Filsafat Immanuel Kant Kritik Terhadap Akal Budi

December 20, 2016 | Author: astlit | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Immanuel Kant, Kritik Terhadap Akal Budi: hukum moral dan pemahaman imperatif kategoris...

Description

IMMANUEL KANT KRITIK TERHADAP AKAL BUDI: HUKUM MORAL DAN PEMAHAMAN IMPERATIF KATEGORIS I. PENDAHULUAN Immanuel Kant merupakan salah satu filsuf modern yang paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu filsafat terutama filsafat barat. Dia adalah salah satu filsuf yang dikenal saat pemikiran filosofis zaman Aufklärung (pencerahan) Jerman menjelang akhir abad ke-18. Kant berani mengungkapkan pemikiran-pemikirannya yang menentang beberapa pemikiran filsuf sebelumnya yang dianggap mewakili pemahaman manusia pada umumnya. Pemikiran Kant yang analitis dan tajam menjadi acuan bagi pemikiran-pemikiran lainnya, terutama dalam bidang epistemologi, metafisika, dan etika (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Pemikiran-pemikiran Kant banyak mendapat pengaruh dari tokoh filsafat sebelumnya, yakni David Hume dan Gottfried Wilhelm Leibniz. Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis kuat: Hume mewakili aliran empirisisme dan Leibniz sebagai wakil dari aliran rasionalisme. Kant memadukan kedua aliran tersebut menjadi suatu filsafat baru yang dinamainya sebagai kritisisme atau filsafat kritis. Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batasbatasnya. Filsafat sebelum kritisisme dianggap sebagai dogmatism, sebab filsafat itu percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan telebih dahulu (Tjahjadi, 1991). Karya kritis Kant yang pertama adalah Kritik der reinen Vernunft (Kritik terhadap Akal Budi Murni). Dalam buku ini Kant melakukan “revolusi kopernikan” di bidang filsafat. Selama ini kaum rasionalis dan empiris meyakini bahwa pemahaman dunia alami menuntut kecocokan antara apa yang tercermin dalam pengertian kita dengan apa yang ada dalam kenyataan, mirip fotografi yang mendasarkan pada rasio dan logis. Namun, menurut Kant, paham tersebut salah. Revolusi pemikiran Kant terdiri dari pernyataan bahwa pikiran adalah aktif, tidak pasif, yaitu tidak hanya bekerja pada hal-hal yang berhubungan dengan indrawi

saja. Kant berpendapat bahwa intuisi-intuisi indrawi tidaklah cukup untuk mengetahui. Adanya dorongan-dorongan lain di luar rasio dan pengalaman indrawi, seperti akal budi (Vernunft), paham-paham substansial (jiwa, dunia dan Allah, juga “aku”), dan kesadaran moral (Suseno, 1997; Garvey, 2010). Dari pemikiran-pemikiran Kant itulah, dapat dikembangkan beberapa paham terkait etika serta implikasi-implikasi di dalamnya, yaitu Paham Moralitas, Otonomi Kehendak, dan Imperatif Kategoris. II. KEHIDUPAN DAN KARYA KANT Immanuel Kant dilahirkan di Königsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur (setelah Perang Dunia II dimasukkan ke Uni Soviet dan diganti namanya menjadi Kaliningrad) pada tanggal 22 April 1724. Kant lahir dari keluarga miskin dengan ayahnya seorang pembuat pelana kuda. Keluarga Kant adalah penganut setia Pietisme, salah satu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Dia memperoleh keterampilan dasar membaca dan menulis di the Hospital School di pinggiran kota Königsberg. Pada usia delapan tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini dia dididik dengan disiplin yang keras. Di sekolah ini pula Kant mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan untuk mengungkapkan pemikiran mereka pada saat itu (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997; Kanz, 1999). Pada 1740, pada usia 16, Kant diterima di Universitas Königsberg. Dia kenal baik dengan Martin Knutzen (1731-1751), dosen yang memberikan pengaruh besar kepada Kant. Knutzen adalah murid dari Christian von Wolff (1679-1754), dan juga seorang profesor logika dan metafisika. Namun, dia juga memiliki minat dalam bidang-bidang ilmu alam, fisika, astronomi, dan matematika. Kant terdorong minatnya untuk mengikuti jejak sang profesor untuk mendalami bidang-bidang tersebut. Saat kuliah ini, karena alasan keuangan, Kant bekerja menjadi guru pribadi untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun dari beberapa keluarga kaya di Königsberg. Pada tahun 1755 Kant lulus dari Königsberg dan memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul

Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran mengenai Api (Meditationum quarundum de igne succinta delineatio),yang merupakan karya Kant dalam bidang ilmu alam (Tjahjadi, 1991; Kanz, 1999). Setelah lulus, Kant bekerja sebagai Privatdozent, atau dosen suka rela, juga di Königsberg. Ia mengajarkan banyak mata kuliah seperti metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika. Pada saat menjadi Privatdozent inilah, ia menganalisis karya Newton, Hume, dan Rousseau yang dalam katakatanya sendiri, telah memicu revolusi dalam pemikiran pribadinya. Karir Kant sebagai dosen di Königsberg, berakhir pada tahun 1770 ketika ia ditunjuk untuk menjadi profesor dan guru besar di bidang logika dan metafisika dengan disertasi Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Indrawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue intelligibilis forma et principiis). Karir Kant sebagai profesor membuatnya dikenal sebagai salah satu kaum intelektual Jerman yang terkemuka. Dalam perjalanan karir ilmiahnya (Kant juga menjadi rektor universitas pada tahun 1786 dan 1788), ia menulis karya-karya filsafat yang terbukti menjadi acuan besar pada era itu (Tjahjadi, 1991; Kanz, 1999). Berikut adalah beberapa karya penting Immanuel Kant: 1. Kritik atas Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft, 1781 dan 1787); 2. Pengantar Metafisika Masa Depan (Prolegomena zu einer künftigen Metaphysik, 1783); 3. Pendasaran Metafisika Kesusilaan (Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, 1785); 4. Kritik atas Budi Praktis (Kritik der praktischen Vernunft, 1788); 5. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft, 1790); 6. Agama di dalam Batas-Batas Budi Melulu (Die Religion innerhalb den Grenzen der blossen Vernunft, 1793); 7. Menuju Perdamaian Abadi (Zum ewigen Frieden, 1795); 8. Metafisika Kesusilaan (Metaphysik der Sitten, 1797); dan 9. Antropologi

dalam

Sudut

Pandang

Pragmatis

pragmatischer Hinsicht, 1797) (Tjahjadi, 1991). III. KRITIK KANT TERHADAP AKAL BUDI

(Anthropologie

in

Karya Kant dapat dibagi dalam dua bagian, bagian prakritis dan bagian kritis. Dalam masa prakritis (1746-1770), Kant menulis tentang berbagai masalah dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat. Kemudian selama 11 tahun tidak ada tulisan Kant dalam bidang apapun, saat itulah pemikiran Kant berubah. Kant menulis bahwa empirisme filsuf Skotlandia David Hume membangunkannya dari “tidur dogmatisnya”. Hume telah mendestruksikan anggapan filsafat sebelumnya bahwa paham-paham umum seperti “substansi” atau “sebab” dapat ditemukan dalam realitas empiris. Yang pasti menurut Hume hanyalah yang empiris, dan itu berate pengetahuan kita tidak lebih dari sederetan kesan-kesan indrawi saja. Kant mengambil alih dan sekaligus mengatasi titik tolak Hume itu. Menurutnya Hume betul dalam kritik terhadap filsafat sebelumnya, tetapi tidak betul dalam penjelasannya tentang pengetahuan manusia. Kant tidak bisa menerima skeptisisme Hume, yakni pandangan Hume bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak bisa diperoleh kepastian, hanya kementakan. Pada waktu Kant hidup sudah ada hukum-hukum ilmu pengetahuan alam yang berlaku di manamana seperti air mendidih pada suhu 100oC atau hukum gravitasi Newton. Masalahnya adalah bagaimana pengetahuan manusia bisa mengerti semua hal itu. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan alam bisa menghasilkan pengetahuan yang mutlak perlu dan pasti? (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Karena itu, Kant akan membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunkannya secara baru sama sekali. Filsafatnya menjadi “kritisisme” yang dilawankan terhadap seluruh filsafat sebelumnya yang ditolaknya sebagai “dogmatism”. Artinya, filsafat sebelumnya dianggap Kant dogmatis karena kemampuan rasio manusia dipercaya mentah-mentah, padahal batas-batas kemampuan rasio harus diteliti dulu. Dogmatism menganggap pengetahuan obyektif sebagai hal yang terjadi dengan sendirinya. Sebagai suatu sistem filsafat, dogmatism mendasarkan pandangannya atas ketentuan-ketentuan a priori atau pengertian-pengertian yang telah ada tentang Allah atau substansi atau monade, tanpa bertanya apakah rasio telah memahami hakikatnya sendiri: luas dan batas kemampuannya. Sikap dogmatis ini tentu saja ditolak oleh Kant (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997; Britton, 2009).

Kritik Kant disampaikan melalui bukunya yang terkenal, yaitu Kritik atas Akal Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft, 1781 dan 1787). Dalam kritik ini, Kant membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama, putusan analitis: predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat di dalamnya (misalnya lingkaran adalah bulat). Kedua, putusan sintesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi (misalnya pernyataan “meja itu bagus”, di mana merupakan hasil suatu pengamatan indrawi). Ketiga, putusan a priori: dipakai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintesis, tetapi bersifat a priori. A priori di sini berarti tanpa menggunakan data-data realitas, misalnya pandangan orang, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai budaya, lembaga-lembaga, perkembangan sejarah, struktur sosial, dan sebagainya (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Menurut Kant, ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia. Tingkat pertama dan terendah adalah tingkat penyerapan indrawi (Sinneswahrnehmung). Lalu berikutnya adalah tingkat rasio (Verstand). Dan tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan adalah tingkat akal budi (Vernunft). Akal budi merupakan semacam pengertian atau pemahaman yang mendalam. 1. Tingkat penyerapan indrawi (Sinneswahrnehmung) Menurut Kant, pengetahuan merupakan sintesis dari unsur-unsur yang sudah ada sebelum pengalaman (unsur-unsur a priori) dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman (unsur-unsru aposteriori). Unsru a priori sudah terdapat pada taraf menyerapan indrawi. Di sini ada dua bentuk a priori, yakni ruang dan waktu. Kant mengatakan bahwa keduanya adalah a priori sensibilitas. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, di mana penginderaan-penginderan berlangsung. Pernyataan Kant mengimplikasikan adanya realitas yang terlepas dari subjek. Menurut Kant memang ada “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an sich). Akan tetapi realitas ini tidak bisa diamati atau diselidiki. Yang bisa diamati hanyalah

fenomena-fenomena atau penampakan realitas itu saja (Tjahjadi, 1991; Soyomukti, 2011). 2. Tingkat rasio (Verstand) Bersamaan dengan pengamatan indrawi, ada rasio yang bekerja secara spontan. Tugas rasio adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi sehingga menghasilkan putusan-putusan. Menurut Kant, ada 12 kategori dalam rasio, yakni kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi, sebab akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas, dan kebutuhan. Kant membagi rasio menjadi dua, yakni Murni (Pure) dan Praktis (Practice). Konsep kesempurnaan adalah bagian dari Rasio Murni di mana moralitas (konsep Rasio Praktis) diturunkan tanpa ada kontradiksi dengan Rasio Murni. Kant juga menyatakan bahwa apa yang sebenarnya (what is the case), sekalipun telah dimengerti dengan jelas dan pasti, tidak akan menyelesaikan masalah praktis tentang apa yang seharusnya saya lakukan (what ought to be) (Tjahjadi, 1991; Britton, 2009; Garvey, 2010). 3. Tingkat akal budi (Vernunft) Yang dimaksud Kant dengan akal budi adalah daya pencipta pengertianpengertian murni atau pengertian-pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperoleh dari pengalaman, melainkan untuk mengatasi pengalaman-pengalaman itu sendiri. Bagi Kant, masalahnya adalah akal budi bekerja dalam area-area tertentu saja dan tidak pada area lain. Akal mendapatkan jalurnya dan membuat kemajuan dalam matematika. Akal budi membantu untuk memahami dunia alami. Namun, ketika akal memasuki permasalahan metafisika, hal ini menjadi tidak mudah. Usaha-usaha dalam memecahkan persoalan metafisika-rasionalisme dan empirisme gagal. Kant berpikir keduanya (empirisme dan rasionalisme) salah. Kant berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan adalah sesuatu yang baru: jalan baru dalam berpikir tentang peran akal secara tepat dan pikiran pada umumnya di mana menjelaskan baik kegagalan maupun kesuksesan akal. Ia menyatakan bahwa kita datang dengan pandangan baru (Tjahjadi, 1991; Garvey, 2010). Akal budi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akal budi teoritis atau akal budi yang mengenai pengertian dan akal budi praktis atau kala budi yang mengenai

tindakan. Kant membahas keduanya dalam bukunya, Kritik Akal Budi Murni dan Kritik Akal Budi Praktis. Ada perbedaan besar antara dua akal budi murni itu. Kant menolak akal budi teoritis karena tidak ada pengertian teoretis sah yang tidak berdasarkan pengertian indrawi. Sebaliknya, dalam tindakan hanyalah akal budi praktis murni, yang tidak bersyaratkan data-data empiris, yang dapat menemukan prinsip-prinsip moral. Akal budi praktis adalah kemampuan untuk memilih tindakan tanpa segala penentuan indrawi, misalnya dorongan batin, kebutuhan, nafsu, emosi, perasaan yang menyenangkan, dan perasaan yang tidak menyenangkan. Jadi, akal budi praktis adalah kemampuan manusia untuk bertindak menurut kehendak dari dalam dirinya, yang dicirikan dengan kebebasan. Kehendak tidak menghapus dorongan-dorongan alami, tetapi ia tidak ditentukan olehnya. Ia dapat mengambil keputusan sesuai dengan apa yang dinilainya tepat, atau dalam bahasa Kant, menurut prinsip-prinsip yang diakuinya sendiri (Suseno, 1997). IV. MORALITAS Sebelum Kant, asal usul moralitas dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza) atau dalam hukum kodrat (Thomas Aquinas), dalam hasrat untuk mencapai kebahagiaan (seluruh filsafat pra-Kant), dalam pengalaman nikmat (Epikuros), dalam perasaan moral (Hume), atau dalam kehendak Allah (Augustinus, Thomas Aquinas). Kant memperlihatkan bahwa dengan cara itu klaim moralitas atas keabsahan universal tidak dapat dipikirkan. Satu-satunya cara yang mungkin adalah melalui subjek sendiri. Moralitas adalah mengenai kewajiban, yakni apa yang seharusnya dilakukan individu-individu ataupun dorongan-dorongan yang diberikan oleh kehendaknya sendiri. Dengan demikian, moralitas memerlukan individu-individu yang bebas. Manusia wajib tunduk pada hukum; manusia merasakan adanya keharusan dan kewajiban. Orang mungkin saja berbeda dalam pandangannya mengenai kelayakan dari suatu tindakan tertentu, tetapi setiap orang pasti setuju bahwa ia secara moral bertanggung jawab atas tindakannya (Suseno, 1997; Soyomukti, 2011). Yang dimaksud Kant dengan moralitas (Moralität/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita,

yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas menyangkut hal baik dan buruk, yaitu apa yang baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali (Tjahjadi, 1991). Moralitas masih dibedakan oleh Kant menjadi moralitas heterenom dan moralitas otonom. Moralitas heterenom adalah sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak di pelaku sendiri. Di sini termasuk semua objek, keadaan, atau kegiatan yang diinginkan karena menjanjikan nikmat, apakah itu perasaan moral, perhatian kepada kepentingan diri sendiri, juga tuntutan kesempuranaan. Misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun karena perasaan takut kepada penguasa yang member kewajiban itu. Sikap macam ini, menurut Kant, menghancurkan nilai moral (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik. Di dalam moralitas otonom, orang mengikuti dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun lantaran takut terhadap penguasa pemberi hukum itu, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilai yang baik. Moralitas otonomi berarti bahwa kehendak sendiri memberikan hukum bagi dirinya sendiri. Dalam Contract Social, Rousseau sudah mencatat bahwa ketaatan terhadap undang-undang yang diberikan diri sendiri adalah kebebasan. Dan bagi Kant, moralitas semacam itu – pada kesempatan lain disebut Kant sebagai otonomi kehendak (Autonomie des Willens), merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia jelas berkaitan dengan kebebasan, hal yang sangat hakiki dari tindakan makhluk rasional atau manusia. Kant menjadikan pikiran ini sebagai prinsip dasar seluruh etika (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Argumen Kant mengenai moralitas dan kewajiban menekankan kepada dimensi moral manusia. Kekakuan moral ini tidak hanya berada dalam kebebasan manusia, tetapi dalam tanggung jawab tanpa syarat bahwa setiap manusia memegang setiap keputusan moral tunggal. Setiap keputusan moral milik individu, dan harus dikondisikan oleh ada atau tidak adanya orang lain. Semua

keputusan moral kita adalah yang paling penting. Seolah-olah masa depan seluruh umat manusia tergantung pada setiap individu dan pada setiap salah satu keputusan moral kita. Argumen moral Kant bisa digunakan sebagai upaya untuk membuat kita berpikir bahwa moralitas sebagai wilayah utama dan terdalam dari manusia, seperti apa yang membuat kita menjadi manusia sepenuhnya. Ini merupakan persimpangan moral yang konstan di mana setiap individu harus bisa memilih apa yang harus dilakukan. Bagi Kant, untuk menjadi manusia, bukan perkara mudah setiap kali kita membuat pilihan moral, karena masa depan seluruh umat manusia berada dalam keputusan setiap manusia. Itulah kedalaman dimensi moral manusia menurut Kant (Siles i Borràs, 2003). V. PAHAM IMPERATIF KATEGORIS Kant memahami hukum moral menjadi perintah atau apa yang ia sebut 'imperatif kategoris' yang harus kita ikuti karena itu adalah kewajiban moral kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang baik bagi seluruh umat manusia. Sebagai perintah, imperatif kategoris bukan sembarang perintah. Kant memakai kata imperative atau perintah bukan bagi segala macam permintaan, melainkan untuk mengungkapkan sebuah keharusan (Sollen). Perintah dalam arti ini adalah rasional. Perintah juga dapat merupakan paksaan, entah paksaan lahiriah, misalnya perintah yang disertai ancaman, entah paksaan batin, apabila perintah disertai dengan tekanan batin. Perintah pemaksa semacam itu hanya ditaati karena paksaan, bukan karena disadari sebagai keharusan. Perintah yang dimaksud Kant hanyalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif. Bukan paksaan, melainkan pertimbangan yang meyakinkan sehingga membuat kita taat. Keharusan yang dimaksud Kant adalah kewajiban-kewajiban dalam bertindak yang berlaku bagi semua orang (Suseno, 1997; Siles i Borràs, 2003). Ada tiga macam perintah atau keharusan yang dimaksud Kant, yaitu a) Keharusan Keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika kita ingin mengendarai mobil maka kita harus mengisi bensin terlebih dahulu; b) Keharusan Kebijaksanaan Pragmatis, misalnya jika kita ingin mengurangi resiko serangan jantung maka kita harus mengurangi makanan berkolesterol; c) Keharusan (imperative) Kategoris. Dua keharusan yang pertama tidaklah mutlak, di mana

berlaku hanya apabila kita menghendaki suatu tujuan. Bentuknya adalah “jika kita menginginkan x, maka kita harus melakukan y”. Dua imperatif ini oleh Kant disebut sebagai Imperatif Hipotetis, yaitu keharusan yang bersyarat (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). Sementara imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif itu mengharuskan kita melakukan apa yang wajib tanpa syarat, atau wajib mutlak. Imperatif kategoris adalah keharusan yang berlaku tanpa ada pengecualian. Bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah perintah “Bertindaklah secara moral!”. Itu merupakan perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Jadi, imperatif kategoris menjawab kewajiban mutlak yang harus kita lakukan dalam moralitas sehingga dapat dilihat bahwa moralitas tidak tergantung pada maksud baik atau tujuan tertentu saja, tetapi berlaku di mana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa pengecualian sama sekali (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997; Siles i Borràs, 2003). Acuan dalam bertindak secara moral dijawab Kant melalui rumusannya yang terkenal, yaitu “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kau hendaki menjadi hukum umum!” Rumusan ini dikenal sebagai prinsip hukum umum. Prinsip dihubungkan dengan maxime (maksim) yang sebenarnya lebih sempit artinya daripada prinsip itu sendiri. Maksim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap dan

tindakan

konkret.

Misalnya

orang

yang

berniat

memperjuangkan

kepentingannya sendiri, merasa perlu mengorbankan orang lain, atau sebaliknya. Jadi, maksim dapat baik dan dapat menjadi tidak baik. Maksim menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Prinsip yang baik secara moral dirumuskan Kant dalam imperatif kategoris di mana kita bertindak sesuai dengan kewajiban kita apabila kita bertindak menurut prinsip-prinsip yang sekaligus dapat kita kehendaki berlaku bukan hanya bagi kita, tetapi dapat menjadi hukum umum yang berlaku bagi siapa saja. Atau dapat disebut sebagai Prinsip Penguniversalisasian. Suatu prinsip bertindak benar hanya bila dapat diuniversalisasikan menjadi hukum umum (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). VI. KRITIK FILSUF ATAS PEMIKIRAN KANT

Etika Kant tentu saja tidak tanpa problematika. Friedrich Schiller dan Benjamin Constant menuduh bahwa Kant jatuh ke dalam Rigorisme. Rigorisme moral merupakan suatu sikap yang terlalu keras dan kaku (=rigor, bahasa Latin) dalam bidang moral. Kant seolah-olah tidak mau menerima berbagai dorongan lain bagi tindakan seseorang, seperti misalnya belas kasihan, iba atau kepentingan diri. Sementara Hegel mengkritik bahwa Kant melepaskan moralitas dari lingkungan sosial, Scheler dan Nicolai Hartman menolak Formalisme-nya, dan khususnya Scheler juga menuduh bahwa etika Kant merupakan sebuah Gesinnungsethik (etika) yang hanya memperhatikan sikap batin dan melalaikan pelaksanaan. Etika kewajiban Kant juga dianggap biang keladi “ketaatan Prussia” yang menjadi ciri khas angkatan bersenjata dan korps pegawai negara Prussia. Kritik Hegel bahwa Kant tidak memahami peran aturan sosial bagi moralitas memang tepat, kalau melihat Grundeglung zur Metaphysik der Sitten dan Kritik der praktischen Vernunft saja. Namun, dalam Metaphysik der Sitten kemudian Kant juga mengembangkan sebuah moralitas substansial. Begitu pula dalam tulisan-tulisannya mengenai filsafat politik, Kant juga merumuskan pola masyarakat mana yang menunjang etika kebebasannya (Tjahjadi, 1991; Suseno, 1997). VI. PENUTUP Immanuel Kant yang secara berani menentang pemahaman-pemahaman dari aliran-aliran filsafat sebelumnya telah membawa “pencerahan” bagi pengetahuan manusia. Kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme memunculkan yang disebut hirarki dalam proses pengetahuan manusia. Tingkatan ini adalah tingkat penyerapan indrawi (Sinneswahrnehmung), tingkat rasio (Verstand), dan tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan adalah tingkat akal budi (Vernunft). Akal budi merupakan semacam pengertian atau pemahaman yang mendalam. Kant juga memberikan pemahaman lain tentang moralitas, yang dipandang sebagai kewajiban sebagai manusia, yang menyangkut hal baik dan buruk, tanpa pembatasan sama sekali. Kriteria-kriteria kewajiban ini kemudian dirumuskan Kant melalui imperatif kategoris. Imperatif kategoris inilah yang merupakan prinsip-prinsip atau maksim yang bersifat universal (hukum umum)

dan menjadi acuan bagi seluruh manusia untuk mengambil keputusan moral dalam dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Britton, K. 2009. Philoshopy and The Meaning of Life (Filsafat sebagai Lentera Kehidupan). Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 244 hlm. (diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir). Garvey, J. 2010. Dua Puluh Karya Filsafat Terbesar. Kanisius, Yogyakarta, 348 hlm. (diterjemahkan oleh CB. Mulyatno Pr.). Kanz, H. 1999. Immanuel Kant (1724–1804). PROSPECTS: the quarterly review of comparative education (Paris, UNESCO: International Bureau of Education), vol. XXIII, no. 3/4, 1993, p. 789–806. Siles i Borràs, J. 2003. Evil, Freedom and Responsibility: An essay on Kant’s Moral Philosophy. Richmond Journal of Philosophy 4 (Summer 2003), page 1-8. Soyomukti, N. 2011. Pengantar Filsafat Umum : Dari Pendekatan Historis, Pemetaan Cabang-Cabang Filsafat, Pertarungan Pemikiran, Memahami Filsafat Cinta, hingga Panduan Berpikir Kritis-Filosofis. Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 452 hlm. Suseno, F. M. 1997. 13 Tokoh Etika. Kanisius, Yogyakarta, 214 hlm. Tjahjadi, S. P. L. 1991. Hukum Moral : Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 136 hlm.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF