Fire Alarm
November 8, 2018 | Author: Kemas Maghzount | Category: N/A
Short Description
Download Fire Alarm...
Description
FIRE ALARM
Selama ini Fire Alarm dikenal memiliki 2 (dua) sistem, yaitu: 1. Sistem Konvensional. 2. Sistem Addressable.
Sistem Konvensional:
yaitu sistem yang menggunakan kabel isi dua untuk hubungan antar detector ke detector dan ke Panel. Kabel yang dipakai umumnya kabel listrik NYM 2x1.5mm atau NYMHY 2x1.5mm yang ditarik di dalam pipa conduit semisal EGA atau Clipsal. Pada instalasi yang cukup kritis kerap dipakai kabel tahan api (FRC=Fire Resistance Cable) dengan berbagai ukuran, misalnya 2x0.75mm atau 2x1.5mm, khususnya untuk kabel yang menuju Panel Fire Alarm dan sumber listrik 220V. Oleh karena memakai kabel isi dua, maka instalasi fire alarm konvensional (analog) disebut dengan 2-Wire Type.
Selain 2-Wire dikenal pula tipe 3-Wire dan 4-Wire seperti terlihat pada Gambar di bawah ini.
Pada 2-Wire Type nama terminal pada detectornya adalah L(+) dan Lc(-). Kabel ini dihubungkan dengan Panel Fire Alarm pada terminal yang berlabel L dan C juga. Tergantung Tergantung dari jumlah Loop-nya, maka pada terminal tertulis L1, L2, L3 dan seterusnya. Hubungan antar detector satu dengan lainnya dilakukan secara paralel dengan syarat tidak boleh bercabang. Artinya harus ada titik awal dan ada titik akhir. Perhatikan Gambar di atas.
Titik akhir tarikan kabel disebut dengan istilah End-of-Line (EOL). Di titik inilah detector fire terakhir dipasang dan di sini pulalah satu loop dinyatakan berakhir (stop). Pada detector terakhir ini dipasang satu buah EOL Resistor atau EOL Capacitor.
Pada 2-Wire Type nama terminal pada detectornya adalah L(+) dan Lc(-). Kabel ini dihubungkan dengan Panel Fire Alarm pada terminal yang berlabel L dan C juga. Tergantung Tergantung dari jumlah Loop-nya, maka pada terminal tertulis L1, L2, L3 dan seterusnya. Hubungan antar detector satu dengan lainnya dilakukan secara paralel dengan syarat tidak boleh bercabang. Artinya harus ada titik awal dan ada titik akhir. Perhatikan Gambar di atas.
Titik akhir tarikan kabel disebut dengan istilah End-of-Line (EOL). Di titik inilah detector fire terakhir dipasang dan di sini pulalah satu loop dinyatakan berakhir (stop). Pada detector terakhir ini dipasang satu buah EOL Resistor atau EOL Capacitor.
Jadi yang benar adalah EOL Resistor ini dipasang di ujung loop, bukan di dalam Control Panel. Jumlahnyapun hanya satu EOL Resistor pada setiap loop. Oleh sebab itu bisa pula dikatakan, bahwa 1 Loop = 1 Zone yang "ditutup" dengan Resistor End of Line (EOL Resistor).
Adapun mengenai penggunaan istilah konvensional, maka istilah ini adalah untuk membedakannya dengan sistem Addressable. Pada sistem konvensional, setiap detector hanya berupa kontak listrik biasa (bukan data yang mengirimkan ID khusus). Sedangkan 3-Wire Type digunakan apabila dikehendaki agar setiap detector memiliki output masing-masing yang berupa lampu. Contoh aplikasinya, misalkan untuk kamar-kamar hotel dan rumah sakit. Sebuah lampu indicator -yang disebut Remote Indicating Lamp dipasang di atas pintu bagian luar setiap kamar dan akan menyala pada saat detector di ruangan itu mendeteksi. Dengan begitu, maka lokasi kebakaran dapat diketahui orang di luar ( corridor ) melalui nyala lampu. Wiring diagram serta bentuk lampu indicatornya adalah seperti ini:
Terakhir adalah jenis 4-Wire Type yang digunakan pada kebanyakan Smoke Detector 12V agar bisa dihubungkan dengan Panel Alarm Rumah. Seperti diketahui Panel Alarm Rumah menggunakan sumber 12VDC untuk menyuplai tegangan ke sensor yang salah satunya bisa berupa Smoke Detector tipe 4-Wire ini. Di sini, ada 2 kabel yang dipakai sebagai supply +12V dan -12V, sedangkan dua sisanya adalah relay NO - C yang dihubungkan dengan terminal bertanda ZONE dan COM pada panel alarm. Selain itu tipe 4-wire ini bisa juga dipakai apabila ada satu atau beberapa Detector "ditugaskan" untuk men-t rigger peralatan lain saat terjadi kebakaran, seperti: mematikan saklar mesin pabrik, menghidupkan mesin pompa air, mengaktifkan sistem penyemprot air ( sprinkler system atau releasing agent ) dan sebagainya. Biasanya detector 4-wire memiliki rentang tegangan antara 12VDC sampai dengan 24VDC.
SYSTEM ADDRESSABLE
Kebanyakan digunakan untuk instalasi Fire Alarm di gedung bertingkat, semisal hotel, perkantoran, mall dan sejenisnya. Perbedaan paling mendasar dengan sistem konvensional adalah dalam hal Address (Alamat). Pada sistem ini setiap detector memiliki alamat sendirisendiri untuk menyatakan identitas ID dirinya. Jadi titik kebakaran sudah diketahui dengan pasti, karena panel bisa menginformasikan deteksi berasal dari detector yang mana . Sedangkan sistem konvensional hanya menginformasikan deteksi berasal dari Zone atau Loop, tanpa bisa memastikan detector mana yang mendeteksi, sebab 1 Loop atau Zone bisa terdiri dari 5 bahkan 10 detector, bahkan terkadang lebih. Agar bisa menginformasikan alamat ID, maka di sini diperlukan sebuah module yang disebut dengan Monitor Module. Ketentuannya adalah satu module untuk satu , sehingga diperoleh sistem yang benar-benar addressable (istilahnya fully addressable). Sedangkan addressable detector adalah detector konvensional yang memiliki module yang built-in. Apabila detector konvensional akan dijadikan addressable, maka dia harus dihubungkan dulu ke monitor module yang terpisah seperti pada contoh di bawah ini:
Dengan teknik rotary switch ataupun DIP switch, alamat module detector dapat ditentukan secara berurutan, misalnya dari 001 sampai dengan 127.
Satu hal yang menyebabkan sistem addressable ini "kalah pemasangannya" dibandingkan dengan sistem konvensional adalah masalah harga. Lebih-lebih jika menerapkan fully addressable dimana jumlah module adalah sama dengan jumlah keseluruhan detector, maka cost-nya lumayan mahal. Sebagai "jalan tengah" ditempuh cara "semi-addressable", yaitu panel dan jaringannya menggunakan Addressable, hanya saja satu module melayani beberapa detector konvensional.
Dalam panel addressable tidak terdapat terminal Zone L-C, melainkan yang ada adalah terminal Loop. Dalam satu tarikan loop bisa dipasang sampai dengan 125 - 127 module. Apa artinya? Artinya jumlah detector-nya bisa sampai 127 titik alias 127 zone fully addressable hanya dalam satu tarikan saja. Jadi untuk model panel addressable berkapasitas 1-Loop sudah bisa menampung 127 titik detector (=127 zone). Jenis panel addressable 2-Loop artinya bisa menampung 2 x 127 module atau sama dengan 254 zone dan seterusnya.
Jenis-jenis Detector Fire Alarm
1. ROR (Rate of Rise) Heat Detector
Heat detector adalah pendeteksi kenaikan panas. Jenis ROR adalah yang paling banyak digunakan saat ini, karena selain ekonomis juga aplikasinya luas. Area deteksi sensor bisa mencapai 50m2 untuk ketinggian plafon 4m. Sedangkan untukplafon lebih tinggi, area deteksinya berkurang menjadi 30m2. Ketinggian pemasangan max. hendaknya tidak melebihi 8m. ROR banyak digunakan karena detector ini bekerja berdasarkan kenaikan temperatur secara cepat di satu ruangan kendati masih berupa hembusan panas. Umumnya pada titik 55oC 63oC sensor ini sudah aktif dan membunyikan alarm bell kebakaran. Dengan begitu bahaya kebakaran (diharapkan) tidak sempat meluas ke area lain. ROR sangat ideal untuk ruangan kantor, kamar hotel, rumah sakit, ruang server, ruang arsip, gudang pabrik dan lainnya.
Prinsip kerja ROR sebenarnya hanya saklar bi-metal biasa. Saklar akan kontak saat mendeteksi panas. Karena tidak memerlukan tegangan (supply), maka bisa dipasang langsung pada panel alarm rumah. Dua kabelnya dimasukkan ke terminal Zone-Com pada panel alarm.
Jika dipasang pada panel Fire Alarm, maka terminalnya adalah L dan LC. Kedua kabelnya boleh terpasang terbalik, sebab tidak memiliki plus-minus. Sedangkan sifat kontaknya adalah NO (Normally Open).
2. Fix Temperature
Fix Temperature termasuk juga ke dalam Heat Detector. Berbeda dengan ROR, maka Fix Temperature baru mendeteksi pada derajat panas yang langsung tinggi. Oleh karena itu cocok ditempatkan pada area yang lingkungannya memang sudah agak-agak "panas", seperti: ruang genset, basement, dapur-dapur foodcourt, gudang beratap asbes, bengkel las dan sejenisnya. Alasannya, jika pada area itu dipasang ROR, maka akan rentan terhadap False Alarm (Alarm Palsu), sebab hembusan panasnya saja sudah bisa menyebabkan ROR mendeteksi. Area efektif detektor jenis ini adalah 30m2 (pada ketinggian plafon 4m) atau 15m2 (untuk ketinggian plafon antara 4 - 8m). Seperti halnya ROR, kabel yang diperlukan untuk detector ini cuma 2, yaitu L dan LC, boleh terbalik dan bisa dipasang langsung pada panel alarm rumah merk apa saja. Sifat kontaknya adalah NO (Normally Open).
3. Smoke Detector
Smoke Detector mendeteksi asap yang masuk ke dalamnya. Asap memiliki partikelpartikel yang kian lama semakin memenuhi ruangan smoke (smoke chamber) seiring dengan meningkatnya intensitas kebakaran. Jika kepadatan asap ini (smoke density) telah melewati ambang batas (threshold), maka rangkaian elektronik di dalamnya akan aktif. Oleh karena berisi rangkaian elektronik, maka Smoke memerlukan tegangan. Pada tipe 2-Wire tegangan ini disupply dari panel Fire bersamaan dengan sinyal, sehingga hanya menggunakan 2 kabel saja. Sedangkan pada tipe 4-Wire (12VDC), maka tegangan plus minus 12VDC-nya disupply dari panel alarm biasa sementara sinyalnya disalurkan pada dua kabel sisanya. Area proteksinya mencapai 150m2 untuk ketinggian plafon 4m. Pertanyaan yang sering diajukan adalah di area mana kita menempatkan Smoke dan di area mana kita menempatkan Heat. Apabila titik-titiknya sudah ditetapkan secara detail oleh Konsultan Proyek, maka kita harus mengikuti gambar titik yang diberikan. Namun apabila belum, maka secara umum patokannya adalah:
Jika diperkirakan di area tersebut saat awal terjadi kebakaran lebih didominasi hembusan panas ketimbang kepulan asap, maka tempatkanlah Heat Detector. Contoh: ruang filing cabinet, gudang spare parts dari logam (tanpa kardus), bengkel kerja mekanik dan sejenisnya.
Sebaliknya jika didominasi asap, sebaiknya memasang Smoke. Contoh: ruangan no smoking area yang beralas karpet (kecuali kamar hotel), gudang kertas, gudang kapas, gudang ban, gudang makanan-minuman (mamin) dan sejenisnya.
Jenis Smoke Detector: Ionisation Smoke Detector
yang bekerjanya berdasarkan tumbukan partikel asap dengan unsur radioaktif Am di dalam ruang detector (smoke chamber).
Photoelectric Type Smoke Detector (Optical)
yang bekerjanya berdasarkan pembiasan cahaya lampu LED di dalam ruang detector oleh adanya asap yang masuk dengan kepadatan tertentu.
Smoke Ionisasi cocok untuk mendeteksi asap dari kobaran api yang cepat (fast flaming fires), tetapi jenis ini lebih mudah terkena false alarm, karena sensitivitasnya yang tinggi. Oleh karenanya lebih cocok untuk ruang keluarga dan ruangan tidur. Smoke Optical (Photoelectric) lebih baik untuk mendeteksi asap dari kobaran api kecil, sehingga cocok untuk di hallway (lorong) dan tempat-tempat rata. Jenis ini lebih tahan terhadap false alarm dan karenanya boleh diletakkan di dekat dapur.
4. Flame Detector Flame Detector adalah alat yang sensitif terhadap radiasi sinar ultraviolet yang ditimbulkan oleh nyala api. Tetapi detector ini tidak bereaksi pada lampu ruangan, infra merah atau sumber cahaya lain yang tidak ada hubungannya dengan nyala api (flame). Aplikasi yang disarankan: -Rumah yang memiliki plafon tinggi: aula, gudang, galeri. -Tempat yang mudah terbakar: gudang kimia, pompa bensin, pabrik, ruangan mesin, ruang panel listrik. -Ruang komputer, lorong-lorong dan sebagainya. Penempatan detector harus bebas dari objek yang menghalangi, tidak dekat dengan lampu mercury, lampu halogen dan lampu untuk sterilisasi. Juga hindari tempat-tempat yang sering terjadi percikan api (spark), seperti di bengkel-bengkel las atau bengkel kerja yang mengoperasikan gerinda. Dalam percobaan singkat, detector ini menunjukkan performa yang sangat bagus. Respon detector terbilang cepat saat korek api dinyalakan dalam jarak 3 - 4m. Oleh sebab itu, pemasangan di pusat keramaian dan area publik harus sedikit dicermati. Jangan sampai orang yang hanya menyalakan pemantik api (lighter) di bawah detector dianggap sebagai
kebakaran. Bisa juga dipasang di ruang bebas merokok (No Smoking Area) asalkan bunyi alarm-nya hanya terjadi di ruangan itu saja sebagai peringatan bagi orang yang "membandel".
5. Gas Detector
Sesuai dengan namanya detector ini mendeteksi kebocoran gas yang kerap terjadi di rumah tinggal. Alat ini bisa mendeteksi dua jenis gas, yaitu: -LPG (El-pi-ji) : Liquefied Petroleum Gas. -LNG (El-en-ji): Liquefied Natural Gas. Dari dua jenis gas tersebut, Elpiji-lah yang paling banyak digunakan di rumah-rumah. Perbedaan LPG dengan LNG adalah: Elpiji lebih berat daripada udara, sehingga apabila bocor, gas akan turun mendekati lantai (tidak terbang ke udara). Sedangkan LNG lebih ringan daripada udara, sehingga jika terjadi kebocoran, maka gasnya akan terbang ke udara. Perbedaan sifat gas inilah yang menentukan posisi detector sebagaimana ilustrasi di bawah ini:
Untuk LPG, maka letak detector adalah di bawah, yaitu sekitar 30 cm dari lantai dengan arah detector menghadap ke atas. Hal ini dimaksudkan agar saat bocor, gas elpiji yang turun akan masuk ke dalam ruang detector sehingga dapat terdeteksi. Jarak antara detector dengan sumber kebocoran tidak melebihi dari 4m. Untuk LNG, maka pemasangan detectornya adalah tinggi di atas lantai, tepatnya 30cm di bawah plafon dengan posisi detector menghadap ke bawah. Sesuai dengan sifatnya, maka saat bocor gas ini akan naik ke udara sehingga bisa terdeteksi. Jarak dengan sumber kebocoran hendaknya tidak melebihi 8m.
PERINGATAN - Dapur atau ruangan yang dipenuhi oleh bocoran gas adalah sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan ledakan, karena kedua jenis gas ini amat mudah terbakar (highly flammable).
Conventional Fire Alarm Control Panel
Tampak luar Panel Fire Alarm umumnya berupa metal kabinet dari bahan yang kokoh seperti terlihat pada gambar di samping. Pada beberapa tipe ada yang berwarna merah, mungkin dengan maksud agar bisa dibedakan dengan panel listrik ataupun panel instrumentasi lainnya. Dalam sistem alarm, panel berfungsi sebagai pusat pengendali semua sistem dan merupakan inti dari semua sistem alarm. Oleh sebab itu, maka lokasi penempatannya harus direncanakan dengan baik, terlebih lagi pada sistem Fire Alarm. Syarat utamanya adalah tempatkan panel sejauh mungkin dari lokasi yang berpotensial menimbulkan kebakaran dan jauh dari campur tangan orang yang tidak berhak. Perlu diingat, kendati bukan merupakan alat keselamatan, namun sistem Fire Alarm sangat bersangkutan jiwa manusia, sehingga kekeliruan sekecil apapun sebaiknya diantisipasi sejak dini. Panel Fire Alarm memiliki kapasitas zone, misalnya 1 Zone, 5 Zone, 10 dan seterusnya. Pemilihan kapasitas panel disesuaikan dengan banyaknya lokasi yang akan diproteksi, selain tentu saja pertimbangan soal harga. Di bagian depannya tertera sederetan lampu indikator yang menunjukkan aktivitas sistem. Kesalahan sekecil apapun akan terdeteksi oleh panel ini, diantaranya: -Indikator Zone yang menunjukkan Lokasi Kebakaran (Fire) dan kabel putus (Zone Fault). -Indikator Power untuk memastikan bagus tidaknya pasokan listrik pada sistem. -Indikator Battery untuk memastikan kondisi baterai masih penuh atau sudah lemah.
-Indikator Attention untuk mengingatkan operator akan adanya posisi switch yang salah. -Indikator Accumulation untuk menandakan bahwa sesaat lagi akan terjadi deteksi dan sederetan indikator lainnya. Panel Fire Alarm tidak memerlukan pengoperasian manual secara rutin, karena secara teknis ia sudah beroperasi selama 24 jam non-stop. Namun yang diperlukan adalah pengawasan dan pemeliharaan oleh pekerja yang memang sebaiknya ditunjuk khusus untuk melakukan itu. Setiap kesalahan (trouble) yang terjadi harus segera dilaporkan dan ditindaklanjuti, sebab kita tidak pernah tahu kapan terjadinya bahaya kebakaran. Pengujian berkala perlu dilakukan sedikitnya dua kali dalam setahun guna memastikan keseluruhan sistem bekerja dengan baik. Untuk menguji sistem diperlukan satu standar operasi yang benar, jangan sampai menimbulkan kepanikan luar biasa bagi orang-orang di sekitarnya disebabkan oleh bunyi bell alarm dari sistem yang kita uji.
"Tiga Serangkai" dalam sistem Fire Alarm terdiri dari:
1. Manual Call Point. 2. Indicator Lamp. 3. Fire Bell. Disebut tiga serangkai, karena ketiganya biasa dipasang di tembok berjajar ke bawah ataupun ditempatkan dalam satu plat metal yang berada tepat di atas lemari hidran (selang pemadam api).
1. Manual Call Point (MCP)
Fungsi alat ini adalah untuk mengaktifkan sirine tanda kebakaran (Fire Bell) secara manual dengan cara memecahkan kaca atau plastik transparan di bagian tengahnya. Istilah lain untuk alat ini adalah Emergency Break Glass. Di dalamnya hanya berupa saklar biasa yang
berupa microswitch atau tombol tekan. Salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah soal lokasi penempatannya. Terbaik jika unit ini diletakkan di lokasi yang: -sering terlihat oleh banyak orang, -terlewati oleh orang saat berlarian ke luar bangunan, -mudah dijangkau.
Untuk menguji fungsi alat ini tidak perlu dengan memecahkan kaca, karena sudah tersedia tongkat atau kunci khusus, sehingga saklar bisa tertekan tanpa harus memecahkan kaca. Kaca yang telanjur retak atau pecah bisa diganti dengan yang baru. Di beberapa tipe ada yang dilengkapi dengan fungsi intercom (TEL). Petugas penguji dapat melakukan komunikasi dengan penjaga di Panel Control Room dengan memasukkan handset telepon ke dalam jack pada MCP. Seketika itu juga telepon di panel akan aktif,sehingga kedua orang ini bisa saling berkomunikasi.
2. Fire Bell Fire Bell akan membunyikan bunyi alarm kebakaran yang khas. Suaranya cukup nyaring dalam jarak yang relatif jauh. Tegangan output yang keluar dari dari panel Fire Alarm adalah 24VDC, sehingga jenis Fire Bell 24VDC-lah yang banyak dipakai saat ini, sekalipun versi 12VDC juga tersedia. Perlu diperhatikan dalam pemasangan Fire Bell (pada tipe Gong) adalah kedudukan piringan bell terhadap batang pemukul piringan jangan sampai salah. Jika tidak pas, maka bunyi bell menjadi tidak nyaring. Aturlah kembali dudukannya dengan cermat sampai bunyi bel terdengar paling nyaring.
4. Indicator Lamp Indicator lamp adalah lampu yang berfungsi sebagai pertanda aktif-tidaknya sistem Fire Alarm atau sebagai pertanda adanya kebakaran. Entah kami salah kaprah atau tidak, sebab dalam sebuah situs dikatakan begini:
"An indicator lamp is a light that indicates whether power is on to a device or even if there is a problem with a circuit or if something is working properly".
Jadi apabila demikian, maka yang dimaksud dengan Indicator Lamp pada Fire Alarm adalah lampu yang menunjukkan adanya power pada panel ataupun menunjukkan trouble dan atau kebakaran. Di dalamnya hanya berupa lampu bohlam ( bulb) berdaya 30V/2W atau lampu LED berarus rendah. Oleh karena itu, dalam sistem yang normal (tidak pada saat kebakaran) seyogianya lampu ini menyala (On). Sebaliknya apabila lampu mati, ya tentu saja ada trouble pada power. Pada beberapa merk, indikasi kebakaran dinyatakan dengan lampu indikator yang berkedip-kedip.
4. Remote Indicating Lamp
Berbeda dengan Indicator Lamp, maka Remote Indicating Lamp akan menyala saat terjadi kebakaran. Ingat kembali pembahasan ini pada Judul Bagian 1. Detector Heat atau Smoke yang akan dihubungkan dengan unit ini harus ditempatkan pada Mounting Base 3-kabel. Lampu ini dipasang di luar ruangan tertutup (closed room), seperti ruang panel listrik, ruang genset, ruang pompa dan semisalnya, dengan maksud agar gejala kebakaran di dalam dapat diketahui oleh orang di luar melalui nyala lampu. Unit ini bisa juga dipasang di luar kamar hotel (sepanjang hallway), rumah sakit dan ruangan yang semisalnya.
Anatomi Fire Alarm Konvensional (Analog)
Instalasi Fire Alarm bisa dimulai dari yang sederhana sampai dengan tingkatan kompleks. Sistem sederhana hanya memerlukan beberapa detector, satu panel dan fire bell. Sistem ini umumnya menggunakan cara analog dan dikenal dengan istilah fire alarm konvensional. Sedangkan sistem yang lebih kompleks biasanya menggunakan apa yang disebut dengan Addressable Fire Alarm. Perbedaan prinsip dari kedua sistem di atas sudah kami paparkan beberapa waktu lalu. Perlu dijelaskan di sini, bahwa tidak setiap sistem analog itu sederhana. Terkadang dijumpai pula sistem analog yang melibatkan pompa hidran untuk pemadaman api (sprinkler system), sistem evakuasi (dengan PA System) dan flow switch untuk memantau ketinggian level cairan. Sistem inilah yang menjadikannya kompleks, sedangkan sistem fire alarmnya sendiri sebenarnya cukup "sederhana".
Pada topik kali ini kami akan coba jelaskan anatomi atau susunan dari dasar unit pada sistem fire alarm konvensional. Semoga bisa menambah wawasan kita. Diagram dasar sistem fire alarm konvensional terlihat pada gambar di bawah ini.
Perhatikan jalur kabel di ujung sebelah kanan, tepatnya di unit MCP (Manual Call Point). MCP adalah saklar darurat untuk membunyikan fire bell saat terjadi gejala kebakaran. Biasanya unit MCP ini diletakkan berjajar dengan indicator lamp dan fire bell. Dengan demikian kita bisa memakai satu pipa ducting untuk kabelnya. Jika MCP merupakan detector terakhir, maka di unit inilah EOL Resistor (End Of Line) dipasang.
Jalur sebelah kiri MCP adalah jalur kabel untuk detector smoke atau heat. Detector ini dipasang pada dudukan yang disebut mounting base atau base plate. Pada sistem analog mounting base ini memiliki terminal 2-in 2-out. Nama terminal yang umum adalah L (+) dan C (-). Perhatikan gambar di atas untuk penarikan kabel fire alarm yang benar.
Jalur kabel ini dinamakan loop. Loop menentukan kapasitas zone suatu panel. Artinya, panel kapasitas 10 Zone memiliki 10 loop. EOL harus dipasang pada detector terakhir dan dalam satu loop hanya boleh ada 1 buah EOL saja. Konsekuensinya adalah kita tidak boleh membuat loop baru yang merupakan cabang dari loop yang ada. Perhatikanlah gambar di bawah ini:
Mengapa demikian? Karena panel akan "kehilangan" EOL untuk loop cabang, sehingga apabila kabel loop ini putus atau ada detector yang dicabut, maka panel tidak menunjukkan adanya trouble disconnected. Tentunya kabel putus yang tidak terdeteksi oleh panel akan membahayakan. Seandainya pada jalur ini terjadi kebakaran, maka panel tidak akan bereaksi membunyikan fire bell. Oleh sebab itulah instalasi fire alarm perlu mendapat pengawasan yang seksama, jangan sampai installer melakukan kekeliruan ini.
Fungsi TBFA (Terminal Box Fire Alarm) adalah untuk memudahkan pemeriksaan (troubleshooting) dan pemeliharaan (maintenance). Box ini biasanya berwarna merah (tidak seperti contoh!) agar bisa dibedakan dari terminal box PABX dan
lainnya. Peletakkan terminal box fire bisa di ujung koridor gedung dengan maksud agar kabel bisa turun dengan mudah melalui lorong penghubung antar lantai yang disebut shaft. Di shaft inilah biasanya instalasi ME (Mekanikal Elektrikal) dilakukan, seperti jalur listrik, telepon, jaringan komputer, pipa air dan sebagainya. Shaft untuk Mekanikal pada umunya terpisah dari shaft Elektrikal.
Sebelum masuk ke panel utama, kabel dari TBFA diparkir dulu di MDFA. MDFA adalah Main Distribution Frame Fire Alarm yang merupakan kumpulan jalur utama dari setiap lantai atau lokasi. Khusus untuk jalur ini kita bisa memakai kabel dari jenis tahan api (FRC, Fire Resistant Cable) supaya sinyal supervisi tidak terputus oleh adanya kebakaran di sepanjang jalur ini.
Contoh Fire Resistant Cable
Pemasangan Fire Bell, Indicator Lamp dan Manual Call Point Secara umum pemasangan tiga serangkai ini bisa dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Konsultan, misalnya di ujung koridor, di public area dan di tempat strategis lainnya. Pemasangan di sekitar fire escape route atau emergency door adalah ide yang baik, karena pengunjung bisa memecahkan kaca MCP sambil melalui jalur escape ini, sehingga fire bell berbunyi. Tidak ada yang aneh dalam instalasi ketiga unit ini, karena masing-masing memerlukan kabel isi dua. Kita bisa menggunakan 3 buah kabel listrik NYMHY 2x1.5mm (atau tipe lain yang ditetapkan oleh Konsultan) di dalam pipa conduit semisal EGA High Impact atau Clipsal. Jika tidak ada persyaratan lain, maka umumnya instalasi dilakukan seperti ini:
Gambar di atas hanya bermaksud memperlihatkan instalasi tipikal dari ketiga unit tersebut. Dalam realisasinya, conduit harus dipasang menempel pada dak cor lantai atas dengan menggunakan klem dan fischer . Konsultan tidak akan mengijinkan menggantung conduit di rangka plafon, karena selain membebani rangka, bentangan pipa akan mengganggu instalasi mekanikal dan elektrikal lainnya, seperti ducting AC, lampu, ceiling speaker dan lain-lain.
Anatomi Fire Alarm Addressable
Addressable Fire Alarm merupakan sistem yang banyak dipakai di gedung bertingkat, pusat perbelanjaan dan kawasan industri. Secara umum penarikan kabel untuk sistem ini termasuk sederhana dan mudah dipahami. Jika dalam implementasi di lapangan banyak dijumpai kendala, maka hal itu biasanya disebabkan oleh kurang matangnya desain, terutama dalam hal penempatan module dan EOL. Oleh sebab itu pemahaman terhadap anatomi sistem ini menjadi penting. Bagaimanakah perbedaannya dengan sistem fire alarm konvensional?
Fire alarm addressable memiliki 3 (tiga) terminal utama yang disebut V+, V- dan S+. Dari titik inilah satu loop dimulai, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini:
Isolator Module berfungsi sebagai proteksi pada saat kabel mengalami masalah (short circuit), sehingga panel tidak cepat rusak. Control Module adalah yang akan dihubungkan dengan detector konvensional (tanda S), semisal heat detector, smoke ataupun manual call point, yaitu pada terminal L dan Lc (-). Perhatikan bahwasanya EOL selalu dipasang pada detector, bukan pada module!
Nah, di sepanjang jalur ini kita bebas meletakkan module-module atau detector addressable yang module-nya sudah built-in. Jika tidak dipersyaratkan lain, maka kabel yang digunakan minimal berukuran 3 x 2.0mm dari jenis tunggal. Hal ini dimaksudkan agar sinyal bisa sampai pada jarak yang cukup jauh, yaitu 1000m sebagaimana dinyatakan dalam spesifikasi. Perhatikan pula untuk kategori Class B, maka kabel yang menuju panel hanya ada satu. Sedangkan pada Class A ada Loop yang kembali lagi ke Panel. Tapi, baik Class A atau Class B, kabel yang menuju Panel tidak datang dari berbagai jurusan!
Lantas apa yang "menarik" dari sistem fire addressable ini? Setidaknya ada 3 point yang atraktif, yaitu:
1. Instalasi kabel yang relatif sederhana Untuk sistem yang fully addressable, maka satu module hanya dipasang satu detector sehingga lokasi kebakaran lebih gampang dicari.
2. Output yang indepeden Setiap module memiliki output sendiri, sehingga saat terjadi kebakaran hanya di sekitar itu sajalah fire bell berbunyi. Hal ini setidaknya dapat mengurangi tingkat kepanikan pengunjung lain yang jauh dari lokasi kejadian.
3. Bisa menampung banyak device Satu loop bisa menangani sedikitnya 127 - 250 module, sehingga panel dengan kapasitas dua loop bisa menampung hingga 254 module (=254 address) bahkan ada yang sampai dengan 500 address. Pengaturan address dilakukan dengan cara mengatur rotary switch atau DIP switch pada masing-masing module.
4. Lokasi Titik Kebakaran Lebih Pasti Pada sistem Analog, satu loop bisa terdiri dari beberapa Detector, katakanlah 10 Smoke Detector. Saat terjadi kebakaran di Loop tersebut, kita tidak mengetahui secara pasti Detector mana yang mendeteksi. Berbeda dengan sistem Addressable. Oleh karena setiap Detector memiliki address sendiri, maka saat detector tersebut mendeteksi, ia akan mengirimkan address dirinya ke Control Panel. Dengan demikian lokasi kebakaran dapat ditemukan dengan cepat dan pasti.
Menambah Waktu Backup Panel Alarm (1)
Ada sejumlah permintaan kepada kami beberapa waktu lalu, yaitu tentang bagaimana menambah waktu backup panel alarm di daerah yang sering mati listrik dalam waktu lama. Apakah penggunaan UPS cukup efektif? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah, mengingat panel alarm memiliki baterai yang kapasitasnya terbatas. Artinya, baterai yang t ersedia pada umumnya hanya sekitar 7Ah saja bahkan ada yang kurang dari itu. Bandingkan dengan aki mobil yang berukuran 40Ah ke atas. Lantas apa arti satuan Ah itu sendiri?
Ah singkatan dari Ampere hour atau Ampere jam. Ini merupakan satuan dari kapasitas baterai atau aki (accu) yang menyatakan berapa jam aki tersebut akan "habis". Jelas, makin besar Ah baterai akan semakin lama habisnya. Tetapi hal itu tergantung pula pada besarnya beban. Makin besar beban, maka baterai akan semakin cepat pula habisnya. Ini adalah alamiah, sebagaimana disimpulkan oleh Georg Simon Ohm (1787-1854) yang terkenal dengan hukum Ohm-nya.
Begini ilustrasinya:
Misalkan kita menghubungkan lampu bohlam kecil yang di badannya tertulis 12V/3W dengan baterai alarm, katakanlah 12V / 1.2Ah seperti pada gambar di atas. Lampu akan menyala oleh karena adanya arus lisrik yang disimbolkan dengan I. Selama baterai terhubung ke lampu, maka arus ini akan terus mengalir, sehingga lama-lama bateraipun akan "habis". Nah, persoalan kita sekarang adalah berapa lama baterai akan habis?
Seperti terlihat pada ilustrasi di atas, maka sesungguhnya besarnya arus adalah daya lampu dibagi dengan tegangan baterai. Jadi arus I yang mengalir pada rangkaian di atas adalah sebesar 3W/12V, yaitu sama dengan 0.25 A (seperempat ampere). Nah, jika arus sudah ketahuan, maka kita dapat menghitung lamanya backup, yaitu dengan membagi kapasitas baterai (dalam Ah) dengan arus yang mengalir pada beban (dalam A). Bukankah pembagian Ah per A akan menghasilkan h (jam)? Oleh sebab itu, pada contoh di atas, secara teoritis baterai akan "habis" di bawah setengah jam saja.
Sama halnya pada sistem alarm. Untuk menghitung lamanya backup baterai, kita cukup
membagi kapasitas baterai dengan arus total yang mengalir pada beban, yaitu: sensor, keypad, modul tambahan, indicator lamp, relay dan lainnya, termasuk berapa lama waktu siren yang diprogram). Arus total yang dimaksud adalah penjumlahan arus yang diserap oleh masingmasing peralatan sebagaimana yang tercantum dalam spec. produk. Misalnya saja untuk PIR tercantum angka 17mA. Maka jika ada 5 PIR, maka arus totalnya adalah 5 x 17mA atau sama dengan 85mA. Untuk sensor Beam tercantum 46mA (sepasang), maka jika ada 3 beam arus totalnya menjadi 3 x 46mA = 138mA. Demikian seterusnya sampai arus dijumlahkan semua. Inilah yang dimaksud dengan arus total. Sedangkan untuk PCB rangkaian alarm itu sendiri (jika tidak dinyatakan dalam spec), maka ditetapkan 100mA sebagai kisaran.
Lalu, apa arti semua ini? Mudah saja. Jika arus total diketahui, maka waktu backup baterai pun dapat dihitung dengan cara sederhana, yaitu:
h = kapasitas baterai / arus total
Contoh: Satu sistem alarm memakai sensor sebagai berikut: 3 unit PIR @17mA 4 pasang beam @46mA 2 keypad LED @125mA Sistem dibackup dengan baterai Sealed Lead Acid 12V 7Ah. Berapa lama kisaran waktu backup sistem?
Mari kita hitung-hitungan di atas kertas. Untuk PIR 3 x 17mA = 51mA Untuk Beam 4 x 46mA = 184mA Untuk Keypad 2 x 125mA = 250mA Untuk PCB Panel = 100mA
Maka, arus totalnya adalah 585mA. Arus total inilah yang akan "ditanggung" oleh baterai backup saat listrik mati. Sedangkan arus yang ditanggung panel saat listrik normal adalah 485mA saja (yaitu minus panel). Saat listrik normal kebutuhan arus sensor dipenuhi oleh Aux panel, yaitu sekitar 500mA. Untuk jumlah sensor di atas, panel belum mengalami "overload".
Jadi, saat listrik mati, baterai backup 7 Ah dapat membekali sistem selama: T = 7000mAh / 585mA = 11.9 hour ( sekitar 12 jam ).
Angka 12 jam ini selama tidak terjadi bunyi siren. Lalu bagaimanakah jika terjadi bunyi siren, bahkan sampai berkali-kali? Tentu saja waktu backup akan semakin berkurang. Makin besar daya siren dan makin lama bunyinya, makin cepat pula pengurangan waktunya. Perhatikanlah pendekatan di bawah ini:
Jika digunakan siren berdaya 20W @12V, maka arusnya menjadi sebesar 20W / 12V = 1.6A (1600mA). Secara teoritis siren jenis ini sudah melebihi kemampuan rata-rata rangkaian Bell panel alarm yang berkisar 700mA. Dikhawatirkan panel akan "overload" saat terjadi alarm, sehingga diperlukan power supply tambahan untuk men-drive siren ini. Baiklah, sementara kita tinggalkan dulu soal power supply tambahan ini. Apabila bunyi siren diprogram selama 2 menit, maka arus yang diserap dari baterai adalah 2/60 h x 1600mA atau sekitar 53mAh. Oleh sebab itu saat terjadi bunyi siren 2 menit, kisaran waktu akan menyusut menjadi:
T = (7000mAh - 53mAh) / 585mA = 11.8 hour.
Ini baru landasan teorinya, sebab dalam praktek kita belum melibatkan faktor penyusutan atau randemen. Untuk batas aman, maka kami menggunakan patokan 0.8. Artinya jika hasil perhitungan 12 jam, maka dalam praktek mungkin hanya sekitar 10 jam saja. Oleh sebab itulah dalam berbagai kesempatan, kami selalu mengatakan kepada client, bahwa kisaran baterai backup panel alarm hanya sekitar 8 jam saja (kendati kami sempat memergoki ada yang bisa bertahan hingga dua hari dalam keadaan Armed!). Tetapi sekali lagi, semuanya sangat bergantung pada arus total yang dikonsumsi oleh peralatan.
Informasi: Perhitungan di atas sangat berguna untuk melihat apakah sistem kita "overload" atau tidak, sehingga memerlukan power supply tambahan ataukah tidak. Ini termasuk tahapan desain yang kerap terlewatkan oleh kebanyakan vendor (termasuk kami sendiri!). Namun dalam prakteknya, arus total bisa diukur langsung dengan memakai multimeter digital. Hasil pengukuran ini jelas akan lebih nyata ketimbang perhitungan. Perhatikan ilustrasi di bawah ini:
Lantas bagaimana jika client menghendaki waktu backup yang lebih lama, misalnya 2 - 3 hari? Ini bisa menjadi topik diskusi yang menarik. Inti pembicaraan kita yang sebenarnya adalah ini. Nantikanlah pada posting selanjutnya.
Menambah Waktu Backup Panel Alarm (2)
Pada posting sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendekatan dalam menghitung lamanya backup baterai alarm. Perhitungan ini hanya sebagai pengetahuan saja, sebab di lapangan kita bisa mengukur langsung arus total yang diserap sistem dari baterai saat listrik mati. Caranya seperti ini:
Idealnya kita melakukan dua kali pengukuran, yaitu: 1. Saat stasioner (idle), yaitu tanpa bunyi siren. 2. Saat beban puncak, yaitu saat siren berbunyi.
Perhatikanlah apakah terjadi "overload" atau tidak, sebab sistem yang overload setidaknya memiliki 10 kerugian, baik saat ada listrik maupun tidak, yaitu: 1. Rangkaian charger yang cenderung panas. 2. Bunyi siren tidak maksimal (apalagi jika lebih dari 1). 3. Baterai sering low. 4. Panel tidak bisa dikendalikan. 5. Panel mati total tiba-tiba, lalu pulih setelah listrik dicabut dan dipasang lagi.
6. False alarm oleh sensor aktif yang kekurangan tegangan. 7. Deteksi sensor tidak maksimal. 8. Bunyi sirine saat mati listrik dalam waktu lama, sehingga terjadilah kasus no.4. 9. Operasi panel yang tidak stabil. 10. Random error (kesalahan acak), kadang-kadang muncul masalah ini dan itu.
Pernahkah anda mengalami salah satu diantaranya? Tentu saja, bukan? Nah, boleh jadi penyebabnya adalah sistem yang overload.
Baiklah sebagai penutup, kami paparkan satu cara untuk menambah waktu backup baterai atau tepatnya menambahkan accu mobil ke dalam panel. Rangkaian dan prinsip kerjanya sederhana, sehingga tidak perlu dipaparkan lebih jauh. Cara ini kami anggap lebih baik ketimbang memakai UPS. Mengapa? Insya Allah kami bahas pada kesempatan lain.
View more...
Comments