Forensik Fraud Bab 6

May 13, 2018 | Author: Wendell Clay | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

audit forensik dan investigasi...

Description

BAB VI FRAUD

A. Pendahuluan

Fraud yang dikenal para akuntan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam banyak pasal dan dengan berbagai istilah . Fraud atau kecurangan merupakan hal yang sekarang banyak dibicarakan dibicar akan di Indonesia. Pengertian fraud itu sendiri merupakan penipuan yang sengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya (Sukanto, 2009). Adapun menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah perbuatan-perbutana melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru kepada pihak lain) dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan orang lain.

B. Fraud Dalam KUHP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti: a. Pasal 362 tentang Pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang   sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);  b. Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau mengancam kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang”); c. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP: dengan sengaja dan melawan hukum dimiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”);

d. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan  piutang”); e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang dalam Keadaan Pailit; f.

Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang (definisi KUHP:” dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”); Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang

mengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori fraud, seperti undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, berbagai undangundang perpajakan yang mengatur tindak pidana perpajakan, undang-undang tentang pencucian uang, undang-undang perlindungan konsumen, dan lain-lain.

C. Fraud Tree (Pohon Fraud)

Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Para akuntang memahami istilah bahasa Inggris dalam fraud tree, karena itu adalah istilah yang lazim digunakan dalam buku teks akuntansi dan auditing. Occupational fraud tree mempunyai tiga cabang utama, yaitu :

1. Corruption

Istilah “corruption” disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundang-undangan kita. Istilah korupsi menurut UndangUndang Nomer 31 Tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi, dan bukan empat bentuk seperti gambar dalam ranting-ranting: a) Conflict of interest atau ata u benturan kepentingan sering dijumpai dalam berbagai hal misalnya bisnis pejabat yang menjadi pemasok atau rekanan di lembagalembaga pemerintah ataupun di dunia bisnis. Ciri-ciri terjadi conflict of

interest dalam hal ini yang bersangkutan menjadi pemasok atau rekanan adalah : a. Selama bertahun-tahun  b.  Nilai kontrak relatif lebih mahal c. Rekanan tertentu menguasai pangsa pembelian yang relatif sangat besar di suatu lembaga d. Kemenangan dalam tender dicapai dengan cara-cara yang tidak wajar e. Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari sekedar hubungan bisnis (nepotisme)

 b) Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan  bisnis dan politik di Indonesia. Kickbacks merupakan salah satu bentuk  penyuapan dimana si penjual “mengikhlaskan” sebagian “mengikhlaskan” sebagian dari hasil penjualan dengan presentase keihklasan yang bisa diatur dimuka atau diserahkan sepenuhnya kepada keikhlasan penjual. Kickbacks berbeda dengan bribery. Bribery pemberinya Bribery  pemberinya tidak ti dak “mengorbankan” suatu penerimaan. Misal, Mis al, apabila apab ila seseorang

menyuap

mengharapkan

atau

menyogok

seorang

penegak

keringanan

hukuman.

Sedangkan

dalam

hukum,

ia

kickbacks,

 pemberinya pun menerima keuntungan materi. Dalam kickbacks si pembuat keputusan dapat melakukan ancaman yang bisa merupakan pemerasan (economic extortion).

2. Asset Misappropriation Misappropriation

Asset Misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam  bahasa sehari-hari disebut mencuri (larcency). Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” aset secara ilegal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan (embezzlement). Dalam fraud tree istilah larcency merupakan sinonim dari embezzlement. Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang masuk.

a) Skimming

Cara ini terlihat dalam dalam fraud yang sangat dikenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny la rceny atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah masuk ke) sistem, maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat dengan istilah penggelapan.

b) Larceny (pencurian)

Bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia.Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan  perlindungan keselamatan aset (safeguarding of assets).

c) fraudulent disbursements disbursements

sebenarnya salah satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap  pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu : 1.  billing schemes, 2.  payroll schemes, 3. expense reinbursement schemes, 4. check tampering, 5. dan register disbursements.

3. Fraudulent Statements

Jenis fraud ini sangaat dikenal para auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Dalam cabang dan ranting, ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatements baik overstatements maupun understatements). Cabang kedua dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tunggu dari yang sebenarnya (asset/revenue overstatements). Kedua, menyajikan aset atua  pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya (asset/ revenue understatements).

Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan laporan keuangan yang disampaikan kepada instansi perpajakan atau instansi bea dan cukai. Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non keuangan. Fraud ini  berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau  pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern.

D. Akuntan Forensik Dan Jenis Fraud

Akuntansi forensik memusatkan perhatian pada dua cabang fraud tree yaitu corruption dan misappropriation of asset. Sedangkan fraudulent statement menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general audit atau opinion audit). Oleh karena itu akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi sesat, dengan dua pengecualian. Pertama, ketika “regulator” seperti Bappepam, Securities and Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius. Regulator dapat meminta kantor akuntan lain melakukan  pendalaman, atau mereka sendiri melakukan penyidikan. Kedua, ketika fraudulent statemens dilakukan dengan pengolahan data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaina kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian khusus , yakni computer forensics.

E. Manfaat Fraud Tree

Fraud tree memetakan fraud dalam lingkungan lingkungan kerja dan

membantu

akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Dengan memahami gejala-gejala (red flags) dan menguasasi teknik-teknik audit investigatif, akuntan forensik dapat mendekteksi fraud tersebut.

 Namun kondisi di Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat. Akuntan forensik

di

Indonesia

sebaiknya

membuat

fraud

tree

sendiri

sehingga

memudahkan dan bermanfaat dalam pemetaannya.

F. Fraud Triangle

Cressey melakukan penelitian terkait para pegawai yang mencuri uang  perusahaan (embezzlers), hipotesisnya dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud. .  Perceived  Perceived Opportunity

 Fraud Triangle

 Pressure

 Rationalization

Sudut pertama dari fraud triangle adalah pressure, kemudian perceived opportunity, dan rationalization. 1. Pressure

Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure) yang menghimpitnya.Konsep ini disebut preceived non-shareable financial need. Crassey menemukan bahwa non-shareable problems yang dihadapi timbul dari situasi yang dapat dibagi dalam: 

Violation of ascribed obligation Suatu kedudukan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan. Di samping harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu. Jika menghadapi situasi yang melanggar kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya kepada orang lain.

Pengungkapan yang bertentangan dengan kewajiban tersebut baginya merupakan pengakuan bahwa perilakunya di bawah standar perilaku yang diharapkan darinya. 

Problems Resulting from Personal Failure Kegagalan pribadi merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahannya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggung  jawab pribadinya. Sehingga ia takut mengungkapkan kegagalan tersebut dan takut kehilangan status sebagai orang yang dipercaya.



Business Reversals Kegagalan bisnis dipersepsikan sebagai kegagalan yang berada diluar dirinya atau diluar kendalinya, misal karena inflasi yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-lain. Namun yang bersangkutan tidak mau mengungkapkan permasalahannya karena tidak mau dianggap sebagai orang yang gagal.



Physical Isolation Merupakan situasasi keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.



Status Gaining Situasi ini merupakan kebiasaan (buruk) untuk tidak mau kalah dengan “tetangga”. Pelaku  berusaha mempertahankan status atau pelaku berusaha meningkatkan status. Masalah menjadi non-shareable ketika orang tersebut tidak mampu secara finansial untuk menaikkan status dan tidak bisa menerima kenyataan kalau harus tetap berada di status yang sekarang atau  bahkan turun status.



Employer-Employee Relations Situasi ini mencerminkan kekesalan/ kebencian seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang harus dikerjakannya sekarang. Kekesalan itu bisa terjadi karena ia merasa gaji atau imbalan lainnya tidak layak dengan pekerjaan atau kedudukannya, atau

ia merasa beban pekerjaannya teramat banyak, atau ia merasa kurang mendapat penghargaan batiniah (pujian).

2. Perceived Opportunity

 Non-shareable financial problem menciptakan motif bagi terjadinya kejahatan. Akan tetapi, pelaku kejahatan harus mempunyai persepsi bahwa ada  peluang baginya untuk melakukan kejahatan tanpa diketahui orang. Ada dua komponen terkait perceived opportunity, yaitu : a.

general information, merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust (kepercayaan) dapat dilanggar tanpa konsekuensi, misalnya melihat pengalaman orang lain yang melakukan fraud tanpa ketahuan.

 b.

Technical skill, merupakan ketrampilan atau keahlian yang dibutuhkan untuk melakasanakan kejahatan tersebut, misalnya petugas yang menangani rekening koran di bank, mencuri dari nasabah yang jarang bertransaksi.

3. Rationalization

Rationalization (rasionalisasi) adalah mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Rationalization diperlukan agar si  pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Setelah kejahatan dilakukan, rationalization ini ditinggalkan karena tidak diperlukan lagi. Ketika  pertama kali manusia akan berbuat kejahatan atau pelan ggaran, ada perasaan tidak enak dan melakukan pembenaran-pembenaran untuk perilakunya. Ketika  perbuatan itu sukses, akan mengulanginya mengulanginya dan tidak perlu rationalization lagi.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF