,8 mm/tahun, diungkapkan juga bahwa kenaikan muka air laut hingga 60 cm yang menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar 34.000 km 2 wilayah dan juga terjadi perubahan tipologi lahan di daerah reklamasi rawa pasang surut. 4.2.
Kajian dan Prediksi Kenaikan Muka Laut Berdasarkan data dari IPCC (2007) diproyeksikan kenaikan muka laut global mulai abad 19 muka laut mengalami kenaikan 1-3 mm/tahun (garis merah) dan sejak tahun 1992 diindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun (garis hijau). Hasil proyeksi kenaikan muka laut berdasarkan pada skenario SRES
(skenario emisi GRK) memperlihatkan adanya trend kenaikan muka laut yang tinggi antara tahun 2010-2100 (biru), seperti disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Deret waktu muka laut rata-rata rata- rata global untuk masa lampau dan proyeksi untuk masa yang yang akan datang (IPCC, 2007).
Pola pasang-surut di Selat Bangka adalah pasang harian ganda ( semi ( semi diurnal tide). tide). Pada pola ini, dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan terjadi secara berurutan (Gambar 5). Periode pasang surut rata-rata adalah sekitar 12 jam dengan pasang tertinggi mencapai 3.5 meter dan surut terendah sekitar 0.5 meter. 4.00
pasang tertinggi/HHWL
3.50 3.00
) r e t e 2.50 m ( r 2.00 i a a k 1.50 u M
MSL
1.00
surut terendah/LLWL 0.50
: muka air laut rata rata-rata -rata msl 0.00
0
10
20
30
40
50
60
(Sumber: mobilegeographics.com) mobilegeographics.com)
Gambar 5. Pasang surut harian bulan Maret 2008 di stasiun air Musi (2.2o LS dan 104.95o BT)
Berdasarkan survai dan pengamatan lapangan pada tanggal 15-21 Agustus 2009 sebagian wilayah studi terkena pengaruh pasang surut dari air laut di Selat Bangka. Pengaruh tersebut muncul dalam bentuk kesamaan pola dan waktu fluktuasi muka air di saluran primer, sekunder, maupun tersier (Gambar 6). Gambar 6 menunjukkan bahwa pola fluktuasi muka air pasang surut di Selat Bangka (stasiun pasut Tanjung Buyut) adalah sama dengan fluktuasi muka
air yang terukur di saluran sekunder, baik di Delta Telang I (P8-12S dan P6-3N) ataupun Saleh (P10-2S). Pasang Surut Air Laut di Ambang Luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut) April 2006 - Maret 2008
Ketinggian Air (m, MSL)
3.50 3.75 3.25
2.50 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 3.00 2.75
Jun '06
Apr May '06 '06
Jul Aug '06 '06
Sep Oct '06 '06
Nov Dec '06 '06
Jan '07
Jun Jul Aug '07 '07 '07
Feb Mar Apr May '07 '07 '07 '07
aktu (Hari)
Oct '07
Sep '07
Nov Dec '07 '07
Jan '08
Feb Mar '08 '08
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder (SPD) April 2006 - Maret 2008
Tinggi Muka Air (m, MSL)
2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 -0.75 2.50
Jun '06
Apr May '06
'06
Jan '07
'07
Jun '07
Sep Oct '07 '07
Feb Mar '08 '08
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Feb Mar Apr May
Jul Aug
Nov Dec
Jan
'06
'06
'06
'07
'07
'07
'08
'06
'06
'06
'07
'07
aktu (Hari)
P8-12S
P6-3N
'07
'07
P10-2S
(Sumber: Ngudiantoro, 2009) 2009)
Gambar 6. Kesamaan pola dan waktu fluktuasi muka air laut di stasiun Tanjung Buyut dan muka air di saluran sekunder (P8-12S, P6-3N dan P10-2S) 4.3.
Prediksi Tipologi Lahan Akibat Kenaikan Muka Air Laut Hasil model berikut dibangun dari data yang telah dikonversi menjadi data Digital Elevation Model (DEM.) Hubungan (DEM.) Hubungan kedua data tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan :
Y 0.5911 . X 1.0515 ( R R2 = 0.9809), 0.9809), dimana : Y = Data DEM terkoreksi, X = Data DEM belum terkoreksi
Berdasarkan data DEM terkoreksi maka distribusi banjir dapat diprediksi, maka kenaikan muka laut setinggi kurang dari 1.0 meter msl menyebabkan beberapa bagian dari wilayah studi berpotensi untuk terkena banjir. Elevasi tanggul sungai adalah sekitar 4-8 meter msl atau lebih tinggi daripada elevasi wilayah studi (< 2 m msl ). ). Dari hasil pengamatan lapangan diidentifikasikan bahwa wilayah studi terkena genangan dari saluran primer ketika muka air laut mengalami pasang setinggi 1.45 meter msl . Genangan terjadi di wilayah P6, P8. Pasang tinggi 1.45 meter adalah bukan pasang tertinggi di wilayah studi, hasil analisa data pasang surut di Air Musi selama perioda 1990 hingga 2008 adalah mencapai 2.29 m msl . Luas daerah sasaran banjir pada saat tinggi muka air laut 2.29 m msl adalah lebih dari 73.000 Ha (Tabel 1). Oleh karena kejadian banjir ini hanya disebabkan oleh pasang tinggi maka sifat banjirnya hanya sementara yaitu sekitar 10-11 jam yaitu setara dengan periode pasang 2.29 m msl . Namun dalam kajian lebih detil maka lama penggenangan bukan hanya dipengaruhi oleh periode pasang tetapi juga oleh sifat fisik tanah dan kondisi iklim pada saat itu. Luas daerah sasaran banjir untuk skenario tinggi muka air laut 2.54 dan 3.04 m msl adalah adalah sekitar 96.000 dan 210.000 Ha atau meningkat sekitar 2 kali lipat selama periode tahun 2050 hingga 2100 (Tabel 1). Pada periode tersebut secara bertahap wilayah P6, P8 dan P10 akan tergenang dengan ketinggian yang bervariasi bergantung bentuk topografi topografi dan elevasinya. Tabel 1. Luas daerah sasaran banjir akibat kenaikan muka laut dan pasang tinggi t inggi No
Delta
1. 2. 3.
A.Telang-1 A.Telang-2 Air Saleh
Luas daerah sasaran banjir (Ha), akibat kenaikan muka laut dan pasang tinggi (m) 1.45 2.29 2.54 2.79 3.04 22.744.1 27.499.4 35.442.8 42.758.2 45.443.3 20.389.2 32.713.1 44.735.3 53.805.3 57.368.2 5.037.8 5.250.0 7.520.1 61.307.0 89.936.4
Total
48.171.1
65.462.5
87.698.2
157.871.5
192.748.9
Tipologi lahan berdasarkan skenario skenario tinggi muka air laut 2.54, 2.79, dan 3.04 m msl. Berdasarkan skenario tinggi muka air laut 2.54, 2.79, dan 3.04 meter msl distribusi dan luas tipologi lahan A berturut-turut adalah 10.400, 19.000 dan 26.400 Ha. Tipologi lahan B selama 100 tahun ke depan berubah dari 66.000 Ha menjadi 183.000 Ha atau bertambah lebih dari 117.000 Ha (Tabel 2). Tipologi lahan C dan D tidak mengalami penambahan tetapi mengalami penyusutan dan yang paling banyak susutnya adalah tipe D dan secara umum arah perubahannya adalah ke arah tipe B (Gambar 7). Pada tahun 2100 (Gambar 7 bagian 3) petak tersier yang terletak di P6, P8 dan P10 telah didominasi oleh tipe B dan sedikit A/C sedangkan tipe D tidak ada. Berdasarkan pola perubahan tipologi lahan
tersebut maka berimplikasi pada perubahan pola tata air dan pola tanam dari masyarakat yang tinggal di wilayah studi. 2
1
Legenda:
3
Gambar 7. Prediksi perubahan tipologi lahan akibat perubahan tinggi muka air laut 2.54, 2.79, dan 3.04 meter msl berturut-turut bagian 1, 2, dan 3. Tabel 3. Distribusi perubahan tipologi lahan akibat kenaikan muka laut dan pasang tinggi
Tipologi lahan A B C D
Luas tipologi lahan rawa pasang surut (Ha) berdasarkan skenario kenaikan muka laut dan pasang tinggi 2.29 m 2.54 m 2.79 m 3.04 m 7.338 10.408 18.992 26.413 65.894 1.657 286.735
85.456 1.546 26.4214
155.149 976 186.506
183.075 880 151.256
V. 5.1.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan perolehan data dan pembahasan dalam kajian studi ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara umum peluang yang dapat dilakukan atas perubahan iklim dan pemanasa pema nasan n global globa l terhadap ter hadap daerah daer ah reklamasi rekla masi rawa ialah: iala h: (i) meningkatnya kegiatan O&P, rehabilitasi dan peningkatan jaringan tata air, (ii) adanya kegiatan pengembangan lahan rawa tambak atau dengan pola kegiatan pola
Agrosylvofishery, (iii) adanya pengolahan lahan usaha tani dengan pola Agrosylvofishery,
Mixfarming , yaitu suatu usaha memanfaatkan limbah ternak menjadi kompos, dan untuk pengembangan energi pedesaan berupa biogas. 2. Melakukan upaya pengembangan sistem peringatan dini kebakaran khususnya di lahan gambut. 3. Sementara untuk kegiatan antisipasi terhadap tantangan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan daerah reklamasi rawa ialah teridentifikasinya ; (i) perubahan kesesuaian budidaya tanaman, (ii) perubahan tipologi lahan, (iii) abrasi pantai, banjir dan rob, (iv) peningkatan salinitas lahan, dan (v) perubahan emisi karbon. 5.2.
Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan pembuktian lapangan dalam kajian studi ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Sebagai masukan untuk pembuat kebijakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain; (i) perlu diterapkannya opsi-opsi peluang dan tantangan terhadap perubahan iklim ini sesuai prioritas pelaksanaan program, (ii) perlunya alokasi dana yang terencana dan menyeluruh. 2. Perlunya penciptaan kondisi yang baik untuk mengakselerasi dan menumbuhkan kegiatan peluang dan antisipasi tantangan yang lebih serius dalam pengelolaan daerah reklamasi rawa. 3. Perlu dikembangkannya mekanisme peluang dan antisipasi tantangan terhadap perubahan iklim ini yang menjamin keefektifan kegiatan tersebut, termasuk organisasi dan regulasi nya. DAFTAR PUSTAKA IPCC, 2001. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Change [Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom
and New York, NY, USA. IPCC, 2007: Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E.Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 976pp. Ngudiantoro. 2009. Kajian penduga muka air tanah untuk mendukung pengelolaan air pada pertanian lahan rawa pasang surut : Kasus di Sumatera Selatan. Disertasi S3 IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor. Harsono Eddy, 2008. Hubungan sistem aliran pada jaringan tata air dengan kualitas air dalam mendukung produktivitas lahan di daerah rawa pasang surut : Kasus di Telang, Saleh. Disertasi S.3 Universitas Tarumanagara, Tidak dipublikasikan. Jakarta.
INTEGRASI HARMONIS ANTARA TATA RUANG DENGAN PERENCANAAN SUMBER DAYA AIR UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Mohammad Bisri*
Dosen Jurusan Pengairan Fakultas Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang Email:
[email protected] [email protected] Intisari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang Intergovernmental terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet bumi semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida (CO2) beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir. IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak sehingga menyebabkan perubahan iklim global dan menyumbang pada pemanasan global. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 % hutan di dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain. Pemerintah mengklaim sampai dengan tahun 2005 memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektar dengan berbagai pembagian fungsi, yaitu fungsi konservasi (23,2 juta hektar), kawasan lindung (32,4 juta hektar), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektar), hutan produksi (35,6 juta hektar), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektar). Organisasi lingkungan dunia Green Peace menyebutkan, pada tahun 2007 sekitar 72 % hutan Indonesia rusak serta setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan komersial, kebakaran kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk aktivitas usaha ttani ani (Jawa Pos, Selasa 4 September 2007 : hal 14). Hutan merupakan salah satu bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berfungsi sebagai pelindung mata air dan sebagai daerah tangkapan air. Kerusakan hutan yang terjadi merupakan awal penyebab terjadinya bencana alam, yaitu bencana banjir, longsor, kekeringan, serta pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim. Betapa ruang atau kawasan DAS di Indonesia telah terjadi kerusakan yang membahayakan masyarakat sekarang maupun generasi yang akan datang. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya alih fungsi lahan, dari lahan yang semula lolos air menjadi lahan yang kedap air. Penataan ruang atau kawasan DAS yang tidak memperhatikan memperhatikan resapan air ke bumi, memperburuk memperburuk lingkungan hidup bagi umat manusia. Oleh karenanya diperlukan harmonisasi penataan ruang dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai (Space and Water), terutama penataan ruang yang berbasis pada konservasi tanah dan air. Prosedur penyusunan model tataruang yang terintegrasi dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai berbasis konservasi air, disusun dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG). Dalam penyusunan model tersebut variabel-variabel sebagai fungsi dari tataruang ditampilkan dalam bentuk data spasial dan atribut. Hasil analisis secara kuantitatif mendapatkan peta konservasi air (peta infiltrasi) dan peta arahan fungsi fungsi kawasan. Penyusunan Penyusunan model menggunakan menggunakan analisis
spasial tumpang susun (overlay) yang merupakan merupakan proses penggabungan dua buah peta atau lebih untuk membentuk peta baru.Tumpang susun pertama adalah antara peta arahan fungsi kawasan dengan peta penggunaan lahan eksisting, hasilnya ditumpang susunkan dengan peta konservasi konservasi air, sehingga didapatkan peta tata ruang berbasis konservasi air. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan hasil model peta tata ruang dengan peta RTRW yang sudah ada. Hasil model tataruang dengan uji coba di DAS Kali Sumpil Sub-sub DAS Kali Brantas adalah Kawasan Penyangga seluas 469.350 ha (31,01 %), Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan/ Jasa seluas 602.640seluas ha (39,81 Budidaya Tanaman Semusim / Permukiman / Industri 91,507%), ha Kawasan (6,04 %), Kawasan Permukiman Permukiman kondisi eksisting seluas 328,634 ha (21,71 %) dan Kawasan Resapan Air seluas 21,644 ha (1,43 %). Sedangkan hasil verifikasi dan kalibrasi model terhadap RTRW yang sudah ada menunjukkan kondisi sesuai seluas 762,634 ha (28,91 %) dan tidak sesuai seluas 1.875,696 ha (71,09 %). Penelitian dengan menggunakan model integrasi harmonis antara tata ruang dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai dalam rangka upaya menghadapi perubahan iklim ini, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi. Selama ini terlihat dari produk produk tata ruang di Indonesia, masih banyak sekali yang mengabaika mengabaikan n peran perencanaan DAS yang berbasis pada konservasi tanah dan air. Oleh karena itu kedepan, proses penyusunan tata ruang wilayah hendaknya melibatkan banyak ahli di bidangnya, terutama ahli sumber daya air, mengingat negara kita adalah negara air, sehingga diharapkan bencana banjir dan longsor serta kekeringan dapat diminimalisasi, dan dampak perubahan iklim global tidak banyak berpengaruh berpengaruh di republik ini.
I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada tahun-tahun belakangan ini, banyak terjadi bencana-bencana alam. Menurut hasil penelitian Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dan laporan-laporan para ilmuwan, 9 dari 10 bencana saat ini disebabkan oleh pemanasan global. Bencana banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi dan menewaskan ribuan orang dari berbagai negara setiap tahun. Bencana banjir terjadi karena curah hujan ekstrem akibat gangguan cuaca. Selain banjir, masih ada bencana lain seperti gelombang panas yang menyebabkan kekeringan, kenaikan permukaan laut, kelangkaan pangan, kelangkaan air bersih, gempa bumi, lumpur lapindo, angin topan, kepunahan spesies, penyebaran penyakit, dan sebagainya. Perilaku manusia yang merusak lingkungan, dan perubahan Matahari mempengaruhi iklim Bumi dalam berbagai berbagai cara. Menurut prediksi, prediksi, pada tahun-tahun mendatang iklim Bumi akan mengalami perubahan besar karena ledakan hebat titik Matahari. Juga diprediksi bahwa iklim akan menyebabkan krisis minyak, atau sejenis guncangan minyak, karena itu, kesadaran seluruh dunia tentang pemanasan global sangat dibutuhkan. Akar permasalahnya adalah manusia telah bertindak buruk terhadap lingkungan, telah merusak lingkungan seperti penggundulan hutan, merusak air, dan merusak udara. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90% hutan di dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain. Pemerintah mengklaim sampai dengan tahun 2005 memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektar dengan berbagai pembagian fungsi; yaitu fungsi konservasi (23,2 juta
hektar), kawasan lindung (32,4 juta hektar), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektar), hutan produksi (35,6 juta hektar), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektar). Organisasi lingkungan li ngkungan dunia Green Peace menyebutkan, Peace menyebutkan, pada tahun 2007 sekitar 72 % hutan Indonesia rusak serta setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk aktivitas usaha tani (Jawa Pos, Selasa 4 September 2007 : hal 14). Selain itu, laju degradasi hutan setiap tahun mencapai 2,83 juta hektar. Dari total 120,5 juta hektar wilayah hutan, sekitar 59 juta hektarnya dalam keadaan kritis. Rusaknya hutan akan berpengaruh pada pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim (Jawa Pos, Selasa 4 September 2007 : hal 14). 14). Departemen Pekerjaan Umum (Dep. PU) mengindikasikan adanya 62 DAS (Daerah Aliran Sungai) kritis. Sumbangan Departemen PU dalam rangka reservasi hutan yang rusak mencapai sekitar 43 juta hektar hutan, 23 juta hektar diantaranya berada di areal ke 62 DAS yang kritis tersebut. Prioritas reboisasi akan dilakukan di DAS yang kritis, seperti di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTB dan NTT (Agriceli, 2004 : : www.tempointeraktif.com) www.tempointeraktif.com). Hutan merupakan salah satu bagian dari DAS yang berfungsi sebagai pelindung mata air dan sebagai daerah tangkapan air. Undang-Undang pokok pokok pengelolaan lingkungan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan hutan lindung yang mengatur tata cara penebangan dan keharusan menanam kembali pohon yang ditebang, telah diberlakukan untuk mengatasi dan mencegah bencana alam agar tidak terjadi. Namun beberapa aturan menjadi sia-sia, jika dihadapkan pada persaingan antar manusia yang berebut sejengkal ruang untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut menyebabkan bencana menimpa Negara Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Timur secara berturut-turut. Ketika Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik mulai pulih setelah dihantam luapan Sungai Sungai Bengawan Bengawan Solo, maka berikutnya Kabupaten Situbondo yang yang diterjang air bah dari luapan Sungai Sampeyan. Banjir air bercampur lumpur merupakan luapan sungai yang tak mampu menampung air akibat hujan deras yang mengguyur hampir sehari penuh (News, 9 Februari 2008 : www.suarapembaruan.com). Betapa ruang atau kawasan DAS di Indonesia telah terjadi kerusakan yang membahayakan masyarakat sekarang maupun generasi yang akan datang. Kondisi ini diperparah diperparah dengan banyaknya alih fungsi lahan, dari lahan yang semula lolos air menjadi lahan yang kedap air. Penelitian dengan menggunakan model integrasi harmonis antara tata ruang dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai dalam d alam rangka upaya menghadapi perubahan iklim, diharapkan dapat menjadi menjadi salah satu solusi. 1.2. Kajian Pustaka dan Landasan Teori 1.2.1. Perubahan Iklim : Penyebab dan Dampaknya Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental
Panel on Climate Change Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300
ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet bumi semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida (CO2) beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir. IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global. Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan bumi, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan. hutan. Menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan, bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia. Sir Nicholas Stern, Kepala Badan Ekonomi Pemerintah Inggris, menjabarkan berbagai dampak pemanasan global menurut kenaikan suhu udara setiap 1 derajatnya. Suhu Udara Naik 1 ºC 1. Beberapa gletser kecil di Andes menghilang seluruhnya dan mengancam persediaan air bagi 50 juta orang. 2. Kenaikan moderat hasil panen sereal di wilayah beriklim sedang. 3. Setidaknya 300.000 orang setiap tahunnya meninggal karena penyakit akibat perubahan iklim (terutama diare, malaria, dan kekurangan gizi), akan tetapi ada pengurangan angka kematian pada saat musim dingin di wilayah yang lebih tinggi (Eropa Utara, AS). 4. Lapisan es di belahan bumi utara mencair dan menyebabkan kerusakan jalan jalan dan bangunan-bangunan di sebagian Kanada dan Rusia.
Setidaknya 10% spesies darat akan punah, 80% terumbu karang rusak, termasuk terumbu karang Great Barrier terbesar di dunia yang terletak di timur laut Australia. 6. Arus teluk melemah. Suhu Udara Naik 2 ºC Air menyusut sebesar 20 – 30% 30% di beberapa wilayah yang rentan, seperti Afrika bagian Selatan dan Mediterania. Hasil panen merosot tajam di wilayah-wilayah tropis (5-10% di Afrika). 40-60 juta lebih orang menderita malaria di Afrika. Se Seki kittar 1 10 0 juta or ang leb lebii h mende nderr i ta b ba anji nj i r se seti tia ap ta tahunn hunnya ya.. 15-40% spesies terancam punah; spesies Kutub Utara, misal beruang kutub dan karibau, kemungkinan besar bisa punah. Lapisan es Greenland mulai mencair tak terkendali. Suhu Udara Naik 3 ºC Di Eropa Selatan, kekeringan hebat terjadi sekali setiap 10 tahun; 1-4 miliar orang lebih menderita kekurangan air, sementara 1-5 miliar orang di tempat lain menderita banjir. 150-550 juta orang kelaparan. 1-3 juta orang lebih mati karena kekurangan gizi; penyakit seperti malaria tersebar luas ke wilayah-wilayah baru. 1-170 juta lebih orang di pesisir pantai menderita banjir. 20-50% spesies terancam punah, termasuk di sini, 25-60% mamalia, 30-40% burung, dan 15-70% 15-70% kupu-kupu di Afrika Selatan; hancurnya Hutan Amazon. Bencana akibat cuaca yang berubah semakin meningkat, runtuhnya Lapisan Es Antartika Barat. Suhu Udara Naik 4 ºC Persediaan air menyusut 30-50% di Afrika bagian Selatan dan Mediterania. Suhu udara yang bertambah panas menyebabkan lenyapnya gletser-gletser Himalaya dan mempengaruhi jutaan orang di China dan India.
5.
Panen merosot 15-35% di Afrika dan di seluruh lumbung produksi pangan dunia (misalnya di sebagian Australia). 80 juta orang lebih menderita malaria di Afrika. 7-300 juta orang lebih di pesisir pantai menderita banjir setiap tahunnya. Lenyapnya separuh wilayah tundra di Kutub Utara; hutan hujan Amazon mati; menyusutnya lapisan es menyebabkan naiknya air laut setinggi 7 meter. Suhu Udara Naik Di Atas 5 ºC Rata-rata suhu Bumi akan naik lebih dari 5 atau 6ºC, apabila emisi gas rumah kaca terus bertambah, dan menimbulkan bahaya besar pelepasan karbon dioksida dari permukaan tanah dan pelepasan metana dari lapisan es di Kutub Utara maupun dari dasar laut. Kenaikan suhu udara global ini akan setara dengan pemanasan global yang pernah terjadi pada Zaman Es terakhir dan, bila suhu Bumi sampai memanas 6ºC, dampaknya di luar perkiraan manusia.
1.3. Harmonisasi Penataan Ruang Dengan Perencanaan DAS 1.3.1. Tata Ruang Wilayah Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 mengamanatkan pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penataan Ruang. Sebagai dasar dalam penataan ruang, undang-undang ini mengamanatkan suatu strategi umum yang merupakan rumusan visi yang dituangkan dalam produk legal peraturan pemerintah dan peraturan daerah berupa rencana umum tata ruang dengan muatan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Dengan perencanaan penataan ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, tetapi hingga saat ini kondisi yang tercipta masih belum sesuai dengan dengan harapan. harapan. Produk-produk perencanaan ruang sesuai UU No. 26 tahun 2007 terdiri dari : 1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Skala peta minimal 1:1.000.000. Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional selama 20 (dua puluh) tahun dan akan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. 2. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Skala peta minimal 1: 250.000. Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi selama 20 (dua puluh) tahun dan akan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. 3. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Skala peta minimal 1:50.000. Fungsi secara mendasar dari RTRW Kabupaten adalah menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan. Adapun jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun dan akan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. 4. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Skala peta minimal 1:10.000. Muatan yang terkandung dalam RTRW Kota
sama seperti yang terdapat dalam RTRW Kabupaten, akan tetapi ada beberapa rincian yang ditambahkan. Dalam penyusunan penyusunan rencana tata ruang, ada tiga aspek yang digunakan sebagai dasar, yaitu aspek fisik dan lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Analisis fisik dan lingkungan wilayah atau kawasan adalah untuk mengenali karakteristik sumberdaya alam tersebut, dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah dan/ atau kawasan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.
1.3.2. Filosofi Dasar Harmonisasi Tataruang Dengan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Indonesia merupakan negara air, yang secara kontinyu terjadi musim hujan selama lebih kurang enam bulan yang memberikan curah hujan cukup besar. Kondisi alam tersebut, haruslah mendapat perhatian secara cermat, karena merupakan salah satu faktor yang mendasar dalam menata suatu s uatu kawasan. Sebagai negara yang masih dan terus akan berkembang, pembangunan sarana fisik mutlak dilakukan untuk menjamin kesejahteraan sosial penduduknya. Pembangunan yang dilakukan berarti juga akan mengalih-fungsikan penggunaan lahan. Lahan yang dulunya merupakan daerah terbuka maupun daerah resapan air, berubah menjadi daerah yang tertutup perkerasan dan bersifat kedap air. Perubahan penggunaan lahan seperti ini menyebabkan pada musim penghujan, air hujan tidak dapat lagi meresap ke dalam tanah, sehingga menimbulkan limpasan di permukaan ( surface runoff ) yang kemudian menjadi genangan atau banjir dan erosi atau longsor. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi juga kelestarian dari airtanah ( groundwater groundwater ), ), karena air hujan yang meresap ke dalam tanah merupakan imbuhan airtanah secara alami (natural (natural recharge). recharge). Perencanaan ruang pada hakekatnya adalah menata ruang secara terpadu dan menyeluruh, menyeluruh, menyangkut menyangkut semua aspek fisik dan lingkungan, ekonomi dan sosial budaya yang harus ditelaah, dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang. Perencanaan ruang tidak sekedar memunculkan segi estetika semata, lebih dari itu adalah untuk menciptakan keserasian dengan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu, dalam perencanaan ruang landasan yang digunakan haruslah mengacu pada hakekat dan tujuan akhir dari perencanaan ruang itu. Konstruksi yang indah secara fisik dengan bangunan-bangunan yang menjulang dan tertata rapi, terasa kurang bermakna jika terjadi genangan yang sangat mengganggu aktifitas penduduk. Hujan dengan waktu yang tidak terlalu lama telah menyebabkan genangangenangan air, bahkan dengan intensitas hujan yang tinggi menyebabkan banjir dan
longsor yang sangat merugikan kehidupan ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Chow et al ., ., (1988), bahwa urbanisasi akan membawa pengaruh terhadap perubahan tata ruang dari suatu daerah dan dan berdampak nyata terhadap sumberdaya air. Pada kondisi daerah dalam masa transisi atau sedang mengalami pertumbuhan, Chow et al ..,, (1988) menyebutkan, bahwa akan terjadi penurunan masuknya air ke dalam tanah (infiltrasi) atau secara luas dapat dikatakan sebagai penurunan konservasi tanah dan air dan meningkatnya limpasan permukaan (banjir) dan longsor. 1.3.3. Daur Hidrologi Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk kelangsungan hidupnya. Mengingat pentingnya air, maka perlu dijaga kelestariannya, sehingga ketersediaan air yang cukup bisa terjamin. Konservasi merupakan usaha dalam
menjaga kelestarian air tersebut dan dapat mengurangi dampak pemanasan global.
Asdak (1995), menjelaskan bahwa ketersediaan air, khususnya airtanah, tidak terlepas dari proses berlangsungnya daur hidrologi yang merupakan suatu siklus air yang terjadi di bumi. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari menyebabkan terjadinya proses evaporasi di laut atau badan air lainnya. Uap air tersebut akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung-gunung maupun datar dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, maka sebagian dari uap air tersebut akan turun menjadi hujan. Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan akan tersimpan di permukaan tajuk atau daun, sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon. Sebagian kecil air hujan tidak akan pernah sampai ke permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfir (dari tajuk) selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception interception). ). Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration ( infiltration). ). Air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungancekungan permukaan tanah ( surface surface detention detention), ), untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah ( surface surface runoff ) yang selanjutnya masuk ke sungai. Air yang terinfiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup jenuh, maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horisontal), untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah ( sub sub surface surface runoff ) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak vertikal menuju lapisan tanah yang lebih l ebih dalam dan menjadi bagian dari airtanah ( groundwater groundwater )).. Airtanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya. 1.3.4. Konservas Konservasii Air dan Tanah
Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1994), diartikan sebagai usaha-usaha untuk memanfaatkan dan menjaga serta melindungi sumber daya alam. Menurut Pinchot dalam dalam Suparmoko (1997) konservasi merupakan suatu tindakan pengembangan dan proteksi terhadap sumber daya alam. Dengan demikian, konservasi air merupakan usaha-usaha dalam pemanfaatan serta perlindungan terhadap sumber daya air. Memberdayakan prinsip konservasi air dalam perencanaan ruang adalah merupakan cara yang efektif untuk menjaga keadaan alam dan keseimbangan lingkungan. Mempertimbangkan lahan terbuka yang lolos air merupakan suatu upaya konservasi, lahan terbuka dengan sendirinya adalah suatu lahan yang berfungsi sebagai seb agai lahan l ahan peresap air. Upaya-upaya peresapan per esapan ini bisa berlangsung secara alamiah pada lahan terbuka yang lolos air (penghutanan), atau bisa
dilakukan secara buatan dengan menggunakan bangunan peresap berupa sarana untuk menampung dan meresapkan air hujan atau air permukaan ke dalam tanah. Dari uraian di atas, maka dapat diartikan bahwa konservasi air adalah upaya untuk memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah dalam rangka pengisian air tanah (meningkatkan kelestarian air), baik secara alami ( natural recharge)) atau secara buatan (artificial recharge (artificial recharge). recharge). Pengertian masuknya air ke dalam tanah identik dengan pengertian infiltrasi. Oleh karena itu, tujuan konservasi air adalah mencari besarnya laju infiltrasi pada suatu daerah dalam rangka pengisian airtanah. Apabila kegiatan konservasi air berjalan dengan baik, maka limpasan permukaan atau genangan air sedikit sekali terjadi. Sebaliknya, apabila konservasi air tidak berjalan dengan baik, maka akan timbul limpasan permukaan atau genangan air bahkan banjir. Seperti telah dijelaskan sebelumnya tentang pengertian konservasi, maka pengertian konservasi tanah adalah usaha-usaha untuk memanfaatkan dan menjaga serta melindungi sumber daya tanah, atau suatu tindakan pengembangan dan proteksi terhadap sumber daya tanah. Dengan demikian, hal yang sangat penting dalam memanfaatkan sumber daya tanah adalah analisis kemampuan tanah atau lahan tersebut. Berdasarkan analisis kemampuan lahan atau tanah inilah arahan guna lahan dapat diketahui, sehingga konservasi tanah dapat dijadikan sebagai salah satu azas atau landasan dalam penataan ruang. Contoh : Harmonisasi Harmonisasi Tataruang Dengan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Untuk menghadapi Perubahan Iklim Global :
a. P emodela lan nT Ta ata tarr uang B er basi siss K onse nserr va vasi si A i r dan T Ta ana nah h Pemodelan tataruang berarti menyederhanakan suatu sistem tataruang. Sistem tataruang selama ini yang ada, lebih banyak dipengaruhi oleh variable ekonomi dan sosial. Porsi variable hidro (air) maupun geo (tanah) sangat kecil, padahal secara geografis dan sifat alam, Indonesia ádalah negara air dalam arti terjadi hujan secara terus menerus selama lebih kurang enam bulan bahkan lebih dalam setiap tahunnya. Oleh karena itu sudah semestinya penyusunan tataruang untuk variabel air dan tanah harus mendapat perhatian yang besar dan sangat serius, agar keseimbangan lingkungan dapat terjaga sehingga terjadinya banjir dan longsor dapat diminimalisasi, serta dapat mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim global.
b. Si Sist ste em Tat Tataruang ruang Sistem adalah bagian dari dunia nyata (part of reality) yang mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan. Kamus Random House House dalam dalam Tarigan menuliskan, space: menuliskan, space: a particular extent of surface. surface . Dengan demikian secara umum, ruang dapat diartikan sebagai tempat berdimensi tiga tanpa konotasi yang tegas atas batas dan lokasinya yang dapat menampung atau ditujukan untuk menampung benda apa saja. Sedangkan menurut Hanafiah (1982), unsur-unsur ruang yang terpenting yaitu jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran atau skala. Artinya setiap wilayah harus memiliki keempat unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut
secara bersama-sama membentuk/menyusun suatu unit ruang yang disebut wilayah yang dapat dibedakan dari wilayah lain. Sistem tataruang merupakan suatu cara untuk mengatur, menata, merencanakan, menjalankan, dan mengontrol wilayah. Sistem tataruang yang ada di Indonesia saat ini lebih banyak memunculkan segi estetika semata yaitu sistem tataruang yang hanya mengontrol pertumbuhan jumlah penduduk (komponen sosial) di suatu wilayah dan penampakan fisik. Di dalam sistem penataan ruang yang berkelanjutan seharusnya variabel ekonomi, sosial dan konservasi sumber daya air dan tanah haruslah menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, sistem tataruang yang ideal bagi negara Indonesia adalah sistem tataruang yang berbasis pada ekonomi, sosial dan hidrogeologi, agar peristiwa pemanasan global dapat direduksi. 1.3.5. Model Tata Ruang Model adalah menyederhanakan suatu sistem, dan merupakan alat bantu dalam merencanakan suatu pekerjaan yang memiliki cakupan besar dan luas. Model merupakan perwakilan yang dibuat mirip atau memiliki karakter yang sama dengan kondisi sebenarnya. Dalam perencanaan ruang, model memiliki peranan yang sangat penting. p enting. Untuk menghasilkan suatu sistem tataruang tataruan g wilayah yang baik, model yang digunakan dalam perencanaan ruang harus memiliki parameter-parameter yang meliputi seluruh komponen pembentuk wilayah. Komponen tersebut tidak hanya sebatas komponen ekonomi dan sosial, melainkan juga komponen fisik suatu wilayah, wilayah, terutama air dan tanah. 1.3.6. Syarat Batas dan Peubah (variabel) Model Syarat batas suatu model untuk perencanaan ruang yang berbasis hidrogeologi adalah menggunakan batas Daerah Aliran Sungai (DAS). Berbeda dengan batas tataruang yang telah ada selama ini, yaitu menggunakan batas wilayah administrasi yang secara fisik bisa berubah sesuai kehendak politik
pengelola negara. Dengan demikian dalam analisis tataruang berbasis hidrogeologi batas analisisnya akan menggunakan batas DAS, sedangkan hasil analisis akan menyesuaikan dengan batas wilayah administrasi negara, propinsi, kabupaten atau kota yang bersangkutan. Sungai adalah salah satu sumber air yang terdapat di atas permukaan tanah yang mempunyai komponen badan sungai dan kawasannya. Pengertian lain, sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Dalam rangka memanfaatkan sungai, perlu adanya pembinaan yang berorientasi pada kelestarian kawasan dan badan sungai tersebut, agar pemanfaatan air sungai dapat berjalan lama dan dapat mencapai manfaat sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup orang banyak.
Sungai mempunyai kawasan tampungan air yang akan masuk ke badan sungai tersebut, dan secara umum dinamakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Berbagai definisi tentang Daerah Aliran Sungai dikemukakan oleh berbagai kalangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, Daerah Aliran Sungai adalah suatu daerah yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Adapun wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air (air, sumber air, dan daya yang terkandung di dalamnya) dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2. Secara singkat, diperoleh pengertian bahwa yang disebut sebagai suatu DAS adalah suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui satu sungai utama ( single outlet ). ). Wilayah daratan ini dibedakan secara nyata dengan wilayah lain oleh karena adanya pemisahan topografi (punggung bukit atau pegunungan). Dengan demikian, DAS merupakan suatu kesatuan tata air yang saling terkait ke dalam dirinya sendiri (interrelated (interrelated in itself ). ). Perubahan pada salah satu komponen tersebut, akan mengakibatkan gangguan pada seluruh kerja sistem tersebut. Peubah model tata ruang berbasis konservasi air dan tanah adalah: 1. Peubah tergantung = Hasil model 2. Peubah bebas = fungsi {Peta Konservasi air (peta tata guna lahan; curah hujan rerata; jenis tanah; penutup lahan; peta topografi); Peta kesesuaian lahan (arahan fungsi kawasan)}. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2.1. Hasil Model Tata Ruang Berbasis Konsevasi Air dan Tanah 1.1.1. Batas Dan Peubah Model Batas model adalah DAS, dan DAS Kali Sumpil digunakan sebagai uji coba model. DAS Kali Sumpil dengan luas 15,387 Km 2 dan secara administratif terletak di Kabupaten Malang seluas 13,63 Km 2, di Kota Batu seluas 0,26 Km 2
dan seluas 1,49 Km2 di Kota Malang. Secara geografis DAS kali Sumpil terletak
pada titik 11234,23` BT sampai 11246,6` BT dan pada 742,68` LS sampai 758,65` LS. Peubah bebas dari model tata ruang ini adalah 1. Peta guna lahan, 2. Peta arahan fungsi kawasan dan 3. Peta konservasi air.
Gambar 2.1 Peta Administrasi DAS Kali Sumpil 1.1.2. Peta Penggunaan Lahan DAS Kali Sumpil Penggunaan lahan di DAS Kali Sumpil adalah: sawah irigasi, tegal, kebun, semak belukar, tanah kosong dan pemukiman.
Peta ta Pen Gambar 2.2. Pe
unaan naan Lahan ahan DAS DAS K. K. Sum Sum il
1.1.3. Peta Arahan Fungsi Kawasan Kemampuan lahan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu lahan untuk digunakan sebagai usaha pertanian yang paling intensif, termasuk penentuan tindakan pengelolaannya, tanpa menyebabkan lahan menjadi rusak. Analisis kemampuan lahan dimaksudkan untuk memilih kawasan-kawasan yang harus dilindungi dan/atau kawasan mana yang bisa digunakan untuk budidaya. Penilaian kemampuan suatu lahan dilakukan dengan cara mengklasifikasi atau mengelompokkan sifat-sifat dari lahan tersebut, khususnya faktor pembatas lahan (kualitas lahan). Hasil arahan fungsi kawasan DAS Kali Sumpil dibagi menjadi 3 kawasan yaitu kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan budidaya tanaman semusim / permukiman. Kawasan Penyangga Keadaan fisik kawasan ini masih memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomis, asalkan tidak merugikan dari segi ekologi/ lingkungan hidup. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan Kawasan yang sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (tanaman perkebunan, tanaman industri), selain itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga. Kawasan budidaya Tanaman Semusim/Permukiman Kawasan yang sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman semusim serta terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara.
Gambar 2.3. Peta Arahan Fungsi Kawasan
1.1.4. Peta Konservasi Air Untuk pembuatan peta konservasi air dalam penelitian ini menggunakan Model Kineros. Berdasarkan analisis potensi konservasi air hasil model KINEROS, maka dapat diketahui bahwa DAS Kali Sumpil mempunyai potensi konservasi air. Rata-rata prosentase nilai potensi konservasi air yang terjadi adalah sebesar 20,73% untuk hujan kala ulang 2 tahun dan 13,62% untuk hujan dengan kala ulang 5 tahun. Hasil tersebut digambarkan dalam bentuk peta potensi konservasi air untuk setiap simulasi hujan.
Gambar 2.4. Peta Potensi Konservasi Air Hasil Model Kineros (Kala Ulang 2 Tahun)
Gambar 2.5. Peta Potensi Konservasi Air Hasil Model Kineros (Kala Ulang 5 Tahun)
1.1.5. Hasil Model Tataruang Model tataruang disusun dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG) dengan lokasi contoh ditentukan di DAS K. Sumpil Sub Sub DAS K. Brantas wilayah Malang Raya, Jawa Timur. Dalam penyusunan model tersebut peubah (variabel) tataruang ditampilkan dalam bentuk data spasial dan atribut. Penyusunan model menggunakan analisis spasial tumpang susun (overlay ( overlay)) yang merupakan proses penggabungan dua buah peta untuk membentuk peta baru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Fungsi Kawasan
Landuse Eksisting
Verifikasi & Kalibrasi
RTRW Yang Ada
Konservasi Air
Model Tataruang
Gambar 2.6. Prosedur Penyusunan Model Tataruang
Hasil model integrasi antara tataruang dengan perencanaan DAS berbasis konservasi air dengan kala ulang 2 tahun, terdapat lima li ma peruntukan kawasan untuk DAS Kali Sumpil, yaitu Kawasan Penyangga seluas 469.350 ha (31,01%), Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan seluas 602.640 ha (39,81 %), Kawasan Budidaya Tanaman Semusim/Permukiman/Jasa/Industri seluas 91,507 ha (6,04%), Kawasan Permukiman kondisi eksisting seluas 328,634 ha (21,71 %) dan Kawasan Resapan Air seluas 21,644 ha (1,43 %). Adapun sebaran dari kawasan-kawasan tersebut disajikan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Hasil Model Integrasi Harmonis Antara Tataruang Dengan Perencanaan Daerah Aliran Sungai Berbasis konservasi Air dan Tanah
Kalibrasi dan verifikasi model dibutuhkan untuk membuktikan bahwa model tersebut mewakili dengan kondisi sebenarnya apa tidak. Kalibrasi dan verifikasi model dilakukan dengan cara membandingkan hasil model tata ruang berbasis hidrogelogi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ada. Hasil dari kalibrasi dan verifikasi model tataruang di DAS Kali Sumpil yaitu seluas 4375,705 ha (28,91 %) sesuai antara hasil model dan RTRW, tidak sesuai seluas 10.762,040 ha (71,09 %).
Gambar 5.17. Peta Hasil Kalibrasi dan Verifikasi Model
Dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global di muka bumi ini, telah dilakukan berbagai upaya manusia untuk menguranginya, antara lain mengurangi kegiatan pembabatan hutan, pengurangan usaha peternakan serta menjadi manusia vegetarian. Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan harmonisasi tata ruang dengan perencanaan Sumber Daya Air, dengan jalan menyusun tata ruang yang bebasis pada konservasi air dan tanah, tanpa mengabaikan aspek lainnya. Konservasi air dan tanah adalah memanfaatkan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, serta sert a usaha untuk memasukkan air ke bumi sebanyak-banyaknya dalam rangka mengurangi dampak pemanasan serta perubahan iklim bumi. Teknologi konservasi yang dilakukan bisa secara alamiah (memperbanyak kawasan hutan lindung dan lahan terbuka lolos air) serta secara buatan (sumur resapan, waduk, biopori, serta teknologi lainnya yang secara prinsip adalah menabung air/konservasi air) .
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Sudarto, MS., bapak Ir.Tunjung W., MS dan mas Rahmad, ST. yang telah memberikan kesempatan untuk menulis makalah ini dengan contoh kasusnya hasil penelitian bersama. Mudah-mudahan penelitian lanjutan kita bisa memberikan pemikiran tentang peran sumber daya air dalam tata ruang di negara kita dalam rangka antisipasi perubahan iklim global. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada panitia PIT HATHI XXVII yang telah meloloskan makalah ini untuk diseminarkan. Selamat berkongres semoga HATHI selalu memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Agriceli. 2004. Puluhan Daerah Aliran Sungai Kritis. Tempo interaktif. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/07/09/brk,2004070932,i d.html. [8 Oktober 2004]. Anonim, 2005. Undang Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Press indo. Jakarta. Harian Umum Jawa Pos, Edisi : Selasa 4 September 2007. Linsley, R.K.Jr., M.A. Kohler, J.L.H. Paulhus dan Y. Hermawan (penerjemah). 1996. Hidrologi untuk Insinyur. Edisi ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta. Purwodarminto,1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia Soemarto, C. D. 1995. 1995. Hidrologi Teknik. Teknik. Erlangga. Jakarta. Suresh, R. 1993. Soil and Water Conservation Engineering. Nem Chand Jain, Standard Publisher Distributors. Nai Sarak. Delhi. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. Utomo, W.H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Bisri, M. Dkk. 2009. Model Tata Ruang Berbasis Hidrogeologi (Studi Kasus DAS K. Sumpil Malang). Universitas Brawijaya Malang.
PARAMETER FISIK DOMINAN HIDROGRAF SATUAN SINTETIK (Studi kasus di Sebagian DAS Di Indonesia)
Lily Montarcih L. Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145, Email: Email:
[email protected] [email protected] Abstrak Salah satu teknik untuk mengembangkan mengembangkan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) adalah berdasarkan analisa regresi (Blazkova and Beven, 1995). Statistik regresi merupakan salah satu cara untuk menganalisa model hidrologi (Sri Harto, 1993). Jika kondisi fisik dan hidrologi secara umum dapat dikatakan homogen, maka sangat dimungkinkan untuk membuat suatu Model HSS baru yang serupa dengan model-model HSS yang sudah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Berdasarkan penelitian-penelitian penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dipilih 5 (lima) parameter fisik yang akan diteliti tingkat pengaruhnya pengaruhnya terhadap HSS, DAS yang diteliti 2 mempunyai luas < 5000 km . Penelitian ini dilakukan dengan mengambil batasanbatasan sebagai berikut: (1). Daerah studi dilakukan pada DAS di Indonesia (DAS yang dimaksud harus lengkap datanya, dalam arti mempunyai Automatic Rainfall Recorder ARR dan Automatic Water Level Recorder-AWLR); Recorder-AWLR); (2) Kriteria DAS yang dipakai: DAS 2 dengan luas < 5000 km (DAS ‘kecil’). (3) Lokasi penelitian di sebagian Indonesia dianggap mewakili: Jawa (6 DAS, 67 Sub DAS), Bali (2 DAS, 13 Sub DAS), Lombok (1 DAS, 5 Sub DAS) dan Kalimantan Timur (1 DAS, 9 Sub DAS); (4) Penelitian ini dilakukan berdasarkan berdasarkan data fisik DAS dengan mengambil mengambil data hujan dari ARR ARR terdekat dan data hidrograf banjir pengamatan dari AWLR di DAS kajian. (5) Besaran fisik DAS diambil dari sumber data, yaitu dari instansi terkait. Peta yang dilampirkan adalah peta DAS dengan skala minimum 1 : 500.000. Berdasa Berdasarkan rkan latar belakang masalah dan batasan masalah di atas, penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana sifat hidrograf pengamatan di masing-masing DAS dan semua DAS; (2) Parameter-parameter fisik DAS apa yang berpengaruh terhadap nilai debit puncak banjir (model) agar mendekati data historik? Beberapa kesimpulan dihasilkan sebagai berikut: (1) Waktu naik (time to peak) hidrograf satuan rerata sebesar 5,773 jam dan waktu turun (time recession) hidrograf satuan rerata sebesar 9,859 jam, sehingga waktu dasar (time base) hidrograf satuan adalah 15,632 jam. (2) Dari 5 parameter DAS yang dipakai dalam pembuatan model, yang paling dominan berpengaruh pada debit puncak adalah panjang sungai utama (L 2 dalam km), kemudian berturut-turut diikuti oleh luas DAS (A dalam km ), panjang sungai 2 diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc dalam km ), koefisien kekasaran (n) dan kemiringan sungai (S).
I.
PENDAHULUAN Salah satu teknik untuk mengembangkan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) adalah berdasarkan analisa regresi (Blazkova and Beven, 1995). Statistik regresi merupakan salah satu cara untuk menganalisa model hidrologi (Sri Harto, 1993). Cara ini dipakai mengingat DAS memiliki kompleksitas dan heterogenitas yang
sedemikian rupa sehingga sangat sulit untuk mengenali parameternya secara rinci (dalam arti pengaruh suatu parameter terhadap salah satu komponen prosesnya).. Jika kondisi fisik dan hidrologi secara umum dapat dikatakan homogen, maka sangat dimungkinkan untuk membuat suatu Model HSS baru yang serupa dengan model-model HSS yang sudah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Model HSS tersebut dimaksudkan antara lain: (1) untuk mengetahui sifat tanggapan DAS terhadap masukan data hujan sehingga dapat dipakai sebagai pendukung warning system di system di lokasi-lokasi rawan banjir; (2) untuk mengisi kekosongan data hidrograf akibat kerusakan pada alat AWLR sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk menghitung banjir rancangan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang yang telah dilakukan, dipilih 5 (lima) parameter fisik yang akan diteliti tingkat pengaruhnya terhadap HSS. DAS yang diteliti mempunyai luas < 5000 km 2. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil batasan-batasan sebagai berikut: (1). Daerah studi dilakukan pada DAS di Indonesia (2) Kriteria DAS yang dipakai: DAS dengan luas < 5000 km 2 (DAS „kecil‟).; (3) Lokasi penelitian di sebagian Indonesia dianggap mewakili: Jawa (6 DAS, 67 Sub DAS), Bali (2 DAS, 13 Sub DAS), Lombok (1 DAS, 5 Sub DAS) dan Kalimantan Timur (1 DAS, 9 Sub DAS); (4) Penelitian ini dilakukan berdasarkan data fisik DAS D AS dengan mengambil data hujan dari ARR terdekat dan data hidrograf banjir pengamatan pengamatan dari AWLR di DAS kajian.; (5) Di DAS yang tidak mempunyai stasiun hujan otomatis, menurut Sri Harto (1993), pola distribusi hujan dapat diperkirakan berdasarkan data dari stasiun terdekat; (6) Besaran fisik DAS diambil dari sumber data, yaitu dari instansi terkait.; (7) Kondisi aliran sungai (yang berhubungan dengan hidrograf banjir pengamatan) ditentukan pada saat pertengahan musim hujan, yaitu diperkirakan antara Bulan Desember s/d Bulan April tahun berikutnya; (8) Model yang dibuat hanya diverifikasikan untuk DAS-DAS terukur yang lengkap datanya, dalam arti DAS yang mempunyai data hidrograf pengamatan. Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah di atas, penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana sifat hidrograf pengamatan di masing-masing DAS dan semua DAS; (2) Parameter-parameter fisik DAS apa yang berpengaruh terhadap nilai debit puncak banjir (model) agar mendekati data historik?; Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengaruh parameter fisik DAS terhadap HSS. Sedangkan manfaat kajian ini diharapkan dapat dipakai sebagai referensi dalam pembuatan model HSS. II. 2.1.
METODOLOGI Analisis Hidrograf Satuan Pengamatan Pengamatan (Hidrograf Satuan Observasi) Hidrograf satuan pengamatan (hidrograf satuan observasi) pada masingmasing DAS dihitung dengan cara Collins (Montarcih, 2009). Masing-masing
DAS dicari hidrograf satuan pengamatannya. Untuk menghasilkan hidrograf
satuan pengamatan untuk semua DAS, dilakukan dengan merata-rata ordinat hidrograf satuan pengamatan pada jam yang sama, debit puncak dan waktu untuk mencapai debit puncak, dengan tahapan sebagai berikut: (1) Menghitung waktu puncak rata-rata dan debit puncak rata-rata; (2) Menghitung hidrograf satuan pengamatan tak berdimensi (t/TP dan Q/Qp) untuk masing-masing DAS; (3) Menghitung hidrograf satuan pengamatan rata-rata tak berdimensi; (4) Menghitung hidrograf satuan pengamatan (hidrograf satuan observasi) rata-rata. 2.2.
Parameter-Parameter Fisik DAS yang Berpengaruh Terhadap Model Parameter DAS yang paling mudah diperoleh dan relatif tidak mengalami perubahan adalah sifat geografik dan morfologi DAS (Sri Harto, 1993). Menurut konsep tampungan, jika seluruh DAS telah terkontribusi dalam bentuk limpasan, maka akan tercapai aliran maksimum di mana tidak terjadi perubahan tampungan. Untuk kasus DAS, rumus fungsional waktu puncak mengandung faktor-faktor fisik berupa n (koefisien kekasaran DAS), L (panjang sungai utama), A (luas DAS), S (kemiringan sungai utama) atau Tp = f(n,L,A,S). Karena faktor fisik DAS ada sebanyak 4 buah (n, L, A dan S), maka secara korelasi dipastikan ada
hubungan kuat antara n, L, A dan S. Dengan demikian diupayakan strategi penggabungan beberapa faktor fisik fis ik DAS menjadi sebuah parameter, seperti yang dilakukan oleh Mulyantari (1993). Gupta (1967) dalam dalam Sri Harto (1993) mengadakan penelitian untuk mengaitkan debit puncak dengan faktor fisik DAS yang lain, yaitu Lc (panjang sungai sungai sampai titik terdekat dengan titik berat DAS). Berdasarkan alasan di atas, parameter DAS yang digunakan dalam studi ini adalah luas DAS (A), (A), panjang sungai utama (L), panjang sungai sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc), kemiringan sungai (S) dan koefisien kekasaran (n). Seperti telah diuraikan pada di atas., luas DAS (A), panjang sungai utama (L) dan panjang sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc) diperkirakan dengan mengukur parameter-parameter tersebut pada peta DAS. Panjang sungai (L) merupakan jarak dari outlet ke batas daerah aliran, diukur sepanjang saluran utama pada peta DAS. Sedangkan Lc, yang merupakan panjang sungai dari outlet sampai titik berat DAS, juga diukur sepanjang sungai utama. Kemiringan sungai (S) merupakan kemiringan sungai utama dan bisa diperkirakan berdasarkan rumus. Sedangkan koefisien kekasaran (n) diperkirakan juga berdasarkan rumus. Kelima parameter yang diperlukan pada penelitian ini seperti tersebut di atas, bisa diperoleh dari instansi terkait. Pengambilan data masing-masing parameter tersebut disesuaikan dengan waktu pengambilan data hidrograf pengamatan dan data hujan. Luas DAS (A), panjang sungai utama (L) dan panjang sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc) relatif tidak mengalami perubahan hingga saat ini. Namun untuk kemiringan sungai (S), jika dipakai data 10 atau 20 tahun yang lalu, jelas tidak sama dengan kondisi saat
ini, mengingat adanya proses sedimentasi atau erosi di sungai. Demikian juga untuk data koefisien kekasaran DAS (n), yang mana diperlukan data luas hutan, pasti tidak sama dengan kondisi sekarang. Untuk itu, pada penelitian ini, hanya dilampirkan peta DAS dari masing-masing lokasi penelitian dan bukan peta subDAS. Hal ini disebabkan karena hidrograf pengamatan rata-rata yang akan dipakai sebagai kalibrasi model merupakan hasil rata-rata dari hidrograf pengamatan pada DAS yang mewakili lokasi penelitian seperti Lombok, Brantas Hulu, Brantas Tengah, Brantas Hilir, Bengawan Solo Hulu, Bengawan Solo Hilir, Hili r, Citarum Hulu, Tukad Badung, Tukad Nyuling dan Kandilo. Sedangkan peta topografi terbaru tidak dilampirkan, sehubungan dengan adanya perubahan morfologi sungai dan tata guna lahan. Faktor yang berpengaruh terhadap model akan ditetapkan berdasarkan besarnya koefisien determinasi. Analisa pembuatan model dilakukan dengan menggunakan cara regresi dengan beberapa alternatif berdasarkan variabel bebas yang digunakan (lima, empat, tiga, dua dan satu variabel bebas). 2.3.
Analisis data
Analisis data ini berlaku untuk masing-masing DAS. Seperti telah dijelaskan pada bagian bagian sebelumny sebelumnya, a, untuk mendapatka mendapatkan n hidrograf hidrograf pengamatan pengamatan yang yang berlaku berlaku umum untuk semua DAS dilakukan dengan merata-ratakan ordinat hidrograf pada jam yang yang sama, debit puncak puncak dan waktu untuk mencapai puncak. Tahapan Tahapan analisis data tersebut adalah sebagai berikut: (1) Alihragam stage hydrograph hydrograph menjadi discharge hydrograph. hydrograph. Data hidrograf yang tercatat di stasiun AWLR berupa hidrograf muka air. Untuk mengubah data tersebut menjadi hidrograf debit diperlukan lengkung debit atau tabel hubungan antara kedalaman air dan debit yang tersedia di setiap stasiun hidtrometri (Sri Harto, 1993); (2) Dalam hal ini, dianggap penampang penam pang sungai sungai tidak berubah. berubah. Kemiringan Kemiringan sungai sungai rerata. Kemiringan Kemiringan sungai sungai berpengaru berpen garuh h terhadap terhadap kecepatan kecepatan aliran dan memainkan memainkan peran dalam membentuk membentuk hidrograf. Pada umumnya hanya sungai utama yang diperhatikan dalam menggambarkan kemiringan DAS secara umum. Secara detil cara penentuan kemiringan sungai menggunakan rumus.; (3) Koefisien kekasaran DAS. Di dalam DAS terdapat hutan dan beberapa bagian tegalan, sawah, dan pemukiman, yang membutuhkan perkiraan koefisien kekasaran (n). Koefisien kekasaran erat kaitannya dengan kecepatan limpasan. Untuk memperoleh koefisien kekasaran dilakukan pendekatan pende katan melalui melalui rasio proporsion proporsional al antara antara luas luas hutan hutan (Af) terhadap terhadap luas luas DAS DAS (A). Chow (1989) menyatakan bahwa koefisien kekasaran (n) lahan pertanian dengan tanaman digariskan 0,035 sedangkan untuk hutan atau semak belukar 0,07. Berdasarkan batasan yang diberikan, hidrograf satuan hanya bisa diterapkan untuk DAS yang relatif kecil dengan tata guna lahan yang relatif sama (Soemarto, 1995). Dengan demikian pemasukan faktor koefisien kekasaran dalam model HSS sebenarnya merupakan merupakan langkah awal untuk memanipulasi tata guna lahan lahan yang relatif bervaraisi dan berubah dari waktu ke waktu. Untuk keakuratan model HSS
yang dibuat, faktor tata guna lahan harus dimasukkan dalam perhitungan banjir rancangan, yang merupakan fungsi dari HSS, koefisien pengaliran (faktor tata guna lahan) dan distribusi hujan jam-jaman.; (4) Aliran dasar. Pemisahan aliran dasar dari hidrograf diperlukan untuk memperoleh hidrograf aliran langsung. Hidrograf aliran langsung sangat berhubungan dengan perhitungan hujan efeltif atau kehilangan air dan penurunan hidrograf menjadi hidrograf satuan hasil analisis dari hidrograf banjir pengamatan peng amatan.. Untuk Untuk memisahkan aliran dasar dapat digunakan digunakan berbagai berbagai cara, tetapi tidak satupun cara yang dapat memberikan kebenaran nyata (Sri Harto, 1993). Hal ini disebabkan karena rasio antara aliran dasar dengan debit puncak pada kasus banjir sangat sangat kecil. Berdasarkan Berdasarkan kriteria kriteria ini, dipilih dipilih cara pemisahan pemisahan aliran dasar menggunakan straig menggunakan straight ht line method method .; .; (5) Kehilangan air. Di antara jenis kehilangan (intersepsi, penguapan, infiltrasi, dan tampungan di cekungan), yang terbesar adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah masuknya air ke dalam tanah (Sri Harto, 1993). Laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah, sedangkan kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah. Secara fisik terdapat beberapa beber apa faktor faktor yang yang berpengaru berpengaruh, h, yaitu jenis tanah, tanah, kepadatan kepadatan tanah, tanah, kelembaban kelembaban tanah, dan tanaman penutup lahan (vegetasi). Kesulitan-kesulitan yang ada pada pendekatan teoritis pendekatan teoritis untuk untuk infiltrasi infiltrasi mengakiba mengakibatkan tkan dipakainy dipakainyaa indeks indeks infiltrasi infiltrasi dan yang paling sederhana dengan metode phi index index, yang bernilai rerata (konstan) selama terjadi hujan; (6) Penurunan hidrograf satuan. Hidrograf satuan suatu DAS dapat diturunkan dari hidrograf banjir pengamatan, yang dihasilkan oleh hujan efektif dengan distribusi merata, hujan seragam ini tidak akan pernah terjadi pada daerah seluas > 5000 km2. Hidrograf satuan dapat diperoleh dengan membagi ordinat hidrograf limpasan langsung dengan hujan efektif dengan durasi tertentu (Wilson, 1993). Penurunan hidrograf satuan pada hujan kompleks memerlukan teknik penurunan tersendiri. Dibandingkan dengan metode matrik sederhana di mana dapat terjadi kesalahan beruntun dan bilangan negatif, maka metode yang dapat memberikan hasil terbaik dan wajar adalah metode Collins (Wilson, 1993 dan Sri Harto, 1993); (7) Kriteria akurasi model. Hendaknya dimaklumi bahwa hampir tidak mungkin proses alami yang terjadi dapat disamai dengan tepat. Oleh sebab itu akan selalu terjadi penyimpangan antara keluaran terukur dengan terhitung. Dalam hal ini perlu ditetapkan patokan kesalahan atau simpangan (Sri Harto, 1993). Sebagai patokan akurasi adalah kemiripan bentuk hidrograf terukur dan terhitung. Kemiripan bentuk ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari setiap ordinat pada absis yang sama. Di samping itu, akan dihitung besarnya simpangan debit puncak, waktu puncak, dan volume. Berdasarkan patokan tersebut, kriteria batasan ketelitian dengan toleransi yang umum dalam analisis hidrologi adalah koefisien korelasi > 0,70 (koefisien determinasi > 0,50) dan simpangan relatif volume < 10 %. Pemilihan model terbaik ditetapkan berdasarkan nilai koefisien korelasi (koefisien determinasi) tertinggi (Jayadi, 1996).
Untuk lebih jelasnya, metode pengerjaan penelitin tersebut disajikan dalam bentuk bagan alir (flow chart) sebagai berikut: MULAI
HIDROGRAF MUKA AIR (DATA AWLR)
HUJAN JAM-JAMAN (DATA ARR)
PETA TOPOGRAFI
PENENTUAN LENGKUNG DEBIT
HIDROGRAF BANJIR
PENETAPAN FAKTOR FISIK DAS: A, L, Lc, S, n
PENENTUAN KEHILANGAN
PEMISAHAN ALIRAN DASAR (STRAIGHT LINED METHOD) METHOD) HUJAN HIDROGRAF LIMPASAN LANGSUNG
ANALISIS HIDROGRAF SATUAN PENGAMATAN (METODE COLLINS) PENGAMATAN
PENENTUAN DEBIT PUNCAK
ANALISIS DATA FISIK DAS YANG DOMINAN (ANALISIS STATISTIK)
PEMBUATAN MODEL HSS : -PERSAMAAN KURVA NAIK -PERSAMAAN KURVA TURUN -PERSAMAAN DEBIT PUNCAK (ANALISIS REGRESI) DATA AWLR YANG BELUM TERPAKAI
VERIFIKASI MODEL
MODEL SESUAI ?
TIDAK YA SELESAI
Gambar 2. Bagan alir pembuatan model hidrograf satuan sintetis secara teknis
III. 1.1.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL Hidrograf Satuan Pengamatan (Hidrograf Satuan Observasi) Berdasarkan data hidrograf banjir pengamatan, untuk masing-masing Sub DAS dianalisa hidrograf satuan pengamatan (hidrograf satuan observasi) setiap DAS, dengan menggunakan cara Collins. Data hidrograf banjir (dari analisis AWLR) yang dipakai untuk menurunkan hidrograf satuan pengamatan untuk masing-masing DAS dipilih yang tertinggi dan berpuncak tunggal. Waktu untuk pengambilan data AWLR (data hidrograf banjir) tersebut harus bersamaan dengan waktu pengambilan data ARR (data hujan jam-jaman) untuk masing-masing DAS. Namun tidak perlu ada keseragaman waktu antar DAS, mengingat tujuan analisis hidrograf satuan adalah untuk aliran tinggi (high ( high flow). flow). Dengan demikian pengambilan data untuk analisis harus mempunyai keekstriman yang seoptimal mungkin, yaitu dengan cara mengambil hidrograf banjir yang berpuncak paling tinggi di masing-masing DAS. Berdasarkan analisis faktor bentuk DAS, hampir semua Sub DAS termasuk jenis yang berbentuk memanjang, kecuali untuk Sub DAS di Citarum Hulu. DAS dengan corak cenderung memanjang, mempunyai waktu untuk
mencapai puncak banjir yang relatif singkat, karena begitu hujan turun air akan dengan cepat menuju titik pertemuan (outlet ( outlet ). ). Sehubungan dengan cepatnya air menuju outlet , maka diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menurunkan debit puncak tersebut atau dapat dikatakan waktu turun hidrograf menjadi lama. Hal ini tidak terjadi pada DAS Kandilo, yang mana mempunyai waktu naik lebih besar dari pada waktu turun hidrograf. Namun demikian, untuk masing-masing Sub DAS cenderung berbentuk memanjang. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk jenis DAS yang cenderung berbentuk memanjang, mempunyai waktu naik hidrograf (time (time to peak ) lebih kecil dibandingkan dengan waktu turun hidrograf (time recession). recession). Dari hasil rerata hidrograf satuan pengamatan (HSO) di seluruh DAS, didapatkan waktu naik (time ( time to peak ) sebesar 5,773 jam dan waktu turun (time ( time recession)) sebesar 9,859 jam, sehingga waktu dasar (time recession (time base) base) adalah 15,632 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hidrograf banjir untuk DASDAS yang diteliti mempunyai karakteristik naiknya lebih cepat dari turunnya (waktu naik hidrograf < waktu turun hidrograf). Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa DAS-DAS yang diteliti umumnya berbentuk memanjang. 1.2.
Parameter-parameter fisik DAS yang berpengaruh terhadap model Parameter-parameter Dengan debit puncak (Qp) sebagai variabel tetap dan karakteristik fisik DAS (A, L, Lc, S dan n) sebagai variabel bebas, dihasilkan 62 alternatif persamaan regresi. Pemilihan Pemil ihan model didasarkan pada model yang rasional dengan kriteria seperti di atas. Dari 62 alternatif persamaan regresi (dengan lima, empat,
tiga, dua dan satu variabel) dipilih model debit puncak secara umum (untuk semua
DAS): Qp = 0,042.A0,451.L0,497.Lc0,356.S-0,131.n0,168 dengan koefisien determinasi R 2 = 0,841 (tingkat kepercayaan: 5%) dan nilai perkiraan kesalahan standar SEY = 0,809. Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelima parameter DAS yang dipakai pada pembuatan model debit puncak semuanya berpengaruh, yaitu luas DAS (A), panjang panjang sungai utama (L), (L), panjang sungai diukur diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc), kemiringan sungai (S) dan koefisien kekasaran (n). Dari persamaan terpilih, dapat disimpulkan bahwa parameter DAS yang paling dominan adalah panjang sungai (L) dengan eksponen 0,497; kemudian berturut-turut diikuti oleh luas DAS (A) dengan eksponen 0,451; panjang sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc) dengan eksponen 0,356; koefisien kekasaran (n) dengan eksponen 0,168 dan kemiringan sungai (S) dengan eksponen – 0,131. 0,131. Rumus kontinuitas aliran: Q = V x A (V = 1/n x R 2/3 x S1/2) menunjukkan bahwa debit merupakan fungsi dari jari-2 (radius) yang analog dengan panjang sungai (L) dan luas (A) yang analog dengan luas DAS (A). Dengan demikian parameter DAS yang paling dominan terhadap model debit analog dengan rumus kontinuitas aliran. Asdak (1995) mengatakan bahwa semakin panjang sungai, maka jarak antara tempat jatuhnya hujan dengan outlet semakin semakin besar, sehingga waktu yang diperlukan air hujan untuk mencapai outlet lebih lebih lama dan dengan demikian akan menurunkan debit puncak. Hal ini disebabkan karena makin panjang sungai makin banyak memberikan kesempatan bagi air hujan untuk mengalir sebagai limpasan sehingga jumlah kehilangan air semakin besar. Berdasarkan pernyataan tersebut berarti makin panjang sungai akan menghasilkan debit puncak banjir makin kecil. Pernyataan ini bertolak belakang dengan yang dihasilkan dalam penelitian ini. Dengan panjang sungai (L) sebagai faktor pal paling ing dominan terhadap ter hadap model debit dan dengan eksponen 0,497 berarti semakin panjang sungai justru akan menghasilkan debit puncak banjir makin besar. Memang benar seperti yang dikatakan Asdak (1995) bahwa semakin panjang sungai akan menyebabkan kehilangan air makin besar, namun prosentase kehilangan air tersebut sangat kecil dibandingkan dengan besarnya debit puncak banjir, mengingat yang dibicarakan dalam kasus ini adalah aliran-aliran tinggi. Di samping itu, semakin panjang sungai akan memberikan kesempatan air hujan tetap berada pada badan sungai, dalam arti kemungkinan untuk meluap sangat kecil. Dengan demikian untuk sungai yang relatif panjang, sangat dimungkinkan hampir semua air hujan yang jatuh ke sungai akan mencapai outlet , yang akan menaikkan debit puncak banjir. Makin besar DAS akan menyebabkan makin lama pula limpasan mencapai outlet , sehingga lebar dasar hidrograf (lama limpasan) menjadi lebih panjang dan debit puncaknya akan berkurang (Sri Harto, 1995). Hal ini bertolak belakang dengan yang dihasilkan dalam penelitian ini. Dengan luas DAS (A) merupakan faktor dominan kedua dan dengan eksponen 0,451 berarti makin besar DAS akan menghasilkan debit puncak banjir makin tinggi. Hal ini berkaitan dengan semakin luas suatu DAS akan menyebabkan distribusi hujan semakin tidak merata. Sifat
ini bertentangan dengan konsep yang dikemukakan Sherman (1932) dalam dalam Sri Harto (1993) bahwa hidrograf satuan merupakan hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif merata di DAS. Ukuran DAS menentukan patokan maksimum penggunaan hidrograf satuan. Sebenarnya ukuran yang pasti belum ada, namun menurut Soemarto (1995) diambil maksimum 5000 km2, seperti yang sementara telah dilakukan pada penelitian ini. Dengan demikian jika terjadi hujan merata dalam suatu DAS, maka makin besar DAS, limpasan akan cepat mencapai outlet dan dan akan menaikkan debit puncak banjir. Jarak outlet ke titik berat DAS (Lc) merupakan faktor dominan ketiga dalam penelitian ini. Dengan eksponen 0,356 berarti makin panjang Lc akan menghasilkan debit puncak banjir makin besar. Namun dengan eksponen yang relatif kecil maka Lc tidak terlalu berpengaruh terhadap besarnya debit puncak banjir. Memang terdapat perbedaan untuk Lc yang cenderung ke arah hulu dengan Lc yang berada di tengah-tengah DAS, tetapi perbedaan tersebut relatif relati f kecil. Koefisien kekasaran DAS (n) dalam hal ini diperkirakan berkisar antara 0,035 dan 0,070. Jika DAS secara keseluruhan berupa hutan, maka koefisien kekasaran DAS: n = 0,070. Sebaliknya jika tidak ada hutan sama sekali, maka koefisien kekasaran DAS: n = 0,035. Seperti diketahui, hutan umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga dianggap sebagai permukaan cukup kasar, yang dapat menghambat jalannya air hujan. Sedangkan tegalan, sawah, pemukiman dan lain-lain dianggap sebagai permukaan yang tidak cukup kasar, sehingga tidak dimasukkan dalam perhitungan koefisien kekasaran DAS. Permukaan yang kasar akan menghambat jalannya air hujan menuju sungai. Dengan demikian secara rasional koefisien kekasaran DAS tersebut relatif tidak memberikan sumbangan terhadap besarnya debit puncak banjir dalam arti berbanding terbalik dengan besarnya debit puncak banjir (Qp). Karena debit yang dibahas dalam konteks ini merupakan debit banjir (aliran tinggi), maka dalam kondisi tertentu tanah akan jenuh. Dengan demikian, saat kondisi tanah jenuh, air hujan akan melimpas walaupun tidak sebesar jika tidak ada hutan, sehingga koefisien kekasaran DAS relatif tidak menghambat debit banjir. Pada penelitian ini, koefisien kekasaran DAS tetap berpengaruh terhadap model debit puncak dengan eksponen 0,168 dan merupakan faktor dominan keempat dari 5 parameter DAS yang dipakai dalam penelitian ini. Karena mempunyai eksponen yang berharga positif berarti koefisien kekasaran dalam hal ini berbanding lurus dengan besarnya debit puncak banjir. Sesuai dengan keterangan di atas, koefisien kekasaran DAS diprediksi tetap memberikan sumbangan terhadap besarnya debit banjir walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Parameter kemiringan sungai (S) yang dihasilkan penelitian ini dengan eksponen -0,131 sangat sesuai dengan dengan yang dikatakan Subramanya (1989) (1989) bahwa dalam banyak kasus, kemiringan DAS yang landai justru menghasilkan debit puncak yang lebih besar. Hal ini disebabkan dise babkan karena jika kemiringan landai berarti
waktu dasar hidrograf menjadi panjang dan akan menghasilkan liku resesi hidrograf yang tidak curam sehingga se hingga akan menaikkan debit puncak. IV.
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dihasilkan sebagai berikut: (1) Waktu naik (time ( time to peak ) hidrograf satuan rerata sebesar 5,773 jam dan waktu turun (time ( time recession) recession) hidrograf satuan rerata sebesar 9,859 jam, sehingga waktu dasar (time ( time base) base) hidrograf satuan adalah 15,632 jam. Sifat hidrograf pengamatan rerata (untuk semua DAS) tersebut mencirikan bentuk DAS yang cenderung memanjang, yaitu mempunyai karakteristik naiknya lebih cepat dari turunnya (waktu naik hidrograf < waktu turun hidrograf). Sedangkan untuk masing-masing DAS secara umum mempunyai waktu naik hidrograf < waktu turun hidrograf (berbentuk memanjang), kecuali untuk DAS Kandilo (berbentuk melebar). Walaupun demikian semua Sub DAS dalam DAS Kandilo cenderung berbentuk memanjang. Hal semacam ini juga juga terjadi pad padaa DAS Nanjung Nanjung yang berbentuk memanjang, namun semua Sub DAS di dalamnya berbentuk melebar; (2) Dari 5 parameter DAS yang dipakai dalam pembuatan model, yang paling dominan berpengaruh berpengaruh
pada debit puncak adalah panjang sungai sungai utama (L dalam km), kemudian berturutturut diikuti oleh luas DAS (A dalam km 2), panjang sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (Lc dalam km 2), koefisien kekasaran (n) dan kemiringan sungai (S). DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS , University Press, Gajah Mada Yogyakarta. Blazkova, S. and K. Beven. 1997. Flood Frequency Prediction for Data Limited Catchments in the Czech Republic Using a Stochastic Rainfall Model and TOPMODEL , Journal of Hydrology 195: Hydrology 195: 256-278. Chow, V. T. 1988. Handbook of Applied Hydrology, Hydrology, Mc.Graw Hill Book Company, Singapore.
Jayadi, R. 1996. Optimasi Parameter Kalibrasi Model Hujan Aliran Menggunakan Algoritme Gauss-Newton, Media Teknik UGM . No. 2 th. XVIII Agustus. Montarcih, Lily. 2009, Hidrologi 2009, Hidrologi Teknik Terapan, Terapan, CV Asrori Malang Mulyantari, F. 1993. Modifikasi Hidrograf Satuan Sintetis Segitiga Untuk „Small Watershed‟ Wat ershed‟ Di Wilayah Sungai Bengawan Solo, Jurnal Litbang Pengairan.. No. 26 th.7-KW.IV hal. 48. Pengairan Soemarto, CD. 1995. Hidrologi 1995. Hidrologi Teknik , Penerbit Erlangga, Jakarta. Sri Harto, Br. 1995. Analisis Hidrologi, Hidrologi, PAU Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
AR A R E A RE R E D UCTI UC TI ON FA F A CTOR CT ORS S (ARF) UNTUK HUJAN RENCANA DI DAS CITARUM HULU (Area Reduction Factors for Rainfall Design in Upper Citarum Basin)
Segel Ginting*, Henk Ogink**, Ronald Vernimmen** *Pusat Litbang Sumber Daya Air Jl. Ir. H. Junada 193, 193, Bandung, Bandung,
[email protected] [email protected] **Deltares The Netherlands Rotterdamseweg 185 HD Delft Abstrak Untuk menentukan besarnya hujan rencana, umumnya menggunakan data hujan harian maksimum tahunan berdasarkan masing-masing pos hujan yang ada pada suatu DAS. Hal ini dilakukan karena ketersediaan ketersediaan data tersebut sangat panjang bila dibandingkan dengan apabila menggunakan data hujan wilayah maksimum tahunan yang memerlukan memerlukan data hujan harian. Oleh karena hal tersebut maka dibuatlah suatu hubungan empiris yang menghubungkan antara hujan rencana berdasarkan hujan harian maksimum tahunan dari setiap masing-masing pos dengan hujan rencana berdasarkan data hujan harian wilayah maksimum tahunan. Hubungan empiris tersebut untuk menentukan suatu faktor koreksi yang disebut sebagai faktor reduksi atau Areal Reduction Factor (ARF). Untuk menentukan menentukan besarnya ARF tersebut dilakukan dengan berbagai variabel seperti luas(A) dan periode ulang (T). Hasil yang diperoleh untuk menentukan besarnya ARF adalah berupa hubungan empiris yang terdiri dari dua = 1. 1.26 267 7 0.11 0.021 , yang digunakan untuk persamaan, yang pertama adalah menghitung nilai ARF berdasarkan data hujan harian maksimum wilayah tahunan, = 2. 2.15 15 0.19 0.02 , yang digunakan untuk persamaan yang kedua adalah menghitung nilai ARF berdasarkan data hujan harian maksimum tahunan masingmasing pos hujan.
− − − −
K ata K unc uncii : Area Reduction Reduction Factor (ARF), (ARF), Hujan Rencana, Rencana, DAS Citarum Citarum Hulu I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Perencanaan suatu bangunan keairan selalu memerlukan kriteria desain yang baik dari segi hidrologi maupun teknisnya. Umumnya kriteria desian yang diperlukan berkaitan dengan besarnya banjir yang terjadi. Namun saat ini, banyak metode untuk menentukan besarnya banjir rencana pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Metode tersebut berkembang dibatasi oleh ketersediaan data yang ada pada suatu DAS. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dimana ketersediaan data yang ideal untuk melakukan analisa analisa hidrologi sangat terbatas. Salah satuny satunyaa adalah ketersediaan data hujan yang terbatas. Perhitungan besarnya hujan rencana selalu menggunakan data hujan tunggal (point) yang yang selanjutnya dilakukan
analisa frekuensi, belum menggunakan ketebalan hujan rata-rata suatu wilayah
yang selanjutnya dianalisa frekuensi. Konsep perhitungan dengan menggunakan hujan tunggal akan memiliki hasil yang sangat besar bila dibandingakan dengan konsep hujan rata-rata wilayah. Untuk menghubungkan antara kedua konsep perhitungan tersebut maka dilakukan penelitian menentukan besarnya factor reduksi supaya hasilnya lebih realistis. 1.2.
Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk menghitung besarnya reduction factor yang terjadi pada suatu DAS dengan tujuan supaya mendapatkan nilai hujan rencana yang efektif sesuai dengan kejadian pada suatu DAS. 1.3. Lokasi Studi Lokasi studi berada di DAS Ciatrum Hulu, Provinsi Jawa Barat. Adapun lokasinya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Lokasi daerah penelitian DAS Citarum Hulu II. 2.1.
TINJAUN PUSTAKA Area Reduction Factors (ARF) Areal reduction factor (ARF) adalah salah satu besaran kunci yang diperlukan untuk melakukan analisa desain hidrologi ekstrim seperti menentukan hujan rencana (design rainfall). Untuk luasan area, a, dan lamanya hujan, d, maka ARF sebagai fungsi dari a, d, dan T adalah perbandingan antara intensitas hujan
rata-rata pada daerah tertentu dengan luas, a, dengan lamanya hujan, d, dengan
periode ulang T dan intensitas hujan rata-rata rata -rata pada suatu pos hujan untuk lamanya hujan (d) dan periode ulang (T) yang sama. Grafik ARF secara empiris sering ditampilkan dalam bentuk skala, sebagai contoh untuk perbandingan
yang besar dan pada periode ulang T yang diberikan, ARF cenderung menjadi
−∝
untuk beberapa nilai α. Berdasarkan persamaan tersebut maka
diperoleh karakteristik skala dari ARF dengan berbagai kondisi hujan berbasis ruang dan waktu. (Veneziano, D., and Langousis, Langousis, A., 2005). 2005). Area reduction factors factors (ARF) merupakan suatu factor yang nilainya tetap, untuk melakukan suatu perubahan data hujan dari hujan titik menjadi hujan wilayah. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menentukan besarnya ARF pada suatu wilayah. Bell (1976) mengemukakan bahwa ARF ditentukan dengan dua cara yaitu Storm centered ARFs ARFs dan Fixed Area ARFs. Secara ARFs. Secara umum untuk menentukan besarnya ARF di Amerika Serikat menggunakan Technical Paper 29 (TP 29) yang dinyatakan dengan persamaan berikut ini (Allen and DeGaetano, 2005):
1
=
=1
1
=1
Keterangan :
1
=1
adalah curah hujan wilayah maksimum tahunan pada tahun ke-j adalah curah hujan titik maksimum tahunan pada stasiun ke-i pada tahun ke-j k adalah jumlah stasiun hujan pada suatu wilayah n adalah jumlah tahun data. Sementara Leclerc dan Schaake pada tahun 1972 membentuk persamaan untuk menghitung besarnya ARF berdasarkan waktu atau lamanya hujan yang terjadi dengan luas wilayahnya. Adapun persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Allen and DeGaetano, 2005):
−
− ,
=1
exp at b + exp at b
cA
Keterangan : t adalah lamanya hujan (jam) A adalah luas wilayah (km 2) Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut diperoleh nilai koefisien untuk persamaan di atas, nilai a = -1,1; b = 0,25; dan c= 2,59 x 10-2. Bentuk persamaan umum lainnya yang juga sering ser ing digunakan seperti yang
dinyatakan oleh Menabde, M., et.al.,(2001) adalah
,
=
1
1+
Tabel 1 Beberapa persamaan untuk menghitung ARF No 1
2
3 4
ARF 0,84 t + exp
− − =1
=1
exp
exp
0,2
−
0,82 t 0,21 + exp
− − − − − −
0,25
− − −
−
0,2
0,84 t
0,82 t 0,21
0,25
= 1 exp 1,1t + ex exp p 1,1t 0,25 + ex exp p 1,1t 0,25 = 1 exp 1,1t
−−
0,67A
−
Lokasi New Jeresey
0,28 A North Carolina
0,00386A 0,0259A
-
Ref. Allen and DeGaetano, 2005 Allen and DeGaetano, 2005 TP-29 Leclerc and Schaake (1972)
Beberapa negara telah menghasilkan juga ARF untuk durasi yang lebih pendek, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa nilai ARF semakin kecil dengan semakin pendeknya durasi hujan yang digunakan dalam analisis, begitu juga dengan luas DAS, dimana semakin besar luas DAS maka semakin kecil nilai ARF yang dihasilkan. dihasilkan.
Gambar 2.1 Grafik ARF dengan berbagai durasi kejadian hujan III.
METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melakukan elaborasi terhadap data hujan harian yang ada di DAS Citarum Hulu serta menentukan besarnya hujan wilayah pada setiap sub DAS dengan menggunakan dua metode seperti pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.2 Alur kerja yang dilakukan dalam penelitian. Hujan Harian Titik
Metode Thiessen
Hujan Harian Maksimum Tahunan
Hujan Harian Wilayah
Metode Thiessen Hujan Harian Maksimum Tahunan
Hujan Harian Maksimum Wilayah Pada Tahun ke-n
Analisa Frekuensi
Analisa Frekuensi
Hujan Rencana Wilayah
Area Reduction Factors
Hujan Rencana Wilayah
Gambar 2.3 Alur kerja yang dilakukan dalam penelitian.
3.1.
Hujan Wilayah Untuk menetukan hujan wilayah maka dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen. Metode ini digunakan berdasarkan rata-rata timbang (weighted (weighted average). average ). Masing-masing stasiun hujan mempunyai daerah pengaruh yang dbentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua stasiun pengamat hujan. Stasiun-stasiun yang digunakan dalam analisa digambarkan pada peta wilayah yang ditinjau, kemudian stasiunstasiun tersebut dihubungkan dengan garis penghubung sehingga membentuk segitiga. Kemudian garis-garis bagi tegak lurus setiap garis penghubung akan membentuk poligon-poligon yang membagi batas pengaruh setiap stasiun. Luas masing-masing poligon kemudian dinyatakan sebagai persentase luas total wilayah yang ditinjau. Curah hujan rata-rata untuk seluruh wilayah dihitung dengan menjumlahkan hasil kali curah hujan pada masing-masing pos pengamat hujan dengan persentase luas wilayah yang diwakili. A R A2 R2 A3 R3 ... Ai Ri Ai R 1 1 C A A A A ... A total i 1 2 3 , Keterangan:
C Ai A
= Bobot thiessen = Luas pengaruh dari stasiun pengamatan i = Luas total dari DAS
R = Curah hujan rata-rata R 1, R 2,..,R i = Curah hujan pada setiap titik pengukuran (stasiun)
Gambar 2.4 Hujan Wilayah Metode Thiessen. 3.2.
Analisa Frekuensi Analisa distribusi frekuensi dilakukan dengan menggunakan distribusi G ener ner alize li zed d E xtr xtre eme Value (GEV). Bentuk persamaan umum dari distribusi GEV adalah:
− − − ξ−μ σ 1
; , ,
=
1+
untuk 1 + ( ) / > 0 , dimana adalah parameter lokasi, > 0 paramater skala, parameter bentuk. Fungsi kerapatannya kerapatannya (density function) adalah dengan konsekuensi berikut ini:
=
−−− − −1 + − ; , ,
=
1
1
1+
1
1
ξ−μ σ
Lagi untuk 1 + ( ) / > 0 . Rata-rata (mean (mean), ), momen pusat kedua ( second second central moment ), ), standard deviation, mode, skewness and kurtosis excess adalah sebagai berikut:
μ − σξ
E X =
σ ξ
σξ − μ − σξ ξ−ξ − − − − − Γ − Γ 2
+ g1 , Var X =
2
g2
g12 , Mode X =
1+
1
Kemencengan (skewness) adalah dihitung dengan persamaan berikut berikut ini:
Skew X =
3g1 g 2 + 2g13
g3
g
2
Kurtosis adalah:
Kurtosis excess X =
dimana, g k =
1
g4
, k=1,2,3,4, dan
3 g2 2 1
4g1 g 3 + 6g2 g12 + 3g14
g 2 g12 2 t adalah fungsi gamma.
IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan dan Penyeleksian Data Data hujan yang digunakan diperoleh dari berbagai sumber yaitu Dinas PSDA atau PUSAIR, PLN, Pertanian dan BMKG serta KNMI Belanda untuk tahun – tahun lama. Periode data yang digunakan dalam studi berkisar antara tahun 1879 sampai dengan 2008. Data hujan yang digunakan adalah data hujan
harian yang diperoleh dari berbagai sumber yang selanjutnya dilakukan screening dilakukan screening data untuk memilih data dengan kualitas yang baik. Pemilihan data yang layak pakai dilakukan dengan berbagai analisa mulai dari raw data sampai pada data yang telah dalam bentuk digital. Selanjutnya dari semua data tersebut dilakukan analisa kurva massa untuk mengetahui konsitensi data. Dari hampir 100 statiun yang digunakan setelah melalui proses penyeleksian data maka hanya tersisa sekitar 70 stasiun yang selanjutnya digunakan untuk analisa. Adapun hasil rekapitulasi dari analisa data tersebit dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Hasil rekapitulasi analisa kurva massa
Tabel 2. Hasil rekapitulasi analisa kurva massa (lanjutan)
4.2.
Jumlah Stasiun vs Hujan Wilayah Maksimum Untuk menentukan besarnya hujan wilayah pada suatu DAS sangat tergantung pada kerapatan jumlah setasiun hujan yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1, dimana semakin banyak jumlah setasiun yang ada semakin menurun jumlah hujan wilayahnya. Namun pada kenyataannya bahwa jumlah setasiun pada suatu DAS memiliki jumlah yang minimum yang diperlukan agar jumlah hujan wilayah tidak berpengaruh secara signifikan. Jika dilihat pada Gambar 2.5, menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pos hujan yang digunakan yang ditunjukkan oleh tren naik yang cukup besar dan besarnya jumlah hujan wilayah maksimum mengalami penurunan, akan tetapi tidak sebanding
dengan jumlah pos hujan yang digunakan. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa untuk menentukan besarnya jumlah hujan wilayah maksimum di DAS Citarum Hulu dengan menggunakan jumlah pos hujan yang sekarang telah memenuhi jumlah sebaran pos yang diharapkan.
80
45
Annual Maximum Basin Rainfall Numbers of Rainfall Station
70
40 35
60
) m m 50 ( l l a f i n40 a R 30 n i s a B20 . x a 10 M l a u n 0 n A
30 n
o i t 25 a t S a 20 l f
n i 15 a R f o 10 r e b
5
u
0 9 8 1
5 1 9
9 3 9 1
3 6 9 1
Years
8 9 1
Gambar 2.5. Grafik pengaruh jumlah setaiun pos hujan dengan hujan wilayah maksimum 4.3.
Analisa Hujan Rencana
Analisa hujan rencana dilakukan dengan menggunakan data hujan ekstrem setiap tahunnya. Data hujan ekstrem ini terdiri dari tiga data yaitu 1) data hujan harian maksimum tahunan, 2) data hujan harian maksimum wilayah tahunan, dan 3) data hujan harian wilayah masksimum tahunan. Untuk mendeskripsikan ketiga bentuk data tersebut dapat dijelaskan dalam bentuk persamaan berikut ini. Untuk data yang pertama yaitu data hujan harian maksimum tahunan tahunan dapat didefinisikan secara matematis berikut ini :
… =
1,
2, 3 ,
,
dimana = hujan harian maksimum pada tahun ke – ke – i, i, 1 = data hujan harian pada salah satu pos pada hari ke -1, = data hujan harian pada salah satu pos pada hari ke-n, n = jumlah hari dalam setahun. Untuk data yang kedua yaitu data hujan harian maksimum wilayah tahunan tahunan dapat didefiniskan secara matematis
+ + + = ⋯
⋯
berikut
ini: 2
+
1
+
2
dimana
,
atau
=
1
+
= data hujan harian wilayah maksimum
tahun ke – ke – i, i, = jumlah pos hujan yang digunakan dan , , = bobot setiap pos hujan. Sementara untuk data yang ketiga yaitu data hujan harian wilayah
maksimum tahunan tahunan dapat didefisnisikan secara matematis berikut ini :
… ⋯
1,
2, 3 ,
dan
=
.
+
.
+
+ .
, dimana
=
= data
hujan wilayah harian pada hari ke-n, = hujan harian wilayah maksimum pada tahun ke-i. Berdasarkan data yang pertama, maka selanjutnya dilakukan analisa frekuensi untuk menentukan kemungkinan besarnya hujan pada lokasi tertentu seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisa frekuensi data hujan harian maksimum tahunan No . No. Sta.
1
(132) (1 32)
Telag Te lagaa Pan Panteg tegang ang
2
(135 (1 35))
Kawa Ka wahh Ci Ciwid widey ey
3
( 14 14 7) 7)
Sukk awa Su awana na
4
(150 (1 50))
Pada Pa dala lara rang ng
5
1 51 51
Batu Ba tuja jaja jarr ( ke ke c) c)
6
(151a) (15 1a) Sin Sindan dangg Ke Kerta rta
7
(15 2) 2)
8
(153 (1 53a) a) Gamb Gambun ungg
9
(153 (1 53b) b) Ciwide Ciwideyy
10
(154b) (15 4b) Mar Margah gahay ayu u2
11
(156a) (15 6a) Lem Lemban bangg (Me (Meteo teo))
12
1 57 57
Coordinate
Name of Station
X
2
3
5
10
25
50
100
200 20
500 50
1000
11 4. 4. 1
1 30 30 .1
15 1. 1. 9
16 9. 9. 5
1 88 88 .1
20 7. 7. 9
236 .2
2 59 59 .3
9207006.3 9207 006.31558 1558 BMG
9 2. 2. 1
10 2. 2. 2
768736.7 7687 36.70063 0063
9205270.2 9205 270.28968 8968 BMG
8 3. 3. 2
91 .2
9 9. 9. 8
1 09 09 .9
12 1. 1. 9
13 0. 0. 3
1 38 38 .1
14 5. 5. 5
154 .7
1 61 61 .1
784910.8 7849 10.87284 7284
9249445.4 9249 445.45002 5002 BMG
8 4. 4. 1
97 .0
11 1. 1. 9
1 31 31 .6
15 7. 7. 9
17 8. 8. 5
2 00 00 .0
22 2. 2. 4
253 .7
2 78 78 .7
773783.6 7737 83.68236 8236
9242526.3 9242 526.37794 7794 BMG
7 2. 2. 1
82 .9
9 3. 3. 6
1 05 05 .3
11 7. 7. 8
12 5. 5. 6
1 32 32 .4
13 8. 8. 3
144 .8
1 49 49 .0
774266.4 7742 66.48078 8078
9234932.0 9234 932.03602 3602 BMG
69.4
73.8
78.5
84.3
91.2
96.2
100.9
105.4
111.2
115.4
765347.2 7653 47.21116 1116
9226502.4 9226 502.48570 8570 BMG
8 2. 2. 7
92 .4
10 3. 3. 1
1 16 16 .7
13 4. 4. 0
14 6. 6. 9
1 59 59 .8
17 2. 2. 6
189 .7
2 02 02 .7
779977.1 7799 77.16659 6659
9240250.2 9240 250.24293 4293 BMG
7 1. 1. 4
80 .9
9 0. 0. 6
1 01 01 .8
11 4. 4. 5
12 3. 3. 0
1 30 30 .6
13 7. 7. 6
145 .8
1 51 51 .4
777210.9 7772 10.98177 8177
9211218.3 9211 218.31275 1275 BMG
8 1. 1. 5
88 .9
9 8. 8. 8
1 14 14 .2
13 9. 9. 6
16 3. 3. 9
1 94 94 .1
23 1. 1. 5
295 .1
3 56 56 .9
773487.5 7734 87.54334 4334
9215357.1 9215 357.10847 0847 BMG
7 8. 8. 0
87 .2
9 7. 7. 4
1 10 10 .3
12 6. 6. 4
13 8. 8. 3
1 50 50 .1
16 1. 1. 8
177 .2
1 88 88 .8
791076.7 7910 76.70208 0208
9247567.9 9247 567.92373 2373 BMG
8 1. 1. 1
90 .0
10 1. 1. 9
1 20 20 .5
15 1. 1. 4
18 1. 1. 2
2 18 18 .1
26 4. 4. 1
342 .6
4 19 19 .3
789309.3 7893 09.39384 9384
9244626.5 9244 626.53552 3552 BMG
7 3. 3. 4
80 .8
9 0. 0. 2
1 04 04 .1
12 5. 5. 6
14 4. 4. 9
1 67 67 .6
19 4. 4. 2
236 .8
2 75 75 .6
800274.2 8002 74.27820 7820
9243828.3 9243 828.38354 8354 BMG
9 1. 1. 1
10 2. 2. 5
11 4. 4. 6
1 29 29 .0
14 5. 5. 9
15 7. 7. 6
1 68 68 .5
17 8. 8. 8
191 .4
2 00 00 .3
BMG
72.0
78.6
85.8
94.6
105.3
113.0
120.3
127.5
136.5
143.2
790056.3 7900 56.32387 2387
9240749.2 9240 749.27919 7919 BMG
7 2. 2. 7
81 .5
9 2. 2. 3
1 07 07 .2
12 8. 8. 6
14 6. 6. 7
1 66 66 .6
18 8. 8. 7
221 .6
2 49 49 .7
787319.7 7873 19.72429 2429
9234677.8 9234 677.85837 5837 BMG
7 5. 5. 8
85 .0
9 5. 5. 2
1 08 08 .0
12 4. 4. 3
13 6. 6. 4
1 48 48 .4
16 0. 0. 4
176 .2
1 88 88 .2
787555.21246
9238426.74286 92
BMG BM
7 5. 5. 8
84 .1
9 3. 3. 8
1 06 06 .6
12 3. 3. 9
13 7. 7. 6
1 51 51 .9
16 7. 7. 0
188 .1
2 05 05 .1
787032.5 7870 32.52063 2063
9238343.5 9238 343.52009 2009 BMG
7 6. 6. 2
84 .2
9 2. 2. 5
1 02 02 .2
11 3. 3. 5
12 1. 1. 1
1 28 28 .2
13 4. 4. 7
142 .6
1 48 48 .1
C ik ik apu apund ndun ungg
759997.3 7599 97.35679 5679
Ci ma ma hi hi
Return Period
Authority
Y
13 163b
Soreang
14
(160) (1 60)
Pakar/ Pak ar/PLT PLTA A Ben Bengk gkok ok
15
(162) (1 62)
Bandun Ban dungg (Ci (Cileu leutah tah))
16
(162a)
Ci ha hampelas
17
(163) (1 63)
Bandun Ban dungg (Ci (Cipag pagant anti) i)
18
(163a) (16 3a) Banjar Banjaran an
786123.0 7861 23.02763 2763
9218177.5 9218 177.57009 7009 BMG
8 4. 4. 8
94 .6
10 5. 5. 6
1 19 19 .8
13 8. 8. 3
15 2. 2. 3
1 66 66 .5
18 1. 1. 0
200 .6
2 15 15 .7
19
(163c) (16 3c) Cisonda Cisondari ri
773490.1 7734 90.16775 6775
9215848.8 9215 848.87632 7632 BMG
8 0. 0. 3
91 .7
10 6. 6. 2
1 28 28 .1
16 2. 2. 7
19 4. 4. 4
2 32 32 .2
27 7. 7. 4
351 .0
4 19 19 .5
20
(163g) (16 3g) Hus Husein ein(An (Andir dir))
785486.7 7854 86.71518 1518
9236532.1 9236 532.17209 7209 BMG
7 5. 5. 1
83 .7
9 2. 2. 6
1 03 03 .1
11 5. 5. 2
12 3. 3. 5
1 31 31 .1
13 8. 8. 1
146 .6
1 52 52 .6
21
(164) (1 64)
807605.3 8076 05.31155 1155
9236407.6 9236 407.63159 3159 BMG
8 1. 1. 3
88 .8
9 7. 7. 2
1 08 08 .0
12 2. 2. 0
13 2. 2. 7
1 43 43 .5
15 4. 4. 4
169 .2
1 80 80 .7
22
(164a) (16 4a) Buahba Buahbatu tu
790345.1 7903 45.18247 8247
9226330.7 9226 330.72924 2924 BMG
7 8. 8. 1
87 .5
9 7. 7. 3
1 08 08 .8
12 2. 2. 1
13 1. 1. 0
1 39 39 .3
14 6. 6. 9
156 .0
1 62 62 .4
23
(164b) (16 4b) Pasirj Pasirjati a ti
798400.0 7984 00.00000 0000
9235000.0 9235 000.00000 0000 BMG
7 9. 9. 9
89 .3
10 0. 0. 3
1 14 14 .8
13 4. 4. 6
15 0. 0. 3
1 66 66 .8
18 4. 4. 2
208 .8
2 28 28 .7
24
(166 (1 66))
Cipa Ci para rayy
800268.3 8002 68.36701 6701
9221417.0 9221 417.07496 7496 BMG
8 1. 1. 2
90 .1
9 9. 9. 8
1 11 11 .9
12 7. 7. 0
13 7. 7. 9
1 48 48 .7
15 9. 9. 2
173 .0
1 83 83 .2
25
(167 (1 67))
Maja Ma jala laya ya
805100.0 8051 00.00000 0000
9220000.0 9220 000.00000 0000 BMG
8 3. 3. 7
95 .4
10 8. 8. 0
1 23 23 .2
14 1. 1. 5
15 4. 4. 4
1 66 66 .7
17 8. 8. 5
193 .3
2 03 03 .9
26 27
(168) (168) (170) (1 70)
Arjasari a sari (Pe (Perk) rk) Paseh Pas eh (Ci (Cipak paku) u)
784622.46681 784622.4 6681 807861.1 8078 61.16496 6496
9218923.62734 9218923.6 2734 BMG 9212241.3 9212 241.37939 7939 BMG
9 3. 3. 9 8 3. 3. 7
10 3. 3. 3 92 .6
11 3. 3. 1 10 2. 2. 8
1 24 24 .5 1 16 16 .1
13 7. 7. 5 13 3. 3. 5
14 6. 6. 2 14 7. 7. 1
1 54 54 .2 1 61 61 .0
16 1. 1. 5 17 5. 5. 4
170 .3 195 .1
1 76 76 .3 2 10 10 .7
778406.45000
Jatina Jat inango ngorr (Pe (Perk) rk)
9222185.05000
28 1 58 58
Pang Pa ngli lipu purr ga ga lih lih
8 02 02 11 11 3. 3. 77 77 63 63 8
9 24 24 38 38 21 21 .2 86 86 40 40
BMG
7 5. 5. 2
83 .3
9 3. 3. 3
1 07 07 .4
12 8. 8. 2
14 6. 6. 1
1 66 66 .3
18 9. 9. 0
223 .7
2 53 53 .9
29 15 9
Gu nu Gu nun g Ka su su r
80 21 21 03 03 .2 65 65 27 27
9 24 241 97 97 3. 3. 11 11 48 489
BMG
8 3. 3. 3
92 .8
10 3. 3. 6
1 17 17 .6
13 5. 5. 7
14 9. 9. 6
1 63 63 .7
17 8. 8. 2
197 .8
2 13 13 .1
30 15 3
R iu iu ng nggu nu nun g
77 63 63 10 10 .1 79 79 56 56
92 43 43 96 96 1. 1. 59 59 69 695
BMG
9 0. 0. 1
10 2. 2. 1
11 5. 5. 3
1 31 31 .8
15 2. 2. 6
16 7. 7. 9
1 83 83 .0
19 7. 7. 9
217 .5
2 32 32 .3
31
(172 (1 72))
Ciny Ci nyir irua uann
787165.7 7871 65.71881 1881
9207013.3 9207 013.36743 6743 BMG
73.5
79.8
86.7
95.1
105.4
112.8
120.0
126.9
135.8
142.3
32
(173a) (17 3a) Chincho Chinchona na
784722.1 7847 22.11051 1051
9204869.2 9204 869.28022 8022 BMG
70.4
76.3
83.5
93.9
109.3
122.8
138.1
155.6
182.6
206.5
33
(173b) (17 3b) Pangalen Pangalengan gan
788281.4 7882 81.42316 2316
9208851.4 9208 851.41502 1502 BMG
7 9. 9. 7
87 .6
9 6. 6. 0
1 06 06 .1
11 7. 7. 9
12 6. 6. 1
1 33 33 .8
14 1. 1. 0
150 .0
1 56 56 .3
34
(174 (1 74))
Cibe Ci beur ureu eum m
794880.9 7948 80.98337 8337
9203280.1 9203 280.12720 2720 BMG
7 7. 7. 0
85 .4
9 4. 4. 2
1 04 04 .5
11 6. 6. 7
12 5. 5. 0
1 32 32 .7
13 9. 9. 9
148 .7
1 54 54 .9
35
(178 (1 78))
Arga Ar gasa sari ri
798229.2 7982 29.22552 2552
9208793.9 9208 793.99783 9783 BMG
8 1. 1. 0
89 .9
10 0. 0. 5
1 15 15 .0
13 5. 5. 3
15 1. 1. 9
1 69 69 .9
18 9. 9. 4
217 .8
2 41 41 .4
36
(180) (1 80)
Malaba Mal abarr (Pe (Perk) rk)
786027.2 7860 27.24519 4519
9201148.6 9201 148.61187 1187 BMG
69.4
75.9
83.2
92.6
104.5
113.5
122.5
131.6
143.7
153.1
37
( 18 18 7) 7)
Draa ja t Dr
807407.1 8074 07.19145 9145
9203205.3 9203 205.35674 5674 BMG
7 4. 4. 6
82 .9
9 1. 1. 1
1 00 00 .0
10 9. 9. 5
11 5. 5. 4
1 20 20 .5
12 4. 4. 9
129 .8
1 32 32 .9
38
(195d) (195 d) Tanju Tanjungsa ngsari ri (Bojo (Bojong ng Seug Seugit) it)
808538.6 8085 38.68878 8878
9238400.5 9238 400.52883 2883 BMG
8 2. 2. 6
93 .0
10 4. 4. 3
1 18 18 .4
13 5. 5. 8
14 8. 8. 4
1 60 60 .7
17 2. 2. 7
188 .3
1 99 99 .8
812561.7 8125 61.78100 8100
9225874.6 9225 874.61700 1700 BMG
8 0. 0. 1
90 .6
10 3. 3. 4
1 21 21 .4
14 7. 7. 6
16 9. 9. 8
1 94 94 .6
22 2. 2. 3
264 .2
3 00 00 .3
827802.8 8278 02.82848 2848
9223371.2 9223 371.29730 9730 BMG
7 7. 7. 0
85 .1
9 5. 5. 0
1 09 09 .0
12 9. 9. 3
14 6. 6. 7
1 66 66 .0
18 7. 7. 7
220 .4
2 48 48 .7
812713.0 8127 13.06193 6193
9227375.4 9227 375.40644 0644 PLN
65.6
74.2
83.8
95.9
111.1
122.4
133.6
144.8
159.5
170.7
805716.9 8057 16.99914 9914
9213158.1 9213 158.13104 3104 PLN
7 9. 9. 7
90 .4
10 0. 0. 5
1 11 11 .0
12 1. 1. 4
12 7. 7. 5
1 32 32 .4
13 6. 6. 4
140 .6
1 43 43 .1
784722.1 7847 22.11051 1051
9204869.2 9204 869.28022 8022 PLN
63.9
72.2
81.8
94.6
111.8
125.3
139.4
154.3
175.1
191.8
799757.9 7997 57.90252 0252
9221309.3 9221 309.36904 6904 PLN
7 7. 7. 7
86 .8
9 7. 7. 9
1 13 13 .6
13 6. 6. 3
15 5. 5. 6
1 77 77 .1
20 1. 1. 2
237 .5
2 68 68 .8
801628.4 8016 28.49433 9433
9232457.9 9232 457.99037 9037 PLN
74.6
81.3
87.2
92.8
97.9
100.5
102.5
104.0
105.4
106.2
788302.6 7883 02.62138 2138
9239154.2 9239 154.26449 6449 PLN
7 1. 1. 9
81 .8
9 4. 4. 1
1 11 11 .4
13 7. 7. 0
15 9. 9. 0
1 83 83 .8
21 1. 1. 7
254 .3
2 91 91 .5
39
196a 19 6a
Cica Ci cale leng ngka ka
40
( 19 19 9) 9)
Daul Da ulaa t
41
1
Ci ca calengka
42
2
Paseh
43
3
Chinchona
44
4
Ciparay
45
5
Ujung Berung
46
6
Bandung
4.4.
Hujan Rencana Wilayah Hujan rencana wilayah dalam suatu analisa hidrologi pada suatu DAS sangat diperlukan. Jika analisa hanya pada suatu tingkat pos hujan belum merupakan akhir dari analisa hujan pada suatu DAS. Untuk menentukan besarnya hujan rencana pada suatu wilayah, pada dasarnya menggunakan data hujan harian wilayah maksimum, dan untuk mendapatkan data tersebut harus tersedia data hujan harian yang sangat panjang, namun ketersediaan data di Indonesia masih sangat memprihatinkan dan yang paling banyak tersedia adalah hujan harian maksimum tahunan. Untuk menghitung besarnya hujan rencana pada suatu DAS dengan menggunakan data hujan harian maksimum tahuan adalah sebagai berikut:
=
4.5.
Area Reduction Factor Berdasarkan Luas Area Reduction Factor pada suatu DAS tergantung pada luas DASnya. Semakin besar luas DAS maka semakin besar juga faktor reduksinya (ARF). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 yang dihasilkan di DAS Citarum Hulu. Untuk menentukan ARF di DAS Citarum Hulu, terlebih dahulu DAS tersebut dibagi lagi menjadi beberapa sub DAS yang lebih kecil. Adapun pembagian sub DAS tersebut terdiri dari 9 sub DAS yaitu : SubDAS Cikapundung, SubDAS Citarum Nanjung, SubDAS Citarum-Sapan, SubDAS Citarum – Dayeuhkolot, SubDAS Citarum-Majalaya, SubDAS Cisangkuy, SubDAS Citarik, SubDAS Cipamakolan dan Sub DAS Cikeruh. Dari 9 subDAS tersebut diperoleh nilai ARFnya berdasarkan rata-rata dari setiap tahun yang dimulai dari tahun 1879 s/d 2009. ARF tersebut dihitung dengan menggunakan perbandingan antara data hujan
harian wilayah maksimum maksimum ( wilayah ) dengan data hujan harian maksimum wilayah ( ) disetiap tahunnya. Secara matematis dapat dinyatakan berikut ini:
=
Keterangan :
= Area Reduction Factor untuk hujan harian maksimum wilayah (mbd) wilayah (mbd) pada tahun ke-i. = hujan harian wilayah maksimum tahunan pada tahun ke-i. = hujan harian maksimum wilayah tahuanan pada tahun ke-i. Berdasarkan data faktor reduksi yang dihasilkan dari 9 subDAS, maka selanjutnya dibentuk persamaan yang menghubungkan antara besarnya ARF dengan luas DASnya. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.
ARF and Area Relationship Upper Citarum Basin
0.900 0.850 0.800 ) F R 0.750 A ( r o t c a F n o i t c u d e R a e r A
0.700
ARF = 1.415 A-0.13
0.650 0.600 0.550 0.500 0.450 0.400 0
500
1000
1500
Area (km2)
2000
2500
Gambar 2.6 Grafik ARF dengan menggunakan data hujan harian maksimum
wilayah tahunan tahunan
Berdasarkan grafik hubungan tersebut, maka diperoleh persamaan ARF dengan fungsi luas sebagai variabelnya. Adapun persamaan secara matematis adalah berikut ini:
−
= 1.41 1.415 5
0.13
4.6.
ARF Berdasarkan Periode Ulang ARF sebagai fungsi period ulang telah dihasilkan di DAS Citarum Hulu. ARF yang dihasilkan terdiri dari dua grafik, karena menggunakan dua data yang berbeda sebagai pembanding. ARF sebagai fungsi periode ulang ini dihasilkan berdasarkan perbandigan hujan rencana dari data hujan harian wilayah maksimum dengan hujan rencana dari data hujan harian maksimum wilayah maksimum tahunan dan hujan rencana dari hujan harian maksimum tahunan. tahunan tahunan. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut maka dapat dibuat grafik seperti terlihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 menunjukkan bahwa ARF terdiri dari dua bentuk yaitu nilai ARF meningkat berdasarkan periode ulang dan juga turun berdasarkan periode ulang. Grafik yang menunjukkan turun berdasarkan periode ulang merupakan ARF menggunakan data hujan harian maksimum tahunan tahunan sementara grafik yang
menunjukkan adanya kenaikan ARF berdasarkan peningkatan periode ulang adalah dengan menggunakan data hujan harian maksimum wilayah tahunan. tahunan. ARF and Return Period Relationship Upper Citarum Basin 0.700 ) F R A ( r o t c a F n o i t c u d e R a e r A
0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 1
10 Return Period (T)
100
1000
Gambar 2.7. Grafik ARF berdasarkan Periode Ulang 4.7.
ARF Berdasarkan Luas dan Periode Ulang Selain ARF yang ditentukan berdasarkan hanya berdasarkan luas dan periode ulang, selanjutnya kedua variabel tersebut secara bersamaan digunakan untuk menentukan besarnya ARF. ARF yang nantinya digunakan terdiri dari dua versi yang berbeda, karena menggunakan data yang berbeda juga. Untuk
menurunkan besarnya nilai ARF tersebut, maka langkah pertama adalah
melakukan analisa frekuensi terhadap ketiga data yang digunakan. Berdasarkan analisa frekuensi tersebut yang nantinya ditentukan berapa besar faktor koreksi yang terjadi diantara ketiga data yang digunakan. Karena sebagai data yang lebih menunjukkan nilai kenyataan adalah data hujan harian wilayah maksimum tahunan, maka analisa frekuensi dari data inilah yang dinayatkan sebagai hujan rencana yang sebenarnya. Sedangkan kedua data lainnya hanya menghasilkan data hujan rencana yang memiliki tingkat deviasi yang besar, karena waktu kejadian dari besarnya data hujan yang berbeda. Namun karena data yang tersedia berada di kedua data tersebut dengan periode yang panjang maka dibuatlah suatu koreksi untuk menuju ke data yang sebenarnya. Nilai ARF yang pertama ditentukan berdasarkan data hujan harian maksim aksi mum w wii laya layah h tahunan. Dengan menggunakan data tersebut maka diperoleh grafik yang menghubungkan antara ARF dengan luas seperti terlihat pada Gambar 2.8. Gambar 2.8 tersebut merupakan grafik untuk periode ulang dua tahunan yang merupakan standard yang digunakan untuk menghitung periode yang lebih tinggi. Untuk menentukan ARF dengan periode ulang yang tinggi berdasarkan ARF periode ulang dua tahun maka diperoleh grafik linier yang dinyatakan sebagai Growth Factor atau faktor peningkatan ARF seperti terlihat pada Gambar 2.9. Berdasarkan hasil analisa tersebut maka diperoleh persamaan untuk menghasilkan nilai ARF dari data hujan harian maksimum wilayah tahunan sebagai berikut: = 1.27 1.279 9 0.11 2
− − − − =
= 0.99 0.991 1
0,021
2
0.11
= 1.26 1.267 7
0.021
ARF and Area Relationship UpperCitarum Basin 0.900 0.800 r o t c a F n o i t c u d e R a e r A
0.700 0.600 0.500
ARF = 1.279 A-0.11
0.400 0.300
ARF for 2 year Return Period
0.200 0.100 0.000 0
500
1000
Area
1500
(km2)
Gambar 2.8. Grafik ARF dengan Luas pada periode ulang 2 tahun
2000
Growth Factor and Return Period Relationship Upper Citarum Basin
1.120
1.100
r 1.080 o t c a F 1.060 h t w o r G
GF = 0.991 T 0.021 R² = 0.986
1.040
1.020
Power (Growth Factor from 2 year Return
…
1.000 1
10
Return Period (year)
100
1000
Gambar 2.9. Grafik Growth Factor dengan Periode Ulang
Sedangkan apabila menggunakan data yang kedua yaitu data hujan harian maksimum tahunan maka akan menghasilkan persamaan berikut ini: = 2.10 2.102 2 0.19 2
− − − − =
0,02
= 1. 1.02 025 5
2
= 2.15 .15
0.19
0.02
ARF and Area Relationship Upper Citarum Basin
1.0 0.9 0.8 r 0.7 o t c a0.6 F n o0.5 i t c u d0.4 e R a0.3 e r A0.2
ARF for 2 year Return Period
ARF= 2.102 A-0.19
0.1 0.0 0
500
1000 Area (km2) 1500
2000
Gambar 2.10. Grafik ARF dengan Luas pada periode ulang 2 tahun
Growth Factor and Return Period Relationship Upper Citarum Basin
1.02 1.00 0.98 ) ( r 0.96 o t c a F 0.94 h t w o 0.92 r G
GF = 1.025 T-0.02 R² = 0.999
0.90 0.88 0.86 1
10
Return Period (T) 100
1000
Gambar 2.11. Grafik Growth Factor dengan Periode Ulang V.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini
adalah: 1. Semakin banyak jumlah pos pada suatu DAS akan menghasilkan rata-rata jumlah hujan maksimum wilayah semakin menurun, dan pada DAS Citarum Hulu sudah cukup untuk mewakili seluruh DAS karena trend kenaikan jumlah pos hujan tidak sebanding dengan penurunan dari jumlah hujan maksimum wilayah. 2. Hasil yang diperoleh untuk menentukan besarnya ARF adalah berupa hubungan empiris yang terdiri dari dua persamaan, yang pertama adalah = 1. 1.26 267 7 0.11 0.021 , yang digunakan untuk menghitung nilai ARF berdasarkan data hujan harian maksimum wilayah tahunan, persamaan yang kedua adalah = 2.15 .15 0.19 0.02 , yang digunakan untuk menghitung nilai ARF berdasarkan data hujan harian maksimum tahunan masing-masing pos hujan.
− − − −
DAFTAR PUSTAKA Allen, Robert J. and DeGaetano, Arthur T., 2005. Areal Reduction Factors for Two Eastern United States Regions with High Rain-Gauge Density. Density. Journal of Hydrologic Engineering , Vol. 10, No. 4, July 1, 2005. Asquith, W. H., 1999. “Areal-reduction “Areal -reduction factors for the precipitation of the 1-day design storm in Texas.” U.S. Geological Survey, Water- Resources Investigations Report 99-4267 , Austin, Tex., 81 pp.
Bell, F.Wallingford, C., 1976. The arealofreduction factor in rainfall frequency estimation. estimation. Institute Hydrology. (IH Report No.35) ((Unpublished Unpublished ). ).
Howell, L., 2003. GIS Analysis of Areal Reduction Factors for Design Rainfall Estimation..http://www.gmat.unsw.edu.au/currentstudents/ug/projects/how Estimation ell/howell.htm (Jan 2010) ell/howell.htm Witter, J.V., 1983. Statistical areal reduction factors in the Netherlands. Scientific Procedures Applied to the Planning, Design and Management of Water Resources Systems (Proceedings of Ihe Hamburg Symposium, August
1983). IAHS Publ. no. 147. Wikipedia, nd. Generalized extreme value distribution. http://en.wikipedia.org/wiki/ Generalized_extreme_value_distribution. Generalized_extreme_value_distribution. dikutip Januari 2010. Raiford, J. P., Aziz, N. M., Khan, A. A., and Powell, D. N.,2007. Rainfall DepthDuration-Frequency Relationships for South Carolina, North Carolina, and Georgia. American Journal of Environmental Sciences 3 (2): 78-84, 2007. Borga, M., Vezzani, C. and Fontana, G.D., 2005. Regional Rainfall Depth – Duration – Frequency Frequency Equations for an Alpine Region. Natural Hazards (2005) 36: 221 – 235. 235. Springer 2005. Huff, F. A. and Neill, J.C.,1956. Frequency of Point and Areal Mean Rainfall Rates. Transactions, American Geophysical Union. Vol, 37, No. 6. Niemczynowicz, J., 1982. Areal Intensity-Duration-Frequency Curves for Short Term Rainfall Events in Lund. Nordic Lund. Nordic Hydrology, 1982, 193-204. 193-204. Veneziano, D., and Langousis, A., 2005, The areal reduction factor: A multifractal analysis, Water Resour. Res., Res., 41. Manabde,M., Siyapalan, M., and Seed,A., 2001. Generalised Scaling, Extreme Rainfall and Area Reduction Factors. The Australian National University International Congress on Modelling and Simulation Proceedings, 0-13 December 2001.
PROSPEK GELOMBANG LAUT SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN
1)
2)
3)
4)
Radianta Triatmadja , Nur Yuwono , Nizam , Budi Haryanto , M. Arsyad Thaha 5)
1). Professor, J.Teknik Sipil & Lingkungan, Ka Lab Hidraulika-Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM 2). Professor, J. Teknik Sipil & Lingkungan, Kepala Pusat Studi Ilmu Teknik UGM 3). Professor, J. Teknik Sipil & Lingkungan, peneliti Pusat Studi Ilmu Teknik UGM 4). Dosen J. Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Mulawarman 5). Dosen J. Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar Abstrak Sebagian besar energi yang dipakai saat ini adalah energi fosil yang tidak terbarukan. Ketersediaan energi fosil semakin menipis dan pada waktunya nanti harus digantikan dengan energi lain. Saat ini telah muncul berbagai macam energi pengganti, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Gelombang air laut (gelombang) merupakan energi alternatip yang terbarukan, mudah ditemukan dan selalu ada di Indonesia. Kelak energi energi jenis ini mungkin menjadi menarik, mana kala energi energi fosil sudah terlalu mahal, dan pembangunan daerah terpecil atau pulau-pulau kecil sangat memerlukan memerluka n energi setempat, sedang energi matahari hanya tersedia saat siang hari. Penelitian konversi energi gelombang menjadi energi potensial siap pakai untuk tenaga listrik dilakukan di Laboratorium Hidraulika UGM dengan skala 1:25. Dua macam metode konversi diuji (tapper channel dan pompa tenaga gelombang.) di laboratorium. Kinerja kedua teknologi konversi tersebut diteliti serta dibandingkan. Kajian dilanjutkan dengan menggunakan statistic gelombang laut di beberapa lokasi di Indonesia untuk melihat melihat peluang dan kapasitas energ energii gelombang laut di Indonesia. Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa konversi energi dapat dilakukan dengan tapper channel maupun pompa tenaga gelombang. tenaga gelombang lebih efisien dibanding tapper channel. Efisiensi kedua tipePompa converter ini pada umumnya di bawah 25%. Namun pada kondisi yang tepat pompa air tenaga gelombang mampu mencapai efisiensi di atas 35%. Contoh gelombang di Indonesia menunjukkan potensi energi gelombang yang cukup besar, walaupun tidak merata di seluruh Indonesia. Perkembangan Perkemba ngan teknologi pada jamannya memungkinkan memungkinkan konversi energi gelombang ke energi siap pakai sebagai energi alternatip,bersih dan terbarukan di Indonesia.
I.
PENDAHULUAN Energi fosil di seluruh dunia terus berkurang karena pembentukanya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama (jutaan tahun) dibanding pemanfaatannya (lihat misalnya Wikipedia, 2010). Hubbert pada tahun 1956 menyatakan bahwa produksi minyak disuatu ladang minyak akan mencapai maksimumnya saat setengah dari cadangannya sudah habis (Cambell dan Laherrere, 1998). Jika hal tersebut ben benar, ar, maka jika puncak puncak produksi energy fosil
didunia adalah pada sekitar tahun 2010 sesuai dengan prediksi Campbell, maka cadangan energy fosil akan habis dalam waktu beberapa puluh tahun ke depan. Di Indonesia sendiri, produksi minyak bumi berkurang dari sekitar 517 juta barel pada tahun 2000 menjadi 345 juta barel pada tahun 2009 (Dept ESDM, 2010). Sebelum semuanya habis, harga energy fosil akan meningkat tajam hingga akhirnya tidak efisien untuk diproduksi lagi. Pada saat itu, manusia terpaksa harus menggunakan energy lain untuk kelanjutan kehidupan. Indonesia perlu menyiapkan energy terbarukan sebagai penggantinya. Saat ini usaha usaha untuk mengganti energy minyak bumi dan energy fosil lainnya sudah mulai marak misalnya energy matahari dan bio energy yang sudah dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan. Sementara itu energy hidro di darat mempunyai umur efektifnya yang perlu diperhitungkan. Energi gelombang merupakan energi yang terbarukan, bersih, dan gratis. Namun demikian untuk memperolehnya sehingga siap digunakan untuk kebutuhan kehidupan, diperlukan usaha-usaha investasi yang cukup besar. Investasi konversi energi gelombang telah dilakukan misalnya di India, Jepang dan beberapa negara lainnya. Saat ini ketertarikan pemerintah pada energi ini masih sangat terbatas, namun demikian, pada masa datang, energi gelombang merupakan sumber energi yang mungkin menjadi sangat menarik. Fakta bahwa Indonesia memiliki pantai terpanjang kedua di dunia dan sebagian besar pantainya mengarah pada lautan Hindia menunjukkan bahwa potensi Indonesia dalam mengelola energi gelombang cukup besar. Selain itu, pulau-pulau kecil memerlukan pembangkit energi in-situ yang kadang-kadang hanya dapat diperoleh dari angin, energi matahari dan energi gelombang. Ketersediaan ketiga energi bersih terbarukan tersebut tidak selalu bersamaan. Energi angin dan gelombang boleh dikatakan selalu ada, sedang energi matahari sangat terbatas yaitu saat siang hari. Gabungan dari ketiga macam energy tersebut diharapkan meningkatkan ketersediaan energy setiap saat. Oleh karenanya, walaupun saat ini belum popular, tetapi energi gelombang laut la ut yang bersih ber sih terbarukan dan tersedia di alam perlu dipikirkan pengembangan pemanfaatannya berikut inovasi teknologinya sebagai sumberdaya dan energy air. Beberapa penelitian konversi energi gelombang laut telah banyak dilakukan misalnya oleh Lockheed California (Treacy, 2009), OTEC 1 (Marchand, 1986) dengan hasil pembangkitkan listrik dengan kapasitas 1 MW, serta PLTA Kvaerner Brug Oslo yang melakukan penelitian dengan menggunakkan setengah pipa U yang disebut Multiresonant Oscillating Water Collumn (Brook, 2003). Lingkup penelitian yang dilaporkan pada pepar ini adalah konversi energi gelombang laut menjadi bentuk energi potensial air siap pakai, atau siap untuk pembangkitan energi listrik. Energi gelombang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Umumnya efisiensi konversi energi gelombang jauh di bawah 100%. Di sinilah tantangan tersebut, yaitu sebuah teknologi yang mampu mengambil atau mengkonversi energi gelombang sebanyak-banyaknya. Semakin
tinggi efisiensi alat konversi energi gelombang semakin banyak energi gelombang laut yang dapat dikonversi. Metoda konversi energi yang dibahas dalam makalah ini adalah Tapered channel dan Pompa Air tenaga Gelombang. Makalah ini menerangkan tentang hasil penelitian yang dilakukan selama ini oleh para penulis dalam rangka mengembangkan pemanfaatan energi gelombang sebagai energi terbarukan.. II.
METODOLOGI DAN PELAKSANAAN PELAKSANAAN PENELITIAN PENELITIAN Penelitian dilakukan secara experimental atau simulasi fisik hydraulic menggunakan fasilitas Laboratorium Pusat Studi Ilmu Teknik UGM dan Laboratorium Hidraulika Terapan (Pantai) Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Dua tipe bangunan pantai untuk konversi energy gelombang dikaji menggunakan simulasi fisik hidraulik. Kedua bangunan pantai tersebut adalah Tapered channel dan Pompa air tenaga gelombang. Selain itu, bangunan pantai jenis lain dilakukan sekedar untuk pembanding. pembanding. 2.1. Tapered channel Bangunan pantai Tapered channel berupa dua dinding yang mementuk
saluran yang mengarahkan gelombang menuju lokasi sempit dengan elevasi yang tinggi. Saluran ini relatip besar di mulut (laut) dan menyempit di ujung yang lain. Mulut yang lebar tersebut diharapkan dapat menangkap gelombang dan energi gelombang sebanyak banyaknya. Setelah masuk ke dalam mulut tapered channel , gelombang diarahkan terus memasuki saluran yang semakin menyempit supaya tinggi gelombangnya meningkat tajam hingga run up up dan dapat memasuki tampungan dengan elevasi tinggi yang telah disiapkan. Dengan demikian air laut dari tempat yang rendah dapat berpindah ke tempat yang lebih tinggi dengan energi potensial yang lebih besar. Sebagian energi gelombang tidak mampu meloncat hingga masuk ke reservoir yang disediakan dan kembali ke laut sebagai gelombang refleksi. Air yang masuk ke dalam reservoir yang tinggi kemudian dialirkan kembali ke laut setelah digunakan untuk memutar turbin. Tata letak model tapered channel diberikan pada Gambar 1. b cos Laut
P co cos s P sin sin
P
b Arah gelombang
Reservoir
Kolektor Konverter Ke laut Turbin pembangkit Listrik
Gambar 1. Model Tapered channel
Tata letak tapered channel tersebut disesuaikan dengan hasil perencanaan bangunan tapered channel yang akan dibangun di pantai Baron oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pengujian dilakukan dengan variasi perioda dan tinggi gelombang, serta arah gelombang untuk mengetahui efisiensi tapered channel dalam mengkonversi gelombang pada berbagai kondisi. Pelaksanaan Penelitian Penelitian di laksanakan di Laboratorium Teknik Pantai Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan model fisik. Gelombang yang digunakan adalah gelombang sinusoidal dengan arah disesuaikan dengan arah gelombang di lapangan. Model fisik dibuat dengan skala 1:25 tanpa distorsi. (a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 3. (a) Kolam gelombang dengan model siap uji. Model di ujung atas
photo. (b) closeup air saat run up dan masuk ke dalam kolam tando. (c) Lo Lokasi kasi pengukuran tinggi gelombang gelombang di laboratorium. (d) fasilitas pengukur tinggi gelombang 2.2.
Pompa Air Tenaga Gelombang Pompa air tenaga gelombang adalah alat konversi energi gelombang dengan menggunakan energi gelombang itu sendiri untuk memompa air dalam piston ke elevasi yang lebih tinggi. Air dengan elevasi yang tinggi tersebut dapat langsung digunakan atau diubah menjadi energi lain misalnya listrik. Ide pompa air tenaga gelombang ini pertama kali dikemukakan oleh Triatmadja (2001). Selanjutnya pompa air tenaga gelombang diteliti oleh Pongmanda (2001) dan Haryanto (2002). Pada penelitian ini dikembangkan teknologi katup yang efisien
untuk konversi energi gelombang laut menjadi energi potensial.
Pipa outlet Flap Elevasi muka air laut Katup check Piston
Katup bola
Pipa inlet
Dasar laut
Gambar 2. Pompa Air Tenaga Gelombang
Pelaksanan Penelitian Pompa air dibentuk dengan pipa pralon dengan ukuran diameter 4” (Gambar 2). Piston khusus dengan katup satu arah dipasang pad pipa. Perhatikan Gambar 3. Saat piston terdorong masuk, piston mendorong air yang ada didalam pipa yang selanjutnya mendorong bola (membuka katup bola) sehingga air ai r segera mengalir ke pipa outlet yang lebih kecil. Sebaliknya saat piston tertarik ke luar, katup piston membuka, dan air dari luar masuk ke dalam ruangan dalam pipa, sedang air yang sudah masuk ke dalam pipa outlet tidak dapat terhisap ke dalam pipa pompa karena tertutup olek katup bola. Piston dihubungkan dengan papan berengsel di bagian bawah yang mampu bergerak mengikuti gerakan gelombang yang mengenainya. Gerakan papan in diteruskan ke piston yang segera memompa air laut ke atas melalui pipa outlet. Gaya dorong gelombang pada papan merupakan fungsi tinggi gelombang dan periode gelombang. Katup bola
W
piston
p2 W
F p1
Gambar 3. Mekanisme pompa air tenaga gelombang
Dari Gambar 3 persamaan keseimbangan gaya dapat ditulis sebagai berikut. Tekanan piston akibat dorongan gelombang (p1):
p1
F A
Tekanan katup bola
p 2
W w
W B (mw m B ) g
A2
A2
Jika p1 > p2 maka air dari dalam pipa akan mendorong katup bola ke atas dan air masuk ke pipa outlet. Saat p1 < p2, katup bola menutup, dan air di pipa outlet tetap di tempatnya. Jadi head pompa dan katup bola sangat menentukan aplikasi pompa tenaga gelombang. Untuk gelombang kecil, head dan katup bola harus dibuat relatip ringan sehingga gelombang mampu menghasilkan p1 > p2, sebaliknya head dan katup bola yang relatip besar diperlukan untuk gelombang yang relatip besar. Katup bola yang terlalu kecil atau terlalu ringan (gelombang terlalu besar untuk ukuran katup bola) mengakibatkan bola terlalu mudah terangkat sehingga katup bola kurang efektif. Sebaliknya jika head dan katup bola terlalu berat, maka hanya gelombang besar yang mampu mengangkat. Selain itu hanya sebagian kecil dari gaya gelombang yang mampu mendesak katup bola dengan head di atasnya sesuai dengan fungsi gaya gelombang misalnya sinusoidal. III. 3.1.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tappered Channel Pada kondisi terbaik, yaitu saat periode dan tinggi dan arah gelombang sesuai dengan bentuk dan ukuran tapered channel, efisiensi tapered channel tidak terlalu besar. Efisiensi tapered channel yang diuji hanya mencapai 14% pada kondisi gelombang sesuai dengan bentuk dan ukuran tapered channel. Efisiensi tapered channel yang diujikan mencapai 7% dengan sebagian besar energi gelombang dibuang kembali kelaut. Gambar 3 menunjukkan efsiensi tapper channel yang diteliti. Dari gambar tersebut terlihat bahwa taper channel harus direncanakan sesuai dengan arah gelombang yang terbaik serta kecuraman yang sesuai dengan tapered channel. Periode gelombang yang semakin panjang dalam kasus tapered channel yang diteliti memberikan efisiensi yang semakin tinggi. Data yang menyebar kemungkinan menunjukkan pengaruh adanya refleksi yang berbeda untuk tiap kecuraman gelombang sepanjang tapered channel yang mengakibatkan perubahan efisiensi. Dalam kondisi terburuk, efisiensi tapered channel hanya mencapai 2% sedang pada kondisi terbaik mencapai 14%. Namun demikian jika arah gelombang dilokasi cukup dominan ke satu arah, efisiensi tapered channel paling tidak adalah 4 sampai 5%. Selanjutnya, bentuk tapered channel yang disesuaikan dengan kecuraman gelombang dominan akan meningkatkan efisiensi tersebut bahkan mungkin bisa mencapai di atas 15%.
16.00
Arah gelombang 191oU
14.00 12.00
) h ( 10.00 i s n e 8.00 i s i f 6.00 E
Arah gelombang 210o U
4.00 2.00 0.00 0.0000
0. 0050
0. 0100 Ho/Lo
0.0150
0.0200
Gambar 3. Efisiensi Tapered Channel sebagai fungsi arah gelombang dan kecuraman gelombang (Laporan Akhir, Evaluasi Teknis PLTG P LTG Baron Dengan Uji Model Hidraulik, PSIT UGM-BPPT, 2006) 3.2.
Pompa Air Tenaga Gelombang. Pompa air tenaga gelombang dapat menghasilkan energi dalam bentuk energi potensial dengan efisiensi sebesar maksimum 37%. Efisiensi ini jauh lebih besar dari hasil penelitian sebelumnya karena keberhasilan dari teknologi katup bola. Kombinasi antara katup bola, periode gelombang dan tinggi gelombang serta tinggi head yang dikehendaki sangat berpengaruh pada efisiensi pompa air tenaga gelombang. Efisiensi tersebut turun tajam pada posisi operasi yang tidak optimal (Gambar 4). Gambar 4 juga menunjukkan bahwa efisiensi pompa air laut tenaga gelombang merupakan fungsi dari H/he dan L/S terkait dengan p1 dan p2 seperti telah dijelaskan di depan. H adalah tingi gelombang, he adalah head pemompaan, L panjang gelombang dan S adalah strok piston. Dengan demikian, efisiensi merupakan fungsi H/he karena kaitannya kaitann ya dengan katup bola. .
Gambar 4. Efisiensi Pompa air laut tenaga gelombang
Karakter katup bola berpengaruh pada hubungan antara efisiensi dan H/h e. Panjang strok sangat terkait dengan periode atau panjang gelombang dalam hubunganya dengan efisiensi. Semakin kecil strok terhadap panjang gelombang, semakin kecil pula air yang dapat dipompa setiap periode gelombang. Gambar 5 menunjukkan keberhasilan pompa air tenaga gelombang yang menaikkan air hingga lebih dari 2 m dengan tinggi gelombang sekitar 15 cm.
Gambar 5. Air keluar dari pipa yang dipompa dari flume yang tampak oleh tenaga gelombang (perhatikan inzet) 3.3.
Energi Gelombang di Indonesia Energi gelombang di Indonesia diyakini sangat besar dan tersedia setiap saat. Namun demikian, energy gelombang tersebut tersebar dan bervariasi dari yang sangat kecil (laut dan selat diantara pulau) hingga yang besar (terbuka, samodra) untuk digunakan sebagai sumber energi bagi kehidupan. Untuk itu kajian energy gelombang perlu dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi pemanfaatannya. Beberapa lokasi di Samudra Hindia dan Laut Jawa dipilih dan dikaji sebagai contoh ketersediaan Energi gelombang laut di Indonesia. Gelombang di sekitar Cirebon: Berdasarkan data angin dan fetch tinggi gelombang di sekitar Cirebon
dapat diramalkan. Dengan menggunakan pendekatan sederhana, yaitu menganggap bahwa kecepatan jalar gelombang 8 m/s maka daya gelombang dapat dihitung dan diberikan pada Tabel 1. Tabel 1. Frekuensi kejadian daya gelombang untuk masing-masing arah di pantai Cirebon. Frekuensi Kejadian (%) Daya Gelombang (MWatt)/1000m Arah Gelombang Barat laut Utara Timur laut Timur Total
< 0.5 0.01 0.04 0.04 0.06 0.14
0.5-1.0 0.08 0.18 0.36 0.52 1.14
1.0-2.0 0.07 0.35 1.19 2.52 4.13
2.0-3.0 0.06 0.06 0.61 1.41 2.15
3.0-4.0 0.12 0.00 0.12 0.96 1.20
4.0-4.5 0.18 0.18 0.00 0.18 0.53
> 4.5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 0.51 0.81 2.33 5.64 9.29
Dari Tabel 1, jika dianggap efisiensi konversi energi 20% maka energi yang dapat diperoleh hanya sekitar 2 MW/km pantai. Angka ini memang belum menggembirakan karena tidak terlalu besar untuk 1 km panjang pantai Gelombang laut selatan pulau Jawa Di laut Jawa umumnya gelombang tidak besar. Demikian pula di selat dan laut-laut lain yang dikelilingi oleh pulau. Namun disepanjang pantai Samodera Hindia, energi gelombang jauh lebih besar. Sebagai contoh di pantai selatan pulau Jawa, kondisi gelombangnya jauh lebih tinggi. Gambar dibuat berdasarkan data dari JICA (1998). (1998). Dari data gelombang tersebut jika yang digunakan hanya arah Baratdaya, Selatan dan Tenggara, serta asumsi atau pendekatan sederhana seperti sebelumnya, (kecepatan gelombang 8 m/s dan efisiensi 20%), diperoleh daya gelombang sebesar 4,8 MWatt/km panjang pantai. Namun apabila diusahakan dan kelak dengan teknologi yang semakin baik dan efisiensi yang lebih baik dibanding yang diperoleh dalam penelitian ini, angka tersebuit mungkin masih dapat dinaikkan. U
BL 0.0
TL
1000
500
2 .1
30%
0.8
3 . 3
20% 10% 15.8
7.1
6.0
B
T
5.0
4.0
1 9 .5
9 . 6 1
3.0
2.0
BD
TG
1.0
Tinggi Gelombang (m) 33.0
0.0
5
10
15
S
Periode Gelombang (dt)
0-1 1-2 2-3 > 3
(Sumber: JICA, Pekerjaan Pelindungan Tanah Lot)
Gambar 2.2 Gelombang Swell di Laut Dalam pada Selatan Pulau Jawa
IV. KESIMPULAN a) Jenis konversi energi Pompa air laut tenaga gelombang lebih efisien dibanding Tapered channel yang diuji. Pada kondisi terbaik efisiensi pompa air laut tenaga gelombang mencapai 35%. Kedua alat konversi energy gelombang ini efisiensinya harus disesuaikan dengan iklim gelombangnya. Tentu saja dengan tata letak yang lebih baik tapered channel masih dapat ditingkatkan efisiensinya.
b) Studi energy gelombang di Samudra Hindia menunjukkan bahwa energy gelombang cukup besar. Walaupun efisiensi tidak terlalu besar, namun pada masa depan jika energy lain sudah sulit diperoleh, maka energy gelombang laut di Samudra Hindia adalah alternatip energy terbarukan yang sangat menjanjikan. c) Dari penelitian yang dilakukan dan untuk menyongsong penyediaan energy gelombang laut, diperlukan pengembangan teknologi terkait dengan efisiensi alat konversi energi gelombang. UCAPAN TERIMA KASIH Para penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Kementrian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mendanai penelitian pompa air tenaga gelombang melalui hibah RUT, serta BPPT yang mendanai Evaluasi Teknis PLTGL P LTGL Baron dengan Uji Model Hidraulik. PUSTAKA Brook., J (2003), Wave Energy Conversion, elsevier Ocean Engineering Book
Series Vol 6. Campbell. C.J., dan Laherrere. J. H., (1998), The End of Cheap Oil, Global production of conventional oil will begin to to decline sooner than most people think, probably within 10 10 years, Scientific American, March Dept Energi dan Sumberdaya Mineral (2010), Produksi, (2010), Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor Minyak Bumi per Tahun (Barrel), online : http://dtwh2.esdm.go.id/ dw2007/index.php?mode=1 dw2007/index.php?mode=1 Haryanto, B., (2002), Optimasi Pompa Air Laut Energi Gelombang Tipe Flap, Thesis, Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Sipil UGM, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM dan BPPT, (2003), Evaluasi Teknis PLTGL Baron dengan Uji Model Hidraulik, Laporan Akhir Marchand. P., (1986),Ocean Renewable Energy Resources: A Chance for The Future ?, Exclusive Economic Zones, Graham Limited Pongmanda, S., Triatmadja, R., Nizam., (2003), Studi Efisiensi Pompa Air Laut Energi Gelombang Tipe Flap, TeknoSains, TeknoSains, Berkala Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Teknik dan Sains Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Treacy. M., (2009), Lockheed (2009), Lockheed Martin to Build Wave Farm, EcoGreek.org Farm, EcoGreek.org Triatmadja, R., (2001), Pompa Air Tenaga Gelombang Untuk Irigasi Perikanan Air Asin/Payau, Asin/Payau, Usulan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Triatmadja, R., (2002), Optimasi Pompa Air Tenaga Gelombang, Laporan Riset: Riset : Riset Unggulan Terpadu IX Bidang Energi Energi Wikipedia (2010), Fossil fuel, http://en.wikipedia.org/wiki/Fossil_fuel
GAYA GELOMBANG TSUNAMI PADA BANGUNAN BERPENGHALANG
1) Any Nurhasanah Mahasiswa Program Doktor Jurusan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Email : :
[email protected] [email protected] 2) Radianta Triatmadja Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Email :
[email protected] :
[email protected] 3) Nizam Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Email :
[email protected] Intisari Bencana tsunami dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur, seperti pada tsunami Aceh 2004, tsunami Pangandaran 2006, dan tsunami Samoa 2009. Banyak usaha dilakukan untuk melindungi struktur akibat gempuran gelombang tsunami, salah satunya adalah dengan membuat penghalang di depan struktur. Bentuk penghalang di depan struktur mempengaruhi gaya gelombang yang diterima bangunan di belakangnya. belakangnya. Hal ini diakibatkan oleh kecepatan aliran yang mengenai bangunan di belakang pelindung berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung besarnya besarnya gaya gelombang tsunami pada bangunan di belakang berbagai bentuk penghalang. Penelitian ini adalah penelitian simulasi model fisik yang dilakukan di Laboratorium Hidraulika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Saluran gelombang tsunami berukuran 25 x 1.25 x 1.5 meter dilengkapi dengan pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break. Model bangunan berbentuk kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan bentuk penghalang berupa penghalang dengan penampang o o berbentuk bujursangkar (sudut 0 dan 45 ), lingkaran, dan elips, dan setengah elips. Model bangunan diletakkan di tengah saluran dan penghalang dipasang pada jarak 20 cm dari model bangunan. Pengukuran gaya gelombang tsunami menggunakan strain gauge yang dipasang pada model, sedangkan pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan wave probe. Hasil penelitian ini menunjukkan menunjukkan adanya pengaruh bentuk bangunan bangunan penghalang terhadap gaya gelombang tsunami. Reduksi gaya gelombang besar pada model penghalang berpenampang berpenampang bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-62,40% dan reduksi gaya gelombang terkecilpada model berpenghalang berpenghalang dengan penampang elips yaitu sebesar 12,72%-15,96%. Nilai Cf bangunan berpenghalang yang mendeka mendekati ti Cf* (tanpa penghalang) adalah bangunan berpenghalang berpenampang berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang o tertinggi adalah bangunan berpenghalang berpenampang bujursangkar 45 (2.4x Cf*)
K ata kunci kunci:: tsunami, gaya gelombang, penghalang, Cf
I.
PENDAHULUAN Bencana tsunami tidak mungkin dicegah dan dihindari karena merupakan bencana alam yang sulit diperkirakan kapan terjadinya serta terlalu besar untuk dihentikan. Dalam 10 tahun terakhir ini saja telah terjadi beberapa kali bencana tsunami, yaitu tsunami Chile 2010, tsunami Samoa 2009, tsunami pangandaran
2006, dan tsunami Aceh 2004. Sepanjang tahun 2010 (sampai Juni 2010), beberapa kejadian gempa berpotensi terjadi tsunami, misalnya gempa Biak (16 Juni 2010), beberapa gempa di Aceh (7 April, 9 Mei, dan 13 Juni 2010), dan gempa Papua Barat (14 Januari 2010). Bencana tsunami dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur. Banyak usaha dilakukan untuk melindungi struktur akibat gempuran gelombang tsunami seperti membangun tembok laut ( sea wall ) atau pemecah gelombang (break ( break water ), ), selain itu bangunan yang berada di kawasan pesisir juga dapat berfungsi sebagai penahan gelombang tsunami. Pada tsunami Pangandaran 2006, kerusakan infrastruktur yang terjadi lebih ringan dibandingkan kerusakan pada tsunami Aceh 2004. Hal ini disebabkan kerena banyak bangunan bertingkat dengan struktur yang relatif kuat sehingga mampu meredam gelombang tsunami dan melindungi struktur yang ada di belakangnya. Penelitian yang banyak dilakukan saat ini merupakan penelitian tentang gaya gelombang tsunami pada struktur pelindungnya bukan penelitian gaya gelombang pada bangunan yang berada di belakang struktur pelindung. Penghalang yang berada di depan bangunan akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang yang diterima bangunan di belakangnya. Penghalang akan menahan laju gelombang tsunami sehingga terdapat perubahan pola aliran dan juga perubahan kecepatan aliran. Bentuk penghalang yang berbeda akan berpengaruh terhadap pola aliran yang dibentuk, kecepatannya juga berubah, sehingga gaya gelombang yang diterima pada bangunan di belakang penghalang akan berbeda. Pada penelitian ini bentuk penghalang dibuat beberapa macam, yaitu penampang lingkaran, bujursangkar dengan sudut 0o dan 45o, elips, dan setengah elips. Gelombang yang menabrak penghalang akan tertahan di depan penghalang sedangkan pada bagian yang tidak tertahan akan terus mengalir di samping kiri kanan penghalang. Sebagian air terus melaju dan sebagian lagi mengalir ke arah bangungan yang terletak dibelakang penghalang. Air mengisi bagian belakang penghalang dan akhirnya menabrak menabrak bangunan, saat itulah gaya gelombang d diukur. iukur. Penelitian ini membahas pengaruh bentuk penghalang terhadap gaya gelombang tsunami pada bangunan di belakang struktur. II.
TUJUAN DAN ARAH PENELITIAN Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gaya gelombang tsunami telah dilakukan oleh beberapa peneliti, berikut beberapa contoh penelitian terkait. Triatmadja, dkk (2009) meneliti pengaruh porositas terhadap gaya gelombang tsunami. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh porositas
bangunan (0%, 20%, 40%, dan 60%) terhadap gaya gelombang tsunami. Makin besar porositas, maka penurunan besarnya gaya gelombang gelombang tsunami makin kecil. Lukkunaprasit, dkk (2009) juga meneliti gaya gelombang pada bangunan berlubang 25% dan 50%. Pada penelitian ini reduksi gaya akibat adanya lubang pada bangunan sebesar 15%-30%. Arnason, dkk (2009) meneliti pengaruh gelombang bore pada struktur. Penelitian ini mengukur gaya yang terjadi pada kolom berpenampang bujursangkar, lingkaran, dan bujursangkar dengan sudut 45o. Hasil yang diperoleh, nilai koefisien hambatan (CR ) pada kolom silinder antara 1-2, CR pada kolom berpenampang bujursangkar dengan sudut 45 o berkisar 2 dan CR pada kolom berpenampang bujursangkar 2-3. Osnack, dkk (2009) meneliti efektifitas sea wall kecil dalam mereduksi gaya gelombang tsunami. Pada penelitan ini reduksi gaya gelombang tsunami berkisar 23%-84% untuk tinggi gelombang yang meningkat sampai 4 kali dari tinggi sea tinggi sea wall . Pradono (2008), meneliti tentang keamanan struktur dalam menahan gelombang tsunami. Pada penelitian ini menunjukkan gaya maksimum yang terjadi ketika kedalaman aliran tsunami sekitar setengah kedalaman maksimum. Setengah kedalaman dari aliran tsunami terjadi pada saat permulaan serangan gelombang tsunami. Koji (2007), melakukan penelitian gaya gelombang pada sekelompok bangunan dengan variasi jarak bangunan dari garis pantai. Posisi bangunan ada yang diletakkan tegak lurus pantai dan ada yang membentuk sudut terhadap garis pantai. Fujima (2006) melakukan penelitian yang cukup komprehensif tentang gaya gelombang pda bangunan. Gelombang tsunami dimodelkan dengan flume yang panjangnya sekitar 11m. Walaupun panjang gelombang tsunami yang dihasilkan jauh dari kenyataan, gaya gelombang yang pertama mengenai bangunan cukup cukup relevan dengan kondisi yang sebenarnya. sebenarnya. Penelitian di atas menunjukkan peneliti hanya meneliti gaya gelombang tsunami pada struktur yang langsung diterjang diterjang gelombang tsunami, baik yang yang berupa model bangunan maupun model bangunan pelindung seperti seawall. Sebagian dari peneliti di atas menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk gelombang bor dan sebagian lagi menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk gelombang solitair. Pada penelitian ini, gelombang tsunami yang digunakan adalah gelombang tsunami berbentuk bor karena dibangkitkan melalui pembangkit gelombang berbasis dam break . Gelombang tsunami yang dimodelkan merupakan gelombang tsunami yang banyak dijumpai pada beberapa daerah di Indonesia. Gelombang tsunami ini juga merupakan pendekatan gelombang tsunami yang terjadi pada tunami Aceh 2004 dan pada tsunami pangandaran 2006. Gelombang tsunami yang
sudah mencapai daratan kebanyakan berupa bor, sehingga pendekatan dengan menggunakan gelombang bor cocok dengan kenyataan. Penelitian kali ini bertujuan untuk memperoleh besarnya gaya gelombang tsunami pada struktur di belakang penghalang akibat bentuk penghalang yang berbeda. Bentuk penghalang akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang tsunami yang diterima bangunan di belakanya. Besarnya gaya gelombang tsunami yang diterima bangunan dapat digunakan untuk merencanakan bangunan pelindung tsunami. III.
KARAKTERISTIK GELOMBANG TSUNAMI Gelombang tsunami merupakan gelombang panjang. Gelombang panjang adalah gelombang air yang panjang gelombangnya melebihi 20 kali kedalaman yang dilewatinya. Gelombang panjang juga seringkali disebut sebagai gelombang
air dangkal, kh < /10. Gelombang panjang menjalar dengan kecepatan C gh Kecepatan gelombang adalah jarak yang ditempuh puncak gelombang tiap satuan waktu. Sifat gelombang tsunami sebagai gelombang panjang maka kecepatan jalar energi sama dengan kecepatan jalar gelombang. Akibat adanya proses shoaling, tinggi gelombang cenderung tidak menurun bahkan mungkin bertambah. Hal inilah yang menyebabkan gelombang tsunami tetap berbahaya ketika sampai di pantai meskipun gelombangnya terjadi jauh di tengah laut. Semakin besar kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Efek shoaling mengakibatkan gelombang tsunami yang menjalar dari laut dalam menuju laut dangkal teramplifikasi. Fluk energi tsunami yang masuk ke suatu titik seimbang dengan fluk energi yang keluar dari titik tersebut tanpa adanya kehilangan energi atau adanya tambahan energi. Kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam lebih cepat daripada di laut yang dangkal. Oleh karena itu energi tsunami di laut yang lebih dangkal lebih besar dari pada energi yang tsunami di laut yang lebih dalam. Konsekuensinya, tinggi tsunami di laut yang lebih dangkal menjadi besar.
G aya G elom lomba bang ng T sunam sunamii pa pada da B angunan ng unan d dii B elakang P Pe eng nghala halang ng Gaya gelombang tsunami pada bangunan dibelakang penghalang dihitung misalnya dengan menggunakan Persamaan (1).
F
1
C f A u 2
(1)
2 Dimana F Dimana F adalah gaya gaya gelombang dibelakang penghalang, A penghalang, A merupakan luasan bidang terkena gelombang, adalah masa jenis air, u adalah kecepatan aliran, dan C f adalah koefisien gaya gelombang. Pada bangunan berpenghalang arah aliran tidak tegak lurus terhadap bangunan. Aliran Ali ran membentuk sudut tertentu akibat adanya pengaruh penghalang di depan bangunan. Hal ini mengakibatkan kecepatan gelombang yang menabrak
bangunan berubah sehingga gaya gelombang pada bangunan berpenghalang berbeda dengan gaya gelombang pada bangunan tanpa peng penghalang. halang. Gaya gelombang yang diterima oleh bangunan di belakang penghalang juga akan tereduksi. Demikian juga dengan kecepatan awal gelombang akan tereduksi sebelum menghantam penghalang. Jarak antara penghalang dengan bangunan juga akan mempengaruhi gaya yang diterima bangunan di belakang penghalang. Jika penghalang letaknya jauh terhadap bangunan, maka pengaruh penghalang hampir tidak ada. IV. 4.1.
METODOLOGI PENELITIAN Simulasi Model Penelitian ini adalah penelitian simulasi model fisik yang dilakukan di Laboratorium Hidraulika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Saluran gelombang tsunami berukuran 25x1.25x1.5 meter dilengkapi dengan pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break . Model bangunan berbentuk kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan bentuk penghalang berupa penghalang berpenampang bujur sangkar (dengan variasi sudut 0o, dan 45o), lingkaran, elips,
dan setengah elips dengan tinggi tiga kali model bangunan. Model bangunan diletakkan di tengah saluran dan penghalang dipasang pada jarak tertentu dari model bangunan. Pengukuran gaya gelombang tsunami menggunakan strain gauge yang dipasang pada model yang dihubungkan dengan komputer melalui data logger dan amplifier . Pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan wave probe yang probe yang diletakkan di depan penghalang dan di depan model bangunan. dam break system Wave probe Model bangunan
penghalang
dam break system Model bangunan
Wave probe penghalang
Arah gelombang
Gambar 1. Mekanisme pembangkitan gelombang tsunami
Dam break system
Quick relies mecanism
Gambar 2. Saluran Pembangkitan Gelombang Tsunami
Model dibuat dengan kesebangunan geometrik dengan skala 1 : 20. Model bangunan berupa bangunan solid berbentuk kubus dengan ukuran 20x20x20 cm. Model penghalang terdiri dari penghalang dengan penampang bujursangkar 20x20cm, lingkaran (diameter 20 dan 40 cm), elips (20:30 dan 20:40), dan setengah elips (20:30 dan 20:40) yang memiliki tinggi 3 kali tinggi model bangunan (60cm). Simulasi tinggi gelombang ada 3 variasi, dan jarak bangunan ke penghalang 20 cm. 4.2.
Kalibrasi Kalibrasi pada penelitian ini terdiri dari dua, yaitu kalibrasi strain gauge dan kalibrasi wave probe. Kalibrasi strain gauge dilakukan dengan cara memberi beban secara bertahap dan pencatatan dilakukan secara digital dengan menggunakan sensor yang telah dihubungkan dengan data loger. Kalibrasi terhadap wave probe dilakukan dengan menaikkan dan menurunkan probe probe pada kedalaman tertentu. Wave probe probe dihubungkan dengan data loger dan pencatatan
dilakukan secara digital.
Strain gauge gauge
Wave probe pro be
Gambar 3. Strain gauge dan gauge dan wave probe
V. 5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Gelombang Tsunami Bentuk gelombang tsunami yang dihasilkan dengan metoda pembangkit gelombang sistem dam break menghasilkan gelombang bor yang mirip dengan gelombang tsunami (Gambar 4).
Gambar 4. Gelombang tsunami di dalam saluran
Bentuk gelombang berpengaruh terhadap gaya yang bekerja pada bangunan. Gambar 5 menunjukkan tipikal bentuk gelombang tsunami yang dihasilkan oleh metoda yang digunakan. Bagian paling depan gelombang yang digunakan untuk menghitung besarnya gaya yang besar pada bangunan.
Gambar 5. Tipikal front gelombang tsunami pada h = 80 cm 5.2.
Gaya Gelombang Gelombang Tsunami pada Bangunan Bangunan berpenghalang berpenghalang Bangunan penghalang akan mereduksi gaya gelombang tsunami yang diterima bangunan di belakangnya. Hal ini disebabkan karena ada proses difraksi dan refleksi di depan penghalang, sehingga ada sebagian gaya gelombang teredam. Saat gelombang menabrak penghalang, aliran akan dibelokkan ke kiri dan ke kanan (Gambar 6a), kemudian gelombang tertahan di depan penghalang dan terjadi refeleksi, sebagian air tetap mengalir di sebelah kiri dan kanan penghalang. Aliran mengisi kekosongan ruang di antara penghalang dan bangunan, dan menggempur bangunan yang berada di belakang penghalang Gambar 6b).
b)
a) Arah gelombang
Gambar 6. Pola aliran saat gelombang menabrak penghalang a) aliran didepan penghalang dibelokkan b) aliran mengenai bangunan dibelakang dibelakangnya nya
Hasil pengukuran gaya gelombang dan reduksi gaya gelombang akibat adanya penghalang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Reduksi Gaya gelombang tsunami akibat penghalang.
MODEL
Gaya gelombang
Rata-
Reduksi
PENGHALANG Tanpa penghalang
60 99.85
70 127.42
80 166.81
rata 131.36
Gaya (%)
Bujursangkar sudut 0o
62.01
51.90
62.44
58.78
55.25
Bujursangkar sudut 45o
47.23
51.70
49.23
49.39
62.40
Lingkaran 20
59.45
58.05
59.76
59.09
55.02
Lingkaran 40
64.49
82.89
112.98
86.78
33.94
elips 1:2
95.88
116.68
131.39
114.65
12.72
elips 2:3
93.03
102.10
136.05
110.40
15.96
setengah elips 1-2
61.90
83.75
87.78
77.81
40.77
setengah elips 2-3
71.96
84.02
83.86
79.95
39.14
Reduksi gaya gelombang tsunami akibat adanya penghalang cukup bervariasi. Pada penghalang berpenampang bujursangkar reduksi gaya gelombang tsunami berkisar 55,25%-62,40%. Pada penghalang berpenampang lingkaran, reduksi gaya gelombang tsunami 33,94%-55,02%. Pada penghalang elips reduksi gaya gelombang tsunami 12,72%-15,96%,dan pada penghalang setengah elips reduksi gaya gelombang tsunami berkisar 29,14% -40.77%. 5.3.
Koefisien Gaya Gelombang Tsunami (Cf) pada Bangunan Berpenghalang Gaya seret dihitung dengan menggunakan persamaan (1) pada saat terjadinya gaya maksimum. Gaya ini terjadi pada saat front gelombang tsunami
pertama kali mengenai bangunan di belakang penghalang. Penghalang yang
disimulasi adalah penghalang berpenampang bujursangkar, lingkaran, elips dan setengah elips (Gambar 8). Hasil perhitungan nilai Cf disajikan pada Tabel 2. (a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. Model bangunan dengan berbagai berpenghalang saat terhantam gelombang tsunami. a) penampang lingkaran, b) penampang elips, c) penampang setengah elips, d) penampang bujur sangkar sudut 45o
Tabel 2. Nilai Cf pada bangunan bepenghalang
MODEL PENGHALANG
Cf
Rata-rata
Cf*/Cf
0.671 0.333
2.0
0.233 0.271
0.276 0.323
2.4 2.1
0.494 0.620 0.545
0.569 0.590 0.614
0.510 0.608 0.586
1.3 1.1 1.1
setengah elips 1-2 0.394 0.441 setengah elips 2-3 0.459 0.444 Cf* adalan nilai Cf tanpa penghalang
0.391 0.374
0.409 0.426
1.6 1.6
Tanpa penghalang sudut 0
60 0.631 0.416
70 0.666 0.288
80 0.715 0.293
sudut 45 Lingkaran 20
0.274 0.386
0.320 0.312
Lingkaran 40 elips 1:2 elips 2:3
0.465 0.615 0.600
Dari hasil perhitungan, rata-rata nilai Cf pada bangunan solid tanpa penghalang adalah 0.671. Nilai Cf pada bangunan berpenghalang yang mendekati nilai Cf pada bangunan tanpa penghalang adalah pada penghalang berpenampang elips (1.1x Cf tanpa penghalang). Hal ini disebabkan penghalang berbentuk elips mengarahkan aliran langsung tanpa ada yang menyebar. Sedangkan nilai Cf yang paling jauh adalah nilai Cf pada penghalang berpenampang bujursangkar 45o (2.4x Cf tanpa peghalang). Hal ini disebabkan karena aliran mengarah ke kiri dan kanan akibat penampang sudut 45o, dan air yang mengalir ke bangunan lebih sedikit. Hal ini juga yang mengakibatkan gaya yang di reduksi paling besar (62.4%) VI. KESIMPULAN a. Koefisien gaya seret gelombang tsunami pada bangunan di belakang penghalang sangat dipengaruhi oleh bentuk penghalang.
b.
Reduksi gaya gelombang besar pada model penghalang berpenampang bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-62,40% dan reduksi gaya gelombang terkecilpada model berpenghalang dengan penampang elips yaitu sebesar 12,72%-15,96%. c. Nilai Cf bangunan berpenghalang yang mendekati Cf* (tanpa penghalang) adalah bangunan berpenghalang berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang tertinggi adalah bangunan berpenghalang berpenampang bujursangkar 45o(2.4x Cf*)
PUSTAKA Dean.R.G., Dalrymple. R.A., (1984), Water Wave Mechanics for Engineers and Scientists,, Prentice-Hall Inc, New Jersey Scientists Fujima. K, Achmad.F, Shigihara. Y, and Mizutani.N., (2009), Estimation of Tsunami Force Acting on Rectangular Structures, Journal of Disaster Research Vol.4, Research Vol.4, No.6 Fujima K., 2006, Measurement of Wave Force Acting on Buildings, Buildings, National Defense Academy of Japan, Japan Triatmadja R., Nizam, Nurhasanah A., 2009, Pengaruh Porositas Bangunan terhadap Gaya Gelombang Tsunami, Tsunami , Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXVI, Banjarmasin, 23-25 Oktober.
KAJIAN GAYA GELOMBANG TSUNAMI PADA BANGUNAN DENGAN VARIASI LEBAR DINDING INTERIOR
1)
Titi Agustiani Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Sipil Sipil dan Lingkungan FT UGM Email:
[email protected] Email:
[email protected] 2) Radianta Triatmadja Triatmadja Professor, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Lingkungan FT UGM
[email protected] Email:
[email protected] Email: Intisari Indonesia berada pada satu kawasan yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng yang aktif aktif serta bagian dari The Pacific Pacific Ring of Fire, maka maka wilayah Indonesia rawan gempa bumi dan letusan gunung berapi serta pesisir Indonesia merupakan kawasan rawan bencana tsunami (Diposaptono,2005). Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat beragam, sehingga struktur bangunan di kawasan pesisir pantai hendaknya tidak hanya tahan terhadap gempa namun juga harus memiliki ketahanan terhadap terjangan tsunami. Perencanaan Perencanaa n kawasan pesisir rawan tsunami perlu memperhatikan memperhatikan aspek hidrodinamika gelombang tsunami pada bangunan. Karena sebagian besar bangunan di kawasan pesisir pesisir Indonesia memiliki dinding interior, interior, maka adanya dinding interior interior tersebut akan berpengaruh terhadap hidrodinamika gelombang yang terjadi. Hal yang dapat dilakukan adalah meminimalkan meminimalkan dampak tsunami yang terjadi. Salah satu caranya adalah dengan mengetahui gaya gelombang yang menghantam. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model dengan skala 1:25 berupa blok tunggal (1 lantai) dengan bentuk atap pelana serta 4 variasi porositas (20%, 40%, 60%, dan 81%) dengan lebar dinding interior yang divariasikan (5 cm, 10 cm, dan 15 cm). Model dihubungkan dengan strain gauge dan pengkajian dilakukan dengan 3 variasi tinggi muka air hulu (60 cm, 70 cm, dan 80 cm). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya gelombang tsunami yang terjadi pada model bangunan dengan lebar dinding interior yang bervarisi terhadap model bangunan tersebut.
K ata kunci : tsunami, lebar dinding interior, gaya gelombang I.
PENDAHULUAN Posisi dan proses geologi Indonesia yang terletak di tiga lempeng bumi, menyebabkan wilayah Indonesia berpotensi tinggi mengalami bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Dengan demikian, wilayah ini menampung aktivitas sosial dan ekonomi yang sangat besar, sehingga kerusakan-kerusakan kecil yang terjadi di wilayah
pesisir dapat berakibat fatal bagi kelangsungan aktivitas masyarakat pesisir.
Sehingga perencanaan tata ruang daerah pantai sangat diperlukan mengingat panjangnya garis pantai Indonesia yang rawan tsunami. Perencanaan kawasan pesisir rawan tsunami perlu memperhatikan aspek hidrodinamika gelombang tsunami (gaya gelombang, tinggi dan panjang gelombang tsunami, tinggi run-up tsunami, waktu tempuh gelombang tsunami). Karakteristik gaya hidrodinamika yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami dapat digunakan untuk merencanakan struktur yang tahan terhadap gelombang tsunami sehingga kajian gaya gelombang terhadap bentuk bangunan dengan dengan atap pelana serta variasi lebar dinding interior perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap gaya gelombang. 1.1.
Gelombang Tsunami dan Karakteristiknya Karakteristiknya Tsunami adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. (Wikipedia.org). Tsunami terjadi karena adanya gangguan terhadap volume air dalam jumlah yang besar, sehingga menimbulkan perbedaan perbedaan muka air. Muka air yang yang lebih tinggi memiliki energi potensial yang besar. Karena adanya energi potensial, pengaruh gravitasi dan
hukum kesetimbangan, maka air menyebar dan timbul gelombang. Gelombang tsunami merupakan gelombang panjang. Jarak jangkauan tsunami ke daratan sangat ditentukan oleh terjal landainya morfologi pantai. Pada pantai yang terjal tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sedangkan di pantai yang landai, tsunami dapat menerjang sampai beberapa kiloneter masuk ke daratan. Apabila tsunami menjalar ke pantai yang menyempit dan dangkal, maka gelombang tsunami akan mengalami proses kompleks meliputi shoaling, meliputi shoaling, refraksi, difraksi, dan refleksi. Tsunami adalah gelombang panjang sehingga energinya tidak mudah hilang walaupun menabrak tebing. Apabila bentuk pantainya menyempit, seperti teluk maka gelombang yang terjadi di pantai akan sangat tinggi. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Sesuai dengan kriterianya, gelombang tsunami merupakan gelombang panjang., dimana h/L < 0.05, sehingga gelombang tsunami disebut juga dengan gelombang perairan dangkal (shallow water wave). Sifatnya sebagai gelombang panjang maka kecepatan jalar energi sama dengan kecepatan jalar gelombang. Dengan demikian tinggi gelombang cenderung tidak menurun bahkan mungkin bertambah karena proses shoaling. Oleh karenanya gelombang tsunami yang terjadi jauh di tengah laut tetap berbahaya bagi pantai yang akan diserangnya.
gh , cepat rambat Gelombang tsunami menjalar dengan kecepatan C gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut. Kecepatan rambatnya di laut dalam (deep (deep sea) sea) berkisar dari 400 km/jam sampai 1000km/jam. Tinggi
gelombang bervariasi. Di lokasi pembentukan tsunami (daerah episentrum gempa), tinggi gelombang tsunami diperkirakan 1 m hingga 3 m (Diposaptono, 2005). Periode gelombang berkisar antara 10 menit – 60 menit (Barber, 1969). Kecepatan penjalaran tsunami tersebut sangat tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer dari pusatnya (Diposaptono, 2005 dan en.wikipedia.org). Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling. Kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam lebih cepat daripada di laut yang dangkal. 1.2.
Gaya Gelombang Tsunami Ketika gelombang tsunami menerjang struktur, gaya gelombang yang terjadi merupakan fungsi dari massa jenis cairan, kecepatan aliran, dan geometri struktur. Gaya gelombang yang terjadi dirumuskan dengan persamaan : F
C f ρ s B h u
2
Di mana adalah massa jenis cairan termasuk sedimen, B adalah lebar dari struktur dalam bidang normal arah aliran, h adalah kedalaman aliran, dan u adalah kecepatan aliran di lokasi struktur. Persamaan di atas dapat dirumuskan kembali menjadi : : F
u
C f ρ s A
2
Dengan A merupakan luas bidang struktur yang diterjang gelombang dan kecepatan jalar gelombang didekati dengan persamaan : u
k g h0
dengan k : koefisien g : percepatan gravitasi (m/s2) ho : tinggi tembok air di hulu (m) dengan nilai koefisien ditentukan sebesar : k : 1.12 untuk h0 : 60 cm 1.14 untuk h0 : 70 cm 1.16 untuk h0 : 80 cm (Triatmadja dan Nurhasanah Report, 2010) II.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Hasil Gaya Gelombang Terukur pada Model Atap Pelana Pelana Gaya Gelombang Terukur (N) ATAP PELANA Model Bangunan Lebar Dinding 5 cm M1.1.1 10 cm (Porositas 20%) 15 cm M1.1.2 (Porositas 40%)
Tinggi Muka Air Hulu 60 cm 70 cm 80 cm 259.01 292.06 292.17 235.21
277.69
309.62
265.43
294.66
318.31
5 cm
176.40
251.97
277.64
10 cm 15 cm
245.80 221.03
293.71 269.88
306.73 321.12
M1.1.3 (Porositas 60%) M1.1.4 (Porositas 81%)
5 cm
175.78
220.74
262.15
10 cm
238.95
253.85
293.91
15 cm
271.90
274.11
324.87
5 cm
175.21
224.44
283.13
10 cm
218.82
258.91
304.85
15 cm
203.44
273.73
277.43
Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai C f pada Model Atap Pelana Nilai Cf ATAP PELANA Model Bangunan
Tinggi Muka Air Hulu
Lebar Dinding
M1.1.1
M1.1.2
M1.1.3
M1.1.4
350 300 250
60 cm
70 cm
80 cm
5 cm
0.70
0.65
0.55
10 cm
0.64
0.62
0.59
15 cm
0.72
0.66
0.60
5 cm
0.48
0.56
0.53
10 cm
0.67
0.66
0.58
15 cm
0.60
0.60
0.61
5 cm 10 cm
0.48 0.65
0.49 0.57
0.50 0.56
15 cm
0.74
0.61
0.62
5 cm
0.47
0.50
0.54
10 cm
0.59
0.58
0.58
15 cm
0.55
0.61
0.53
h = 80cm
0.8
Cf h = 80cm
h = 70cm
0.7
Cf h = 70cm
h = 60cm
0.6
Cf h = 60cm
0.5
)200 N ( e150 c r o100 F
f0.4 C 0.3 0.2
50
0.1
0 -50
0 0
20
40
60
Time (s)
80
100
-0.1
0
20
40
60
80
100
Time (s)
Gambar 1. Contoh Rekaman Gaya Gelombang dan Nilai Cf pada Model M1.1.1 Atap Pelana dengan Lebar Dinding Interior 10 cm 2.1.
Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Gaya Gelombang Dan Nilai Cf pada Bangunan Atap Pelana Gaya gelombang akibat gelombang bore tsunami pada bangunan dengan atap pelana memiliki perilaku yang bervariasi.
h = 60cm h = 70cm h = 80cm
h = 60cm 350.00
) N ( g300.00 n a b m250.00 o l e G200.00 a y a G150.00
h = 70cm
1.00
h = 80cm
0.90 0.80 f 0.70 C 0.60 0.50 0.40
0
5
10
15
20
0
Lebar Dinding Interior (cm)
5
10
15
20
Lebar Dinding Interior (cm)
Ga ya Gelombang dan Gambar 2. Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Gaya nilai Cf pada Model M1.1.1 Dari perilaku gaya gelombang dan besar nilai Cf berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa pada bangunan dengan atap pelana dan porositas 20%, gaya gelombang yang terjadi antara 235.21 N – 318.21 318.21 N dan nilai C f berkisar 0.55 – 0.72. Terlihat bahwa baik besar gaya gelombang gelombang dan nilai Cf model M1.1.1 memiliki perilaku yang sama. Yaitu, pada tinggi tembok air 80 cm terlihat bahwa semakin lebar dinding interior bangunan semakin besar gaya gelombang dan nilai Cf yang yang terjadi. Sedangkan, pada saat tinggi tembok air 60 cm dan 70 cm terlihat bahwa besar gaya gelombang dan nilai C f turun saat lebar dinding interior 10 cm dan kemudian naik saat lebar dinding 15 cm. h = 60cm
) 350.00 N ( g300.00 n a b m o250.00 l e G a200.00 y a G
h = 70cm
1.00
h = 80cm
0.90
h = 60cm h = 70cm h = 80cm
0.80 f C 0.70 0.60 0.50 0.40
150.00
0
10 20 Lebar Dinding Interior (cm)
0
10 20 Lebar Dinding Interior (cm)
Gambar 3 Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Gaya Gelombang dan Nilai Cf pada Model M1.1.2 Pada bangunan dengan porositas 40% berdasar gambar 3 dan 4 di atas, gaya gelombang yang terjadi berkisar antara 176.40 N – 321.12 321.12 N dan nilai Cf yang terjadi berkisar 0.48 – 0.67. 0.67. Terlihat bahwa dengan tinggi tembok air 60 cm dan 70 cm, besar gaya gelombang dan nilai C f memiliki perilaku yang sama. Besar gaya gelombang dan nilai Cf saat lebar dinding interior 10 cm mengalami kenaikan dari lebar dinding interior 5 cm. Kemudian besar gaya gelombang dan nilai C f kembali turun saat lebar dinding 15 cm. Untuk tinggi tembok air 80 cm terlihat bahwa semakin lebar dinding interior, semakin besar pula gaya gelombang dan nilai C f yang terjadi.
h = 60cm h = 70cm h = 80cm
350.00 ) N ( 300.00 g n a b m o250.00 l e G a y a200.00 G
1.00
h = 60cm h = 70cm h = 80cm
0.90 0.80
f 0.70 C 0.60 0.50 0.40
150.00 0
10
20
0
Lebar Dinding Interior (cm)
10 20 Lebar Dinding Interior (cm)
Gambar 4 Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Terha dap Gaya Gelombang dan Nilai Cf pada Model M1.1.3 Pada bangunan dengan porositas 60% berdasarkan gambar 5 dan 6 menunjukkan hubungan bahwa semakin lebar dinding interior maka semakin besar gaya gelombang yang menghantam bangunan. Demikian pula dengan nilai Cf , semakin lebar dinding interior semakin besar pula nilai C f . Besar gaya gelombang yang terjadi berkisar antara 175.78 N – 324.87 324.87 N. Sedangkan, nilai Cf yang terjadi berkisar antara 0.48 – 0.48 – 0.74. 0.74. h = 60cm h = 70cm h = 80cm
350.00 ) N ( 300.00 g n a b m 250.00 o l e G a y200.00 a G
1.00
h = 60cm h = 70cm h = 80cm
0.90 0.80 f 0.70 C
0.60 0.50 0.40
150.00 0
10 20 Lebar Dinding Interior (cm)
0
10 20 Lebar Dinding Interior (cm)
Gambar 5 Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Terha dap Gaya Gelombang dan Nilai Cf pada Model M1.1.4 Pada bangunan dengan porositas 81%, besar gaya gelombang yang terjadi berkisar antara 175.21 N – 304.85 304.85 N dan nilai Cf yang terjadi 0.47 – 0.61. 0.61. Perilaku gaya gelombang saat tinggi tembok air 70 cm menunjukkan hubungan bahwa semakin lebar dinding interior semakin besar gaya gelombang yang terjadi. Sedangkan untuk tinggi tembok air 60 cm dan 80 cm terlihat bahwa gaya gelombang yang terjadi mengalami kenaikan saat lebar dinding interior 10 cm dan turun kembali saat lebar dinding interior 15 cm. Demikian pula dengan perilaku Cf . Dari hasil penelitian terhadap perilaku gaya gelombang pada bangunan dengan atap pelana dapat diperoleh perbandingan sebagai berikut.
290.00 ) N ( 270.00 g n a 250.00 b m230.00 o l e G210.00 a y 190.00 a G 170.00
300.00
) N 280.00 ( g n a 260.00 b m o l 240.00 e G a y220.00 a G
M1.1.1 M1.1.2 M1.1.3 M1.1.4
150.00
0
5
10
15
M1.1.2 M1.1.3 M1.1.4
200.00
20
Lebar Dinding Interior (cm)
M1.1.1
0
(a)
5
10
15
Lebar Dinding Interior (cm)
20
(b)
340.00 ) 320.00 N ( g n 300.00 a b 280.00 m o l e 260.00 G a 240.00 y a G 220.00
M1.1.1
200.00
M1.1.4
M1.1.2 M1.1.3
0
5
10
15
Lebar Dinding Interior (cm)
20
(c) Gambar 6 Pengaruh Lebar Dinding Interior Terhadap Terha dap Gaya Gelombang pada Atap Pelana dengan Tinggi Tembok Air : (a) 60 cm, (b) 70 cm, dan (c) 80 cm. Terlihat bahwa pada atap pelana menunjukkan gaya gelombang akan mengalami kenaikan saat lebar dinding interior 10 cm untuk setiap luas porositas dengan tinggi tembok air sama. Secara umum, gaya gelombang yang terjadi mengalami kenaikan seiring kenaikan lebar dinding interior saat tinggi tembok air 80 cm. Adanya porositas dinding bangunan menentukan banyak sedikitnya massa air yang masuk ke sisi dalam bangunan. Akibat adanya dinding interior dalam bangunan, perilaku air yang masuk ke dalam bangunan dapat menyebabkan tambahan gaya yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya refleksi air dari satu dinding ke dinding yang lain ataupun banyak sedikitnya air yang tertahan oleh dinding interior sehingga akan berpengaruh terhadap gaya ga ya yang bekerja Selain itu, adanya perputaran air di sisi bagian dalam bangunan juga akan berpengaruh terhadap gaya gelombang yang terjadi. Sehingga dimungkinkan terjadinya gaya yang lebih besar pada bangunan. Adanya variasi lebar dinding interior menghasilkan perubahan nilai C f . Berikut disajikan hasil perbandingan nilai Cf pada bangunan atap datar.
Gambar 7. Pengaruh Lebar Dinding Interior Selebar 5cm Terhadap Nilai C f pada Bangunan Atap Datar Datar 0.80 0.60 f C
0.40
h = 80cm h = 70cm h = 60cm
0.20 0.00 0%
20% 40% 60% Porositas dinding
80%
100%
Gambar 8. Pengaruh Lebar Dinding Interior Selebar 10cm Terhadap Nilai C f pada Bangunan Atap Datar Datar 0.90 0.80 0.70 0.60 f 0.50 C 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
h = 80cm h = 70cm h = 60cm
0%
20%
40%
60%
80% 100%
Porositas dinding
Gambar 9. Pengaruh Lebar Dinding Interior Selebar 15cm Terhadap Nilai C f pada Bangunan Atap Datar Datar
Dari hasil di atas pada bangunan dengan atap datar, nilai C f berkisar antara 0.49-0.79. Nilai Cf rata-rata yang diperoleh yaitu 0.64 untuk lebar dinding interior 5cm, 0.60 untuk dinding interior selebar 10cm, dan 0.66 untuk dinding interior selebar 15cm.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian yang dilakukan dalam naskah ini didanai oleh Hibah Kompetensi DP2M, Direktorat Jendral PendidikanTinggi, Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pemberi dana.
DAFTAR PUSTAKA Rahman, Mujibul., 2006, Pengaruh Bangunan Tembok Pantai Berporositas 40% da 60% Terhadap Reduksi Run Up Tsunami, Tsunami, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Risnawan, Aris., 2008, Pengaruh Tata Letak Bangunan Berkelompok Terhadap Run Up Tsunami, Tsunami, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Cahanar, P (editor), 2005, Bencana Gempa dan Tsunami Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Utara, Penerbit Kompas, Jakarta.. Jakarta.. Triatmodjo, B., 1999, Teknik Pantai, Pantai, Beta Offset, Yogyakarta Tyusanthan, Navaratnam I., Madabhushi, Gopal S.P., 2008, Tsunami Wave Loading on Coastal Houses Houses : A Model Approach.Proceedings Approach.Proceedings of ICE Lukkunaprasit,P., Ruangrassamee,A., Ruangrassamee,A., Thanasisathit,N., 2009, Tsunami Loading on Buildings With Openings. Science Sci ence of Tsunami Hazards, Hazards, Vol.28, No.5, page 307 Van de Lindt, John W., Gupta, Rakesh., Garcia, Rachel A., W. Jebediah., 200, Tsunami Bore Forces on A Compliant Residental Building Model. Model. Engineering Structures. Elsevier
KAJIAN GAYA GELOMBANG TSUNAMI PADA BANGUNAN MODEL TOKO
1)
Anita Puspita Negara Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Fakultas Teknik UGM Email:
[email protected] Email:
[email protected] 2) Radianta Triatmadja Professor, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Lingkungan Fakultas Teknik UGM
[email protected] Email:
[email protected] Email: Intisari Tsunami dapat diakibatkan oleh berbagai hal yang menyebabkan pemindahan massa air yang sangat besar dari kondisi seimbangnya. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada lempeng bumi yang labil dan memiliki wilayah pantai yang sangat panjang. Lempeng bumi yang labil ini mempunyai potensi besar untuk memicu terjadinya pemindahan masa air, akibat pergerakan lempeng secara mendadak pada dasar laut dalam yang memungkinkan terjadinya tsunami di Indonesia. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mitigasi bencana tsunami dalam upaya mengurangi kerugian yang dapat ditimbulkan salah satunya penelitian yang terkait dengan tsunami. Penelitian harus dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas mitigasi. Sehingga penelitian ini muncul yang melalui bidang ketekniksipilan yang berkeinginan meningkatkan daya tahan struktur bangunan pada kawasan pesisir, khususnya pada bangunan tipe toko yang banyak ditemukan di daerah pesisir Indonesia. Dimulai dengan mempelajari kekuatan gaya gelombang tsunami, sehingga dapat memberikan petunjuk bagi pembangunan bangunan tipe toko di kawasan pesisir untuk meminimalisir dampak kehancuran dari tsunami. Petunjuk ini dapat menjadi masukan bagi perencanaan dan desain bangunan di kawasan pesisir sebagai tujuan utama dari mitigasi bencana tsunami.
K ata kunci : Tsunami, Gaya Gelombang I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Gempa bumi di Sumatera pada tahun 2004 silam telah melahirkan tsunami yang dampak kehancurannya terus diingat hingga kini. Banyaknya bangunan yang hancur saat itu membuat masyarakat mulai tersadar akan adanya bahaya tsunami yang mengancam. Kecemasan akan kemungkinan adanya tsunami berikutnya di Indonesia membuat diadakannya penelitian ini, karena banyak ditemukan bangunan toko pada kawasan pesisir Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh gaya dan arah gelombang tsunami pada bangunan tipe toko. Toko berbeda dengan berbagai bangunan lainnya la innya yaitu bagian depan terbuka atau hanya tertutup oleh kaca atau tripleks yang tidak tahan terhadap gaya gelombang tsunami. Gelombang yang
masuk bangunan tipe toko akan terperangkap dan terrefleksikan. Dengan demikian perubahan momentum gelombang tsunami pada bangunan toko menjadi lebih besar. Sehingga bentuk toko ini memungkinkan terjadinya nilai C f yang lebih besar dibanding bangunan yang lebih mudah dilewati gelombang tsunami. 1.2.
Gaya Gelombang Penelitian ini akan meninjau pengaruh gaya gelombang tsunami pada bangunan kotak model toko. Gaya gelombang pada bangunan kotak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Morisson sebagai berikut:
=
1 2
. . .
2
(1.1)
dimana: F D = gaya (N) C D = koefisien drag (tergantung pada bentuk bangunan yang terkena gelombang) ρ ρ = massa jenis air (N/m2) A A = luasan bidang yang terkena gelombang (m2) u = kecepatan aliran (m/s) Gaya gelombang tsunami yang digunakan dalam analisis ini adalah gaya maksimum pertama yang mengenai model. Maka dalam penelitian ini kurang tepat bila menggunakan persamaan Morisson dengan koefisien drag (C ( C D), karena persamaan ini lebih tepat jika digunakan di gunakan pada saat gaya gelombang tsunami mulai menyeret model (drag (drag force). force). Menurut Triatmadja dan Nurhasanah pada penelitian kali ini digunakan persamaan gaya gelombang : (1.2) = . . . u2
=
(1.3)
dimana: F = gaya (N) C f = koefisien karena kecepatan gelombang, ujung gelombang, bentuk bangunan, dan luasan bangunan = ½ C D ρ = massa jenis air (N/m2) A A = luasan bidang yang terkena gelombang (m2) u = kecepatan aliran (m/s) k = koefisien Chanson g = percepatan gravitasi (m/s2) ho = tinggi air di hulu (m) Nilai k diperoleh dari grafik hubungan dari penelitian Hubert Chanson, 2006. Untuk penelitian ini nilai k adalah adalah 1,12 (saat h = 0,6 m), 1,14 (saat h = 0,7 m), dan 1,16 (saat h = 0,8 m) didapat dari Triatmadja dan Nurhasanah Report, 2010.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2.1. Hasil Pencatatan Gaya Gelombang Tabel 2.1 Hasil Pencatatan Gaya Gelombang pada Model Bangunan Toko GAYA GELOMBANG (N) VARIASI
ho (cm)
SOLID (TERTUTU ( TERTUTUP) P) TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
80
175.967
635.871
491 491.821 .821
70
161.106
433.983
487 487.471 .471
60
126.809
429.599
476 476.261 .261
ho (cm)
VARIASI M1.1.0 (POROSITAS BELAKANG 0%) TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
70
263.490
581.850
418 418.625 .625
60
119.186
309.855
417 417.097 .097
40
65.976
247.084
314.563
ho (cm)
VARIASI (POROSITAS BELAKANG 20%) M1.1.1 TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
80
289.305
601.644
728 728.317 .317
70
127.993
423.901
616 616.268 .268
60
99.729
275.696
429.064
ho (cm)
VARIASI M1.1.2 (POROSITAS BELAKANG 40%) TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
80
125.067
320.324
624 624.181 .181
70
90.919
275.369
562.775
60
89.046
ho (cm)
226.206 483.738 VARIASI M1.1.3 (POROSITAS BELAKANG 60%)
TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
80
87.229
224.703
411.140
70
65.346
156.514
445.025
60
51.706
140.729
478.443
2.2.
Hasil Perhitungan Nilai Cf Tabel 2.2 Nilai C f pada Model Bangunan Toko Toko
C f VARIASI SOLID
ho (cm) 80
TOKO 1 0.741
TOKO 3 0.892
TOKO 5 0.414
70 60
0.802 0.763
0.720 0.862
0.486 0.573
ho (cm)
VARIASI M1.1.0
70 60
TOKO 1 1.312 0.717
TOKO 3 0.966 0.622
TOKO 5 0.417 0.502
40
0.641
0.800
0.611
ho (cm)
VARIASI M1.1.1
80
TOKO 1 1.218
TOKO 3 0.844
TOKO 5 0.613
70 60
0.637 0.600
0.704 0.553
0.614 0.517
ho (cm) 80 70 60
ho (cm) 80 70 60
VARIASI M1.1.2 TOKO 1
TOKO 3
TOKO 5
0.526 0.453 0.536
0.449 0.457 0.454
0.525 0.561 0.582
VARIASI M1.1.3 TOKO 1 0.367 0.325
T3 0.315 0.260
TOKO 5 0.346 0.443
0.311
0.282
0.576
2.3.
Analisis Pengaruh Jumlah Toko Terhadap Gaya Jumlah toko disini dapat dikaji melalui luas penampang bangunan yang terkena gaya gelombang tsunami. Sesuai persamaan (1.2) yang dipakai : = . . . u2
Dari persamaan ini dapat disimpulkan bahwa luas penampang berbanding lurus dengan besarnya gaya. Maka semakin besar luas penampang bangunan yang
dapat terhantam oleh gelombang, akan semakin besar gaya gelombang yang akan terjadi. T1
T3
T5
Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan antara gaya dan jumlah toko
Sebagai contoh akan disajikan salah satu hasil pengujian yang akan memperlihatkan hubungan antara jumlah toko dan besar gaya gelombang. Gaya Gelombang pada M1.1.1 ho=70 cm ) 700 N ( 600 g n 500 a b 400 o 300 m l e G 200 a y 100 a G
0
T1
T3
T5
Jumlah Toko
J umlah Toko Gambar 2.2 Grafik Hubungan Gaya Gelombang dan Jumlah pada M1.1.1 ho=70 cm 2.4.
Analisis Pengaruh Refleksi Gelombang Terhadap Gaya Seperti kita ketahui, bangunan toko berbeda dengan berbagai bangunan
pada umumnya yaitu bagian depan terbuka atau hanya tertutup oleh kaca atau tripleks yang tidak mampu menahan hempasan gaya gelombang tsunami dan karena bagian belakang toko berupa dinding tidak tembus air maka sehingga akan terjadi refleksi gelombang. Oleh karena itu gaya gelombang tsunami pada bangunan toko akan menjadi lebih besar.
Gambar 2.3 Ilustrasi Kemungkinan Gelombang Tertangkap dan Terrefleksi Karena Bentuk Bangunan Toko
Dapat pula dilihat dari perbandingan gaya yang terjadi antara model toko solid (tertutup bagian depan dan belakang) dan model toko terbuka depan. Perbadingan Gaya pada Bangunan Tertutup dan Bangunan Toko ) 700 N ( 600 g 500 n a b 400 m 300 o l e 200 G a 100 y a 0 G
Solid M1.1.0 T1
T3 Jumlah Toko
Gambar 2.4. Perbadingan Gaya pada Bangunan Tertutup dan Bangunan Toko 2.5.
Analisis Pengaruh Porositas Terhadap Gaya Porositas akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang yang diterima oleh model bangunan. Pada prinsipnya, semakin besar porositas, berarti akan semakin besar air yang terloloskan dan tidak menghantam bangunan, sehingga akan memperkecil gaya gelombang yang mengenai model. Akan tetapi perlu diperhatikan pula porositas yang tepat, karena bila porositas yang digunakan pada bangunan tidak tepat, te pat, hal tersebut akan menambah luasan bangunan yang terkena gelombang (karena jumlah air yang terloloskan tidak sebanding dengan luas dinding dalam yang terkena gelombang) dan akan menyebabkan gaya gelombang yang menghantam bangunan menjadi lebih besar. Hubungan Antara Gaya Gelombang dan Porositas ) 700 N 600 ( g n a 500 b 400 m o 300 l e G 200 a y 100 a G
T1, ho=60 cm T1, ho=70 cm T3, ho=60 cm
0
T3 ho=70 cm 0%
20%
40%
60%
Porositas
Gambar 2.5 Grafik Perbandingan Gaya Gelombang dan Porositas III.
KESIMPULAN Sebaiknya untuk pembangunan toko di kawasan pesisir yang menghadap
ke arah pantai, tidak dilakukan dengan berdempetan antara toko satu dengan toko
yang lain, karena hal tersebut dapat memperbesar gaya gelombang tsunami yang akan menghempas toko. Kemudian untuk desain toko dengan porositas belakang misal terdapat pintu atau jendela, harap memperhatikan besar porositasnya. Karena porositas yang tidak tepat akan memperbesar gaya gelombang tsunami yang mengenai bangunan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Ir. Radianta Triatmadja, PhD atas bimbingan selama penelitian dan penulisan. Selain itu tak lupa ucapan terimasih ditujukan kepada Ibu Any Nurhasanah, Annuur Salaam, Enggar Laksito Ardhi, dan Titi Agustiani atas bantuan selama proses penelitian. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang selalu memberikan semangat dan cinta yang besar yaitu, Bapak S. Teguh Waluyo dan Ibu S. Nur Aini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bantuan dana penelitian dari Hibah Kompetensi DP2M, Direktorat Jendral PendidikanTinggi, Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Chanson, H., 2006, Tsunami Surges on Dry Coastal Plains Application of Dam Break Wave Equations, Equations, Coastal Engineering Journal, Vol. 48, No. 4, World Scientific Publishing Company and Japan Society of Civil Engineers. Fujima K. et al, 2009, Estimation of Tsunami Force Acting on Rectangular Structures, Journal Structures, Journal of Disaster ResearchVol.4 No.6. Triatmadja, R., Nizam, Nurhasanah, A., 2009, Tsunami Wave Force on Cylindrical Piles Structures, Structures, accepted for presentation in International Seminar on “Climate Change Impact on Water Resources and Coastal Management in Developing Countries”, Manado 11-13 11 -13 May 2009.
KAJIAN GAYA GELOMBANG TSUNAMI PADA BANGUNAN BERPOROSITAS DENGAN VARIASI LEBAR PENGHALANG DI DEPAN BANGUNAN
1)
Annuur Salaam Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Sipil Sipil dan Lingkungan FT UGM Email:
[email protected] Email:
[email protected] Radianta Triatmadja2) Professor, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Lingkungan FT UGM Email:
[email protected] Email:
[email protected] Intisari Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia (Diposaptono, 2006). Tidak jarang dari gempa tersebut mengakibatkan terjadinya gelombang tsunami. Gaya yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami sangat besar sehingga dapat merusak segalanya, hanya beberapa bangunan yang terhindar dari kerusakan yaitu bangunan yang kuat dan memiliki porositas dinding seperti masjid. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko bencana tsunami adalah penataan kawasan pesisir. Lubang (pintu dan jendela) akan berpengaruh terhadap besarnya gaya gelombang tsunami yang diterima bangunan. Penghalang di depan bangunan juga akan sangat berpengaruh terhadap gaya gelombang yang diterima di terima bangunan dibelakangnya. Penghalang ini dimodelkan sebagai bangunan yang lebih besar dan kuat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh besarnya gaya gelombang tsunami pada banguan akibat pengaruh porositas pada bangunan dan lebar penghalang di depan bangunan yang divariasikan, yang hasilnya dapat digunakan untuk perancangan penataan penataan kawasan kawasan pesisir rawan tsunami. tsunami.
K ata kunci : Tsunami, Gaya Gelombang I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan daerah rawan tsunami karena letaknya yang berada pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi yang sangat aktif, ketiga lempeng tersebut yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Begitu besar gaya yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami sehingga semua fasilitas umum, rumah dan bangunan lainnya hancur diterjang kedahsyatan gelombang tsunami, hanya beberapa bangunan yang terhindar dari kerusakan yaitu bangunan yang kuat dan memiliki porositas dinding seperti masjid. Bencana tsunami tidak mungkin dicegah, yang mungkin dilakukan adalah mengurangi resiko atau dampak negatifnya semaksimal mungkin. Tindakan untuk mengurangi resiko bencana tsunami dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok,
yaitu sistem peringatan dini, prosedur evakuasi, perlindungan pantai, dan perencanaan tata ruang pantai. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko bencana tsunami adalah penataan kawasan pesisir dengan perbaikan peraturan mengenai struktur-struktur teknik sipil. Bangunan rumah selalu memiliki lubang (pintu dan jendela) yang akan berpengaruh terhadap besarnya gaya ga ya gelombang tsunami t sunami yang diterima bangunan. Penghalang di depan bangunan juga akan sangat berpengaruh terhadap gaya gelombang yang diterima diteri ma bangunan dibelakangnya. dibelakangnya. 1.2. Kajian Pustaka 1.2.1. Gelombang Tsunami dan Daya Rusaknya Tsunami adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertical dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan
kecepatannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km/jam dan ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga 30 km/jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter (Wikipedia.org). Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain: Triatmadja, Nizam, Nurhasanah (2008) melakukan penelitian tentang besarnya gaya gelombang tsunami pada tiang silinder. Pada penelitian ini menghitung besarnya koefisien drag (Cd) pada tiang silinder. Koji (2007), meneliti gaya gelombang pada bangunan. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran gaya gelombang pada bangunan dengan variasi jarak bangunan dari garis pantai. Triatmadja, Risnawan, Widhiana (2007) melakukan penelitian model fisik tentang pengaruh pola bangunan tunggal dan berkelompok terhadap run-up run-up tsunami. Pada penelitian ini dilakukan simulasi model fisik untuk mengetahui pengaruh pola tata letak bangunan yang berkelompok maupun yang tunggal terhadap run-up run-up tsunami. tsunami.
Miles (2007), meneliti pengaruh beban pada rumah kayu. Penelitian ini menghitung besarnya gaya akibat gelombang pada rumah kayu. ka yu. 1.2.2. Gaya Gelombang Gaya gelombang
pada
bangunan
kotak
menggunakan persamaan Morisson sebagai berikut: 1 = 2 2 Keterangan: FD = gaya A = luasan bidang yang terkena gelombang ρ = massa jenis air u = kecepatan aliran CD = koefisien drag Dimana:
dapat
dihitung
dengan
(1.7)
(1.8) = Keterangan: k = koefisien g = percepatan gravitasi h = tinggi air di hulu Nilai k diperoleh dari grafik hubungan antara kecepatan dan k, pada penelitian kali ini diperoleh nilai k sebesar 1.12 untuk h=70 cm, 1.14 untuk h=70 cm, dan 1.16 untuk h=80 cm (Triatmadja dan Nurhasanah report, 2010). Sehingga menurut Triatmadja dan Nurhasanah, persamaan gaya gelombang dapat ditulis menjadi:
=
=
1
2 1 2
k 2 g h
(1.9) (1.10)
1.2.3. Refleksi dan Difraksi Gelombang Refleksi gelombang adalah proses terpantulnya gelombang oleh suatu
kondisi atau bangunan tertentu. Prosesnya sama dengan refleksi cahaya pada cermin, yaitu sudut datang sama dengan sudut pantul. Apabila gelombang melewati bagian yang tidak tembus air (impermeabel), maka gelombang akan terhenti. Jika sebagian gelombang tidak tertahan bangunan impermeabel dan sebagian lain tertahan, maka sebagian gelombang akan terus, sedang bagian yang terhadang bangunan impermeabel terhenti. Perairan di belakang bangunan impermeabel ternyata juga bergelombang. Ini berarti telah terjadi aliran energi di sepanjang puncak gelombang, proses ini disebut difraksi.
II. 2.1.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gaya Gelombang Tabel 2.1. Hasil Pengukuran Gaya Gelombang pada Model Force (N) Variasi M1.1.0 (porositas 0 %) Penghalang h=60 cm h=70 cm h=80 cm 151.577 189.927 230.639 No Barrier
2.2.
L=20 cm L=40 cm L=60 cm
116.405 43.430 17.459
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
164.155 100.361 52.791 18.825
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
109.544 85.753 37.238 7.574
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
85.039 73.355 14.438 6.155
121.552 99.294 68.067 M1.1.1 (porositas 20 %) 152.192 92.896 62.981 114.871 M1.1.2 (porositas 40 %) 153.293 87.268 43.523 20.145 M1.1.3 (porositas 60 %) 119.400 81.576 26.251 10.703
136.561 122.281 130.507 207.230 109.150 88.943 77.565 146.513 90.267 49.569 42.440 139.818 77.323 33.759 25.212
Nilai Cf
Variasi Penghalang
No Barrier
Tabel 2.2. Nilai Cf Cf M1.1.0 (porositas 0 %) h=60 cm h=70 cm 0.513 0.532
L=20 cm L=40 cm L=60 cm
0.394 0.297 0.059
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
0.556 0.339 0.196 0.125
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
0.371 0.290 0.126 0.069
0.340 0.278 0.241 M1.1.1 (porositas 20 %) 0.427 0.260 0.176 0.321 M1.1.2 (porositas 40 %) 0.429 0.244 0.122 0.056
h=80 cm 0.546
0.323 0.289 0.309 0.490 0.258 0.210 0.183 0.346 0.213 0.119 0.100
No Barrier L=20 cm L=40 cm L=60 cm
0.287 0.248 0.053 0.021
M1.1.3 (porositas 60 %) 0.334 0.228 0.073 0.029
0.331 0.183 0.079 0.059
2.3.
Pengaruh Porositas Terhadap Gaya Porositas sangat berpengaruh terhadap besarnya gaya gelombang yang diterima oleh model bangunan. Model dengan porositas 0 % (tanpa lubang) menerima gaya yang lebih besar dibandingkan dengan gaya pada bangunan berlubang, hal ini dapat terjadi karena pada model tanpa lubang, gelombang yang mengenai model tertahan seluruhnya oleh model dan gelombang terefleksi maksimal tanpa ada air yang lolos di belakang model. Refleksi Tidak ada air yang lolos
Model 0%
Gambar 2.1. Sketsa Refleksi Gelombang pada Model Tanpa Lubang Tampak Atas
Lain halnya dengan model bangunan yang berlubang (berporositas), gelombang yang mengenai model akan terefleksi sebagian, dan sebagian yang lain akan diteruskan melalui lubang pada model. Jumlah air yang lolos berbanding lurus dengan jumlah luasan lubang, maka semakin besar lubang (semakin besar porositas) pada bangunan maka semakin banyak air yang lolos sehingga gaya gelombang yang diterima oleh model bangunan semakin kecil keci l
Refleksi
Model Berporositas
Air ada yang lolos
Gambar 2.2. Aliran Gelombang pada Model Berporositas
Semakin besar porositas bangunan, maka jumlah air yang menghantam bangunan semakin kecil, dengan kata lain air yang lolos akan lebih besar volumenya. Hal ini mengakibatkan gaya gelombang yang mengenai bangunan semakin kecil. 250 200 ) N150 ( e c r o 100 F
h=60 cm
50
h=80 cm
h=70 cm
0 0%
20%
40%
60%
80%
Porositas
Gambar 2.3. Grafik Hubungan antara Porositas dengan Gaya Gelombang (Penghalang L=20 cm) 2.4.
Pengaruh Lebar Penghalang Terhadap Gaya Bangunan penghalang berfungsi sebagai penghambat laju gelombang tsunami dan sekaligus melindungi bangunan di belakangnya dari terjangan gelombang tsunami. Bangunan yang lebih besar dan kuat akan lebih melindungi bangunan di belakangnya belakangnya dibandingkan dengan bangunan yang lebih kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar lebar penghalang di depan model bangunan maka gaya yang diterima oleh model bangunan semakin kecil. Hal ini dikarenakan gelombang mengalami refleksi dan difraksi pada bangunan penghalang. Selain itu, gelombang yang datang mengalami pembelokan arah oleh bangunan penghalang sebelum mengenai model, sehingga semakin lebar penghalang maka semakin lama pula gelombang untuk berkumpul kembali.
Belum terisi air
Penghalang
Difraksi
Refleksi
Model
Gambar 2.4. Refleksi dan Difraksi Gelombang
250 200 ) N 150 ( e c r F o 100
50 0 0
20
40
60
80
Lebar Penghalang (cm)
Gambar 2.5. Grafik Hubungan antara Lebar Penghalang dengan Gaya Gelombang (Porositas 20%, h=80 cm)
Dari grafik di atas menunjukkan bahwa semakan besar lebar penghalang, maka gaya yang diterima bangunan semakin kecil. Hasil penelitian menunjukan besarnya reduksi gaya bertambah seiring bertambahnya lebar penghalang. Berikut besarnya reduksi gaya pada masing-masing lebar penghalang. Tabel 2.3. Reduksi Gaya Rata-rata Lebar Penghalang (cm) Reduksi Gaya (%) 20 cm 34.87 40 cm 65.855 60 cm 74.035 80 ) %60 ( a y a G40 i k s u d 20 e R
0 0
20
40
60
80
Lebar Penghalang (cm)
Gambar 2.6. Grafik Hubungan antara Lebar Penghalang dengan Reduksi Gaya 2.5.
Hubungan Gaya dengan Nilai Cf Berdasarkan persamaan Morrison, nilai C f berbanding lurus dengan Gaya (F). Semakin besar gaya yang terjadi, maka semakin besar pula nilai Cf -nya, akan tetapi kenaikan nilai Cf tidak terlalu signifikan bahkan relatif sama jika dilihat dari
perbedaan kondisi muka air hulu.
Semakin besar lebar penghalang maka gaya yang terjadi pada bangunan semakin kecil, sehingga nilai C f -nya semakin kecil pula. Begitu pula dengan porositas, semakin besar porositas bangunan maka gaya yang terjadi semakin kecil sehingga nilai Cf semakin kecil. Hal ini telah dijelaskan pada subbab di atas. 0.6 0.5 0.4
No barrier
f
C 0.3
L=20 cm
0.2
L=40 cm
0.1
L=60 cm
0 0%
20%
40%
60%
80%
Porositas
Gambar 2.7. Grafik Nilai Cf UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian yang dilakukan dalam naskah ini didanai oleh Hibah Kompetensi DP2M, Direktorat Jendral PendidikanTinggi, Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepada pemberi dana. DAFTAR PUSTAKA Rahman, Mujibul., 2006, Pengaruh 2006, Pengaruh Bangunan Bangunan Tembok Pantai Berporositas Berporositas 40% da 60% Terhadap Reduksi Run Up Tsunami, Tsunami, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Risnawan, Aris., 2008, Pengaruh 2008, Pengaruh Tata Letak Bangunan Bangunan Berkelompok Terhadap Run Up Tsunami, Tsunami, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Fujima K., 2006, Measurement of Wave Force Acting on Buildings, Buildings, National
Defense Academy of Japan, Japan. Miles, J., 2006, Surge Impact Loading on Wood Residential Structures, Structures , Proceedings of 2007 Earthquake Engineering Symposium for Young Researchers, Washington, 8-12 Agustus Nurhasanah, A., Triatmadja, R., Nizam, 2008, Pengaruh Pola Tata Letak Bangunan di Kawasan Pesisir terhadap Run-up Tsunami, Tsunami, Prosseding Konteks II, Universitas Atmajaya Atmaja ya Yogyakarta, pp.143-152 Triatmadja, R., Nizam, Nurhasanah, A., 2009, Tsunami Wave Force on Cylindrical Piles Structures, Structures, accepted for presentation in International Seminar on “Climate Change Impact on Water Resources and Coastal Management in Developing Countries”, Manado 11-13 11 -13 May 2009
BANGUNAN PENGAMANAN PANTAI BENGKULU
Fitri Riandini dan Syamsudin Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengembangan Sumber Sumber Daya Air Email:
[email protected] Email:
[email protected] Intisari Propinsi Bengkulu mempunyai pantai sepanjang ±391,00 km; menghadap ke Barat ke Samudera Indonesia. Sebagian besar pantai mengalami erosi dan telah berlangsung sejak lama. Sebagaian pantai yang mengalami erosi tersebut telah mengancam dan merusakan merusakan sarana dan prasarana yang berada di tepi pantai. Prasarana yang penting yang mengalami kerusakan kerusakan adalah jalan raya yang menghubungkan menghubungkan kota Bintuhan - Manna – Bengkulu - Padang. Sementara kawasan wisata yang terancam adalah kawasan wisata Pasar Bawah, Manna dan kawasan pemukiman yang mengalami kerusakan adalah kawasan pemukiman nelayan Kota Bengkulu. Usaha penanggulangan telah dilakukan pada sebagian pantai bermasalah, dengan pembuatan bangunan pengamanan pantai yang diklasifikasikan dalam 6 tipe. Untuk mengetahui kinerja dari bangunan-bangunan tersebut perlu dilakukan penelitian. Penelitan yang dilakukan merupakan penelitian lapangan; meliputi pemantauan kondisi bangunan, pengukuran profil melintang pantai dan bangunan dengan alat ukur waterpass dan pengukuran situasi dengan alat ukur GPS. Penelitian dilakukan pada bulan April 2010. Dari hasil pemantauan dan pengukuran kemudian dibuat evaluasi dan pembahasan mengenai mengenai kinerja kinerja bangunan. Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan memberikan informasi mengenai bangunan pengamanan pantai yang ada di propinsi Bengkulu, antara lain meliputi jenis bangunan pengamanan pantai, dimensi, kestabilan dan kinerja bangunan. Pada bangunan yang kurang baik diberikan saran perbaikannya, dan pada bangunan yang baik dapat dijadikan contoh dalam usaha penanggulangan erosi di tempat lain pada kondisi permasalahan permasalahan yang serupa.
K ata kunci : erosi pantai, bangunan pengamanan pantai I.
PENDAHULUAN Erosi pantai pada sebagian pantai propinsi Bengkulu telah berlangsung sejak lama. Belum adanya penelitian yang rinci dan terpadu maka erosi pantai diperkirakan akibat adanya pengambilan material pantai dan sungai serta perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan keseimbangan pantai. Erosi pantai telah merusakan badan jalan, kawasan wisata, kawasan pemukiman perkebunan dan hutan. Usaha penanggulangan telah dilakukan pada sebagian pantai ditinjau dari segi prioritas dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi. Jalan raya yang mengalami kerusakan adalah sebagian jalan di tepi pantai yang menghubungkan kota Bintuhan - Manna – Manna – Bengkulu – Bengkulu – Padang. Padang. Pada sebagian lokasi usaha penanggulangan dilakukan dengan pemindahan jalan ke arah darat, dan sebagian lagi dengan membuat bangunan pengamanan pantai.
Sementara itu pada kawasan lokasi wisata dan pemukiman usaha penanggulangan dilakukan dengan pembuatan bangunan pengamanan pantai. Untuk keseluruhan pantai di propinsi Bengkulu, bangunan pantai terdiri dari 6 tipe. Gambar 1 memperperlihatkan peta propinsi Bengkulu termasuk pantai-pantai yang bermasalah. Keterangan : 0
0
40 40
60
80
100K
Lokasi
kerusakan pada
Panjang Bangunan
6
Bintuhan
Badan Jalan
Manna
Kawasan Wisata
1500 m
3
Bengkulu
Pemukiman Pemukiman
2000 m
4
S. Lais
Badan Jalan
280 m
Ketahun
Badan Jalan
1100 m
Mukomuko
Badan Jalan
2360 m
1 2
5
4
3
5 6
2
320 m
1
Gambar 1. Peta propinsi Bengkulu
Untuk mengetahui kinerja dari bangunan-bangunan pengamana pantai tersebut perlu dilakukan penelitian. Penelitian yang telah dilakukan merupakan penelitian lapangan, meliputi pemantauan kondisi bangunan, pengukuran profil melintang pantai dan bangunan dengan alat ukur waterpass dan pengukuran situasi dengan alat ukur GPS. Selain itu dilakukan pula kajian terhadap studi-studi yang dilakukan terdahulu dan landasan teorinya. Dari hasil penelitian lapangan dan hasil kajian serta landasan teori kemudian dibuat evaluasi dan pembahasan. Pada bangunan yang kurang baik diberikan saran perbaikannya dan pada bangunan yang baik dapat dijadikan contoh dalam usaha penanggulangan erosi di tempat lain pada kondisi permasalahan yang serupa. Balai Wilayah Sungai Sumatera IV telah melakukan me lakukan survai, investigasi dan desain (SID) tahun 2003 dan 2007. SID 2003 pada lokasi pantai antara KM35 – KM75 dan SID 2007 pada lokasi pantai KM 130 s.d. KM 160 di kabupaten Bengkulu Utara. Dari hasil SID disarankan pembuatan bangunan pengamanan pantai pada sebagian pantai dari susunan buis beton diisi siklop sesuai dengan pangamanan pantai yang telah dibuat di pantai kota Bengkulu. Sebagian lagi la gi dari revetment tipe rubble mound dari susunan batu kosong. Sampai tahun 2010 bangunan pengamanan pantai yang telah dilakukan meliputi lokasi-lokasi Air Long Bintuhan, Pasar Bawah Manna, kota Bengkulu, Dusun Raja, Sungai Lais, Air Dikit, Serangai dan Air Padang.
Pengkajian kinerja yang dilakukan dalam aspek engineering meliputi : - perkiraan tinggi gelombang pecah pecah rencana - tinggi rayapan dan dimensi armor Triatmodjo, B. (1999) telah memberikan grafik tinggi gelombang rencana yang disajikan pada gambar 2. Tinggi gelombang pecah rencana tergantung dari besaran-besaran ds/gT2, Hb/ds dan kemiringan dasar pantai (m). Selain itu diberikan pula cara menghitung tinggi rayapan dengan menggunakan grafik Irribaren (gambar 3) yang memberikan hubungan antara Ru/H, bilangan Irribaren (Ir) dan jenis permukaan struktur. Ru adalah tinggi rayapan dan H adalah tinggi gelombang di depan struktur. Bilangan Irribaren dirumuskan dengan
=
tan
,
(1)
0.5
0
dimana : = kemiringan talud; H = tinggi gelombang di depan bangunan; L0 = panjang gelombang perairan perairan dalam = 1,56 T2
Gambar 2. Tinggi gelombang pecah rencana
Gambar 3. Grafik Irribaren
Shore Protection Manual (1984) memberikan rumus Hudson untuk menghitung dimensi armor sebagai berikut:
=
, − − . 3
Kd 1 3 cot cot
(2)
dimana : W = berat setiap unit armor (kg); = berat jenis armor (kg/m 3); H = tinggi gelombang rencana (m); Kd = koefisien kestabilan armor yang tergantung dari jenis armor; Sr = / , di mana : = berat jenis air laut (1025 kg/m3); = kemiringan talud.
Syamsudin dkk (2004) telah melakukan penelitian jenis armor blok beton bergigi yang dipasang bercelah di laboratorium. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan jenis armor dengan koefisien kestabilan yang tinggi sehingga diperoleh berat armor yang lebih ringan dan pemasangannya lebih mudah serta tidak perlu menggunakan alat-alat berat. Adanya celah dimaksudkan untuk
mengurangi volume beton dan mengurangi tinggi rayapan karena limpasan gelombang pada struktur akan masuk ke dalam celah. Adanya gigi dimaksudkan agar terjadi ikatan antara blok beton yang satu dengan blok beton yang lainnya. Di belakang blok beton dipasang lapisan pengisi dari susunan batu kosong. Air rayapan yang masuk ke celah langsung masuk ke lapisan susunan batu kosong. Dari hasil penelitian telah diperoleh harga Kd = 39 dan rayapan yang terjadi sesuai dengan lapisan permukaan rip rap Ahren (lihat Gambar 3). II.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemantauan di propinsi Bengkulu terdapat 6 (enam) tipe bangunan pengamanan pantai yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut. Tipe 1. Bangunan pantai tipe 1 merupakan tembok laut la ut terdiri dari ssusunan usunan buis beton diisi siklop, dibuat sepanjang 3675 meter pada lokasi-lokasi : - Pantai Kota Bengkulu sepanjang 2000 meter - Pantai Pasar Bawah, Manna sepanjang 1500 meter - Pantai Dusun Raja, Sungai Lais sepanjang 200 meter - Pantai Air Dikit Muko-muko sepanjang 1175 meter Dari beberapa bangunan yang diukur elevasi mercu bangunan rata-rata + 3,70 atau ± 2.20 dari HWL, di mana HWL ditetapkan pada +1,50 dan LWL pada ± 0,00. Dengan elevasi mercu tersebut maka dari informasi yang diperoleh di peroleh rayapan gelombang tidak mencapai puncak. Untuk melindungi kaki struktur telah
dipasang pelindung kaki dari susunan batu kosong dengan 0.40 0.40 – – 0.70 0.70 m selebar 5 meter. Dari hasil pemantauan terlihat bahwa seluruh struktur dengan tipe 1 ini telah berfungsi dengan baik dan cukup stabil. Pada gambar 4 disajikan potongan melintang bangunan pengamanan pantai tipe 1.
Gambar 4 Bangunan pengaman pantai Tipe 1
Tipe 2. Bangunan tipe 2 adalah revetment dengan armor dari susunan batu kosong. Bangunan pengamanan pantai tipe 2 ini telah dibuat pada lokasi-lokasi : - Pantai Serangai, Ketahun sepanjang 600 meter - Pantai Urai, Ketahun sepanjang 120 meter - Pantai Air Padang S. Lais sepanjang 80 meter
-
Pantai Air Dikit Muko-Muko sepanjang 300 meter
Dari hasil pemantauan didapat data teknis rata-rata bangunan sebagai berikut : - diameter rata-rata armor batu kosong 0,50 meter; - tinggi struktur 2,00 meter; lebar mercu 2,00 meter; - Kemiringan talud 1 : 1,5 : - Elevasi mercu +2,50. Pada Gambar 5. disajikan potongan melintang bangunan pengamanan pantai tipe 2.
Gambar 5. Bangunan pengaman pantai Tipe 2 Tipe 3. Bangunan pengamanan pantai tipe 3 terdiri dari blok-blok beton yang disusun 3 tingkat sebagai penutup geobag. Di belakang blok beton dipasang susunan batu kosong selebar 2 meter. Dimaksudkan untuk menampung air limpasan gelombang dan air hujan. Bangunan pengamanan pantai tipe 3 ini dibuat pada lokasi Air Dikit, Muko-Muko sepanjang 815 meter. Data teknis bangunan pantai tipe 3 adalah sebagai berikut: - ukuran blok beton 0,8 x 0,8 x 1 meter; - tinggi struktur 2,4 meter; - elevasi mercu +2,4. Pada gambar 6 disajikan potongan melintang bangunan pengamanan pantai tipe 3.
Gambar 6 Bangunan Pengamanan Pantai Tipe 3
Tipe 4. Bangunan tipe 4 ini terdiri dari susunan kubus beton yang dipasang secara teratur dan diikat dengan spesi semen. Bangunan tipe 4 ini telah dibuat pada lokasi pantai Air Long, Bintuhan sepanjang 320 meter. Data teknis bangunan adalah sebagai berikut:
- - - -
Ukuran sisi kubus 0,5 meter Kemiringan talud 1 : 1,5 Lebar mercu 2 meter Elevasi mercu +2,70 Pada gambar 7 disajikan potongan melintang bangunan pengamanan
pantai tipe 4. Bangunan tipe 4 ini dipasang di pantai berkarang. Dari informasi yang diperoleh tidak pernah terjadi limpasan lewat mercu.
Gambar 7 Bangunan Pengamanan Pantai Tipe 4
Tipe 5. Bangunan pengamanan pantai tipe 5 adalah bangunan pantai percobaan; di buat oleh Puslitbang Sumber Daya Da ya Air pada tahun 2008. Bangunan pengamanan pantai terdiri-dari unit blok beton bergigi yang dipasang bercelah; dibuat pada lokasi Air Dikit, Muko-Muko sepanjang 70 meter. Di belakang blok blok beton dipasang susunan batu kosong. Data teknis bangunan adalah sebagai berikut: - ukuran blok 0,30 x 0,30x0,60 m. - lebar celah selebar 0,30 meter - elevasi mercu 3,70 meter - lebar mercu 4 meter. Pada gambar 8 disajikan potongan melintang bangunan pengamanan pantai tipe 5. Dari hasil pemantauan menunjukkan bahwa bangunan pengamanan pantai tipe 5 ini telah berfungsi dengan baik.
Gambar 8. Bangunan Pengamanan Pantai Tipe 5
Tipe 6. Bangunan tipe 6 adalah juga merupakan bangunan yang bersifat percobaan dibuat oleh Puslitbang Sumber Daya Air pada tahun 2008 pada lokasi pantai Air Dikit Muko-Muko. Bangunan pengamanan pantai ini dikenalkan dengan bangunan pengamanan pantai tipe sangkar. Bangunan tipe sangkar ini terdiri te rdiri dari tiang-tiang
beton yang disusun bercelah dalam 2 tingkat. Antara tiang bagian bawah dan bagian atas diikat dengan balok memanjang. Data teknis bangunan adalah sebagai berikut: - ukuran tiang beton 0,2 x 0,2 meter dengan panjang 3,3 meter. - lebar celah antara 2 tiang adalah 0,2 meter - ukuran balok memanjang 0,20 x 0,30 meter - ukuran tiang penyangga 0,2 x 0,2 meter, dipasang setiap jarak 2 meter - lebar mercu 4 meter - elevasi mercu +3,70 Pada gambar 9 disajikan potonagn melintang bangunan pengamanan pantai tipe 6. Pemilihan struktur semacam ini dimaksudkan agar dapat memanfaatkan batu-batu yang relatif kecil dengan diameter lebih besar dari 0,20 meter. Dengan struktur tipe 6 ini maka rayapan tidak tinggi karena sebagaian air yang merayap masuk ke dalam celah antara tiang dan diteruskan ke lapisan pengisi.
Gambar 9. Bangunan Pengamanan Pantai Tipe 6
Seperti telah diuraikan maka lingkup pembahasan hanya ditinjau terhadap aspek engineering meliputi : - tinggi gelombang pecah rencana - tinggi rayapan - dimensi armor Dari hasil pemantauan dan pengukuran profil melintang didapat data - kedalaman air pada lokasi bangunan (ds) - kemiringan dasar pantai (m) - elevasi mercu bangunan - dimensi armor Periode gelombang diambil T = 8 detik dari hasil studi pengamanan pantai Muko-Muko Balai Wilayah Sungai Sumatera 4. Selanjutnya perhitungan tinggi gelombang pecah rencana tinggi rayapan, dan dimensi armor dihitung dari rumus-rumus dan grafik yang telah diuraikan pada bab pendahuluan. Hasil perhitungan perhitungan disajikan pada tabel 1. Kolom (1) : Tipe Bangunan Kolom (2) : ds = kedalaman air yang yang didapat dari hasil pengukuran Kolom (3) :
T diambil 8 det. 2
Kolom (4) : Hb/ds diperoleh dari grafik pada gambar 2 yang yang merupakan fungsi 2 dari (ds/gT ) dan kemiringan dasar pantai (m). m rata-rata 1 : 33 Kolom (5) : Hb diperoleh dari grafik pada gambar 2 Kolom (6) : Dimensi armor yang ada dari hasil pengukuran. Kolom (7) : Dimensi armor yang diperlukan dari hasil perhitungan rumus
. H = Hb diperoleh dari kolom 5, cot − − diperoleh dari struktur yang ada. Ir = bilangan Irribaren = = Hudson
Kolom (8) :
=
. 3
1 3cot
tan
0.5
0
H
= sudut kemiringan struktur hasil pengukuran, = tinggi gelombang dari kolom 5
L0 = panjang gelombang perairan dalam = 1,56 T2 T = periode gelombang diambil = 8 det. Kolom (9) : Ru = tinggi tinggi rayapan diperoleh dari dari grafik pada gambar gambar 3, 3, y yang ang merupakan fungsi dari Ir dan Ru/H Kolom (10): Elevasi mercu yang yang ada dengan bidang persamaan LWL = 0,00 diperoleh dari hasil pengukuran Kolom (11) : Elevasi mercu yang diperlukan minimum = HWL + Ru
Tabel 1. Perhitungan dimensi armor dan tinggi rayapan
536 1.30
1.90
3.40
Keterangan: (*) Tidak dihitung
III. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dari hasil perhitungan dari pada tabel 1 dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kecuali bangunan pengamanan pantai tipe 4 semua s emua bangunan pengamanan pantai kurang tinggi apabila diperhitungkan terhadap fenomena rayapan gelombang. Saran yang diperlukan adalah mempertinggi bangunan terutama bangunan revetment dari susunan batu kosong dan blok beton.
b. Dimensi armor pada revetment tipe rubble mound tidak cukup besar, disarankan untuk menutup lapisan armor yang ada dengan armor yang lebih besar disesuaikan dengan hasil perhitungan. 2. Dari hasil pemantauan dapat disimpulkan bahwa bangunan pengamanan pantai propinsi Bengkulu yang yang menunjukkan kinerja paling baik dan telah diuji kestabilannya adalah bangunan tipe 1. Pada lokasi yang serupa disarankan untuk menggunakan bangunan pengamanan pantai tipe 1 ini. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Pantai Pusat Litbang SDA yang telah mengizinkan penulis untuk menggunakan data hasil penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Ruskamto staff Balai pantai yang telah membantu penulis dalam melakukan survai dan pemantauan lapangan pada lokasi-lokasi pantai di propinsi Bengkulu. Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Balai Wilayah Sungai Sumatera IV, Survei SID pantai Lais Ketahun, Ketahun, Serangai Bengkulu Utara propinsi Bengkulu, 2005 Balai Wilayah Sungai Sumatera IV, SID pantai Ipuh, Air Dikit dan Muko-Muko, Muko-Muko, Kab. Bengkulu Utara propinsi Bengkulu, 2007 Shore Protection Manual , , Department of the Army, Army, US Army Corp. of Engineer, 1984 Syamsudin dkk, Penelitian Blok beton bergigi sebagai unit armor revetment , Prosiding kolokium hasil Litbang SDA, 2004 Triatmodjo, B. Triatmodjo, B. Teknik Pantai, Pantai, 1999
PENDEKATAN TEORITIS DAN EKSPERIMENTAL TRANSMISI GELOMBANG MELALUI PEMECAH GELOMBANG BAWAH AIR
Chairul Paotonan1) Dosen Program Studi Teknik Teknik Kelautan Universitas Hasanuddin, Ma Makassar kassar Email : :
[email protected] [email protected] 2) Nur Yuwono Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Email : :
[email protected] [email protected] 3)
Radianta Triatmadja Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Lingkungan,Universitas Gadjah Mad Mada, a, Yogyakartam, Email : :
[email protected] [email protected] 4) Bambang Triatmodjo Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Lingkungan,Universitas Gadjah Mad Mada, a,
Yogyakarta, Email : :
[email protected] Intisari Indonesia adalah Negara dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Permasalahannya Permasalahannya adalah banyak daerah pantai di Indonesia yang telah mengalami kerusakan akibat serangan gelombang. Daerah pantai yang telah dan terancam mengalami kerusakan harus dilakukan pengamanan. Salah satu solusinya adalah dengan pemecah gelombang bawah air yang berfungsi untuk mereduksi energi gelombang yang sampai ke pantai. keuntungan penggunaan pemecah gelombang bawah air (submerged breakwater) adalah biaya pembangunan relatif murah, perubahan garis pantai di belakang bangunan cenderung seragam, tidak menganggu pemandangan ke arah laut, gelombang masih ada yang mencapai pantai namun energinya telah berkurang. Metodologi atau cara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan kajian teoritis untuk menyusun rumusan untuk menghitung nilai koefisien energi transmisi selanjutnya dibandingkan dengan data hasil pengukuran. Transmisi gelombang melalui pemecah gelombang bawah air dipengaruhi oleh Rc /d s , B/L dan H/L. Manfaat dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman awal dalam memperkirakan memperk irakan perambatan gelombang melalui pemecah gelombang bawah air.
K ata kunci : Pemecah gelombang bawah air, koefisien energy transmisi I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki daerah pantai yang cukup panjang, sekitar 81.000 km dan berada pada urutan kedua di dunia setelah Kanada
(Triatmodjo, 1999). Pantai adalah daerah yang cukup potensial ditinjau dari segi ekonomi. Daerah pantai dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang
bermuara pada pertumbuhan perekonomian negara secara umum. Daerah pantai dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perdangan, industri, pariwisata, pemukiman, transportasi dan lainnya. Permasalahan yang dihadapi bangsa ini terkait dengan daerah pantai adalah mundurnya garis pantai dan hilangnya fasilitas-fasilitas umum serta pemukiman penduduk yang diakibatkan oleh serangan gelombang laut yang cukup ekstrim. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat banyak daerah pantai di Indonesi yang mengalami kerusakan akibat tingginya gelombang laut. Salah satu contohnya adalah di Pantai Takalar Sulawesi Selatan (Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Mundurnya garis pantai yang diakibatkan oleh serangan gelombang
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mendapatkan solusi terbaik dalam hal pengamanan daerah pantai. Upaya-upaya yang telah dilakukan ada yang berhasil dan adapula yang tidak, bahkan lebih memperparah permasalahan permasal ahan di daerah pantai. Salah satu contoh pengamanan pantai yang dapat dikategirkan gagal adalah tembok laut yang dibangun di Pantai Tope Jawa Sulawesi Selatan (Gambar 1.2.a). Sedangkan contoh pengamanan pantai yang dapat dikategorikan sukses adalah pemecah gelombang bawah air yang terbuat dari geobag yang yang diisi pasir untuk melindungi daerah obyek wisata di Pantai Tope Jawa Sulawesi Selatan (Gambar 1.2b). Pemecah gelombang
(a) (b) Selata n: (a) Gambar 1.2. Struktur pengaman pantai di Pantai Tope Jawa Sulawesi Selatan: tembok laut dan (b) pemecah gelombang bawah Dengan melihat contoh kasus ini, maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian teoritis tentang transmisi gelombang melalui pemecah gelombang bawah air. Pemecah gelombang bawah air memiliki beberapa keuntungan dibandingkan pemecah gelombang yang menerus ke permukaan
(emerged breakwater ) diantaranya adalah biaya pembangunan relatif murah, respon garis pantai yang ada di belakangnya relatif seragam, garis pantai dapat maju (akresi di belakang struktur), tidak menganggu pemandangan ke arah laut sehingga cocok untuk melindungi daerah obyek wisata, dan gelombang tidak dimatikan secara total sehingga daerah di belakangnya masih dapat digunakan untuk tempat rekreasi. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk melakukan kajiankajian terkait dengan perambatan gelombang melalui pemecah gelombang bawah air. 1.2. Tinjuan Pustaka 1.2.1. Perlindungan Daerah Pantai Berdasarkan penyebab kerusakannya, maka kerusakan pantai dikategorikan atas tiga, yaitu kerusakan akibat proses alamiah, kerusakan akibat aktivitas manusia dan kerusakan akibat keduanya. Secara umum, kerusakan pantai identik dengan terjadinya kemunduran garis pantai atau erosi pantai. Erosi pantai akan sangat bersifat merugikan, jika daerah yang mengalami kerusakan adalah daerah yang memiliki nilai ekonomi dan atau politis. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk mengantisipasinya. Secara alamiah pantai telah memiliki mekanisme perlindunganya sendiri, misalnya pada pantai berpasir, perlindungan tersebut berupa hamparan pasir yang merupakan penghancur energi gelombang, serta adanya bukit pasir sebagai cadangan pasirnya. Pada pantai pantai berlumpur perlindung pantai adalah tumbuhtumbuhan pantai misalnya pohon bakau (mangrove ( mangrove), ), pohon nipah dan tumbuhtumbuhan lain. Sedangkan pada pantai karang, terdapat terumbu karang yang tumbuh kearah laut yang dapat meredam energi gelombang, sehingga pada saat mencapai pantai gelombang tidak membahayakan lagi. Apabila perlindungan pantai secara alamiah tidak ada, atau sudah tidak efektif karena rusak, maka dapat dibuat perlindungan pantai buatan. Ada lima
pendekatan dalam perencanaan perlindungan pantai buatan (Yuwono, 1998) y yaitu: aitu: 1. mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai (dengan bangunan groin), 2. mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai (dengan bangunan pemecah gelombang lepas pantai), 3. memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang (dengan bangunan revetment atau sea atau sea wall ), ), 4. menambah suplai sedimen kepantai dengan (dengan cara ” sand by passing ” atau beach nourishment )),, 5. melakukan penghijauan daerah pantai (dengan pohon bakau atau nipah). 1.2.2. Pemecah Gelombang Bawah Air Pemecah gelombang bawah air adalah suatu bentuk pemecah gelombang
yang dibuat dengan puncak struktur berada di bawah muka air. Efektifikatas atau kinerja dari suatu pemecah gelombang bawah air dapat dilihat dari seberapa besar
tinggi gelombang dapat melewati puncak bangunan menuju pantai. Tinggi rendahnya tinggi gelombang yang dapat melewati puncak pemecah gelombang bawah air dapat dilihat dari koefisien transmisi tr ansmisi K t atau koefisien energi transmisi K Et Et gelombangnya. Semakin besar nilai K t atau K E Ett, berarti semakin tidak efektif pemecah gelombang tersebut dalam meredam gelombang dan sebaliknya. Koefisien transmisi didefinisikan sebagai perbandingan antara tinggi gelombang yang melewati bangunan dengan tinggi gelombang yang datang menerpa pemecah gelombang. Sedangkan koefisien energi transmisi gelombang adalah perbandingan antara energi gelombang yang melewati pemecah gelombang dengan energi gelombang yang datang menerpa pemecah gelombang. Penelitian yang terkait dengan transmisi gelombang telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Nizam (1987), Darma, I.G.B.S (1994 dan Paotonan (2006, 2009), serta peneliti-penelti lainnya yang terkait. 1.3.
Energi Gelombang Jika ditinjau dari kedalaman perairan dimana gelombang menjalar, maka gelombang dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu gelombang air dangkal, transisi dan air dalam. Batasan dari ketiga kategori tersebut didasarkan pada rasio antara kedalaman dan panjang gelombang (d / L). L). Gelombang air dalam jika d/L lebih besar dari 0,5, gelombang air transisi jika 0,05 d / L 0,5 dan gelombang air
dangkal untuk d/L