Fresh Marketing-Ippho Santosa

September 30, 2017 | Author: jaja | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Fresh Marketing-Ippho Santosa...

Description

Fresh Marketing: Cara-Cara Paling Segar Memoles Merek

Ippho Santosa Kontributor: Datie, Ardi & Tendi

Sekiranya Anda mendapat manfaat dari buku ini, silakan Anda ceritakan isi buku ini kepada sahabat-sahabat terbaik Anda, agar mereka mendapat manfaat yang sama.

Pemanasan

Konon, seorang gadis cantik sempat terjatuh dari gedung pencakar langit di Los Angeles. Untunglah, di tingkat 20 seorang pemuda Amerika yang macho menangkap dan menyelamatkannya. Ujar si gadis, “Duh, terima kasih telah menolong saya. Terus-terang, saya ingin membalas budi baik Anda. Bagaimana caranya?” Begitu tahu gadis itu cantik dan menarik, maka si Amerika pun menjawab, “Oh, itu mudah saja. Berkencanlah dengan saya.” Merasa dilecehkan, si gadis pun menyergah, “Kurang ajar! Saya tidak serendah itu!” Mendengar penolakan itu, Si Amerika langsung melempar si gadis ke luar jendela. Untunglah, di tingkat 15 seorang pria Perancis yang romantis menangkap dan menyelamatkannya. Tutur si gadis, “Duh, terima kasih telah menolong saya. Terusterang, saya ingin membalas budi baik Anda. Bagaimana caranya?” Begitu tahu gadis itu cantik, maka Si Perancis pun menjawab, “Hm, itu mudah saja. Berkencanlah dengan saya.” Merasa terhina, si gadis pun membentak, “Kurang ajar! Saya tidak serendah itu! Mendengar penolakan itu, Si Perancis langsung melempar si gadis ke luar jendela. Tubuh si gadis pun kembali meluncur ke bawah. Yang mengerikan, tingkat 14, 13, dan 12 ia lewati tanpa ada yang menangkapnya. Satu penyesalan terbersit di hati si gadis, “Ah, saya tidak mau mati konyol. Kalaulah nanti ada orang yang menyelamatkan saya, akan saya turuti permintaannya.” Untunglah, di tingkat 10 seorang lelaki Arab yang kekar menangkap dan menyelamatkannya. Seketika itu juga si gadis memeluk lelaki di hadapannya. Ucapnya, “Duh, terima kasih telah menolong saya. Terus-terang, saya ingin membalas budi baik Anda. Saya siap berkencan dengan Anda!” Mendengar pernyataan itu, Si Arab malah berkata, “Astaghfirullah!” dan langsung melempar si gadis ke luar jendela. Silakan Anda bayangkan sendiri bagaimana akhirnya nasib si gadis. Hehehe. Terus-terang saja, buku yang Anda pegang ini tidaklah sesegar humor tadi, walaupun judulnya Fresh Marketing. Bagaimana mendongkrak bisnis sekaligus memoles merek dengan pakem-pakem yang tidak terduga, itulah tujuan besar buku ini. Uniknya, cara-cara tersebut mungkin tidak dapat Anda temukan di buku manapun. Jadi, nggak rugilah! Akhirnya, ikan sepat, ikan gabus, dan ikan lele. Lebih cepat, lebih bagus, dan tidak bertele-tele. Selamat mencoba!

Aturan #4 Bentuklah Personality Merek akan tetap menjadi benda mati, sebelum dibentuk personality-nya. Wujudkanlah personality, agar merek terkesan hidup juga berinteraksi dengan pelanggan. Lantas, bagaimanakah cara-caranya?

Bentuklah Personality Seorang gadis rupawan yang jutek bersedia dinikahi oleh pria jelek yang penyabar. Harapan si gadis, kelak anaknya akan rupawan seperti dirinya dan penyabar seperti suaminya. Setelah tahun demi tahun berlalu, lahirlah anak mereka. Ternyata, setelah dewasa, si anak tidak tumbuh seperti yang diharap-harapkan oleh si gadis. Si anak, sudahlah jelek seperti suaminya, jutek pula seperti dirinya! Hehehe! Memang, kepribadian (personality) seseorang tidak gampang dibentuk. Berbeda dengan merek, yang cenderung lebih gampang untuk dibentuk. Awalnya, merek adalah benda mati. Anda setuju? Apabila setuju, saya persilakan Anda untuk membaca kalimat berikutnya. Sebenarnya, Extra Joss tidak lebih dari sekedar minuman. Mont Blanc hanya pena. Calvin Klein hanya parfum. Net TV hanya stasiun televisi. Betul-betul benda mati ‘kan? Ya. Namun, dengan segala perangkat pemasaran yang mereka berdayakan, kini kita mengakui Extra Joss sebagai merek yang berciri tangguh, Mont Blanc elegan, Calvin Klein muda, dan Net TV pendobrak. Itulah yang saya maksud dengan kepribadian (personality). Terus apa bedanya dengan ‘roh’? Kalau ‘roh’ itu bersifat umum, maka personality itu lebih bersifat khusus. Paham ya? Lazimnya, satu perusahaan hanya menyimpan satu ‘roh’. Sedangkan personality? Bisa berjubel. Tergantung berapa merek yang dikelola. Misalnya, Unilever memasarkan Sunsilk, Clear, Pepsodent, Close Up, Rinso, Surf, Molto, dan masih banyak lagi –yang masing-masing mengusung personality berbedabeda. Sejenak Anda perhatikan fakta-fakta tentang Nestle berikut ini. Pertama, 90 persen lebih pendapatannya berasal dari luar Swiss, bukan di Swiss. Kedua, 90 persen lebih karyawannya berada di luar Swiss, bukan di Swiss. Ketiga, 60 persen lebih sahamnya dikuasai oleh orang asing, bukan orang Swiss. Keempat, sebagian besar direksinya adalah orang asing, bukan orang Swiss. Jadi, seberapa Swiss-kah Nestle? Who cares? Tetap saja ‘susu bermutu dari Swiss’ menjadi citra Nestle. Nestle itu Swiss banget! Haier dan Lenovo, dua merek yang lumayan kesohor di dunia. Kok bisa ya? Bukankah keduanya berasal dari China? Bukankah perusahaan-perusahaan China biasanya cuma peduli dengan produksi? Lain halnya dengan Haier dan Lenovo. Mereka melek pemasaran dan permerekan, tidak seperti saudara-saudara mereka setanah-air. Dan sekarang mereka berupaya merias personality mereknya. Tolong dicatat, merek akan tetap menjadi benda mati, selagi Anda belum memoles personality-nya. Dengan wujudnya personality, merek akan terkesan hidup dan seolaholah berinteraksi dengan pelanggan. Tidak cukup sampai di situ, merek tersebut akan menyemai emotional bond dengan pelanggan, yang pada akhirnya menumbuhkan loyalitas merek. Semenjak akhir 90-an, aturan Fresh Marketing yang satu ini semakin sering ditaati oleh marketer.

Selain itu –tentu saja– personality layak dijadikan diferensiasi. Ketika Guess eksklusif, maka Giordano memilih merakyat. Ketika majalah Kartini keibuan, maka majalah Cosmopolitan memilih muda. Ketika Swiss Army gagah, maka Swatch memilih santai. Ketika Julia Perez genit, maka Agnes Monica memilih positif. Ketika Golkar Suhartois, maka PDIP memilih Sukarnois. Baiklah, baiklah! Saya tahu Anda mulai setuju dengan saya. Lantas, bagaimana caranya? Yang jelas, Anda tidak bisa mengirim merek Anda ke kursus kepribadian. Mana ada? Personality tersebut kudu Anda konkretkan. Umpamanya, demi menjadi ‘begitu dekat, begitu nyata’, Telkomsel memperbanyak BTS-nya. Demi menjadi syariah, BNI Syariah mengedepankan akad-akad yang islami. Demi menjadi kokoh, Harley-Davidson memperbesar ukuran mesinnya. Demi menjadi cool, Samsung menyodorkan beraneka desain. Bukan semata-mata slogan, ada follow-up-nya. Selanjutnya, untuk menyempurnakan personality, maka merek haruslah dihumanisasikan. Setidak-tidaknya, itulah yang disarankan oleh Paul Temporal, pakar merek Asia. Mau contoh? Mercedes-Benz adalah seorang pengusaha mapan yang peduli penampilan. Kijang adalah seorang ayah yang mencintai keluarganya. Yamaha Mio adalah gadis belia yang mandiri. BMX adalah anak laki-laki yang suka berpetualang. Kalau perlu, buatlah pelanggan bergumam dalam hati, “Saya ingin dianggap mapan. Makanya, saya mengendarai Mercy,” atau “Oh, Yamaha Mio itu ‘kan gue banget!” Bagaimana pula dengan bisnis skala kecil? Yah, aturannya sama saja. Katakanlah Anda membuka kafe untuk ABG. Apa yang mesti Anda otak-atik? Personality mungkin bisa Anda create dengan memajang gitar listrik dan menempelkan poster rock-and-roll band. Pastikan juga lagu-lagu yang diputar, seragam pelayan, nama menu, dan lain-lain, klop dengan selera mereka. Sehingga, pada akhirnya para ABG dapat melihat diri mereka pada merek kafe Anda. Sesederhana itu. Terakhir –camkan baik-baik– merek tanpa personality bagai manusia tanpa kepribadian. Ia tidak akan jadi apa-apa. Pun mudah terlupakan.

Aturan #5 Nikmati Masa Kecil Adakah yang salah dengan bisnis yang masih kecil? Ternyata bisnis kecil itu menyimpan kenikmatan tersendiri, yang jarang sekali diendus oleh marketer. Apa saja kelebihannya?

Nikmati Masa Kecil Seorang istri memarahi suaminya, Harry, yang gemar berjudi. Namun, Harry tidak terima dirinya dipersalahkan. “Walau bagaimanapun, toh, saya tetap menunaikan kewajiban saya sebagai ayah,” Harry membela diri. “Apa buktinya?” tukas istrinya. “Saya tetap mendidik anak,” sahut Harry. Untuk memperkuat argumennya, maka ia pun memanggil anaknya yang masih berusia tiga tahun. “Nak, ayah ‘kan sudah mengajarkan kamu berhitung. Masih ingat?” tanya Harry. Setelah anaknya mengangguk, kemudian Harry mengajukan sebuah pertanyaan, “Sesudah angka tujuh, angka berapa, ya?” “Delapan!” seru anaknya bersemangat. “Sesudah angka delapan?” tanya Harry lagi. “Sembilan!” seru anaknya dengan tetap bersemangat. Harry tersenyum. Ia bangga sekali akan jawaban-jawabannya anaknya yang begitu tepat dan begitu percaya diri. Menurutnya, walaupun gemar berjudi, ia sudah berhasil mendidik anaknya, tidak seperti persangkaan istrinya. “Sesudah angka sembilan?” kembali Harry bertanya. “Sepuluh!” teriak anaknya. “Sesudah angka sepuluh?” lagi-lagi Harry bertanya. “Jack!” teriak anaknya dengan lantangnya. Mendengar jawaban anaknya yang terakhir, istri Harry langsung terperanjat. Hehehe! Begitulah anak kecil. Mudah sekali untuk diarahkan dan dibelokkan. Ibaratnya, kapal besar dan kapal kecil. Ketika sedang melaju, kira-kira kapal mana yang lebih gampang untuk berubah arah atau berbelok? Ah, rasanya tidak diperlukan gelar MBA hanya untuk mengetahui jawabannya. Yah, karena semua orang maklum, kapal kecil akan jauh lebih mudah untuk berubah arah atau berbelok. Bisnis juga seperti itu. Saya pribadi sangat enjoy ketika bisnis saya masih terhitung kecil. Alasannya, saya berkesempatan untuk menjejalkan dan menjajal ide-ide liar saya. Saya juga bisa menyuntik improvisasi di sana-sini. Tentu saja, dengan segera! Dan perkara serupa menjadi mustahil seandainya bisnis saya sudah menggurita. Ary Ginanjar – penggagas ESQ– pernah bercerita kepada saya, sebagai kota yang baru berkembang, Batam mestinya bersyukur. Kok bisa? Karena dengan kondisi sedemikian, Batam masih berpeluang untuk meluruskan haluan dan mengendalikan perubahan. Saya tahu persis bahwa Anda atau siapapun pastilah mengidam-idamkan merek yang kuat dan bisnis yang besar. Sama, saya pun begitu. Toss dulu! Tetapi, adakah yang salah dengan bisnis yang masih kecil? Ternyata bisnis kecil itu menyimpan kenikmatan tersendiri, yang jarang sekali diendus oleh kebanyakan marketer. (Kecuali, marketer yang sudah membeli buku ini.) Segeranya perubahan, itulah manfaat yang pertama.

Sedangkan tidak kelihatannya ‘dosa-dosa’ menjadi manfaat yang kedua. Coba bayangkan seorang presiden yang berbuat salah. Pastilah rakyat satu negara akan mengetahui dan menghujatnya. Tetapi, bagaimana dengan kesalahan seorang ketua RW? Hanya segelintir yang peduli dan segelintir pula yang meminta pertanggung-jawaban. Iya ‘kan? Tidak jauh berbeda dengan landskap bisnis. Begitu merek Anda meraksasa, maka otomatis publik akan menyoroti, bahkan publik merasa ‘memiliki’ merek Anda. Jadi, agak sukar bagi masyarakat untuk toleran sekiranya merek-merek sekaliber Astra, Sinar Mas, dan Podomoro melakoni kesilapan. Sedangkan merek kemarin sore? Ah, who cares! Manfaat yang berikutnya adalah positifnya citra. Sejenak, berhentilah membaca dan perhatikanlah anak kecil. Menyenangkan? Yah, begitulah. Bahkan Hitler dan Firaun pun tampak menggemaskan sewaktu kecil. Lucu. Tetapi, coba tengok beberapa tahun lagi. Saat si anak beranjak remaja apalagi dewasa, maka ia kelihatan sudah tidak lucu lagi. Bahkan terkadang ia kelihatan menjengkelkan, sehingga orang-orang ingin melabraknya. Serupa dengan bisnis. Tidak jarang merek-merek kelas kakap dituding kolonialis, kapitalis, monopolis, hedonis, wah, pokoknya macam-macam. Cerita punya cerita, setidak-tidaknya Nike, McDonald’s, Windows dan Louis Vuitton sempat mengalaminya. Sebaliknya, merek-merek kelas teri tidak akan pernah dikecam seperti itu. Manfaat yang keempat adalah teredamnya persaingan. Siapa sih yang mau melirik dan sirik kepada merek anak bawang? Ndak ada ‘kan? Lain halnya kalau merek Anda sudah mentereng. Mata kompetitor akan melotot kepada Anda dan mereka akan memutar akal siang-malam untuk menjatuhkan Anda. Sungguh, saya tidak melebih-lebihkan. Tidak kepalang tanggungnya daya juang adalah manfaat yang kelima. Merek-merek yang minor dan bisnis-bisnis yang kecil biasanya lebih tahu diri. Mereka akan berupaya sekeras dan sekreatif mungkin agar tidak terlindas oleh merek-merek yang superior. Pantas saja rental mobil nomor dua di Amerika, Avis pernah mengaku, “We try harder. Because we are only number two.” Selain itu, bisnis yang kecil juga memungkinkan personal touch kepada setiap pelanggan. Kalau bisnis besar? Yah, rada repot. Adapun manfaat yang terakhir adalah terhindarnya dari kesombongan. Lha, apa yang mau dia sombongkan? Wong bisnisnya masih kecil. Kalau dia masih sombong juga, itu sih kebangetan. Malaikat bisa geleng-geleng kepala. Maka, tidak muluk-muluk rasanya apabila ungkapan ‘small is beautiful’ jamak dijumpai di mana-mana. Begitulah, kecil itu indah. Ya, iyalah! Malah ada yang bersikukuh bahwa masa kecil itu adalah masa yang paling indah. Jadi, ketika Anda berbisnis, nikmati saja masa kecil Anda. Namun demikian, jangan salah kaprah, ya! Ini semua kudu diiringi dengan upaya-upaya untuk menjadi besar. Sebab itulah, sepanjang hayat saya tidak pernah sreg dengan istilah UKM alias Usaha Kecil dan Menengah. Kecil sih boleh, tetapi jangan mau dicap begitu. Kecil seumur-umur, baru tahu rasa! Cukuplah istilah UKM itu berputar di kalangan perbankan dan pemerintahan saja. Bilamana bisnis Anda masih kecil, sebut saja BBB alias Bisnis Bakal Besar atau Be a Big Brand. Nah, itu ‘kan lebih memberdayakan!

Aturan #6 Perkuat Barisan Internal Sebuah bisnis tak ubahnya seperti helikopter. Mengudaralah setelah memeriksa mesinnya terlebih dahulu. Dengan kata lain, perkuatlah barisan internal, sebelum Anda mengurusi pemasaran. Apa akibatnya apabila aturan ini ditabrak?

Perkuat Barisan Internal Sewaktu berusia 18 tahun, Miss C sudah menoreh sederet prestasi di Kanada. Obsesinya, ingin menjadi penyanyi kelas dunia. Hal ini diketahui oleh manajernya. Tapi, walau bagaimanapun hebatnya ia menarik suara, manajernya paham betul bahwa ia masih menyandang setumpuk kekurangan, terutama ketidakmampuannya berbahasa Inggris. Maka, mulai saat itu, batang hidungnya tidak pernah lagi kelihatan di depan publik. Oleh manajernya, ia dipaksa mengikuti kursus bahasa Inggris di Ecole Berlitz School, sembari mengasah skil berbicara di muka umum. Serupa dengan Miss A yang berasal dari Indonesia. Sewaktu merantau ke Perancis, sebagai penyanyi ia terbentur satu masalah besar. Kebanyakan demo yang ia serahkan ke perusahaan rekaman langsung dicampakkan hanya karena demonya berbahasa Inggris. Menurut perusahaan rekaman, album berbahasa Inggris tidak pernah laku di pasar Perancis. Maka tanpa membuang-buang waktu, ia pun coba menguasai bahasa Prancis, dengan belajar di Alliance Français Paris selama beberapa tahun. Ternyata, tetesan keringat Miss C dan Miss A tidaklah sia-sia. Pada tahun 2004, dengan total penjualan album mencapai angka 175 juta keping, Miss C menjadi salah satu pengolah vokal terkaya di dunia. Sementara itu, Miss A selain menjadi penembang Indonesia tersukses di tingkat internasional, ia juga terpilih sebagai juru bicara bagi UNICEF sekaligus endorser bagi Audemars Piguet, sebuah arloji mewah asal Swiss. Miss C itu adalah Céline Dion dan Miss A itu adalah Anggun C. Sasmi. Apa persamaan keduanya? Mereka memperkuat dulu aspek internal, sebelum aspek eksternal. Secara umum, aktivitas perusahaan dibedakan menjadi dua, internal dan eksternal. Di mana SDM, administrasi, keuangan, purchasing dan produksi dikategorikan sebagai fungsi internal, yang sangat mengandalkan efficiency. Sedangkan pemasaran, distribusi, dan business development dikategorikan sebagai fungsi eksternal, yang sangat mengandalkan effectiveness. Yah, walaupun berdasarkan pengalaman saya, sebenarnya bidang-bidang tadi tidak bisa dikotak-kotakkan sesederhana itu. Saling terkait semuanya. Terus, di mana branding? Ya, tepat sekali! Branding –yang sering dihubungkan dengan pemasaran– dianggap sebagai fungsi yang bersifat eksternal. Nah, satu aturan yang ingin saya kemukakan di sini adalah, “Jangan aktifkan pemasaran serta fungsi-fungsi eksternal yang terkait, sebelum fungsi-fungsi internal beres.” Tidak jadi soal, apakah bisnis Anda masih kecil atau sudah besar. Bagi saya, bisnis tidak ubahnya seperti helikopter. Anda pernah naik helikopter? Yang jelas, begini ceritanya. Sebelum helikopter mengudara, Anda kudu memeriksa mesinnya terlebih dahulu. Kalau tidak? Anda bisa celaka! Seterusnya, begitu lepas landas, Anda juga harus mampu mengendalikannya. Kalau tidak? Yah, Anda tahu sendiri jawabannya. Coba bayangkan! Anda beriklan segencar-gencarnya. Anda janjikan offering setinggitingginya. Anda kirim salesforce sebanyak-banyaknya. Anda undang konsumen seramai-

ramainya. Anda lambungkan demand setinggi-tingginya. Sekilas, semua kesibukan tersebut bernilai positif terhadap bisnis Anda. Memang begitulah adanya. Tetapi –jangan salah!– itu semua dapat menjelma menjadi blunder atau bumerang, seandainya fungsi-fungsi internal Anda bermasalah. Misal, pelayan kurang sigap. Bahan baku habis. Mesin ngadat. Akhirnya? Duh! Konsumen bisa menggelegak amarahnya karena tidak memperoleh produk atau layanan yang sudah Anda gembar-gemborkan. Tidak bosan-bosannya saya sampaikan, aksi pemasaran yang lupa di-back-up dengan fungsi-fungsi internal dapat mengakibatkan bencana! Konsumen yang mengamuk –kalau bukan bencana, lantas apa namanya? Ayo jawab, apa namanya? Saya pernah menyaksikan fenomena di atas pada sebuah pusat perbelanjaan. Sekali waktu, pihak manajemen sengaja memboyong artis agar dapat menyedot massa. Padahal mereka sama sekali tidak siap, terutama dari segi operasional seperti parkir, AC dan tenant. Minta ampun deh! Bagi saya, itu tindakan yang luar biasa konyolnya. Memang, untuk satu atau dua hari, jumpa artis tersebut berhasil meramaikan suasana. Namun, beberapa hari kemudian – terbukti– pusat perbelanjaan tersebut kembali sepi, bahkan sekarat. Pihak manajemen tidak sadar, apa yang mereka perbuat hanyalah menggiring pengunjung seramai-ramainya untuk melihat berbagai ketidaksiapan di tempat mereka. Ada dua ungkapan yang apik dan menarik untuk kejadian ini. Pertama, berkenalanlah setelah Anda berpakaian rapi. Kedua, jangan mengundang, apabila Anda belum bersedia menyambut. Rasanya, kedua ungkapan itu pas dan pantas sekali. Sebagai penutup, saya ingatkan Anda dengan salah satu situs ritel di Indonesia. Mereka sih maunya meniru amazon.com. Sayangnya, supply chain mereka keteteran. Walhasil, ending ceritanya tidak jauh berbeda dengan cerita pusat perbelanjaan di atas. Bubar jalan! Sekali lagi, perkuatlah barisan internal, sebelum Anda mengurusi pemasaran dan pernakpernik eksternal yang terkait. Bukannya saya cerewet, tetapi tolong pegang aturan Fresh Marketing yang satu ini!

Aturan #7 Tebarlah Story for Glory Merek tidak melulu dibangun dengan iklan. Suatu ketika, merek sangat membutuhkan Story for Glory. Karena, secara alamiah manusia akan mendengar percakapan manusia di sekitarnya dan di situlah Story for Glory bekerja. Tebarlah!

Tebarlah Story for Glory Mengapa sewaktu anak babi berjalan, kepalanya sering menunduk dan ia selalu menjauh dari keramaian? Mau tahu jawabannya? Ternyata, anak babi merasa minder. Pasalnya, induknya adalah babi. Ah, ada-ada saja. Yang jelas, mana boleh marketer bersikap seperti itu? Sebaliknya, marketer harus percaya diri dan suka akan keramaian. Nah, Story for Glory adalah salah satu caranya. Story for Glory, apa sih maksudnya? Nanti saya jelaskan. Sekarang, Anda amati dulu contoh-contohnya. Pada tahun 1995, Michael Jackson dan adiknya kandungnya Janet Jackson menghabiskan 7 juta dolar hanya untuk membikin video klip Scream –video klip termahal ketika itu. Pada tahun 2001, produser Pearl Harbour merogoh 5,5 juta dolar hanya untuk merekayasa ledakan berturut –ledakan berturut termahal ketika itu. Film Avengers 2 dan Furious 7 juga tak jauh berbeda. Apakah proyek-proyek di atas memang memerlukan dana yang sedemikian besar? Mungkin saja sih. Tetapi, satu hal yang pasti, proyek dengan embel-embel ‘termahal’ seperti itu akan memicu sensasi, menggedor perhatian publik, menjadi buah bibir, dan pada akhirnya meroketkan penjualan. Tidak jauh berbeda dengan Damon Albarn –vokalis Blur. Menjelang tahun 2000-an, ia bersama Jamie Hewlett menciptakan band virtual Gorillaz. Virtual? Terus, personilnya? Yah, ndak ada. Yang ada hanyalah tokoh-tokoh kartun. Penasaran ‘kan? Masyarakat awam juga. Makanya, albumnya laris manis, 3 juta keping. Memang, penasaran itu identik dengan pemasaran. Untuk lebih jelasnya, silakan simak buku 10 Jurus Terlarang! Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa? Ternyata, kejadian seperti tadi bukan cuma mainan para selebriti. Marketer pun tidak mau ketinggalan. Umpamanya, pada tahun 2000 Baskin-Robbins –perusahaan es krim ternama di dunia– sengaja menyusun 3.100 scoop es krim demi membangun piramida scoop es krim tertinggi di dunia. Akhirnya –seperti yang diduga sebelumnya– cerita mengenai piramida scoop es krim ala Baskin-Robbins ini pun menyebar. Cerita di balik merek (story) –disengaja atau tidak– mampu mendorong kesuksesan merek (glory). Inilah yang saya istilahkan dengan Story for Glory. Tentu saja, cerita tersebut mesti mengandung unsur-unsur yang tidak lazim. Misalnya, Body Shop menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. iPod mengusung konsep yang revolusioner. Begitu pula dengan SpongeBob, Empat Mata, dan Laskar Pelangi. Sehingga, khalayak plus media massa terpikat dan bersedia menceritakan merek Anda – tanpa Anda minta, tanpa Anda bayar sekalipun. Keberadaan SMS, milis, blog, twitter, dan sejenisnya menjadikan kobaran Story for Glory semakin menyala-nyala. Siapa yang tidak tertarik menceritakan sebuah klinik gigi yang bernuansa serba Star Trek? Itulah yang diterobos oleh Dr. Denis di Orlando. Siapa yang tidak tertarik menceritakan seorang jutawan yang melintasi Samudera Atlantic dan Pasific dengan balon gas? Itulah yang dijajal oleh Richard Branson, pendiri kerajaan bisnis Virgin.

Masih mau contoh lagi? Baiklah, baiklah. Siapa yang tidak tertarik menceritakan seorang pengusaha yang bisa menulis, menggambar kartun, memainkan piano, menciptakan lagu, membawakan acara, hingga mencetuskan MURI Award dan kelirumologi sekaligus? Itulah yang ditekuni oleh Jaya Suprana, presiden komisaris Jamu Jago. Jangan pernah memandang enteng Story for Glory! Zaman sekarang, Story for Glory bisa bergerak lebih mencolok dan lebih menohok ketimbang iklan. Tidak ada yang salah sih dengan iklan. Hanya saja, menurut Chris Fill, iklan tidak memiliki satu hal yang dimiliki oleh Story for Glory. Apa itu? Kredibilitas. Siapa sih yang percaya janji-janji yang terpampang di iklan? Hei, saya serius nih! Sebaliknya, Story for Glory dinilai lebih dipercaya. Karena, secara alamiah, kita akan mendengarkan dan mempercayai omongan orang-orang di sekitar kita. Nah, di situlah Story for Glory bekerja! Anda boleh pegang kata-kata saya kali ini, “Merek tidak melulu dibangun dengan iklan.” Suatu saat, Anda membutuhkan Story for Glory. Inilah salah satu aturan terpenting dalam Fresh Marketing. Ada pula yang memanfaatkan Guinness World Record dan MURI Award sebagai ajang untuk melahirkan Story for Glory. Yah, boleh-boleh saja. Cuma, perhatikanlah tiga hal. Pertama, perkuat dulu barisan internal. Kedua, pastikan berdampak positif, bukan sekadar populer (popularity with positivity). Ketiga, jangan sampai keseringan. Publik bisa resisten. Itu saja. Sekian.

Aturan #8 Waspadai Pisau Bermata Dua Di satu sisi, sales promotion dapat membawa sejumlah manfaat. Namun di sisi lainnya, sales promotion yang seradak-seruduk juga dapat mengundang malapetaka, terutama terhadap kekebalan merek. Waspadailah pisau bermata dua!

Waspadai Pisau Bermata Dua Toyota –sebagai perusahaan mobil terbesar ketiga di dunia dari segi unit sales dan net sales– terkenal akan kelihaian dan kepiawaiannya menghasilkan 5,5 juta unit mobil di seluruh dunia. Hitung punya hitung, angka ini ekuivalen dengan produksi 1 unit mobil dalam 6 detik. Prestasi gemilang ini membuat seorang pejabat Indonesia terkagumkagum. Apalagi ia ingin menghadirkan kembali mobil nasional di tanah air. Si pejabat pun melakukan studi banding dengan berkunjung ke pabrik Toyota di Jepang. Menimbang Indonesia adalah pasar yang besar dan posisi si pejabat yang amat menentukan, maka CEO perusahaan tersebut berinisitif menghadiahkan sebuah mobil untuk si pejabat. Kata sang CEO, “Kami akan memberikan satu unit mobil terbaru kami kepada Bapak. Yah, hitung-hitung sebagai tanda persahabatan kedua negara. Mohon diterima.” Untunglah, si pejabat ini terjaga integritasnya. Dengan santun ia menjawab, “Wah, maaf beribu maaf. Saya tidak bisa menerimanya. Bukan apa-apa. Nanti saya bisa dianggap menerima suap.” Mendengar jawaban itu, sang CEO tercenung sejenak. Kemudian ia kembali berujar, “Kalau begitu, khusus kepada Bapak, mobil ini kami jual satu juta rupiah. Bagaimana? Bapak berkenan membelinya?” Giliran si pejabat yang terdiam. Setelah berpikir sesaat, lantas ia menyahut dengan suara pelan, “Hm, kalau begitu, saya beli sepuluh. Salah satunya Lexus, boleh ‘kan?” Sang CEO langsung melongo. Cerita di atas memang fiktif. Tapi yang jelas, potongan harga memang dapat menggoda ‘iman’. Dan marketer tahu betul soal itu. Maka, lahirlah seabrek iming-iming. Diskon 70 persen! Super murah! Banting harga! Cuci gudang! Konsumen sendiri sudah tidak asing dengan potongan-potongan harga sedemikian. Sidang pembaca sekalian, inilah salah satu bentuk sales promotion. Jika iklan sering dikatakan sebagai alasan untuk membeli (reason to buy), maka sales promotion sering disebut-sebut sebagai insentif untuk membeli (incentive to buy). Saya maklum, di satu sisi sales promotion –berupa potongan harga, kupon dan hadiah– dapat memboyong sejumlah manfaat, katakanlah untuk mempercepat action dari pelanggan, serta menambah value kepada pelanggan dan distributor. Namun, itu tidak semudah yang Anda bayangkan. Di sisi lainnya, sales promotion yang tanpa arah juga dapat mengundang malapetaka. Persis seperti pisau bermata dua! Bacalah lagi kata-kata di atas. Diskon 70 persen! Super murah! Banting harga! Tidakkah gimmick seperti itu membuat sebagian konsumen kesal? Tempatkanlah diri Anda sebagai konsumen, niscaya Anda akan merasakan kekesalan yang sama. Pasalnya? Pertama, konsumen ndak dapat membedakan apakah itu DJ (baca: diskon jadi-jadian) atau diskon beneran. Kedua, diskon tersebut menyadarkan konsumen bahwa selama ini marketer telah mengeruk keuntungan yang berlebihan. Ketiga, dengan digelarnya diskon setiap saat, maka konsumen akan berpikir “Huh! Ini sih bukan diskon. Memang harganya segitu.”

Selanjutnya, sales promotion juga akan memangkas margin. Cukupkah sampai di situ? Tidak, tidak. Masih ada lagi, nih. Ternyata, setiap kali Anda ber-sales-promotion-ria, maka di waktu yang sama Anda juga mesti menyisihkan anggaran untuk mengiklankan program sales promotion tersebut kepada publik. Artinya –disukai atau tidak– Anda terpaksa tekor dua kali. Parahnya lagi –inilah yang paling saya takuti– dalam jangka panjang sales promotion juga bisa menggerogoti kekebalan merek (debranding). Ingatlah, obat hanya akan berfungsi bilamana digunakan sesekali dan sesuai dosis. Kalau kebanyakan? Jadilah racun yang paling jahat! Kalau keterusan? Ah, jangan ditanya. Anda sudah tahu jawabannya. Nah, sales promotion juga bekerja seperti itu. Tidak lebih, tidak kurang. Karena, sales promotion dalam wujud apapun –potongan harga, kupon atau hadiah– dapat mengikis kesetiaan pelanggan terhadap merek (brand loyalty). Hm, maksudnya? Jangan kuatir, saya akan menjelaskannya. Amatilah hubungan orangtua dan anak, lelaki dan wanita, pemimpin dan pengikut. Cobalah iming-imingi dan manjakan salah satunya dengan uang. Terus, apa jadinya? Tak diragukan lagi, komitmen si anak bisa beralih pada uang, bukan lagi pada orangtua. Kesetiaan si wanita bisa beralih pada uang, bukan lagi pada si lelaki. Loyalitas si pengikut bisa beralih pada uang, bukan lagi pada si pemimpin. Kendati uang mutlak Anda perlukan untuk memelihara hubungan, namun apabila Anda hanya mengandalkan uang untuk menjaga hubungan, maka itu akan berakibat buruk. Sangat buruk! Tidak terkecuali dalam pemasaran! Dalam jangka panjang, kesetiaan pelanggan bisa melenceng pada insentif, bukan lagi pada merek. Duh, jangan sampai deh! Yakinlah, ujung-ujungnya hoki akan menyambar marketer yang mengembangkan merek, bukan pada marketer yang menghambur-hamburkan insentif atau membanting-banting harga. Terakhir, boleh dicatat, sekali waktu barangkali sales promotion memang dibutuhkan. Saya tidak menyangkalnya. Tetapi –mohon maaf– sepengetahuan saya tidak satupun merek berharga di muka bumi ini dibesarkan semata-mata dengan sales promotion.

Aturan #9 Abaikan Mitos Kualitas Kualitas adalah kualitas. Penjualan adalah hal yang lain. Terkadang, hampir-hampir tidak ada hubungan di antara keduanya. Mengapa bisa begitu? Karena, terdapat dua jenis kualitas. Berhati-hatilah!

Abaikan Mitos Kualitas Peserta training saya di berbagai kota sering kaget ketika saya mengulas aturan Fresh Marketing yang satu ini, “Kualitas adalah kualitas. Penjualan adalah hal yang lain. Kadang kala, hampir-hampir tidak ada hubungan di antara keduanya.” Selama ini, baik marketer maupun konsumen awam percaya sepenuhnya bahwa merek yang berkualitas akan laku di pasaran. Begitu? Ah, jangan terburu-buru mengangguk! Pendapat itu belum tentu benar. Akhir tahun 90-an, sebuah lembaga survey di Negeri Paman Sam coba meneliti dan memeringkat 16 jenis mobil kecil dari segi kualitasnya. Hasilnya, Volkswagen Jetta keluar di urutan pertama. Urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Acura Integra dan Volkswagen Golf. Artinya, hasil survey ini menobatkan Jetta, Integra dan Golf sebagai tiga mobil kecil yang paling berkualitas. Orang-orang kontan meramalkan Jetta, Integra dan Golf otomatis mencetak sukses alias laku keras di pasaran. Gampang dipahami, konsumen menyukai dan hanya membeli merek-merek yang berkualitas. Benarkah demikian? Sejarah mencatat, ternyata mobil kecil yang paling laris pada tahun itu adalah Ford Escort. Bukan Jetta, Integra ataupun Golf. Padahal Escort berada di urutan ke-11 dari segi kualitas. Lantas bagaimana dengan prestasi penjualan mobil-mobil yang kononnya paling berkualitas -Jetta, Integra dan Golf? Masing-masing hanya menduduki posisi 12, 9 dan 16. Jika survey ini terus dikupas, maka mencuatlah data sebagai berikut: Urutan Kualitas Urutan Penjualan

1 2 3 4 12 9 16 5

5 7

6 2

7 3

8 4

9 10 11 12 13 14 15 16 15 6 1 11 8 10 13 15

Selidik punya selidik, hampir tidak ada korelasi antara tingkat kualitas dengan skor penjualan. Heran? Seharusnya tidak. Nah, apa yang salah dengan survey di atas? Ndak ada yang salah, kecuali Anda sebagai marketer harus menyadari terdapat dua jenis kualitas, yaitu kualitas aktual (actual quality) dan kesan kualitas (perceived quality). Omong-omong, apa itu kesan kualitas (perceived quality)? Memenggal definisi Valarie Zeithaml dalam satu karya ilmiahnya, kesan kualitas adalah persepsi konsumen terhadap totalitas mutu dan keunggulan merek. Inilah faktanya. Untuk memenangkan pasar, kualitas aktual semata tidaklah cukup. Perlu sih perlu. Tetapi, tidak cukup. Tidak bisa tidak, Anda harus merekayasa kesan kualitas (perception engineering). Jika kualitas aktual adalah realita, maka kesan kualitas adalah persepsi. Realita versus persepsi. Manakah yang lebih penting? Hei, jangan lupa, di benak konsumen persepsi itu sendiri adalah realita. Di pikiran konsumen, pastilah mobil Escort dikesan atau dipersepsi jauh lebih baik, sehingga akhirnya mobil ini dipilih. Hal sebaliknya terjadi pada mobil Jetta, Integra dan Golf. Boleh jadi mereka menang dari segi kualitas aktual, namun mereka kalah dari segi kesan kualitas. Tidak salah kalau David Aaker dalam Managing Brand Equity berpetuah, “Kesan kualitas berpengaruh langsung terhadap keputusan pembelian dan loyalitas merek, apalagi kalau

pembeli tidak termotivasi atau tidak sanggup menganalisia secara detail.” Bahkan, di The PIMS Principle Robert Buzell dan Bradley Gale menegaskan, ”Dalam jangka panjang, faktor tunggal yang paling menentukan kinerja bisnis adalah kesan kualitas merek itu sendiri.” Nah, pahamilah! Konsumen hanya peduli dengan kesan kualitas atau kualitas yang dipersepsi. Jangan konsumen yang divonis bersalah! Tentu, konsumen lebih percaya pada pikirannya sendiri ketimbang realita yang dia nggak pernah tahu. Kualitas dalam arti yang sesungguhnya, siapa sih yang tahu? Barangkali hanya manajer produksi yang tahu. Oleh karena itu, agar diterima di marketplace, teroboslah mindplace terlebih dahulu. Pantas saja selama hampir 30 tahun Al Ries bersikukuh, “I believe that marketing is about building brands in the minds of consumers.” Itulah jawaban pamungkas Al Ries sewaktu saya tanya dia mengenai esensi pemasaran beberapa waktu yang lalu. Untuk melengkapi, tidak ada salahnya Anda baca buku 10 Jurus Terlarang! Umpamanya, dari segi rasa, McDonald’s dan Coca-Cola mungkin tidak senikmat Burger King dan Pepsi. Di negeri Barat, riset dengan sahih membuktikan Burger King dan Pepsi lebih enak. Tak ayal lagi, untuk kualitas aktual, Burger King dan Pepsi berada satu langkah di depan. Akan tetapi, apakah itu menjadi jaminan bagi mereka untuk menjadi market leader? Nyatanya, fastfood dan softdrink yang paling digandrungi di dunia adalah McD dan Coke, karena mereka lebih mahir me-manage kesan kualitas ketimbang pesaing-pesaingnya. Memang, tidak di semua negara McD memenangkan kesan kualitas. Di Filipina, saya melihat McD gagal menaklukkan Jubilee. Well, saya percaya, segenap karyawan di perusahaan Anda tengah bergerak mengincar kualitas aktual yang sempurna. Teruskanlah! Namun di saat yang sama wajibkanlah mereka mengimbanginya dengan kesan kualitas yang prima. Inilah yang saya namakan dengan mengelola kualitas dalam persepsi konsumen. Sebut saja Perceived Quality Management. Orang-orang operasional selama ini hanya berkutat dengan Total Quality Management. Saran saya yang terakhir, setiap kali Anda berkeringat mengembangkan kualitas aktual, pastikan konsumen Anda mengetahui jerih-payah tersebut. Pasalnya, adalah sia-sia belaka bila merek Anda berkualitas nomor wahid, tetapi konsumen tidak pernah menyadarinya. Setuju? Haruslah!

Aturan #10 Bergeraklah seperti

4-Wheel-Drive

Selain sisi rasional dan emosional, manusia juga dikarunai dua sisi yang lain. Inilah yang luput dari perhatian marketer. Hendaklah sebuah merek mengerahkan dan mengarahkan daya tariknya pada empat sisi itu secara simultan.

Bergeraklah seperti 4-Wheel-Drive Seorang gadis manis duduk sendiri di sebuah kafe yang ramai. Lantas, datanglah seorang pria menghampirinya. Dengan ramahnya si pria menegur, “Hai, saya traktir minum ya?” Ditanya begitu, tiba-tiba saja si gadis menjerit, “Apa? Ke hotel?” Si pria kontan gelagapan, “Bukan, bukan. Jangan salah paham. Saya cuma mengajak Anda minum bareng.” Kembali si gadis menjerit, “Ke hotel? Huh, dasar laki-laki tidak tahu malu!” Terang saja jeritan si gadis yang berulang kali itu memancing perhatian banyak orang. Puluhan mata pun menatap si pria seolah-olah menyalahkan. Merasa malu dianggap lelaki hidung belang, akhirnya ia duduk menjauh dari si gadis. Selang beberapa menit, si gadis beringsut mendekati si pria. Dengan wajah penuh penyesalan, si gadis mengungkapkan, “Maafkan saya. Sebenarnya saya sedang menyamar. Aslinya, saya mahasiswi psikologi yang tengah mempelajari pengendalian emosi manusia di tengah situasi yang tidak diharapkan.” Mendengar penjelasan tersebut, si pria pun teringin untuk membalas dendam. Lalu, dengan lantangnya ia membentak, “Apa? Satu juta semalam?” Giliran si gadis yang gugup. Detik itu juga, puluhan mata menyorot ke arahnya. Memang, sisi emosional selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak akan ada habis-habisnya. Selama sekian tahun terakhir, secara intens saya diundang sebagai trainer di beberapa kota-kota besar di tanah air. Menariknya, pada kesempatan-kesempatan itu sering saya mengupas sisi emosional dalam pemasaran. Hermawan Kartajaya sebagai marketing guru pernah menitipkan satu pesan, “Jangan abaikan sisi emosional konsumen.” Setiap kali saya melihat realita bisnis di lapangan, sepertinya saya kok makin yakin akan kebenaran statement tersebut. Katakanlah, Anda adalah marketer untuk sebuah perumahan. Jelas-jelas tidak memadai jika Anda cuma bermain di kutub rasional. Misalnya, Anda hanya mengandalkan harga per meter sebagai nilai jual. Ketahuilah, kutub emosional juga patut dieksplorasi. Contohnya, Anda menitikberatkan lokasi yang bergengsi, desain yang otentik, atau lingkungan yang asri. Biasanya, itu malah lebih ‘mengena’. Seterusnya untuk memasarkan mobil, apa yang harus Anda lakukan? Kok masih tanya? Yah, kurang-lebih sama saja. Dari segi rasional, tonjolkanlah fitur, harga jual, cara bayar dan layanan purna jual. Sedangkan dari segi emosional, kekuatan merek dan reputasi perusahaan boleh diagul-agulkan. Pokoknya, aturan aveda-godiva atau rasionalemosional ini berlaku untuk hampir semua produk. Well, cukupkah sampai di situ? Ternyata, nggak juga! Jangan lupa, manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Selain sisi rasional dan emosional, manusia juga dikarunai sisi spiritual dan physical. Kenyataan ini sering luput dari perhatian marketer. Oleh karena itu, idealnya sebuah merek mampu mengerahkan dan mengarahkan daya tariknya pada empat sisi tersebut –rasional, emosional, spiritual dan physical– secara simultan. Inilah yang saya maksud dengan bergerak seperti 4-wheel-drive.

Sekarang, mari kita cermati ranah spiritual konsumen. Apa yang ingin saya garisbawahi di sini adalah brand appeals hendaklah selaras dengan nilai-nilai vertikal yang dianut konsumen. Harus itu! Kalau kebablasan, yah bisa jadi blunder atau bumerang bagi marketer. Mau contoh? Pusat hiburan layaknya karaoke, massage dan fitness barangkali cocok dengan dimensi rasional dan emosional konsumen pada umumnya. Sayangnya, citra tempat ini sedikit berbenturan dengan keyakinan sebagian konsumen. Menyerahkah marketer? Untunglah, ada marketer yang jeli. Mereka coba mengetengahkan karaoke keluarga, pijat suami-istri, dan fitness khusus wanita. Walhasil, konsumen yang dulunya resisten, kini malah berbondong-bondong ke tempat-tempat seperti itu. Fenomena ini juga saya bahas di buku 10 Jurus Terlarang! Terakhir, mari kita intip medan physical. Bahasa gampangnya adalah kenyamanan inderawi. Artinya, merek Anda mesti sanggup menembakkan stimulus-stimulus nonverbal yang memuaskan, baik stimulus yang dilihat (visual), didengar (auditory), dirasakan (kinesthetic), dikecap (gustatory), maupun dibaui (olfactory) oleh konsumen. Sejenak, kita ikuti dulu cerita berikut ini. Suatu ketika, seorang kakek mengeluh kepada cucunya, “Ah, film-film zaman sekarang, kok jelek-jelek ya?” Si cucu paham bahwa film-film tersebut tidaklah jelek. Persoalan utamanya justru terletak pada si kakek itu sendiri. Maka, ia pun menjawab, “Jangan khawatir, Kek. Nanti cucu akan pinjam VCD Mr. Bean dan Charlie Chaplin. Kakek pasti suka deh!” Tukas si kakek, “Huh, tahu dari mana kakek bakal suka?” Sahut cucunya, “Ya, pastilah. Karena kakek bisa mengikuti ceritanya tanpa perlu membaca teks dan mendengarkan dialognya.” Rupa-rupanya, indera penglihatan dan pendengaran si kakek sudah tidak terlalu berfungsi. Hehehe. Berbeda dengan si kakek, orang kebanyakan harus diladeni kelima inderanya. Umpamanya, demi memanjakan indera sentuhan dan indera pendengaran para pengunjung, manajemen mal sengaja memasang AC dan musik. Demi memanjakan indera penglihatan pembeli, pengelola taman bacaan tidak pernah main-main dengan display buku (Amati saja toko buku Gramedia). Demi memanjakan indera penciuman pelanggan, pemilik restoran membiarkan aroma masakan menyeruak ke mana-mana. Demi memanjakan indera penglihatan dan indera pendengaran penonton, si artis senantiasa all out dengan tata suara dan tata lampu. Pahamilah, merek apapun sebenarnya dapat bergerak seperti 4-wheel-drive, dalam artian keempat sisi –rasional, emosional, spiritual dan physical– konsumen diakomodir sekaligus. Begitulah pemasaran. Kadang ribet dan njelimet. Iya ‘kan?

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF